Professional Documents
Culture Documents
Merger dan akuisisi perusahaan perbankan kembali marak terjadi di Indonesia pada akhir-
akhir ini. Sukses merger dari bank papan atas seperti Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank
Permata telah merangsang bank-bank pada papan menengah seperti Bank Haga dan Bank
Hagakita untuk bergabung dengan pihak bank asing Rabobank. Dan terakhir ini kita melihat
adanya minat dari bank-bank kecil menengah (Bank Harta, Bank Mitraniaga, Bank Harmoni) untuk
melakukan strategi serupa, sebagaimana diuraikan pada artikel Fahmi Achmad pada Bisnis
Indonesia 14 Nopember 2006.
Strategi merger dan akuisisi merupakan salah satu bentuk strategi populer, yang awalnya naik
daun pada era tahun 1970an.
Proses ini didorong oleh 3 faktor utama:
(a)semakin menyatunya sistem perekonomian regional dan perekonomian dunia,
(b) adanya ekspansi perusahaan2 MNC ke berbagai negara, dan
(c) berbagai terobosan teknologi informasi dan telekomunikasi setelah tahun 1980 yang
memudahkan proses alih informasi dan kapital.
Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah ekonomi Asia Timur
dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak terjadinya kemelut di industri
perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga perbankan yang menghadapi permasalahan dan
bahkan kemudian kolaps akibat krisis tersebut.
Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian tertolong dengan
dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi “merger dan akuisisi”.
Proses merger dan akuisisi di industri perbankan memang memiliki baik dampak yang positip
maupun dampak yang negatip, tergantung dari perspektif kita memandangnya. Keberhasilan upaya
merger dan akuisisi memerlukan keuletan dan jalan yang cukup berliku bagi berbagai pihak yang
ingin sukses menerapkan kebijakan ini.
Dampak Langsung dan Tidak Langsung.
Strategi merger dan akuisisi yang terjadi di industri perbankan dapat memberikan dampak
langsung pada perusahaan yang melakukan proses merger.
Secara mikroekonomi, penerapan strategi ini ternyata disamping dapat memberikan pengaruh
yang positip; dapat juga memberikan rekaman hitam dalam bentuk kekecewaan, konflik dan bahkan
kegagalan dari proses itu sendiri. Pada tingkat makro ekonomi, sementara ini strategi merger dan
akuisisi belum memberikan dampak positif yang besar.
Pengaruh Mikroekonomi
Begitu dua atau lebih organisasi perbankan melakukan strategi merger maka akan terjadi
perubahan tingkah laku dari perusahaan gabungan tersebut.
Dampak positip yang sering dilaporkan adalah:
(1) Dimungkinkannya pertukaran cadangan cash flow secara internal antar perusahaan yang
melakukan merger, sehingga bank hasil merger dapat memanage risiko likuiditas dengan lebih
fleksibel.
(2) Diperolehnya peningkatan modal perusahaan (biasanya CAR akan meningkat tetapi tidak
terlalu cukup tinggi) dan adanya keunggulan dalam memanage biaya akibat bertambahnya skala
usaha.Efisiensi perusahaan dapat dilakukan lebih lanjut, khususnya dalam efisiensi biaya provisi
kredit.
(3) Dicapainya keunggulan market power dalam persaingan, yang kemudian dapat
memperbesar margin bunga pinjaman.
Tetapi proses merger itu sendiri dapat juga memberikan pengaruh negatif berikut ini:
(1) Karena proses merger biasanya dilakukan atas dorongan untuk cepat terselesaikannya
kemelut keuangan di salah satu bank peserta, maka harga penjualan sahamnya cenderung akan
dinilai dibawah harga pasar yang wajar.
(2) Proses merger biasanya diikuti dengan peningkatan ketidakpastian pada pihak Direksi,
manajer dan karyawan.
(3) Proses merger perbankan nasional di Indonesia biasanya diikuti dengan pengurangan
jumlah pegawai dan staf kurang profesional di perusahaan perbankan hasil merger.
(4) Terjadinya benturan kepentingan, kondisi saling curiga dan bahkan konflik diantara para
anggota komisaris dan direksi. Hal ini terjadi jika bank hasil merger tersebut dikuasai oleh lebih
satu pemegang saham pengendali. Sebagian anggota komisaris dan direksi yang ada cenderung
untuk berlomba mewakili kepentingan masing-masing pemilik dari bank hasil merger dengan
menunjukkan prestasi kelompoknya masing-masing.
(5) Kegiatan merger dalam dua tahun pertama cenderung diikuti dengan strategi efisiensi;
sehingga hal ini akan mengurangi semangat dan kreativitas dari sebagian pihak Direksi dan staf
profesional. Jika hal ini berlanjut cukup lama maka biasanya akan diikuti dengan proses exodus
para manager menengah yang profesional dan inovatif.
(6) Benturan budaya perusahaan tidak dapat dielakkan; sehingga tentunya perusahaan hasil
merger akan mengalami penurunan dalam jangka pendek.
Pengaruh Makro
Di beberapa negara berkembang lainnya di dunia, strategi merger biasa digunakan untuk
memperkuat dan memperluas kepemilikan Pemerintah pada industri perbankan. Alasannya
pelaksanaan strategi ini agar pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dengan
dukungan lembaga perbankan yang dikendalikan
Strategi ini ternyata tidak sepenuhnya berhasil, karena yang terjadi adalah mismanajemen
dalam pengelolaan organisasi bank merger yang semakin besar, dengan laporan banyaknya kejadian
kasus , penunjukan rekanan teman sendiri, inefisiensi penggunaan anggaran promosi dan anggaran
pengembangan, serta diketemukannya berbagai kasus korupsi.
Kasus di salah satu bank hasil merger di tanah air, membuktikan sebagian dari dugaan ini.
Kurangnya pengawasan dari pihak Dewan Komisaris, yang melimpahkan kewenangan yang lebih
besar pada pihak Direksi untuk memutuskan kelayakan kredit usaha pada jumlah yang besar, telah
membawa akibat meningkatnya angka NPL bank tersebut.
Dampak negatif terjadi karena tidak transparannya perusahaan merger milik pemerintah yang
tidak diawasi sepenuhnya oleh publik.
Pada perspektif yang lain,strategi merger dan akuisisi dipandang sebagai alat untuk
memperkuat struktur kapital perbankan secara makro — di lokasi operasi peserta bank merger.
Tujuan ini dilaksanakan agar tercapai proses penguatan landasan keuangan perbankan nasional
menuju konvergensi.
Dalam kaitan ini Bank Indonesia beberapa tahun terakhir telah merubah kebijakan publiknya
untuk mengundang partisipasi asing dalam proses merger bank-bank nasional di Indonesia –
sehingga diharapkan akan tercapai arsitektur pengaturan kapitalisasi perbankan secara bentuk
“kerucut piramida”. Kebijakan ini tentunya perlu dilakukan secara hati-hati, dan bahkan jika perlu
dikaji ulang, mengingat bukti-bukti empiris yang belum mendukung sepenuhnya dugaan tersebut.
Internasionalisasi kepemilikan asing dalam arsitektur perbankan nasional memiliki potensi yang
akan memberikan dampak negatip pada perekonomian nasional, mengingat beberapa potensi
ancaman berikut ini:
(1) Kemungkinan timbulnya kesenjangan antara proses akumulasi dana pihak ketiga dan
proses penyalurannya untuk kepentingan perekonomian lokal dan nasional.
(2) Kurangnya partisipasi bank asing dalam pendanaan kegiatan usaha berskala besar di
tanah air, seperti pendanaan program pembangunan infrastuktur, mengingat perhitungan
managemen resiko yang sangat ketat yang mereka jalankan.
(3) Pada saat kondisi politik di dalam negeri menghadapi skenario kemelut dan krisis, maka
cadangan bank-bank asing di Indonesia akan terjadi.
(4) Bank asing akan memindahkan sementara waktu dana yang terhimpun di dalam negeri ke
anak-anak perusahaan holding yang lokasinya terdekat, seperti di Singapura dan Hongkong.
(5) Tingkat multiplier penyerapan tenaga kerja di bank milik asing akan cenderung lebih
rendah dibandingkan dengan angka-angka multiplier pada perusahaan perbankan milik swasta
domestik dan perusahaan BUMN.
Atas dasar kondisi tersebut dan kemungkinan rapuhnya peta politik di dalam negeri pada
tahun-tahun mendatang, maka seharusnya Pemerintah meninjau kembali aturan tentang
kepemilikan asing dalam industri perbankan nasional.
Kebijakan membatasi porsi kepemilikan asing dalam perbankan nasional di tanah air
merupakan strategi kebijakan tambahan untuk terlaksananya proses merger secara aman di
Indonesia.
Kunci Sukses
Strategi merger dan akuisisi dapat berjalan sukses apabila memenuhi persyaratan berikut:
(1) Dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan dan menutupi kekurangan yang dimiliki
oleh bank peserta biasanya menyebabkan kegagalan proses merger dan akuisisi.
(2) Bank peserta perlu memiliki kemiripan budaya dan falsafah perusahaan yang tidak jauh
bertolak belakang.
(3) Bank peserta memiliki pimpinan perusahaan yang berdedikasi dan mampu
menyelesaikan konflik-konflik secara cepat, bijak dan arif; serta tidak bersifat otoriter.
(4) Bank peserta memiliki visi dan misi yang dapat dijalankan oleh bank yang telah
digabung. Lebih baik lagi jika pada masing-masing bank memiliki kemiripan fokus bisnis
(5) Proses implementasi pasca merger perlu dilakukan dengan melakukan proses harmonisasi
produk dan layanan baru, pemantapan dedikasi karyawan dan pembentukan platform dan sistem
prosedur yang seragam dan efisien.
Proses stabilisasi setelah merger akan memakan waktu cukup lama sekitar 2-3 tahun, dan
biarkanlah proses tersebut dilakukan dengan baik dan sempurna, tanpa cepat-sepat melakukan
proses divestasi lanjutan. (copyright@aditiawan chandra)
portalHR - www.portalhr.com
• Direktori
• Gudang Data HR
• Cetak Artikel
• Kirim ke Teman
• Lihat Komentar (1)
• Beri Komentar
• Blog
• About Me
• Buku
• Paper
• Artikel
• Tugas Kuliah
• Agenda
• Isu Sentral
search in blog...
A. Pendahuluan
Memperkuat industri perbankan adalah upaya berkesimbungan yang harus dilakukan. Upaya itu
dilakukan mengacu pada cetak biru industri perbankan yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia
(API). Salah satu program dalam API adalah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan
salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan
konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan efektivitas
pengawasan bank. Dalam rangka konsolidasi dilakukan penataan kembali struktur kepemilikan bank yang
dimaksudkan untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat sehingga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.[1]
Peningkatan modal bank merupakan salah satu upaya untuk memperkuat sistem perbankan. Dengan
permodalan yang kuat bank dapat mengemban risiko yang tinggi. Itulah sebabnya kecukupan modal tetap
merupakan fokus utama regulator dalam menciptakan bank yang sehat dan aman. Setidaknya ada empat
alasan mengapa regulator berupaya meningkatkan, memaksakan dan menekankan pentingnya kecukupan
modal bagi bank. Pertama, modal dapat menyerap kerugian yang timbul tidak terduga. Kedua, modal
melindungi kreditur yang tidak dijamin bila terjadi insolvensi dan kemungkinan terjadinya likuidasi. Ketiga,
modal melindungi dana lembaga penjamin simpanan dan dana pembayar pajak. Keempat, modal
memungkinkan bank melakukan investasi untuk keperluan memperlacar arus jasa.[2]
Modal bank-bank di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan modal bank di negara
tetangga padahal bank dikenal sebagai usaha padat modal dan berisiko tinggi. Rata-rata modal inti bank
umum di Indonesia adalah Rp.1.347,4 milyar[3] sedangkan di Malaysia Rp5.503,62 milyar, Thailand
Rp8.919,36 milyar, Philipina Rp1.961,32 milyar dan Singapura Rp34,976.88 milyar. [4] Tidak satupun bank
di Indonesia termasuk dalam 200 besar tingkat dunia bandingkan dengan Singapura yang memiliki tiga,
Thailand satu, India dua dan Korea Selatan tujuh. Dari 131 bank di Indonesia hanya sembilan bank yang
tercatat masuk dalam peringkat 1000 dunia. Bank Mandiri sebagai bank terbesar dari sisi aset hanya
menduduki peringkat ke 251 dunia.[5]
Untuk meningkatkan permodalan bank, Bank Indonesia menetapkan ketentuan agar bank umum
meningkatkan modal inti menjadi minimal Rp.80 milyar pada Desember 2007 dan minimal Rp100 milyar
pada Desember 2010. Dengan kewajiban untuk meningkatkan modal tersebut diharapkan akan terjadi
merger dan akuisisi sehingga struktur kepemilikan bank menjadi lebih sehat. Sejalan dengan kebijakan
peningkatan modal BI juga mengeluarkan ketentuan yang dikenal dengan kebijakan Kepemilikan Tunggal
Pada Perbankan Nasional atau populer dengan single presence policy (SPP). Ketentuan ini menetapkan,
setiap pihak, perorangan atau korporasi, hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu
bank.[6] Tujuannya adalah untuk mendorong konsolidasi perbankan dan mendukung efektivitas
pengawasan bank.
Ketentuan tentang SPP dimaksud tentunya berimplikasi pada pihak-pihak yang sudah menjadi
Pemegang Saham Pengendali di dua atau lebih bank. Untuk itu kepada mereka diberikan tiga pilihan agar
kepemilikannya pada bank sejalan dengan ketentuan SPP. Pertama, melepas kepemilikannya sehingga
hanya menjadi PSP pada satu bank. Kedua, menggabungkan (merger) bank yang dimiliki. Ketiga,
membentuk/mendirikan bank holding company (BHC) dan mengalihkan kepemilikan bank kepada
BHC[7]. Ketentuan SPP dikecualikan bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran. Pengecualian juga
berlaku bagi PSP yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan
prinsip berbeda yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
Menurut penulis paling tidak ada tiga masalah yang timbul dalam implementasi SPP. Pertama
penentuan pihak yang menjadi PSP bank. Hal ini terkait dengan ketentuan tentang ultimate shareholder
dalam menetapkan pemilik bank. Kedua pilihan yang ideal dari tiga opsi yang ditentukan dan ketiga,
khusus untuk bank milik pemerintah opsi apa yang sebaiknya dipilih. Ketiga masalah tersebut merupakan
issu yang dibahas dalam tulisan ini.
Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.[8] Pentingnya
persetujuan BI dilatarbelakangi pengalaman bahwa pemilik, direksi dan pejabat eksekutif bank merupakan
penanggung jawab utama menjaga bank tetap sehat dan kuat.. Secara bersama-sama pemilik dan
pengurus harus menciptakan kerangka pengawasan internal dalam menjalankan operasional bank dan
memastikan bahwa kegiatan usaha bank sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan aman.[9]
Struktur kepemilikan bank dapat menjadi insentif bagi pemilik untuk melakukan kegiatan yang tidak sehat
dan tidak aman. Bank dapat disalahgunakan menjadi sumber dana bagi pemilik. Pinjaman kepada orang
dalam merupakan faktor penyebab utama terjadinya bank bermasalah di banyak negara. Bilamana motivasi
memiliki bank adalah untuk merampoknya maka internal governance semata tidak akan dapat mencegah
hal tersebut.[10]
Soal penting tentang kepemilikan adalah menjawab pertanyaan siapa sebenarnya pemilik bank.
Pertanyaan timbul karena dalam hal kepemilikan terdapat dualisme pengertian yaitu legal owner (pemilik
yang tercatat menurut hukum) dan beneficial owner ((pihak yang menikmati manfaat ekonomis dari benda
yang dimiliki oleh legal owner). Sebagian ahli hukum perusahaan menyatakan bahwa sistem hukum
Indonesia yang mewarisi tradisi hukum kontinental tidak mengenal adanya dualisme kepemilikan.[11]
Adanya dualisme kepemilikan adalah akibat dianutnya konsep trust yang berasal dari tradisi common law.
Legal owner berfungsi sebagai pihak yang melakukan pemeliharaan atau pengurusan suatu harta kekayaan.
[12]
Dalam menetapkan pemilik bank, Bank Indonesia menerapkan konsep ultimate owner. Berdasarkan
konsep ini pemilik adalah pihak yang menerima manfaat atas kepemilikan tersebut (beneficial owner). Pihak
yang menerima manfaat tersebut dapat berbeda dengan legal owner. Oleh karena itu, pihak yang menerima
manfaat dari kepemilikan bank wajib diungkapkan. Kewajiban untuk mengungkapkan juga berlaku untuk
perusahaan terbuka. Hampir di semua negara maju terdapat ketentuan yang mewajibkan untuk
mengungkapkan kepentingan substantif suatu pihak terhadap perusahaan terbuka. Pada tahun 1972
Australia misalnya telah memberlakukan kewajiban agar suatu pihak yang memiliki secara substantif
saham suatu perusahaan publik untuk mengungkapkan kepemilikannya kepada perusahaan dan kepada
bursa dimana saham tersebut diperdagangkan. Berdasarkan ketentuan tersebut kewajiban tersebut muncul
bilamana suatu pihak memiliki hak suara pada suatu perusahaan sebesar 5%.[13]
Kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan dilandasi beberapa alasan. Pertama, identitas pemegang
saham pengendali atau calon pemegang saham pengendali suatu perusahaan merupakan informasi investasi
yang penting. Kedua, dalam rangka akuisisi keterbukaan informasi atas kepemilikan dimaksudkan untuk
menjamin agar peralihan pengendalian perusahaan berlangsung secara terbuka dan efisien. Ketiga, untuk
mencegah terjadinya insider trading dan manipulasi pasar.[14]
Penentuan bentuk hubungan hukum antara legal owner dengan beneficial owner terkadang sulit
dilakukan. Diketahuinya bentuk hubungan hukum perlu untuk menetapkan tanggung jawab masing-masing
pihak. Ada beberapa kemungkinan tentang hubungan hukum antara legal owner dan beneficial owner
yaitu nominee atau terjadi hubungan pengurusan, perwakilan atau keagenan. Masing-masing bentuk
hubungan hukum tersebut membawa konsekwensi hak dan tanggung jawab yang berbeda. Masalah lain
yang timbul dalam penentuan ultimate shareholder terjadi pada perusahaan dengan struktur kepemilikan
yang kompleks dan melibatkan perusahaan khusus (special purpose vehicle) atau pada kepemilikan yang
melibatkan investment bank.[15]
Konsep kepemilikan perusahaan ini sering menimbulkan pertanyaan tentang apakah badan hukum
(legal personality) dapat dimiliki dalam segala bentuk dan cara yang efektif. Akan selalu ada biaya keagenan
dalam setiap struktur perusahaan dimana seseorang selain manajemen memiliki modal. Perusahaan terbuka
memiliki pengurus dengan agenda yang dapat berbeda dengan pemilik. Tantangan terhadap penerapan
governance adalah memastikan bahwa penyelesaian perselisihan diantara organ perusahaan adalah suatu
proses terbuka dan adil (fair). Tantangan ini utamanya dijawab oleh hukum dengan menerapkan standar
prosedur yang tinggi dan pengaturan tentang standar fiducia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang dimaknai dengan memiliki sebagian dari sesuatu.
Pemegang saham (stockholder) misalnya dianggap “memiliki” perusahaan tempat mereka berinvestasi.
Tetapi bagian dari modal tidak dapat diterjemahkan dengan memiliki sebagian dari harta perusahaan,
kecuali bila perusahaan tersebut bubar dan masih tersisa harta untuk dibagi diantara sesama pemegang
saham. Terbatasnya tanggung jawab pemegang saham terbatas mengandung arti membatasi tanggung
jawabnya atas kesalahan perusahaan. Manusia berkaitan dengan secara khusus terhadap sesuatu yang
dimilikinya. Kepemilikan tidak hanya suatu alat untuk mengukur kekayaan. Kepemilikan adalah suatu unsur
dari kepuasaan pribadi. Adam Smith meyakini bahwa proteksi terhadap individu dalam menikmati hak
milik merupakan salah satu dari sedikit aktivitas sah suatu pemerintahan sipil.
Kepemilikan telah menjadi persoalan sejak awal sejarah umat manusia, Sengketa tentang kepemilikan
telah mewarnai cerita dalam kitab suci. Pada akhir abad ke delapan belas pandangan tentang hak milik
(properti) melibatkan suatu hubungan langsung antara pemilik dengan yang dimilikinya. John Lock
berpendapat bahwa properti hanya sah sepanjang properti tersebut memberikan kepuasan pribadi. Hak
milik pribadi dipandang penting karena menjamin warga negara dapat melindungi kemerdekaan dirinya
dari kekuasaan. Konsep utama pandangan Barat tentang kepemilikan adalah si pemilik memiliki insentif
mengelola miliknya tersebut dengan cara yang tidak merugikan masyarakat secara keseluruhan. Adam Smith
mengatakan “even if a businessman “intend only his own gain, he is…led by an invisible hand to promote an
end which in not his intention”. Pendapat Adam Smith ini masih digunakan sebagai pondasi kebijakan
banyak pemerintahan. Terdapat pertentangan alamiah antara kebebasan dan kesetaraan. Pada satu sisi
manusia harus diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dan pada saat yang sama menimbulkan
perbedaan dan ketidak setaraan. Pada sisi lain hanya kesetaraan yang dapat diterima sebagai basis bagi
suatu negara yang beradab.
Keberadaan perusahaan bersamaan dengan diakuinya hak milik pribadi. Namun demikian perusahaan
adalah suatu subset unik dari kategori kepemilikan yang diciptakan untuk suatu alasan unik dan memiliki
karakter unik pula. Perusahaan diciptakan sebagai cara menyelesaikan sebagian tantangan yang muncul
akibat dari kepemilikan pribadi. Bentuk awal perusahaan lebih mirip kotapraja dibandingkan dengan usaha
bisnis yaitu berupa kota dan universitas yang ditemukan pada abad pertengahan. Unsur utama suatu
perseroan adalah keberadaannya yang independen dari keanggotaan tertentu dan seluruh kekayaan dan
utang adalah milik perusahaan tersebut. Unsur inilah yang membedakan perseroan dengan firma
(partnership). Dikembangkannya sistem double entry dalam pembukuaan pada akhir abad pertengahan,
awalnya dimaksudkan untuk memeriksa terjadinya kesalahan dalam pembukuan yang kemudian
berkembang menjadi teknik untuk memisahkan kegiatan bisnis dengan kegiatan pribadi. Dengan demikian
perseroan menjadi entitas terpisah yang usianya dapat lebih lama dari umur pemilik ataupun pengurusnya.
William Blackstone salah seorang ahli hukum terkemuka Inggris, dalam salah satu keputusannya
menetapkan bahwa King Charles I tidak dapat secara sepihak membatalkan piagam kota London.
Perseroan dengan demikian berhak memiliki harta kekayaan sesuai dengan aturan yang ditetapkan
pemerintah. Hak kepemilikan seperti ini yang dapat membatasi campur tangan penguasa merupakan dasar
dari perusahaan modern. Kewenangan perusahaan, meski terbatas dipandang dari sudut jangka waktu,
cakupan dan tujuan, didisain untuk mengatasi kekuasaan negara yang tanpa batas. Kondisi ini merupakan
ancaman serius bagi pemerintah. Melalui kepemilikan perusahaan, individu dapat memiliki kekayaan yang
dengan sendirinya merupakan sumber kekuasaan mandiri. Kehadiran sektor swasta tidak hanya
mengancam pusat kekuasaan tetapi juga merupakan ancaman bagi kemapanan para penguasa. Kekayaan
negara tidak lagi dengan mudah digunakan untuk pet proyek penguasa. Bila negara dibentuk dan
dikendalikan sebagaimana layaknya perusahaan, bukankah ini yang diimpikan oleh para filosof dan ahli
politik sebagai negara ideal?
Dalam jangka pendek struktur perseoran yang independen dapat merupakan ancaman bagi kekuasaan
pemerintah. Namun perusahaan pada akhirnya adalah sekutu pemerintah. Independensi perusahaan yang
diberikan oleh pemerintah menjadikan pemerintah lebih diterima oleh masyarakat. Konsekwensi diakuinya
hak milik individual membuat pemerintah berkewajiban menjaga agar hak tersebut dapat dinikmati
pemiliknya dengan baik. Kepemilikan secara umum dan kepemilikan saham khususnya dibutuhkan untuk
mengorganisasikan bakat, uang dan energi yang penting bagi kemajuan teknologi dan industri.
Membolehkan kepemilikan sebagian melalui penawaran umum membuka akses pada modal untuk
membiayai industri modern. Struktur perusahaan merupakan hal penting dalam mentransformasikan
perdagangan menjadi suatu tatanan yang teratur. Keduanya berdasarkan pada prinsip yang sama yaitu
spesialisasi. Seseorang tidak butuh pengetahuan tentang bagaimana membuat kursi agar dapat bekerja di
perusahaan kursi tetapi cukup mengetahui bagaimana memasang bantalan kursi ke tempatnya. Seseorang
juga tidak perlu mengatahui bagaimana membuat kursi untuk berinvestasi pada perusahaan kursi, yang
diperlukan adalah membeli saham perusahaan kursi tersebut.[16]
b. Kepengurusan
Pertanyaannya adalah bentuk pengurusan bagaimana yang ideal bagi bank. Jawaban atas pertanyaan ini
penting karena sejarah perkembangan perusahaan memperlihatkan bahwa perusahaan telah banyak
berubah dalam beberapa dekade terakhir. Profil rata-rata perusahaan lima puluh tahun yang silam misalnya
jauh berbeda dengan profil perusahaan saat ini. Namun demikian, beberapa prinsip dasar pengurusan
perusahaan seperti prinsip fiducia masih tetap relevan dengan masalah self-dealing oleh pengurus terlepas
dari perkembangan dan perubahan yang telah terjadi pada perusahaan. Wiraswastawan generasi awal
umumnya memiliki dan mengurus sendiri perusahaannya. Profil perusahaan tradisional adalah kecil dan
dikelola oleh pemiliknya sendiri.
Sejalan dengan pertumbuhan perusahaan maka jumlah pemegang sahampun turut bertambah. Masing-
masing pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang kecil. Dengan kata lain, tidak terdapat
konsentrasi kepemilikan saham yang konsekwensinya kewenangan pengurusahan dilakukan oleh pihak lain.
Dengan demikian terjadi peralihan kewenangan pengurusan perusahaan dari pemegang saham kepada
pengurus perusahaan. Pada perusahaan publik, manajemen puncak sering kali hanya memiliki jumlah
saham yang sedikit. Namun demikian, karena jumlah pemegang saham tersebar luas di masyarakat maka
pengurus perusahaan mampu memiliki fungsi kontrol terhadap perusahaan. Telah sejak lama diskusi
mengenai perusahaan dimulai dari pendapat bahwa pengurus perusahaan memiliki kekuasaan dan dapat
menggunakannya untuk mengeksploitasi investor, konsumen atau keduanya. Para pengurus perusahaan
mengetahui dengan tepat kondisi perusahaan dan dapat menyembunyikan kondisi perusahaan tersebut dari
investor. Informasi tentang kualitas pengelolaan perusahaan juga mudah dirahasiakan. Dipersenjatai
dengan pengetahuan pribadi dan kemampuan menciptakan investor dalam kegelapan, pengurus perusahaan
dapat membentuk opini untuk kepentingan mereka dan sekaligus mencuri dan melakukan salah
pengelolaan.[17]
Di Amerika Serikat (AS) sistem pengelolaan perusahaan dilakukan secara outsider/arm’s-length yaitu
pengelolaan yang dilakukan oleh orang luar (outsider) perusahaan. Sistem ini terjadi karena tersebarnya
kepemilikan perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar di AS hampir seluruhnya adalah perusahaan
terbuka dan hanya segelintir perusahaan yang sahamnya masih berada di tangan pengendali perusahaan.
Kepemilikan saham yang besar apalagi kepemilikan saham mayoritas adalah suatu hal yang tidak lazim di
AS. Terminologi arm’s length tepat untuk konteks AS karena pemegang saham menjaga jarak dan
membiarkan pengurus bebas melakukan pengelolaan perusahaan. Pendekatan ini berhasil karena dalam
situasi normal investor lebih tertarik pada kinerja umum portfolio saham yang mereka miliki dibandingkan
perkembangan yang melibatkan satu perusahaan tertentu. Gejala pemisahaan antara kepemilikan dan
kepengurusan ini telah diindentifikasi oleh Adolf Berle dan Gardiner Means di awal tahun 1930an yang
kemudian dikenal dengan “Berle-Means Corporation”.
Analisis Adolf Berle dan Gardiner Means ini telah menimbulkan perdebatan panjang. Akan tetapi para
ahli sependapat bahwa “Berle-Means Corporation” merupakan paradigma dominan dalam sistem ekonomi
pasar. Pemisahaan antara kepemilikan dan pengelolaan merupakan sistem yang menguntungkan karena
pengurus dapat dipekerjakan semata-mata berdasar atas kompetensi yang mereka miliki. Hal ini dapat
terjadi karena pengurus tidak diharapkan dapat memberikan kontribusi keuangan kepada perusahaan yang
mempekerjakan mereka atau memiliki ikatan keluarga atau hubungan pribadi dengan pemegang saham
pengendali. Berbeda dengan AS, di Jepang dan Eropa kontinental, pengelolaan perusahaan dilakukan oleh
insider/control-oriented. Berdasarkan sistem ini pasar modal misalnya hanya memainkan peran kedua
dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya dijual di bursa umumnya dimiliki oleh
pemegang saham pengendali dan atau kreditur dominan yang mempengaruhi manajemen. [18]
Riset yang dilakukan oleh Claessens, Djankov and Lang tentang siapa yang mengontrol perusahaan di
Asia Timur (Hong Kong, Indonesia, Japan, South Korea, Malaysia , the Philipines, Songapore, Taiwan dan
Thailand) menunjukan:[19]
a. Lebih dua pertiga perusahaan di kontrol oleh pemegang saham tunggal
b. Pemisahaan antara pengusus dan pemilik sangat jarang
c. Top manajemen dari 60% perusahaan terkait dengan keluarga
d. Kontrol keluarga yang ekstensif pada lebih dari separoh perusahaan
Kecenderungan perekonomian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa versi kapitalisme model AS lebih
dominan dan “Berle-Means Corporation” menghasilkan efisiensi sebagaimana yang diajarkan oleh teori dan
juga kenyataannya perusahaan-perusahaan dengan orientasi insider/control mulai melakukan divestasi dan
menghilangkan struktur kepemilikan silang yang rumit dan secara perlahan bergerak kearah kepemilikan
yang tersebar.
Studi emperis menunjukan bahwa pertama, tingkat proteksi yang diberikan oleh sistem hukum suatu
negara kepada outside investor berdampak signifikan terhadap regim pengelolaan perusahaan di negara
tersebut. Hal ini terjadi di Amerika Serikat. Kedua, struktur institusi yang kuat juga dapat menciptakan
sistem penyebaran kepemilikan perusahaan sebagaiman yang terjadi di Inggris. Proteksi hukum yang kuat
bagi pemegang saham minoritas berkaitan erat dengan pertama, banyaknya jumlah perusahaan yang
tercatat di bursa efek. Kedua, lebih bernilainya pasar modal. Ketiga, lebih rendah manfaat kontrol pribadi
terhadap perusahaan dan keempat, lebih terpecahnya kepemilikan saham. Dengan perkataan lain
konsentrasi kepemilikan adalah konsekuensi lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham
minoritas.[20]
Di negara yang lemah memberikan perlindungan hukum terhadap investor menyebabkan investor
potensial enggan membeli saham perusahaan. Keengganan investor tersebut pada akhirnya membuat
pemilik memutuskan untuk tidak menjual sahamnya kepada publik. Hasil yang berbeda akan terjadi apabila
suatu negara mengatur sikap oportunistik para insider sehingga pemegang saham minoritas merasa aman.
Dengan kondisi tersebut maka investor akan bersedia membeli dengan harga penuh saham yang dijual
sehingga menurunkan biaya modal bagi perusahaan yang memilih menjual saham di pasar modal. Kondisi
ini pada gilirannya meningkatkan penawaran umum saham dan sekaligus membangun pasar modal yang
kuat dan menciptakan sistem kepemilikan perusahaan tersebar.[21]
Terjadinya penyebaran kepemilikan juga dapat disebabkan oleh kuatnya lembaga peradilan. Hal ini
misalnya terjadi di Inggris. Berbeda dengan Amerika Serikat, penyebaran kepemilikan saham perusahaan di
Ingris bukan disebabkan kuatnya perlindungan yang diberikan hukum kepada pemegang saham minoritas.
Hal ini terlihat pada tahun 1907 hampir 600 perusahaan tercatat pada London Stock Exchange. Jumlah ini
meningkat menjadi 3500 perusahaan pada tahun 1951. Pada tahun-tahun sebelum tahun 1914, perusahaan-
perusahaan terbuka (public companies) Inggris masih dimiliki dan dikelola secara dominan oleh keluarga.
Pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan baru benar-benar terjadi pada tahun 1950an.
Meskipun hakim-hakim Inggris terkenal reputasinya sebagai incorruptibility, impartiality and
dicisiveness, namun demikian Inggris tidak termasuk negara yang memberikan perlindungan bagi investor.
Hukum perusahaan yang berlaku atau prinsip common law yang secara tegas melindungi pemegang saham
minoritas tidak dikenal. Hak gugat derivatif misalnya bukan suatu yang lazim dan pengadilan enggan
memberi pemegang saham minorits legal standing untuk menggugat atas nama perusahaan. Sampai
pertengahan pertama abad 20, hukum perusahaan Inggris tidak mengatur insider dealing. [22]
Berkembangnya pasar modal Inggris banyak dipengaruhi oleh pertama, financial intermediaries.
Perusahaan-perusahaan yang ingin go publik harus melalui pemeriksaan yang ketat oleh financial
intermediaries. Ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh financial intermediaries adalah untuk menjaga
reputasi lembaga keuangan tersebut. Kedua, London Stock Exchange juga memerankan peranan penting
dalam mengembangkan pasar modal. Sebagai lembaga swasta, London Stock Exchange menetapkan aturan
yang ketat bagi perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya. Dengan demikian, meskipun Inggris tidak
mengenal rejim hukum yang memberikan perlindungan bagi pemegang saham minoritas akan tetapi
kuatnya peranan yang diberikan oleh kedua lembaga ini membuat banyaknya investor yang menanamkan
dananya dengan membeli saham perusahaan.[23]
Tersebarnya kepemilikan perusahaan pada gilirannya memisahkan antara kepengurusan dan kepemilikan
perusahaan.[24] Pemisahaan ini dapat menimbulkan benturan kepentingan antara pengurus dan pemilik,
benturan antara sesama pemegang saham dan ketiga benturan antara pemegang saham secara keseluruhan
dengan bukan pemegang saham seperti kreditur, pegawai atau konsumen. Berbagai mekanisme telah
dikembangkan untuk mengatasi benturan kepentingan ini. Bermacamnya variasi mekanisme penyelesaian
yang diterapkan secara spesifik oleh suatu negara menunjukankan bervariasinya kultur hukum dan politik.
Konsep BHC pertama dikenalkan di AS dengan pada saat dikeluarkanya The Bank Holding Company
Act pada tahun 1956. Menurut Undang-undang ini BHC adalah setiap perusahaan yang memiliki saham
minimal 25% pada suatu bank. BHC dimaksudkan untuk menghindari pembatasan pendirian cabang antar
negara bagian (interstate branching) yang waktu itu diterapkan di AS dan juga untuk kepentingan pajak.
Konsep BHC kemudian diperluas menjadi Financial Hoding Company melalui Gramm Leach Bliley Act yang
ditandatangi Presiden Clinton pada November 1999. Baik BHC maupun FHC berada di bawah pengawasan
bank sentral AS yaitu Federal Reserve.
Pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan itu harus mempertimbangkan
tujuan ditetapkannya kebijakan SPP yaitu untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat
sehingga industri perbankan tidak menjadi beban keuangan pemerintah seperti yang terjadi pada krisis
keuangan tahun 1997.
Bila opsi ini yang ditempuh maka cara yang efektif adalah melalui pasar modal. Baik melalui pencatatan
di bursa domestik maupun di bursa negara lain. Namun demikian harus diingat bahwa listing di bursa hanya
langkah awal dalam mereformasi bank BUMN. Tujuan akhir dari listing adalah menerapkan keseluruhan
sistem pasar berupa insentif dan disinsentif pada bank BUMN. Dalam perspektif corporate governance,
listing akan menimbulkan kewajiban transparansi dan memperkuat monitoring oleh masyarakat. Artinya
listing akan menciptakan pengawasan publik dalam arti sebenarnya. Keuntungan lain dari go public adalah
mencegah terjadinya tarik ulur dalam melakukan reformasi. [36]
Untuk mencapai hasil optimal tentu saja sebelum melakukan listing, kinerja bank harus diperbaiki dan
neraca bank dibersihkan dari obligasi rekap, misalnya dengan melakukan buy back. Kepemilikan tersebar
memiliki keunggulan tersendiri. Terpecahnya kepemilikan akan menjadikan pengurusan dilakukan oleh
outsider, tanpa direcoki oleh “kepentingan” jangka pendek pemilik. Pengelolaan oleh outsider ini akan
meningkatkan kinerja bank sehingga pajak yang diterima pemerintah meningkat.. Risiko bila pemerintah
tetap mempertahankan diri menjadi PSP adalah bertanggungjawab secara finansial apabila bank mengalami
kesulitan keuangan. Sesuai ketentuan, PSP bertanggung jawab penuh kalau bank mengalami kesulitan
keuangan, terlepas dari kesulitan keuangan tersebut diakibatkan kesalahan PSP.
Melepaskan kepemilikan pemerintah pada bank BUMN tentunya menimbulkan pro-kontra. Di banyak
negara terlebih lagi di negara berkembang issu kepemilikan pemerintah versus kepemilikan swasta atas
perusahaan memang merupakan perdebatan hangat. Di negara berkembang hal disebabkan besarnya
dominasi perusahaan milik pemerintah dalam kegiatan perekonomian sehingga pengalihan kepemilikan
dari pemerintah kepada swasta merupakan masalah serius sehingga sering sarat dengan kepentingan
politik. Issu yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan privatisasi adalah munculnya masalah
pemutusan hubungan kerja. Masalah ini muncul karena perusahaan milik pemerintah sering kali kelebihan
karyawan. Kondisi ini dapat dilihat dari ratio antara asset dan karyawan. Dengan melakukan privatisasi
pastilah sebagian dari karyawan tersebut akan mengalami pemutusan hubungan kerja dan memicu
munculnya gejolak sosial.
Bukti empiris menunjukan bahwa perusahaan swasta seringkali beroperasi lebih efisien dibandingkan
perusahaan negara. Di banyak negara terbukti bahwa kepemilikan swasta merupakan pilihan terbaik. Di
sektor perbankan kepemilikan pemerintah menunjukan kaitan yang erat dengan lambannya perkembangan
sektor keuangan serta pertumbuhan produktivitas yang rendah. Studi yang dilakukan setelah privatisasi
menunjukan terjadinya peningkatan dalam portfolio pinjaman dan peningkatan efisiensi. Kenyataan yang
sama juga terjadi pada privatisasi di negara berkembang, meski tidak diseluruh negara berkembang.
Secara konsep privatisasi dapat terjadi atas dasar kemauan politik (paksaan) maupun secara sukarela.
Untuk mendorong terjadinya privatisasi secara sukarela dibutuhkan adanya serangkaian regulasi yang dapat
meningkatkan biaya politik miliki perusahaan. Untuk itu, pengalaman Argentina melakukan privatisasi
dapat dijadikan pelajaran. Pada awal tahun 1990an masing-masing provinsi di Argentina memiliki bank
sendiri. Kondisi ini terjadi karena pemerintah daerah yakin bahwa bank sentral akan menjamin bahwa
bank-bank milik pemerintah daerah tersebut tetap solven.
Kepercayaan ini menyebabkan munculnya masalah dalam penerapan corporate governance pada bank-
bank tersebut karena rendahnya insentif bagi pemerintah daerah untuk mengawasi kinerja bank dan
membiarkan politisi lokal menggunakan bank untuk kepentingan politik mereka dengan biaya murah.
Keuntungan politik menonjol yang dinikmati oleh pemerintah daerah adalah mereka dapat membiayai
operasinya dengan biaya murah. Disamping itu, pemerintah daerah juga menggunakan bank untuk
mencari dukungan politik dengan imbalan pemberian kredit murah dan penyediaan lowongan jabatan.
Menjadi direksi atau komisaris dan jabatan tinggi lainnya di bank. Dengan kondisi demikian tidaklah
mengherankan apabila kinerja bank-bank milik pemerintah daerah tersebut menjadi buruk. Kondisi ini
berakhir pada tahun 1991 dengan diberlakukannya convertibility law yang antara lain melarang bank sentral
bertindak sebagai lender of last resort dalam hal terjadinya kebangkrutan bank. Larangan itu mengurangi
keuntungan memiliki bank dan sekaligus meningkatkan risiko menjadi pemilik bank yang memiliki kinerja
buruk. Kondisi ini yang pada gilirannya membuat para pemilik bank lebih mempertimbangkan untuk
melakukan privatisasi.
Dalam kaitannya dengan SPP, pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan
itu harus bertujuan untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat sehingga tidak menjadi
beban keuangan pemerintah.
E. Penutup
Perusahaan adalah produk dan bagian dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu, dalam memahami perusahaan
melibatkan pandangan yang melihat perusahaan sebagai fenomena sosial. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan mempelajari landasan historis dan teoritis serta pembentukan perusahaan sebagai suatu konsep
dari berfungsinya suatu perusahaan sebagai suatu entitas dinamis. Model- model perusahaan yang diadopsi
oleh berbagai jurisdiksi dipengaruhi oleh teori tentang letak suatu perusahaan di masyarakat. Sebagai
contoh, sulit untuk mendiskusikan apakah suatu perusahaan telah bertindak tidak bertanggung jawab ketika
perusahaan tersebut menutup pabrik miliknya dan memberhentikan karyawan tanpa mempertimbangkan
pandangan tentang peranan perusahaan dalam masyarakat.
Teori tentang keberadaan perusahaan diperlukan untuk memahami model pengurusan perusahaan yang
tepat. Teori tersebut juga berpengaruh pada tingkat intervensi pemerintah yang dipandang perlu dalam
menjalankan perusahaan. Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan hal ini yaitu teori kontraktual, teori
komuniter dan teori konsesi. Teori kontrak dan teori komuniter mewakili dua kutub ektrim berbeda karena
merefleksikan perusahaan sebagai produk laissez-faire dan perusahaan sebagai alat pemerintah. Teori
konsesi merupakan teori “jalan tengah.”[37]
Teori kontrak dapat dipahami dari dua pendekatan yaitu legal contractualism dan economic
contractualism. Legal contractualism mengajarkan bahwa dua pihak atau lebih sepakat membuat kontrak
untuk melakukan kegiatan usaha. Kesepakatan ini menjadi dasar berdirinya perusahaan. Teori kontrak
mendudukan perusahaan dalam ranah hukum perdata dan menyatakan bahwa legitimasi kewenangan
perusahaan berasal dari aktivitas kewirausahaan para anggota dan meminimalkan kewenangan negara
dalam bentuk pengaturan. Economic contractualism mengajarkan bahwa perusahaan secara tradisional
merupakan perkumpulan sukarela antara para pemegang saham dan bukan ciptaan negara. Individu lebih
memiliki legitimasi melakukan kegiatan komersial dalam bentuk badan usaha dibandingkan dengan
negara. Biaya transaksi dapat diturunkan dengan desain organisasi suatu perusahaan. Hukum perusahaan
menciptakan serangkaian ketentuan mengikuti keinginan investor yang umumnya ditetapkan dalam konrak.
Teori ini dilandaskan pada rasionalitas, efisiensi dan informasi. Ukuran efisiensi beragam. Menurut Pareto
efisiensi mensyaratkan bahwa seseorang diuntungkan dan tidak ada orang lain yang dirugikan. Pelaku yang
rasional adalah pelaku yang membuat pilihan rasional dengan menggunakan informasi lengkap dan
sempurna yang dimilikinya. Pelaku rasional memanfaatkan informasi lengkap akan menghasilkan alokasi
maksimal efisiensi dengan membuat pilihan yang mengeksploitasi kompetisi di pasar. Alokasi efisiensi tidak
akan terjadi kecuali seluruh biaya yang timbul dalam transaksi dapat diserap. Dengan demikian bila suatu
perusahaan melakukan polusi sebuah sungai yang mengakibatkan kerusakan bagi pengguna sungai tersebut
tetapi tidak dikenakan denda maka barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut menjadi dibawah
harga. Perilaku seperti ini menimbulkan masalah bagi pihak yang menerapkan regulasi meski secara
minimal.
Menerapkan ekonomi pasar terhadap hukum perusahaan melibatkan pandangan yang melihat perusahaan
bukan sebagai institusi yang bebas tetapi merupakan suatu jaringan dari tawar menawar diantara pihak-
pihak yang terlibat yang seluruhnya bertindak rasional berdasarkan informasi lengkap. Kegunaan hukum
perusahaan adalah untuk mencegah biaya tinggi dalam tawar menawar yang dilakukan individu dengan
individu lainnya. Hukum perusahaan dengan demikian dapat menurunkan biaya transaksi. Pendekatan
economic contractulism merupakan pendekatan ekstrim dari teori kontrak yang banyak mendapat kritik.
Konsep kewajiban fiducia sebagai salah satu metode mengawasi pengambilan keputusan perusahaan di tolak
oleh pendekatan economic contractualism sebagai campur tangan negara yang tidak dikehendaki.
Teori communitaire melihat status perusahaan tidak saja sebagai konsesi dari negara tetapi juga sebagai
instrumen ciptaan negara yang dapat dimanfaatkan. Model perusahaan berdasarkan teori ini banyak
diterapkan di bekas negara komunis dan fasis Italia. Standar untuk mengukur manfaat suatu perusahaan
tidak didasarkan pada kemampuan memakmurkan individu tetapi kemampuan membantu masyarakat
meningkatkan arti kehidupan bermasyarakat dengan jalan menghormati martabat seseorang dan
mendorong kesejahteraan bersama. Ajaran ini menimbulkan dua konsekwensi. Pertama, perusahaan tidak
memiliki indentitas komersial yang kuat karena merupakan alat politik dengan tujuan beragam. Walaupun
tujuan yang beragam akan memberikan tanggung jawab sosial besar tetapi pada gilirannya dapat
melepaskan fokus komersialnya. Negara menggunakan perusahaan untuk mencapai tujuannya.
Konsentrasi kepemilikan bank baik bank milik pemerintah (state-owned bank) maupun bank milik
swasta telah menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengawasan. Oleh karena itu penerapan
kebijakan SPP dalam kerangka konsolidasi perbankan perlu dilakukan untuk merestrukturisasi kepemilikan
bank. Efektifitas pengawasan terkait erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Pola dan struktur
kepemilikan bank merupakan suatu yang sangat kritis dalam mencapai praktik perbankan yang sehat.
Konsentrasi kepemilikan bank misalnya memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan
dalam kepengurusan bank. Situasi ini mengakibatkan fungsi pengawasan internal sebagai first line of
defenses menjadi kurang efektif menyebabkan pengawasan bank tergantung sepenuhnya kepada pengawas
eksternal. Bahkan untuk pengawasan bisnis sehari-hari (day to day business).
Terjadinya cross-ownership yang pada gilirannya menimbulkan benturan kepentingan dan membuka
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan usaha pribadi pemegang
saham maupun pengurus. Jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
adalah dengan mengefektifkan pengawasan internal. Pengawasan internal akan berjalan efektif apabila bank
dimiliki oleh banyak pemegang saham. Tidak adanya pemegang saham mayoritas akan menciptakan
pengurus bank dilakukan oleh para profesional berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Bukan atas
dasar besarnya saham yang dimiliki. Tersebarnya kepemilikan juga akan menciptakan terjadinya
pengawasan diantara para pemilik.
oo ooo
Daftar Pustaka
Goeltom, Miranda S. Indonesia’s Banking Industry: Progress to Date, The Banking System in
Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus
2006)
Gup, Benton E. The New Basel Capital Accord, New York: Thomson Corporation, 2004
Lindgren, Carl-Johan , et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, (International Monetary
Fund, 1996)
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUH Perdata dan Undang Undang Pasar Modal,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
Chaikin, David A, “Penetrating Foreign Nominees: A Failure of Strategic Regulation?, Australian
Journal of Corporate Law (2006)
A.G, Robert dan Nell Minow, Corporate Governance, Third Edition, (Malden: Blackwell Publishing,
2004)
Easterbrook, Frank H. dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law,
(Cambridge: Harvard University Press, 1996)
Cheffins, Brian R. “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in The United
Kingdom”, Journal of Legal Studies, Vol. XXX (June 2001)
Reid, Terry dan Gordon Walker, “Upgrading Corporate Governance in East Asia: Part 2, Journal of
International Banking Law, 2002
Pekmezovic, Alma, “Determinant of Corporate Ownership: The Question of Legal Origin: Part I”,
International Company and Commercial Law Review (2007)
Dine, Janet, The Governance of Corporate Groups, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006)
Milhaljek, Dubravko, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks”, The
Banking System in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional
Settlement: Agustus 2006)
Walter, Ingo, Mergers and Acquisitions in Banking and Finance What Works, What Fails, and
Why, (New York: Oxford University Press, 2004)
United States v. Philadelphia National Bank, 374 U.S. 321, 363 (1963)
Anggraini, A.M. Tri, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal atau
Rule of Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003)
Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press,
2003)
Xiaochuan, Zhou, “Some Issues concerning the Reform of the State-Owned Commercial Banks”,
Speech by Zhou Xiochuan, Governor of the People’s Bank of China, at the Spring Membership Conference,
Shanghai, 16 April 2004
Nugraha, Nugraha, Privatisation State Enterprises in the 20th Century a Step Forwards or
Backwards, (Fakultas Hukum UI, 2004)
McConvill, James, “The Separation of Ownership and Control Under a Happines-Based Theory of
the Corporation”, Company Lawyer
Foot notes
[1]. Miranda S. Goeltom, “Indonesia’s Banking Industry: Progress to Date”, The Banking System in Emerging
Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006), hal.244
[2]. Benton E. Gup, The New Basel Capital Accord, (New York: Thomson Corporation, 2004), hal.187
[3]. Modal inti terdiri dari modal disetor dan cadangan tambahan modal
[4]. Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan
[5]. The Bankers, edisi July 2007
[6]. PSP adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a) memiliki saham suatu bank
sebesar 25% atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara, atau dapar dibuktikan
telah mengendalikan bank baik langsung maupun tidak langsung meskipun saham yang dimiliki kurang dari 25%
[7]. BHC adalah Perusahaan Induk di Bidang Perbankan berbentuk badan hukum yang dibentuk dan atau dimiliki
oleh pemegang saham pengendali untuk menkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas bank-
bank yang merupakan anak usahanya
[8]. Pasal 26 huruf c UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3
Tahun 2004
[9]. Carl-Johan Lindgren, et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, (International Monetary Fund, 1996),
hal.105
[10]. Ibid, hal.109
[11]. Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUH Perdata dan Undang Undang Pasar Modal, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2008), hal. 4
[12]. Ibid, hal 16
[13]. David A Chaikin, “Penetrating Foreign Nominees: A Failure of Strategic Regulation?, Australian Journal of
Corporate Law (2006)
[14]. Ibid
[15]. Mengingat luasnya lingkup kajian tentang hal ini tentunya lebih tepat bila dilakukan dalam penelitian
tersendiri.
[16]. Robert A.G. dan Nell Minow, Corporate Governance, Third Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2004),
hal. 102
[17] Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law, (Cambridge: Harvard
University Press, 1996), hal.1
[18] Brian R. Cheffins, “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in The United Kingdom”,
Journal of Legal Studies, Vol. XXX (June 2001), hal. 462
[19] Terry Reid dan Gordon Walker, “Upgrading Corporate Governance in East Asia: Part 2, Journal of
International Banking Law, 2002, hal.2
[20] Brian R. Cheffins, Op.cit, hal. 462
[21] Ibid, hal. 459.
[22]Ibid, hal. 470
[23]Ibid, hal. 474
[24] Alma Pekmezovic, “Determinant of Corporate Ownership: The Question of Legal Origin: Part I”, International
Company and Commercial Law Review (2007), hal.97
[25]. Dubravko Mihaljek, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks”, The Banking System
in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006),
hal.47
[26]. Ingo Walter, Mergers and Acquisitions in Banking and Finance What Works, What Fails, and Why, (New
York: Oxford University Press, 2004), hal.65
[27]. United States v. Philadelphia National Bank, 374 U.S. 321, 363 (1963)
[28]. A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal atau Rule of
Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.9
[29]. Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003),
hal 9
[30]. Dubravko Mihaljek, Op.cit, hal.49
[31]. Zhou Xiaochuan, “Some Issues concerning the Reform of the State-Owned Commercial Banks”, Speech by
Zhou Xiochuan, Governor of the People’s Bank of China, at the Spring Membership Conference, Shanghai, 16 April 2004
[32]. Dubravko Mihaljek, Op.cit, hal.42
[33]. Meski pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah dan Mahkamah Agung menerbitkan fatwa yang pada intinya menyatakan bahwa
piutang BUMN bukan piutang negara, bank BUMN masih enggan menerapkannya karena khawatir terhadap
konsekwensi hukum yang ditimbulkan.
[34]. Safri Nugraha, Privatisation State Enterprises in the 20th Century a Step Forwards or Backwards, (Fakultas
Hukum UI, 2004), hal. 15
[35]. James McConvill, “The Separation of Ownership and Control Under a Happines-Based Theory of the
Corporation”, Company Lawyer 2005
[36]. Zhou Xiaochuan, Op.cit
[37] Janet Dine, The Governance of Corporate Groups, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hal. 3
2 Tanggapan »
RSS umpan untuk komentar-komentar dalam tulisan ini. URI Lacak Balik
1.
Kami sangat prihatin pasar modal dijadikan permainan oleh segelintir orang untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya. Komunitas bursa saham kita telah dinodai oleh emiten
penumpang gelap yang menghalalkan berbagai cara : termasuk memobilisasi “investor”
abal-abal yang berasal dari jalanan, didandani dengan dasi dan jas biar mirip investor
betulan dalam antre pemesanan formulir saham PT Adaro Energy Tbk. Mengapa Bapepam-
LK tutup mata dan tutup telinga melihat realita ini ? [Yohan Putera Soemarna,
menyampaikan terima kasih jika berkenan mengunjungi blog kami]
Komentar oleh Jaringan LSM untuk Indonesia — Juli 9, 2008 #
2.
IPO Adaro menjadi preseden buruk baru bursa saham, mengapa ? Pertama mereka
memobilisasi investor dari pinggir jalan yang didandani bak investor betulan (dikasih dasi
dan jas. Kedua, lawan Adaro yang masih bersengketa dengan Beckkett akan mengajukan
gugatan kepada Bapepam pada 17 Juli 2008, sementara Listing Perdana 16 Juli 2008. Di
manakah tanggung jawab moral dan tanggungjawab professional Badan Pengawas Pasar
Modal ? silahkan tanya kepada ketuanya, Fuad Rahmani.
Komentar oleh Capital Market Care — Juli 11, 2008 #