You are on page 1of 7

Makalah Sastra Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak ter- lepas dari faktor situasi sosial politik
pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut terjadilah peristiwa penting baik
pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di
dalamnya kesusastraan, peristiwa yang cukup penting dan menentukan bagi kehidupan
kesusastraan untuk masa berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dengan paham
humanisme universalnya dan kekalahan kubu Lekra dengan paham realisme sosialnya.
Teeuw (1986: 43) mencatat bahwa di bidang kebudayaan, segala macam kelompok dan
perorangan, yang praktis tutup mulut sejak 8 Mei 1964, menjadi kembali bergerak dan mulai
memperdengarkan suara mereka. Koran-koran dan majalah yang pernah dilarang pada masa
Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Juga terbit majalah baru, yakni Horison sebagai
majalah sastra. Keith Foulcher (Prisma, 1988: 20) mengatakan bahwa sebagian dari karya
sastra terpenting awal periode Orde Baru dapat dilihat sebagai pemekaran energi yang
kemungkinan tampak tidak mempunyai tempat dalam iklim sekitar tahun 1965, ketika
pendefisian kesetiaan politik mendominasi sebagian kerja dan hasil kreatif orang Indonesia.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah munculnya pembaruan dan eksperimen


penciptaan karya sastra yang lebih bebas. Berkaitan dengan munculnya pembaruan dan
eksperimen penciptaan karya sastra, Jakob Surmadjo (1984: 6-7) membuat analisis sosiologis
dengan menyebut tiga faktor sebagai titik tolak. Latar belakang sosiologis munculnya
pembaruan dan inovasi tersebut, selain karena situasi sosial politik awal Orde Baru, Jakob
Sumardjo menambahkan dengan faktor maecenas Dewan Kesenian Jakarta dan faktor
pergantian generasi sastra. Dengan adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian
memperoleh subsidi dari pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para
seniman untuk berkreasi secara merdeka. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki
ditambah dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan mencipta semakin semarak.
Sedangkan faktor pergantian generasi sastra menekankan pada munculnya kecenderungan
untuk bereksperimen pada sastrawan yang baru mulai karier kesastraannya pada dekade 70-
an, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma dan Putu Wijaya.

Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya Putu Wijaya
banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-
novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei
bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Demikian pula
karya-karya Putu Wijaya banyak dipergunakan sebagai objek penelitian bagi penyusunan
skripsi oleh mahasiswa fakultas sastra.

Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12) mengatakan bahwa sebagai seorang novelis, Putu Wijaya
menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam
prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat
pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Ia lebih berani
mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bentuk
bawah sadar, lebih-lebih libodo seksual yang ada dalam daerah kegelapan id.
Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan
Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya
muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling
kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat,
intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya dan disatukan oleh suasana tema (ibid : 133).

Y.B. Mangunwijaya (1988 : 50) telah membuat esei tentang novel Telegram (1973) dan
mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan dewasa, sedangkan
bentuknya sangat berhasil. Sementara itu, Mursal Esten (1990 : 49) mengatakan bahwa
novel-novel Putu Wijaya : Telegram dan Stasiun dan pada naskah-naskah drama yang
ditulisnya seperti Anu, Aduh, dan Lho merupakan klimaks dari proses perubahan yang terjadi
dan telah diperlihatkan sebelumnya. Analisis yang lebih mendalam dilakukan oleh Jiwa
Atmaja dalam bukunya Novel Eksperimental Putu Wijaya (1993). Dalam bukunya tersebut
Jiwa Atmaja menganalisis salah satu novel Putu Wijaya yaitu Keok (1978). Jiwa Atmaja juga
telah berhasil merekonstruksi kelas sosial pengarang dan menemukan pandangan dunia Putu
Wijaya. Pada bagian kesimpulan, Jiwa Atmaja (1993 : 86-87) menyebutkan:

Sekalipun "struktur dalam" novelnya menunjukkan sifatnya yang kompleks namun masih
mungkin dilihat keterikatannya dengan subjeknya, yakni kelompok intelektual yang di
dalamnya termasuk pengarangnya. Kondisi sosial menjelang dan sesudah Orde Baru memang
belum memberi kemungkinan bagi kelompok ini menempatkan diri pada posisi yang
menentukan arah perkem- bangan politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kelompok ini
masih mencoba tampil ke depan sebagai subjek yang penuh percaya diri dalam menanggapi
perubahan sosio-budaya berdasarkan visi dunianya. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain,
berupa perlawanan terhadap sistem (dalam novel Keok) terimplisit dalam sistem lalu lintas
yang kacau, penyesuaian diri malahan pengasingan diri yang terimplisit melalui adegan tokoh
wanita menutup mulut dan tidak mau melakukan komunikasi.

Sesungguhnya masih banyak tanggapan positif dari kritikus sastra terhadap karya-karya Putu
Wijaya yang tidak mungkin penulis uraikan satu per satu. Tanggapan dan analisis serta esei
tersebut menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap karya-karya Putu Wijaya.
Demikian pula hal itu membuktikan bahwa posisi Putu Wijaya cukup penting dalam
percaturan kesusastraan Indonesia. Namun demikian, tidak semua karya Putu Wijaya
memperoleh porsi yang sama. Dari sekian banyak komentar, Telegram, Stasiun, Pabrik, dan
Keok memperoleh porsi yang besar. Karena itu, analisis terhadap karya Putu Wijaya yang
lain patut di-lakukan. Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada novel Nyali (1983)
yang merupakan novel Putu Wijaya yang kurang banyak mendapat tanggapan dibadingkan
Telegram dan Stasiun, padahal novel Nyali tidak kalah menarik dibanding novel-novel Putu
Wijaya yang lain.

Hal yang menarik dalam novel Nyali adalah permasa- lahan yang diungkapkannya. Novel ini
mengungkap konflik sosial dan politik yang penuh dengan kekejaman. Konflik sosial dan
politik tersebut memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah
Indonesia. Keith Foulcher (dalam Robert Cribb, ed, 1990 : 104) memberikan komentarnya
terhadap novel ini sebagai novel luar biasa yang mempunyai kemiripan dengan peristiwa
sejarah sekitar tahun 1965, meskipun samar-samar dan dalam bentuk yang berlainan dari
tradisi kesusastraan Indonesia.

Sesungguhnya banyak novel yang menyinggung atau memiliki latar peristiwa sejarah sekitar
tahun 1965. Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya yang berjudul Jentera
Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang berkaitan dengan PKI sesudah
peristiwa tahun 1965.

Yudistira ANM dengan novelnya Mencoba Tidak Menyerah (1979) yang melukiskan
kesengsaraan sebuah keluarga setelah sang bapak yang disangka oleh masyarakat beraliran
komunis ditahan oleh aparat pemerintah. Demikian juga dengan novel Kubah (1980) karya
Ahmad Tohari juga bercerita tentang seorang yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia
ditahan di Pulau Buru. Sekembalinya dari tahanan ia kembali ke masyarakat dan sadar serta
taat kepada agama. Novel Ahmad Tohari yang berikutnya yakni trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk sedikit banyak juga menyinggung permasalahan ini. Tema dan permasalahan serupa
juga termuat dalam novel karya Ayip Rosidi yang berjudul Anak Tanah Air Secercah Kisah
(1985).

Hal lain yang menarik pada novel Nyali bila diban- dingkan dengan novel yang menyinggung
atau bercerita tentang peristiwa sejarah sekitar tahun 1965 lainnya, adalah gaya
penceritaannya tidak menunjuk secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada
kurun sejarah sekitar tahun 1965. Demikian juga novel Nyali tidak menunjuk secara langsung
pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut.
Namun sesungguhnya konflik sosial dan politik dalam novel Nyali mempunyai kesejajaran
dengan konflik sosial dan politik yang terjadi dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. Hal
inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel Nyali dan penulis ingin
membuktikan bahwa konflik sosial dan politik dalam novel Nyali punya kesejajaran dengan
sejarah Indonesia sekitar tahun 1965.

1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan
karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak
dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya sastra. Pembaca dengan
horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah
karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra.
Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas",
"ciptaan" dan sifat "imajinatif" (Wellek dan Warren, 1993:18-20). Sedangkan fungsi sastra
tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya. Hakikat
keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Ketiga
unsur itulah yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini
juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra,
beragamnya aliran dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra.

Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan kompleks, dalam
kesempatan ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya dengan maksud agar
pembicaraan tidak terlalu mengambang. Pembatasan tersebut adalah pemahaman terhadap
novel Nyali dengan berdasarkan sosiologi sastra. Sesungguhnya sosiologi sastra itu pun
sangat rumit dan luas, karena itu penulis membatasi ruang lingkup permasalahan hanya dari
aspek karya sastra sebagai cermin masyarakat atau dengan kata lain karya sastra dilihat
sebagai dokumen sosial budaya.

Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian ini, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali dengan analisis
sosiologis.

2. Bagaimana korelasi antara novel Nyali dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat
Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Alasan-alasan yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang merupakan faktor
pendorong dilakukannya penelitian ini. Sedangkan tujuan penelitiannya menyangkut masalah
teoritis dan praktis. Hal ini berkaitan dengan latar belakang penulis sebagai orang yang
bergerak dalam kalangan akademik sastra yang selalu dituntut untuk menitikberatkan
landasan ilmiah dalam kegiatan penelitian sastra.

Secara ringkas tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana sosiologi sastra
dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini novel Nyali dilihat sebagai
dokumen sosio-budaya.

Kedua, meskipun penelitian terhadap novel karya Putu Wijaya sudah banyak dilakukan,
namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada
dengan cara dan persepsi yang berbeda sehingga dapat diperoleh keanekaragaman
pemahaman dan penafsiran dengan masing-masing argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ketiga, menyangkut tujuan praktis, penelitian ini diharapkan membantu pembaca untuk
memahami novel Putu Wijaya.

1.4. Kerangka Teori

Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Menurut
Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh
para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan
oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa menentukan bagaimana
sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan
dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat
orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan
teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut
teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca
sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi
kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut
sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya (work) yang
dikenal dengan teori objektif (Abrams, 1976: 6-29). Sosiologi sastra merupakan pendekatan
yang bertolak dari orientasi kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari
orientasi kepada pengarang dan pembaca.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai landasan teori
dalam menganalisis novel Nyali. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat
hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar
karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1993: 111) membagi telaah
sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu:

a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik,
dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.

b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi
pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya;

c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya


terhadap masyarakat.

Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Damono,
1979: 3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni:

a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa
mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya
sastranya.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra
dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan
sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.

Umar Junus (1986 : 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah
sosiologi sastra adalah sebagai berikut:

1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya;

2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra;

3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis
tertentu dan apa sebabnya;

4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang
berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan
kelas.

5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan

6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya sastra
dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu
masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya
sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan
masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan
kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981:178).

Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap
realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan
menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986:
14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan
bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba
menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.

Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama,
mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk
memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, karya sastra
dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan
tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra
dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya
imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987: 127).

Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan
bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh
dari realitas sosial tetapi juga dapat mem- pengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra
mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak
berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film; novel seringkali
merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat (Michel
Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:35). Lebih lanjut Zerraffa (ibid) mengatakan
bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis
senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.

Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai keseluruhan,
melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur-
unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan analisis terhadap novel Nyali,
penulis mengambil unsur yang dominan dalam karya tersebut, yakni konflik sosial dan
politik. Untuk menganalisis konflik sosial dan politik dibutuhkan teori yang relevan dengan
permasalahan yang dianalisis, yakni teori konflik. Dalam penelitian ini teori konflik yang
penulis pergunakan adalah klasifikasi konflik politik yang dikemukakan oleh Ramlan
Surbakti (Memahami Ilmu Politik, 1992), Lewis A. Coser (dalam David L. Sills, The
International Encyclopedia of The Social Sciences, 1968), Maurice Duverger dalam bukunya
Sosiologi Politik (1993), dan Tom Bottomore dalam bukunya Sosiologi Politik (1992).

Sebagaimana telah penulis sebutkan bahwa konflik sosial dan politik yang terkandung dalam
novel Nyali memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia
sekitar tahun 1965. Sedangkan penulisan novel tersebut dilakukan pada tahun 1980-an.
Dalam penelitian ini penulis tidak memfokuskan pada faktor genesis kelahiran novel tersebut,
tetapi menitikberatkan pada faktor mimesis. Hal ini mengingat peristiwa dominan yang
terbayang dalam novel tersebut terjadi pada sekitar tahun 1965. Dengan kata lain rentang
waktu antara tahun novel tersebut ditulis dan peristiwa yang tersirat dalam novel tersebut
cukup jauh.

1.5. Metode

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pertama-tama
dipilih salah satu unsur dalam novel Nyali yakni aspek konflik sosial dan politik. Selanjutnya
konflik sosial dan politik dalam novel tersebut dideskripsikan dengan dibantu oleh teori-teori
tentang konflik serta dihubungkan dengan peristiwa sekitar tahun 1965. Deskripsi ini
dilengkapi dengan data-data sejarah yang diperoleh dari kepustakaan.

1.6. Kerangka Penyajian

Skripsi ini terdiri atas lima bab yang terbagi dalam bab yang bersifat teoritis, bab yang berisi
analisis dan interpretasi, dan bab yang bersifat konklusi. Bab I merupakan pendahuluan yang
mengemukakan tentang latar belakang, ruang lingkup dan permasalahan, tujuan penelitian,
landasan teori dan metode, serta sistematika pe- nulisan. Bab II berupa analisis sosiologis
yang membahas aspek konflik sosial dan politik dalam novel Nyali. Bab III mengungkapkan
masalah realitas sosial, yakni membahas kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam
novel Nyali dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Bab IV membahas
aspek simbolis dalam novel Nyali. Bab V berupa kesimpulan.

You might also like