You are on page 1of 7

A.

Pendahuluan
Teori hukum berasal dan merupakan gabungan dari dua suku kata Teori dan Hukum . Dimana salah satu
pertanyaan pertama ketika awal mempelajari dan berbicara mengenai hukum adalah apakah hukum
itu?, akan tetapi baik mulai sejak Plato sampai Hart, dari Aritoeteles hingga Dworkin, sampai dengan
saat ini belum terdapat jawaban dan definisi atau rumusan pengertian mengenai hukum yang
memuaskan dan baku, melainkan pengertian hukum dikaitkan dengan teks dan konteks apa hukum
tersebut dibicarakan.
Teori hukum, menurut Bruggink, adalah merupakan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling
berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan.
Sebagaimana teori pada umumnya, demikian pula teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori
hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab
rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan
teoritik bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses, adalah karena teori
hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum.
Berkaitan dengan ruang lingkup penyeledikan teori hukum tersebut, menurut Dias, meliputi: faktor-
faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari
kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, bagaimana daya berlakunya, dan dapatkah hukum itu
dikembangkan.
Sedangkan menurut Otje Salman dan Anthon F. Susanto, adapun ruang lingkup teori hukum meliputi:
mengapa hukum berlaku?, apa dasar kekuatan mengikatnya?, apa yang menjadi tujuan hukum?,
bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?, apa hubungan dilakukan oleh hukum?, apakah keadilan
itu, bagaimana hukum yang adil.
Sementara itu, teori hukum, menurut Budiono Kusumohamidjojo, merupakan usaha untuk mendekati
atau menerangkan kompleks hukum sebagai fenomena dengan bertolak dari postulat-postulat atau
premis-premis tertentu, dapat bersifat historis (mazhab Historis) atau dialektis (mazhab Dialektis),
ataupun bertolak dari kenyataan hukum postif (mazhab Positivis) atau dari ambisi untuk membebaskan
hukum dai anasir-anasir politik dan kekuasaan (mazhab hukum Murni).
Antara teori hukum dengan filsafat hukum sangat berdampingan erat, bahkan adakalanya sangat sulit
dibedakan antara satu dengan lainnya, dan adakalanya juga objek penyelidikan filsafat hukum adalah
juga merupakan objek penyeledikan teori hukum. Dimana tugas teori hukum, menurut Radbruch, adalah
untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang
paling dalam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat hukum juga membicarakan teori hukum, tetapi filsafat
hukum tidak mengajukan suatu teori hukum. Dimana didalamnya terdapat pula kesamaannya, yakni
filsafat hukum dan teori hukum sama-sama tidak membatasi diri pada hukum yang berlaku, melainkan
pada usaha pencarian hukum yang benar dalam arti ius constituendum. Akan tetapi terdapat pula
perbedaannya, yakni teori hukum bertitik tolak dari suatu teori (hypothesis) tertentu, sedangkan filsafat
hukum merupakan diskursus yang terbuka yang tidak membatasi diri pada postulat, premis atau metode
tertentu.
Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau
menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat. Oleh karenanya, agar dapat memahami
suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial
kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang
bersangkutan.
Berbicara mengenai lahir, tumbuh dan berkembangnya teori hukum, maka dapat dikemukakan adanya
beberapa aliran/mazhab hukum menurut para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1. aliran/mazhab hukum menurut F.S.G. Northrop terdiri dari:
a. Legal Positivism;
b. Pragmatic Legal Realism;
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence;
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence;
e. Natural Jurisprudence.
2. sedangkan aliran/mazhab hukum menurut Friedmann terdiri dari:
a. aliran yang didasarkan atas hukum alam berdasarkan nilai-nilai abadi (naturalistic jurisprudence);
b. aliran yang didasarkan filsafat masalah keadilan;
c. aliran yang didasarkan atas pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum;
d. aliran positivisme dan positivisme hukum;
e. aliran hukum yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan (mamfaat).
3. ada tiga berpikir, menurut G.W. Paton, tentang hukum, yaitu:
a. the pure science of law.
b. functional/sociological jurisprudence.
c. Teological jurisprudence.
4. sementara itu, sebagai kesimpulan menurut Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, adapun penggolongan
aliran/mazhab hukum adalah sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam (hukum kodrat), dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
(1) aliran hukum alam yang irrasional;
(2) aliran hukum alam yang rasional;
b. Aliran hukum positif, dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
(1) aliran hukum positif yang analitis;
(2) aliran hukum positif yang murni;
c. Aliran Utilitarianisme;
d. Mazhab Sejarah;
e. Sociological Jurisprudensi;
f. Pragmatic Legal Realism.

Dari pembagian aliran/mazhab hukum tersebut, adalah menarik untuk mengkaji lebih lanjut, dimanakah
kedudukan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut.
Untuk itu, penulis memilih judul “Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum Dalam Perspektif Teori
Hukum”. Meskipun teori hukum tidak berbicara mengenai realitas hukum dan hukum positif tertentu.
Karenanya tulisan ini tidak akan membahas secara mendalam dan menyeluruh semua aliran/mazhab
hukum tersebut, akan tetapi dan melainkan dibatasi oleh dan dengan yang berkaitan dengan peranan
hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut. Kalaupun terjadi
penyebutan aliran/mazhab hukum tertentu, maka hal tersebut adalah merupakan penjelasan teks dan
konteks tulisan yang bersangkutan.

B. Pembahasan
Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat diulepaskan dari pembicaraan hubungan antara
hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat.
Antara Undang-undang dengan Hakim/pengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara
satu dengan lainnya.
Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa aliran yaitu:
(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada
menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de
la loi).
Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan
Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional.
Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.

(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.


(a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap,
namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-
undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang
menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme)
sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan
perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik)
sebagai tujuan—bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.

(b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-
undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan
hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-
tingginya, dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi
kemanfaatan masyarakat.
Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum
kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau
“Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi hakim untuk membentuk dan
menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya
dan dihadapkan padanya itu.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.

(c) Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya
sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan
masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch.
(d) Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het
recht—karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim
atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa
menambah luasnya sistem hukum tersebut.

Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum.
Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu
ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum”
atau “Penciptaan Hukum”. Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya
sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan
peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan Penciptaan hukum ini
memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur
dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya. Dari ketiga istilah tersebut,
menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum, karena sesuai dengan
ketentuan pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman.
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, ada dua jenis
yaitu: (1) Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk
pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada
peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. (2)
Penemuan Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh
pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim
memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak
kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis
yaitu:(1) Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir
yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. (2)Penemuan Hukum
dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan
atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-
sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan
utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke
hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan
pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam
rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum
terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai
dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang
dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan
tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang
dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang
bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang
dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh
oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.

Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan
perundang-undangan, yaitu:
(1) Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale
interpretatie) atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang
apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
(2) Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu
kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).
(3) Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan
penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).
(4) Interpretasi Teleologis (sosiologis), Hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari
undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap
peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.
(5) Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna
mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian
yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian
internasional ini penting.
(6) Interpretasi antisipatif (futusritis), hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius
constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada
kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang
belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius
constituendum), misalnya rancangan undang-undang.
(7) Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa,
dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
(8) Interpretasi ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang
terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.

Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap
perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut;
(2) tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi;
(3) zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.

Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis (konstruksi), yang
terdiri 4 (empat) jenis yaitu:
(1) argumentum per analogiam (Analogi) atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan
hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan
suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi
penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
(2) argumentum a contrario (a contrario), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang
yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit
yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim
mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara
kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya.
(3) Penghalusan hukum (rechtverfijning) atau penyempitan hukum (penghalusan hukum) atau
determinatie (pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Jadi Hakim bukan
membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim
melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan) baru terhadap peraturan
perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu
dipersempit dan diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit
tertentu yang dihadapkan padanya.
(4) fiksi hukum (fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi
benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi
baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum,
misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan
tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih
diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya
bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui
fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.

Dengan demikian, Hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat
hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru
dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak
ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau
sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto.
Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta
mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum (Rechtssicherheit) , kemamfaatan
(Zweckmassigkeiit) dan Keadilan (Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional
seimbang diantara ketiga unsur tersebut.
Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu
unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau
dikesampingkan begitu saja.
Karenanya dalam suatu sengketa bisnis, pengadilan perlu memperhatikan lingkungan bisnis Pemohon
dan Termohon Pailit yang bersangkutan dan memperhatikan asas kemanfaatan dengan
memperhitungkan untung rugi (cost benefit analysis) yang timbul sebagai akibat dari putusannya.
Misalnya, apakah putusannya tersebut akan memperlancar ataukah menghambat proses ekonomi.
Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti
sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan
diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.

C. Penutup
Oleh karena Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum
atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat, maka agar dapat memahami suatu
teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial
kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang
bersangkutan.
Meskipun teori hukum tidak difokuskan pada tahapan penyelesaian sengketa dan tidak difokuskan pula
pada hukum positif tertentu, akan tetapi teori hukum dapat digunakan sebagai pisau analisis dengan
pendekatan aliran hukum positif dan aliran penemuan hukum oleh hakim, untuk mengkaji peranan dan
putusan hukum hakim.
Putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan
pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang
kepadanya dihadapkan perkara tersebut.

You might also like