You are on page 1of 21

Diarsipkan di bawah: Ekonomi Makro, Merger, Taktik Manajemen — by adit @ 10:14 pm

Merger dan akuisisi perusahaan perbankan kembali marak terjadi di Indonesia pada akhir-
akhir ini. Sukses merger dari bank papan atas seperti Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank
Permata telah merangsang bank-bank pada papan menengah seperti Bank Haga dan Bank
Hagakita untuk bergabung dengan pihak bank asing Rabobank. Dan terakhir ini kita melihat
adanya minat dari bank-bank kecil menengah (Bank Harta, Bank Mitraniaga, Bank Harmoni) untuk
melakukan strategi serupa, sebagaimana diuraikan pada artikel Fahmi Achmad pada Bisnis
Indonesia 14 Nopember 2006.
Strategi merger dan akuisisi merupakan salah satu bentuk strategi populer, yang awalnya naik
daun pada era tahun 1970an.
Proses ini didorong oleh 3 faktor utama:
(a)semakin menyatunya sistem perekonomian regional dan perekonomian dunia,
(b) adanya ekspansi perusahaan2 MNC ke berbagai negara, dan
(c) berbagai terobosan teknologi informasi dan telekomunikasi setelah tahun 1980 yang
memudahkan proses alih informasi dan kapital.
Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah ekonomi Asia Timur
dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak terjadinya kemelut di industri
perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga perbankan yang menghadapi permasalahan dan
bahkan kemudian kolaps akibat krisis tersebut.
Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian tertolong dengan
dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi “merger dan akuisisi”.
Proses merger dan akuisisi di industri perbankan memang memiliki baik dampak yang positip
maupun dampak yang negatip, tergantung dari perspektif kita memandangnya. Keberhasilan upaya
merger dan akuisisi memerlukan keuletan dan jalan yang cukup berliku bagi berbagai pihak yang
ingin sukses menerapkan kebijakan ini.
Dampak Langsung dan Tidak Langsung.
Strategi merger dan akuisisi yang terjadi di industri perbankan dapat memberikan dampak
langsung pada perusahaan yang melakukan proses merger.
Secara mikroekonomi, penerapan strategi ini ternyata disamping dapat memberikan pengaruh
yang positip; dapat juga memberikan rekaman hitam dalam bentuk kekecewaan, konflik dan bahkan
kegagalan dari proses itu sendiri. Pada tingkat makro ekonomi, sementara ini strategi merger dan
akuisisi belum memberikan dampak positif yang besar.
Pengaruh Mikroekonomi
Begitu dua atau lebih organisasi perbankan melakukan strategi merger maka akan terjadi
perubahan tingkah laku dari perusahaan gabungan tersebut.
Dampak positip yang sering dilaporkan adalah:
(1) Dimungkinkannya pertukaran cadangan cash flow secara internal antar perusahaan yang
melakukan merger, sehingga bank hasil merger dapat memanage risiko likuiditas dengan lebih
fleksibel.
(2) Diperolehnya peningkatan modal perusahaan (biasanya CAR akan meningkat tetapi tidak
terlalu cukup tinggi) dan adanya keunggulan dalam memanage biaya akibat bertambahnya skala
usaha.Efisiensi perusahaan dapat dilakukan lebih lanjut, khususnya dalam efisiensi biaya provisi
kredit.
(3) Dicapainya keunggulan market power dalam persaingan, yang kemudian dapat
memperbesar margin bunga pinjaman.
Tetapi proses merger itu sendiri dapat juga memberikan pengaruh negatif berikut ini:
(1) Karena proses merger biasanya dilakukan atas dorongan untuk cepat terselesaikannya
kemelut keuangan di salah satu bank peserta, maka harga penjualan sahamnya cenderung akan
dinilai dibawah harga pasar yang wajar.
(2) Proses merger biasanya diikuti dengan peningkatan ketidakpastian pada pihak Direksi,
manajer dan karyawan.
(3) Proses merger perbankan nasional di Indonesia biasanya diikuti dengan pengurangan
jumlah pegawai dan staf kurang profesional di perusahaan perbankan hasil merger.
(4) Terjadinya benturan kepentingan, kondisi saling curiga dan bahkan konflik diantara para
anggota komisaris dan direksi. Hal ini terjadi jika bank hasil merger tersebut dikuasai oleh lebih
satu pemegang saham pengendali. Sebagian anggota komisaris dan direksi yang ada cenderung
untuk berlomba mewakili kepentingan masing-masing pemilik dari bank hasil merger dengan
menunjukkan prestasi kelompoknya masing-masing.
(5) Kegiatan merger dalam dua tahun pertama cenderung diikuti dengan strategi efisiensi;
sehingga hal ini akan mengurangi semangat dan kreativitas dari sebagian pihak Direksi dan staf
profesional. Jika hal ini berlanjut cukup lama maka biasanya akan diikuti dengan proses exodus
para manager menengah yang profesional dan inovatif.
(6) Benturan budaya perusahaan tidak dapat dielakkan; sehingga tentunya perusahaan hasil
merger akan mengalami penurunan dalam jangka pendek.
Pengaruh Makro
Di beberapa negara berkembang lainnya di dunia, strategi merger biasa digunakan untuk
memperkuat dan memperluas kepemilikan Pemerintah pada industri perbankan. Alasannya
pelaksanaan strategi ini agar pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dengan
dukungan lembaga perbankan yang dikendalikan
Strategi ini ternyata tidak sepenuhnya berhasil, karena yang terjadi adalah mismanajemen
dalam pengelolaan organisasi bank merger yang semakin besar, dengan laporan banyaknya kejadian
kasus , penunjukan rekanan teman sendiri, inefisiensi penggunaan anggaran promosi dan anggaran
pengembangan, serta diketemukannya berbagai kasus korupsi.
Kasus di salah satu bank hasil merger di tanah air, membuktikan sebagian dari dugaan ini.
Kurangnya pengawasan dari pihak Dewan Komisaris, yang melimpahkan kewenangan yang lebih
besar pada pihak Direksi untuk memutuskan kelayakan kredit usaha pada jumlah yang besar, telah
membawa akibat meningkatnya angka NPL bank tersebut.
Dampak negatif terjadi karena tidak transparannya perusahaan merger milik pemerintah yang
tidak diawasi sepenuhnya oleh publik.
Pada perspektif yang lain,strategi merger dan akuisisi dipandang sebagai alat untuk
memperkuat struktur kapital perbankan secara makro — di lokasi operasi peserta bank merger.
Tujuan ini dilaksanakan agar tercapai proses penguatan landasan keuangan perbankan nasional
menuju konvergensi.
Dalam kaitan ini Bank Indonesia beberapa tahun terakhir telah merubah kebijakan publiknya
untuk mengundang partisipasi asing dalam proses merger bank-bank nasional di Indonesia –
sehingga diharapkan akan tercapai arsitektur pengaturan kapitalisasi perbankan secara bentuk
“kerucut piramida”. Kebijakan ini tentunya perlu dilakukan secara hati-hati, dan bahkan jika perlu
dikaji ulang, mengingat bukti-bukti empiris yang belum mendukung sepenuhnya dugaan tersebut.
Internasionalisasi kepemilikan asing dalam arsitektur perbankan nasional memiliki potensi yang
akan memberikan dampak negatip pada perekonomian nasional, mengingat beberapa potensi
ancaman berikut ini:
(1) Kemungkinan timbulnya kesenjangan antara proses akumulasi dana pihak ketiga dan
proses penyalurannya untuk kepentingan perekonomian lokal dan nasional.
(2) Kurangnya partisipasi bank asing dalam pendanaan kegiatan usaha berskala besar di
tanah air, seperti pendanaan program pembangunan infrastuktur, mengingat perhitungan
managemen resiko yang sangat ketat yang mereka jalankan.
(3) Pada saat kondisi politik di dalam negeri menghadapi skenario kemelut dan krisis, maka
cadangan bank-bank asing di Indonesia akan terjadi.
(4) Bank asing akan memindahkan sementara waktu dana yang terhimpun di dalam negeri ke
anak-anak perusahaan holding yang lokasinya terdekat, seperti di Singapura dan Hongkong.
(5) Tingkat multiplier penyerapan tenaga kerja di bank milik asing akan cenderung lebih
rendah dibandingkan dengan angka-angka multiplier pada perusahaan perbankan milik swasta
domestik dan perusahaan BUMN.
Atas dasar kondisi tersebut dan kemungkinan rapuhnya peta politik di dalam negeri pada
tahun-tahun mendatang, maka seharusnya Pemerintah meninjau kembali aturan tentang
kepemilikan asing dalam industri perbankan nasional.
Kebijakan membatasi porsi kepemilikan asing dalam perbankan nasional di tanah air
merupakan strategi kebijakan tambahan untuk terlaksananya proses merger secara aman di
Indonesia.
Kunci Sukses
Strategi merger dan akuisisi dapat berjalan sukses apabila memenuhi persyaratan berikut:
(1) Dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan dan menutupi kekurangan yang dimiliki
oleh bank peserta biasanya menyebabkan kegagalan proses merger dan akuisisi.
(2) Bank peserta perlu memiliki kemiripan budaya dan falsafah perusahaan yang tidak jauh
bertolak belakang.
(3) Bank peserta memiliki pimpinan perusahaan yang berdedikasi dan mampu
menyelesaikan konflik-konflik secara cepat, bijak dan arif; serta tidak bersifat otoriter.
(4) Bank peserta memiliki visi dan misi yang dapat dijalankan oleh bank yang telah
digabung. Lebih baik lagi jika pada masing-masing bank memiliki kemiripan fokus bisnis
(5) Proses implementasi pasca merger perlu dilakukan dengan melakukan proses harmonisasi
produk dan layanan baru, pemantapan dedikasi karyawan dan pembentukan platform dan sistem
prosedur yang seragam dan efisien.
Proses stabilisasi setelah merger akan memakan waktu cukup lama sekitar 2-3 tahun, dan
biarkanlah proses tersebut dilakukan dengan baik dan sempurna, tanpa cepat-sepat melakukan
proses divestasi lanjutan. (copyright@aditiawan chandra)

UJI TUNTAS BUDAYA


Salah satu pendekatan agar budaya menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam proses merger dan
akuisisi adalah menempatkan Uji Tuntas Budaya (cultural due diligence) sebagai salah satu
perangkat uji kelayakan dalam proses merger dan akusisi. Uji Tuntas Budaya akan membantu
masing-masing pihak untuk melihat berbagai persoalan berkaitan pengelolaan sumber daya manusia
dan potensi benturan-benturan yang mungkin terjadi pada saat merger dan akuisisi.
Eksekutif perusahan pasca merger dan akuisisi akan melewati saat-saat terjadi benturan budaya.
Pemimpin tidak dapat begitu saja melakukan ‘cloning' budaya dalam organisasi. Mereka
membutuhkan suatu penilaian yang realistik tentang benturan budaya dan mulai mengambil
langkah-langkah untuk mengurangi dampak benturan budaya.
Suatu Uji Tuntas Budaya yang obyektif mungkin tidak akan menghilangkan benturan budaya sama
sekali, karena hal itu memang tidak mungkin. Tujuan Uji Tuntas Budaya adalah untuk menggali
kesesuaian sebagai langkah menuju organisasi yang terintegrasi. Suatu organisasi "baru" hasil
merger atau akuisisi dapat diperoleh bukan dengan menjumlahkan bagian-bagian dari identitas
budaya dan nilai, tetapi merupakan hasil paduan yang mempertimbangkan norma-norma budaya
terbaik bagi perusahaan ‘baru'. Manfaat yang paling mendasar dari Uji Tuntas Budaya adalah
mempersiapkan eksekutif agar dapat menjalin kerjasama dalam organisasi. Perbedaan budaya
bukanlah harga mati, tetapi yang penting adalah kesiapan terhadap kemungkinan benturan budaya.
Meskipun perangkat formal telah dikembangkan, Uji Tuntas Budaya mempunyai berbagai
tantangan. Kerahasiaan serta keterbatasan akses terhadap manajemen senior ke atas akan
mempengaruhi pengumpulan data budaya. Jadi usaha Uji Tuntas Budaya lebih mengarah kepada
bagaimana meningkatkan kesadaran serta menimbulkan inisiatif pembahasan tentang dinamika
budaya. Setidaknya memberi peringatan eksekutif untuk memberi perhatian pada budaya organisasi
dan membuka kesempatan untuk melakukan tindakan yang diperlukan menghadapi benturan
budaya dalam merger atau akuisisi. Mereka juga dapat memberikan sumber daya yang tepat untuk
mengurangi konsekuensi dari benturan budaya, dan bersedia menghargai suatu budaya sebelum
perusahaan bergabung, serta kemudian membangun budaya yang diharapkan setelah kesepakatan
terjadi.
Jika di masa lalu benturan budaya dikelola setelah benturan itu terjadi, pada saat ini potensi-potensi
persoalan budaya dapat ditengarai lebih dini, sekaligus mempersiapkan tindakan untuk
mengantisipasi benturan budaya dan sejak dini meminimalisir dampak yang muncul.

Isu karyawan dalam proses merger & akuisisi


Dari bongkar-bongkar majalah lama (maksudnya mau dirapihkan dan yang nggak terpakai mau di
buang), menemukan artikel tentang merger dan akuisisi yang menarik. Artikel tersebut terdapat
dalam majalah Human Capital no.15, Juni 2005), yang sebagian isinya saya kutip di bawah ini
ditambah dengan pendapat beberapa penulis lain:
1. Budaya kerja sering menjadi faktor penentu keberhasilan merger dan akuisisi.
Pada kasus merger HP dan Compaq, manajemen eksekutif tidak memperkirakan bahwa pemegang
saham dan para stakeholder mempunyai ikatan sentimental terhadap sejarah perusahaan, yang
membuat tembok penolakan atas inisiatif merger tersebut. Salah satu Direktur adalah keturunan dari
pendiri HP.
Hisckman dan Silva (1985) mengatakan bahwa budaya kerja dipengaruhi oleh pendiri dan para
pemimpin perusahaan, dan dapat menjadi faktor penghambat dalam merger akibat adanya resistensi
terhadap perubahan, karena budaya kerja terbentuk bertahun-tahun dari masing-masing perusahaan.
2. Perencanaan sangat penting.
Pre- Deal
Pada fase ini, masalah karyawan yang strategis dan taktis harus selesai dianalisa sebelum
mengumumkan perjanjian maupun memulai proses due diligence. Masalah karyawan bukan hanya
mengenai biaya dan kebijakan, tapi juga mengenai pemutusan hubungan kerja (masal) yang
mungkin terjadi, pembauran budaya korporat, sosialisasi kepada serikat pekerja dari tiap
perusahaan, serta masalah-masalah manusia lainnya.
Doing the Deal
Fase ini memiliki tempo, tekanan dan permintaan waktu yang luar biasa besar. Sukses dari suatu
integrasi dibentuk disini. Sebuah proses yang komprehensif dan terencana dengan baik, sangat
penting untuk mencapai tujuan integrasi jangka panjang.
Post-Deal
Ini adalah fase saat HR dan fungsi-fungsi lainnya menyerahkan tujuan dari merger itu sendiri.
Sebuah rencana komprehensif dan terencana dengan baik sangat penting untuk menjaga fokus pada
pembentukan nilai dan penyelesaian tugas.
Pada saat integrasi awal berlangsung, langkah-langkah diambil untuk membentuk dan mengikat
organisasi baru, mengelola, mengintegrasikan sales force, dan menyesuaikan rencana kompensasi,
demi mengarah pada tujuan bisnis terpadu dari perusahaan hasil merger ini. Pada fase integrasi
berikutnya, program HR dan infrastruktur dibentuk, dikomunikasikan dan diimplementasikan
menuju bentuk akhir yang diinginkan dalam suatu organisasi yang baru. Konklusi formal dari
proses integrasi merupakan penilaian atas pencapaian, dibandingkan dengan target tujuan.
Semakin cepat integrasi diselesaikan, semakin besar nilai hasilnya. Dengan kata lain, semakin
panjang proses integrasi, semakin besar kerusakannya.
3. Kesuksesan integrasi pasca merger
Manajemen harus mengenali bahwa katalis suatu perubahan adalah;
• Isu karyawan sebagai kunci dari strategi bisnis
• Penerimaan dari semua pimpinan
• Isu karyawan bukan masalah SDM saja
Manajemen biasanya lebih sering berfokus pada aspek legal dan finansial. Padahal isu karyawan ini
sama rumitnya, sensitif dan membutuhkan banyak waktu. Komunikasi harus dibangun dan
difokuskan pada hal tersebut. Setelah terjadi merger atau akuisisi, komunikasi harus dilakukan
sesering dan seefektif mungkin.
Rhenald, K (2007), menyatakan bahwa pada masa transisi, manusia pada institusi mengalami
tekanan-tekanan, rasa takut, cemas, dan tidak percaya, yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan
(cohesiveness) suatu institusi. Manusia-manusia organisasi atau para karyawan justru akan
meningkatkan ikatan emosional pada kelompoknya masing-masing . Akibat yang menonjol adalah
nilai-nilai perlawanan dan ikatan yang kuat pada subkultur, bukan pada keseluruhan institusi.
Survey yang dilakukan oleh Society for Human resource Management Foundation, yang dilakukan
pada lebih 440 eksekutif SDM diseluruh dunia tahun 2001, menunjukkan bahwa gegar budaya
merupakan prioritas peringkat ketiga (56%), setelah kegagalan mempertahankan kinerja keuangan
(63%) dan penurunan produktivitas (62%).
Perusahaan dapat belajar dari survey di atas, dengan membuat perencanaan lebih terarah, antara lain
dengan :
• Mengerti budaya yang ada dengan cepat
• Mengartikulasikan dan membangun budaya baru untuk mendukung bisnis baru
• Membentuk tim integrasi, yang terdiri dari: 1) Pemimpin-pemimpin senior, 2) Profesional di
bidang SDM, 3) Manajemen proyek, 4) Komunikasi secara efektif dan sering
Seorang peneliti CFO dari Amerika pernah mengatakan bahwa 90% dari keputusan CFO adalah
keputusan dalam hal SDM. Dan investasi yang benar dalam hal SDM akan berdampak besar pada
hal-hal di bawah ini:
• Integrasi akuisisi yang baik 71%
• Kepuasan pelanggan 92%
• Profit 82%
• Inovasi & Pengembangan produk 72%
Dari tulisan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa faktor manusia sama pentingnya dengan isu
bisnis lainnya, terutama apabila dua perusahaan atau lebih melebur menjadi satu sambil membawa
keunikan mereka masing-masing.
Sumber data:
1. Hisckman, Craig R. and Silva, Michael A. “Creating Excellence Managing Corporate
Culture, Strategy and Change in the New Age.” New York: Nal Books, 1985
2. Merger & Akuisisi . Isu karyawan=isu bisnis. Sumber dari Mercer Library
(http://www.siliconvalley.com). Majalah Human Capital no.15 hal.44-45. Jakarta, Juni 2005
3. Kasali, Rhenald. “Change” PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan ke sembilan. PT Ikrar
Mandiriabadi: Jakarta, 2007
• Beranda
• Tentang Kami
• Kontak Kami
• Surat Pembaca
• Iklan

portalHR - www.portalhr.com

• Direktori
• Gudang Data HR

Majalah Human Capital » Edisi Sebelumnya » Strategi HR

• Cetak Artikel
• Kirim ke Teman
• Lihat Komentar (1)
• Beri Komentar

Bagai Menggulung Benang


No. 03 Tahun 2004
Aktivitas merger dan akuisisi (M&A) akan terus terjadi dalam dunia bisnis, lokal maupun global.
Hati-hati, masalah budaya bisa menjadi kendala mulusnya proses M&A ataupun pencapaian tujuan
dari M&A itu sendiri.
Saat pertama kali dipercaya memimpin Bank Universal oleh Grup Astra tahun 1990, Stephen Z.
Satyahadi mempunyai setumpuk tugas. Setelah merger dengan Bank Maranu milik pengusaha Andi
Sose, Stephen harus membangun fondasi yang kokoh bagi keberhasilan Bank Universal jangka
panjang. Sebagai orang yang lama di Citibank, tak pelak ia banyak terinspirasi oleh Citibank. Fokus
usaha Bank Universal yang tadinya lebih pada corporate banking diubah menjadi retail banking,
khususnya konsumen dan perusahaan menengah.
Hasil riset bersama dengan Boston Consulting Group menunjukkan bahwa kedua segmen pasar itu
paling menarik bagi bank dalam 5-10 tahun ke depan berdasarkan ukuran, pertumbuhan, dan
profitabilitas. Hubungan istimewa dengan konsumen dan mitra bisnis Astra menjadikan fokus itu
lebih menguntungkan bagi Bank Universal. Perubahan ini jelas sesuatu yang besar bagi Bank
Universal. Budaya korporat yang diperlukan tentu berbeda. Kepemimpinan senior perlu diramu
ulang. Stephen mengundang beberapa eksekutif eks Citibank untuk bergabung, termasuk Jerry Ng
(kini Direktur bank Danamon), Mahdi Syahbudin (kini Direktur Bank Permata), dan Audi Wiranata
(kini Direktur Astra Buana/Garda Oto). Selain jago ritel, mereka juga memiliki budaya yang relatif
sama karena sama-sama jebolan Citibank. Bersama-sama dengan Terry David, seorang Filipina
yang jago dalam bidang manajemen SDM, tim pimpinan Bank Universal ini menggali, menyusun,
dan mensosialisasikan budaya korporat Bank Universal yang baru. "Membangun budaya korporat
merupakan tugas yang kami rasakan paling berat," ujar Stephen kepada Human Capital.
Penyusunan budaya korporat dilakukan dengan mengembangkan pelatihan Seven Habits karya
Franklin Covey. "Seven Habits dipilih karena sangat cocok untuk membangun keahlian
fundamental sumberdaya manusia," jawabnya tentang alasan pemilih konsep Franklin Covey itu.
Dimulai dari kelompok kecil pimpinan, program pelatihan terus meluas ke seluruh jajaran
perusahaan. Sebanyak 213 bankir Universal menjadi instruktur, panelis dialog, mentor, dan
pengembangan kurikulum pelatihan tahun 1996. Sebanyak 8.818 karyawan Bank Universal telah
mengikuti training di dalam kelas. Beberapa eksekutif Bank Universal, yang umumnya masih
berusia muda dan cemerlang, dikirim ke universitas terkemuka di dunia macam Stanford dan
Harvard Business School untuk mempermantap perubahan di Bank Universal.
Dalam mewujudkan visi sebagai bank ritel terbaik di Indonesia, seluruh banker Universal dipandu
oleh sistem nilai empathy, entrepreneurship, empowerment, teamwork, dan trustworthiness. Nilai
investasi sebesar Rp 100 miliar ditanamkan sejak 1994 untuk membangun infrastruktur bagi
pencapaian visi itu, termasuk menyelaraskan karyawan, proses, dan teknologi dengan strategi
bisnis. Stephen menyebut, periode 1991 hingga 1997 adalah periode membangun dasar-dasar
budaya korporat Bank Universal.
Sayangnya, krisis ekonomi keburu melanda Indonesia, yang juga menghantam Bank Universal.
Bank ini beruntung tidak harus dilikuidiasi seperti banyak bank lainnya, karena tertolong oleh
berkembangnya bisnis ritel yang cukup baik sesuai focus strategi mereka. Saat krisis ekonomi
melanda, porsi bisnis ritel dan korporat sudah berimbang. "Bayangkan kalau kami tidak
mengembangkan bisnis ritel, Bank Universal sudah pasti dilikuidasi karena timbunan kredit
bermasalah," ujar pria yang kini mengembangkan bisnis pembiayaan konsumen, BPR, dan menjadi
komisaris di anak perusahaan Astra itu.
Stephen menyesal tidak bisa menyelamatkan Bank Universal karena harus dimerger dengan 3 bank
lainnya membentuk Bank Permata. Tapi, satu hal yang harus disyukuri, buah kerja mereka di Bank
Universal selama ini tidak sepenuhnya sia-sia. Banyak alumni Universal Bankers (begitu mereka
menyebut bankir Bank Universal) yang tetap mencuat karena kompetensi dan budaya kerja yang
unggul. Darah Citibank dan Bank Universal yang mengalir di tubuh para bankir itu membuat
mereka sulit untuk diabaikan. Sebutlah Mahdi Syahbudin dan Ongky W. Dana (Direktur Bank
Permata), N. Krisbiyanto dan Ekoputro Adijayanto (GM Bank Permata), Jerry Ng (Direktur Bank
Danamon), dan masih banyak lagi namanama lainnya.
Keunggulan manusianya, itulah yang membuat nama besar sebuah organisasi akan selalu
dikenang�- meski nama perusahaan bisa saja hilang karena merger, akuisisi, atau sebab-sebab
lainnya. Keunggulan manusia pula yang menjadikan perusahaan-perusahaan besar selalu tumbuh.
Manusia-manusia itu dibentuk dalam sebuah budaya korporat yang kuat, dengan sistem nilai dan
keyakinan yang seragam. Budaya itu kemudian tercemin pada sikap dan perilaku setiap anggota
organisasi itu. Seperti dikatakan Stephen dan banyak pakar, budaya korporat juga menjadi alat yang
efektif untuk menyaring orang-orang yang cocok dan tidak cocok dengan sebuah perusahaan.
Persoalan budaya korporat ini menjadi isu menarik di Indonesia karena derasnya gelombang merger
dan akuisisi, terutama pasca krisis ekonomi 1997. Gelombang merger paling dominan terjadi di
industri perbankan, industri yang dianggap sebagai jantung perekonomian. Kesulitan bisnis dan
kebijakan untuk memperkuat fondasi perbankan oleh BI mendorong terjadinya kegiatan merger di
perbankan. Bank Danamon, misalnya, menjadi surviving bank setelah merger dengan 7 bank
lainnya. Bank Mandiri merupakan bank bentukan baru hasil merger 4 bank pemerintah (Bank Exim,
BDN, BBD, dan Bapindo). Bank Permata terbentuk setelah merger Bank Universal dengan Bank
Bali dan 2 bank lainnya. Praktik merger diproyeksikan akan terus berlangsung dalam periode
konsolidasi perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia yang disusun oleh
McKinsey untuk BI. Kini Bank Pikko dan 2 bank lainnya sedang bersiap pula untuk merger.
Pembentukan budaya korporat pada sebuah entitas usaha hasil merger jelas bukan pekerjaan mudah.
Bagaimanapun, perusahaan-perusahaan yang merger telah memiliki budaya korporat masing-
masing. Dan, permasalahan yang dihadapi perusahaan hasil merger juga tidak sedikit. Jangankan
bicara pembentukan budaya korporat, konsolidasi operasional pada Bank Mandiri hingga kini masih
terus berlangsung. Padahal, merger Bank Mandiri sudah berlangsung sejak 2000. Tantangan
persaingan dan globalisasi bisnis mengharuskan Bank Mandiri untuk meninggalkan budaya
korporat lama yang menjadi khas bank pemerintah, seperti terlalu birokratis, lamban, dan kurang
berorientasi pada pasar serta nasabah.
Menarik memperhatikan pengembangan budaya korporat di Bank Permata. Kesibukan manajemen
dalam konsolidasi operasional dan internal sedikit banyak mengurangi perhatian terhadap
pembentukan budaya korporat Bank Permata. Belum lagi, begitu banyak masalah yang harus
dihadapi manajemen, seperti soal cessie yang belum beres dan kini ditambah lagi oleh rencana
divestasi Bank Permata dan wacana merger yang dilansir oleh manajemen Bank BNI. Kendati
demikian, beruntung sejumlah direksi bank ini muncul dari bank dengan budaya korporat yang
kuat, seperti Agus Martowadoyo (Citibank), Mahdi Syahbudin dan Ongki W. Dana (Citibank dan
Bank Universal). Sehingga visi, nilai-nilai, dan strategi usaha tetap bisa dibentuk meskipun secara
pelan-pelan.
Para pakar manajemen dan budaya korporat menegaskan bahwa pembentukan budaya korporat
membutuhkan waktu dan konsistensi dalam eksekusinya. Pembentukan budaya korporat juga harus
menggali nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam organisasi perusahaan, bukan dengan
mengambil dari pihak luar. "Jangan pernah Anda mengambil ideologi dan nilai-nilai dari
perusahaan hebat sekalipun untuk menjadi dasar penyusunan budaya korporat perusahaan Anda. Itu
sebuah kesalahan besar," ungkap pakar manajemen perubahan James C. Collins dan Jegry I. Porras
mengingatkan. Sebaiknya upaya menggali nilai-nilai itu dilakukan sendiri oleh manajemen
perusahaan, meskipun dalam praktiknya juga bisa dibantu oleh konsultan. Biasanya di perusahaan
hasil merger, menurut Nugroho Supangat, dibutuhkan tim khusus untuk pembentukan budaya
korporat, di mana CEO-nya terlibat penuh. Kalaupun melibatkan orang luar (semacam konsultan,
red), ia harus berpengalaman, netral, dan mengutamakan kepentingan perusahaan.
Budaya korporat mana yang mau dipakai oleh perusahaan hasil merger macam Bank Permata
tergantung kesepakatan manajemen baru. Apakah budaya korporat bank peserta merger terbesar
atau budaya korporat bank yang dianggap paling kuat atau kombinasi yang terbaik dari bank-bank
yang ada, pilihan-pilihan itu bisa saja diambil. "Konsultan bisa membantu mengeksplorasi nilai-
nilai dan keyakinan itu selaras dengan strategi perusahaan," ujar AB Susanto, Nugroho Supangat,
dan Marina Tusin di tempat terpisah.
Konsultan juga bisa berperan dalam mengatasi benturan-benturan antar pimpinan baru dalam
membentuk budaya korporat baru. Benturan mungkin saja terjadi karena masing-masing pimpinan
memiliki ego dan kebanggaan masing-masing. Kalaupun disepakati mengambil yang terbaik dari
perusahaan-perusahaan sebelumnya, lanjut Marina, harus ada kesepakatan tentang keunggulan dari
masing-masing nilai dan keyakinan itu.
Tahapan berikutnya, setelah budaya korporat berhasil diformulasikan, adalah sosialisasi atau
internalisasi budaya itu kepada seluruh jajaran perusahaan. Inilah tahapan paling menyita waktu,
tenaga, pikiran, dan komitmen dalam pembentukan budaya korporat. Prosesnya memakan waktu
lama, bisa 10-20 tahun, mencakup beberapa generasi kepemimpinan. Kelemahan perusahaan di
Indonesia adalah tidak adanya konsistensi dalam membangun budaya korporat oleh setiap CEO dari
waktu ke waktu. Kita pun wajib ragu bagaimana nasib budaya korporat Bank Mandiri bila kelak
E.C.W Neloe diganti atau budaya korporat Bank Permata jika Agus Martowardoyo diganti.
Keraguan semacam ini tidak akan pernah muncul pada perusahaan asing dan perusahaan-
perusahaan Indonesia yang diakuisisi oleh pemilik asing, seperti yang terjadi pada bii, Bank
Danamon, Telkomsel, Indosat, dan sebagainya. "Mereka hanya membeli perusahaan kita, sehingga
tidak banyak mengutak-atik budaya korporat yang sudah ada," tukas Nugroho Supangat. Tentu
dengan catatan bila budaya korporat yang ada sudah sesuai dengan kebutuhan strategi perusahaan.
Seandainya belum, pemilik asing akan mengintroduksikan nilai-nilai baru untuk menyempurnakan
budaya yang sudah ada. Sebagai contoh, Temasek�- yang menjadi pemilik baru pada bii dan Bank
Danamon - atau Singtel�- pemilik baru Telkomsel�- sangat concerned dengan upaya menggenjot
pemasaran sehingga nilai-nilai yang berkembang adalah fokus pada pendapatan dan profitabilitas.
Mudah-mudahan fokus ini tidak mengorbankan pelanggan atau mengorbankan kepentingan jangka
panjang perusahaan. Yang pasti, masuknya pemilik asing ini bisa menjadi momentum untuk
meningkatkan daya saing SDM dan perusahaan-perusahaan kita, termasuk dalam hal budaya
korporat.
Seperti dikatakan Marina Tusin, pembentukan budaya korporat ibarat menggulung benang. "Kalau
benangnya belum selesai digulung dan lepas, harus digulung lagi. Begitulah seterusnya." Karena
prosesnya membutuhkan waktu lama, maka budaya korporat akan mempengaruhi investasi dan
eksistensi perusahaan di masa depan. Maka, saatnya "menggulung benang" secara benar.

• Blog
• About Me
• Buku
• Paper
• Artikel
• Tugas Kuliah
• Agenda
• Isu Sentral
search in blog...

Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan


Juli 9, 2008 at 2:08 am | In Uncategorized |

Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan


Relevansinya dengan Kebijakan
Single Presence Policy

Oleh: Zulkarnain Sitompul

A. Pendahuluan
Memperkuat industri perbankan adalah upaya berkesimbungan yang harus dilakukan. Upaya itu
dilakukan mengacu pada cetak biru industri perbankan yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia
(API). Salah satu program dalam API adalah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan
salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan
konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan efektivitas
pengawasan bank. Dalam rangka konsolidasi dilakukan penataan kembali struktur kepemilikan bank yang
dimaksudkan untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat sehingga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.[1]
Peningkatan modal bank merupakan salah satu upaya untuk memperkuat sistem perbankan. Dengan
permodalan yang kuat bank dapat mengemban risiko yang tinggi. Itulah sebabnya kecukupan modal tetap
merupakan fokus utama regulator dalam menciptakan bank yang sehat dan aman. Setidaknya ada empat
alasan mengapa regulator berupaya meningkatkan, memaksakan dan menekankan pentingnya kecukupan
modal bagi bank. Pertama, modal dapat menyerap kerugian yang timbul tidak terduga. Kedua, modal
melindungi kreditur yang tidak dijamin bila terjadi insolvensi dan kemungkinan terjadinya likuidasi. Ketiga,
modal melindungi dana lembaga penjamin simpanan dan dana pembayar pajak. Keempat, modal
memungkinkan bank melakukan investasi untuk keperluan memperlacar arus jasa.[2]
Modal bank-bank di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan modal bank di negara
tetangga padahal bank dikenal sebagai usaha padat modal dan berisiko tinggi. Rata-rata modal inti bank
umum di Indonesia adalah Rp.1.347,4 milyar[3] sedangkan di Malaysia Rp5.503,62 milyar, Thailand
Rp8.919,36 milyar, Philipina Rp1.961,32 milyar dan Singapura Rp34,976.88 milyar. [4] Tidak satupun bank
di Indonesia termasuk dalam 200 besar tingkat dunia bandingkan dengan Singapura yang memiliki tiga,
Thailand satu, India dua dan Korea Selatan tujuh. Dari 131 bank di Indonesia hanya sembilan bank yang
tercatat masuk dalam peringkat 1000 dunia. Bank Mandiri sebagai bank terbesar dari sisi aset hanya
menduduki peringkat ke 251 dunia.[5]
Untuk meningkatkan permodalan bank, Bank Indonesia menetapkan ketentuan agar bank umum
meningkatkan modal inti menjadi minimal Rp.80 milyar pada Desember 2007 dan minimal Rp100 milyar
pada Desember 2010. Dengan kewajiban untuk meningkatkan modal tersebut diharapkan akan terjadi
merger dan akuisisi sehingga struktur kepemilikan bank menjadi lebih sehat. Sejalan dengan kebijakan
peningkatan modal BI juga mengeluarkan ketentuan yang dikenal dengan kebijakan Kepemilikan Tunggal
Pada Perbankan Nasional atau populer dengan single presence policy (SPP). Ketentuan ini menetapkan,
setiap pihak, perorangan atau korporasi, hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu
bank.[6] Tujuannya adalah untuk mendorong konsolidasi perbankan dan mendukung efektivitas
pengawasan bank.

Ketentuan tentang SPP dimaksud tentunya berimplikasi pada pihak-pihak yang sudah menjadi
Pemegang Saham Pengendali di dua atau lebih bank. Untuk itu kepada mereka diberikan tiga pilihan agar
kepemilikannya pada bank sejalan dengan ketentuan SPP. Pertama, melepas kepemilikannya sehingga
hanya menjadi PSP pada satu bank. Kedua, menggabungkan (merger) bank yang dimiliki. Ketiga,
membentuk/mendirikan bank holding company (BHC) dan mengalihkan kepemilikan bank kepada
BHC[7]. Ketentuan SPP dikecualikan bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran. Pengecualian juga
berlaku bagi PSP yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan
prinsip berbeda yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.

Menurut penulis paling tidak ada tiga masalah yang timbul dalam implementasi SPP. Pertama
penentuan pihak yang menjadi PSP bank. Hal ini terkait dengan ketentuan tentang ultimate shareholder
dalam menetapkan pemilik bank. Kedua pilihan yang ideal dari tiga opsi yang ditentukan dan ketiga,
khusus untuk bank milik pemerintah opsi apa yang sebaiknya dipilih. Ketiga masalah tersebut merupakan
issu yang dibahas dalam tulisan ini.

B. Kepemilikan dan Kepengurusan Bank


a. Kepemilikan

Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.[8] Pentingnya
persetujuan BI dilatarbelakangi pengalaman bahwa pemilik, direksi dan pejabat eksekutif bank merupakan
penanggung jawab utama menjaga bank tetap sehat dan kuat.. Secara bersama-sama pemilik dan
pengurus harus menciptakan kerangka pengawasan internal dalam menjalankan operasional bank dan
memastikan bahwa kegiatan usaha bank sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan aman.[9]
Struktur kepemilikan bank dapat menjadi insentif bagi pemilik untuk melakukan kegiatan yang tidak sehat
dan tidak aman. Bank dapat disalahgunakan menjadi sumber dana bagi pemilik. Pinjaman kepada orang
dalam merupakan faktor penyebab utama terjadinya bank bermasalah di banyak negara. Bilamana motivasi
memiliki bank adalah untuk merampoknya maka internal governance semata tidak akan dapat mencegah
hal tersebut.[10]
Soal penting tentang kepemilikan adalah menjawab pertanyaan siapa sebenarnya pemilik bank.
Pertanyaan timbul karena dalam hal kepemilikan terdapat dualisme pengertian yaitu legal owner (pemilik
yang tercatat menurut hukum) dan beneficial owner ((pihak yang menikmati manfaat ekonomis dari benda
yang dimiliki oleh legal owner). Sebagian ahli hukum perusahaan menyatakan bahwa sistem hukum
Indonesia yang mewarisi tradisi hukum kontinental tidak mengenal adanya dualisme kepemilikan.[11]
Adanya dualisme kepemilikan adalah akibat dianutnya konsep trust yang berasal dari tradisi common law.
Legal owner berfungsi sebagai pihak yang melakukan pemeliharaan atau pengurusan suatu harta kekayaan.
[12]
Dalam menetapkan pemilik bank, Bank Indonesia menerapkan konsep ultimate owner. Berdasarkan
konsep ini pemilik adalah pihak yang menerima manfaat atas kepemilikan tersebut (beneficial owner). Pihak
yang menerima manfaat tersebut dapat berbeda dengan legal owner. Oleh karena itu, pihak yang menerima
manfaat dari kepemilikan bank wajib diungkapkan. Kewajiban untuk mengungkapkan juga berlaku untuk
perusahaan terbuka. Hampir di semua negara maju terdapat ketentuan yang mewajibkan untuk
mengungkapkan kepentingan substantif suatu pihak terhadap perusahaan terbuka. Pada tahun 1972
Australia misalnya telah memberlakukan kewajiban agar suatu pihak yang memiliki secara substantif
saham suatu perusahaan publik untuk mengungkapkan kepemilikannya kepada perusahaan dan kepada
bursa dimana saham tersebut diperdagangkan. Berdasarkan ketentuan tersebut kewajiban tersebut muncul
bilamana suatu pihak memiliki hak suara pada suatu perusahaan sebesar 5%.[13]
Kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan dilandasi beberapa alasan. Pertama, identitas pemegang
saham pengendali atau calon pemegang saham pengendali suatu perusahaan merupakan informasi investasi
yang penting. Kedua, dalam rangka akuisisi keterbukaan informasi atas kepemilikan dimaksudkan untuk
menjamin agar peralihan pengendalian perusahaan berlangsung secara terbuka dan efisien. Ketiga, untuk
mencegah terjadinya insider trading dan manipulasi pasar.[14]
Penentuan bentuk hubungan hukum antara legal owner dengan beneficial owner terkadang sulit
dilakukan. Diketahuinya bentuk hubungan hukum perlu untuk menetapkan tanggung jawab masing-masing
pihak. Ada beberapa kemungkinan tentang hubungan hukum antara legal owner dan beneficial owner
yaitu nominee atau terjadi hubungan pengurusan, perwakilan atau keagenan. Masing-masing bentuk
hubungan hukum tersebut membawa konsekwensi hak dan tanggung jawab yang berbeda. Masalah lain
yang timbul dalam penentuan ultimate shareholder terjadi pada perusahaan dengan struktur kepemilikan
yang kompleks dan melibatkan perusahaan khusus (special purpose vehicle) atau pada kepemilikan yang
melibatkan investment bank.[15]
Konsep kepemilikan perusahaan ini sering menimbulkan pertanyaan tentang apakah badan hukum
(legal personality) dapat dimiliki dalam segala bentuk dan cara yang efektif. Akan selalu ada biaya keagenan
dalam setiap struktur perusahaan dimana seseorang selain manajemen memiliki modal. Perusahaan terbuka
memiliki pengurus dengan agenda yang dapat berbeda dengan pemilik. Tantangan terhadap penerapan
governance adalah memastikan bahwa penyelesaian perselisihan diantara organ perusahaan adalah suatu
proses terbuka dan adil (fair). Tantangan ini utamanya dijawab oleh hukum dengan menerapkan standar
prosedur yang tinggi dan pengaturan tentang standar fiducia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang dimaknai dengan memiliki sebagian dari sesuatu.
Pemegang saham (stockholder) misalnya dianggap “memiliki” perusahaan tempat mereka berinvestasi.
Tetapi bagian dari modal tidak dapat diterjemahkan dengan memiliki sebagian dari harta perusahaan,
kecuali bila perusahaan tersebut bubar dan masih tersisa harta untuk dibagi diantara sesama pemegang
saham. Terbatasnya tanggung jawab pemegang saham terbatas mengandung arti membatasi tanggung
jawabnya atas kesalahan perusahaan. Manusia berkaitan dengan secara khusus terhadap sesuatu yang
dimilikinya. Kepemilikan tidak hanya suatu alat untuk mengukur kekayaan. Kepemilikan adalah suatu unsur
dari kepuasaan pribadi. Adam Smith meyakini bahwa proteksi terhadap individu dalam menikmati hak
milik merupakan salah satu dari sedikit aktivitas sah suatu pemerintahan sipil.
Kepemilikan telah menjadi persoalan sejak awal sejarah umat manusia, Sengketa tentang kepemilikan
telah mewarnai cerita dalam kitab suci. Pada akhir abad ke delapan belas pandangan tentang hak milik
(properti) melibatkan suatu hubungan langsung antara pemilik dengan yang dimilikinya. John Lock
berpendapat bahwa properti hanya sah sepanjang properti tersebut memberikan kepuasan pribadi. Hak
milik pribadi dipandang penting karena menjamin warga negara dapat melindungi kemerdekaan dirinya
dari kekuasaan. Konsep utama pandangan Barat tentang kepemilikan adalah si pemilik memiliki insentif
mengelola miliknya tersebut dengan cara yang tidak merugikan masyarakat secara keseluruhan. Adam Smith
mengatakan “even if a businessman “intend only his own gain, he is…led by an invisible hand to promote an
end which in not his intention”. Pendapat Adam Smith ini masih digunakan sebagai pondasi kebijakan
banyak pemerintahan. Terdapat pertentangan alamiah antara kebebasan dan kesetaraan. Pada satu sisi
manusia harus diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dan pada saat yang sama menimbulkan
perbedaan dan ketidak setaraan. Pada sisi lain hanya kesetaraan yang dapat diterima sebagai basis bagi
suatu negara yang beradab.
Keberadaan perusahaan bersamaan dengan diakuinya hak milik pribadi. Namun demikian perusahaan
adalah suatu subset unik dari kategori kepemilikan yang diciptakan untuk suatu alasan unik dan memiliki
karakter unik pula. Perusahaan diciptakan sebagai cara menyelesaikan sebagian tantangan yang muncul
akibat dari kepemilikan pribadi. Bentuk awal perusahaan lebih mirip kotapraja dibandingkan dengan usaha
bisnis yaitu berupa kota dan universitas yang ditemukan pada abad pertengahan. Unsur utama suatu
perseroan adalah keberadaannya yang independen dari keanggotaan tertentu dan seluruh kekayaan dan
utang adalah milik perusahaan tersebut. Unsur inilah yang membedakan perseroan dengan firma
(partnership). Dikembangkannya sistem double entry dalam pembukuaan pada akhir abad pertengahan,
awalnya dimaksudkan untuk memeriksa terjadinya kesalahan dalam pembukuan yang kemudian
berkembang menjadi teknik untuk memisahkan kegiatan bisnis dengan kegiatan pribadi. Dengan demikian
perseroan menjadi entitas terpisah yang usianya dapat lebih lama dari umur pemilik ataupun pengurusnya.
William Blackstone salah seorang ahli hukum terkemuka Inggris, dalam salah satu keputusannya
menetapkan bahwa King Charles I tidak dapat secara sepihak membatalkan piagam kota London.
Perseroan dengan demikian berhak memiliki harta kekayaan sesuai dengan aturan yang ditetapkan
pemerintah. Hak kepemilikan seperti ini yang dapat membatasi campur tangan penguasa merupakan dasar
dari perusahaan modern. Kewenangan perusahaan, meski terbatas dipandang dari sudut jangka waktu,
cakupan dan tujuan, didisain untuk mengatasi kekuasaan negara yang tanpa batas. Kondisi ini merupakan
ancaman serius bagi pemerintah. Melalui kepemilikan perusahaan, individu dapat memiliki kekayaan yang
dengan sendirinya merupakan sumber kekuasaan mandiri. Kehadiran sektor swasta tidak hanya
mengancam pusat kekuasaan tetapi juga merupakan ancaman bagi kemapanan para penguasa. Kekayaan
negara tidak lagi dengan mudah digunakan untuk pet proyek penguasa. Bila negara dibentuk dan
dikendalikan sebagaimana layaknya perusahaan, bukankah ini yang diimpikan oleh para filosof dan ahli
politik sebagai negara ideal?
Dalam jangka pendek struktur perseoran yang independen dapat merupakan ancaman bagi kekuasaan
pemerintah. Namun perusahaan pada akhirnya adalah sekutu pemerintah. Independensi perusahaan yang
diberikan oleh pemerintah menjadikan pemerintah lebih diterima oleh masyarakat. Konsekwensi diakuinya
hak milik individual membuat pemerintah berkewajiban menjaga agar hak tersebut dapat dinikmati
pemiliknya dengan baik. Kepemilikan secara umum dan kepemilikan saham khususnya dibutuhkan untuk
mengorganisasikan bakat, uang dan energi yang penting bagi kemajuan teknologi dan industri.
Membolehkan kepemilikan sebagian melalui penawaran umum membuka akses pada modal untuk
membiayai industri modern. Struktur perusahaan merupakan hal penting dalam mentransformasikan
perdagangan menjadi suatu tatanan yang teratur. Keduanya berdasarkan pada prinsip yang sama yaitu
spesialisasi. Seseorang tidak butuh pengetahuan tentang bagaimana membuat kursi agar dapat bekerja di
perusahaan kursi tetapi cukup mengetahui bagaimana memasang bantalan kursi ke tempatnya. Seseorang
juga tidak perlu mengatahui bagaimana membuat kursi untuk berinvestasi pada perusahaan kursi, yang
diperlukan adalah membeli saham perusahaan kursi tersebut.[16]

b. Kepengurusan
Pertanyaannya adalah bentuk pengurusan bagaimana yang ideal bagi bank. Jawaban atas pertanyaan ini
penting karena sejarah perkembangan perusahaan memperlihatkan bahwa perusahaan telah banyak
berubah dalam beberapa dekade terakhir. Profil rata-rata perusahaan lima puluh tahun yang silam misalnya
jauh berbeda dengan profil perusahaan saat ini. Namun demikian, beberapa prinsip dasar pengurusan
perusahaan seperti prinsip fiducia masih tetap relevan dengan masalah self-dealing oleh pengurus terlepas
dari perkembangan dan perubahan yang telah terjadi pada perusahaan. Wiraswastawan generasi awal
umumnya memiliki dan mengurus sendiri perusahaannya. Profil perusahaan tradisional adalah kecil dan
dikelola oleh pemiliknya sendiri.
Sejalan dengan pertumbuhan perusahaan maka jumlah pemegang sahampun turut bertambah. Masing-
masing pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang kecil. Dengan kata lain, tidak terdapat
konsentrasi kepemilikan saham yang konsekwensinya kewenangan pengurusahan dilakukan oleh pihak lain.
Dengan demikian terjadi peralihan kewenangan pengurusan perusahaan dari pemegang saham kepada
pengurus perusahaan. Pada perusahaan publik, manajemen puncak sering kali hanya memiliki jumlah
saham yang sedikit. Namun demikian, karena jumlah pemegang saham tersebar luas di masyarakat maka
pengurus perusahaan mampu memiliki fungsi kontrol terhadap perusahaan. Telah sejak lama diskusi
mengenai perusahaan dimulai dari pendapat bahwa pengurus perusahaan memiliki kekuasaan dan dapat
menggunakannya untuk mengeksploitasi investor, konsumen atau keduanya. Para pengurus perusahaan
mengetahui dengan tepat kondisi perusahaan dan dapat menyembunyikan kondisi perusahaan tersebut dari
investor. Informasi tentang kualitas pengelolaan perusahaan juga mudah dirahasiakan. Dipersenjatai
dengan pengetahuan pribadi dan kemampuan menciptakan investor dalam kegelapan, pengurus perusahaan
dapat membentuk opini untuk kepentingan mereka dan sekaligus mencuri dan melakukan salah
pengelolaan.[17]
Di Amerika Serikat (AS) sistem pengelolaan perusahaan dilakukan secara outsider/arm’s-length yaitu
pengelolaan yang dilakukan oleh orang luar (outsider) perusahaan. Sistem ini terjadi karena tersebarnya
kepemilikan perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar di AS hampir seluruhnya adalah perusahaan
terbuka dan hanya segelintir perusahaan yang sahamnya masih berada di tangan pengendali perusahaan.
Kepemilikan saham yang besar apalagi kepemilikan saham mayoritas adalah suatu hal yang tidak lazim di
AS. Terminologi arm’s length tepat untuk konteks AS karena pemegang saham menjaga jarak dan
membiarkan pengurus bebas melakukan pengelolaan perusahaan. Pendekatan ini berhasil karena dalam
situasi normal investor lebih tertarik pada kinerja umum portfolio saham yang mereka miliki dibandingkan
perkembangan yang melibatkan satu perusahaan tertentu. Gejala pemisahaan antara kepemilikan dan
kepengurusan ini telah diindentifikasi oleh Adolf Berle dan Gardiner Means di awal tahun 1930an yang
kemudian dikenal dengan “Berle-Means Corporation”.
Analisis Adolf Berle dan Gardiner Means ini telah menimbulkan perdebatan panjang. Akan tetapi para
ahli sependapat bahwa “Berle-Means Corporation” merupakan paradigma dominan dalam sistem ekonomi
pasar. Pemisahaan antara kepemilikan dan pengelolaan merupakan sistem yang menguntungkan karena
pengurus dapat dipekerjakan semata-mata berdasar atas kompetensi yang mereka miliki. Hal ini dapat
terjadi karena pengurus tidak diharapkan dapat memberikan kontribusi keuangan kepada perusahaan yang
mempekerjakan mereka atau memiliki ikatan keluarga atau hubungan pribadi dengan pemegang saham
pengendali. Berbeda dengan AS, di Jepang dan Eropa kontinental, pengelolaan perusahaan dilakukan oleh
insider/control-oriented. Berdasarkan sistem ini pasar modal misalnya hanya memainkan peran kedua
dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya dijual di bursa umumnya dimiliki oleh
pemegang saham pengendali dan atau kreditur dominan yang mempengaruhi manajemen. [18]
Riset yang dilakukan oleh Claessens, Djankov and Lang tentang siapa yang mengontrol perusahaan di
Asia Timur (Hong Kong, Indonesia, Japan, South Korea, Malaysia , the Philipines, Songapore, Taiwan dan
Thailand) menunjukan:[19]
a. Lebih dua pertiga perusahaan di kontrol oleh pemegang saham tunggal
b. Pemisahaan antara pengusus dan pemilik sangat jarang
c. Top manajemen dari 60% perusahaan terkait dengan keluarga
d. Kontrol keluarga yang ekstensif pada lebih dari separoh perusahaan
Kecenderungan perekonomian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa versi kapitalisme model AS lebih
dominan dan “Berle-Means Corporation” menghasilkan efisiensi sebagaimana yang diajarkan oleh teori dan
juga kenyataannya perusahaan-perusahaan dengan orientasi insider/control mulai melakukan divestasi dan
menghilangkan struktur kepemilikan silang yang rumit dan secara perlahan bergerak kearah kepemilikan
yang tersebar.
Studi emperis menunjukan bahwa pertama, tingkat proteksi yang diberikan oleh sistem hukum suatu
negara kepada outside investor berdampak signifikan terhadap regim pengelolaan perusahaan di negara
tersebut. Hal ini terjadi di Amerika Serikat. Kedua, struktur institusi yang kuat juga dapat menciptakan
sistem penyebaran kepemilikan perusahaan sebagaiman yang terjadi di Inggris. Proteksi hukum yang kuat
bagi pemegang saham minoritas berkaitan erat dengan pertama, banyaknya jumlah perusahaan yang
tercatat di bursa efek. Kedua, lebih bernilainya pasar modal. Ketiga, lebih rendah manfaat kontrol pribadi
terhadap perusahaan dan keempat, lebih terpecahnya kepemilikan saham. Dengan perkataan lain
konsentrasi kepemilikan adalah konsekuensi lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham
minoritas.[20]
Di negara yang lemah memberikan perlindungan hukum terhadap investor menyebabkan investor
potensial enggan membeli saham perusahaan. Keengganan investor tersebut pada akhirnya membuat
pemilik memutuskan untuk tidak menjual sahamnya kepada publik. Hasil yang berbeda akan terjadi apabila
suatu negara mengatur sikap oportunistik para insider sehingga pemegang saham minoritas merasa aman.
Dengan kondisi tersebut maka investor akan bersedia membeli dengan harga penuh saham yang dijual
sehingga menurunkan biaya modal bagi perusahaan yang memilih menjual saham di pasar modal. Kondisi
ini pada gilirannya meningkatkan penawaran umum saham dan sekaligus membangun pasar modal yang
kuat dan menciptakan sistem kepemilikan perusahaan tersebar.[21]
Terjadinya penyebaran kepemilikan juga dapat disebabkan oleh kuatnya lembaga peradilan. Hal ini
misalnya terjadi di Inggris. Berbeda dengan Amerika Serikat, penyebaran kepemilikan saham perusahaan di
Ingris bukan disebabkan kuatnya perlindungan yang diberikan hukum kepada pemegang saham minoritas.
Hal ini terlihat pada tahun 1907 hampir 600 perusahaan tercatat pada London Stock Exchange. Jumlah ini
meningkat menjadi 3500 perusahaan pada tahun 1951. Pada tahun-tahun sebelum tahun 1914, perusahaan-
perusahaan terbuka (public companies) Inggris masih dimiliki dan dikelola secara dominan oleh keluarga.
Pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan baru benar-benar terjadi pada tahun 1950an.
Meskipun hakim-hakim Inggris terkenal reputasinya sebagai incorruptibility, impartiality and
dicisiveness, namun demikian Inggris tidak termasuk negara yang memberikan perlindungan bagi investor.
Hukum perusahaan yang berlaku atau prinsip common law yang secara tegas melindungi pemegang saham
minoritas tidak dikenal. Hak gugat derivatif misalnya bukan suatu yang lazim dan pengadilan enggan
memberi pemegang saham minorits legal standing untuk menggugat atas nama perusahaan. Sampai
pertengahan pertama abad 20, hukum perusahaan Inggris tidak mengatur insider dealing. [22]
Berkembangnya pasar modal Inggris banyak dipengaruhi oleh pertama, financial intermediaries.
Perusahaan-perusahaan yang ingin go publik harus melalui pemeriksaan yang ketat oleh financial
intermediaries. Ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh financial intermediaries adalah untuk menjaga
reputasi lembaga keuangan tersebut. Kedua, London Stock Exchange juga memerankan peranan penting
dalam mengembangkan pasar modal. Sebagai lembaga swasta, London Stock Exchange menetapkan aturan
yang ketat bagi perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya. Dengan demikian, meskipun Inggris tidak
mengenal rejim hukum yang memberikan perlindungan bagi pemegang saham minoritas akan tetapi
kuatnya peranan yang diberikan oleh kedua lembaga ini membuat banyaknya investor yang menanamkan
dananya dengan membeli saham perusahaan.[23]

Tersebarnya kepemilikan perusahaan pada gilirannya memisahkan antara kepengurusan dan kepemilikan
perusahaan.[24] Pemisahaan ini dapat menimbulkan benturan kepentingan antara pengurus dan pemilik,
benturan antara sesama pemegang saham dan ketiga benturan antara pemegang saham secara keseluruhan
dengan bukan pemegang saham seperti kreditur, pegawai atau konsumen. Berbagai mekanisme telah
dikembangkan untuk mengatasi benturan kepentingan ini. Bermacamnya variasi mekanisme penyelesaian
yang diterapkan secara spesifik oleh suatu negara menunjukankan bervariasinya kultur hukum dan politik.

C. Penerapan Ketentuan Single Presence Policy


Terdapat tiga opsi bagi PSP yang memiliki lebih dari dua bank. Pilihan mana yang ditetapkan tentunya
harus berdasarkan keputusan bisnis. Artinya opsi yang sejalan dengan strategi pengembangan perusahaan.
Dari kaca mata konsolidasi perbankan, opsi merger adalah opsi terbaik. Hal ini sejalan dengan kondisi
perbankan Indonesia yang terfrakmentasi dalam kaitannya dengan jumlah dan ukuran, struktur
kepemilikan, keuntungan dan daya saing serta penggunaan teknologi modern. Tidak jarang tiga atau empat
bank besar berusaha berdampingan dengan bank kecil dan bank perkreditan rakyat yang banyak diantaranya
dimiliki oleh keluarga. Sangat jarang terdapat bank yang telah go public. Dengan kondisi demikian maka
merger merupakan solusi terbaik sebagai alat meningkatkan struktur dan efisiensi industri perbankan.[25]
Dengan merger masalah kecilnya permodalan bank secara bertahap dapat diatasi. Secara tersirat Bank
Indonesia menghendaki agar opsi merger yang dilpilih oleh PSP. Rendahnya permodalan bank di Indonesia
telah menimbulkan masalah karena perbankan merupakan industri padat modal dengan risiko usaha tinggi.
Kecilnya modal bank menimbulkan masalah skala ekonomi (economic of scale).[26]
Namun demikian masalah hukum penting yang perlu dicermati bila opsi merger yang dipilih adalah
masalah monopoli dan pengusaan pasar. Merger yang menyebabkan suatu perusahaan menguasai pasar dan
meningkatkan konsentrasi pasar, besar kemungkinan menurunkan persaingan secara substantif dan oleh
karenanya harus dicegah kecuali dapat dibuktikan bahwa merger tersebut tidak menimbulkan anti
persaingan.[27] Undang Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat penting disimak agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Undang-undang ini
mengatur tentang perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang. Untuk itu dapat digunakan dua
acuan yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan pe se illegal menitikberatkan
pandangan pada perilaku pengusaha tanpa terlalu mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan social
secara luas. Sedangkan pendekatan rule of reason mempertimbangkan prinsip efisiensi dengan turut
mempertimbangkan akibat negatif dan positif dari suatu tindakan terhadap proses persaingan. [28] Tujuan
keberadaan undang-undang tersebut adalah untuk efisiensi ekonomi, kesetaraan dalam kesempatan masuk
pasar, pengurangan regulasi, menghindari konsentrasi pasar oleh beberapa pelaku usaha.[29]
Pilihan merger akan menciptakan suatu bank besar yang dapat berfungsi sebagai bank internasional
dalam pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia. Pilihan ini cukup rumit, mulai dari penyesuaian system,
penyelarasan budaya kerja dan yang paling sulit adalah menghindari agar tidak terjadi pemutusan hubungan
kerja (PHK). Karena, mau tidak mau merger mengakibatkan PHK yang pada gilirannya akan membawa
masalah-masalah sosial dan politik. Pilihan merger merupakan pilihan yang didorong agar dilakukan oleh
industri perbankan, meski tidak begitu diinginkan alasannya pemilik bank-bank kecil enggan melepaskan
kepemilikannya tanpa mendapatkan insentif khusus.[30] Keengganan pemilik melakukan merger
menimbulkan pertanyaan tentang kewenangan dimiliki regulator. Singkatnya, apakah Bank Indonesia
sebagai regulator berwenang memaksa pemilik bank untuk melakukan merger. Pasal 26 huruf c UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 menetapkan
Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank. Dengan ketentuan
seperti memaksa bank merger tentunya dapat menjurus pada tindakan sewenang-wenang karena
bertentangan dengan prinsip hak milik.
Upaya paksa yang dimiliki oleh Bank Indonesia ditetapkan dalam Pasal 37 UU No.10 Tahun 1998.
Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37 dibatasi untuk bank yang mengalami kesulitan keuangan.
Klausula tersebut sejalan dengan prinsip kebebasan individu untuk memiliki hak milik pribadi. Hak milik
pribadi hanya dapat diambil negara bilamana berbenturan dengan kepentingan umum. Bank yang sedang
mengalami kesulitan keuangan tentunya merugikan masyarakat sehingga dapat dipaksa mengambil
langkah-langkah tertentu untuk melindungi dana masyarakat yang disimpan di bank. Salah satu langkah
tersebut adalah memaksa bank untuk merger. Paksaan ini sulit diterapkan pada bank yang tidak mengalami
kesulitan keuangan. Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh regulator adalah menciptakan iklim yang
dapat mendorong terjadinya merger secara sukarela.
Pilihan terbaik kedua adalah melepaskan kepemilikan. Sejalan dengan pemikiran bahwa tersebarnya
kepemilikan akan membawa governance yang lebih baik, maka cara melepaskan kepemilikan yang ideal
adalah melalui pasar modal. Melalui go public, tidak saja akan terjadi penyebaran kepemilikan tetapi juga
akan membawa diterapkannya prinsip keterbukaan yang berlaku di pasar modal. Penerapan prinsip
keterbukaan pada industri perbankan akan meningkatkan peran masyarakat dalam melakukan pengawasan
terhadap industri perbankan (market dicipline).
Melepaskan kepemilikan kepada pihak asing merupakan opsi yang layak dipertimbangkan. Kehadiran
asing dalam industri perbankan di Indonesia dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu pembukaan kantor
cabang, mendirikan perusahaan anak atau mengakuisisi bank yang telah berdiri baik secara langsung atau
melalui pasar modal. Kepemilikan asing pada bank domestik maksimum 99% dari modal bank. Banyak studi
menunjukan bahwa kehadiran asing dalam industri perbankan domestik meningkatkan efisiensi.
Opsi ketiga menurut penulis adalah pilihan paling buruk yang sedapat mungkin dihindari. Pilihan ini
pada dasarnya diajukan untuk mereduksi timbulnya kompleksitas permasalahan hukum terkait kepemilikan
bank bila opsi pertama dan opsi kedua sulit ditegakan. Mendirikan perusahaan holding tidak saja
menimbulkan kerumitan hukum karena UU No 40 tentang PT mewajibkan setiap perusahaan memiliki
kegiatan usaha. Ketentuan BI menetapkan bahwa perusahaan holding tidak boleh melakukan kegiatan
usaha selain menjadi pemegang saham bank. BHC wajib bertindak sebagai penentu arah strategis bagi bank-
bank yang menjadi anak perusahaannya dan sekaligus mengkonsolidasikan laporan keuangan bank-bank
tersebut. Perusahaan holding dapat berupa hasil pendirian badan hukum baru atau menunjuk salah satu
bank sebagai holding. Kerumitan yang lain adalah memperpanjang mekanisme pengambilan keputusan.
Tambahan birokrasi berupa perusahaan holding tentu akan menimbulkan biaya. Pilihan ini mestinya tidak
diambil, bila tujuan yang dicapai adalah membangun bank dan sistem perbankan yang sehat.

Konsep BHC pertama dikenalkan di AS dengan pada saat dikeluarkanya The Bank Holding Company
Act pada tahun 1956. Menurut Undang-undang ini BHC adalah setiap perusahaan yang memiliki saham
minimal 25% pada suatu bank. BHC dimaksudkan untuk menghindari pembatasan pendirian cabang antar
negara bagian (interstate branching) yang waktu itu diterapkan di AS dan juga untuk kepentingan pajak.
Konsep BHC kemudian diperluas menjadi Financial Hoding Company melalui Gramm Leach Bliley Act yang
ditandatangi Presiden Clinton pada November 1999. Baik BHC maupun FHC berada di bawah pengawasan
bank sentral AS yaitu Federal Reserve.
Pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan itu harus mempertimbangkan
tujuan ditetapkannya kebijakan SPP yaitu untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat
sehingga industri perbankan tidak menjadi beban keuangan pemerintah seperti yang terjadi pada krisis
keuangan tahun 1997.

D. Pilihan untuk Bank Milik Pemerintah


Salah satu PSP yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan SPP adalah pemerintah sebagai PSP di
empat Bank BUMN. Dari tiga opsi yang disedikan menurut penulis opsi melepaskan kepemilikan merupakan
opsi terbaik. Pilihan merger disamping mahal juga akan menimbulkan masalah hukum terkait dengan
larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Menggabungkan seluruh bank milik pemerintah
menjadi satu bank tentunya akan mengakibatkan terjadinya konsentrasi pasar. Pembentukan holding adalah
pilihan paling mudah tetapi sekaligus pilihan buruk karena pada dasarnya kementerian negara BUMN
berfungsi sebagai holding.
Sementara itu, diberlakukannya ketentuan SPP merupakan momentum bagi pemerintah untuk
mengkaji ulang untung rugi memiliki bank baik dalam kerangka kesehatan sistem perbankan maupun
kesehatan bank secara individu. Pengalaman menunjukan, bank BUMN memiliki kinerja yang kurang
cemerlang, dililit kredit macet melebihi jumlah yang dapat ditolerir. Survey yang dilakukan oleh bank sentral
China menunjukan bahwa kredit macet yang terjadi pada bank BUMN Cina disebabkan oleh intervensi
pemerintah. Tiga puluh persen kredit macet terjadi karena intervensi pemerintah pusat atau pemerintah
daerah.[31] Banyak studi menunjukan bahwa terjadi penurunan produktivitas, alokasi dan dinamisasi
efisiensi pada sistem perbankan yang didominasi oleh bank milik pemerintah. [32] Kehadiran bank BUMN
dalam sistem perbankan juga membawa masalah yaitu timpangnya medan permainan. Sebagai milik
pemerintah, bank BUMN mendapat keuntungan tertentu. Sementara itu sebagai perusahaan milik negara,
Bank BUMN juga terkendala atauran main yang berlaku khusus untuk perusahaan milik negara. Seperti
misalnya untuk menyelesaikan kredit macet, dibutuhkan prosedur khusus yang tidak efisien untuk
dilaksanakan.[33]
Pilihan optimal adalah melepas kepemilikan pemerintah pada bank BUMN. Pilihan ini merupakan yang
terbaik untuk kepentingan pemerintah maupun bagi sistem perbankan. Melepaskan kepemilian pemerintah
bukan hanya sebatas privatisasi dalam pengertian mengubah kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan
swasta.[34] Privatisasi harus dalam bentuk menjual dan menyebarkan kepemilikan kepada masyarakat
sehingga akan terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan yang dalam literatur korporasi
dikenal dengan Berle-Means Corporation. Hanya saja pemisahaan antara pemilik dengan pengurus akan
menghilangkan dominasi pemilik atas perusahaan. Dipandang dari kaca mata ekonomi pemilik yang tidak
memiliki kewenangan dalam mengurus perusahaan dan hanya menjadi observer pasif konsisten dengan
kepentingan terbaik pemegang saham. Akan tetapi pemisahaan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan
psikologis pemilik yaitu kebutuhan turut berpartisipasi dan terlibat aktif mengawasi perusahaan.[35] Oleh
karena itu melepaskan kepemilikan pemerintah pada bank BUMN membutuhkan adanya kemauan politik.

Bila opsi ini yang ditempuh maka cara yang efektif adalah melalui pasar modal. Baik melalui pencatatan
di bursa domestik maupun di bursa negara lain. Namun demikian harus diingat bahwa listing di bursa hanya
langkah awal dalam mereformasi bank BUMN. Tujuan akhir dari listing adalah menerapkan keseluruhan
sistem pasar berupa insentif dan disinsentif pada bank BUMN. Dalam perspektif corporate governance,
listing akan menimbulkan kewajiban transparansi dan memperkuat monitoring oleh masyarakat. Artinya
listing akan menciptakan pengawasan publik dalam arti sebenarnya. Keuntungan lain dari go public adalah
mencegah terjadinya tarik ulur dalam melakukan reformasi. [36]
Untuk mencapai hasil optimal tentu saja sebelum melakukan listing, kinerja bank harus diperbaiki dan
neraca bank dibersihkan dari obligasi rekap, misalnya dengan melakukan buy back. Kepemilikan tersebar
memiliki keunggulan tersendiri. Terpecahnya kepemilikan akan menjadikan pengurusan dilakukan oleh
outsider, tanpa direcoki oleh “kepentingan” jangka pendek pemilik. Pengelolaan oleh outsider ini akan
meningkatkan kinerja bank sehingga pajak yang diterima pemerintah meningkat.. Risiko bila pemerintah
tetap mempertahankan diri menjadi PSP adalah bertanggungjawab secara finansial apabila bank mengalami
kesulitan keuangan. Sesuai ketentuan, PSP bertanggung jawab penuh kalau bank mengalami kesulitan
keuangan, terlepas dari kesulitan keuangan tersebut diakibatkan kesalahan PSP.
Melepaskan kepemilikan pemerintah pada bank BUMN tentunya menimbulkan pro-kontra. Di banyak
negara terlebih lagi di negara berkembang issu kepemilikan pemerintah versus kepemilikan swasta atas
perusahaan memang merupakan perdebatan hangat. Di negara berkembang hal disebabkan besarnya
dominasi perusahaan milik pemerintah dalam kegiatan perekonomian sehingga pengalihan kepemilikan
dari pemerintah kepada swasta merupakan masalah serius sehingga sering sarat dengan kepentingan
politik. Issu yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan privatisasi adalah munculnya masalah
pemutusan hubungan kerja. Masalah ini muncul karena perusahaan milik pemerintah sering kali kelebihan
karyawan. Kondisi ini dapat dilihat dari ratio antara asset dan karyawan. Dengan melakukan privatisasi
pastilah sebagian dari karyawan tersebut akan mengalami pemutusan hubungan kerja dan memicu
munculnya gejolak sosial.
Bukti empiris menunjukan bahwa perusahaan swasta seringkali beroperasi lebih efisien dibandingkan
perusahaan negara. Di banyak negara terbukti bahwa kepemilikan swasta merupakan pilihan terbaik. Di
sektor perbankan kepemilikan pemerintah menunjukan kaitan yang erat dengan lambannya perkembangan
sektor keuangan serta pertumbuhan produktivitas yang rendah. Studi yang dilakukan setelah privatisasi
menunjukan terjadinya peningkatan dalam portfolio pinjaman dan peningkatan efisiensi. Kenyataan yang
sama juga terjadi pada privatisasi di negara berkembang, meski tidak diseluruh negara berkembang.
Secara konsep privatisasi dapat terjadi atas dasar kemauan politik (paksaan) maupun secara sukarela.
Untuk mendorong terjadinya privatisasi secara sukarela dibutuhkan adanya serangkaian regulasi yang dapat
meningkatkan biaya politik miliki perusahaan. Untuk itu, pengalaman Argentina melakukan privatisasi
dapat dijadikan pelajaran. Pada awal tahun 1990an masing-masing provinsi di Argentina memiliki bank
sendiri. Kondisi ini terjadi karena pemerintah daerah yakin bahwa bank sentral akan menjamin bahwa
bank-bank milik pemerintah daerah tersebut tetap solven.
Kepercayaan ini menyebabkan munculnya masalah dalam penerapan corporate governance pada bank-
bank tersebut karena rendahnya insentif bagi pemerintah daerah untuk mengawasi kinerja bank dan
membiarkan politisi lokal menggunakan bank untuk kepentingan politik mereka dengan biaya murah.
Keuntungan politik menonjol yang dinikmati oleh pemerintah daerah adalah mereka dapat membiayai
operasinya dengan biaya murah. Disamping itu, pemerintah daerah juga menggunakan bank untuk
mencari dukungan politik dengan imbalan pemberian kredit murah dan penyediaan lowongan jabatan.
Menjadi direksi atau komisaris dan jabatan tinggi lainnya di bank. Dengan kondisi demikian tidaklah
mengherankan apabila kinerja bank-bank milik pemerintah daerah tersebut menjadi buruk. Kondisi ini
berakhir pada tahun 1991 dengan diberlakukannya convertibility law yang antara lain melarang bank sentral
bertindak sebagai lender of last resort dalam hal terjadinya kebangkrutan bank. Larangan itu mengurangi
keuntungan memiliki bank dan sekaligus meningkatkan risiko menjadi pemilik bank yang memiliki kinerja
buruk. Kondisi ini yang pada gilirannya membuat para pemilik bank lebih mempertimbangkan untuk
melakukan privatisasi.
Dalam kaitannya dengan SPP, pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan
itu harus bertujuan untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat sehingga tidak menjadi
beban keuangan pemerintah.

E. Penutup
Perusahaan adalah produk dan bagian dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu, dalam memahami perusahaan
melibatkan pandangan yang melihat perusahaan sebagai fenomena sosial. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan mempelajari landasan historis dan teoritis serta pembentukan perusahaan sebagai suatu konsep
dari berfungsinya suatu perusahaan sebagai suatu entitas dinamis. Model- model perusahaan yang diadopsi
oleh berbagai jurisdiksi dipengaruhi oleh teori tentang letak suatu perusahaan di masyarakat. Sebagai
contoh, sulit untuk mendiskusikan apakah suatu perusahaan telah bertindak tidak bertanggung jawab ketika
perusahaan tersebut menutup pabrik miliknya dan memberhentikan karyawan tanpa mempertimbangkan
pandangan tentang peranan perusahaan dalam masyarakat.
Teori tentang keberadaan perusahaan diperlukan untuk memahami model pengurusan perusahaan yang
tepat. Teori tersebut juga berpengaruh pada tingkat intervensi pemerintah yang dipandang perlu dalam
menjalankan perusahaan. Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan hal ini yaitu teori kontraktual, teori
komuniter dan teori konsesi. Teori kontrak dan teori komuniter mewakili dua kutub ektrim berbeda karena
merefleksikan perusahaan sebagai produk laissez-faire dan perusahaan sebagai alat pemerintah. Teori
konsesi merupakan teori “jalan tengah.”[37]
Teori kontrak dapat dipahami dari dua pendekatan yaitu legal contractualism dan economic
contractualism. Legal contractualism mengajarkan bahwa dua pihak atau lebih sepakat membuat kontrak
untuk melakukan kegiatan usaha. Kesepakatan ini menjadi dasar berdirinya perusahaan. Teori kontrak
mendudukan perusahaan dalam ranah hukum perdata dan menyatakan bahwa legitimasi kewenangan
perusahaan berasal dari aktivitas kewirausahaan para anggota dan meminimalkan kewenangan negara
dalam bentuk pengaturan. Economic contractualism mengajarkan bahwa perusahaan secara tradisional
merupakan perkumpulan sukarela antara para pemegang saham dan bukan ciptaan negara. Individu lebih
memiliki legitimasi melakukan kegiatan komersial dalam bentuk badan usaha dibandingkan dengan
negara. Biaya transaksi dapat diturunkan dengan desain organisasi suatu perusahaan. Hukum perusahaan
menciptakan serangkaian ketentuan mengikuti keinginan investor yang umumnya ditetapkan dalam konrak.
Teori ini dilandaskan pada rasionalitas, efisiensi dan informasi. Ukuran efisiensi beragam. Menurut Pareto
efisiensi mensyaratkan bahwa seseorang diuntungkan dan tidak ada orang lain yang dirugikan. Pelaku yang
rasional adalah pelaku yang membuat pilihan rasional dengan menggunakan informasi lengkap dan
sempurna yang dimilikinya. Pelaku rasional memanfaatkan informasi lengkap akan menghasilkan alokasi
maksimal efisiensi dengan membuat pilihan yang mengeksploitasi kompetisi di pasar. Alokasi efisiensi tidak
akan terjadi kecuali seluruh biaya yang timbul dalam transaksi dapat diserap. Dengan demikian bila suatu
perusahaan melakukan polusi sebuah sungai yang mengakibatkan kerusakan bagi pengguna sungai tersebut
tetapi tidak dikenakan denda maka barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut menjadi dibawah
harga. Perilaku seperti ini menimbulkan masalah bagi pihak yang menerapkan regulasi meski secara
minimal.
Menerapkan ekonomi pasar terhadap hukum perusahaan melibatkan pandangan yang melihat perusahaan
bukan sebagai institusi yang bebas tetapi merupakan suatu jaringan dari tawar menawar diantara pihak-
pihak yang terlibat yang seluruhnya bertindak rasional berdasarkan informasi lengkap. Kegunaan hukum
perusahaan adalah untuk mencegah biaya tinggi dalam tawar menawar yang dilakukan individu dengan
individu lainnya. Hukum perusahaan dengan demikian dapat menurunkan biaya transaksi. Pendekatan
economic contractulism merupakan pendekatan ekstrim dari teori kontrak yang banyak mendapat kritik.
Konsep kewajiban fiducia sebagai salah satu metode mengawasi pengambilan keputusan perusahaan di tolak
oleh pendekatan economic contractualism sebagai campur tangan negara yang tidak dikehendaki.
Teori communitaire melihat status perusahaan tidak saja sebagai konsesi dari negara tetapi juga sebagai
instrumen ciptaan negara yang dapat dimanfaatkan. Model perusahaan berdasarkan teori ini banyak
diterapkan di bekas negara komunis dan fasis Italia. Standar untuk mengukur manfaat suatu perusahaan
tidak didasarkan pada kemampuan memakmurkan individu tetapi kemampuan membantu masyarakat
meningkatkan arti kehidupan bermasyarakat dengan jalan menghormati martabat seseorang dan
mendorong kesejahteraan bersama. Ajaran ini menimbulkan dua konsekwensi. Pertama, perusahaan tidak
memiliki indentitas komersial yang kuat karena merupakan alat politik dengan tujuan beragam. Walaupun
tujuan yang beragam akan memberikan tanggung jawab sosial besar tetapi pada gilirannya dapat
melepaskan fokus komersialnya. Negara menggunakan perusahaan untuk mencapai tujuannya.
Konsentrasi kepemilikan bank baik bank milik pemerintah (state-owned bank) maupun bank milik
swasta telah menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengawasan. Oleh karena itu penerapan
kebijakan SPP dalam kerangka konsolidasi perbankan perlu dilakukan untuk merestrukturisasi kepemilikan
bank. Efektifitas pengawasan terkait erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Pola dan struktur
kepemilikan bank merupakan suatu yang sangat kritis dalam mencapai praktik perbankan yang sehat.
Konsentrasi kepemilikan bank misalnya memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan
dalam kepengurusan bank. Situasi ini mengakibatkan fungsi pengawasan internal sebagai first line of
defenses menjadi kurang efektif menyebabkan pengawasan bank tergantung sepenuhnya kepada pengawas
eksternal. Bahkan untuk pengawasan bisnis sehari-hari (day to day business).
Terjadinya cross-ownership yang pada gilirannya menimbulkan benturan kepentingan dan membuka
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan usaha pribadi pemegang
saham maupun pengurus. Jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
adalah dengan mengefektifkan pengawasan internal. Pengawasan internal akan berjalan efektif apabila bank
dimiliki oleh banyak pemegang saham. Tidak adanya pemegang saham mayoritas akan menciptakan
pengurus bank dilakukan oleh para profesional berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Bukan atas
dasar besarnya saham yang dimiliki. Tersebarnya kepemilikan juga akan menciptakan terjadinya
pengawasan diantara para pemilik.

Pancoran, April 2008

oo ooo

Daftar Pustaka
Goeltom, Miranda S. Indonesia’s Banking Industry: Progress to Date, The Banking System in
Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus
2006)
Gup, Benton E. The New Basel Capital Accord, New York: Thomson Corporation, 2004
Lindgren, Carl-Johan , et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, (International Monetary
Fund, 1996)
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUH Perdata dan Undang Undang Pasar Modal,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
Chaikin, David A, “Penetrating Foreign Nominees: A Failure of Strategic Regulation?, Australian
Journal of Corporate Law (2006)
A.G, Robert dan Nell Minow, Corporate Governance, Third Edition, (Malden: Blackwell Publishing,
2004)
Easterbrook, Frank H. dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law,
(Cambridge: Harvard University Press, 1996)
Cheffins, Brian R. “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in The United
Kingdom”, Journal of Legal Studies, Vol. XXX (June 2001)
Reid, Terry dan Gordon Walker, “Upgrading Corporate Governance in East Asia: Part 2, Journal of
International Banking Law, 2002
Pekmezovic, Alma, “Determinant of Corporate Ownership: The Question of Legal Origin: Part I”,
International Company and Commercial Law Review (2007)
Dine, Janet, The Governance of Corporate Groups, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006)
Milhaljek, Dubravko, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks”, The
Banking System in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional
Settlement: Agustus 2006)
Walter, Ingo, Mergers and Acquisitions in Banking and Finance What Works, What Fails, and
Why, (New York: Oxford University Press, 2004)
United States v. Philadelphia National Bank, 374 U.S. 321, 363 (1963)
Anggraini, A.M. Tri, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal atau
Rule of Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003)
Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press,
2003)
Xiaochuan, Zhou, “Some Issues concerning the Reform of the State-Owned Commercial Banks”,
Speech by Zhou Xiochuan, Governor of the People’s Bank of China, at the Spring Membership Conference,
Shanghai, 16 April 2004

Nugraha, Nugraha, Privatisation State Enterprises in the 20th Century a Step Forwards or
Backwards, (Fakultas Hukum UI, 2004)
McConvill, James, “The Separation of Ownership and Control Under a Happines-Based Theory of
the Corporation”, Company Lawyer

Foot notes

[1]. Miranda S. Goeltom, “Indonesia’s Banking Industry: Progress to Date”, The Banking System in Emerging
Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006), hal.244
[2]. Benton E. Gup, The New Basel Capital Accord, (New York: Thomson Corporation, 2004), hal.187
[3]. Modal inti terdiri dari modal disetor dan cadangan tambahan modal
[4]. Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan
[5]. The Bankers, edisi July 2007
[6]. PSP adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a) memiliki saham suatu bank
sebesar 25% atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara, atau dapar dibuktikan
telah mengendalikan bank baik langsung maupun tidak langsung meskipun saham yang dimiliki kurang dari 25%
[7]. BHC adalah Perusahaan Induk di Bidang Perbankan berbentuk badan hukum yang dibentuk dan atau dimiliki
oleh pemegang saham pengendali untuk menkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas bank-
bank yang merupakan anak usahanya
[8]. Pasal 26 huruf c UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3
Tahun 2004
[9]. Carl-Johan Lindgren, et.al, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, (International Monetary Fund, 1996),
hal.105
[10]. Ibid, hal.109
[11]. Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUH Perdata dan Undang Undang Pasar Modal, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2008), hal. 4
[12]. Ibid, hal 16
[13]. David A Chaikin, “Penetrating Foreign Nominees: A Failure of Strategic Regulation?, Australian Journal of
Corporate Law (2006)
[14]. Ibid
[15]. Mengingat luasnya lingkup kajian tentang hal ini tentunya lebih tepat bila dilakukan dalam penelitian
tersendiri.
[16]. Robert A.G. dan Nell Minow, Corporate Governance, Third Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2004),
hal. 102
[17] Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law, (Cambridge: Harvard
University Press, 1996), hal.1
[18] Brian R. Cheffins, “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in The United Kingdom”,
Journal of Legal Studies, Vol. XXX (June 2001), hal. 462
[19] Terry Reid dan Gordon Walker, “Upgrading Corporate Governance in East Asia: Part 2, Journal of
International Banking Law, 2002, hal.2
[20] Brian R. Cheffins, Op.cit, hal. 462
[21] Ibid, hal. 459.
[22]Ibid, hal. 470
[23]Ibid, hal. 474
[24] Alma Pekmezovic, “Determinant of Corporate Ownership: The Question of Legal Origin: Part I”, International
Company and Commercial Law Review (2007), hal.97
[25]. Dubravko Mihaljek, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks”, The Banking System
in Emerging Economies: How Much Progress Has Been Made, (Bank for Internasional Settlement: Agustus 2006),
hal.47
[26]. Ingo Walter, Mergers and Acquisitions in Banking and Finance What Works, What Fails, and Why, (New
York: Oxford University Press, 2004), hal.65
[27]. United States v. Philadelphia National Bank, 374 U.S. 321, 363 (1963)
[28]. A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal atau Rule of
Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.9
[29]. Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003),
hal 9
[30]. Dubravko Mihaljek, Op.cit, hal.49
[31]. Zhou Xiaochuan, “Some Issues concerning the Reform of the State-Owned Commercial Banks”, Speech by
Zhou Xiochuan, Governor of the People’s Bank of China, at the Spring Membership Conference, Shanghai, 16 April 2004
[32]. Dubravko Mihaljek, Op.cit, hal.42
[33]. Meski pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah dan Mahkamah Agung menerbitkan fatwa yang pada intinya menyatakan bahwa
piutang BUMN bukan piutang negara, bank BUMN masih enggan menerapkannya karena khawatir terhadap
konsekwensi hukum yang ditimbulkan.
[34]. Safri Nugraha, Privatisation State Enterprises in the 20th Century a Step Forwards or Backwards, (Fakultas
Hukum UI, 2004), hal. 15
[35]. James McConvill, “The Separation of Ownership and Control Under a Happines-Based Theory of the
Corporation”, Company Lawyer 2005
[36]. Zhou Xiaochuan, Op.cit

[37] Janet Dine, The Governance of Corporate Groups, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hal. 3

2 Tanggapan »
RSS umpan untuk komentar-komentar dalam tulisan ini. URI Lacak Balik
1.
Kami sangat prihatin pasar modal dijadikan permainan oleh segelintir orang untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya. Komunitas bursa saham kita telah dinodai oleh emiten
penumpang gelap yang menghalalkan berbagai cara : termasuk memobilisasi “investor”
abal-abal yang berasal dari jalanan, didandani dengan dasi dan jas biar mirip investor
betulan dalam antre pemesanan formulir saham PT Adaro Energy Tbk. Mengapa Bapepam-
LK tutup mata dan tutup telinga melihat realita ini ? [Yohan Putera Soemarna,
menyampaikan terima kasih jika berkenan mengunjungi blog kami]
Komentar oleh Jaringan LSM untuk Indonesia — Juli 9, 2008 #
2.
IPO Adaro menjadi preseden buruk baru bursa saham, mengapa ? Pertama mereka
memobilisasi investor dari pinggir jalan yang didandani bak investor betulan (dikasih dasi
dan jas. Kedua, lawan Adaro yang masih bersengketa dengan Beckkett akan mengajukan
gugatan kepada Bapepam pada 17 Juli 2008, sementara Listing Perdana 16 Juli 2008. Di
manakah tanggung jawab moral dan tanggungjawab professional Badan Pengawas Pasar
Modal ? silahkan tanya kepada ketuanya, Fuad Rahmani.
Komentar oleh Capital Market Care — Juli 11, 2008 #

You might also like