You are on page 1of 4

¤Dampak Menguatnya Peran Negara Terhadap Perkembangan Teknologi Dan Komunikasi

Pada Masa Orde Baru¤

> Paradigma pembangunan telah menyebar dan digunakan sebagai visi,teori,dan proses
yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas.
Di indonesia paradigma development(ideologi pembangunan) yang menjadi landasan
pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi
berbagai komunitas.Yaitu,antara lain:
a.Hancurnya identitas kultural dan perangkat(komunikasi) kelembagaan yang di miliki
komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru.
b.Hancurnya basis Sumber Daya Alam(Ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara
atas nama pembangunan.
c.Melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat
dominasi negara.

Kegagalan model Teknologi dan komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut,telah
mendorong munculnya model teknologi dan komunikasi yang bersifat partisipasi grassroots
dalam proses komunikasi.
Model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru meliputi:
a. Seperti media massa yang di rancang secara baku dan bersifat dari atas ke bawah(top
down).
b. Serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif.
Sehingga berdampak/menimbulkan masalah-masalah.
Masalah-masalah yang dimaksud adalah:
a. Pertama sifatnya yang top down/elitis/vertikal/searah dan telah menciptakan jurang
informasi antara elit dan masyarakat kebanyakan.Elit yang jumlahnya sedikit menjadi kaya
media(informasi) karena memiliki akses yang besar terhadap media,serta mampu membaca
dan membeli.
b. Sementara,Masyarakat Kebanyakan,tetap miskin media(informasi) karena tidak memiki
akses yang cukup.Baik dari sisi ekonomi,teknologi,komunikas serta budaya.
Jadi....Dampaknya Masyarakat sangatlah di rugikan dalam hal ini.

Demikianlah uraian yang saya ketahui tentang hal tersebut.Dan Sebenarnya masih banyak
dampak-dampak yang lain...Tapi saya hanya mengambil intinya saja dan biar lebih terperinci
serta mudah untuk di pahami.
Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia
dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam
berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang
diharapkan
akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus
melakukan
pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis
rakyat.
Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin
pesat.
Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka
cita
menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai
tekanan
dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar
pemerintah.
Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah
yang
tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan
pemerintah yaitu
melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan
dijadikan alat
pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi
yang
sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas
dan
bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan
sama
sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut
surat izin
penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan
investigasi
tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu
diumumkan
langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu
pers
benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa
yang
menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum
berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para
pendukungnya yang
antu rezim Soeharto.
B. Pembredelan Tempo serta perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru
Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara
menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya.
(Aliansi
Jurnalis Independen, 1995 : 140)
Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling
penting
di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang
panyair
dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982 majalah Tempo pernah
ditutup
untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh.
Namun dua
minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang
selalu
was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah ini
memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam
mengungkap
fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan
dengan kata-
kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik
adalah
bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.
Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan.
Apalagi
dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah,
Tempo
telah mendapatkanberkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela
dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari
riwayat
Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan
strategi
yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif
dan
yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk
menjamin
kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang dating
bertubi-tubi
dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran
kepada
masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti
dengan
mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada
tahun 1995.
Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang
terbelenggu
ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998,
setelah
jatuhnya Orde Baru.
C. Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40
tahun
1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya
untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :
(www.JurnalNasional.com)
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga
masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus
yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan
meningkatkan
kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah
formalitras
semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak
buah dari
pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari
dewan
pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku
editor
Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan
pers
diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak
pembredelan,
tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar
bahwa
dewan pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law”
dan
“power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya,
pers
dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John
C.
Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi
masyarakat,
pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah
seluruh
lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru,
dewan pers
memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya
terbelenggu oleh
kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.

You might also like