You are on page 1of 8

Konsep Pendidikan Inklusi

A. Latar Belakang Historis Pendidikan Inklusi

Sejarah dan pengalaman telah menunjukkan bahwa peradaban manusia terus berkembang, seiring dengan perkembangan pola pikir manusia
akibat dari pengalaman dan pendidikan yang diperoleh masyarakat. Salah satu pemahaman dan pengetahuan tersebut yaitu telah mengajarkan
kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pemahaman dan pemikiran serta pandangan seperti inilah yang
berhasil menyelamatkan kehidupan anak?anak yang terpinggirkan, termarjinalisasi dan dipisahkan dari masyarakat termasuk di dalamnya
penyandang cacat.

Dikatakan menyelamatkan hidup anak?anak penyandang cacat karena pengalaman dan sejarah telah menorehkan sesuatu yang menganggap anak
penyandang cacat tidak berguna bahkan anak dalam keadaan cacat dibunuh, dibuang/diasingkan. Pemahaman dan pandangan selanjutnya
terhadap penyandang cacat berubah seiring dengan perkembangan pola pikir manusia, hal tersebut menjadi sangat penting selain dipandang
sebagai lambang dari sebuah pemikiran dan peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, juga sebagai awal bahwa anak penyandang cacat mulai
diakui, dihargai keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah?sekolah khusus, rumah?rumah perawatan dan panti sosial yang seem
khusus mendidik dan merawat anak?anak penyandang cacat.
Namun demikian dalam kondisi awal sejarah membuktikan bahwa mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang
berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khusus pula sesuai dengan
karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat saat itu harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya
(sistem pendidikan segregasi) (Alimin:2005).

Sistem pendidikan segregasi (memisahkan sistem dan tempat pendidikan bagi anak penyandang cacat/anak luar biasa) khususnya di Indonesia
sudah berlangsung cukup lama. Hal ini ditandai sejak dimulainya pendidikan anak tuna netra pada tahun 1901 di Bandung. Sistem
pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan (Alimin: 2005).
Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk dapat
memperoleh pendidikan melekat pada semua orang tanpa kecuali, termasuk anak penyandang cacat. Pemikiran inilah yang memulai bahwa
penyandang cacat atau anak luar biasa berhak mendapat pelayanan pendidikan seperti halnya anak?anak umumnya dan hidup bersama dalam
situasi sosial yang alamiah.

Seiring dengan lahirnya pemikiran tentang sistem layanan pendidikan yang bersifat integratif tersebut, maka pada awal tahun 1980?an telah
dirintis sistem layanan pendidikan yang bersifat integratif yang diprakarsai oleh Helen Keller International’s VCO (FTK). Rintisan sistem
layanan pendidikan terpadu baru dilakukan untuk anak tunanetra Rintisan pendidikan terpadu pada akhirnya berkembang dan diperluas bagi anak
berkebutuhan khusus jenis lainnya.

B. Latar Belakang Filosofis Pendidikan Inklusi

Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi  (yang lahir dari konsepspecial education)
mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada
umumnya.
Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi  mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara, itu kecacatan
anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan
menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya.
Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan masyarakat eksklusif normal dan tidak normal. Padahal sesungguhnya secara filosofis,
penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami. (David Smith, 1995 dalam Alimin:2005).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis,
holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian.

Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan
kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di
sekolah reguler terdekat di mana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain
menjadi latar munculnya gagasan pendidikan inklusi   (UNESCO, 2003).

Pendidikan inklusi   merujuk pada pendidikan untuk semua yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali. Perubahan pendidikan melalui
pendidikan inklusi   ini memiliki arti penting khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Perubahan
mendasar yaitu perubahan pemikiran dari pemikiran special education (Pendidikan khusus) bergeser ke special needs education pendidikan
kebutuhan khusus).

Perubahan tersebut bermakna strategis dan luas terhadap praktek dan layanan pendidikan. Special education memiliki implikasi pemisahan
(segregasi) yang berarti adalah, fokus bentuk pendidikannya yang khusus yang mengubah anak agar sesuai dengan tuntutan pendidikan dan
sekolah, sedangkan special needs education mengandung semangat inklusi yang berarti pendidikan harus menyesuaikan diri atau mengubah
sekolah agar sesuai dengan anak (Supriadi:2003).

Paradigma baru pendidikan inklusi   adalah merujuk pada kebutuhan belajar bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik pada mereka
yang rentan terhadap marjinalisasi atau pemisahan (Sunanto, 2004). Melalui pendidikan inklusi   berarti sekolah harus menciptakan dan
membangun pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi
lainnya (Sunanto, 2003).

Berkembangnya pendidikan inklusi merupakan implementasi atau gambaran dari masyarakat inklusi. Masyarakat inklusi adalah semua anak dan
orang dewasa sebagai anggota kelompok yang sama dengan berinteraksi satu sama lain, membantu satu sama lain, saling tenggang rasa,
menerima kenyataan bahwa sebagian anak atau orang dewasa mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda dari mayoritas, kemudian masyarakat
yang cenderung bekerja sama dari pada bersaing atau berkompetisi. Masyarakat inklusi juga diartikan bahwa semua anak atau orang dewasa
mempunyai rasa memiliki dan bermitra. Setiap orang akan memandang sesuatu sebagai hal yang alami (Skjorten, 2003).

Pendidikan inklusi   berarti bahwa pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Anak tidak lagi
dibeda?bedakan berdasarkan. label atau karakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi antara anak yang satu dengan lainnya, dengan demikian
berarti semua anak berada dalam satu sistem pendidikan yang sama. Oleh karena itu misi pendidikan yang paling penting adalah meminimalkan
hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksistensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan
motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak akan berkembang optimal sejalan dengan potensi masing?masing.
C. Makna Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi   merupakan ideologi atau cita?cita. yang ingin kita raih. Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusi    itu
sebagai idiologi dan cita?cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implementasinya, antara negara yang satu dengan
yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya.

Dengan begitu berarti pendidikan inklusi   adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa kecuali. Inklusi berasumsi bahwa hidup
dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak?anak yang diberi
label sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Inklusi dapat dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab dan merespon keragaman di antara
semua individu melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi ekslusi baik dalam maupun dari kegiatan
pendidikan.

Inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliputi semua anak yang
berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua anak
(UNESCO, 2003).

Pendidikan inklusi berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam
setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan
sistem pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusi   bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk
merasa nyaman dengan keragaman dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, dan pada suatu problem.

Pearpoint and Forest (1992) dalam Mudjito, (2005) menjelaskan nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusi adalah penerimaan,
pemilikan, dan asumsi lain yang mendasari sekolah inklusi adalah, bahwa mengajar yang baik adalah mengajar yang penuh gairah, yang
mendorong agar setiap anak dapat belajar, memberikan lingkungan yang sesuai, dorongan, dan aktivitas yang bermakna. Sekolah inklusi   
mendasarkan kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal dengan mengajar dan belajar yang baik.

Akhirnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusi   adalah proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk
berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.

D. Tujuan Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi   memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler
yang ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat. Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusi    berpotensi mampu memberikan kontribusi
yang berarti bagi setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusi   adalah sebuah proses pendidikan bagi semua anak. Hal ini melibatkan semua anak tanpa menghiraukan bagaimana kondisi
siswa. Sehingga, penyesuaian pendidikan harus dirancang berdasarkan pada kebutuhan khusus dari semua anak. Pendidikan inklusi   mengandung
konsekuensi bahwa dibutuhkan adanya perubahan di sekolah maupun di lembaga pendidikan lainnya. Pertama, perubahan harus ditekankan lebih
pada pengembangan kesadaran sosial, termasuk di dalamnya pengembangan kontak dan komunikasi di antara siswa. Kedua, penyesuaian dari isi
pembelajaran. dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih bermakna bagi setiap pribadi siswa mesti dilakukan secara baik.
Pendidikan inklusi   adalah hak asasi, dan ini merupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Ada beberapa hal yang bisa
kita pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak memiliki hak untuk belajar secara bersama?sama, (b) Keberadaan anak?anak jangan dinapikan
atau didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan karena kekurangmampuan atau mengalami kesulitan dalam pembelajaran, (c). Tidak ada satupun
ketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan, (d) Penelitian telah memperlihatkan bahwa anak-anak mendapat kemampuan yang lebih
baik, secara akademik dan sosial di dalam lingkungan pembelajaran yang inklusi  , (e) Tidak ada satupun metode dan bantuan pembelajaran di
SLB yang tidak dapat dilakukan di sekolah inklusi   (f).Semua anak membutuhkan pendidikan, yang akan mampu membantu mereka untuk
melakukan hubungan dan mempersiapkan kehidupan yang layak dalam kehidupan masyarakat yang beragam, (g). Inklusi berpotensi untuk
mengurangi kekhawatiran dan membangun, menumbuhkan loyalitas dalam persahabatan serta membangun sikap memahami dan menghargai. h)
Sasaran pendidikan inklusi   tidak hanya anak?anak yang luar biasa/berkelainan saja namun juga termasuk sejumlah besar anak yang terdaftar di
sekolah.

Dengan demikian maka tujuan pendidikan inklusi   ini berarti pertama, menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas menciptakan
dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung
semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik,
sosial ekonomi, suku, agama, dansekaligus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi
lainnya. Kedua memberikan kesempatan untuk sama agar memperoleh pendidikan yang sama dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa
yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi; bagi yang secara fisik dan psikologis memperoleh hambatan dan kesulitan
baik yang permanen maupun sementara, dan bagi mereka yang terpisahkan dan termarjinkan.

E. Anak Berkebutuhan Khusus


Istilah maupun penjelasan mengenai anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan seiring dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan
kesadaran masyarakat serta budaya masyarakat. Istilah dan konsep anak dengan pendidikan berkebutuhan khusus  (children with special needs
education), yang berkembang dalam paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan inklusi. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan
berarti menggantikan istilah anak penyandang cacat atau anak luar biasa tetapi memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak
didik atau anak yang memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya
dengan pendidikan (Sunanto:2003).
Dalam tataran pendidikan inklusi, setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan?kebutuhan khusus baik bersifat permanen maupun temporer.
Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang secara menetap dan terus menerus ada dan tidak akan hilang misalnya ketunanetraan,
ketunarunguan, keterbelakangan mental, kelainan emosi, dan sosial. Kebutuhan temporer kebutuhan yang bersifat sementara.

Sementara James, Lynch dalam Astati (2003) mengemukakan bahwa anak?anak yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak
luar biasa (anak berkekurangan atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak pernah sekolah, anak yang tidak teratur sekolah, anak yang
drop out, anak yang sakit?sakitan, anak pekerja usia muda, anak yatim piatu dan anak jalanan. Dengan demikian dari penjelasan tersebut. maka
anak luar biasa merupakan salah satu dan anak yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus.

Dengan demikian anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus secara sementara atau. permanen dan atau
kecacatan sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan mungkin disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki
kemudian, masalah ekonomi, kondisi sosial emosi, kondisi politik dan bencana alam.

Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebeh luas dibandingkan dengan konsep
anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen,
akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak yang mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar atau tidak bisa membaca,
karena kekeliruan guru mengajar, dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak
mendapatkan intervensi yang tepat bisa menjadi permanen.

Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda?
beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan
(3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan
kebutuhan masing?masing anak (Alimin:2005)

F. Pengelolaan Kelas Dalam Setting Menuju Pendidikan


Inklusi
Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi   menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik
khusus. Hal ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah
tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak
sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan perubahan-
perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).

Beberapa hal berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi dalam setting sekolah, Skjorten (2003) mengemukakan tentang perlunya adaptasi
kurikulum, perubahan pendidikan yang potensial, kerjasama lintas sektoral dan adaptasi lingkungan. Sedangkan Stainback dan Stainback (1990)
dalam Sunardi (2000) menggambarkan bahwa, ”sekolah yang inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah
ini menyediakan program yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid serta bantuan dan dukungan yang
diberikan oleh para guru agar anak berhasil. Selain itu sekolah merupakan tempat setiap, anak untuk diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut,
dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.”
Dalam setting pendidikan inklusi di tataran kelas, pendidikan inklusi   menuntut adanya pendidikan/pembelajaran yang berpusat pada anak.
Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keragaman dan menghargai perbedaan. Pendidikan
inklusi   juga menuntut penerapan kurikulum yang fleksibel. Pendidikan inklusi   juga berarti mendorong guru sebagai fasilitator dan melakukan
proses pembelajaran dan pengajaran yang komunikatif dan interaktif, mendorong adanya kerjasama tim guru (team work.).
Pendidikan inklusi memungkinkan penyesuaian? penyesuaian bahan pelajaran, evaluasi, alat, dan penataan lingkungan belajar anak. Pendidikan
inklusi berarti mendorong orang tua untuk terlibat secara proaktif dan bermakna, dalam proses perencanaan pendidikan, pengajaran dan
pembelajaran, bagi anak.

Dengan kelas inklusi dimaksudkan akan dapat memenuhi kebutuhan individu setiap anak di dalamnya, salah satu contoh anak berkebutuhan
khusus kategori anak berbakat. Anak berbakat sebenarnya juga dapat terlayani dengan baik di kelas?kelas inklusi. Namun demikian, Sapon
Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mempertanyakan sikap para pakar anak berbakat yang tidak begitu positif terhadap pendidikan inklusi
bagi anak berbakat. Mereka khawatir bahwa model inklusi akan menurunkan kualitas dan mengakibatkan penghentian atau percepatan secara
individual, pembatasan kurikulum, dan penolakan atas perbedaan individu.

Salah satu strategi pembelajaran yang paling banyak dipakai dalam inklusi, yaitu pembelajaran kooperatif, Penggunaan model pembelajaran ini
mereka anggap kurang memberikan tantangan yang sesuai bagi anak berbakat dan hanya menempatkan anak berbakat dalam posisi sebagai tutor
teman-teman sebayanya.
Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang
kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid (Sunardi 2002). Untuk itu Sapon?Shevin (1994/1995) dalam Sunardi
(2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi.

Pertama, Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai
perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan
suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya? Dengan
demikian pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan?perbedaan individual memerlukan
perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusi secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks,
atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen
secara autentik.
Kedua pendidikan inklusif berarti menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusi berarti pembelajaran
tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan
layanan program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
Ketiga, pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat
dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi
kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid?murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif
berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman?temannya. Kaitan antara, pembelajaran. kooperatif dan kelas inklusi sekarang
jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain. Konsep multiple
intelligence (intelegensi terdiri dari berbagai dimensi) sangat tepat dalam implikasinya di kelas yang inklusi. Seseorang yang kuat di satu dimensi
mungkin lemah pada dimensi lain. Dengan demikian, seorang anak tidak akan selamanya menjadi tutor atau pembimbing teman?temannya, suatu
saat dia akan berbalik menjadi anak yang membutuhkan orang lain.

Keempat, Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang
berkaitan dengan isolasi profesi. Memaknai prinsip ini berarti aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi proses pembelajaran dengan
kolaborasinya berbagai profesi atau dalam sebuah tim, baik guru kelas, guru pembimbing khusus, dan ahli?ahli lainnya baik dalam kolaborasi
perencanaan, pelaksanaan maupun penanganannya.

Kelima Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusi sangat bergantung
kepada masukan orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran. individual.

Pembelajaran menuju pendidikan inklusif berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menuju pendidikan inklusif adalah terbuka untuk
menerima perbedaan anak yang heterogen ditangani oleh tenaga, dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap
anak dapat terpenuhi, hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional, seperti yang dipakai di Indonesia
sekarang, ”Guru biasa”, perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dasar dalam menangani kelas yang heterogen, perlu dikembangkan
iklim kerjasama tim dari berbagai tenaga profesional, dan sekolah perlu dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan semua anak luar biasa
belajar di sekolah tersebut.

Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi   menyebabkan adanya tuntutan. yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik
khusus. Hal ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah
tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak
sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan. Perubahan- -
perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).

Disadari bahwa sesungguhnya kondisi saat ini sedang belajar tentang pendidikan inklusif secara komprehensif dan mendalam. Namun demikian
sesungguhnya bahwa hal tersebut belum sepenuhnya dipahami dengan benar. Oleh sebab itu harus ada perubahan strategi dalam
mengkampanyekan pendidikan inklusi dengan tidak langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusi akan tetapi dimulai dengan
memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah. (Alimin,  2005).

G. Implikasi Diberlakukannya Pendidikan Inklusi


Beberapa implikasi dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Indonesia saat ini, adalah sebagai berikut.

1. Bagi sekolah luar biasa (SLB) yang telah lama ada di Indonesia, hendaknya tetap dapat dipertahankan dan dialih fungsikan sebagai (1)
sekolah pusat sumber pengembang pendidikan inklusif. Sekolah ini dapat berfungsi menjadi sekolah pusat pelatihan dan pusat sumber tenaga
terampil bagi sekolah?sekolah umum dan sebagai penyedia dukungan profesional bagi sekolah?sekolah umum dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan khusus, (2) menjadi sekolah yang menangani peserta didik dengan karakteristik spesifik dengan memperhatikan metode dan
program pembelajaran individu sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik melalui pendekatan inklusif.

2. Bagi lembaga?lembaga pemerintah yang memberikan dukungan pelayanan dalam pendidikan inklusif (seperti Departemen pendidikan
Nasional, dan Pemerintah Daerah) seyogianya mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan sosial seperti meningkatkan integrasi dan partisipasi
serta memerangi eksklusif (keterpisahan). Lebih lanjut diperhatikan tinjauan khusus untuk merombak bentuk?bentuk lembaga yang khusus dan
struktur administrasi yang dapat memberikan pelayanan langsung berkaitan dengan pendidikan inklusif.

3. Bagi guru pendidikan luar biasa atau guru khusus dan guru kunjung hendaknya dapat memfungsikan dirinya sebagai guru sumber, dan
guru metode pembelajaran inklusif. Pada pelaksanaannya guru ini menjadi yang dapat berkolaborasi dengan guru kelas umum yang
bertanggung jawab untuk membina guru kelas umum dalam upaya meningkatkan strategi dan kegiatan?kegiatan yang dapat mendukung
pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus di kelas umum. Guru semacam ini harus mampu menciptakan berbagai kegiatan yang
kesemuanya merupakan upaya membantu guru?kelas dalam memecahkan permasalahan dan mampu bekerja semaksimal mungkin melakukan
kegiatan layanan pembelajaran. Fungsi guru sumber dan guru metode pembelajaran inklusif antara lain sebagai: (1) pengembang perencanaan
pembelajaran. (2) pengembang implementasi, (3) mitra?kerja guru kelas umum yang mampu melakukan assesment dalam upaya mendeteksi?
dini saat menentukan kemampuan dan kelemahan peserta didik serta memberikan layanan prespektif terhadap peserta didiknya, (4) tenaga
pendidik yang mampu melakukan monitoring program, (5) orang yang mampu melalaikan komunikasi dan hubungan dengan pihak-pihak lain,
(6) pendidik yang mampu mengajar secara langsung.

Daftar Bacaan

Alimin, Z. dan Permanarian. (2005). Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education ke Konsep Needs Education dan Implikasinya Layanan
Pendidikan. Bandung: Jassi
Astati. (2001). Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum. Bandung: Pendawa
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Jhonsen, B.H., and Skjorten M.D., (2003). Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung: Program Pascasarjana
UPI Bandung
Skjorten, M. (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. Artikel dalam Johsen B.H. & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus
sebuah Pengantar. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Sunardi. (2002). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti
Toto Bintoro. 2004. Pendidikan Inklusi. Republika Online: http://www.republika.co.id
UNESCO. (2002). Understanding and Responding to Children’s Need in Inclusive Classroom. UNESCO

http://sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html

You might also like