You are on page 1of 16

Tidak ada penyebab ketidakadilan

dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi,

karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.”

Sari Mehmed Pasha

“Hai orang-orang beriman,

janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil,

kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku

dengan suka sama suka di antara kamu…”

al-Qur'an, Surat an-Nisâ': 29

Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh
banyak orang di negeri ini adalah “ korupsi ”. Bukan tidak mau menghindar dan bertobat, melainkan jika
tidak melakukannya rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang berarti dari yang
dilakukannya. Ini yang sering kali dijadikan alasan oleh “para koruptor” bahwa korupsi itu bukan karena
tindakan yang kotor melainkan sistem birokrasi dan sistem pemerintahan kita mengkondisikan para
birokrat, politisi, dan semua yang bersentuhan dengan sistem itu untuk korupsi. Artinya “korupsi” di negeri
ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan adalah persoalan sistemikstruktural yang telah
mengakar sedemikian rupa.

Hal lain yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum (law
enforcement). Hingga hari ini, belum ada koruptor meskipun jelas diketahui khalayak dihukum setimpal
dengan perbuatannya. Kalaupun ada yang dihukum (masih bisa dihitung jari) dirasa oleh masyarakat
masih belum adil. Selain aturan hukum tentang korupsi tidak tegas, juga aparat penegak hukumnya
masih bisa dipermainkan dan ditukar-tukaruntuk tidak mengatakan “dibeli”.

Oleh karenanya bisa dipahami jika keterpurukan Indonesia ke dalam multikrisis ini dinilai oleh banyak
pihak akibat korupsi yang terus menerus dilakukan ke semua alokasi keuangan, termasuk ke dalam
alokasi dana bantuan presiden (banpres) dan dana-dana non-bugeter lainnya. Tetapi dengan mencoba
memahami ini, tidak berarti kita membiarkan korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Tulisan berikut tak
bermaksud menawarkan “jalan keluar” atas kompleksitas soal korupsi, melainkan sekadar ingin
menyodorkan pandangan-tegas Islam atas korupsi. Pandangan ini rasanya penting dikemukakan ke
hadapan publik selain ingin menunjukkan ketegasan Islam anti korupsi, juga menyadarkan umat Islam
sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar koruptor-koruptor di negeri ini adalah
beragama Islam.

Apa itu Korupsi?


Sebelum mengkajinya lebih jauh, harus clear dulu makna dan tipologi korupsi. Kata “korupsi” berasal dari
bahasa Latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960).
Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan
suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk
(seperti suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya (abuse of power).” Suapan sendiri
diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau
dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang dalam
kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn 'Abidin, suapan (risywah)
dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah atau lainnya
supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.

Dalam konteks untuk memperoleh kebebasan politik, prakarsa perorangan, transparansi, dan
perlindungan hak-hak warga negara terhadap otoritas negara yang otoriter, Syed Hussein Alatas dalam
Corruption Its Nature, Causes and Functions membedakan tujuh tipologi korupsi yang berkembang
selama ini. Pertama, transactive corruption, yakni korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan
timbal-balik antara pihak penyuap dan penerima suap demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan
aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.

Tipologi ini umumnya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah. Kedua,
extortive corruption (korupsi yang memeras), yakni pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar
mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, dan hal-hal yang dihargainya.
Ketiga, investive corruption, yakni korupsi dalam bentuk pemberian barang atau jasa tanpa ada
pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibanyangkan akan diperoleh di
masa yang akan datang. Tipe keempat adalah supportive corruption, korupsi yang secara tidak
langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain untuk melindungi dan memperkuat
korupsi yang sudah ada. Kelima, nepostistic corruption, yakni korupsi yang menunjukkan tidak sahnya
teman atau sanak famili untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau perilaku yang memberi
tindakan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau lainnya kepada teman atau sanak famili secara
bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku. Keenam, defensive corruption, yakni perilaku
korban korupsi dengan pemerasan untuk mempertahankan diri. George L. Yaney menjelaskan bahwa
pada abad 18 dan 19, para petani Rusia menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan mereka.
Tipe ini bukan pelaku korupsi, karena perbuatan orang yang diperas bukanlah korupsi. Hanya perbuatan
pelaku yang memeras sajalah yang disebut korupsi. Terakhir, autogenic corruption adalah korupsi yang
tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.

Pada esensinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati
kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi
kehidupan manusia secara sistematis, sehingga masalah korupsi merupakan masalah yang bersifat
lintas-sistemik dan melekat pada semua sistem sosial, baik sistem feodalisme, kapitalisme, komunisme,
maupun sosialisme.

Pandangan dan Sikap Islam


Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen
mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi
sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta (iqâmat al-'adâlah
alijtimâ'iyyah wa al-mashlahat al-'âmmah), korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari
amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh
karena itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas
(sharih).

Dalam al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa
padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orangorang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu…” Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.”
Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari
keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: “penyuap dan
penerima suap itu masuk ke neraka.”
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabi'in), maupun para ulama periode
sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi penyuap, penerima
suap maupun perantaranya. Meski ada perbedaan sedikit mengenai kriteria kecenderungan mendekati
korupsi sebab implikasi yang ditimbulkannya, tetapi prinsip dasar hukum korupsi adalah haram dan
dilarang.

Ini artinya, secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja
perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya
tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk
dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram”
itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn
Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.

Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani
Umayyah, sebagai prototipe Muslim anti korupsi. Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordernary, suatu
figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat
mempertimbangkan dan memilahmilah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga.
Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan (changeble). “Pada suatu malam, Khalifah Umar
bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba
salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebeum masuk, ditanya oleh Khalifah,
“Ada apa Anda malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya.
“Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika
itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya
dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan
urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Kh alifah. Sang
anakpun mengiyakannya.

Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan good
qovernance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk
kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz?

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela
ini.Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling
bawah, menengah sampai kalangan atas.  Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku
korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam lingkup
masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat
amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan
pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun
hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota
belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai
milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya
dengan mengambil salah satu hadits Nabi n berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat
menghindari ataupun mewaspadai bahayanya. (Redaksi).

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((‫طا فَ َما فَوْ قَهُ َكانَ ُغلُواًل يَأْتِي بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬ ً َ‫)) َم ْن ا ْستَ ْع َم ْلنَاهُ ِم ْن ُك ْم َعلَى َع َم ٍل فَ َكتَ َمنَا ِم ْخي‬، ‫ار‬ِ U‫ص‬َ ‫ َو ُد ِم ْن اأْل َ ْن‬U ‫ ٌل أَ ْس‬U‫ فَقَا َم إِلَ ْي ِه َر ُج‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
‫آْل‬ ُ ُ َ َ َ َ
‫ َم ْن‬، َ‫ (( َوأنَا أقولهُ ا ن‬:‫ قَا َل‬،‫ك تَقو ُل َكذا َو َكذا‬ ُ َ ‫ َس ِم ْعت‬:‫ قَا َل‬،))‫ (( َو َما لكَ ؟‬:‫ قَا َل‬،َ‫ يَا َرسُو َل ِ اقبَلْ َعني َع َملك‬:‫ فَقَا َل‬،‫َكأَنِّي أنظ ُر إِل ْي ِه‬
ُ َ َ ِّ ْ ‫هَّللا‬ َ ُ ْ َ
ُ
))‫ير ِه فَ َما أوتِ َي ِم ْنهُ أَ َخ َذ َو َما نُ ِه َي َع ْنهُ ا ْنتَهَى‬ِ ِ‫ا ْستَ ْع َم ْلنَاهُ ِم ْن ُك ْم َعلَى َع َم ٍل فَ ْليَ ِجئْ بِقَلِيلِ ِه َو َكث‬.

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu,
harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”.
(‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah
jabatanku yang engkau tugaskan.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Ada apa gerangan?”
Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan
di atas, Pen.).”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di
antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa
(seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia
(boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”

TAKHRIJ HADITS
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim
Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no.
3110.
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari
Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi z di atas. Adapun lafadz hadits di
atas dibawakan oleh Muslim.

BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU ‘ANHU


Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin
Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits
Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Ada pula yang
berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.

MUFRADAT (KOSA KATA)


Kata ghululan (ً‫وال‬UUُ‫ ) ُغل‬dalam lafadz Muslim, atau ghullun (‫ ٌّل‬U‫ ) ُغ‬dalam lafadz Abu Dawud,
keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di
antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (‫ ) َغ َّل‬yang berarti khianat
ْ pada asalnya bermakna khianat dalam
[2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul ( ‫و ُل‬UUُ‫)ال ُغل‬,
urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum
dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan
secara sembunyi-sembunyi.[4]

ْ di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh


Jadi, kata ghulul (‫)ال ُغلُو ُل‬
seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya
(tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang,
perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.

MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang
ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil
pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya,
di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia
ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari
Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya.
Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.

Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini
merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, agar
setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari
pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.

SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak
yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti
ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َ ِ‫)) َم ِن ا ْستَ ْع َم ْلنَاهُ َعلَى َع َم ٍل فَ َر َز ْقنَاهُ ِر ْزقا ً فَ َما أَ َخ َذ بَ ْع َد َذل‬.


((‫ك فَه َُو ُغلُو ٌل‬

“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji)
untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”.[5]

Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja
(petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang
menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]

Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama
pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas
mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat
menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak
menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :



“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa
yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu …” [Ali Imran: 161].

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi
Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.

Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah)
perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian
mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini untuk
menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.

Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian
rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan
apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan
seperti itu.

Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat
di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan
perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”

Ibnu Katsir mengatakan,”Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]

Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia
dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firmanNya :

َ‫اس بِاأْل ِ ْث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ْ ْ


ِ َّ‫َوال تَأ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأ ُكلُوا فَ ِريقا ً ِم ْن أَ ْم َوا ِل الن‬

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui” [al Baqarah/2:188]

Juga firmanNya :

ِ َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
‫اط ِل‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil…” [an Nisaa`/4 : 29].

Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy
bin ‘Amirah Radhiyallahu ‘anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu ‘anhu di atas.

PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang
diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati,
manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu
waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung
jawab kita.

Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.

1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan :

((‫ ٌد بَنَى بُيُوتًا َولَ ْم‬U‫ا َواَل أَ َح‬UUَ‫ا َولَ َّما يَ ْب ِن بِه‬UUَ‫ ُد أَ ْن يَ ْبنِ َي بِه‬U‫ َو ي ُِري‬Uُ‫ َرأَ ٍة َوه‬U‫ك بُضْ َع ا ْم‬ َ َ‫َغزَا نَبِ ٌّي ِم ْن اأْل َ ْنبِيَا ِء فَقَا َل لِقَوْ ِم ِه اَل يَ ْتبَ ْعنِي َر ُج ٌل َمل‬
ِ ‫ال لِل َّش ْم‬
‫س‬ َ َ‫صاَل ةَ ْال َعصْ ِر أَوْ قَ ِريبًا ِم ْن َذلِكَ فَق‬ َ ‫ت َوهُ َو يَ ْنتَ ِظ ُر ِواَل َدهَا فَ َغ َزا فَ َدنَا ِم ْن ْالقَرْ يَ ِة‬ ٍ ‫يَرْ فَ ْع ُسقُوفَهَا َواَل أَ َح ٌد ا ْشتَ َرى َغنَ ًما أَوْ َخلِفَا‬
ْ ْ
َ Uَ‫ار لِتَأ ُكلَهَا فَلَ ْم تَط َع ْمهَا فَق‬
‫ال إِ َّن‬U َ َّ‫ت يَ ْعنِي الن‬ ْ ‫هَّللا‬
ْ ‫ت َحتَّى فَتَ َح ُ َعلَ ْي ِه فَ َج َم َع ال َغنَائِ َم فَ َجا َء‬ ْ ‫ورةٌ َوأَنَا َمأْ ُمو ٌر اللَّهُ َّم احْ بِ ْسهَا َعلَ ْينَا فَ ُحبِ َس‬ َ ‫ك َمأْ ُم‬ ِ َّ‫إِن‬
‫ت يَ ُد َر ُجلَ ْي ِن أَوْ ثَاَل ثَ ٍة بِيَ ِد ِه فَقَا َل‬ َُ ‫ت يَ ُد َر ُج ٍل بِيَ ِد ِه فَقَا َل فِي ُك ْم ْال ُغلُو ُل فَ ْليُبَايِ ْعنِي قَبِيلَت‬
ْ َ‫ك فَلَ ِزق‬ ْ َ‫فِي ُك ْم ُغلُواًل فَ ْليُبَايِ ْعنِي ِم ْن ُك ِّل قَبِيلَ ٍة َر ُج ٌل فَلَ ِزق‬
ْ
‫ا‬Uَ‫ ْعفَنَا َو َعجْ َزن‬U‫ض‬ َ ‫ ثُ َّم أَ َح َّل هَّللا ُ لَنَا ْال َغنَائِ َم َرأَى‬،‫ت النَّا ُر فَأ َ َكلَ ْتهَا‬
ْ ‫ضعُوهَا فَ َجا َء‬ َ ‫ب فَ َو‬ ِ َ‫الذه‬َّ ‫س بَقَ َر ٍة ِم ْن‬ ِ ‫س ِم ْث ِل َرأ‬ ٍ ‫فِي ُك ْم ْال ُغلُو ُل فَ َجا ُءوا بِ َر ْأ‬
‫))فَأ َ َحلَّهَا لَنَا‬

“Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : “Tidak boleh mengikutiku
(berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum
melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum
memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang
sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”.

Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau
hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : “Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku
pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami,” maka tertahanlah matahari itu
hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang.
Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi
itu) pun berseru (kepada kaumnya): “Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul
(mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari
setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku,” kemudian ada tangan seseorang menempel ke
tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di antara kalian ada (yang
berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku,” kemudian ada
tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi
itu) berkata,”Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul,” maka mereka datang membawa emas
sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya.
Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat
kelemahan kita.[9]

2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).


Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak
jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya,
dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia
ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada
petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :

َ ‫ت أَبِيكَ َوأُ ِّم‬


(( ‫ك فَنَظَرْ تَ أَيُ ْهدَى لَكَ أَ ْم اَل‬ ِ ‫))أَفَاَل قَ َعدْتَ فِي بَ ْي‬

“Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi
hadiah (oleh orang lain) atau tidak?”

Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

((‫ا ٌء َوإِ ْن‬UU‫هُ ُر َغ‬Uَ‫ ِه ل‬Uِ‫ ا َء ب‬U‫يرًا َج‬UU‫انَ بَ ِع‬UU‫ ِه إِ ْن َك‬Uِ‫فَ َوالَّ ِذي نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه اَل يَ ُغلُّ أَ َح ُد ُك ْم ِم ْنهَا َش ْيئًا إِاَّل َجا َء بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة يَحْ ِملُهُ َعلَى ُعنُق‬
ْ ‫َت بَقَ َرةً َجا َء بِهَا لَهَا ُخ َوا ٌر َوإِ ْن َكان‬
‫َت َشاةً َجا َء بِهَا تَ ْي َع ُر‬ ْ ‫)) َكان‬

“(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari
kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang
pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu)
bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia
ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [10]

3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang
menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

ِ ‫))هَدَايَا ْال ُع َّم‬


((‫ال ُغلُو ٌل‬

“Hadiah untuk para petugas adalah ghulul”. [11]

4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat
amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat
peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah
memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah
lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami
tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia
ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat
(bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari
keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :

1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari
Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin
‘Amirah Radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

((… ْ‫َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه اَل يَأْ ُخ ُذ أَ َح ٌد ِم ْنهُ َش ْيئًا إِاَّل َجا َء بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة يَحْ ِملُهُ َعلَى َرقَبَتِ ِه إِ ْن َكانَ بَ ِعيرًا لَهُ ُرغَا ٌء أَوْ بَقَ َرةً لَهَا ُخ َوا ٌر أَو‬
‫))… َشاةً تَ ْي َع ُر‬

“Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu
daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di
lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil)
seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka
(kambing itu pun) bersuara …” [13]

2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :

((… ‫))فَإ ِ َّن ْال ُغلُو َل عَا ٌر َعلَى أَ ْهلِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َو َشنَا ٌر َونَا ٌر‬

“…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi
pelakunya”. [14]

3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan
atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:

ِ ُ‫ث َدخَ َل ْال َجنَّةَ ِم ْن ْال ِكب ِْر َو ْال ُغل‬


((‫ول َوال َّدي ِْن‬ ٍ ‫ق الرُّ و ُح ْال َج َس َد َوهُ َو بَ ِري ٌء ِم ْن ثَاَل‬ َ َ‫)) َم ْن ف‬
َ ‫ار‬

“Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka
ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang”. [15]

4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ٍ ُ‫ص َدقَةٌ ِم ْن ُغل‬


((‫ول‬ ٍ ‫صاَل ةٌ بِ َغي ِْر طُه‬
َ ‫ُور َواَل‬ َ ‫))اَل تُ ْقبَ ُل‬

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul
(korupsi)”.[16]
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat
menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

(( ‫ت‬ ِ ‫ا‬UUَ‫وا ِم ْن الطَّيِّب‬UUُ‫ ُل ُكل‬U‫ا الرُّ ُس‬UUَ‫ا أَيُّه‬Uَ‫ال ي‬U


َ َ‫لِينَ فَق‬U‫ ِه ْال ُمرْ َس‬Uِ‫ َر ب‬U‫ا أَ َم‬UU‫ؤ ِمنِينَ بِ َم‬U
ْ ‫ر ْال ُم‬U
َ U‫طيِّبًا َوإِ َّن هَّللا َ أَ َم‬ َ َ ‫أَيُّهَا النَّاسُ إِ َّن هَّللا‬
َ ‫طيِّبٌ اَل يَ ْقبَ ُل إِاَّل‬
ْ َ َ ْ َ َ َ َ ُ ُ ْ
‫ت َما َرزَ قنَاك ْم ث َّم ذك َر ال َّرج َُل ي ُِطي ُل ال َّسف َر أش َعث أغبَ َر‬ َ ْ ُ ُ ُ َّ َ ُ
ِ ‫صالِحًا إِنِّي بِ َما تَ ْع َملونَ َعلِي ٌم َوقا َل يَا أيُّهَا ال ِذينَ آ َمنوا كلوا ِمن طيِّبَا‬
َ َ ‫َوا ْع َملُوا‬
َ ْ
َ‫ي بِال َح َر ِام فَأنَّى يُ ْست ََجابُ لِ َذلِك‬ ْ ْ
َ ‫))يَ ُم ُّد يَ َد ْي ِه إِلَى ال َّس َما ِء يَا َربِّ يَا َربِّ َو َمط َع ُمهُ َح َرا ٌم َو َم ْش َربُهُ َح َرا ٌم َو َملبَ ُسهُ َح َرا ٌم َو ُغ ِذ‬

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan
sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah
perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,”Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik
dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
Dia (Allah) juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari
yang Kami rizkikan kepada kamu,” kemudian beliau (Rasulullah) n menceritakan seseorang
yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit
(seraya berdo’a): “Ya Rabb…, ya Rabb…,” tetapi makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya
akan dikabulkan?”. [17]

Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan
Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga
uraian singkat ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats,
Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh
Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang kisah seorang nabi
(sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka
memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan
perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang
tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was
Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul
Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan
Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-
im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta
Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan
lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits
no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam
Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al
Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh
Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329,
dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu ‘Umar dan
Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu ‘anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa
Tarbiyatuha, hadits no. 1686.

TINDAK PIDANA KORUPSI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

 A. Latar Belakang

Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk

Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di Asia. Indonesia

terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam.

            Thailand, malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang

menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan

dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling korup berada pada nilai 9,25
derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67; Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai

dari 0 derajat sampai 10.

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat

korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini termasuk yang paling

tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki

Indonesia sebagai the envelope country. Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut

lebih dari Rp.300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan

hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang

biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara

menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh

semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak

pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.

Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat di negara ini dicap

sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self seeking, dan rent seeker, khususnya di

hadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan,

konon, birokrat Jepang dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk

melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga negara.

Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila

sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian menganga, maka korupsi makin

melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain

tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang

miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah dipeoleh, sikap konsumtif
menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola produktif, akhirnya timbul

inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi yang telah tersedia.

Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini. Akibat

perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh bangsa ini harus

menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan

hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah,

birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa bisa melakukan korupsi. Hal ini bisa terjadi barangkali

karena dahulu orang mengganggap bahwa yang bisa korupsi hanya orang-orang orde baru

sehingga mumpung sekarang orde baru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’ perilaku

korup yang dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali seperti

yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa kekerasan yang dilakukan

masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom, tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu

sendiri. Artinya, antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah

kasus

korupsi. Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada masyarakat. Perilaku

korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan oleh

masyarakat biasa. Hal yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per

individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Misalnya korupsi yang

dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara

berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah

ke seluruh lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan,

Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:


a.      Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu

memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

b.      Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

c.      Kolonialisme.

d.      Kurangnya pendidikan.

e.      Kemiskinan.

f.        Tiadanya hukuman yang keras.

g.      Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

h.      Struktur pemerintahan.

i.        Perubahan radikal.

j.         Keadaan masyarakat

Sementara Soejono memandang bahwa faktor terjadinya korupsi, khususnya di

Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang

ekonomi dan keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai

perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah,

dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman

modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang

perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor penyebab terjadinya korupsi.


Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini menurut Moh.

Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak

didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde

Baru ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan.

Upaya hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak

hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan. Faktor lainnya adalah

hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat (Rule of Law), tetapi

justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang

memiliki akses pada kekuasaan dan para pemilik modal (Rule by Law).

Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum

menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses,

sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki

modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri

ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat korup yang

berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable) Namun demikian sebenarnya usaha-usaha

pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu

nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit ini.

Penulis melihat karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim penting dan logis

kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana

perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia. Penulis

sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem

ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi dan
ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat

menimbulkan masalah besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab

memikirkan dan memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini.

Tentunya Islam

tidak bisa berbicara sendiri, harus ada usaha-usaha untuk menyuarakan konsep-konsep Islam,

salah satunya dengan membongkar dogma hukum Islam. Sejauh pengetahuan penulis, kata

korupsi secara literer memang tidak

ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan

ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul, sariqoh,

pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih

lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam untuk ikut memberantas tindakan korupsi.

Maka pada titik inilah menurut penulis penelitian ini penting untuk dilakukan tidak saja

untuk mengklarifikasi kegundahan-kegundahan sebagaimana yang dirasakan penulis di atas

tetapi lebih dari itu diharapkan bisa memberikan jalan keluar terhadap mewabahnya tindakan

korup ini dan bisa sama-sama ikut serta menegakkan supremasi hukum di negeri berpenduduk

Muslim terbesar di dunia in

You might also like