You are on page 1of 10

Resume Macam-Macam Akad Keuangan Perbankan Syariah

Postingan ini saya Share-kan setelah mengalami kekalahan telak pada olimpiade di UMY
kemarin,23/Mei/2009.Untuk itu, Saya Copas (copy paste) kan sedikit materi tersebut, untuk
sekedar menambal kekurangan tersebut sekaligus untuk mengingatkan pada moment berharga
tersebut.

Hal-hal penting dalam Akad Keuangan Syariah


Sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk
mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik
dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan permodalan (equity
financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan
(debt financing).

Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad
bagi hasil (profit and loss sharing}, sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan (equity
financing), dan akad-akad jual-beli (al bai') untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt
financing). Bank Islam tidak menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka
kegiatan komersial, karena setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan
atau janji pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional
perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan
pada prinsip-prinsip berikut:

a. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)

Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan
mudharabah (trustee profit sharing).

1). Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama
nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (syirkah
al inan)[9] sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara
proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting
right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak
menerima bagian ke-untungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau
sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka
kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal.[10]

Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek di
mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya.
Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank
atau lembaga keuangan. Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal
pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap.

Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada
pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya,
di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara
mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil,
sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.

2). Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Kontrak mudharabah[11] juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai
bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan
antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur
(mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah
tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit
ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi
trustee atas modal tersebut.

Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal
berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh
kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-
hasil) atas kerja yang telah dilakukannya.

Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat
menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan investor,
atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak
pengguna dana.

Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).[12]

a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk
menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola
bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang
sehat (uruf).

b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola
dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu
untuk menghasilkan keuntungan.

b. Prinsip Jual-Beli

Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang
dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga
barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh
(deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-
syarat al bai' menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of
exchange).
Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli,
termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan,
jual beli terbagi empat macam;[13]

1) Bai' al muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan
sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan
yang didasar-kan atas prinsip jual-beli.

2) Bai' al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang
(barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi
ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran
barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut
counter trade.

3) Bai' al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang
asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing
yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral
(telegrafic transfer atau mail transfer).

4) Bai' as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas
barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan
diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai' as salam biasanya dilakukan
untuk produk-produk pertanian jangka pendek.

Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;[14]

1) Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut
penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil.

2) Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga
pokok dan keuntungan yang didapatnya.

3) Bai' al muwadha'ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang
lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini
biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat
rendah.

4) Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama
dengan harga pokok barang.

Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai' al istishna', yaitu kontrak jual-beli di
mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan
syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan
kemudian.
Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah
adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai' al murabahah, bai' as- salam dan bai' al istishna'.

a. Al-Murabahah

Murabahah adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini
berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.:

"Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah
(nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah,
bukan untuk diperjualbelikan."(HR. Ibnu Majah)

Al Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut
penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang
haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya
harus disebutkan dengan jelas.

Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang
(penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan
dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun
dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran
adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari
pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan
yang diambil oleh bank.

Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan
maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama,
bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran
ini disebut juga bai' bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli
barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan
harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai
dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada
nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya
untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai
lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan
barang tersebut.

b. Bai' as Salam

Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai' as salam adalah akad jual-beli suatu barang di
mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam
jangka waktu yang disepakati.[15]

Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara lain:

Ibn Abbas berkata: "Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar
dihalalkan oleh Allah dan diizinkan," kemudian ia membaca ayat 282 dari QS Al Baqarah.

Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah:
"Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu" (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn
Hibban). Oleh karena itu dalam bai' as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang
dipesan dapat dipenuhi.

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana mereka
melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun,
lalu beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu."(HR.
Bukhari)[16]

Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah
dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga
yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai
yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk
memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu
dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan
transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga
dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga
melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.

Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima
pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah
barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan
pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan
itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual
kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh
bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah
daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu
menjadi keuntungan bank.

c. Bai' al-Istishna'

Bai' al-Istishna' adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni') dengan


produsen/penjual (shani') di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu
dengan kriteria yang jelas. Istishna' hampir sama dengan bai' as salam, bedanya hanya terletak
pada cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada
istishna' pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara
bertahap.

Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani' ke-1) kepada pemesan/pembeli dan
mensubkannya kepada produsen (shani' ke-2).

3. Prinsip Sewa dan Sewa-Beli


Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina' atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh
para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini
secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa
adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas
barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut
pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina' atau al ijarah muntahiyah bi
tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah
(sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

4. Prinsip Qard

Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan[17]. Dalam
literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu', yaitu akad saling membantu dan bukan
transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat
memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada
pihak-pihak yang patut mendapatkannya.

Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun
syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi
bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad
ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan
segera untuk jangka waktu yang sangat pendek

5. Prinsip Al Wadi'ah

Wadi'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk
dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida', yang menitipkan disebut mudi' dan yang menerima
titipan disebut wadi'[18]. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi'ah adalah akad antara
pemilik barang (mudi') dengan penerima titipan (wadi') untuk menjaga harta/modal (ida') dari
kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.

Ada dua tipe wadi'ah, yaitu wadi'ah yad amanah dan wadi'ah yad dhamanah.[19]

a). Wadi'ah Yad Amanah

Wadi'ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima
kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi'ah yad
dhamanah.

Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset
tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan
tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi'ah yad amanah akan berubah menjadi wadi'ah
yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur,
dan (2) custodian menggunakan harta titipan.

Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-
surat berharga (custodian).

b). Wadi'ah Yad Dhamanah

Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee
yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan
bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
tersebut.

Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan jasa
penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-
waktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam
perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta
titipan dalam perdagangan.

Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan
selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian
atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan
penerimaan kembali atas simpanan mereka.

Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status
simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus
kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.

6. Prinsip Lainnya

a). Prinsip Rahn

Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang
memungkinkan untuk ditarik kembali.[20] Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan
barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.

Rahn adalah satu jenis transaksi tabaru', karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk
murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu,[21] ia termasuk transaksi (uqud)
'ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah diterima 'ain al ma'qud. Dan akad
(transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah, i'arah, ida', qard dan rahn. Tabaru' itu tidak sempurna
kecuali dengan qard.

Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang
berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri
untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti
pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat
apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

b). Prinsip Wakalah

Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu
urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.[22]

Ada beberapa jenis wakalah, antara lain:

Ø Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala
urusan.

Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-
urusan tertentu.

Ø Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana
daripada al mutlaqah.

Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan
Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar
negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak
lain.

c). Prinsip Kafalah

Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam
tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang
ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa,
utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak
dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.

Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang
(penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran
utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat tentang bolehnya
kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang berpiutang tidak
dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang.[23] Dalam lembaga keuangan, akad ini
terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank guarantee).

Ada tiga jenis kafalah, yaitu:

1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guarantee);

2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam
perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan
pembayaran (payment bond).
3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan
tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek
(performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).

d). Prinsip Hawalah

Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini
ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal
atau da'in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal 'alaih).[24]

Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu:

1) Hawalah mutlaqah: Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak
mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi,
kalau muhal 'alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini
harus dengan keridaan tiga pihak (da'in, madin dan muhal 'alaih).

2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang
ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan
mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal
'alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis dan
jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak sah.

Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang
(factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan
mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.

e). Prinsip Ju'alah

Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak
kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama.[25] Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan
berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi
Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS)

f). Prinsip Sharf

Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di
mana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing
lainnya[26]. Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan
catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits, antara lain: (1)
harus tunai; (2) serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak; dan (3) bila dipertukarkan
mata uang yang sama harus dalam jumlah/kuantitas yang sama.

You might also like