You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah membangun


Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1985 sebagai salah satu alternatif
pengembangan hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu
yang selalu meningkat secara berkelanjutan.
Program HTI merupakan langkah ekonomis yang diambil oleh pemerintah
untuk mengimbangi potensi hutan alam. Seperti deketahui hutan alam mempunyai
kemampuan terbatas dalam memproduksi kayu, bahkan jika tidak dikendalikan dan
dikelola dengan baik pemanenannya, kemampuan hutan tersebut dalam memproduksi
kayu baik jumlah maupun mutunya cenderung menurun. Salah satu tujuan
pembangunan HTI ini adalah meningkatkan produktifitas (riap) tegakan dan kualitas
kayu yang dihasilkan. Tujuan ini akan dapat dicapai dengan melaksanakan efisiensi
disegala bidang, dan yang terpenting adalah melalui tindakan pemuliaan pohon dan
penerapan tekik-teknik silvikultur.
Jenis kayu HTI dikelompokkan berdasarkan kegunaannya sesuai dengan
macam industri yang akan memakainya, yaitu kayu pertukangan, kayu serat dan kayu
energi (Suhaendi, 1993; Prayitno, 1995). Kayu pertukangan diperuntukan bagi
industri kayu lapis dan industri kayu gergajian; kayu serat untuk industri pulp dan
industri lanjutannya seperti kertas, rayon dan papan serat; kayu energi untuk industri
arang dan kayu bakar. Arahan daur untuk kayu pertukangan adalah 10-30 tahun,
untuk kayu serat 8-20 tahun, sedangkan untuk kayu energi 5 tahu (mangundikoro,
1984, dalam Sushardi, 1998). Ketiga kelas pengusahaan hutan tersebut sudah barang
tentu akan memerlukan tindakan pemuliaan pohon dan penerapan teknik-teknik
silvikultur yang berbeda.
Dengan digalakkannya pembangunan HTI, maka sebagian besar dari bahan
baku industri akan berasal dari hutan tanaman tersebut. Kualitas kayu perlu
dipertimbangkan dalam pengelolaan HTI, sehingga penanaman kayu mempunyai
tujuan pemakaian akhir yang jelas. Untuk itu maka diperlukan data-data yang akurat
tentang kualitas kayu HTI, karena dapat saja kualitas tersebut akan berbeda dengan
kayu yang berasal dari hutan alam. Hal ini tentunya akan sejak dini di usahakan
penanggulangannya, misalnya proses pengolahannya dapat disesuaikan dengan
kualitas kayu yang bersangkutan.
Brazier (1986, dalam Sushardi, 1998) berpendapat bahwa kayu yang
berasal dari hutan tanaman patut diduga berbeda dengan kayu yang berasal dari hutan
alam. Hal ini selain disebabkan oleh pertumbuhannya yang lebih cepat, juga
disebabkan oleh umur pohon yang lebih muda (ditebang pada umur 10-30 yahun).
Pertumbuhan yang lebih cepat dan umur pohon yang lebih muda pada umumnya
menyebabkan kayu tersebut lebih ringan, teksturnya lebih kasar, mata kayu lebih
banyak, arah seratnya tidak teratur, dan lebih mengandung kayu remaja (juvenil
wood). Untuk memberikan kualitas kayu yang elbih baik dan mengurangi efek negatif
dari pembangunan HTI maka dalam hal ini peranan pemuliaan pohon dan tindakan
silvikultur sangatlah besar (Soerianegara, 1969).

1
PENTINGNYA KUALITAS KAYU

Kayu dari jenis tumbuh cepat yang merupakan prioritas dan lebih
ditonjolkan dalam pembangunan HTI pada umumnya menghasilkan kayu dengan pori
kayu awal yang lebih besar dibandingkan dengan kayu akhir, atau memproduksi kayu
yang tersusun oleh sel-sel yang berdiameter besar dan berdinding tipis. Ini akan
mengakibatkan kayu tersebut secara keseluruhan memiliki kualita kayu seperti berat
jenis dan sifat mekanika yang rendah. Untu7k itu maka diperlukan kompromi antara
kepentingan yang satu terhadap kendala yang lain, agar optimalisasi pemanfaatan
kayu dapat dicapai.
Kalangan rimbawan pada umumnya masih beranggapan bahwa kayu yang
berkualitas adalah kayu yang mempunyai bentuk batang silinder, lurus bebas cacat,
cepat umbuh, dan kuat, tanpa melibatkan penggunaan akhir kayu produk tersebut. Hal
ini tentu tidak sepenuhnya benar. Lantican (1975) menyebutkan bahwa kualitas kayu
akan selalu berhubungan dengan kecocokan kayu tersebut dengan pemakaian
akhirnya. Kualitas kayu merupaka resultan dari sifat kayu yang dimiliki atau
penonjolan sifat yang dominan, baik sifat fisika, kimia mekanika dan struktur kayu
(Panshin and de Zeeuw,1970). Itu berarti bahwa penggunaan kayu untuk suatu
keperluan seperti misalnya sebagai kayu energi dan kayu serat, tidak harus
mempunyai bentuk batang yang baik, namun justru ditekankan kepada sifat yang
harus dipenuhi, seperti tumbuh cepat dan berkerapatan serta bernilai kalor yang
tinggi. Dengan demikian akan terdapat kelompok kayu yang mempunyai kelas
kualitas kayu serat, dan kelas kualitas kayu energi, sama seperti yang dilakukan pada
pengelompokkan jenis kayu HTI. Untuk itu perlu kiranya dilakukan penelitian
terhadap sifat-sifat kayu yang berhubungan erat dengan suatu pemakaian akhir kayu,
sehingga dapat mendeteksi oerilaku sebenarnya bila kayu tersebut dipakai secara
nyata. Oleh karenanya maka dapat diketahui dan dimengerti bahwa kualitas kayu
perlu mendapatkan pertimbangan dalam pengelolaan HTI, sehingga didalam
penanamannya nanti telah mempunyai tujuan pemakaian akhir yang jelas (Parayitno,
1995).
KEGIATAN PEMULIAAN POHON

Berbagai pendekatan yang peling sesuai perlu dilakukan untuk


mendapatkan faktor jenis kayu atau jenis komoditi yang akan ditanam untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Selain pengembangan teknologi
pengolahan kayu untuk meningkatkan kualitas kayu yang dihasilkan sesuai dengan
perkembangan pasar, juga perlu diupayakan pemilihan sifat-sifat unggul dari jenis-
jenis tanaman yang paling baik pertumbuhannya di suatu ekologi tertentu.
Bidang pemuliaan memberikan potensi dalam meningkatkan hasil dan
kualitas kayu di masa depan. Banyak bukti yang telah dihasilkan bahwa kualitas kayu
akan menjadi sangat baik apabila dilakukan pemuliaan pohon. Faktor penentuan
kualitas kayu seperti berat jenis, arah serat, panjang serat, dan yang lainnya diyakini
bersifat turunan. Oleh sebab itu pemilihan pohon induk yang baik akan membantu
menemukan kayu dengan kualitas seperti yang diharapkan.
Pekerjaan pemuliaan pohon adalah memilih pohon yang secara morfologi
(fenotip) unggul atau secara kualitas kayu baik, yang biasa disebut sebagai pohon
plus atau pohon biji dalam seed orchad, tanpa melihat faktor lingkungan lainnya
(Prayitno, 1995). Pohon tersebut kemudian diisolasi sehingga diperoleh pembiakan
murni, baik dengan bijinya atau dengan cara vegetatif bila memungkinkan. Biji yang
telah dikumpulkan dari pohon-pohon plus ditanam dipersemaian untuk
mengembangkan generasi pohon-pohon baru yang memiliki banyak ciri yang sama.
Sedangkan perbanyakan vegetatif dilakukan dalam upaya memproduksi klon-klon
untuk spesies tertentu (Haygreen dan Bowyer, 1989). Perkembangan yang relatif baru
adalah melalui penyempurnaan dengan teknik kultur jaringan. Pekerjaan seleksi yang
mutakhir adalah malalui pembiakan silang keturunan dari pohon-pohon terpilih untuk
mengembangkan pohon-pohon yang memiliki gabungan sifat-sifat terbaik. Ciri-ciri
kayu ada di antara sifat-sifat yang menjadi dasar seleksi.
Oleh sebab itu, pemuliaan pohon yang andal akan membantu menemukan
kayu yang mengandung sifat yang diandalakan. Dari segi teknologi kayu, perbaikan
kualitas kayu pada pemuliaan pohon dapat ditempuh melalui (Lantican, 1975) :
Pengaturan atau pengendalian sifat-sifat tertentu dari suatu pohon, untuk misalnya
memperoleh berat jenis yang tinggi, dan lain-lain.
Pengaturan kualitas kayu yang konstan atau meredam variasi yang terlalu lebar, untuk
misalnya memperoleh berat jenis yang konstan atau tidak bervariasi sangat lebar.
Kedua cara di atas dapat dilakukan malah upaya pemuliaan, yaitu memilih pohon
yang mempunyai karakteristik dimaksud, kemudian mempertahankannya dengan cara
mengisolasi dan dengan pertumbuhan vegetatif. Hal tersebut dapat dijalani secara
bersama atau sendiri-sendiri, tergantung pada kendala yang ada dalam organisasi
pemuliaan pohon.

Pemilihan pemuliaan pada suatu indikator kualitas kayu, seperti bentuk

3
batang, pola cabang arah serta panjang serat, berat jenis, dan lainnya dipengaruhi oleh
kepentingan ekonomi, karena mahalnya ongkos pemuliaan pohon itu sendiri
(Dominggo, 1974, dalam Prayitno, 1995). Untuk mengatasi hal tersebut maka hasil
seleksi atau pengumpulan biji dan pembiakan dari pohon plus harus ditanam pada
daerah yang memberikan dukungan maksimum terhadap pertumbuhannya, sehingga
mampu menekan faktor yang merugikan dan mendukung dengan cepat faktor yang
diinginkan. Penilaian hasil pemilihan dapat terdektesi pada kualitas kayu juvenil yang
dibentuk pertama kali.

PERLAKUAN SILVIKULTUR
Untuk dapat memahami perlakuan silvikultur yang dapat mengendalikan
kualitas kayu diprlikn pengertian pertumbuhan kayu dan hubungan yang erat antara
kualitas kayu dengan pertumbuhannya pada suatu spesies kayu (Domiggo, 1974,
dalam prayitno, 1995). Pertumbuhan kayu pada umumnya ditentukan oleh banyaknya
sel yang membelah diri, baik melalui kambium sebagai pertumbuhan sekunder atau
titik tumbuh apikal sebagai pertumbuhan primer.
Larson (1963, dalam Lantican, 1975) menyebutkan bahwa bentuk mahkota
daun (tajuk) beserta intensitas hijau daun sangat mempengaruhi pembelahan sel
lapisan kambium bagi pertumbuhan. Lapisan kambium sebagai titik tumbuh lateral
akan berfungsi pada waktu mendapat dorongan dari hormon pertumbuhan yang
ditentukan oleh tajuk tersebut. Bila hormon pertumbuhan tidak diberikan oleh tajuk
maka kambium juga tidak aktif, dan ini disebut sebagai masa dormani. Apabila
mendapat hormon pertumbuhan, maka lapisan kambium akan aktif membelah diri
memproduksi sel kayu dan kulit. Aktivitas kambium tidak hanya ditentukan oleh
adanya hormon pertumbuhan, tetapi juga dipengaruhi oleh hormon tambahan lain dan
tersedianya unsur kehidupan, seperti air, mineral, dan karbohidrat.
Besarnya diameter sel yang diproduksi ditentukan oleh hormon
pertumbuhan secara domina, sedangkan tebal dinding sel ditentukan jumlah
karbohidrat yang dikandung oleh pohon tersebut sebagai hasil fotosintesis atau
simpana dalam parenkim. Pada waktu pembentukan tunas, semua karbohidrat yang
diproduksi dipakai untuk mengembangkan daun dan hanya sisanya yang diberikan
kepada kambium. Ini berarti, selama pertumbuhan awal (pembentukan kayu awal)
hormon auksin melimpah sehingga menyebabkan pertumbuhan diameter sel yang
besar, tetapi jumlah karbohidrat tersedia yang kecil menyebabkan penebalan dinding
sel terbatas sehingga sel-sel kayu awal berdiameter besar dan berdinding tipis. Di saat
berikutnya dimana perkembangan daun dari tunas sudah selesai hormon pertumbuhan
habis sehingga perkembangan diameter sel terhambat. Sedangkan daun yang
terbentuk ikut memproduksi karbohidrat yang menyebabkan dinding sel tebal dan
kumpulan sel ini membentuk kayu akhir (Panshin and de Zeeuw, 1970).
Dengan demikian ukuran tajuk dan distribusinya dapat dikendalikan dengan
perlakuan silvikultur. Perlakuan silvikultur yang dapat mengendalikan kualitas kayu
melalui manipulasi tajuk, antara lain pengaturan jarak tanam, penjarangan
pemupukan, dan pemangkasan.

PENGATURAN JARAK TANAM

5
Dengan anggapan bahwa tersedianya unsur hara dan air terbatas dan sinar
matahari yang maksimum disukai untuk pertumbuhan, maka pohon-pohon dengan
jarak tanam yang lebar akan tumbuh lebih cepat dari pada yang rapat. Apabila konsep
ini digabungkan dengan pengetahuan bahwa kecepatan tumbuh pada spesies pohon
berhubungan dengan kerapatan kayunya, dan sifat-sifat seperti kekuatan dan
kestabilan dimensi erat hubungannya dengan kerapatan kayu, mudahlah untuk
melihat bagaimana jarak tanam dapat mempengaruhi sifat-sifat kayu.
Pengaturan jarak tanam mengatur besarnya mahkota pohon (tajuk) pada
awal pertumbuhan tanaman. Jarak tanam yang lebar memberikan ruangan yang
sangat luas kepada pohon untuk mengembangkan mahkota pohon. Mahkota yang
besar dapat menghasilkan hormon pertumbuhan yang besar kuantitasnya sehingga
menhasilkan pertumbuhan kayu yang besar pula, demikian sebaliknya. Pertumbuhan
yang besar akan menambahkan porsi kayu awal dan pengurangan porsi kayu akhir.
Hal ini mengakibatkan berat jenis kayu dan panjang serat menurun.
Pada kayu daun lebar, untuk memproduksi kayu berkualitas dikerjakan
dengan memacu kecepatan pertumbuhan awal atau menyeimbangkan pertumbuhan
awal dengan pertumbuhan sekunder. Pada kayu daun jarum diusahakan pertumbuhan
awal yang diperlambat agar terjadi pengurangan kelemahan kayu akibat kayu juvenil.
Jarak tanam yang besar pada penanaman kembali lahan-lahan yang terbuka
dapat mengakibatkan proporsi kayu juvenil yang lebih tinggi, mata kayu lebih besar
dan banyak, dan keruncingan batang agak lebih besar daripada yang tumbuh pada
jarak yang lebih rapat. Apabila menanam pohon untuk produksi kayu perkakas, dari
segi kualitas kayu mungkin lebih baik untuk mengelolanya dengan pertumbuhan yang
relatif lambat untuk 5-10 tahun yang pertama, dengan tindakan-tindakan kemudian
untuk mempercepat pertumbuhan.

PEMANGKASAN
Pemangkasan adalah suat tindakan pemeliharaan tegakan yang dilakukan
dengan cara memotong ranting-ranting bagian bawah pohon. Kegiatan dengan
memotong cabang-cabang dari bagian yang terpilih ini antara lain bertujuan untuk
mengurangi terjadinya mata kayu dalam kayu yang diproduksi berikutnya. Daniel
dkk, (1995) menyatakan bahwa pemangkasan secara alami telah dilakukan oleh
beberapa jenis tanaman, dan biasanya dilakukan pada waktu tanaman masih berumur
muda. Namun demikian, karena tingkat kemampuan memangkas diri dari setiap jenis
pohon berbeda-beda, maka perlu dibantu secara buatan. Kegiatan pemangkasan
buatan perlu dilakukan karena dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas kayu
yang akan dihasilkan. Pemangkasan ini bertujuan untuk mengatur pertumbuhan
tegakan, merangsang pembungaan dan pembuahan, dan mencegah penularan
serangan hama penyakit.
Pemangkasan menggambarkan perubahan strukur tajuk menjadi berkurang,
sehingga mengurangi jumlah karbohidrat yang diproduksi, lebih lanjut akan
mengurangi kecepatan pertumbuhan. Pemangkasan cabang akan mempertahankan
tajuk tetap berada di atas, sehingga kambium yang di puncaj selalu membelah
sedangkan yang di bawah tidak demikian. Ini akan mengurangi bentuk batang yang
lancip dan berubah kebentuk silinder. Pemangkasan dapat meningkatkan kualitas
kayu bulat untuk gergajian dan vebir secara nyata. Untuk keefektifan yang
maksimum, pemangkasan harus dipusatkan pada bagian yang lebih rendah atau
bawah dar piohon-pohon yang besar.
Pemangkasan cabang pada umur yang sangat muda diduga menekan
perkembangan serat teruntir. Pemangkasa cabang akan mengurangi penyimpangan
arah serat dan mereduksi banyaknya mata kayu dan pembatasan pembentukan kayu
awal dipangkal pohon (Suseno dan rudjiman, 1980).

PENJARANGAN

7
Penjarangan adalah suatu tindakan silvikultur yang dilakukan denga cara
mengurangi jumlah pohon dalam tegakan. Hal ini dimaksudkan untuk rung tumbuh
yang optimal bagi pohon-pohon tinggal, sehingga memberikan dorongan bagi sistem
akar dan mahkota pohon untuk berkembang lebih cepat. Penjarangan mengurangi
persaingan akan unsur hara, air dan cahaya matahari, serta memusatkan pertumbuhan
pada jumlah batang yang lebih sedikit.
Dengan perlakuan penjarangan maka mahkota akan menyelimuti pohon dan
menyebabkan fotosintesis meningkat, sehingga akan menghasilkan dinding sel yang
besar. Disamping itu karena pertunasan bertambah maka porsi kayu juvenil
bertambah di bagian titik tumbuh apikal dan produksi kayu akhir berkurang . bagi
kayu daun lebar karena sifat percabangan yang dimiliki maka terjadi percabangan
baru sehingga mahkota pohon dapat menutup batang dan memproduksi kayu awal.
Sedangkan untuk kayu daun jarum karena tidak dapat membuat cabang baru dibagian
bawah, maka akan menghasilkan kayu berkualitas tinggi dengan batang silindris,
bebas cabang dan lurus.
Karena pengaruhnya atas perkembangan tajuk dan laju pertumbuhan,
penjarangan dapat berpengaruh buruk terhadap sejumlah parameter kualitas kayu.
Pengaruh-pengaruh ini dapat diminimumkan karena dapat ditelusuri pada pemilihan
waktu penjarangan. Apabila dikerjakan pada awal kehidupan tegakan, penjarangan
dapat memiliki pengaruh yang sama seperti jarak tenam yang lebar. Suatu pengaruh
penjarangan awal adalah bertambahnya ukura kayu juvenil karena bertambahnya
lebar lingkaran tumbuh pada daerah ini. Penjarangan awal dapat pula menyebabkan
perpanjangan waktu juvenil, mengakibatkan daeraah peralihan yang lebih lebar.
Selama proporsi kayu juvenil dalam batang naik akibat penjarangan. Kayu akan dapat
diharapkan memiliki kerapatan dan kekuatan yang lebih rendah, serat lebih pendek,
penyusutan longitudinal lebih besarsesudah pengeringan dan proporsi lignin lebih
besar. Penundaan penjarangan hingga sesudah tahap kayu juvenil akan menghindari
masalah-masalah ini bila kayu akan digunakan untuk memproduksi kayu perkakas.
Strategi ini menghindari perkembangan inti kayu juvenil besar yang tidak semestinya,
dan hasilnya adalah pembentukan kayu dewasa yang rapat dan seragam. Penundaan
penjarangan juga meminimumkan perkembangan mata kayu pada pokok batang
bagian bawah.

PEMUPUKAN
Perlakuan lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan kenaikan laju
pertunbuhan meliputi modifikasi tempat tumbuh lewat praktik-praktik budidaya
adalah pemupukan. Pemakaian pupuk akan merangsang pertumbuhan dengan
menaikkan tersedianya unsur hara sehingga merangsang perkembangan tajuk dan luas
permukaan fotosintesis.
Kualitas kayu dipengaruhi oleh tempat tumbuh sehubungan dengan
penyediaan nutrisi dan kondisi lingkungan bagi pertumbuhan. Tanah yang subur
memproduksi mahkota pohon yang lebat dan berakibat pada pembentukan kayu awal
atau kayu juvenil yang besar. Pemupukan merupakan usaha perlakuan silvikultur
berupa tindakan penambahan bahan kimia yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
pertumbuhannya. Dengan pemupukan mahkota pohon bertambah lebat sehingga akan
menghasilkan karbohidrat yang berlimpah. Karbohidrat yang di produksi dipakai
untuk mengembangkan daun dan hanya sisanya yang diberikan kepada kambium
untuk membentuk kayu awal.
Pada tanaman muda, kegiatan pemupukan akan menurunkan kualitas kayu
karena akan diproduksi kayu juvenil, dan menunda terbentukya kayu dewasa. Pada
tanaman yang lebih tua (tingkat tiang atau yang lebih lanjut) pemupukan akan
memproduksi kayu dewasa sehingga menghasilkan kayu yang berkualitas.
Pemupukan yang dilakukan pada tegakan muda akan memprbesar ukuran cabang-
cabang individual dan menunda pemangkasan alami. Oleh karena itu pemilihan
waktu pemupukan adalah penting. Menurut Carmean dan Boyce (1974, dalam
sushardi, 1998), meskipun ukuran vabang bertambah pada tempat-tempat tumbuh
yang lebih baik, jarak antar ruas buku di antara lingkaran-lingkaran cabag juga
bertambah. Dengan demikian apabila perlakuan pemupukan digabungkan dengan
pemangkasan, kualitas kayu bulat dapat ditingkatkan secara nyata.
Menurut Lantican (1975), pengaruh pemupukan terhadap kualitas kayu
dapat menyebabkan: 1) Pertumbuhan diameter menjadi besar, 2) Proporsi kayu awal
lebih besar, 3) Pnjang serat dan ketebalan dinding sel menurun, dan 4) berat jenis
kayu menurun.

Penelitin-penelitian sifat permesinan kayu daun lebar yang ditumbuhkan


secara cepat, umumnya tidak menunjukkan adanya pengaruh-pengaruh merugikan
dan merusak pada kekuatan kayu (Prayitno,1995). Dengan demikian perlakuan
pemupukan untuk menumbuhkan pohon selama daur yang relatif panjang sebaiknya
diperhitungkan untuk meminimumkan proporsi waktu juvenildalam batang bila ingin
memproduksi kayu bulat. Pada pohon-pohon yang ditumbuhkan untuk kayu pulp,
pentngnya meminimumkan kayu juvenil tergantung pada sifat-sifat spesifik yng
dibutuhkan untuk kertas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa tidak terdapat
perbedaan dalam sifat-sifat kertas antara kayu dari pohon yang dipupuk dan yang
tidak, kecuali pada kekuatan tariknya.

PENUTUP

9
Berkaitan dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam dalam
menyediakan kayu yang diperlukan untuk industri, aka dengan digalakkannya
pembangunan HTI, sebagian besar bahan baku industri akan berasal dari hutan
tanaman tersebut. Untuk itu, berbagai pendekatan yang sesuai perlu dilakukan, agar
komoditi kayu yang dikembangkan memenuhi tuntutan kebutuhan bahan baku bagi
industri. Upaya tersebut disamping melalui pengembangan teknologi pengolahan
kayu, praktik pemuliaan terhadap jenis yang menjadi komoditi merupakan alternatif
lain yang perlu ditingatkan.
Praktik pemuliaan terhadap jenis yang menjadi komoditi dilakuka melalui
tindakan perbaikan genetis dan penyediaan lingkungan penanamanyang dapat
memberikan dukungan maksimum bagi pertumbuhan jenis tersebut. Namun begitu,
aplikasi dari praktik pemuliaan ini tetap harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan
akhir dari produk kayu.
DAFTAR PUSTAKA
Daniel, T.W., J.A. Helms, dan F.S. Baker, 1995, Prinsip-Prinsip Silvikultur, Edisi
Kedua, Terjemahan Oleh Djoko Marsono, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Haygreen, J.G dan J.L. Bowyer, 1989, Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar,
Terjemahan Dari Sutjipto A. Hadikusumo, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Lantican, C.B., 1975, Variability and Control of Wood Quality, Inagural Lecture
UPBL, Lagunan.
Panshin, A.J. and Carl de Zeeuw, 1970, Text Book of Wood Technologi, 3rd Ed.
McGrawHill Book Company.
Prayitno, T.A., 1995, Pertumbuhan dan Kualitas Kayu, Diktat Mata Kuliah, Pasca
Sarjana Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Suhardi, 1998, Perana Silvikultur Dalam Meningkatkan Kualitas Kayu Hutan
Tanman Industri, Makalah Seminar Silvikultur Lanjut, Pasca Sarjana
Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Soerianegara, I., 1969, Fungsi Pemuliaan Pohon Dalam Pembinaan Hutan Industri,
Laporan No. 102 Lembaga Penelitian Hutan Dirijen Kehutanan Departemen
Pertanian RI, Disunting Kembali Dalam Gagagsan, Pemikiran dan Karya
Prof. Dr. Ir. H. Ishemat Soerianegara, M.Sc, 1996, Fahutan IPB, Bogor.
Soeseno, O.H. dan Rudjiman, 1980, Pemangkasan Pada Jati Untuk Meningkatkan
ProduksKayu Berkualitas Tinggi, Jurusan Pembinaan Hutan, Fahutan UGM,
Yogyakarta.
Suhaendi, H., 1993, Program Nasional Pemuliaan Pohon di Indonesia, Prosiding
Lokakarya Pemuliaan dan Perbenihan Pohon Hutan, 25-26 Agustus 1993,
Yogyakarta.

11
Lampiran 1. Penggolongan dari Pemuliaan Kayu Dan Bahan Lain Untuk
Industri (Soerianegara, 1969).
Bahan Penggunaan Syarat
Kayu Kertas Kayu berserat panjang (Koniver 4 mm <): berat
jenis rendah (0,5 >) untuk kertas berkualitas
rendah (kertas koran, dsb.) dan berat jenis
tinggi untuk kertas berkualitas tinggi.
Kayu dari batang bengkuk atau melilit tidak
baik, karena mengandung banyak compression
wood yang berkadar lignin tinggi dan berserat
panjang.
Pulp Diutamakan kayu berserat pendek(2 mm>),
untuk pencampur kertas, pembuat rayon dsb.
Kayu Lapis Kayu harus mudah dikupas, berstruktur halus
dan rata, berserat lurus, berat jenis rendah, tidak
mengandung banyak mata kayu; batang harus
lurus berdiameter 60-80 cm.
Korek Api Syarat seperti kayu lapis, kayu tidak banyak
mengandung hars, diameter batang dap[at lebih
kecil (30-50 cm).
Pensil Kayu harus mudah dikerat, berserat halus dan
merata, berat jenis 0.4-0.6.
Bahan Bangunan Terutama batang bulat, lurus, panjang, tak
Dan Konstruksi bercacat, awet, kuat, berat jenis tinggi.
Mebel, Vinir, Kayu tergolong kuat, memperlihatkan warna,
Dan Kayu Luks garis dan gambar yang bagu.
Perkapalan Terutama batang bulat, lurus, panjang, awet,
kuat, berat jenis > 0.7
Kulit kayu Tanin Kadar tanin terhadap kulit kering > 20%
Getah dan Lateks, Damar, Kadar getah 50-40 %.
hars Kopal,
gondorukem,
terpentin

Daun Minyak Kayu


putih

Buah Minyak
tengkawang
Lampiran 2. Jenis-jenis Pohon yang Diprioritaskan Pemuliaannya menurut Tujuan
Penggunaan (Suhaendi, 1993).

Tujuan Penggunaan Jenis-jenis Yang Dipilih


Bahan baku pulp, kertas, dan rayon Pinus merkusii, Agathis lorantifolia,
aucaliptus sp., Albizia falcataria, Acacia
mangium, Shorea spp., Araucaria sp.
Kayu lapis Shorea spp., Agathis sp., Podocarpus
imbricata, Anthocephalus cadamba,
Aleurites moluccana.
Korek api dan pensil Pinus merkusii, Agathis sp., Podocarpus
imbricata, Anthocephalus cadamba,
Aleurites moluccana, Shorea spp.
Bahan bangunan dan konstruksi Dipterocarpus sp., Tectona grandis,
swietenia macrophylla
Meubel vinir dan kayu luks Tectona grandis, Dalbergia latifolia,
Manilkara kauki, Diospyros celebica,
pterocarpus sp.
Kayu energi Acacia auriculiformis, Calliandra sp.,
Leucaena leucocephala, Gliricideasp.,
Casuarina sp.
gondorukem, terpentin dan tengkawang Pinus merkusii, Shorea spp.

13

You might also like