You are on page 1of 36

PENGARUH ORANG TUA YANG BERCERAI DAN TIDAK BERCERAI TERHADA

TINGKAT EMOSI ANAK

Tugas Akhir
Disusun Dalam Rangka Penyelesaian Studi S -1
Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya

Disusun Oleh :
Nama : Lia Noviana
NIM : 081684209
Program : PG-PAUD

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2010
PENGESAHAN

Karya tulis yang berjudul “Pengaruh orang tua yang bercerai dan tidak bercerai pada tingkat emosi
anak “ penulis susun

memenuhi salah satu syarat mata kuliah tugas akhir disyahkan pada :

Hari : Senin

Tanggal : 27-12-
2010

Surabaya,22-10-2010

Mengetahui

Dosen Penguji

Dosen Pembimbing

Drs., M. Pd . S. Pd

NIP. NIP

Ka. Prodi

Dra. M.Pd

NIP.

ii
MOTTO

Kegagalan adalah kunci keberhasilan.

Pengetahuan adalah kekuatan.

Ilmu bila tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.

PERSEMBAHAN

Tugas akhir ini penulis persembahan untuk :

Orang tua dan keluarga (kakak, adik) yang

tersayang.

Teman-teman seperjuangan S-I PG-

PAUD Angkatan 2008

iii
ABSTRAK

Kasus perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan


menegangkan dalam kehidupan keluarga. Ketika orang tua memutuskan untuk
bercerai, mereka secara khususnya telah melewati serangkaian peristiwa yang
membawa mereka ke keputusan tersebut. Apakah anak-anak mengetahui
keputusan orang tua tersebut atau tidak tergantung pada banyak hal.
Menurut Kelly Cole (Kelly Cole, 2004 : 3) beberapa anak akan mengalami
efek-efek merugikan terhadap harga dirinya sehingga mereka menganggap diri
mereka sebagai anak “nakal” yang telah menyebabkan perceraian orang tua
mereka. Dalam pandangan seorang anak, segala sesuatu yang terjadi di
sekelilingnya disebabkan oleh perilaku, pikiran dan harapan-harapannya. Ia akan
menyalahkan diri sendiri atas perceraian kedua orang tuanya dan berfikir bahwa ia
tidak layak mendapatkan hal-hal baik dalam hidupnya. Dia akan sering merasa
dirinya adalah seorang anak yang tidak beruntung dan kekurangan.
Metode penulisan ini yang digunakan tugas akhir ini meliputi metode
observasi, yaitu data diperoleh dari kejadian-kejadian yang terjadi selama penulis
melakukan PPL I dan mengajar di TK. Selain metode tersebut penulis juga
menggunakan metode pengumpulan data dimana yang dipergunakan adalah studi
pustaka. Studi pustaka tersebut bersumber dari pustaka, buku, internet, dan lain-
lain.
Tugas akhir ini membahas tentang dampak perceraian pada anak. Terjadi
pola pandang dalam mengasuh anak, yaitu menekankan kualitas dalam pertemuan
pada anak, seperti menciptakan kehangatan, keintiman, memberi dorongan sosial,
menanamkan norma dan susila.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran orang tua sangatlah
penting walaupun mereka sudah berpisah. Maka orang tua harus tetap menyayangi
anaknya.

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat,

hidayat dan petunjuk-Nya. Penulis telah dapat diberi kemampuan untuk menyusun

tulisan ini, walaupun hanya dalam bentuk yang sangat sederhana.

Penulis menyajikan judul “Pengaruh Orang Tua yang Tidak Bercerai dan Orang Tua yang
Bercerai Terhadap Tingkt Emosi Anak”. Penulis

menyadari bahwa tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan. Penulis tidak

dapat menjalankan tugas akhir ini oleh karena itu penulis hanya dapat

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Rektor UNESA

2. Bapak Dekan UNESA.

3. M.Pd selaku ketua program PG-PAUD

4. M..Pd selaku dosen pembimbing.

5. Orang tua saya yang telah memberikan motivasi dan do’a.

6. Semua pihak yang telah membantu sehingga selesainya Tugas Akhir

yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu.

Dengan segala daya upaya penulis telah berusaha semaksimal mungkin

dalam menyusun tulisan ini sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki.

Ternyata hanya demikian adanya yang tentu saja masih banyak sekali

kekurangannya. Dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf.

Akhirnya penulis berharap, semoga ada manfaatnya khususnya untuk

penulis dalam menangani masalah anak di Taman Kanak-Kanak.

Surabaya,23-12-2010

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………. … ii

MOTTO DAN PERSEMBHAN …………………………………… iii

ABSTRAK …………………………………………………………… iv

KATA PENGANTAR ………………………………………….....… v

DAFTAR ISI ………………………………………………………… vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..………………………………………… 1

B. Masalah ………………………………………………………… 2

C. Tujuan …………………………………………………………... 2

D. Manfaat …………………………………………………………. 3

E. Penegasan ……………………………………………………….. 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Perceraian ………………………………………….. 7

B. Faktor - Faktor Penyebab Perceraian ………………………….. 14

BAB III PEMBAHASAN MASALAH

A. Pemahaman Dan Perasaan Anak Pra

Sekolah Tentang Perceraian ………………………………… …. 16

B. Banyak Perceraian Bagi Anak Pra Sekolah ………………….............16

C. Bantuan Yang Dapat Diberikan Guru ………………………….. 18

vi
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………….. 19

B. Saran …………………………………………………………… 20

LAMPIRAN - LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang

memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari

keluarga. Untuk belajar menghormati orang yang lebih tua serta membantu

menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orang tua diharapkan dapat

membantu anaknya dalam menyesuaikan diri dengan lingkunganya untuk

mengatasi masalahnya secara realistik dan simpati. Oleh karena itu, keluarga

sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai positif pada anak.

Namun sayangnya, keluarga sering kali menjadi sumber konflik bagi

sejumlah orang suasana keluarga yang tidak harmonis sering mendorong

terjadinya konflik antara kedua orang tua. Belakangan ini sering kita jumpai

kasus perceraian dilingkungan sekitar maupun melalui pemberitaan mass

media. Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan

penyesuaian terutama bagi anak. Anak akan mengalami reaksi emosi dan

perilaku karena kehilangan satu orang tua.

Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian orang tuanya sangat

dipengaruhi oleh orang tua berperilaku sebelum, selama, dan sesudah

perpisahan. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang

yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya

selama masa sulit ini. Seperti orang tua yang mengalami kesedihan yang

1
dalam karena perceraian, anak juga memiliki perasaan sedih, marah,

penyangkalan, takut dan bersalah. Mereka mungkin akan menunjukkan

kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar

atau penarikan diri dari lingkungan sosial. Anak yang orang tuanya bercerai

sering merasa berbeda dengan teman sebayanya.

Menurut hasil penelitian Hetherington (Save M Dagun, 2002 : 117)

Peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidak stabilan emosi, mengalami rasa

cemas, tertekan, dan sering marah-marah.

Menurut Piaget mengatakan bahwa perkembangan intelektual itu terbentuk

karena interaksi adaptif antara fungsi-fungsi giologis dengan lingkungan.

Adaptasi ini diungkapkan oleh dua hal saling melengkapi yaitu asimilasi dan

akomodasi.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana dampak perceraian orang tua terhadap anak ?

2. Bantuan apa yang dapat diberikan guru terhadap anak korban perceraian ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan akhir ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui dampak perceraian orang tua terhadap anak ?

2. Untuk mengetahui bantuan apa yang dapat diberikan guru terhadap anak

korban perceraian

2
D. Manfaat Penulisan

1. Tugas akhir ini bermanfaat bagi orang tua untuk mengetahui sejauh

manakah pengaruh perceraian itu terhadap perkembangan anak ?

2. Bagi guru memberi pengalaman bagaimana mengatasi anak korban

perceraian

E. Penegasan Istilah Anak yang Korban Perceraian.

1. Dampak Pada Anak.

Tahun pertama perceraian masa krisis yang paling sulit. Orang tua dari

waktu ke waktu memperlihatkan sikap kasar terhadap anaknya. Namun

setelah dua tahun situasi mulai pulih kembali. Pada anak-anak keluarga

retak, aktivitas fisiknya menjadi lebih agresif untuk tahun pertama. Namun

tahun berikutnya anak ini kurang menampilkan kegirangan mereka lebih

diselimuti perasaan cemas. Setelah 2 tahun berlalu, anak ini masih

memperlihatkan aktivitas fisik yang menurun. Tetapi sebaliknya, aktivitas

bahasa lebih agresif. Gejala ini tampak pada pergaulan dengan teman dan

teman yang berusia lebih kecil dari dirinya. Meski anak ini agresif dalam

berbicara namun ia tidak stabil, goyah.

Mereka melakukan sesuatu tanpa suatu motivasi jelas dan efektif, juga

emosi tidak terkontrol.

Main telah menemukan juga bahwa kelompok anak yang menjalin

hubungan baik hanya pada satu orang tua saja, dapat menimbulkan

keengganan relasi dengan orang dewasa lain, dan gambaran ini diteguhkan

3
pula dengan hasil penelitian Hess dan Camara. Kelompok ini akan

mengalami stres, tertekan, kurang efektif dalam kegiatan dan lamban

bergaul dengan temannya.

2. Pengaruh Pada Anak.

Menurut Mary Ainsworth (Save M Dagun, 2002 :85) menjelaskan bahwa

sikap anak itu sebagai pertanda adanya terikatan kuat antara anak dengan

orang tua. Main dan Weston juga memperlihatkan ada kelompok ada anak

yang tidak memberikan reaksi atas kepergian orang tuanya. Bahkan ketika,

otang tua kembali, reaksi anak ambivalen, kadang-kadang antusias dan

malah menjauhi orang tuanya.

Ainsworth menggambarkan sikap ini tidak ada keterikatan.

Menurut Mildrad B. Parten (Save M Dagun, 2002 : 86) ada 6 kategori yang

muncul ketika anak masuk dalam era berinteraksi dengan teman sebaya :

1. Jumlah waktu anak berada diluar rumah.

2. Keterlibatan anak bermain dengan temannya.

3. Kecenderungan anak bermain sendiri.

4. Kecenderungan anak bermain paralel.

5. Bermain asosiasif.

6. Sikap kerja sama.

4
3. Perkembangan Pada Anak

Selanjutnya Hartup (Save M Dagun, 2002 : 55), mendirikan 6 kategori yang

berkembang pada anak usia pra sekolah ini dalam kaitan interaksi dengan

teman sebaya :

1. Perasaan ketergantungan pada teman sebayanya lebih besar daripada

teman sebayanya.

2. Perasaan simpati dan perasaan semakin bertambah.

3. Ia ingin mempengaruhi yang lain, ingin menjadi pemimpin atas

temannya.

4. Perasaan kompetisi bertambah.

5. Suka bertengkar.

6. Aktivitas bernada agresif semakin bertambah tetapi cenderung

menurun setelah masa pra sekolah berakhir.

Dalam perkembangan selanjutnya, semakin besar anak, semakin kuat

kecenderungan untuk terlibat kecenderungan bermain. Kecenderungan ini

muncul adanya kebutuhan dalam dirinya untuk mengenal dimensi sosial

yang lebih luas lewat kegiatan bermain. Melalui bermain anak menyiapkan

diri melatih berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan sosial yang

semakin meningkat pada anak tampak terlihat dalam keinginannya untuk

memperoleh berbagai stimulus dari luar.

Setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini

memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda. Kelompok anak yang

belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi, ada kecenderungan untuk

5
mempermasalahkan diri bila ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Ia

menangisi dirinya umumya anak usia kecil ini sering tidak betah, tidak

menerima cara hidup yang baru. Ia tinggalkan salah satu orang tuanya.

Bahwa anak usia belum sekolah akan lebih mengalami kesulitan dalam

menyesuaikan diri dalam situasi yang baru. Ia tidak akrab dengan orang

tuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu ingin mencari

ketenangan.

6
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Perceraian

Anak-anak diperkawinan orang tua yang menyedihkan, kurang

bekerjasama dalam bermain dan mempunyai lebih banyak interaksi negatif

dengan teman-teman bermain mereka dari pada anak-anak yang orang tua bahagia

perkawinannya.

Selama perpisahan dan perceraian orang tua dan juga 2 tahun pertama

setelah perceraian tersebut, sebagai masa ganggu serius terhadap

hubunganhubungan orang tua dengan anak. Selama periode ini orang tua

yang terlalu disibukkan atau yang emosinya terganggu dan seorang anak yang

sedih serta banyak menuntut, besar kemungkinannya menghadapi kesulitan

untuk saling mendukung atau saling menghibur dan barang kali bahkan yang

memperparah kesulitan masing-masing.

Banyak ilmuwan sosial lain telah membuat penemuan-penemuan

serupa tentang masalah-masalah tingkah laku diantara anak-anak dari perkawinan-

perkawinan yang bermasalah. Kalau dikumpulkan bersama-sama penelitian ini

membuktian bahwa perceraian dan konflik perkawinan dapat menempatkan anak-

anak pada suatu lintasan yang menjurus pada masalah-masalah berat dikemudian

hari. Kesulitan dapat dimulai pada awal masa kanak-kanak dengan keterampilan-

keterampilan pergaulan yang buruk dan tingkah laku garang, yang menjurus pada

penolakan oleh rekan sebaya, orang tua, karena terganggu oleh masalah-masalah

7
mereka sendiri. Kurang waktu serta perhatiannya bagi anak-anak mereka. Jadi,

anak-anak itu larut, tanpa terawasi menuju ke sebuah kelompok rekan sebaya

yang lebih bandel. Pada awal masa remaja, banyak anak dari keluarga-keluarga

yang retak telah tersandung ke dalam sarang lebah malapetaka kaum remaja,

termasuk nilai-nilai yang merosot, tingkah laku seksual terlampau dini,

penggunaan obat-obat terlarang dan tindakan kejahatan. Ada pula sejumlah bukti,

meskipun tidak begitu kuat, bahwa anak-anak dari keluarga-keluarga dengan

tingkat konflik dan perceraian yang tinggi mengalami lebih banyak depresi,

kecemasan dan menarik diri.

Salah satu studi yang dilakukan oleh Hetherington dari university of

virginia menemukan bahwa laju masalah kesehatan mental yang secara teknis

nyata hampir 3x lipat lebih tinggi pada kaum remaja dari rumah tangga yang

bercerai bila dibandingkan dengan kaum remaja dari polusi pada umumnya.

Ilmuwan sosial mengajukan berbagai macam teori mengenai sebab

mengapa anak kecil dari keluarga yang penuh konflik mempunyai lebih banyak

persoalan tingkah laku serta lebih banyak kesulitan dalam hubungan dengan

teman sebaya. Ada yang menyarankan bahwa orang tua yang terlibat perselisihan

dengan pandangan hidup mereka atau mantan pasangan hidup mereka kekurangan

energi dan waktu untuk anak-anak mereka. Selain memberi asuhan yang buruk,

banyak pakar berpendapat bahwa orang tua dalam perkawinan yang bermasalah

menjadi contoh buruk bagi anak-anak mereka mengenai bagaimana bergaul

dengan orang lain.

8
Tidak dapat disangkal bahwa anak-anak menjadi sedih dan bila mereka

menyaksikan perkelahian orang tuanya. Studi telah membuktikan bahwa, bahkan

anak-anak yang kecil bereaksi terhadap perselisihan dewasa dengan mengalami

perubahan fisiologis seperti meningkatnya detak jantung serta tekanan darah. Jahli

psikologi E. Mark Cummings yang mengamati reaksi anak terhadap perkelahian

orang tua, mencatat bahwa lazimnya anak-anak menanggapi dengan menangis.

Berdiri termenung dengan tegang, menutup telinga-telinga mereka,

mengernyitkan dahi mereka atau minta izin pergi. Ahli lain mengamati reaksi

stres nonverbal terhadap amarah dalam anak-anak umum 6 bulanan.

Kenyataannya bahwa sebagian besar anak yang telah dewasa dari

orang tua yang bercerai itu terasingkan dari sekurang-kurangnya salah satu orang

tua dan minoritas cukup besar diantaranya terasingkan dari ke 2 orang tuanya.

Menurut pendapat saya merupakan sebab yang sah bagi keprihatinan masyarakat.

itu berarti bahwa banyak anak muda ini sangat rentan terhadap

pengaruhpengaruh diluar keluarga, seperti dari teman laki-laki atau teman

wanita atau teman-teman sebaya.

Pada umumnya bila orang tua saling mendukung dan mengerti,

mekerlah kecerdasan emosional anak mereka. Tapi, anak-anak yang terus-

menerus terkena permusuhan orang tua mereka barang kali akan menghadapi

resiko-resiko yang parah. Jika memperhatikan tingkah laku negatif yang terbuka

oleh anak-anak yang sedang kami amati itu. Interaksi seperti bertengkar,

mengancam, memberi sebutan jelek, ngerumpi dan serangan fisik, tingkah laku

negatif dan anti sosial merupakan alasan penting mengapa anak-anak ditolak oleh

9
teman-teman sebaya pada awal masa kanak-kanak kami juga tahu bahwa

kegagalan seorang anak kecil untuk menjalin persahabatan merupakan indikator

utama resiko seorang anak menderita masalah psikiatri.

Peristiwa perceraian itu menimbulkan berbagai akibat terhadap orang

tua dan anak. Tercipta sebagai orang tua mereka tidak lagi memperlihatkan

tanggung jawab penuh dalam mengasuh anak. Pada tahun pertama setelah

perceraian, orang tua menjadi kurang dekat dengan anaknya, meski banyak waktu

tersedia untuk itu. Orang tua menjadi tegas lagi dan kurang melatih anaknya

bersikap tanggung jawab. Keadaan ini jauh berbeda dengan keluarga utuh yang

orang tuanya bersikap tegas dalam mendewasakan anaknya.

Hetheringtons dan koleganya (Save M Dagun, 2002 : 119)

mengadakan tes pada kelompok yang belum usia sekolah pada saat terjadinya

peristiwa perceraian. Tes ini dilakukan pada waktu anak bermain dan pada saat

berinteraksi sosial dengan teman. Hetheringtons menemukan bahwa konflik

keluarga itu menimbulkan pengaruh terhadap sikap bermain anak. Pengaruh

sampingan lain adalah terganggunya pergaulan dengan teman sebaya. Akibat yang

lebih jauh lagi dapat menjadi alasan penting terhambatnya perkembangan anak.

Anak berkembang tidak stabil terutama ketika bergaul dengan teman-temannya.

Masa ini aku terus berlanjut sampai anak menginjak masa remaja dan interaksi

sosial sedikit terganggu pada masa dewasa.

Hetheringtons (Save M Dagun, 2002 : 120) mengamati perilaku bermain anak-

anak dari keluarga cerai dan keluarga utuh, baik di dalam kelas dan ditempat lain

diperoleh keterangan, ternyata jelas dengan terjadinya perubahan sikap. Setelah 2

10
bulan peristiwa perceraian itu berlalu, mereka tampak kurang imajinatif, dan daya

kreatif berkurang.

Keadaan ini bebeda dengan anak dari keluarga utuh yang tetap

memperlihatkan kegairahan dan semangat. Anak dari keluarga retak berbuah

menjadi canggung menghadapi realitas sebenarnya. Kadang-kadang mereka mulai

berfantasi yang tinggi-tinggi memimpikan menjadi orang tenar. Mereka

menerawang jauh, tidak lagi menerima kenyataan berkurangnya daya imajinasi

anak pada saat bermain akan sangat berpengaruh pada perkembangan sosial dan

perkembangan kognitifnya.

Menurut Singger (Save M Dagun, 2002 : 120) kemahiran berfantasi

pada saat bermain sangat penting. Daya imajinasi pada saat bermain dapat

dianggap sebagai faktor yang besar, yang mempengaruhi perkembangan kognitif

anak, perasaan, dan perkembangan sosial. Daya imajinasi jauh lebih penting dari

pada sikap reaksi anak terhadap suatu respons. Sebab hal baru dengan lincah dan

dapat mengalihkan bentuk baru, dan jeli menggunakan bahan yang tersedia ia

menjadi ekspresif dalam rencana dan berbicara.

Faktor yang paling berat dalam kasus perceraian adalah bagaimana

memberikan pengaruh dan bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik

dan stabil, menciptakan keakraban bagi kedua orang tua. Pengaruh orang tua

dapat menciptakan kekuatan pada diri anak. Penggaruh ini akan tetap bertahan

sampai 5 tahun berikutnya. Kebiasaan mengunjungi masih penting bagi sebagian

besar anak. Meskipun demikian, kasus perceraian itu tetap membaca dampak

dalam perkembangan sosial dan emosi anak.

11
Banyak para peneliti menemukan bahwa anak yang diasuh satu orang

tua akan jauh lebih baik dari pada anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti

rasa tertekan. Perceraian dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak

negatif. Sikap untuk menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham

yang terus-menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk

memperoleh ketentraman diri.

Ada penelitian baru-baru ini yang memperlihatkan suatu yang penting

terjadi perubahan pola pandang dalam mengasuh anak yaitu menekankan kualitas

dalam pertemuan dengan anak, seperti menciptakan kehangatan, keintiman,

memberi dorongan sosial, menanamkan norma susila, dan lain-lain. Semua ini

merupakan pengalaman berharga bagi anak. Selain itu ayah ibu dan anak-anak

lebih memahami banyak hal jika mereka juga terbuka kepada banyak orang.

Beberapa anak tidak bisa terbatas dari dampak perceraian orang

tuanya. Perasaan terluka, marah, terabaikan dan tidak dicintai terus menetap

dihati bahkan sampai mereka dewasa oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk

tetap menyayangi dan mencintai terus menetap dihati mereka bahkan sampai

mereka dewasa. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tetap menyayangi

dan mencintai anak-anak mereka walaupun perkawinan mereka telah berakhir.

Seorang anak mungkin akan mengalami beberapa emosi yang

umumnya selama dan sesudah perpisahan orang tuanya. Untuk menolongnya

mengatasi kehilangan tersebut, sangat penting bagi orang tua untuk menolong

mereka mengenali perasaan-persaan itu dan mengatasinya.

12
Menurut Kelly Cole (Kelly Cole, 2004 : 3) beberapa anak akan

mengalami efek-efek yang merugikan harga dirinya sehingga mereka

menganggap diri mereka sebagai anak yang “nakal” yang telah menyebabkan

perceraian orang tua mereka. Hal ini terutama terjadi pada anak-anak yang lebih

kecil cenderung egoisentris. Dalam pandangan seorang anak, segala sesuatu yang

terjadi disekelilingnya disebabkan oleh perilaku, pikiran dan harapan-harapannya.

Ia akan menyalahkan dirinya sendiri atas perceraian orang tuanya dan berfikir

bahwa ia tidak layak mendapatkan hal-hal baik dalam kehidupannya. Ia akan

sering merasa dirinya adalah seorang anak yang tidak beruntung dan kekurangan.

Menurut Dodi Ahmad Fauzi, S.Sos (Dodi Ahmad Fauzi, 2006 : I)

Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian

utama bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena

“kehilangan” satu orang tua. Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian orang

tuanya sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan

sesudah perpisahan. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih

sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang

dialaminya selama masa sulit ini. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan

penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan

diri dari lingkungan sosial.

13
B. Faktor - Faktor Penyebab Perceraian

Menurut Dodi Ahmad Fauzi (Dodi Ahmad Fauzi, 2006 : 4), ada beberapa

faktor - faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :

1. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga

Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap

dikemukakan oleh pasangan suami - istri yang akan bercerai.

Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain,

krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata

lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan

perincian yang lebih mendetail.

2. Krisis moral dan akhlak

Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian

juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak,

yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun

istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan

keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun

istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan utang

piutang.

3. Perzinahan

Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan

terjadinya perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di

luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.

14
4. Pernikahan tanpa cinta

Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri,

untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan

mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk

mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan

harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga

harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam

menghasilkan keputusan yang terbaik.

5. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan

Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang

namanya masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu

hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat

didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang.

Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah perkawinan

adalah :

1. Adanya keterbukaan antara suami - istri

2. Berusaha untuk menghargai pasangan

3. Jika dalam keluarga ada masalah, sebaiknya diselesaikan secara baik-

baik

4. Saling menyayangi antara pasangan

15
BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

A. Bagaimanakah Pemahaman dan Perasaan Anak Usia Pra

Sekolah

Tentang Perceraian ?

1. Pemahaman :

Anak usia pra sekolah mengetahui bahwa satu orang tua tidak lagi

tinggal dirumah

2. Perasaan :

a. Mungkin anak menyalahkan diri sendiri atas perceraian tersebut.

b. Mendapat lebih banyak mimpi buruk.

c. Menunjukkan tanda kesedihan dan kemurungan karena

ketidakhadiran satu orang tua.

d. Anak pra sekolah bisa menjadi agresif dan marah kepada orang tua

yang mereka salahkan.

e. Karena anak pra sekolah berjuang dengan perbedaan antara fantasi

dan realitas, anak-anak bisa memiliki fantasi yang kaya tentang

bersatu kembalinya orang tua.

B. Apa yang Dapat Dilakukan Untuk Membantu Anak-Anak Pra

Sekolah

Mengatasi Dampak Perceraian ?

Menurut Kelly Cole (Kelly Cole, 2004 : 16) anak-anak pada tingkatan

ini sering kali bingung tentang penyebab perceraian. Anak pra sekolah dan
16
anak yang besar pada umumnya merenungkan hal ini dan kemungkinan

menyalahkan diri sendiri karena “mengusir” orang tuanya. Mereka dapat

berubah menjadi sangat penurut, dan melakukan hal-hal yang manis untuk

menyenangkan orang tuanya dengan harapan mereka kembali. Mereka

mungkin memiliki gagasan semacam “jika aku benar-benar baik, ibu dan ayah

akan kembali bersama lagi”.

Penting bagi orang tua untuk meyakinkan si anak bahwa perceraian

bukan karena ulahnya. Beberapa anak menjadi agresif dan kasar. Orang harus

mengambil tindakan segera untuk membatasi perilaku semacam itu dan

menerapkan langkah-langkah pendisiplinan yang tepat seperti yang akan

mereka lakukan dalam keluarga yang normal. Anak harus belajar

mengungkapkan amarahnya dengan cara yang lebih dapat diterima. Orang tua

yang mendisiplinkan anaknya dari perilaku agresif sebenarnya membantu

anak merasa aman dengan menahan emosi yang membingungkan ini. Orang

tua sebaiknya mencari cara yang lebih sehat lagi bagi anak untuk

mengungkapkan amarahnya. Seperti berbicara dengan orang dewasa akan

mengungkapkan lewat seni. Membaca dari buku- buku cerita juga dapat

membantu anak kecil memahami perasaan marah, sedih dan takut.

Tekanan perceraian juga dapat menyebabkan anak merespons dengan

menunjukkan perilaku masa kecil seperti mengompol, ledakan amarah dan

kemanjaan. Meskipun perilaku semacam ini bisa menimbulkan frustasi.

Orang tua harus waspada bahwa ini adalah mekanisme yang digunakan anak

kecil untuk mengatasi trauma kehilangan satu orang tua. Pada dasarnya,

17
perilaku regresif membantu si anak mundur secara mental hingga ia dapat

menghadapi emosional.

C. Bantuan Apa yang Dapat Diberikan Guru ?

Guru cukup berpengalaman dalam menangkap sesuatu yang salah

dengan seorang anak. Beberapa orang tua mungkin akan menemukan

kesulitan untuk mengatakan yang sejujurnya pada seorang guru, tapi mereka

harus ingat bahwa beberapa guru mengabaikan urusannya sendiri untuk

memastikan agar anak-anak dari keluarga broken home mendapat cukup

perhatian dan perbaikan.

Guru dapat menjadi orang tua jika si anak mengalami perubahan

perilaku kesulitan akademik. Jika orang tua dan guru dapat segera turun

tangan, mereka dapat membantu anak untuk menyesuaikan diri lebih baik

terhadap perceraian tersebut. Bagi seorang guru dia harus menjaga

kerahasiaan persoalannya.

Guru dapat menyarati kelebihan seorang anak dan melibatkannya

dalam bidang-bidang yang dikuasainya supaya dia dapat bekerjasama dengan

orang tua untuk membentuk batasan bagi anak yang telah berlaku

mengganggu di kelas sebagai akibat dari perceraian orang tuanya.

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menerangkan tugas akhir ini penulis dapat

menyimpulkan bahwa :

1. Beberapa anak tidak bisa terbebas dari dampak perceraian orang

tuanya, perasaan terluka, marah, terabaikan dan tidak dicintai terus-

menerus anak-anak mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua

untuk tetap menyayangi dan mencintai anak-anak mereka,

walaupun perkawinan mereka telah berakhir.

Seorang anak mungkin akan mengalami beberapa emosi yang

umum selama dan sesudah perpisahan orang tuanya. Untuk

menolongnya mengatasi kehilangan tersebut, sangat penting bagi

orang tua untuk menolong mereka mengenali perasaan-persaan itu

dan mengatasinya.

2. Beberapa anak mengidolakan orang tuanya. Ketika hal-hal tidak

berjalan lancar diantara keduanya. Si anak akan dapat menerima

bahwa, orang tuanya yang “sempurna” bisa membuat kesalahan

dan dia lebih mudah untuk menyalahkan dirinya sendiri akibatnya

si anak terbebani dengan rasa bersalahnya, dan membangun kesan

diri yang negatif. Bagi anak, kedudukan orang tua tidak tergantikan

ketika satu orang tua pergi, Si anak mungkin akan berfikir bahwa

19
orang tuanya tak lagi peduli dengannya. Ini membuatnya merasa

ditolak dan tidak dicintai, kesedihannya dapat diekspresikan dalam

bentuk tangisan dan sikap murung. Dia anak menjadi pendiam dan

lesu dan sering melamun.

3. Di sekolah, amarah ini bisa diekspresikan melalui tindakan-

tindakan seperti : melempar benda-benda atau memukul

temannya. Beberapa tindakan ini hanya sebagian dari perwujudan

betapa bahagianya anak-anak korban perceraian ini.

B. Saran

1. Bagi orang tua, sebaiknya sebelum orang tua memutuskan bercerai, orang

tua menemui psikolog atau berbicara dengan orang yang dianggap bisa

memberikan solusi yang terbaik dan memikirkan apakah dampak akibat dari

perceraian tersebut dapat diterima anak mereka ?

2. Orang tua sebaiknya memikirkan sejauh mana anak-anak terpengaruh

perceraian orang tuanya ?

3. Sebaiknya bila di sekolah, antara orang tua dan guru dapat berkomunikasi

dengan lancar agar si anak dapat menyesuaikan diri lebih baik terhadap

perceraian tersebut.

20
DAFTAR PUSTAKA

Hetherington, E Mavis (dalam buku Save M Dagun), 2002. Psikologi


Keluarga. Jakarta : Cipta Jakarta. ( Anggota IKAPI ).

Cole Kelly, 2004. Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua.


Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Jakarta - Indonesia.

Fauzi Ahmad Dodi, 2006. Perceraian Siapa Takut. Jakarta : Restu Agung
( Anggota IKAPI . Jakarta - Indonesia ).

Comming E Mark.

www.gogle.com

21
LAMPIRAN - LAMPIRAN

22
BILA ORANG TUA BERCERAI

Perceraian dialami berbagai macam manusia, tetapi rata-rata terjadi pada

mereka yang tidak bahagia dalam perkawinannya. Sikap orang tua yang cepat

memutuskan menempuh jalan perceraian seringkali menunjukkan adanya

semacam ketidakstabilan emosional pada dirinya. Bila demikian halnya, anak-

anaknya juga akan ikut dihinggapi ketidakstabilan yang sama. Kesedihan orang

tua yang bercerai sangat mempengaruhi perkembangan anaknya. Seorang ibu

yang karena kehancuran hatinya, bersikap acuh tak acuh terhadap suaminya yang

datang menengok anak-anaknya, akan menyulitkan terciptanya hubungan ayah

dan anak. Baik bagi si ayah maupun si anak, situasi tersebut akan terasa

menegangkan dan sangat tidak memuaskan. Terkadang seorang ibu melarang

anaknya untuk bertemu dengan ayahnya. Hal ini sangat berbahaya karena orang

tua yang tidak nampak akan menjadi tumpuan terciptanya beraneka ragam

khayalan pada anak. Situasi yang demikian dapat menjadi bumerang di kemudian

hari, tidak hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tua yang tinggal bersamanya.

Anak yang orang tuanya bercerai mempunyai problem emosional tersendiri. Ia

merupakan korban dari dua orang tua yang mempunyai problem dan kesulitan

yang mereka kira hanya dapat dipechkan melalui perceraian. Akibatnya, jalan

hidup anak telah terenggut oleh keputusan itu. Anak dari orang tua yang bercerai

cenderung dibesarkan dalam kondisi sosial yang kurang sehat daripada anak-anak

dalam rumah tangga normal.

23
Penyelidikan para ahli telah membuktikan bahwa banyak anak yang

terganggu jiwanya, dan banyak anak-anak nakal adalah anak-anak dari keluarga

yang berantakan. Tetapi jika orang tua mampu memberi pemahaman kepada

anaknya tentang konflik yang mereka hadapi, kadang-kadang anak-anak tersebut

akan dapat mengatasinya, meskipun tidak serta merta membebaskan mereka dari

konflik. Biasanya, anak-anak yang orang tuanya bercerai lebih banyak terlibat

dalam kenakalan dan kejahatan, secara individu atau kelompok. Terkadang bisa

ditunujukkan pula bahwa anak-anak dari hasil perceraian (bahkan dari

perkawianan yang gagal) cenderung lebih mudah menemui kegagalan dalam

kehidupan perkawinannya sendiri. Ada alasan kuat mengapa orang tua sangat

sukar untuk bisa rujuk kembali, dalam kasus ini adalah sang ibu. Dia sukar

memenuhi keinginan sang anak karena setelah melalui kegagalan tersebut,

masing-masing pihak menimpakan kesalahannya pada pihak-pihak lawan, dengan

membesar-besarkan kesalahan pihak lawan dan maminimalkan kesalahan sendiri.

Sejak dia memutuskan untuk bercerai, seorang ibu tidak ingin melihat ayah dari

anaknya secara keseluruhan. Mereka tak mungkin bersatu kembali karena

suaminya tak bertanggung jawab atau tidak setia. Dia ingin menjelaskan kapada

teman-temannya bahwa sang ayah dari anaknya itu orang yang sulit dan dia juga

ingin agar anaknya percaya akan hal tersebut, walaupun dia tahu bahwa tindakan

yang dilakukannya itu tidak adil. Jadi, ketika sang anak menginginkan kembalinya

sang ayah, pertentangan itu akan muncul kembali di hatinya.

24
Anak dari orang tua yang bercerai seringkali adalah anak yang tidak

mempunyai keyakinan diri karena situasi rumah yang tidak stabil. Ditambah lagi

bila anak tersebut sering berpindah-pindah tempat tinggal karena alasan keluarga,

atau karena orang tuanya hidup terpisah. Berbagai akibat perceraian yang sering

dijumpai misalnya kesulitan pendidikan dan ekonomi, kurang atau tidak adanya

pengawasan dari orang tua, pengabdian yang terbagi (anak-anak dijadikan tameng

atau perisai dalam pertengkaran orang tua), kesulitan dalam menentukan sikap

pengabdian terhadap lingkungan baru (problem orang tua tiri), penghancuran

terhadap ide atau cita-citanya, kurangnya keyakinan emosional, dan sebagainya.

Sekarang mari kita pikirkan mengapa seorang anak ingin agar kedua orang tuanya

yang bercerai itu bisa rujuk kembali. Anak-anak seperti ini, sebelum perceraian

terjadi, telah biasa hidup dengan kedua orang tua mereka. Mereka berpikir bahwa

mereka masih membutuhkan kedua orang tuanya yang masing-masing memberi

kepuasan batin tersendiri bagi si anak. Pikiran tentang kedua orang tuanya yang

tak mungkin bersatu kembali itu sangat menakutkan mereka, setidak-tidaknya

sampai ketika mereka akan menjadi terbiasa oleh perceraian dan segala

konsekuensinya. Barangkali anak-anak setuju akan pendapat ibunya bahwa

ayahnya memang salah. Tetapi jika sang ibu terlalu membesar-besarkan, anak

akan memperkecil kesalahan si ayah dengan harapan keduanya mau rujuk

kembali.

Dr. Benyamin Spock dalam bukunya, “Raising Children In A Difficult

Time”, secara gamblang mengemukakan bahwa lasan lain mengapa seorang anak

25
menonjolkan orang tua yang hidup terpisah darinya karena perceraian adalah

karena mereka tahu bahwa mereka adalah keturunan kedua orang tuanya, yang

menyandang bentuk fisik dan rohani yang sama dengan mereka berdua. Jika salah

satunya bersifat buruk, mereka sendiri pun akan mengidap sifat buruk tersebut.

Anggapan serupa ini seringkali dijumpai pada anak-anak yang mempunyai catatan

kriminalitas. Mungkin sekali anak-anak menjadi marah kepada kedua orang

tuanya karena mereka telah bercerai. Kemarahan ini harus dikeluarkannya secara

langsung, tidak secara sembunyi-sembunyi, tetapi dengan kata-kata langsung.

Pada umumnya, kaum pria maupun wanita yang bercerai akan kawin lagi. Dan

keuntungan atau kerugian yang didapat anak-anak dalam kehidupan perkawinan

kedua dari orang tuanya akan tergantung dari bagaimana pernikahan yang kedua

itu sendiri berjalan.

Seorang anak mungkin secara tiba-tiba meminta pada ibunya untuk

mencari seorang ayah baru baginya. Sikap seperti ini pada dasarnya tidak

berlawanan dengan cintanya terhadap sang ayah. Biasanya hal yang seperti ini

timbul jika ayahnya tak dapat setiap hari berkumpul dengan mereka, entah karena

tugas ataupun karena perceraian, karena mereka ingin memiliki seorang ayah

seperti anak-anak lain, yakni ayah yang dapat berkumpul bersama mereka setiap

hari. Bagaimanapun juga, tidak ada anak yang dilahirkan dengan telah memiliki

satu kebiasaan. Kebiasaan tersebut merupakan hasil dari satu proses yang

diterapkan oleh orang tuanya dalam perkembangan kepribadian anaknya. Bahkan

sebenarnya, tak ada proses khusus yang diterapkan. Anak menyerap semua yang

26
ada di sekelilingnya. Bila lingkungan baik, ia akan berkembang menjadi individu

yang baik. Namun bila keadaannya tidak menguntungkan, misalnya dalam situasi

broken home di mana orang tuanya hidup berpisah, ia akan berkembang sebagai

pribadi yang akan menghindarkan diri dari kehidupan normal, menjadi anti sosial,

agresif serta cenderung malakukan hal-hal yang sifatnya destruktif.

Bahan diedit dari sumber.

Judul buku : Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga

Penulis : Alex Sobur

Penerbit : Kanisius, Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, Jakarta 1987

Halaman : 281 - 284

27
-

You might also like