You are on page 1of 27

B.

MEMBIASAKAN PRILAKU TERPUJI (AKHLAQ MAHMUDAH)

Iman al-Gazali mengungkapkan bahwa akhlak merupakan keadaan yang melekat pada
jiwa manusia serta melahirkan perbuatan – perbuatan secara spontan, tanpa melalui
pemikiran dan pertimbangan. Akhlak disebut juga perangai atau budi pekerti. Suatu
perbuatan disebut akhlak apabila memenuhi dua syarat berikut ini :

1. Perbuatan itu dilakukan berulang – ulang.

2. Perbuatan itu dilakukan dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti terlebih dahulu
sehingga hal itu benar – benar merupakan suatu kebiasaan.

Akhlak bersumber kepada dua macam norma berikut ini.

1. Norma Keagamaan

Norma keagamaan adalah norma yang mengajarkan akhlak kepada manusia dengan
mengambil tuntunan yang telah diberikan Allah swt dan Rasulullah saw dalam Al-
Qur’an dan hadis.

Dengan demikian, akhlak ini mempunyai dua macam sanksi apabila dilanggar. Yang
pertama adalah sanksi yang dating dari Tuhan (bersifat gaib) dan yang kedua adalah
sanksi yang dating dari masyarakat (sesama manusia).

2. Norma Sekuler

Norma sekuler adalah norma yang mengajarkan akhlak kepada manusia dengan
berpedoman kepada olah pikir dan pengalaman manusia. Dengan demikian, akhlak ini
hanya mempunyai satu macam sanksi, yaitu sanksi yang datang dari masyarakat (sesama
manusia) semata – mata.

Akhlak merupakan suatu upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akhlak pula
yang membedakan manusia dengan binatang. Kemajuan ilmu pengetahuan tanpa disertai
pendidikan akhlak yang baik, tidak akan bisa mempertahankan kehidupan manusia. Hal
itu, justru akan menyebabkan kepunahan dan kebinasaan. (Khuslan Haludhi, 2004,57)

1
Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam adalah seorang yang sangat elok akhlaknya dan
sangat agung wibawanya. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an sebagaimana yang dituturkan
‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, yang artinya: “Akhlak Rasululloh Shalallaahu
alaihi wasalam adalah Al-Qur’an.” (HR: Muslim). Beliau juga pernah bersabda, yang
artinya:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Adapun sifat sifat terpuji itu diantaranya adalah :

A. Adil

Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada
pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada
aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti kecuali terhadap
Allah swt saja. Allah swt. berfirman dalam surat an-Nisa ayat 135 :

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (Q.S. an-
Nisa : 135)

2
Islam menyeru untuk berlaku adil sekalipun diantara kita sedang terjadi permusuhan.
Allah swt. berfirman dalam surat al-Maidah ayat 8 :

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Maidah
ayat 8)

Adil disejajarkan dengan perbuatan kebajikan, karena adil sendiri adalah memberikan
hak kepada yang punya. Sehingga orang yang diberikan hak merasa senang dan bahagia.
Allah swt. berfirman dalam Q.S. an-Nahl (16) ayat 90 :

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran
(Q.S. an-Nahl : 90)

3
Ada empat pengertian adil yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu ;

1. Adil dalam arti “sama”

Dalam arti memperlakukan sama terhadap orang-orang, tidak membedakan hak-haknya.


Firman Allah dari Q.S. an-Nisa (4) ayat 58 berikut :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat. (Q.S. an-Nisa : 58)

Perhatikan contoh keadilan yang dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib berikut,

Pernah suatu hari terjadi sengketa diantara Ali bin Abi Thalib dengan seorang Yahudi,
yaitu suatu sengketa yang sampai juga ke meja hijau (majlis hukum) dibawah pimpinan
Umar bin Khattab guna mendapatkan penyelesaian. Setelah kedua pihak sama-sama
datang menghadap Umar, maka berkatalah Umar kepada Ali : “ Ya Abal Hasan,
berdirilah berdekatan dengan lawanmu”. Seusai Umar memberikan keputusannya, Umar
melihat bahwa diwajah Ali terdapat tanda-tanda kedukaan, maka ujarnya : “ Wahai Ali,
mengapa saya lihat anda agak susah ?”. Ali menjawab : “Sebab anda tidak
mempersamakan antara saya dan lawan saya, anda memanggil saya dengan sebutan
kehormatanku “Abal Hasan “, sedang anda memanggil Yahudi dengan namanya yang
biasa”.
Pernahkah anda saksikan suatu tindak keadilan yang mencapai jangkauan setinggi itu ?
Apa yang dipraktekkan oleh khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib itu
adalah cermin keadilan didalam Islam. Karena Islam menyeru kepada umatnya untuk
berlaku adil, Islam melarang keras untuk berlaku sebaliknya.
Imam Ibnu Taimiyah berkata : “ Bahwasanya Allah akan menolong penguasa atau
pemerintah yang adil sekalipun dia pemerintah kafir, dan Allah tidak akan menolong
penguasa pemerintah yang zalim kendatipun dia itu Islam “.

4
Allah swt. berfirman dalam surat al-Hud ayat 117 :

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang
penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.(Q.S. al-Hud :117)

2. Adil dalam arti “seimbang”

Keseimbangan sangat diperlukan dalam suatu kelompok yang didalamnya terdapat


beragam bagian yang bekerja menuju satu tujuan tertentu. Dengan terhimpunnya bagian-
bagian itu, kelompok tersebut dapat berjalan atau bertahan sesuai tujuan kehadirannya.
Firman Allah dalam surat al-Infithar (82) ayat 6-7 berikut ;

Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (Q.S. al Infithar :6-7)

3. Adil dalam arti “Perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu
kepada setiap pemiliknya”.

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya”


atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah
kezaliman dalam arti melanggar hak-hak pihak lain. Pengertian ini melahirkan keadilan
sosial.

4. Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.

Adil disini artinya memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk
itu”. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikanNya. Keadilannya mengandung
konsekwensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh, sejauh makhluk
itu dapat meraihnya. (Quraisy Shihab,1996,114-116)

5
Tata krama dan menghormati orang lain
Sebagai muslim yang baik, kita tidak boleh melakukan perbuatan apapun yang sifatnya
merendahkan, mengejek dan menghina orang lain baik dari segi kepribadiannya,
karyanya, postur tubuhnya maupun keadaan sosialnya. Karena penghinaan, celaan,
apalagi merendahkan akan memunculkan perasaan sakit hati dan dendam. Oleh karena
itu, setiap individu muslim hendaknya berusah sekuat kemampuan untuk menahan dari
dari sikap yang membuat orang lain merasa direndahkan. Manusia yang baik adalah
mereka yang selalu memperhatikan dan memberikan pertolongan kepada orang-orang
yang tidak mampu atau lemah disekitarnya. Inilah ajaran yang telah dijelaskan oleh
rasulullah SAW.

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepaa manusia
lain.” (HR Muttafaqun Alaih)

B. Perduli Terhadap Orang Lain.


Dalam Al Qur’an surat Al Fath ayat 29, Allah menerangkan kepada kita bahwa
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya dan dia adalah keras
terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang bersama mereka. Ayat ini menjelaskan
bahwa nabi diutus kepada semua umat manusia dalam rangka memberi peringatan dan
kabar gembira, menerangi kehidupan manusia yang dulunya berada dalam kebodohan
agar mereka tidak lagi berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Sebagai contoh,
pada zaman jahiliyah, khusunya pada kaum quraisy yang dianggap penguasa, sedangkan
orang miskin dan lemah dianggap sebagai budak. Hukum ketika itu bersifat ekslusif dan
melindungi orang-orang tertentu saja sehingga orang-orang kuat menindas orang-orang
lemah.

Allah mengutus rasulullah SAW untuk mengembalikan hak-hak dan martabat m,anusia
yang rusak. Rasulullah memulai kembali dengan menata perilaku seluruh umatnya yang
selama ini terjebak dalam kejahiliyahan dan mengangkat derajat mereka sebagai
manusia yang mulia. Orang-orang yang kuat selalu diarahkan untuk berlemah lembut
dan mengasihi orang yang lemah, membantu dan melindungi mereka. Manusia dianggap

6
sama keberadaanya di hadapan Allah yang membedakannya hanyalah ketakwaanya.
Dengan demikian, kita sebagai generasi penerus muslim hendaknya turut mengasah
kepekaan terhadap orang yang lemah atau duafa dengan mengikuti sifat kasih sayang
dan lemah lembut yang telah diteladankan oleh rasulullah SAW.
“Allah itu senantiasa menolong hambanya, selagi hambanya itu menolong
saudaranya.” (HR Asy Syaikhan).
“Perumpamaan seorang mukmin itu (dalam kasih sayang mereka, lemah lembutnya,
dan rasa cinta mereka) bagaikan satu jasad atau badan yang apabila sakit salah satu
anggota tubuhnya maka seluruh tubuhnya merasakan sakitnya.” (HR Bukhari)

C. Menghargai Karya Orang Lain


Menghargai hasil karya orang lain merupakan salah satu upaya membina keserasian dan
kerukunan hidup antar manusia agar terwujud kehidupan masyarakat yang saling
menghormati dan menghargai sesuai dengan harkat dan derajat sesuai dengan harkat dan
derajat seseorang sebagai manusia. Menumbuhkan sikap menghargai hasil karya orang
lain merupakan sikap yang terpuji karena hasil karya tersebut merupakan pencerminan
pribadi penciptanya sebagai manusia yang ingin diharagai.

Hadits nabi Muhammad yang artinya :


“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bekerjan dan menekuni kerjanya.”
(HR Baihaqi)

Menghormati dan menghargai karya orang lain harus dilakukan tanpa memandang
derajat, status, warna kulit, atau pekerjaan orang tersebut karena hasil karya merupakan
pencerminan pribadi seseorang. Berkarya artinya melakukan atau mengerjakan sesuatau
sampai menghasilkan sesuatu yang menimbulkan kegunaan atau manfaat dan berarti
bagi semua orang. Karya tersebut dapat berupa benda, jasa atau hal yang lainnya.
Islam sangat menganjurkan umatnya agar saling menghargai satu sama lain. Sikap
menghargai terhadap orang lain tentu didasari oleh jiwa yang santun atau al hilmu yang
dapat menumbuhkan sikap menghargai orang di luar dirinya. Kemampuan tersebut harus
dilatih terlebih dahulu untuk mendidik jiwa manusia sehingga mampu bersikap

7
penyantun. Seperti contoh, ketika bersama-sama menghadapi persoalan tertentu,
seseorang harus berusaha saling memberi dan menerima saran, pendapat atau nasehat
dari orang lain yang pada awalnya pasti akan terasa sulit. Sikap dan perilaku ini ak
an terwujud bila pribadi seseorang telah mapu menekan ego pribadinya melalui
pembiasaan dan pengasahan rasa empati melaui pendidikan akhlak.

“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah” (HR Asy Syaikhan)

Kita tidak dapat mengingkari bahwa keberhasilan seseorang tidak dicapai dengan mudah
dan santai tapi dengan perjuangan yang gigih, ulet, rajin dan tekun serta dengan resiko
yang menyertainya. Oleh karena itu, kita patut memberikan penghargaan atas jerih
payah tersebut.
Cara yang bisa diwujudkan untuk menghargai hasil karya orang lain adalah dengan tidak
mencela hasil karya orang tersebut meskipun hasil karya itu menurut kita jelek.
Memberikan penghargaan terhadap hasil karya orang lain sama dengan menghargai
penciptanya sebagai manusia yang ingin dan harus dihargai. Bisa menghargai hasil
karya orang lain merupakan sikap yang luhur dan mulia yang menggambarkan keadilan
seseorang karena mampu menghargai hasil karya yang merupakan saksi hidup dan
bagian dari diri orang lain tanpa melihat, kedudukan , derajat, martabat, status, warna
kulit dan pekerjaan orang tersebut.

8
D. HUSNUZHAN
1. Husnuzan tehadap Allah SWT
Husnuzhan artinya berprasangka baik. Sedangkan huznuzhan kepada Allah SWT
mengandung arti selalu berprasangka baik kepada Allah SWT, karena Allah SWT
terhadap hambaNya seperti yang hambaNya sangkakan kepadaNya, kalau seorang
hamba berprasangka buruk kepada Allah SWT maka buruklah prasangka Allah kepada
orang tersebut, jika baik prasangka hamba kepadaNya maka baik pulalah prasangka
Allah kepada orang tersebut.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhari mempertegas hal ini:


Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Nabi saw. bersabda : “Allah Ta’ala berfirman : “Aku
menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu.
Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika ia
ingat kepadaKu dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari kelompok mereka.
Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia
mendekat kepadaKu sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang
kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil“.
(Hadits ditakhrij oleh Bukhari).

Sikap husnuzan terhadap Allah swt. akan menenteramkan jiwa serta memantapkan
keimanan manusia. Sikap husnuzan terhadap Allah swt. merupakan cerminan watak dan
karakter manusia sebagai hamba yang beriman. Oleh karena itu, manusia harus yakin
bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya adalah atas takdir Allah swt. Manusia
harus yakin bahwa kehidupan ini mutlak sepenuhnya di bawah control Allah swt.
Dengan demikian, sikap husnuzan terhadap Allah swt. akan membawa ketenangan,
kedamaian, dan ketenteraman hidup manusia. (Khuslan Haludhi, 2004:57-58)

Husnuzan terhadap Allah SWT merupakan sikap mental dan termasuk salah satu tanda
beriman kepada-Nya. Di antara sikap perlaku terpuji, yang akan dilakukan oleh orang
yang berbaik sangka pada Allah SWT ialah syukur dan sabar.

9
Syukur

Menurut pengertian bahasa, kata syukur berasal bahasa Arab, yang artinya terima kasih.
Menurut istilah, syukur adalah berterima kasih kepada Allah SWTdan pengakuan yang
tulus atas nikmat dan karunia-Nya, melalui ucapan, sikap, dan perbuatan.

Nikmat karunia Allah SWT sangat banyak dan bermacam-macam. Ada nikmat yang
terdapat dalam diri manusia itu sendiri, dan ada pula yang berasal dai luar diri manusia,
ada nkmat yang besifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani.

Nikmat karunia Allah yang bersifat jasmani dan terdapat dalam diri manusia, seperti
panca indra, bentuk, dan susunan tubuh manusia yang lebih sempuna dari hewan
sehingga manusia bisa berlari cepat seperti kijang, memanjat seperti kera, dan berenang
seperti ikan. Sungguh tepat apa yang telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Nikmat Allah yang bersifat rohani, sebagai anugerah Allah SWT yang tidak ternilai
harganya, antara lain roh, akal, kalbu, dan nafsu. Demikian juga nikmat-nikmat karunia
Allah SWT yang terdapat di luar diri manusia sungguh sangat banyak dan tidak ternilai
harganya. Nikmat-nikmat misalnya air, api, berbagai jenis makanan dan buah-buahan,
aneka macam barang tambang, daratan, lautan, dan angkasa raya. Itu semua memang
disediakan Allah SWT untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.

Jika umat manusia menghitung-hitung nikmat karunia Allah SWT, tentu tidak akan
mampu menghitungnya (lQ.S Ibrahim, 14: 34 dan Q.S Al-Baqarah, 2: 152).

Cara bersyukur kepada Allah SWT ialah dengan menggunakan segala nikmat karunia
Allah SWT untuk hal-hal yang diridai-Nya, yaitu:

 Bersyukur dengan hati ialah mengakui dan menyadar bahwa segala nikmat yang
diperoleh manusia, merupakan karuni Allah SWT semata dan tidak ada selain Allah
SWT yang dapat memberikan nikmat-nikmat itu.

10
 Bersyukur dengan lidah seperti membaca Alhamdulillah (segala puji bagi Allah),
mengucapkan lafal-lafal zkir lannya, membaca Al-Qur’an, dan melaksanakan akmar
makuf nahi mungkar.
 Bersyukur dengan amal perbuatan, misalnya mengerjakan salat, menunaikan ibadah
haji jika mampu, berbakti kepada kedua orang tua, dan berbuat baik pada sesama
manusia.
 Bersyukur dengan harta benda, misalnya dengan jalan membelanjakan harta benda itu
untuk hal-hal yang bemanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Sabar

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba
akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah
terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah


meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan
maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam
menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi
menjadi tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah


2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal

11
yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang
berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-


sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab
terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di
antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai
kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh
firman Allah ta’ala,

“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Manusia dalam hidupnya di dunia ini silih berganti berada dalam dua situasi, yaitu
situasi yang senang karena memperoleh nikmat dan situasi sedih atau susah karena
mengalami musibah. Apabila manusia itu berada dalam situasi senang hendaknya ia
bersyukur, dan bila berada dalam situasi susah hendaklah ia bersabar.

Setiap Muslim/Muslimah yang beprasangka baik pada Allah SWT, apabila dikenai suatu
musibah seperti sakit, bencana alam dan gagal dalam suatu usaha, tentu akan bersabar.
Ia tidak akan gelisah dan berkeluh kesah apalagi beputus asa, karena ia menyadari
bahwa musibah-musibah itu merupakan ujian dari Allah SWT.

12
Artinya :

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 155-157)

Seseorang dianggap suuzan terhadap Allah SWT, misalnya tatkala ia mengalami


kegagalan dalam suatu usaha, ia menduga Allahlah penyebab kegagalannya, Allah
mendengar doanya, Allah itu kikir, Allah tidak adil, dan lain-lain dugaan yang negatif
terhadap Allah SWT. Padahal Allah SWT itu Maha Mendengar, Mahadermawan,
Mahaadil. Allah SWT tidak menyuruh hamba-Nya untu gagal dalam suatu usaha. Oleh
karena itu, jika seseorang gagal dalam suatu usaha, ia tidak boleh menyalahkan Allah
SWT. Ia harus mengntrospeksi diri, mungkin kegagalan itu karena usahanya belum
dilakukan secara sungguh-sungguh. Kegagalan dalam suatu usaha, hendaknya dijadikan
pelajaran, agar pada masa mendatang tidak mengalami hal serupa.

2. Husnuzan terhadap Diri Sendiri

Perilaku terpuji terhadap diri sendiri yaitu percaya diri, gigih dan berinisiatif.

Percaya Diri
Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang harus dimiliki oleh setiap
Muslim/Muslimah karena seseorang yang percaya diri tentu akan yakin terhadap
kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan berani pula
melakukan suatu tindakan. Muslim/Muslimah yang berilmu pengetahuan tinggi dan

13
memiliki keterampilan yang bermanfaat apabila ia percaya diri, tentu ia akan
memperoleh keberhasilan dalam hidup.
Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan apabila tidak percaya diri
tentu akan memperoleh kerugian dan mungkin bencana. Muslim/Muslimah yang
percaya diri akan melaksanakan kewajiban terhadap dirinya sendiri, misalnya menjaga
kesehatan jasmani dan rohani serta memelihara diri agar tidak dikenai suatu bencana.
(knowladge-island.blogspot.com,2010,4)

Gigih
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata gigih bahasa Minangkabau yang
artinya berkeras hati, tabah, dan rajin. Gigih juga dapat diartikan bersungguh-sungguh
dalam meraih sesuatu. Sikap dan perilaku gigih dalam meraih yang positif termasuk
sikap mahmudah (sikap terpuji) dan akhlakul karimah. Setiap muslim dan muslimah
wajib memiliki sikap gigih. Sikap gigih hendaknya diterapkan dalam kehidupan antara
lain dalam hal berikut:
1) Ibadah
2) Menuntut ilmu
Ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan tentang
agama Islam (‘ilm hal) dan ilmu pengetahuan umum (‘ilm gairu hal). Ilmu pengetahuan
tentang agama Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia.
Ilmu pengetahuan umum bertujuan agar umat manusia dapat memanfaatkan, menggali,
dan mengolah kekayaan alam, baik yang ada di darat dan di laut maupun yang ada di
angkasa raya.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Kebaikan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat beserta ilmu dan
keburukan/bencana di dunia dan di akhirat beserta kebodohan.”(H.R Bukhari)
3) Bekerja mencari rezeki yang halal
Bekerja mencari rezeki yang halal dapat dilakukan melalui berbagai bidang usaha,
misalnya pertanian, peternakan, dan perdagangan. Bekerja dalam bidang apa pun
hendaknya dilakukan dengan gigih dan sungguh-sungguh dengan dilandasi niat ikhlas
karena Allah SWT, untuk memperoleh rida dan rahmat-Nya. Dengan cara seperti itu

14
maka akan diperoleh hasil kerja yang optimal. Islam melarang umat-Nya bermalas-
malasan dan menjadi beban orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Bekerja mencari rezeki yang halal itu wajib bagi setiap Muslim.” (H.R.
Tabrani)

Gigih dalam Bekerja

Gigih dalam bekerja berarti bekerja sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan
sangat bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut. Bahkan, hal itu senantiasa
dikaitkan dengan prinsip ibadah kepada Allah swt sehingga tetap berpegang pada
ketentuan syariat Islam. Rasulullah saw bersabda dalam hadis berikut ini.

Bekerjalah untuk duniamu seakan – akan kalian akan hidup selamanya, namun
beribadahlah kalian seolah – olah esok akan mati segera. (H.R. Ibnu Majah).

Hidup pada zaman modern ini penuh dengan persaingan. Persaingan itu ada yang sehat
dan ada yang tidak sehat. Apabila manusia tidak gigih dalam bekerja, ia akan rugi. Di
lain pihak, orang yang tekun dan gigih dalam bekerja akan memperoleh kemajuan dan
keberhasilan yang mereka idamkan. Keberhasilan tidak bisa dicapai dengan mudah.
Keberhasilan akan tercapai apabila seseorang mau berjuang, rajin, tidak mudah putus
asa, serta memiliki motivasi yang kuat. Hal itu sesuai dengan nasehat Iman Syafi’i
berikut ini.

Siapa yang berusaha dengan bersungguh – sungguh pasti akan mendapat.

Kemalasan akan menyebabkan kemiskinan dan bahkan kejahatan. Hal itu merugikan diri
sendiri, keluarga, dan masyarakat. Islam sangat menentang hal itu. Menurut ajaran
Islam, kegigihan menanggulangi kemelaratan, kebodohan, dan keterbelakangan
merupakan refleksi keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Oleh karena itu,
generasi muda Islam harus memiliki etos kerja yang tinggi dan memiliki akidah yang
kuat supaya berhasil mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (Abdurrohim Sa’id,
2004,58)

15
Simak pepatah Arab berikut ini.

Manusia harus berusaha, Allah-lah yang menganugerahkan hasilnya.

Berinisiatif
Kata inisiatif berasal dari bahasa Belanda yang berarti prakarsa atau langkah pertama.
Inisiatif juga berarti berbuat yang sifatnya produktif ( memiliki etos kerja yang tinggi)
dan tidak tergantung kepada orang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki
etos kerja yang tingi. Seseorang yang memiliki inisiatif disebut inisiator.
Inisiatif dalam hal positif merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap orang
muslim dan muslimah. Muslim/Muslimah yang berprasangka baik terhadap dirinya,
tentu akan berkeyakinan bahwa dirinya mampu berinisiatif yang positif dalam bidang
yang ditekuninya dan sesuai dengan keahliannya.

Berinisiatif adalah upaya untuk tidak tinggal diam, tidak berpangku tangan, dan terus
berusaha disertai tawakal kepada Allah swt. Islam menganjurkan manusia agar
senantiasa berinisiatif dan terus berusaha serta tidak menggantungkan diri kepada takdir.
Abdurrohim Sa’id, 2004,59)

Allah swt berfirman dalam Surat At-Takwir Ayat 29 berikut ini.

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S At-Takwir : 29)

Berinisiatif akan memperbaiki kehidupan manusia. Orang yang tidak mau berinisiatif
untuk memperjuangkan nasib keluarganya akan statis, tidak berkembang, dan tidak
maju. Sebaliknya, orang yang memiliki inisiatif dan berusaha dengan kesungguhan
jiwanya akan berkembang dan maju ke arah yang lebih baik. Kreativitas merupakan
sumber dari sikap berinisiatif. Adapun takarub kepada Allah swt akan membuka
kejernihan berpikir dan bertindak. Tidak ada sejarah yang dibangun oleh orang ang tidak

16
berakhlak mulia dan tidak meiliki kedekatan dengan Sang Pencipta alam semesta ini.
Orang yang tercatat dalam sejarah adalah orang yang memiliki keteguhan jiwa serta
kebersihan hati. Oleh karena itu, apabila ingin mendaftarkan diri sebagai pemuda
harapan bangsa, kita harus bersiap – siap sejak dini. Otak harus diasah untuk
menumbuhkan inisiatif. Akal pikiran harus dibersihkan dari kekolotan dan kejumudan.
Hal itu akan menimbulkan inisiatif untuk berusaha mengubah nasib walau banyak jalan
terjal dan hambatan yang ada di depan kita. (Khuslan Haludhi,2004,59)

E. Tawadhu

Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat terpuji di hadapan
Allah dan seluruh makhluk-Nya. Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat
terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang
mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini
mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.

Tawadhu’''adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun


datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu
memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua
orang membutuhkan dirimu.

Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran

Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat
terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat suatu kaum
dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

17
Fudhail bin Iyadht (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau
menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta
menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah
bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang
merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih, HR.
Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z)

Ibnul Qayyim dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:

“Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak
kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan orang
tersebut hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya
haq, agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali.
Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak
segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman
Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)

Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu
juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:

18
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang
yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri


sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim
atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).

Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa


tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan
kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan
keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.

Macam-macam Tawadhu’

Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam
bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan
pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak
mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.

2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena
Ridha (‫ضى‬
َ ‫ ) ِر‬menurut kamus al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dalam kehidupan
ini seseorang harus mampu menampilkan sikap ridha minimal dalam empat hal:

F. RIDHA

19
Ridha (‫ضى‬
َ ‫ ) ِر‬menurut kamus al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dalam kehidupan
ini seseorang harus mampu menampilkan sikap ridha minimal dalam empat hal:

a. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah

Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap
semua nilai dan syari’ah Islam. Perhatikan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98)
ayat 8

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka
dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Tuhannya. (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )

Dari ayat tersebut dapat dihayati, jika kita ridha terhadap perintah Allah maka Allah pun
ridha terhadap kita.

b. Ridha terhadap taqdir Allah.

Mari kita simak, apa yang dikisahkan berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a.
melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak
bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku
terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian
berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt. maka taqdir itu tetap
berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap

20
taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan
yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar
adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan
mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera
berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir
Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya
selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha
ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin
mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah.

Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah satu
anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah
swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar, sesungguhnya Allah swt.
apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan
rela atau ridha.

Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di
akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah
swt. dalam situasi apapun (Hikmah, Republika, Senin 5 Februari 2007, Nomor:
032/Tahun ke 15)

c. Ridha terhadap perintah orang tua.

Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada
Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah
dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14 ;

21
Artinya :
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)

Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan
murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua
dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah,
mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau
ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak
menghiraukan panggilan ibunya.

d. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang Negara

Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan
salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin
keteraturan dan ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4)
ayat 59 berikut :

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)

22
G.Ikhlas

Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu dengan penuh kesadaran semata – mata mengharap
keridaan Allah swt tanpa dicampuri tujuan yang lain. Ikhlas menjadi syarat utama
diterimanya suatu amal perbuatan. Allah swt akan menerima amal perbuatan manusia
harus dilandasi dengan niat yang benar dalam hati. Rasulullah saw bersabda dalam hadis
berikut ini.

Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang yang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barang siapa hijrah pada
jalan Allah atau Rasul-Nya, hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa
hijrah karena ingin memperoleh keduniaan atau untuk mengawini wanita, hijrahnya ke
arah yang dituju itu. (H.R. Bukhari – Muslim)

Allah swt akan menilai alam perbuatan sesuai dengan niatnya. Jika niatnya benar,
amalnya akan diterima sebagai ibadah dan berpahala. Sebaliknya, jika niatnya salah,
amalnya akan ditolak dan tidak berpahala.

Ikhlas merupakan cara untuk menghilangkan segala niat yang tidak dibenarkan oleh
Allah swt. Bahkan, mereka yang ikhlas ini akan terhindar dari bujuk rayu setan. Allah
swt berfirman di dalam Surat Al-Hijr Ayat 39 – 40 berikut ini.

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat,
pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi,
dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang
mukhlis di antara mereka”. (Q.S Al-Hijr : 39 – 40)

23
Orang yang ikhlas akan menjadi orang yang teguh pada pendirian yang benar
(istikamah). Mereka juga senantiasa memiliki karakter tasamuh atau toleransi yang telah
mendarah daging. Mereka senantiasa rindu kepada ibadah. Jiwa mereka tidak tenteram
manakala belum beribadah secara khusyuk kepada Allah swt.

Orang yang ikhlas mempunyai prinsip untuk selalu memberikan manfaat kepada
sesamanya. Hal itu disebabkan mereka menyadari bahwa seluruh aktivitas hidupnya
selalu dikontrol oleh Allah swt. Oleh karena itu, mereka selalu berbuat kebajikan dan
bertakwa kepada Allah swt. (Khuslan Haludhi,2004,60-61)

H. Qana'ah ( Berfikir Positif )

Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta
menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qana’ah
bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja
dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan
tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap
yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri
dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW Bersabda :

" Abdullah bin Amru r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya beruntung
orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang
telah Allah berikan kepadanya. (H.R.Muslim)

orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau
yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah.

Qana’ah dalam kehidupan

Qana’ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena sifat tersebut dapat
menjadi pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam
keserakahan. Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang

24
muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qana’ah
akan selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari
keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan
pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak
berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan
kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun
hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian
hartanya untuk kepentingan sosial. Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :

Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW :”Bukanlah kekayaan itu banyak harta
benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati". ( H.R.Bukhari dan
Muslim)

karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat
Qana’ah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya antara lain suka meminta-
minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang pusa dengan apa yang
diberikan Allah kepadanya.

Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang
selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian
dengan tetap bergantung kepada karunia Allah.

Berkenaan dengan Qana’ah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan nasehat
kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini :

„ Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW
dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun
tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „ Hai Hakim ! harta ini memang indah dan
manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti dieri berkat
baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak
berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. Dan tangan diatas
lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ; Ya Rosulullah ! Demi Allah yang

25
mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak akan menerima apapun sepeningal
engkau sampai saya meninggal dunia. Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah)
memanggil Hakim untuk memberinya belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya
dan tidak mau menerima sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai
kaum muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah
memberikan haknya yang diberikan Alah padanya". (H.R.Bukhari dan Muslim )

Qana’ah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental. Oleh karena itu untuk
menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada tingkat pemulaan
mungkin merupakan sesuatu yang memberatkan hati, namun jika sifat Qana’ah sudah
membudaya dalam diri dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan
didunia akan dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya.
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :

„ Qana’ah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap". (H.R.Thabrani)

demikianlah betapa pentingnya sifat Qana’ah dalam hidup, yang apabila dimiliki oleh
setiap orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan mendorong terwujudnya
masyarakat yang penuh dengan ketentraman, tidak cepat putus asa, dan bebas dari
keserakahan,seta selal berfikir positif dan maju.

Betapa tidak, karena sebenarnya dalam Qana’ah terkandung unsur pokok yang dapat
membangun pribadi muslim yang menerima dengan rela apa adanya, memohon
tambahan yang pantas kepada Allah serta usahadan ikhtiar, menerima ketentuan Allah
dengan sabar, bertawakkal kepada Allah, dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
(crayonpedia.org, 2009,1)

26
27

You might also like