You are on page 1of 9

AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM

I. AKAL
Kata akal yang menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab Al `aqli yang terbentuk dalam kata
benda. Berlainan dengan kata Al wahyi ,tidak terdapat dalam Al qur`an. Dalam pemahaman
Prof. Izuttsu, kata ‘aql dijaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical
intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut dengan kecakapan memecahkan
masalah (Problem Solving Capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali Ia dihadapkan pada suatu
problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang Ia hadapi.’Aqala juga
mengandung arti, memahami dan berfikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pengertian,
pemikiran dan pemahaman dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala.
Akal terbagi menjadi dua bagian :
A. Akal praktis (‘Aamilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera
pengingat yang ada pada jiwa binatang.seperti contoh : insting seekor kucing ketika dipukul oleh
seseorang , maka pada suatu ketika saat dia beertemu dengan orang yang memukulnya, maka dia
akan lari namun dia tidak tahu sampai kapanpun mengenai mengapa dia dipukul.
B. Akal teoritis (‘Aalimah) yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam
materi seperti Tuhan, roh dan Malaikat.
Akal praktis memutuskan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan. Akal teorotis
sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia materi dan menangkap
keumuman (kulliat universals).
Akal teoritis mempunysi empat derajat antara lain :
a. Akal Materil (Al-‘aqli al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang
kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam alam
materi.akal ini belum keluar, jadi harus dicari dan diciptakan.
b. Akal bakat (al-aqli bil malakah), yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni
abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Akal ini
sudah tercipta tinggal manusianya yang mengembangkan.
c. Akal aktuil (al-aqlli bil al-fi’li) yaitu akal yang telah dan lebih mudah dan lebih banyak dapat
menangkap pengertian dan kaidah dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti
abstrak itu, yang dapt dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d. Akal perolehan (Al-‘aqli al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut
selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal ini adalah milik para Nabi dan
rasul Allah.
Akal dalam derajat keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Maka kaum teolog
Islam mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail, akal
adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang yang dapat
memperbedakan antara dirinya dan benda-benda satu dari yang lain, akal mempunyai daya untuk
mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap panca indera.
Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara baik
dan buruk. Akal dalam pengetian Islam, bukanlah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat
dalam jiwa manusia. Daya yang digambarkan dalam Al qur’an, memperoleh pengetahuan
dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam
Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri Manusia yaitu Tuhan.
II. Wahyu
Wahyu berasal dari kata Arab Al wahyu, yaitu suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga
berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al wahyu selanjutnya berarti pemberitahuan secara
tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan
Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian
sabda Tuhan kepada orang pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan
pegangan hidup.sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan
umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik didunia ini maupun diakhirat kelak.
Ada tiga cara penyampaian wahyu, yang pertama, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk
ilham. Kedua, dari belakang tabir sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Dan yang
ketiga, melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya
komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dan manusia yang besrsifat materi. Menurut
ajaran tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang
berpusat dihati sanubari. Dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni, sufi
mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan
perhatian dan usaha pada pensucian jiwa, dengan banyak beribadah, melakukan shalat dan
berpuasa , membaca Al qur’an dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi semakin
bersih dan jernih sehingga Ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan. Dalam
Tasawuf dikenal tingkatan ma’rifah, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya,
dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Dalam pada itu komunikasi seorang sufi dengan Tuhan
tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karna wahyu adalah khusus bagi Nabi-nabi dan Rasul-
rasul.

III. Pergulatan antara akal dan wahyu


Masalah akal dan wahyu dalan pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks – manakah diantara
keduanya, akal atau wahyu – sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang
kewajiban berterima kasih pada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang
kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal
mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu, aliran
maturidiyah Samarkand yang juga penganut pemikiran kalam rasional, mengatakan bahwa
kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai
kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya. Sebaliknya aliran asy’ariyah, sebagai penganut
pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan,
sedangkan tiga hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk, serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat, diketahui manusia berdasarkan
wahyu.sementara aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam
tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui Tuhan dan
mengetahui yang baik dan yang buruk, dapat diketahui melalui akal, sedangkan dua hal lainnya,
yakni kewajiban berterima kasih pada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta
meninggalkan yang buruk, hanya diketahui dengan wahyu.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand untuk
menopang pendapat mereka adalah surat fushilat ayat 53,surat al-ghasyiyah ayat 17 dan surat al-
a’raf ayat 185. Tiga ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah mewajibkan perenungan
dan pemikiran terhadap ciptaanNya agar diketahui bahwa dia Maha pencipta. Ini berarti bahwa
ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu.
Karena manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui bahwa kekufuran itu haram,
karena kekufuran itu sesuatu yang dibenci oleh Allah. Oleh sebab itu, dengan kemampuan
akalnya manusia mampu mengetahui bahwa beriman pada Allah itu adalah wajib.
Sementara itu. Aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat al-Qur’an sebagai dalil dalam
rangka memperkuat pendapat mereka. Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isra’, ayat 134
surat thaha, ayat 164 surat an-nisa’ dan ayat 8-9 surat al-mulk. Ayat-ayat tersebut menjelaskan
bahwa Allah baru memberikan ganjaran atas perbuatan manusia yang baik dan yang buruk
setelah Nabi dan Rasul di utus. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan agama
hanya bisa diketahui oleh manusia dengan perantaraan Nabi dan Rasul, tidak dengan akalnya
semata-mata. Kewajiban-kewajiban baru ada setelah diberitahukan oleh Allah. Keimanan dan
kekufuran tidak dapat diketahui kecuali dengan pengabaran seseorang yang diutus oleh Allah,
demikian pula kewajiban tidaklah tergambar kecuali sesudah diutusnya rasul. Sedikit agak aneh
memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama adalah bidang politik,
bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi
persoalan tidak pernah berhenti. Kesimpulannya, munculnya persoalan-persoalan aqidah dalam
Islaman men seperti pelaku dosa besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan
”rebutan kursi” , jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah persoalan-persoalan teologi
berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi bermacam-macam
diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga
sekarang. Demikian juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan
porsi pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam. Persoalan
wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas yang terjadi diluar mereka apakah
harus melihat dan memahaminya lewat akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul
dalam menyikapi ini secara garis besar dapat dibagi kepada dua mazhab yaitu mazhab rasional
(ra’yu) yang diwakili oleh mu’tazilah dimana kemudian filosof tergabung didalamnya dan
mazhab non rasional (wahyu), yang diwakili oleh teolog-teolog Islam konservatif dan
fundamentalis yang sampai hari ini pengaruhnya ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asy’ariah
(Sunni/Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Dalam sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan
kufur adalah diskursus yang telah membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan spektakuler
dalam kegemilangan peradaban Islam di ranah ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya
diskursus ini penuh dengan kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus
ini pula telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan sesat kepada teolog, filsuf
dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia
semesta.
Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur telah dikuasai
oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya wahyu
adalah yang utama. Dalam pandangan Asy’ariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka
tidaklah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh
Mu’tazilah.
Demikian juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman ortodoksi Islam
yang mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh orang-
orang beriman dan hanya ada pada golongan Asy’ariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi
Ahlus Sunnah wal Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga tidak ada
keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka sudah di anggap ingkar Allah dan
ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatnya.
Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti definisi di atas
dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ), definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di
monopoli oleh lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir adalah : ”
inilah tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus dipegang umat Islam saat ini jika ingin
selamat, tidak boleh ada peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam
tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal Jama’ah semuanya sesat dan
kufur, tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi direlatifkan. Persoalan selanjutnya, Dalam konteks
kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam persoalan iman dan kufur, apakah
ini sesuatu yang tidak bisa di interpretasikan lagi. Apakah persoalan tauhid sesautu yang sudah
final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa dinterpretasikan lagi dan didekati dengan
persfektif lain diluar ilmu tauhid ?. demikian juga dengan persoalan wahyu dan akal, apakah
benar sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal harus tunduk kepada wahyu, akal
hanyalah pelayan wahyu. Apakah ortodoksi pemahaman tauhid seperti diatas (teologi asy’ary)
berpengaruh terhadap eksistensi dan etos kerja umat Islam saat ini yang mundur, terbelakang,
bergulat dengan kemiskinan. Apakah benar tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan
aqidah dan apakah perlu kita mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai dengan
konteks kekinian dan dengan pendekatan dan persfektif lain ?
Menyimak pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan sinergiskan dengan model
dunia dan kehidupan saat ini yang semakin lama semakin maju, modern dan canggih saja.
Artinya, keadaan yang semakin modern ini perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan pola
pemikiran sesuai dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan terus tertinggal karena tidak bisa
mengejar, menyamai apalagi bersaing. Misalnya, jika sedang hujan, kita malah menjajakan es ,
apa yang akan terjadi ?.
Pola tingkah, pola kerja dan pola pikir umat Islam bersumber dari ketauhidan mereka. Seperti
apa definisi tauhid yang mereka yakini, seperti itu juga turunan tingkah, kerja dan pemikiran
mereka. Hari ini, tauhid yang diyakini oleh umat Islam adalah tauhidnya Sunni, yang
mengajarkan seperti disebutkan diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu jalan
keselamatan, wahyu harus diatas segala-galanya, sehingga kita dapat melihat di Indonesia
khususnya dan belahan dunia Islam lain pada umumnya, bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid
seperti ini adalah umat yang eksklusif, fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan
kerusakan dan tindakan bar-bar.
Fenomena diatas terjadi dikarenakan tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan persfektif
yang memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan perfektif kontekstual. Artinya
tanpa mau mengerti bahwa teks tauhid yang dinggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari
konfigurasi pemikiran dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi dikarenakan Islam yang
di agungkan dan dipraktekkan adalah Islam Syari’at yang diyakini paripurna, mutlak dan absolut,
bukan Islam peradaban, yang semuanya serba relatif, yang dengan Islam seperti ini sebenarnya
telah membawa Islam kepada puncak kejayaan dalam sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan.
Tauhid teks – wahyu diatas segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada keselamatan diluar
komunitas sendiri – dalam perfektif Syari’at melahirkan umat yang rigid (kaku), tidak ada
kebebasan dalam berfikir, dan suka melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam
konteks peradaban – akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif – akan menghasilkan umat
yang toleran, humanis, bebas berfikir, yang semua ini merupakan sebuah syarat kemajuan dalam
komunitas global.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan tauhid tekstual dan tauhid
kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak seperti itu, dan masing-masing berdiri
sendiri. tanpa bisa didialogkan lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan akal,
iman dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak. Tidak bisa jika persfektif yang
digunakan adalah persfektif Islam paripurna (Islam Syari’at) dan bisa jika perfektif yang
digunakan adalah persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih jelasnya kita sebut
dengan persfektif pemikiran ke Islaman.
Tujuan mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh ortodoksi Islam, yang
mengharamkan kebebasan berfikir, dan tujuan mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah
kritis, wahyu dan akal, iman dan kufur, untuk interpretasi dan reaktualisasi tauhid dalam konteks
kekinian dengan pola adanya kebebasan berfikir diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan
jawaban, bagaimanakah sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada akal, atau malah
sebaliknya, atau malah kita tidak perlu kepada wahyu, cukup dengan akal dan apakah tauhid itu
aqidah ataukah hanya sebuah pemikiran. Mari kita dialogkan ini secara kritis.
Dalam sejarah Islam sebagai khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam akan mudah di
pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena persoalan teologi, filsafat, tasawuf,
politik dalam Islam, ushul fiqh termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari
persfektif pemkiran ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir, semuanya relatif, tanpa ada
vonis sesat dan takfir. Inilah yang tidak dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu
aspek (Syari’at), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya merupakan nyawa atas
keberlangsungan sebuah agama.
Menurut Lutfi Assyauakanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar dari permusuhan
dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak awal, kaum muslim terbelah dalam
menyikapi perubahan sosial yang terjadi disekitar mereka, apakah harus melihat dan
memahaminya lewat akal atau wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada
wahyu, karena mereka meyakini bahwa segala sesautu didunia ini sudah termaktub dalam al-
Quran. Kalaupun tidak ada disana, mereka meyakini bahwa al-Quran memberikan sinyalemen-
sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain, wahyu harus didahulukan diatas akal dalam menilai apa
saja. Sementara itu bagi filosof dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang
paling berharga, lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tidak akan bisa
dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu berbenturan, maka wahyu haruslah
diinterpretasikan.
Dalam sejarahnya, hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Dalam Islam,
pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatife kecil, hal ini dikarenakan tidak pernah
terjadi sebuah revolusi sains seperti yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan
dalam Islam relatif ”sejalan” dengan ideologi ortodoksi. Bahkan beberapa sains dalam Islam
berkembang pesat akibat langsung dari ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda
dengan pemikiran spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Pandangan
– pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber
utamanya adalah kecurigaan di gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam.
Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan Pengetahuan
manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima
pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering
diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun
iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan
wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi
filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran.
Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam
memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran
pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang
kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini,
dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau
fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai
sumber pengetahuan.

FUNGSI WAHYU
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia diakhirat. Sebagaimana kata ‘Abd. Jabbar, akal
tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang
ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak dapat mengetahui
bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan
buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu. Demikian
pula pendapat Al Jubba’i, wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan
diperoleh oleh manusia diakhirat kelak.
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah juga mempunyai fungsi informasi dan konfirmasi, memperkuat
apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh
akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal.
DAFTAR PUSTAKA
• Nasution, Harun, akal dan wahyu dalam iaslam, cet. Ke-II, Jakarta: UI Press. 1986.
• Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, cet. Ke-5, Jakarta: UI
Press. 1986.
• Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran kalam Tafsir Al azhar, Jakarta: Permadani, 2004.
• [i] . Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Harun
Nasution, UI-Press, Jakarta 1986.

0 komentar:

You might also like