Kemampuan hukum pidana menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat
dibutuhkan mengingat pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of hyper- consciousness about the real of fancied breakdown of social control over the most basic threats to person and proverty”. Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira Unger pernah mengemukakan, “the rule of law is intimately associated with individual freedom, even though it fails to resolve the problem of illegitimate personal dependency in social life”. Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan. Kasus kejahatan dalam kejahatan Mayantara (Cyber Crime) adalah berdasarkan penggunaan KUHP adalah merujuk beberapa pasal diantaranya bahwa : 1. Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memakai nama/ keadaan palsu dengan tipu muslihat agar memberikan barang membuat utang atau menghapus utang diancam karena penipuan dengan pidana penjara maksimum 4 tahun.” Artinya bahwa apabila ada orang yang menggunakan kewenangan orang lain, hak dan atau tanggung jawab dengan memalsu atau menggunakan barang milik orang lain untuk mendapatkan sesuatu keuntungan pribadi tanpa ijin secara sadar oleh pemiliknya merupakan sebuah kejahatan. Kejahatan tersebut dapat dikenai pidana. Penggunaan milik orang lain berupa kartu kredit atau alat transaksi elektronik lainnya banyak menjadi modus operandi kejahatan mayantara. Kasus ini merupakan kasus Karding atau penggunaan kartu orang lain untuk transaksi melalui internet. Ini semua merupakan tindakan pemalsuan yang dapat dikenai pasal pidana. Selama pembuktian itu ada kasus seperti ini dapat dituntut secara hukum yang ada berupa hukum kenvensional yaitu KUHP. 2. Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat yang berbunyi bahwa “barang siapa membuat secara palsu atau memalsukan sesuatu yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau suatu pembebasan utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu bagi suatu tindakan, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakannnya seolah-olah asli dan tidak palsu, jika karena penggunaan itu dapat menimbulkan suatu kerugian, diancam karena pemalsuan surat dengan pidana penjara maksimum enam tahun; diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja dengan sengaja menggunakan surat yang isinya secara palsu dibuat atau yang dipalsukan tersebut, seolah-olah asli dan tidak palsu jika karena itu menimbulkan kerugian.” 3. Pasal 362 KUHP tentang Pencurian yang berbunyi : “Barang siapa yang mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara maksimum lima tahun.” KUHP menganut sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian KUHP diatur dalam pasal 183 yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pembuktian dalam kasus Kejahatan Mayantara cukup sulit dibuktikan karena dalam KUHP membutuhkan alat bukti yang sah, sedangkan pembuktian dalam kasus ini cukup sulit karena tidak dapat ditunjukkan obyek atau benda sebagai bukti fisik. Maka banyak kendala dalam pembuktian dan hakim dalam menjatuhkan perkara sebagai bukti kejahayan. Berdasarkan pasal tersebut, putusan hakim harus didasarkan pada dua syarat, yaitu : (1) minimum 2 alat bukti; (2) dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHP, yaitu : (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa. Dari pembuktian diatas bahwa pembuktian perkara pidana lebih dititik beratkan pada keterangan saksi. Oleh karena itu di dalam KUHP pasal 183 telah pula secara tegas dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan dalam pasal 184 KUHP disebutkan bahwa untuk acara pemeriksaan cepat keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Penyelidik (Pasal 1 butir 4 KUHP) berbunyi : “Penyilidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan”. Penyelidikan ( pasal 1 butir 5 KUHP) berbunyi : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Penyidik (pasal 1 butir 1 KUHP) berbunyi : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Penyidikan (pasal 1 butir 2 KUHP) berbunyi : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Sedangkan sesuai dengan ketentuan tersebut para penyelidik dan penyidik harus orang yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan dalam ksus ini dibutuhkan sumber daya yang memadai dalam penanganan kasus mayantara, Bahwa disamping hal tersebut di atas di dalam KUHP UU no. 8 tahun 1981 juga ditentukan , dalam peristiwa apa orang yang berhak dan yang wajib mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik dan atau pada penyidik. Dalam hal ini adalah siapa yang berhak dan yang wajib mengajukan laporan kejahatan mayantara kepada penyidik dalam kasus ini. Apabila seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan adanya bukti permulaan maka ini disebut ”tersangka” (pasal 1 butir 14 KUHP). Dan kemudian apabila tersangka ini dituntut dan diadili di sidang pengadilan, maka berubahlah ia dari tersangka menjadi ”terdakwa” (pasal 1 butir 14 KUHP). Setelah terdakwa diadili salah melakkukan sesuatu tindak pidana keputusan hakim mana telah mempunyai kekuatan pasti, maka berubahlah ia dari status terdakwa menjadi terpidana. (pasal 1 butir 32 KUHP) Namun tidak mudah menentukan tersangka, terdakwa bahkan terpidana untuk kejahatan mayantara karena memiliki syarat tertentu bagi hakim untuk memutuskan terdakwa, karena kasus ini adalah kasus khusus, dan membutuhkan penanganan yang lebih serius dan jeli. Karena pelaku kejahatan mayantara rata-rata memiliki kecerdasan dan intelektual yang cukup tinggi sehingga cukup sulit mendesak terdakwa sebagai tersangka. Sedangkan hakim harus mendasarkan diri pada UU no. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menganut aliran bahwa : 1. Pra Duga Tak Bersalah (pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970) 2. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 UU No. 14 tahun 1970) Khusus untuk pembuktian begitu kuatnya adagium Praduga tak bersalah maka pasal 66 KUHP tegas mencantumkan tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Maka pelaku kejahatan mayantara juga harus mendapatkan adagium praduga tak bersalah apakah kejahatan itu merupakan sebuah kejahatan atau tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku baik bukti yang sah ataukah merupakan delik perkara yang dapat dipidanakan. Maka penanganan kasus mayantara cukup mengundang konsentrasi khusus bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus kejahatan ini. Maka perlu pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kasus kejahtan ini berupa pendidikan, pelatihan, dan sosialisasi. Sedangkan untuk hal ini membutuhkan sumber biaya yang cukup besar.