Professional Documents
Culture Documents
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S2
Diajukan oleh:
ISKANDAR DZULKARNAIN
21320/IV-I/1869/04
Kepada
PROGRAM SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006
i
Perilaku Homoseksual di Ponpes
KATA PENGANTAR
iv
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Indonesia. Dengan semakin tidak leluasanya para kaum homoseksual untuk bergerak
secara sosial, politik, agama, hukum, dan ekonomi, akan semakin melemahkan
sportinitas para kaum homoseksual untuk menyamakan hak-haknya dengan kaum
heteroseksual. Atau jangan-jangan malah menguatkan semangat mereka untuk terus
berjuang, karena melihat kediktatoran para aparatus negara dengan mempersempit
ruang keberagaman masyarakat Indonesia?
Padahal Indonesia pada awal berdirinya sangat menghargai perilaku
homoseksual, seperti yang nampak di dalam budaya-budaya lokal masyarakat. Dengan
demikian, Indonesia telah mengikis budaya-budaya tradisionalnya dengan beralih ke
arah modernitas yang menganggap perilaku homoseksual sebagai sex negativa. Konsepsi
homoseksual yang begitu sempit serta para penguasa yang melahirkan wacana begitu
kuat ikut mempengaruhi lahirnya para homophobia-homophobia di masyarakat.
Kuatnya para aparatus mengusung larangan perilaku homoseksual dengan dalih
moralitas, semakin menguatkan ingatan penulis bahwa di pondok pesantren yang
dianggap sebagai institusi pendidikan penjaga moralitas bangsa telah berkembang
sangat kuat perilaku homoseksual bahkan sampai sekarang. Namun dengan kekuatan
para penguasa yang ada di pondok pesantren dan melalui wacana yang begitu kuat
maka perilaku tersebut tidak dikategorikan sebagai perilaku homoseksual bahkan lebih
kecil dosanya ketimbang zina. Dengan demikian, marilah kita mengajak para penguasa
untuk merubah wacana yang ada di dalam masyarakat tentang opini mereka terhadap
perilaku homoseksual, sehingga mereka pada akhirnya akan mempunyai hak yang sama
dengan kaum heteroseksual. Bukankah kaum homoseksual adalah manusia biasa yang
mempunyai hak individu yang harus diakui oleh manusia lainnya bahkan oleh Tuhan
sendiri?
Berangkat dari itu semua penelitian dan penulisan tesis ini dimulai. Banyak
pihak yang membantu saya dalam penulisan dan penyusunan tesis ini. Saya
mengucapkan syukur kepada Allah Swt, yang telah menguatkan iman Islam ke dalam
v
Perilaku Homoseksual di Ponpes
hati saya dan salam sejahtera kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai teladan semua
manusia, karena itulah tesis ini selesai.
Selain itu, saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan
penguji saya Dr. Partini yang telah banyak memberikan kritik-kritik pedas, semangat
untuk terus melakukan penelitian secara mendalam, dan komentar-komentarnya
seputar keluguan saya akan metode penelitian dan penggunaannya. Serta ucapan
terima kasih saya kepada seluruh dosen saya di Program Sekolah Pascasarjana Sosiologi
Universitas Gadjah Mada (UGM), atas ilmu-ilmu yang telah ditransferkan kepada saya
selama menimba ilmu di Jogjakarta. Seperti Dr. Suharko selaku ketua program
sosiologi, Arie Setyaningrum M.A yang telah menyempurnakan proposal saya dengan
berbagai kritik dan tantangan-tantangannya, M. Najib Azca M.A yang telah memberi
semangat awal penulisan dan penelitian tesis ini, Dr. Heru Nugroho yang selalu
meluruskan arah pemikiran saya, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi yang seringkali
mengkritik dan menghabisi saya akibat ketidaktahuan metode penelitian, dan lain
sebagainya, serta Suherman M.A yang telah menjadi penguji kritis terhadap tesis ini.
Kepada Prof. Dr. H. Musa Asy’ari M.A dan Prof. Dr. Simuh, yang dengan sangat baik
hati dan antusias memberikan rekomendasi kepada saya ketika akan melanjutkan studi
S2. Serta terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Dr. Dede Oetomo yang telah
banyak memberi masukan, kritikan, dan pujian, serta bersedia untuk berdiskusi dan
membaca tesis saya ini.
Dalam proses penulisan dan penelitian, saya sering mendapat bantuan
pinjaman banyak buku terutama ketika melakukan proses akumulasi data, di antaranya
seluruh pegawai perpustakaan Pascasarjana Sosiologi UGM, Fisipol UGM,
Perpustakaan Pascasarjana UGM, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan Perpustakaan Kolese Ignatius. Karena itu saya
haturkan terima kasih. Serta kepada mbak Neny, pak Tugimin, dan mbak Novi yang
telah direpoti saya oleh hal-hal teknis yang sangat merumitkan, terima kasih banyak
vi
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Terima kasih kepada Prof. Dr. Amin Abdullah, Amalinda Savirani M.A, Moh.
Sodik M.Si, Eric Hiariej M.Phil, Dr. Abdus Salam, Siti Mutiah M.A, Syamsurizal
Panggabean M.A, Muhadi Sugiono M.A dan lain sebagainya yang telah memberikan
banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan dijadikan penelitian secara mendalam
dan juga ilmu-ilmu yang telah mereka berikan kepada saya ketika kuliah di Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dengan konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan
dalam Islam.
Terima kasih kepada instansi tempat saya bekerja yang telah bersedia
memberikan waktu luang agar saya melanjutkan studi, terutama Drs M Sahibudin,
selaku rektor di Universitas Islam Madura (UIM), Saiful Hadi M.M selaku Dekan di
FKIP, Mulyadi M.Ag teman berjuang saya di kampus UIM jurusan Bahasa Indonesia.
Saya perlu menyebutkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada para
informan, baik santri alumni santri, ustadz, atau kiai di pondok pesantren Al-Amanah
dan An-Naqiyah serta masyarakat sekitar kedua pondok pesantren tersebut atas
kesdiannya memberikan jawaban terhadap segala pertanyaan saya. Saya juga perlu
menyebutkan terima kasih kepada para sahabat yang sejak awal di Jogjakarta selalu
bersama. Zainal Abidin S.IP, S.Ag beserta keluarga, Ahmad Sahidah M.Ag beserta
keluarga, Damanhuri M.Ag beserta keluarga, Ahmala M.Ag beserta keluarga, Muh.
Ahwa Muzakkin Makruf M.M, Roby M.M, Ir. Mas Oniek, Abdur Rauf S.Ag beserta
keluarga, Abdul Muis, Ibad, Budi S.T, Agus S.T, Awinullah S.H.I, Boim S.H.I, Moh.
Ainul Yaqin M.Ed beserta keluarga, Fathurrahman M.Si beserta keluarga, Abdur
Rozaki M.Si beserta keluarga, Taufik S.Th.I, Ramli S.Phil.I, Efendi S.Th.I, dan
seterusnya yang tidak mungkin disebutkan semuanya di sini. Terima kasih atas
persahabatan yang telah kalian rajut. Serta kepada sepupu saya Imam Mukhlis S.Th.I,
dan ponakan Mufidul Wara, yang selama ini menjadi keluarga di Yogyakarta. Hal yang
sama juga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh komunitas komplek Wisma
Natural 45 I (old & new), teman-teman kost di Papringan Lampar 07,teman-teman
vii
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Iskandar Dzulkarnain
viii
Perilaku Homoseksual di Ponpes
HALAMAN PERSEMBAHAN
Terkhusus:
ix
Perilaku Homoseksual di Ponpes
INTISARI
Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren
Penilaian masyarakat yang menempatkan homoseksual sebagai sesuatu yang
abnormal dan amoral, serta dianggap sebagai suatu aib yang mengancam, menarik
penulis untuk mengkajinya secaranya mendalam. Berawal dari fenomena tersebut maka
penulis tertarik untuk meneliti fenomena homoseksual terutama di pondok pesantren
dalam hal ini dua pondok pesantren di Sumenep, yakni pondok pesantren tradisional
An-Naqiyah dan pondok pesantren modern Al-Amanah. Sehingga penulis
merumuskan masalahnya, bagaimana konstruksi subjektif masyarakat pesantren
terhadap perilaku homoseksual di pondok pesantren Sumenep?.
Penelitian ini dioperasikan dengan menggunakan metode kualitatif melalui
analisis deskriptif. Sedangkan dasar metodologisnya menggunakan pendekatan
etnofenomenologi. Jenis datanya menggunakan data kualitatif dan data kuantitatif,
digali dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer dihimpun melalui
observasi partisipan dan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen
resmi yang berhubungan dengan perilaku homoseksual di pondok pesantren. Analisis
datanya menggunakan tiga pola Miles dan Huberman. Langkah operasional
penelitiannya meliputi, persiapan memasuki lapangan, yakni kunjungan awal penulis
secara terus menerus ke pondok pesantren tersebut, mencari tahu bagaimana supaya
bisa mondok, dan meminta izin kepada pengasuh pondok pesantren; kedua, langkah
pengumpulan data, yakni pengfokusan informasi data dengan menekankan pada tiga
fokus utama, data perilaku homoseksual, data pada reaksi atau konstruksi subjektif
masyarakat pesantren (massa) terhadap fenomena homoseksual di pondok pesantren,
dan data yang menggambarkan tentang pergeseran sistem struktur sosial masyarakat
pesantren terhadap homoseksualitas.
Hasil penelitian ini, adalah pandangan masyarakat pesantren yang tetap
menganggap bahwa homoseksual sebagai dosa, amoral, dan penyakit, ternyata berbeda
dengan anggapan mereka terhadap perilaku alaq dalaq di pondok pesantren, yang
menganggapanya sebagai sesuatu yang biasa dan boleh dilakukan. Hal ini terjadi seiring
hilangnya otoritas kiai yang begitu kuat di dalam masyarakat dan santri (massa), baik
sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik, dan agama, seiring dengan kebungkaman
dan kebodohan massa ketika mendapat media informasi dari kiai, bahwa perilaku alaq
dalaq dosa dan dilarang, sebagaimana yang digambarkan oleh Jean Baudrillard. Selain
itu, pola relasi antarpelaku alaq dalaq di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah
terdapat tiga pola, pertama, pola relasi alaq dalaq dengan ikatan, kedua, relasi alaq dalaq
tanpa ikatan, dan ketiga pola relasi alaq dalaq for pleasure. Sedangkan di pondok
pesantren modern Al-Amanah, terdapat satu pola yakni pola relasi alaq dalaq dengan
ikatan.
x
Perilaku Homoseksual di Ponpes
ABSTRACT
Homosexual Behavior in Islamic Boarding House
The appreciation of society placing a homosexual as something abnormal and
immoral, also assumed as threatening ignominy was interested the author to study
more deeply. Initiated by those phenomenon, the author interested to observed this
homosexual phenomenon mainly in Islamic Boarding House, it was in two Islamic
boarding houses in Sumenep, that are traditional Islamic boarding house Al-Amanah
and modern Islamic boarding houses An-Naqiyah. Thus the author formulated to the
existed problems, how is the subjective constructive of the society on this homosexual
behavior at the Islamic boarding houses in Sumenep?
This research operated by a qualitative method through analytical descriptive.
While the methodological basic used an etno-phenomenology approach. The data types
used a qualitative and quantitative, was digging of primary and secondary data sources.
The primary data collected of participation observation and interview. While the
secondary data obtained of official documents related to the homosexual behavior in
the Islamic boarding houses. The data analysis used a Miles and Huberman three
patterns. The operational steps of this research are including, preparation to enter the
field, that was the initiate author visit continually visited the boarding house, to find
out how to stayed in the boarding house and attempt to permission to the Islamic
boarding houses official teachers; the second, data collecting steps, that was to focused
to the data information by emphasized to three main focuses, the homosexual
behavior data, data on reaction or the subjective constructive of the boarding house
mass toward the homosexual phenomenon in the Islamic boarding houses, and the
data describing the social structure system shifting of the boarding houses society
toward homosexual.
The research results was a Islamic boarding houses society who remained
assumed that homosexual as sin, immoral, and disease, obviously different with their
assumption toward a alaq dalaq in the Islamic boarding houses, that assumed that it
was something usual and permitted to be done. It occurred in a line with the lessening
of the kyai’s authorities who are very tightly coherent in the society and Moslem
students/santri (mass), both of the social, culture, economy, education, and religion,
are in line with the mass who lack in acknowledgment and silent ness of the mass
when they have an information of the kyai, that alaq dalaq behavior is a full of sin
and prohibited, as described by Jean Baudrillard. Besides, the relationship pattern of
the actors of alaq dalaq in the traditional Islamic boarding house An-Naqiyah there
were three patterns, the first, an alaq dalaq relationship with particular tying, the
second, alaq dalaq relationship without any tying, and the third, a alaq dalaq
relationship for pleasure. While in modern Islamic Boarding House Al-Amanah,
there was a pattern that is a alaq dalaq relationship with particular tying.
xi
Perilaku Homoseksual di Ponpes
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………………………….i
Halaman Pengesahan .…………………………………………………………………..…………ii
Halaman Pernyataan ………………………………………………………………………………………..iii
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………iv
Halaman Persembahan ……………………………………………………………………………..ix
Intisari …………………………………………………………………………………………………….x
Abstract ……………………………………………………………………………………………………xi
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………..xii
xii
Perilaku Homoseksual di Ponpes
xiii
Perilaku Homoseksual di Ponpes
xiv
Perilaku Homoseksual di PonPes
BAB I
tumbuh secara alamiah, hanya dikarenakan ia menjadi organisasi sosial yang sangat
penting dalam dunia modern dan bukan berarti ia ada dengan sendirinya, just there,
tetapi sama dengan konstruks lainnya, ia juga terbentuk secara sosial - diskursif.
limited and sovereign. Sedangkan nasionalisme, adalah konstruks ideologis diskursif yang
Dengan demikian, imajinasi tersebut sangat beragam, karena bangsa itu sendiri
terdiri dari beragam unsur sosial, baik karena etnis, klas, pendidikan, gender, umur,
seksualitas, dan lain sebagainya. Imajinasi yang beragam itu oleh karenanya
ditransformasikan menjadi satu dengan pondasi ideologis dan memori historis tertentu.
yang mempunyai sebuah wilayah bersejarah, historis, mitos, dan kultur publik,
ekonomi, dan kewajiban bersama, serta hak-hak hukum bagi semua warganya.3
1
Bennedict Anderson., 2001, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terj. Omi
Intan Naomi, Insist Press & Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hlm. 6-11
2
Anthony Giddens., 1985, The Nation - State and Violence: Volume Two of A Contemporary
Critique of Historical Materialism, Polity Press: Cambridge, hlm. 121
3
Anthony Smith., 1991, National Identity, Penguin: London, hlm. 14
1
Perilaku Homoseksual di PonPes
Oleh karena itu bangsa merupakan sebuah fenomena modern, sejarah, dan
kebersamaan yang dibentuk dan dibayangkan, dengan cepat dan secara terus-menerus
oleh banyak orang. Dengan bantuan kapitalisme dan media serta teknologi percetakan
proses ini menjadi semakin lancar. Dengan demikian, bangsa mengada melalui sistem
4
pemaknaan (a system of signification). Karena reproduksi secara terus-menerus
tersebutlah, nasionalisme tidak akan pernah konstan, ia selalu memperbarui diri, dan
pada saat yang sama mendukung dan sekaligus didukung oleh berbagai institusi sosial
yang membentang dari keluarga, sekolah, pemerintah, agama, dan tentunya juga media
massa.
diskursif (discursif imagining) yang menegaskan nilai-nilai, sejarah, pandangan hidup dan
cita-cita bersama yang menyatukan banyak orang di bawah satu ikatan. Oleh karena itu,
identitas nasional tersebut tidak akan pernah netral. Identitas nasional akan selalu
memihak ideologi klas tertentu, berpihak pada ideologi ras dan bangsa tertentu,
memihak ideologi gender tertentu, dan berpihak pada ideologi seksual tertentu. 5
Meskipun demikian, penulis di sini hanya akan memfokuskan diri pada dua isu yang
4
Bennedict Anderson., Op. Cit, hlm. 47
5
Moh. Yasir Alimi., 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama, LKiS: Yogyakarta, hlm. 18
2
Perilaku Homoseksual di PonPes
terakhir, yakni keberpihakan terhadap orientasi seksualitas dan gender tertentu, dalam
lahir. Di negeri-negeri Barat sendiri, studi tentang seksualitas masih relatif baru.
persoalan yang lebih kritis seperti kemiskinan, konflik, krisis ekonomi, korupsi dan
pengrusakan lingkungan?. Anehnya, pada saat krisis sosial, perilaku seksual seringkali
menjadi lebih “ekspresif” dan mempunyai nilai simbolik yang besar sehingga
seksualitas dapat menjadi semacam barometer masyarakat. Dari dulu hingga sekarang,
seksualitas bukan hanya sesuatu yang sifatnya biologis - fisik, tetapi merupakan suatu
bentuk konstruksi sosial masyarakat. Karena itu, seksualitas adalah cermin untuk
melihat keberadaan lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, seperti nilai-
nilai masyarakat, adat, agama, lembaga-lembaga besar seperti negara, serta hubungan
6
Hal ini nampak dari berbagai normatifitas yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat
bahwa seksualitas yang diakui dan dianggap sempurna serta normal adalah pasangan suami istri – laki-
laki dan perempuan – heteroseksual, sedangkan yang lain amoral dan abnormal serta dianggap dosa,
termasuk homoseksualitas. Perbedaan gender sebenarnya tidak akan menjadi sebuah persoalan jikalau
tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun pada perkembangannya perbedaan gender ternyata
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum perempuan atau kaum laki-laki. Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan di antaranya; marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender. Mansour Fakih., 2003, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. III,
Pustaka Pelajar: Jogjakarta, hlm. 12-13
7
Dikutip dari Julia I. Suryakusuma., “Konstruksi Sosial Seksualitas”, dalam Prisma No. 20 Edisi
7, Juli, th. 1991, hlm. 3
3
Perilaku Homoseksual di PonPes
sistem nilai yang normatif dan abstrak, akan tetapi mempunyai keterkaitan yang erat
Oleh karena itu konsepsi seksualitas akan selalu dibentuk oleh sistem
kekeluargaan, perubahan ekonomi dan sosial, berbagai bentuk pengaturan sosial yang
seksualitas mempunyai peran sentral dalam kekuasaan. Oleh karena itu kekuasaan
buruk, yang boleh dan tidak boleh, mengatur perilaku, mendisiplinkan dan
sebagai individu, termasuk dalam hal ini subjektivitas seksualnya juga dibentuk dan
cenderung dibebani arti yang sangat berlebihan, misalnya pada saat terjadi kepanikan
moral karena alasan politis, ekonomi atau sosial, perilaku seksual bisa menjadi
kambing hitam yang berguna dan meyakinkan karena sentralitas kaitan antara
8
Onghokham., “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintas Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam
Prisma No. 20 Edisi 7, Juli, th. 1991, hlm. 15-23
9
Jeffrey Weeks., 1987,”Question of Identity” dalam Pat Caplan, The Cultural Construction of
Sexuality, Tavistock Publication: New York, hlm. 12-15
10
Julia I Suryakusuma., Op. Cit, hlm. 2
4
Perilaku Homoseksual di PonPes
Seksualitas dapat diekspresikan melalui kontak fisik langsung, tetapi bisa juga
secara sugestif atau simulatif. Misalnya seksualitas yang terpancar dalam tarian
Jaipongan, kadang perilaku tersebut dianggap pornografi tapi bagi orang lain dianggap
sebagai seni yang erotis atau sensual, selain itu perempuan harus perawan dan laki-laki
mengenai seksualitas yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang, atau dengan kata
lain ada ambiugitas dalam moralitas seksual. Sedangkan kegiatan seksual yang tidak
dalam kerangka “lazim” akan diancam rasa bersalah bagi pelakunya, malah oleh agama
dikecam sebagai dosa. Heteroseksual dikecam jika melakukan hubungan seks di luar
mempunyai hak seksual karena otomatis kegiatan seksual bagi mereka ada di luar
perkawinan, dan pasti menyimpang. Diskriminasi dan rasa bersalah yang ditanamkan
dengan akibat lanjut penekanan terhadap jiwa yang sangat parah. Seperti, melarikan
diri ke narkoba, atau bunuh diri. Banyak kaum homoseksual akhirnya memilih hidup
dalam kebohongan, kadang sampai menikah dan beranak pinak, tetapi terpaksa
11
Erich Fromm., 2002, Cinta Seksualitas Matriarki Gender, terj. Pipit Maizier, Jalasutra:
Jogjakarta, hlm. 217-221. Di sini dia juga menjelaskan bagaimana sebuah moralitas menampakkan
ambiguitasnya, seperti ketika seorang bapak dengan enggan mencium anaknya laki-laki karena dianggap
tidak etis sedangkan ibunya dengan leluasa mencium anak perempuannya.
5
Perilaku Homoseksual di PonPes
menjalani kehidupan ganda, secara terang sebagai heteroseksual, secara gelap sebagai
homoseksual.12
berbagai macam cara dan pola, yang jika diuraikan: (1) hubungan homoseksual dikenal
dan diakui, hal ini nampak dari istilah masyarakat dalam mengindikasikan hubungan
tersebut, seperti di Minangkabau ada istilah induk jawi dan pasangannya anak jawi,
begitu juga di Madura ada istilah alaq dalaq. (2) homoseksual di lembagakan dalam
rangka pencarian kesaktian, hal ini nampak dalam tradisi warok di Ponorogo dengan
pasangannya sebagai gemblak. (3) perilaku homoseksual diberi jabatan sakral, seperti
pada suku Dayak Ngaju dikenal sebutan basir, pada suku Toraja Pamona dikenal
shaman atau tadu aburake, pada suku Makasar dikenal sebutan bissu. (4) homoseksual
dijadikan bagian ritus inisiasi, seperti yang terjadi di suku Pulau Irian hubungan genito-
oral dan genito-anal antara remaja dan laki-laki dewasa sebagai bagian ritus inisiasi. (5)
pertunjukan lenong di Betawi, tari gandrung di Banyuwangi dan Bali Barat, ludruk,
12
Padahal kalau kita lebih teliti lagi, kaum homoseksual telah tumbuh seiring pertumbuhan
masyarakat di muka bumi, tapi mengapa mereka tetap tidak diakui oleh masyarakat sebagai bagian dari
dirinya, bahkan mereka dianggap sebagai orang yang akan menyimbulkan mala petaka bagi masyarakat
setempat. Untuk lebih mengetahui sejarah homoseksual dari dulu hingga sekarang, baca Colin Spencer.,
2004, Sejarah Homoseksual: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi Wacana:
Jogjakarta.
13
Dede Oetomo., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang dan Ford Foundation: Jogjakarta,
hlm. 30-36
6
Perilaku Homoseksual di PonPes
masih belum menerima dengan adanya perilaku hubungan tersebut, karena adanya
anggapan bahwa hal itu menyimpang dan keluar dari ajaran agama.
sejarah kehidupan manusia itu sendiri, hingga kini keberadaannya masih dalam
perdebatan. Keberadaan homoseksual satu sisi dapat diterima oleh masyarakat, namun
di sisi lain terdapat masyarakat yang mengutuk perilaku tersebut. Penilaian masyarakat
terhadap homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk, yakni; dilihat dari sudut
pandang agama dianggap sebagai dosa, dari sudut pandang hukum dianggap sebagai
penjahat, dari sudut pandang medis dianggap sebagai penyakit, dan dari sudut
dianggap sebagai ancaman, walaupun mereka sebenarnya tidak merugikan orang lain
baik secara fisik maupun psikis. 15 Secara yuridis formal Indonesia, homoseksual
pelanggaran hukum. Hukum telah menjamin dan melindungi terhadap kebebasan dan
hak-hak dasar setiap manusia, yang diatur dalam amandemen UUD 1945, juga telah
14
Herant A Katchadourian., 1989, Instructor’s Edition: Fundamental of Human Sexuality, fifth
edition, Rinehart & Winston Inc: Holt, hlm. 381
15
Julia I Suryakusuma, Op. Cit, hlm. 6
7
Perilaku Homoseksual di PonPes
mempunyai ketentuan yang dituangkan dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999
variasi ragam orientasi seksual. Hal tersebut berakibat pada munculnya berbagai bentuk
sosial, bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Berbagai hambatan baik yang
berasal dari dalam diri kaum homoseksual sendiri, yang seringkali ada perasaan takut,
dosa, gelisah, serta ketidaksiapan psikis bila jati dirinya terungkap. Sedangkan
16
Anis Farida., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak Dengan Kaum Heteroseksual
Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas Gadjah Mada: Tesis, hlm. 6. Meskipun demikian baru-
baru ini telah muncul berbagai desakan terhadap pemerintah untuk perlunya mencantumkan
pelarangan terhadap segala hal yang menurut mereka “asusila” dalam pasal – pasal Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk di dalamnya larangan terhadap perzinahan homoseksualitas
dan perkawinan sesama jenis (PSJK). Walaupun sampai sekarang masih diperdebatkan, namun dari sini
nampak bahwa masyarakat dan pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap minoritas dan tidak
menghargai akan adanya pluralisme orientasi seksualitas. Untuk mengetahui perdebatan seputar pasal –
pasal tersebut lihat, Reza Indragiri Amriel., “Pasal – Pasal Susila dalam KUHP Baru, Apanya yang
Kontroversi?” Dalam Sinar Harapan, Kamis, 16 Oktober 2003. Santoso Purwoadi.,”Kontroversi Pasal –
Pasal Susila dalam KUHP Baru”, dalam Sinar Harapan, Sabtu 11 Oktober 2003, serta wawancara antara
Dede Oetomo dengan Kantor Berita Prancis (AFP), tentang gay yang dijadikan manuver pendukung
Islam politik untuk Pemilu 2004, “Syariat Islam dalam KUHP bermuatan politis,” dalam http://www.
Glorianet.org/berita/b4552.html, mengakses tanggal 20 Februari 2005
8
Perilaku Homoseksual di PonPes
kebutuhan akan interaksi dengan masyarakat lain selalu ada, interaksi kaum
homoseksual dengan masyarakat sekitar, keluarga, teman, guru dan lain sebagainya,
ini ditempuh untuk menjaga nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Selain itu,
abnormal dan imoral, serta dianggap sebagai suatu aib yang mengancam, menarik
untuk dikaji secara mendalam. Karena represi terhadapnya dapat memberikan indikasi
Berawal dari fenomena tersebut maka penulis merasa tertarik untuk meneliti
dikarenakan asumsi atau mitos masyarakat bahwa pondok pesantren adalah tempat
bagi menuntut ilmu agama, penjaga norma keagamaan, yang pada akhirnya dianggap
sebagai tempat bagi orang-orang yang ta’at terhadap agamanya. Namun demikian
homoseksualitas terjadi di pondok pesantren atau yang lebih dikenal sebagai mairilan,
hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya yang lebih muda. Hubungan itu
9
Perilaku Homoseksual di PonPes
belajar, dan tolong – menolong dalam kehidupan sehari – hari di pondok pesantren.
pesantren tradisional (salaf), dan dipandang sebagai perbuatan yang dosanya lebih kecil
ketimbang berbuat zina. Hubungan kasih sayang tersebut berlangsung hingga salah
satu dari kedua santri tersebut menikah (berkeluarga). Meskipun demikian hubungan
emosialnya tetap diteruskan di luar pondok pesantren, dan dalam kegiatan sosial,
mengetahui siapa yang dulu merupakan mairilan suaminya, dan ada kalanya hubungan
juga telah tumbuh subur fenomena tersebut, dan dikenal dengan istilah alaq–dalaq.18
homoseksual lihat Bab 4), serta dipelihara teguh dengan sepenuh hati di kalangan
budaya, agama, pendidikan, sosial, politik dan lain sebagainya, ternyata di dalamnya
17
Dede Oetomo., 2001, Op. Cit, hlm. 31
18
Untuk lebih mengetahuinya lihat Ibid., hlm. 55-60
19
Amin Rais., “Islam Dan Budaya Madura, dalam Aswab Mahasin dkk (edit)., 1996, Ruh Islam
dalam Budaya Bangsa, Yayasan Festival Istiqlal: Jakarta, hlm. 244.
10
Perilaku Homoseksual di PonPes
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini ingin menjawab berbagai
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Dengan berbagai tujuan di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini akan
11
Perilaku Homoseksual di PonPes
Studi tentang perilaku homoseksual telah banyak dilakukan, baik oleh para
ilmuwan luar negeri, seperti Alfred Charles Kinsey (1940-an) yang melakukan
penelitian terhadap sekitar 5000 orang laki-laki Amerika Serikat dan menciptakan skala
bergradasi nol (heteroseksual eksklusif), hanya sekitar 50% dan 18% biseksual, sampai
enam (homoseksual eksklusif).20 Hal ini berawal dari peristiwa Stonewall tahun 1969,
Mulai dari itu maka sedikit demi sedikit kemapanan kajian studi tentang
tahun 1974. Sejak itu maka muncul jurnal-jurnal yang lain di antaranya; Journal of Gay
20
Alfred Charles Kinsey (et.al.)., 1948, Sexual Behavior in the Human Male, Saunders:
Philadelphia, sebagaimana yang dikutip oleh Anthony Giddens., 2004, Op. Cit, hlm. 14-15. Yang jika
dijabarkan skala tersebut adalah; 0 (heteroseksual eksklusif), 1 (heteroseksual lebih dominan,
homoseksual cuma kadang-kadang), 2 (heteroseksual predominan, homoseksual lebih dari kadang-
kadang), 3 (biseksual), 4 (homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari kadang-kadang), 5
(homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang), 6 (homoseksual eksklusif).
21
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center, hlm. 1
12
Perilaku Homoseksual di PonPes
and Lesbian Psychoteraphy, Journal of The History of Sexuality, European Gay Review, dan
lain sebagainya.
yang menyoroti penciptaan identitas baru kelahiran kaum homoseksualitas dan hak-
haknya dalam politik, selain itu menurutnya homoseksualitas baru menjadi sebuah
masalah besar setelah timbulnya kapitalisme. Sejak pertengahan abad XVIII bentuk
normal dan bahkan lebih sehat dari kaum heteroseksual, namun masyarakat yang
AIDS.
Perhatian dan kajian para teoritisi homoseksual lambat laun beralih terhadap
berkembangbiaknya studi-studi kebudayaan gay dan lesbian dalam segala bentuk, yakni
film, televisi, novel, karya-karya fiksi, biografi, musik, karya-karya seni dan bentuk-
bentuk kebudayaan populer lainnya. Richard Dyer misalnya (1977 & 1991),24 penulis
22
Jefrey Weeks., 1980, Homosexuality: Power & Politics, Allison & Busby: London.
23
M. Freedman., 1989, Lesbianism: Affirming Non Tradisional Roles, Rothblum & Cole: Boston.
24
Richard Dyer., 1977, Gays & Film, British Film Institute: London. Dan Richard Dyer., 1991,
Now You See It, British Film Institute: London.
13
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang melacak perkembangan genre film-film gay dan lesbian dalam beberapa dekade
terakhir ini.
Sedangkan ilmuwan dalam negeri, Dede Oetomo (2001)25 adalah orang yang
Moh Yasir Alimi (2004)26 menulis tentang media massa yang mulai melahirkan
mereka selama ini, yang menganggap sesuatu menyimpang dan yang lain tidak, serta
anggapan bahwa yang menyimpang adalah dosa padahal agama sangat menunjung
tinggi perbedaan termasuk dalam hal ini perbedaan orientasi seksualitasnya. Sedangkan
Anis Farida (2003)27 tentang kekuasaan kaum homoseksual dalam upayanya terhadap
terhadap mereka (kaum Homoseksual). Tiga pustaka tersebutlah yang menjadi awal
25
Dede Oetomo., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press & Ford Foundation:
Jogjakarta.
26
Moh. Yasir Alimi., 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama, LKiS: Jogjakarta.
27
Anis Farida., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak Dengan Kaum Heteroseksual
Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas Gadjah Mada: Tesis
14
Perilaku Homoseksual di PonPes
Yogjakarta serta konstruksi masyarakat Yogjakarta terhadap mereka, dan juga tentang
Namun, dari berbagai literatur dan penelitian serta pelacakan yang selama ini
dilakukan, menurut hemat penulis masih belum ada studi atau penelitian yang secara
peran yang cukup berpengaruh baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan,
Homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang
sama. Selain itu, perilaku seksual para kaum homo dikenal dengan beberapa pola
hubungan seksualnya, yaitu perilaku oral genital (fellatio) yang hanya dengan memeluk
dan mencium, kedua, seks anal (koitus genitor-anal) atau seksualitasnya dengan
28
Parptoraharjo., 1998, Laki-laki “Pecinta” Laki-laki: Sebuah Kajian Tentang Konstruksi Sosial
Perilaku Homoseksual, Universitas Gadjah Mada: Tesis.
15
Perilaku Homoseksual di PonPes
melakukan penetrasi anus, dan ketiga, koitus interfemoral yakni perilaku seksual dengan
melakukan gesek-gesek (frottage), dan fisting (di mana tangan dimasukkan kerektum
seseorang akan rasa ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional)
terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik
(jasmaniyah). 29 Meskipun ini definisi kasar, tetapi sangat berguna sebagai landasan
homoseksual (homosexual behavior) mengacu pada kegiatan atau perilaku seksual antara
dua jenis orang yang berjenis kelamin sama (namun dalam kajian ini lebih mengacu
kepada laki-laki atau yang sering disebut dengan istilah gay, sedangkan perempuan
sering disebut lesbi). Dalam hal ini harus diingat juga bahwa orang yang melakukan
kegiatan atau berperilaku homoseksual dapat saja pada konteks lain melakukan
penting dari identitas seseorang.30 Dengan demikian perilaku seksual dan orientasinya
29
Dikutip dari Dede Oetomo., “Homoseksualitas di Indonesia, dalam Prisma, No. 20 Edisi 7,
Juli, th. 1991, hlm. 85. Lihat juga Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.,1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, Balai Pustaka: Jakarta, hlm. 312. Homoseksual
adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama.
30
Pat Caplan., Op. Cit, hlm. 2
16
Perilaku Homoseksual di PonPes
baik pada tingkat individu atau sosial masyarakat menurut Caplan sebagai konsep
seksualitas.31
Berkaitan dengan hal tersebut maka pada setiap budaya masyarakat telah
ditentukan ciri-ciri perilaku jenis kelamin, yang berujung pada keragaman perilaku
khas gender serta peran jenis kelamin. Seperti subjektivitas dan pengetahuan lokal
yakni istilah yang banyak dikenal atau disebutkan oleh masyarakat pesantren
Konsep gender merupakan ekspresi psikologis dan kultural seks yang sifatnya
biologis, menjadi peran dan perilaku sosial tertentu. Dengan demikian gender dan
seksualitas mempunyai persamaan, yakni berbasis biologis pada seks dan keduanya
sistem kekuasaan yang mendukung dan menghargai individu dalam kegiatan tertentu,
31
Ibid., hlm. 20
32
Lilian Rubin., 1990, Erotics Wars, Farrar, Straus and Giroux: New York, hlm. 8. Rubin di sini
pada tahun 1989 meneliti sejarah seksual orang Amerika Serikat sebanyak 1000 orang yang berusia
antara tahun 18-48 tahun. Dari itu nampak akan adanya peralihan moralitas sosial dan perilaku seksual
baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki adanya peralihan cermin setiap orang harus mempunyai
pengalaman yang seluas-luasnya dalam berhubungan baik sosial maupun seksual dengan lawan jenisnya
namun pada akhirnya hubungan antarsesama jenis menjadi prioritas utama mereka ketika umur mulai
menampakkan ketuaan dan mereka mengalami kegagalan dengan perempuan. Sedangkan perempuan
yang pada awalnya sangat menghargai moralitas hubungan sosial dan seksual namun pada akhirnya
mereka juga berpetualang untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dalam hubungan sosial dan
seksual, karena mereka beranggapan bahwa mereka telah dibelenggu awalnya oleh ideologisasi moralitas
maskulinitas dan heteroseksual. Sebagaimana yang ditulis oleh Anthony Giddens., 2004, Transfomation
of Inticimacy: Seksualitas, Cinta dan Erotisme dalam Masyarakat Modern, terj. Riwan Nugroho,Fresh Book:
Jakarta, hlm. 8-14
17
Perilaku Homoseksual di PonPes
hubungan yang erat antara ketidakpatuhan terhadap norma gender dan perkembangan
mana seseorang tidak mengikuti kaedah perilaku gender yang ditetapkan oleh sosial
budayanya. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada waria atau istilah lainnya
transeksual, yang mana mereka lebih tertarik terhadap laki-laki dan melakukan
psikis maupun fisik mereka laki-laki dan berperilaku sebagaimana laki-laki pada
dianggap menyimpang. Orientasi seksual ini dibedakan dalam dua kategori, yaitu
sebutan homoseksual itu diberikan kepada orang-orang yang secara seksual lebih
tertarik pada orang lain yang memiliki jenis kelamin sama. Istilah heteroseksual
diberikan pada orang-orang yang secara seksual lebih tertarik pada lawan jenisnya.
ideologi yang memandang seks sebagai sesuatu yang alamiah. 34 Adanya dominasi
ideologi heteroseksual tersebut melahirkan norma agar setiap orang secara alamiah
33
Kartini Kartono., 1989, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, CV. Mandar Maju:
Bandung, hlm. 247-249. Lihat juga, Koeswinarno., 2004, Hidup Sebagai Waria, LKiS: Jogjakarta, hlm. 8-9.
34
Pat Caplan., Op. Cit, hlm. 2
18
Perilaku Homoseksual di PonPes
tertarik pada lawan jenisnya, dan bagi mereka yang tidak mematuhinya akan dianggap
dampak negatif bagi kelompok tersebut. Dengan adanya pelabelan yang diberikan
kelompok yang berbeda (the others), marginal, dan bahkan abnormal. 35 Kenyataan
kaum homoseksual atau dikenal dengan istilah homophobia.36 Konsep ini merupakan
hal penting untuk memahami berkembangnya perasaan takut dan kebencian yang
Landasan teoritik di sini, kami akan menggunakan dua kategori umum yang
antara kategori yang satu dengan lainnya, tapi perlu dijelaskan di sini bahwa kategori
yang hadir sebelum adanya kehidupan sosial. Seksualitas dikonsepkan sebagai kekuatan
35
Herant A Katchadourian., Op. Cit, hlm. 365
36
Ibid., hlm. 367
37
Untuk mengetahui perdebatan seputar dua teoritik tersebut, baca Anja van Kooten Niekerk
dan Theo van der Meet., “Introduction” dalam Dennis Altman (dkk)., 1989, Homosexuality, Which
Homosexuality?, An Dekker atau Schorer: Amsterdam, hlm. 5-12
19
Perilaku Homoseksual di PonPes
pribadi maupun sosial. Jika kekuatan ini tidak disalurkan ke dalam ekspresi seksual
yang langsung, maka ia muncul sebagai kelainan kejiwaan atau neurosis. Selain itu
seksualitas juga dianggap sebagai dorongan yang sifatnya maskulin dan heteroseksual.
Kategori ini banyak dipakai oleh Sigmund Freud, Alfred Kinsey, dan William Masters
serta Virginia Johnson. Selain itu esensialis beranggapan bahwa seks tidak pernah
berubah, asosial, dan transhistoris karena hal itu dianggap sebagai satu-satunya
seksualitas yang tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang ada sejak lahir.
melampaui aspek-aspek pembentukan lain dari perilaku manusia, atau kategori ini
39
kadang disebut seksualitas sebagai konstruksionisme sosial, yang kemudian
Plummer, pendekatan psikoanalitik yang dipelopori oleh Jaqcues Lacan sebagai kritik
terhadap Freud dan Juliet Mitchel, serta pendekatan diskursif oleh Michael Foucault
dan Judith Butler. Namun, yang akan dipakai di sini hanya dua teoritisi terakhir, yakni
Michael Foucault dan Judith Butler. Karena keduanya mampu untuk menjelaskan
38
Untuk mengetahui tentang teori seksualitas (homoseksual) dalam pandangan esensial, lihat,
Sigmund Freud., 2003, Teori Seks, terj. Apri Danarto, Jendela: Jogjakarta.
39
J. H. Gagnon dan William Simon., 1973, Sexual Conduct: The Social Sources of Human Sexuality,
Hutchinson: London, sebagaimana dikutip oleh Julia I. Suryakususma, Op. Cit, hlm. 10
20
Perilaku Homoseksual di PonPes
ideologi normativitas homoseksual dengan baik dan selain itu kedua teoritisi
tersebutlah yang dianggap oleh penulis paling cocok untuk mengkerangkai tesis ini.
cenderung memberontak dan karenanya perlu dikontrol oleh aspek sosial kehidupan.
Mereka juga sependapat bahwa sumbangan definisi seksual bersifat sosial dan historis.
memberi tafsiran terlalu sempit pada konsep keluarga, menghindari differensiasi klas,
dan memberi pemahaman negatif mengenai kekuasaan. Perilaku seksual diatur bukan
normal dan abnormal, seperti homoseksual, banci, dan lain sebagainya yang semuanya
orang-orang yang dicap berdosa, pezinah, gila, sakit, dan patologis, yang semuanya
diatur dan dihukum menurut norma sosial yang berlaku, dan menurut siapa yang
berkuasa pada suatu kurun waktu tertentu. Kerangka ini berawal dari keyakinannya
bahwa hubungan kita dengan realitas sosial diatur melalui berbagai discourse 41 ,
40
Michael Foucault., 2000, Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S Hidayat,
Gramedia: Jakarta.
41
Discourse, yang cukup sentral dalam pemikiran Foucault, adalah tempat bertemunya
pengetahuan dan kuasa. Kuasa memproduksi pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan memproduksi
21
Perilaku Homoseksual di PonPes
kesatuan-kesatuan kepercayaan, konsep-konsep dan ide-ide yang kita anut. Selain itu,
dia menegaskan bahwa maskulinitas, feminitas, dan seksualitas adalah akibat praktik
disiplin 42 dan diskursif 43 , efek wacana atau buah relasi pengetahuan-kuasa (power 44 -
knowledge).
empat unitas strategis yang selama ini digunakan untuk mereproduksi dan
power. Jadi tidak mungkin memikirkan atau bahkan membayangkan pengetahuan tanpa kuasa dan juga
sebaliknya. Berbeda dengan kalimat (sentence), ujaran (speech act), dan komunikasi interaksional
(interactional communication), discourse mempunyai sistem fungsi (functioning system). Diantaranya adalah
memproduksi kuasa, kebenaran, dan pengetahuan; memerintah subjek dan mengubahnya menjadi
tubuh yang patuh (docile body). Chris Weedon., 1998, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Monash
University Press: Monash, hlm. 108, sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 41.
Lihat juga, Eriyanto., 2001, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKiS, hlm. 65-84
42
Diciplinary, dalam konsep Foucault ada tiga fokus wacana pendisiplinan; (1) ilmu-ilmu
pengetahuan, yang menempatkan subjek sebagai objek penyelidikan (2) praktik-praktik pemisahan, yang
memilah antara yang gila dengan yang waras, antara yang kriminal dengan warga yang taat hukum, dan
yang amoral serta yang patuh terhadap moralitas (3) teknologi-teknologi tentang diri, yang digunakan
individu untuk mengubah diri mereka menjadi subjek. Chris Barker., 2005, Cultural Studies: Teori dan
Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies Center, Bentang: Jogjakarta, hlm. 107
43
Menurut Foucault formasi diskursif adalah suatu pola peristiwa-peristiwa diskursif yang
mengacu pada, atau memunculkan keberadaan, sebuah objek di beberapa wilayah. Formasi diskursif
merupakan peta-peta makna yang sudah diregulasi, atau cara-cara berbicara yang menjadi jalan bagi
objek-objek dan praktik-praktik memperoleh makna. Ibid. hlm. 105-106
44
Power adalah konsep Foucault yang cukup penting dalam menjelaskan seksualitas. Kekuasaan
terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-
penentu ekonomik yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Kekuasaan membentuk sebuah kapiler
yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial. Serta kekuasaan tidak semata represif tapi juga produktif,
kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan dalam melahirkan kekuatan (force),
membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan, kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat
kekuatan, menunjukkan atau menghancurkannya. Michael Foucault., 2002, Power / Knowledge: Wacana
Kuasa / Pengetahuan, terj. Yudi Santoso, Bentang Budaya: Jogjakarta, hlm. 115-135.
22
Perilaku Homoseksual di PonPes
behaviour), pedagogisasi seks anak (the pedagogisation of children’s sex) dan histerisasi
tubuh (the hysterisation of women’s body).45 Meskipun demikian ada satu strategi lagi, yang
dikembangkan Foucault dalam bukunya Herculine Barbin: Being The Recently Discovered
keharusan manusia untuk hanya mempunyai satu identitas gender dan jenis kelamin
yang sejati-jelas. Lima unitas strategi tersebut sebenarnya berasal dari kebutuhan klas
borjuis pada abad XIX untuk meningkatkan produktivitas tubuh dan keamanan spesies
mempunyai satu jenis kelamin atau seks yang jelas. Melalui ilmu kedokteran, hukum,
dan pengadilan ditegaskan bahwa setiap orang harus mempunyai satu jenis kelamin
yang jelas. Yang kedua, sosialisasi perilaku prokreatif, menurut Foucault berlawanan
dengan diskursus seksualitas Yunani dan Roma kuno, seksualitas Barat modern abad
XIX, lebih berorientasi pada tujuan-tujuan prokreatif, bukan kesenangan (pleasure). Dia
menyebut model tersebut sebagai scientia sexual, sedangkan seksualitas Roma kuno yang
berorientasi pada pleasure atau aphrodisia disebutnya sebagai ars erotica. Tujuan scientia
45
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 44
46
Ibid.
23
Perilaku Homoseksual di PonPes
diakui dan dianggap bentuk yang paling sah dari seksualitas. Sedangkan kesenangan
itulah sex for pleasures dikutuk. Onani, masturbasi, dan homoseksual dan yang lainnya
berbagai penyakit.
Keempat, histerisasi tubuh perempuan, dalam strategi ini tubuh feminim dianalisa,
diintegrasikan ke wilayah praktik medis karena penyakit yang melekat padanya dan
akhirnya ditempatkan dalam komunikasi organik dengan tubuh sosial, keluarga, dan
mereka adalah biologi mereka dan seksualitas adalah inti dari biologi mereka. Dalam
konteks ini, definisi tentang seksualitasnya diperluas, menjadi bukan sekedar having sex
mereka sebagai objek yang sah dari intervensi dan kontrol psikologis serta medis.48
47
Ibid., hlm. 44-46
48
Ibid., hlm. 47-49
24
Perilaku Homoseksual di PonPes
Yang terakhir, pedagogisasi seksualitas anak, dalam strategi ini praktik seksualitas
mendatangkan kerusakan fisik dan moral, individu dan kolektif. Onani dan bentuk
praktik seksual lainnya yang nonprokreatif diberi status baru, bahaya dan berlawanan
dengan alam. Pedagogisasi the natural, safe and true sex terhadap anak, oleh karenanya
identitas personal, dan kebenaran tentang diri. Dengan demikian, dapat disimpulkan
49
Ibid.
50
Konfesi pada awalnya adalah praktik pengakuan dosa seseorang jama’ah kepada pendeta yang
biasa dipraktikkan di gereja. Dalam praktik tersebut jama’ah mengakui kesalahan-kesalahan yang
dilakukannya sebagai bentuk pertobatan, sedangkan pendeta dengan suara yang otoritatif memberikan
nasihat dan memberikan pengampunan dosa.
51
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 50
25
Perilaku Homoseksual di PonPes
manusia, kapan pun, dan di mana pun. Hal ini tentu saja menyembunyikan realitas
laki-laki” di samping bersifat ekspresif, yaitu memberitahukan bahwa jenis kelamin saya
laki-laki” juga bersifat performatif, yaitu “saya laki-laki”, oleh karena itu juga harus
Butler juga menegaskan bahwa gender atau seksualitas adalah struktur imitatif,
tidak ada identitas gender di balik ekspresi gender. Identitas dibentuk secara
performatif, diulang-ulang hingga tercapai identitas yang asli. Tegasnya tidak ada
terbentuk melalui berbagai ekspresi yang selama ini dianggap sebagai hasilnya.53
52
Ann Brooks., 2005, Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, terj.
S. Kunto Adi Ibrahim, Jalasutra: Jogjakarta, hlm. 290. Sebenarnya teori Judith Butler tentang
performatifitas meminjam konsep dari Jane Austin, yang mengkategorikan makna menjadi dua, yaitu (1)
konstantif: berita atau ekspresi (2) performatif: makna yang membentuk kenyataan. Moh. Yasir Alimi.,
Op. Cit, hlm. 52
53
Judith Butler., 1999, Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, Routledge:
London, hlm. 25, dikutip dari Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 52-53
26
Perilaku Homoseksual di PonPes
ruang untuk berbagai identitas seksual – termasuk identitas gay, waria, lesbi – yang
mengatur koherensi heteroseksual. 54 Bagi Butler gender atau seksualitas itu seperti
drag, 55 ia bisa menjadi karena proses peniruan secara terus-menerus. Gender oleh
performatifitas terus-menerus yang tidak pernah stabil, dan bukan sebagai fenomena
direproduksi melalui rangkaian tindakan, gestur dan hasrat yang menunjukkan sebuah
dilaksanakan, yang menurutnya, menciptakan ilusi tentang adanya gender yang asli dan
alamiah.56
54
Ann Brooks., Op. Cit, hlm. 291
55
Drag adalah lomba kecantikan yang dilakukan para waria untuk membuktikan bahwa mereka
adalah wanita yang sempurna. Para kontestan yang secara anatomi laki-laki itu, betul-betul telah menjadi
perempuan, dengan tubuhnya yang langsing, kulit halus, wajah cantik, dan bertingkah-laku lembut, dan
lain sebagainya. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 53, bandingkan dengan Ann Brooks, yang mengatakan
bahwa drag adalah sesuatu isapan atau tarikan (drag) yang menciptakan suatu gambaran wanita yang
dipersatukan, ia juga mengungkapkan keberbedaan dari aspek-aspek pengalaman gender yang dengan
keliru dinaturalisasikan sebagai suatu kesatuan fiksi yang berkenaan dengan pengaturan koherensi
heteroseksual. Ann Brooks., Op. Cit, hlm. 329
56
Judith Butler., Op. Cit, hlm. 25-136, dikutip dari Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. 53-54
27
Perilaku Homoseksual di PonPes
kultur atau agensi sosial (yakni antara pelaku dan struktur) yang diukir pada sebuah ke-
alam-an, yang dianggap sebagai sesuatu yang pasif, dan berada di luar sejarah sosial.57
oleh salah satu muridnya yakni Jean Baudrillard dengan konsepsinya simulasi. Istilah
massa, fashion, supermarket, industri hiburan, dan lain sebagainya. Selain itu, di dalam
Foucault yakni kekuasaan yang tidak mengalir dari pusat (penguasa), akan tetapi dari
besar dan heterogen. Jadi, masyarakat tidak lagi dikuasai oleh klas sosial yang tunggal,
akan tetapi oleh kelompok-kelompok sosial, ekonomi, dan budaya yang heterogen, dan
saling bersaing untuk mendapatkan hegemoni. Bagi Baudrillard tidak ada lagi klas
sosial, yang ada hanyalah massa, dan massa ini adalah mayoritas yang diam. 58 Yang
57
Ibid., hlm. 54-58
58
Jean Baudrillard., 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, USA: Telos Press.
28
Perilaku Homoseksual di PonPes
perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan lain sebagainya. 59 Masalah produksi
mengalami tiga orde penampakan dalam sejarah masyarakat: pertama, Counterfeit (pola
yang dominan pada periode klasik), kedua, Produksi (pola yang dominan dalam era
industri), dan ketiga, Simulasi (pola yang dominan pada tahap sekarang yang dikontrol
oleh kode).
Simulasi adalah tanda atau citra tanpa referensi – suatu simulakrum. Ada
empat fase perkembangan citra; pertama, citra adalah refleksi dari realitas, kedua, citra
realitas, dan keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun; citra
masyrakat kontemporer akan tanda. Bagi Baudrillard simulasi adalah proses atau
representasi, yakni runtuhnya ideologi, dan hilangnya realitas itu sendiri, yang diambil
alih oleh duplikasi dari dunia lalu dan fantasi.60 Tanda tidak lagi merepresentasikan
sesuatu, oleh karena petanda sudah mati, oleh karena ekivalensi tanda di dalam realitas
(kelompok ideologi, klas sosial, komunitas mitologis) juga sudah lenyap. Satu-satunya
59
Yasraf Amir Piliang., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 143-144
60
Jean Baudrillard., Op. Cit, hlm. 93
29
Perilaku Homoseksual di PonPes
realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tidak memiliki realitas sosial sebagai
dilandasi oleh alasan-alasan nostalgia, sebagai akibat dari realitas yang hilang, atau
sebagai akibat dari janji-janji utopis kemajuan yang tidak pernah terpenuhi (oleh
modernisme).61
G. Metode Penelitian
dikembangkan oleh Michael Foucault dan Judith Butler serta Jean Baudrillard.
Perspektif itu menekankan fokus kajian pada nilai-nilai, ide, dan perilaku.62 Atas dasar
dan pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti. Berbeda dengan metode kuantitatif
61
Yasraf Amir Piliang., Op. Cit, hlm. 145-151
62
Atau menurut Durkheim dikategorikan sebagai non-material (moralitas, kesadaran kolektif,
representasi kolektif, dan situasi sosial), dan menurut Ritzer sebagai subjektif non-material (proses
mental, konstruksi materialistik, norma, nilai-nilai, dan elemen kebudayaan). Tadjuddin Noer Effendi.,
2005, Hakekat Perdebatan Metodologi Dapat Dilacak Dengan Menelaah: Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi (Metodologi), Diktat Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif Pascasarjana Sosiologi 2005, hlm.
2-3. Sedangkan menurut Hadari Nawawi, penelitian kualitatif sebagai serangkaian proses kegiatan atau
menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan
pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis dan praktis. Hadari Nawawi., 1995, Instrumen
Penelitian Bidang Sosial, cet. II, UGM Press: Yogyakarta, hlm. 209.
30
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang menekankan pengukuran dan analisis hubungan kausalitas antara variabel, bukan
terdapat dalam permasalahan yang diteliti. 64 Jadi pergerakannya tidak hanya sebatas
pengumpulan dan penyusunan data, tapi mencakup analisis dan interpretasi tentang
data itu.65
representasi objektif terhadap fenomena yang dikaji. Hal ini membuat suatu karya
dapat dikatakan suatu studi yang benar-benar objektif, akan tetapi suatu studi dapat
diterima sebagai karya ilmiah sepanjang dimensi objektivitasannya tak terkalahkan oleh
unsur subjektivitasannya. Oleh karena itu, peneliti harus mengontrol diri untuk tidak
63
Agus Salim., 2001, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba Dan Penerapannya,
Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm. 11.
64
Jacob Vredenberg., 1986, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta, hlm.
34 .
65
Winarno Surachmad., 1970, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito:
Bandung, 131. Nazir mendefinisikan sifat penelitian deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta
dengan interpretasi yang tepat, melukiskan secara akurat sifat dari beberapa fenomena, kelompok atau
individu, menentukan frekuensi terjadinya suatu keadaan untuk meminimalkan bias dan
memaksimalkan reliabilitasnya. Analisanya dikerjakan berdasarkan data ex post facto, artinya data
dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung. Tujuannya adalah menggambarkan secara tepat sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, untuk menunjukkan frekuensi penyebaran
suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat. Moh. Nazir., 1983, Metode Penelitian, Ghalia: Jakarta, hlm. 105. Dalam penelitian ini
peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, namun tidak melakukan pengujian hipotesa,
Masri Singarimbun., “Metode dan Proses Penelitian”, dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed).,
1989, Metode Penelitian Survei, LP3ES: Jakarta, hlm. 4-5.
31
Perilaku Homoseksual di PonPes
dipinjam dari fenomenologi. Dalam refleksifitas terdapat dua unsur penting, yakni
unsur yang mengacu pada interaksi dan yang mengacu pada konteks institusional yang
bahwa orang memiliki praktik refleksif, hal ini tidak berarti ia memikirkan apa yang
dilakukan atau yang sedang dilakukan. Para anggota sudah tentu tidak memiliki
kesadaran reflektif atas tindakannya. Karena ia tidak mampu, jika mereka sadar,
Seperti yang ditekankan oleh Garfinkel, para anggota tidak memiliki perhatian
terhadap keadaan praktik sekitarnya dan tindakan praktiknya. Mereka tidak akan
yang seharusnya, karena mereka sudah mempunyai apa yang disebut sebagai ‘stock of
66
Winarno Surachmad., Op. Cit, hlm. 133
32
Perilaku Homoseksual di PonPes
knowledge’, tetapi mereka harus bisa mengenali, membuktikan, dan bisa mengamati
setiap anggota lainnya melalui sifat rasional di dalam praktik mereka yang konkret. 67
merupakan kerangka sosial. Refleksifitas adalah suatu sifat khas kegiatan sosial yang
mensyaratkan kehadiran suatu yang dapat diamati dalam waktu yang bersamaan.
Dalam kegiatan sehari-hari kita tidak sadar akan kenyataan bahwa ketika kita sedang
berbicara, bertindak, pada waktu yang bersamaan kita telah membangun makna,
tatanan, dan rasionalitas yang sedang kita kerjakan pada saat itu.68
Selain itu, peneliti dalam pendekatan ini dituntut untuk memahami secara
mendalam konteks yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori
berdasarkan proses induktif atas realitas empiris, dikonstruksi sesuatu sesuai dengan
cara memandang atau pola perilaku masyarakat yang menjadi objek kajian
penelitiannya, bukan dikonstruksi menurut teori peneliti itu sendiri. Peneliti juga
67
Stock of knowledge adalah sebuah fenomena pengetahuan masyarakat setempat yang telah
terbentuk dari awal sehingga struktur pemikiran, perilaku dan komunikasinya telah terstruktur secara
baik dalam kehidupan sehari-harinya, meskipun mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan
adalah sebuah pengetahuan yang terstruktur secara kultural dan sosial. James A Holstein and Jaber F
Gubrium., 1994, “Phenomenology, Ethnomethodology, and Interpretive Practice”, dalam Norman K
Denzin and Yvonna S Lincoln., Handbook of Qualitative Research, Sage Publication: London, hlm. 262-
264
68
Alain Coulon., 2004, Etnometodologi, terj. Jimmy Ph. PAÄT, Lengge dan KKSK Jakarta:
Mataram, hlm. 38-44.
33
Perilaku Homoseksual di PonPes
Studi ini menggunakan data kualitatif70 dan data kuantitatif,71 kedua data ini
digali dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer dihimpun melalui
pesantren Sumenep yang diperkirakan mendukung untuk mendapatkan data ini (santri,
alumni pondok pesantren, kiai, ustadz, masyarakat sekitar pondok pesantren, dan
masyarakat, dengan menggunakan interview guide atau dengan bahasa lain wawancara
69
Noeng Muhadjir., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Rake Sarasin: Jogjakarta,
hlm. 131-132
70
Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak sesuatu yang dinyatakan
berupa kalimat, yang dirumuskan setelah mempelajari sesuatu itu secara cermat. Data kualitatif tidak
memiliki pembanding yang pasti, karena kebenaran yang ingin dibuktikan bersifat relatif. Bentuknya
dapat berupa pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan
dan lain sebagainya tentang sesuatu atau keadaan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hadari
Nawawi., loc.cit.
71
Menunjuk kepada data yang berbentuk angka. Dalam penelitian yang bersifat deskriptif yang
diteliti adalah frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan antara gejala
dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat. Mely G. Tan., “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam
Koentjaraningrat (ed)., 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi III, Gramedia: Jakarta, hlm. 31.
72
Dalam hal ini peneliti mengadakan penelitian langsung di lapangan. Adapun langkah yang
akan dilaksanakan sebagai tahap awal dalam serangkaian observasi partisipan ini adalah dengan cara
invention yaitu observasi secara menyeluruh terhadap fenomena yang akan diteliti dengan melakukan
pelacakan terhadap penelitian terdahulu dan fenomena lapangan yang akan dikaji untuk memperoleh
fokus penelitian. Ali Maschan Moesa., 1999, Kiai Dan Politik, Wacana Civil Society, LEPKISS: Surabaya,
hlm. 15
34
Perilaku Homoseksual di PonPes
tersedia berhubungan dengan fenomena yang diteliti dan dari laporan-laporan media
massa umum, jurnal, buku, makalah, dan laporan penelitian yang mengupas tentang
internet.
Sumenep, akan tetapi oleh karena beberapa alasan dan pertimbangan terutama
masalah dana dan waktu maka pengamatan di lapangan hanya difokuskan di pondok
pondok pesantren terbesar dan tertua serta paling punya pengaruh kuat dalam
masyarakat Sumenep Madura bahkan Madura secara keseluruhan, selain itu keduanya
mempunyai pola yang berbeda antarpondok pesantren tersebut. Yang pertama adalah
pondok pesantren salaf atau tradisional, sedangkan yang kedua adalah pondok
pesantren modern. Meskipun penulis adalah orang Madura, tapi belum pernah
subjektivitasan yang berlebihan maka penulis memutuskan untuk tinggal atau mondok
35
Perilaku Homoseksual di PonPes
di sana selama kegiatan penelitian berlangsung, yakni kurang lebih selama enam bulan,
dengan rincian tiga bulan di pondok pesantren An-Naqiyah dan sisanya di pondok
Analisis datanya menggunakan tiga pola yang diajukan oleh Miles dan
Huberman, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang
ketiganya dilakukan dalam suatu proses yang terjadi secara terus-menerus. Reduksi data,
penyajian data serta penarikan kesimpulan dilakukan sebelum, selama, dan sesudah
yakni menggunakan pemeriksaan melalui sumber yang lain, dalam hal ini adalah
peneliti-peneliti lain, yang berhubungan dengan penelitian penulis atau yang relevan
dengan topik penelitian ini. Denzin membedakan empat macam triangulasi, yakni
penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Triangulasi dengan sumber berarti
waktu dan alat yang berbeda atau dengan jalan: (1) membandingkan data hasil
observasi partisipan dengan hasil interview guide, (2) membandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, (3)
73
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman., 1992, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep
Rohendi Rohidi, UI Press: Jakarta, hlm 16
36
Perilaku Homoseksual di PonPes
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti, santri di pondok
sebagainya, dan (5) membandingkan hasil interview guide dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan.
derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan
pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Triangulasi yang ketiga, penyidik yakni membandingkan hasil pekerjaan peneliti yang
Triangulasi yang terakhir adalah teori, adalah anggapan bahwa fakta tertentu tidak
dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori, atau Patton
74
Lexy J. Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya: Bandung, hlm. 178-179.
37
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang abnormal, berdosa, dan lain sebagainya ke arah sistem struktur sosial masyarakat
yang menghargai moralitas homoseksual menjadi sesuatu yang normal, bermoral dan
bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, proses yang berkaitan dengan pengelolaan
masyarakat.
samping informasi awal tersebut, pada saat itu penulis juga akan mencari tahu tentang
bagaimana supaya bisa mondok di lokasi penelitian, dan mencari tempat yang sesuai
Meskipun demikian, ijin secara formal kepada pengasuh ponpes tetap menjadi
pertimbangan, meskipun penulis akan merahasiakan identitas dirinya. Hal ini penting
untuk menjaga agar peristiwa atau fenomena yang diteliti berlangsung sebagaimana
adanya, alamiah, dan juga untuk mempertahankan penerimaan para santri, ustadz dan
interview guide, serta interpretasi dokumen. Selain itu, dalam pengumpulan data
38
Perilaku Homoseksual di PonPes
penulis memanfaatkan bantuan dari informan (dalam hal ini alumni ponpes). Mereka
tidak hanya membantu dalam pengumpulan data, tetapi juga sebagai pengklarifikasi
data. Informan yang dilibatkan adalah mereka yang dipandang oleh penulis mengenali
penulis, serta yang akan diteliti selanjutnya, dan memberitahukan para pelaku
homoseksualitas di ponpes.
Selain itu, penulis akan menfokuskan informasi data, sebagai langkah dalam
mengumpulkan data, yang terbagi dalam tiga fokus utama: menekankan data pada
perilaku homoseksual, data pada reaksi atau konstruksi subjektif masyarakat pesantren
homoseksualitas.
c. Langkah Pelaporan
mendasar atau universal. Meskipun demikian, penulis tetap melakukan deskripsi data
tersebut sebagaimana adanya atau yang berhubungan sangat dekat dengan pemahaman
H. Sistematika Pembahasan
39
Perilaku Homoseksual di PonPes
Tesis ini akan membahas berbagai persoalan tersebut di atas dengan urutan
sistematis, yang terdiri dari VI bab, yakni; Bab I, terdiri dari latar belakang tentang arti
Madura. Sedangkan Bab III, membahas tentang homogenisasi pondok pesantren dan
struktur sosial masyarakat pesantren, yakni ponpes Al-Amanah dan An-Naqiyah, yang
interaksi santri dengan kiai, dan lain sebagainya, serta masyarakat pesantren Gilir-gilir
dan Parendu, yang meliputi penduduk dan ekonomi, pendidikan, sosial budaya, politik
lokal, dan tradisi ritual keagamaan. Bab IV, akan membahas perilaku homoseksualitas
40
Perilaku Homoseksual di Ponpes
BAB II
Istilah homoseksualitas pertama kali muncul pada tahun 1869, oleh K.M.
homoseksualitas. Sedangkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1890 dalam tulisan
Krafft-Ebing. Sebenarnya istilah tersebut pernah muncul dalam bahasa Jerman pada
tahun 1869 dalam sebuah naskah anonim. Havelock Ellis menyatakan bahwa istilah
homoseksual adalah sebuah neologisme barbar yang terpancar dari campuran yang
sangat mengerikan antara akar Yunani dan Latin. Meskipun ada penulis lainnya seperti
tahun 1892, namun hal ini mengindikasikan bahwa hanya satu dari sekian banyaknya
kata yang diciptakan atau yang dipakai pada masa itu untuk mendeskripsikan
seksualitas antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Pada abad XIX sebelum
tahun 1892 orang menggunakan istilah “inversi” (inversion) yang pada masa itu
mencakup semua hal yang dianggap sebagai penyimpangan. Bukti bahwa orang
sosial yang terjadi – istilah baru mengungkapkan akan adanya pertanyaan baru –
41
Perilaku Homoseksual di Ponpes
menghina. Reaksi dari hal tersebut maka kaum homoseksual sekarang ini lebih
mnyukai disebut sebagai “gay” sedangkan “straight” dipakai untuk kaum heteroseksual.
Istilah gay sebenarnya mulai dikenal pada abad ke 13, untuk menggantikan beberapa
istilah terdahulu yang digunakan untuk menghina kaum homoseksual: queer, fag, faggot,
fruit, nellie, homo, cock, sucker, pansy, dan queen. Namun demikian untuk kajian ilmiah
homoseksual di Indonesia (Madura) pada masa klasik dan modern hingga sekarang
tersebut.
1
Colin Spencer., 2004, Sejarah Homoseksualitas: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Ninik
Rochani Sjams, Kreasi Wacana: Yogyakarta, hlm. VIII-IX
2
Herant A Katchadourian., 1989, Instructor’s Edition: Fundamental of Human Sexuality, Fifth
Edition, Rinehart & Winston Inc: Holt, hlm. 362
42
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Pada masa zaman prasejarah sudah banyak para antropolog (meskipun secara
seperti suku Marind dan suku Kiman. Begitu terlepas dari masa kanak-kanaknya, anak
lelaki diambil dari ibunya untuk selanjutnya tidur bersama bapaknya. Sejak
kemunculan tanda-tanda pubertas pertama maka pamannya dari pihak ibu akan
mempenetrasi anus si anak lelaki tersebut, dengan tujuan memberinya sperma yang
akan menjadikannya anak lelaki yang kuat. Anak tersebut akan meninggalkan fase ini
setelah kira-kira tiga tahun kemudian. 3 Selain itu, suku Marind juga mengenal ritus
Sosom4 yang tidak diikuti oleh seorang wanitapun. Acara ritus ini dilakukan di tengah
hutan dengan mendirikan sebuah phallus (penis) yang besar dan berwarna merah.
diatur untuk keperluan upacara tersebut. Lelaki-lelaki tua menari-nari, dan kemudian
melakukan orgie maskulin di mana lelaki manapun bisa mempenetrasi anak lelaki
manapun yang sedang menjalani inisiasi. Sistem nilai dalam suku Marind,
3
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 6-7
4
Sosom adalah seorang raksasa yang dikebiri dan menggunakan seuntai kalung dari kepala
manusia.
43
Perilaku Homoseksual di Ponpes
kekhawatiran akan pengebirian dan kematian sebagaimana yang terjadi pada sang
raksasa Sosom.5
mereka sudah menikah. Mereka akan selalu dipanggil untuk menjadi inisiator (yang
menyodomi pertama kali) terhadap kemenakannya yang baru berusia tiga atau empat
tahun sewaktu mereka berumah tangga, serta tetap ikut dalam pesta orgie tahunan
etnolog pertama yang menulis tentang suku tersebut Bernard Deacon (yang secara
di suku Namba Besar, setiap pemimpinnya memiliki sejumlah kekasih laki-laki, dan di
antara laki-laki itu ada yang memiliki cinta yang begitu kental sifat homoseksualnya
sehingga sedikit sekali berhubungan dengan istri-istri mereka dan lebih memilih anak-
namun ada sesuatu yang dianggap umum, di antaranya akan adanya penghormatan
anak lelaki akan menaburkan benih dari spermanya sendiri, dan si anak tersebut tidak
akan bisa menjadi seorang pemburu yang kuat dan perkasa tanpa melalui tahun-tahun
5
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 7-8
6
Ibid., hlm. 10-11
44
Perilaku Homoseksual di Ponpes
masyarakat Yunani Kuno, yang dianggap sebagai akar peradaban Barat hingga sekarang
masih menganggapnya sebagai cinta yang ideal dan dilembagakan.7 Para prajurit laki-
laki akan mempunyai seorang kawan atau sahabat laki-laki lainnya yang lebih muda,
yang dicintainya dan sebagai kawan sejatinya baik dalam berlatih, berolahraga,
berlomba atau dalam bercinta. Seperti halnya filsuf Plato dan Socrates pun mempunyai
seorang sahabat laki-laki yang lebih muda darinya meskipun mereka memiliki istri dan
Yunani tidak diperbolehkan. 8 Hubungan ini dalam tradisi Yunani disebut dengan
hubungan percintaan dan penculikan sesama jenis kelamin – antara laki-laki dengan
laki-laki yang lebih muda – dan hampir banyak dipenuhi dengan perihal inisiasi.
Pasangan dalam mitologi itu seperti, Ganymede dengan Zeus, atau Apollo yang selalu
Hymenee, Carnus, dan Hippolyte. Selain itu, Heracles dengan Hylas, serta mencintai
Philocrete, Nestor, Adonis, dan Jason. Sedangkan Dionysos pernah menculik Adonis.10
7
Dede Oetomo., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press dan Ford Foundation:
Jogjakarta, hlm. 7
8
Ibid., hlm. 7
9
Paiderastia dalam bahasa Yunani berasal dari kata pais: buyung; dan erastia: cinta.
10
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 18-19
45
Perilaku Homoseksual di Ponpes
mitos inisiasi dalam dunia wanita di dalam tradisi Yunani. Hal ini memperlihatkan
struktur sosial sebagai ritus yang sakral, dan kaum wanita tidak mempunyai peran
apapun.
masyarakat Creta (Yunani) yang berasal dari karya Strabon d’Amasya tentang konvensi
erotis penculikan. Seorang laki-laki yang mencintai anak laki-laki akan berkata kepada
teman-teman dan keluarga si anak laki-laki tersebut bahwa ia ingin menculiknya. Sesuai
dengan adat Creta anak laki-laki yang paling diinginkannya adalah mereka yang paling
berani dan paling pandai, bukan yang paling tampan. Kekasihnya (laki-laki yang lebih
tua) akan memberinya hadiah kepadanya dan membawanya ke dalam hutan dan
gunung serta mereka akan tinggal di situ selama sekitar dua bulan. Sang kekasih akan
bagaimana menjadi seorang lelaki yang terhormat. Selain itu, ia akan mengajarinya
bercinta, dalam naskah tersebut dengan jelas disebut akan adanya hubungan yang
dilakukan melalui penetrasi anal (anus). Meskipun demikian mereka bukanlah satu-
satunya yang berada di hutan atau di gunung tersebut, beberapa teman dan keluarga si
anak lelaki juga ikut menemani dan berburu serta berpesta bersama. Seusai melewati
masa dua bulan si anak lelaki akan dikembalikan kepada keluarganya dengan
membawa hadiah. Hadiah itu ada tiga macam dan memiliki makna simbolik tersendiri,
46
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yakni sapi, seperangkat senjata prajurit, dan sebuah piala. Sekembalinya ke rumah si
anak lelaki akan mengorbankan seekor sapi kepada Zeus, dan kemudian akan diadakan
sebuah prosesi dan pesta. Hal ini menampakkan akan perayaan tahapan pertama si
anak lelaki memasuki tahap laki-laki (dewasa). Lelaki minum anggur pada saat pesta
atau ritual tersebut, hal ini ditandai dengan pemberian piala yang menjadikannya
mendapat hak untuk ikut berpesta (sedangkan anak-anak dan perempuan tidak boleh
minum anggur). Sedangkan senjata tersebut mempunyai makna bahwa si anak tersebut
telah mempunyai status atau hak untuk menjadi prajurit dan sebagai pelindung
negara.11
Yunani, namun ada cacatan bahwa penyair Sappho (abad 6 SM), yang mengepalai
sekolah gadis di Mytilene di Pulau Lesbos menulis puisi tentang cinta Lesbia.12 Nama
pulau inilah yang kemudian dijadikan istilah untuk menyebut homoseks wanita
(lesbian). Sedangkan orang Yunani kala itu menyebut homoseksualitas pada wanita
pemujaan terhadap laki-laki secara eksklusif. Laki-laki akan telanjang di dalam kegiatan
11
Ibid., hlm. 35-37
12
Puisi tersebut adalah:
Ia (perempuan) tidak mengatakan satu patah kata pun padaku
Ingin aku mati
Ia menangis terus
Ketika meninggalkanku sambil berkata:
“Kita harus berpisah Sappho, aku akan berangkat di luar kemauanku”
13
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 8
47
Perilaku Homoseksual di Ponpes
gimnasium pada saat permainan umum nasional, pada kontes kecantikan di Lesbon, di
Tenedos dan di kuil-kuil Ceres, di Basilis Arcadia, dan di kuil-kuil Venus di Corinthia.
Kebiasaan ini diawali sejak tahun 720 SM ketika masyarakat Yunani mengizinkan
semua pesaing untuk tampil telanjang. Organ-organ genital yang terayun-ayun tersebut
akan diikatnya dengan secarik kain yang disebut dengan kynodesme. Sikap masyarakat
Yunani yang sangat menghormati dan sekaligus segan terhadap organ maskulin,
hampir sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat prasejarah yang menghormati
penis dan sperma, mereka menganggapnya sebagai instrumen perluasan yang bersifat
mistis, yakni simbol kekuatan untuk menghasilkan keturunan. Maka dengan demikian
phallus merupakan simbol religius yang mampu menghancurkan nasib dan melawan
kejahatan.14
Seksualitas di dalam peradaban Yunani ternyata jauh lebih kompleks, hal ini
nampak dalam tulisan Plato dalam bukunya Banquet (pesta besar); yang
mendeskripsikan akan adanya dua jenis cinta dalam tradisi Yunani. Pertama, cinta
yang terinspirasi oleh Aphrodite yaitu cinta yang vulgar, yang mendorong manusia
mencintai wanita. Orang-orang ini dianggap rendah nilainya dan bahkan oleh Socrates
disebut sebagai orang yang lebih mencintai tubuh dibanding jiwanya. Yang kedua,
cinta yang terinspirasi oleh Aphrodite Uranie yaitu cinta terhadap anak-anak lelaki
yang bersifat kedewaan sebagaimana yang diperlihatkan oleh lelaki-lelaki yang istimewa
dengan kaum bangsawan yang memilih kekasih-kekasih mereka (laki-laki) dengan sikap
14
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 43-44
48
Perilaku Homoseksual di Ponpes
hati-hati dan penuh sensibilitas, namun tetap mencurahkan diri pada pleasure dan
Berbeda dengan tradisi Yunani, tradisi Romawi sangat dikenal dengan moralitas yang
undang. Meskipun demikian bukan berarti dalam tradisi Romawi tidak ada kehidupan
tidak semekar tradisi Yunani. Seperti Yulius Kaisar yang pernah mencintai atau
bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia, sastrawan Romawi Virgil, Horatius,
Catullus, dan Tibullus pernah mengalami cinta homoseksual yang sangat intens
seringkali dipakai untuk merusak reputasi tokoh masyarakat yang akan dijatuhkan,
atau sebaliknya, dan jikalau seorang tokoh ketahuan sebagai homoseks maka
15
Ibid., hlm. 47
16
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 8-9. Seperti salah satu puisinya: Bisakah aku memiliki seorang
anak lelaki yang pipinya masih ranum! Juventius yang semanis madu, akan kucuri engkau ketika sedang bermain-
main, Ciuman yang lebih lembut dari pada ambroisie (semacam santapan dewa) yang lezat.
49
Perilaku Homoseksual di Ponpes
reputasinya akan rusak. Pandangan negatif zaman Romawi ini semakin kuat dengan
memang mempunyai pandangan yang negatif terhadap perilaku seks homoseksual yang
tersebut hanya melihat seks semata-mata hanya untuk kegiatan prokreasi atau lebih
sebagai dosa. Moralitas seksualitas peradaban Barat yang banyak dipenuhi oleh ajaran
agama Kristen dan Yahudi menolak terjadinya perilaku homoseksual. Meskipun hal
tersebut bukan berarti homoseksual tidak ada di dalam tradisi Barat, bahkan
homoseksual sangat banyak memenuhi setiap pikiran dan imajinasi laki-laki Barat.19
sekelompok kecil wilayah di Asia Minor yaitu di pesisir Mediterania menjadi satu-
satunya kelompok yang menolak atau bahkan menentang kaum homoseksual dan
perilaku ini sangat erat kaitannya dengan warisan ajaran atau warisan tradisi dari
Yahudi Israel. Hal ini terlihat dengan pendapat para teolog Kristen awal, yaitu Clement
dari Alexandria, Jean Chrysostome, Eusebe dari Cesaree, Gregorius dari Nysse,
17
Ibid., hlm. 9
18
Ibid..
19
Ibid..
50
Perilaku Homoseksual di Ponpes
perkawinan yang heteroseksual (laki-laki dengan perempuan), atau dengan kata lain
homoseksual, yang pada akhirnya dihukum mati oleh Justinianus. Mereka adalah
uskup Isai dari Rhodes dan uskup Alexandre dari Diospole. Procope menulis dalam
Pengejaran terhadap para pelanggar hukum ini dilakukan dengan cara yang
paling tidak biasa, karena hukuman telah diterapkan meski tidak ada yang
mengadu meminta keadilan, dan laporan dari satu orang saja sudah diterima
sebagai bukti meskipun ia adalah seorang budak yang harus dipaksa di luar
kemauannya untuk menjadi saksi melawan majikannya sendiri. Orang-orang
yang dipersalahkan itu kemudian dikebiri dan diekspos di muka umum.21
Sekalipun demikian berbeda dengan yang dialami kedua uskup di atas, penyair
Ausone beberapa tahun sebelumnya pernah memiliki hubungan yang begitu sangat
bergelora dengan Santo Paulin, seorang uskup dari Nola, dan mereka saling
mengirimkan puisi tentang kegeloraan cinta mereka yang begitu luar biasa. Keduanya
20
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 88-90
21
Ibid., hlm. 91
51
Perilaku Homoseksual di Ponpes
menganggap bahwa cinta mereka abadi. Hubungan tersebut bahkan sudah diketahui
oleh umum tapi cinta kedua insan tersebut diterima dan diperbolehkan.22
Dengan demikian, mungkin sangat sulit bagi kita menemukan atau mengetahui
segelintir kalangan elite, beberapa orang suci (keagamaan), dan segelintir filsuf yang
mulai berceramah untuk melawan segala ekspresi seksualitas. Hal ini sangat terkait erat
dengan perkembangan awal agama Kristen yang banyak dipenuhi oleh para filsuf, dan
pergeseran pada abad ke – 19. Hal ini mulai sejalan dengan perkembangan alam
pemikiran yang mulai berani mempertanyakan atau menentang dogma dan doktrin
yang semula dianggap sebagai dosa kemudian beralih dianggap sebagai penyakit,
di tiang gantungan atau dengan kata lain homoseksual harus dimusnahkan. Namun
22
Ibid., hlm. 97
23
Ibid., hlm. 93-94
24
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 9-10
52
Perilaku Homoseksual di Ponpes
perlakuan yang dilakukan kepada kaum homoseksual pada akhirnya beralih kepada
memberi obat, lobotomi (pemotongan bagian depan otak), dan dengan terapi kejutan
listrik.25
Pada tahun 1533 Raja Inggris Henry VIII memutuskan hukuman mati
dicabut oleh anaknya Mary pada tahun 1553, dan kemudian dihidupkan kembali oleh
saudaranya Elizabeth pada tahun 1562. Kemudian diikuti oleh jajahannya Amerika
Serikat, sebagai contoh North Carolina yang memberlakukan hukuman mati bagi
Dengan demikian, sistem hukum di Anglo Saxon (Inggris dan Amerika Serikat)
melarang perbuatan homoseksual, hal ini berbeda dengan sistem hukum Kontinental
asalkan dilakukan dengan sesama orang dewasa dan tidak dengan orang yang masih
belum dewasa. Hubungan sesama jenis dengan orang yang belum dewasa akan dikenai
pada masa kaum Victorian atau lebih dikenal sebagai ratu Victoria dari Inggris (1837-
25
Ibid..
26
North Carolina., Chapter 34, Section 6, 1854.
27
Anis Farida., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak Dengan Kaum Heteroseksual
Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas Gadjah Mada: Tesis, hlm. 127.
53
Perilaku Homoseksual di Ponpes
1900), yang dianggap sebagai zaman yang paling represif terhadap perkembangan
negeri di dunia.28 Seksualitas pada masa atau era Victorian tersebut ditandai dengan
sikap mereka dengan menahan diri, diam, dan munafik. 29 Satu-satunya bentuk
seksualitas yang dibenarkan dan dilembagakan pada waktu itu adalah hubungan
Segala bentuk seksualitas yang tidak bertujuan prokreasi tidak memiliki tempat yang
sah dan tidak boleh bersuara, diusir, disangkal, dan ditumpas sampai hanya
Seksualitas telah dihilangkan dan tidak boleh hadir dalam setiap pembicaraan
ataupun perilaku. Hal inilah yang merupakan ciri khas represi yang membedakannya
dari larangan hukum. Represi berfungsi sebagai keputusan hukum, dan perintah untuk
ataupun dipelajari. Adapun tempat yang tersedia bagi berbagai penyimpangan seksual
tonggak dimulainya seksualitas yang bersifat represif dari era sebelumnya yang bersifat
28
Onghokham., “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintas Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam
Prisma No. 20 Edisi 7, Juli, th. 1991, hlm. 16
29
Michel Foucault., 2000, Sejarah Seksualitas: Seks Dan Kekuasaan, terj. Rahayu S Hidayat,
Gramedia: Jakarta, hlm. 1
30
Ibid., hlm. 2
31
Anis Farida., Op. Cit, hlm.128
54
Perilaku Homoseksual di Ponpes
terbuka. Wacana tersebut memberi kesan bahwa represi seksual terkait dengan
kapitalisme. Seuai dengan alam pikir kapitalisme maka tenaga kerja harus
yang terungkap dengan berbagai tabir perilaku seksualitasnya, seperti pengarang Oscar
Wide yang melakukan hubungan homoseksual dengan Lord Alfred, termasuk juga
putra mahkota sendiri yakni Raja Edward VII yang melakukan hubungan
homoseksual.33 Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan masyarakat Barat dan dunia
pada umumnya menganggap pelaku homoseksual sebagai the other’s(yang lain), yang
penuh dengan kelainan seksualitas, penyakit, abnormalitas, dan lain-lain, yang pada
32
Michel Foucault., Op. Cit, hlm. 4
33
Onghokham., Op. Cit, hlm. 16
34
Homophobia adalah masyarakat yang takut terhadap perilaku homoseksual atau berasumsi
negatif terhadap perilaku homoseksual. Meskipun mereka tidak pernah menggangu kehidupannya.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana kaum homophobia eksis dan berkembang dalam
masyarakat kita sampai sekarang. Baca, Jean S Gochros., 1992, “Homophobia, Homosexuality, and
Heterosexual Marriage, dalam Warren J Blumenfeld (edit), Homophobia How We All Pay The Price, Beacon
Press: Boston, hlm. 131-153
55
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang tidak hanya erat kaitannya dengan kekuasaan atau etika perdagangan, namun juga
sebagai bentuk perwujudan tentang zaman yang penuh dengan keketatan perilaku
seksualitas yang sifatnya pleasure, meskipun pada zaman tersebut banyak sekali
Pada akhir era Victoria terdapat berbagai ketakutan bila seseorang muncul
ketakutan untuk mengekspresikan ide tentang hubungan antara pikiran dengan tubuh,
ucapan dengan keinginan, wacana dengan dominasi politik merupakan hal yang
mewarnai masa tersebut.35 Di dalam peradaban Barat terdapat pemisahan yang tegas
konsepsi mentalitas secara murni sebagai problema kesadaran. Cartesian dan juga
Descartes memahami tubuh sebagai mesin yang terorganisir bila dikaitkan dengan
tubuh dan perasaan merupakan hasil dari konstruksi sosial. Sebagai hasil dari
konstruksi sosial maka tubuh bukanlah sebagai sesuatu yang ‘given’ tetapi merupakan
ketegori sosial dengan arti yang berbeda-beda dan senatiasa dapat berubah.37
35
Victor J Seidler., 1987, “Reason, Desire & Male Sexuality”, dalam Pat Caplan, The Cultural
Construction of Sexuality, Travistock Publication: London, hlm. 93
36
Ibid., hlm. 94
37
Dikutip dari Anis Farida., Op. Cit, hlm. 129
56
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Keadaan semacam ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang hingga
pada tahun 1974 Himpunan Psikiatri Amerika (American Pshychiatric Association / APA)
demokratisasi.38
orang pun mulai dengan gencar membicarakan hak-hak individu yang harus dihormati
oleh negara, masyarakat dan sesama manusia. Maka sejak tahun 1920-an, kaum
Hindia Belanda. Puncak gerakan ini adalah tuntutan akan hak-hak sipil, yakni gerakan
menuntut hak-hak kaum hitam di Amerika Serikat, yang dibarengi oleh gerakan gender
(hak-hak perempuan) dan minoritas-minoritas lainnya, yang terjadi sekitar tahun 1960-
an.39
Utara pada tahun 1969, ketika sekelompok polisi merazia bar kaum homoseksual yang
bernama Stonewall, tetapi dilawan oleh para gay, mereka para polisi dikunci di dalam
bar dan kemudian dibakar. Peristiwa ini lebih dikenal dengan peristiwa Stonewall 1969,
38
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 10-11
39
Ibid..
57
Perilaku Homoseksual di Ponpes
penjuru dunia Barat dan tidak takut lagi atau bahkan bersembunyi, serta mulai
dipertimbangkan untuk dijadikan kajian studi. Hal ini terbukti dengan berdirinya
gerakan International Lesbian and Gay Association OLGA) di Dublin, Irlandia pada
tahun 1978.
Sebenarnya mulai sejak tahun 1869, atau bahkan 1897 studi tentang kaum
homoseksual sudah mulai mendapat tempat di kalangan intelektual Barat. Hal ini
berawal dari usaha dokter Hungaria bernama Benkert yang menulis surat terbuka
sebagai tindak pidana, namun usaha tersebut ternyata gagal. 41 Meskipun demikian
homoseks Jerman, Karl Heinrich Ulrich banyak menulis tentang fenomena perilaku
homoseksual.42 Sedangkan secara organisatoris baru pada tahun 1897 didirikan Komite
Kemanusiaan Ilmiah, yang dipelopori oleh Magnus Hirschfeld, dan aktif selama 35
40
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center, hlm. 1
41
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 11
42
Ibid..
43
Ibid., hlm. 12
58
Perilaku Homoseksual di Ponpes
seksualitas yang bersifat represif menuju kepada pandangan seksualitas yang sifatnya
permisif. 44 Hal tersebut nampak dengan adanya kesenjangan antara ideologi dengan
Ia berpendapat bahwa pada abad ke 18 dan abad ke 19, terdapat suatu keadaan terlalu
sopan dan kesunyian (prudishness and silence) pada satu sisi, sedangkan pada sisi yang
pertama, terjadi sekitar abad ke 17, lahirnya larangan pokok, pengunggulan satu-
satunya seksualitas yaitu pada orang dewasa dan suami istri (heteroseksual), keharusan
kesantunan berbahasa yang wajib. Pemutusan kedua, pada abad ke 20, yang lebih
44
Pat Caplan., Op. Cit, hlm. 6
45
Michel Foucault., Op. Cit, hlm. 30-41
46
Ibid., hlm. 145
59
Perilaku Homoseksual di Ponpes
sebagian, dan telah menghilangkan sebagian besar tabu yang membebani seksualitas
peradaban dunia Barat. Pengaruh yang cukup besar sebenarnya datang dari Sigmund
Freud dari psikiatri atau psikologi. Meskipun pada awalnya menganggap kaum
seseorang atau disebutnya sebagai fase oedipal yang cacad pada anak47, namun pada
menjadikannya sebagai masalah. Hal inilah yang menciptakan istilah homophobia oleh
Selain itu, pada tahun 1940an institusi Alfred C Kinsey melakukan penelitian
terhadap 5000 orang Amerika Serikat. Kinsey memperkenalkan model skala bergradasi
47
Linda Christanty., “Gaya Nusantara”, dalam Surat Kabar Majalah Pantau, tahun III, No. 024,
April 2002, hlm. 44
48
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 12. Hal ini berawal dari surat seorang ibu kepada Sigmund
Freud tentang anak laki-lakinya yang homoseksual pada tahun 1935. Dia menjawabnya bahwa
homoseksual sudah pasti bukanlah sesuatu yang menguntungkan, namun tidak patut digolongkan
sebagai penyakit, kami memandangnya sebagai suatu variasi perkembangan seksual…………
49
Ibid., hlm. 13
60
Perilaku Homoseksual di Ponpes
menemukan 37% dari laki-laki Amerika Serikat pernah beberapa kali melakukan
perilaku homoseksual dan 10% dari laki-laki Amerika Serikat adalah kaum
homoseksual eksklusif. 50 Angka kedua inilah yang kemudian dijadikan oleh kaum
10% dari populasi manusia. Pada tahun 1956 Evelyn Hooker, seorang psikolog
kaum heteroseksual yang menjalani hidup normal tanpa adanya keluhan psikis.
kedua kelompok tersebut. 51 Hal inilah yang kemudian hari mendorong American
patologi.
Perkembangan positif bagi kaum homoseksual, tidak pernah lepas dari berbagai
kajian yang semakin marak untuk meneliti tentang kaum homoseksual. Hal ini
nampak sejak tahun 1950-an dan 1960-an, homoseksual sudah dikaji atau dipelajari
dari jarak yang objektif, maksudnya dilihat dari perspektif heteroseksual. Sampai
kemudian muncul generasi baru yang mulai mengambil peran dalam mempelajari
50
Jean S Gochros., 1992, “Homophobia, Homosexuality, and Heterosexual Marriage, dalam
Warren J Blumenfeld (edit), Op. Cit, hlm. 132
51
Linda Christanty., Op. Cit, hlm. 44
61
Perilaku Homoseksual di Ponpes
(1992) mengatakan bahwa berbagai tulisan atau kajian tentang homoseksualitas yang
muncul sejak tahun 1970-an tampak masih seperti mencari pengertian diri. Beberapa
banyaknya tulisan tentang homoseksual (pada tahun 1969 tercacat hanya 500 judul
buku, tapi pada tahun 1989 sudah menjadi 9000 judul buku), dengan semakin luasnya
persoalan-persoalan yang diteliti secara luas, dan menggunakan berbagai disiplin ilmu
yang semakin beragam, yang pada akhirnya menjadikan pembaca yang semakin banyak.
Hal inilah yang menyebabkan empati mereka lahir terhadap kaum homoseksual.52
homoseksual sebagai lapangan akademik profesional. Pada tahun 1970-an bidang studi
tentang homoseksual secara internasional dikenal secara luas, dan dijadikan kajian di
homoseksual secara tetap. Universitas Utrecht bahkan mempunyai Pusat Studi Gay
dan Lesbian. Bahkan di beberapa negara telah lebih awal memantapkan kajian tentang
52
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center, hlm. 1
62
Perilaku Homoseksual di Ponpes
beberapa pusat studi di Belanda, dan juga Institute for Homophile Studies di
Amerika.53
modern, yaitu “closet” (kloset) dan “coming out” (keluar). Term “kloset” biasanya
digunakan sebagai metafor untuk menyatakan ruang prifat atau ruang subkultur di
untuk menyatakan ekspresi dramatis dari kedatangan yang bersifat prifat atau publik.
Pemakaian kedua term tersebut sebenarnya sangat bermakna politis. Narasi “coming out
dalam atau di luar kloset. Kategori yang pertama diberi makna sebagai orang-orang
yang menjalani hidupnya dengan berbagai kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh
posisi sosial yang diterima dari masyarakat. “Kloset’ kemudian bermakna sebagai
“closet practice” adalah respon terhadap strategi represif yang diterapkan oleh
masyarakat. Strategi ini mulai dilakukan sejak tahun 1940-an tapi mulai diintensifkan
sejak tahun 1950-an dan 1960-an. Hal ini semakin memantapkan posisi ‘kloset’ sebagai
53
Ibid., hlm. 1-2
54
Ibid., hlm. 2-3
63
Perilaku Homoseksual di Ponpes
konsep identitas seksual yang berbeda dan sebagai sebuah simbol kehidupan ganda
(biseksual).55
kepada kehidupan gaya hidup kaum homoseksual yang semakin terekspresikan secara
bebas. Hal ini seiring dengan berkembangnya metropolis-metropolis seperti New York,
Chicago, San Francisco, Los Angeles, Amsterdam, Berlin dan lain-lain. Pada masa ini,
timbul suasana sinonim dan bebas yang sangat disukai oleh minoritas terstigma seperti
kaum homoseksual. Di kota-kota metropolis tersebut orang lebih acuh dan liberal
terhadap tingkah laku para tetangganya. Para pemilik modal (kapital) melihat akan
maka industri-industri yang melayani mereka pun berkembang dengan pesat, seperti
mulai berdirinya bar, disko, restoran, toko pakaian, sauna, pers, buku, film, hotel, biro
kebebasan seks yang sangat luas, dengan upaya bereksprimen dengan pola hubungan
yang kadang-kadang tak terpikirkan sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh mereka kaum
muncul kekuatiran mengenai AIDS yang mulai pada tahun 1982. Klaim ini tidak bisa
55
Ibid..
56
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 14
64
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dilepaskan dari ditemukannya AIDS pertama kali pada kalangan kaum homoseksual di
San Francisco, Los Angeles, dan New York. Penyakit ini muncul sekitar tahun 1981
sindroma (kumpulan penyakit) yang kemudian diberi nama AIDS (acquired immune defi-
ciency syndrome), yang dideteksi pertama kali di Amerika Serikat, orang-orang yang
pada awalnya begitu konsisten, sehingga para kalangan medis pernah menyebutnya
kanker gay, penyakit gay, atau penurunan kekebalan yang berhubungan dengan gay (gay
sebanyak 62,4% penderita AIDS (angka pada tahun 1988) adalah mereka yang pernah
homophobia. Gerakan ini lambat laun semakin meningkat baik dalam hal jumlah,
57
Ibid., hlm. 191
58
John Langone, “How to Block a Killer’s Path”, dalam Time, tanggal 30 Januari tahun 1989,
sebagaimana yang dikutip oleh Dede Oetomo, Op. Cit, hlm. 175
65
Perilaku Homoseksual di Ponpes
adalah upacara perkawinan antara dua orang berjenis kelamin sama (laki-laki), seperti
yang pada awalnya dilakukan gereja Kristen kembali menguat. Jaringan pergerakan
perkawinan sesama jenis ini, terdiri dari para pendeta yang menghidupkan perkawinan
gay bagi para gay di gereja-gereja.59 Para vikaris (pengganti uskup) yang gay mengaku
telah menerima perkembangan gay di gereja. 60 Seperti yang dilakukan oleh Dignity
dalam gereja Katolik Roma, gereja khusus kaum homoseks Metropolitan Community
Church, yang berpusat di Los Angeles dan mempunyai cabang di Jakarta. 61 Seiring
dengan mulainya perkawinan sesama jenis yang diakomodasi oleh gereja, maka pada
tanggal 1 Oktober 1989 merupakan awal tonggak bersejarah bagi kaum homoseksual.
Mulai tanggal tersebut, Denmark mulai mengakui hubungan perkawinan sesama jenis,
menikah, yang dapat membuktikan sudah beberapa tahun bersama (berkumpul) dalam
hal perpajakan dan imigrasi, begitu juga perusahaan penerbangan Skandinavia SAS
59
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 495
60
Ibid., hlm. 496
61
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 133
62
Ibid..
66
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang memberikan hak kepada pekerjanya yang homoseks dan pasangannya untuk
semakin pesat dengan semakin banyaknya negara-negara lain yang mulai mengakui
Sementara menjadi Undang-Undang Dasar Tetap pada bulan April – Mei 1996,
Kanada yang melakukan perubahan penting pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia
yang secara tegas melindungi kaum homoseksual, negara bagian Hawaii Amerika
Serikat, dan bahkan Hongaria (bekas negeri yang kaya dengan represi) ternyata juga
mulai mengakui hubungan sesama jenis berdasarkan hukum adat (common law). 64
Selain itu, gerakan sosial politik kaum homoseksual untuk mendapat hak-haknya juga
berdiri di Amerika Serikat pada tahun 1990, yakni International Gay and Lesbian
Human Rights Commission (IGLHRC) berdiri di San Francisco. Selain itu, untuk
pertama kalinya pada tahun 1993, isu orientasi seksual masuk dalam agenda
Konferensi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tetapi ditentang oleh
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, Kairo, Mesir), dan ditentang pihak pihak
isu orientasi seksual kembali diperjuangkan oleh aktivis-aktivis lesbian yang mencuat
63
Ibid., hlm. 134
64
Ibid., hlm. 125-126
67
Perilaku Homoseksual di Ponpes
memiliki media tersendiri, seperti majalah Gay Kuant di Belanda yang menyimbolkan
Cristiano Ronaldo sebagai cowok terseksi versi kaum homoseksual Belanda, sedangkan
sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen, istilah homoseksual sering dikenal dengan
sebutan al-liwath65 yang berasal dari kata luth. Di dalam ajaran Yahudi, Mishna (naskah
pertama yang menetapkan ajaran Yahudi, secara tertulis menyebutkan bahwa perilaku
mati bagi keduanya.66 Selain itu, dalam ajaran Kristen perilaku homoseksual dianggap
sebagai bagaian dari bid’ah, karena bid’ah dan homoseksual di dalam gereja saling
berkaitan. Gereja tidak hanya menganggap penganut bid’ah sebagai para penghujat
tetapi sebagai individu yang gila (seperti syetan) yang dalam perilaku seksualnya akan
65
Untuk kaum homoseksual gay disebut liwat, sedangkan lesbi disebut as-sihaq.
66
Colin Spencer., Op. Cit, hlm. 67
68
Perilaku Homoseksual di Ponpes
menjadi pendosa dengan jenis yang paling berat. Para pelaku homoseksuallah yang
Islam bukan hanya terdapat di zaman modern ini, tetapi telah terjadi pada zaman Nabi
Luth. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an bahwa kaum Nabi Luth adalah
kaum yang tidak mau berhubungan dengan isteri-isteri mereka, justru malah lebih suka
berhubungan badan untuk mencari kepuasan dengan sesama laki-laki yang lebih muda
dan tampan (Q.S. al-A’raf: 83). Sementara itu landasan utama yang sering di pakai
untuk menolak relasi tersebut diabadikan juga dalam al-Qur’an surat Hud ayat 77-83,68
yaitu:
67
Ibid., hlm. 95
68
Moh Yasir Alimi., 2004, Dekonstruksi seksualitas Poskolonoial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama, LKiS: Jogyakarta, hlm. xx
69
Perilaku Homoseksual di Ponpes
diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang
yang zalim. (QS. Hud: 77-83)
Dari ayat di atas memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang relasi seksual
sesama jenis sesama laki-laki. Kata dalam Al-qur’an yang seringkali dipakai untuk
menjadi rujukan tentang relasi seksual sejenis adalah al-fahisyah (QS, Al-A’raf: 80 dan
QS. An-Naml: 54), al-khabaits (QS. Al-Anbiya’: 74), al-munkar (QS. Al-Ankabut: 29), dan
as-sayyiat (QS. Hud: 78).69 Selain ayat di atas, ada beberapa ayat lain yang juga merujuk
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala
dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji
(fahisyah) itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)
sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka) bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas (QS. Al-A’Raf: 80-81).
Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan pula bahwa Nabi Luth diutus Allah untuk
memperbaiki akidah serta akhlak kaumnya yang berdiam di negeri Sadum, Amurah,
Adma’, Sabubim dan Bala’, ditepi Laut Mati. Nabi Luth memilih tinggal di negeri
yang paling besar dari kelima negeri itu yaitu Sadum. Negeri Sadum mengalami
kehancuran moral, kaum laki-laki lebih nafsu kepada sesama jenisnya yang berusia
muda, dan tidak nafsu kepada kaum wanita.70 Ketika menyaksikan perbuatan kaumnya
69
Amreen Jamal., “The Story of Lut and The Quran’s Perception of The Morality of Same-Sex
Sexuality”, dalam Journal of Homosexuality, Nomer 41, 1, 2001, sebagaimana yang dikutip oleh Moh.
Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. xxi
70
Rasid Ridha., 1950, Tafsir Al-Manar, Matba’ah Hajari: Kairo, hlm. 509-510
70
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang tidak bermoral itu, Nabi Luth menegur dan memperingatkan mereka untuk
fitrah, yaitu melalui perkawinan antara pria dan wanita (heteroseksual). Ajakan Nabi
Luth ini mereka jawab dengan mengusir dari masyarakatnya. Sementara itu mereka
Dan juga terdapat beberapa ayat lain dalam Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang fenomena relasi seksual sesama jenis tersebut. Di antaranya, terdapat dalam Al-
Qur’an Surat Asy-Syuara’: 165-166, dan Surat An-Nisa’: 16. Dengan demikian tiga ayat
di atas semuanya menceritakan tentang perilaku seksual pada masa Nabi Luth yang
semuanya diakhiri dengan suatu kecaman yang keras. Menurut Al-Tabari kisah tersebut
diceritakan dalam rangka untuk mencela agar tidak dilakukan oleh orang-orang
selanjutnya dan bukan untuk ditiru. Hal itu disimpulkan dari munasabah pada akhir
ayat yang menyatakan bahwa kaum Nabi Luth adalah kaum yang melampaui batas.72
Sedangkan menurut Shahrur, ayat tersebut sebenarnya juga memberikan sebuah isyarat
bahwa untuk menyalurkan nafsu seksual secara wajar sebenarnya sah-sah saja, namun
perilaku seksual kaum Nabi Luth dengan relasi seksual sesama jenisnya telah dianggap
sebagai perbuatan yang berlebih-lebihan atau melebihi batas, sehingga dilarang dalam
71
Ibid., hlm 511-513
72
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari., 1995, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an , Dar al-
Fikr: Beirut, hlm. 304. Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Mustaqim, 2003, “Homoseksual Dalam
Tafsir Klasik dan Kontemporer”, dalam Musawa, PSW UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta, vol. 2, No. 1,
Maret, hlm. 8-9
71
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Al-Qur’an. Dalam hal ini larangan tersebut sebenarnya juga berlaku untuk hal yang lain,
Sementara itu kurang lebih ada 4 hadits yang berkaitan dengan relasi seksual
sesama jenis dan transgender. (1)” Ketika seorang laki-laki menaiki laki-laki, istana
Tuhan bergoyang.” (2) “Bunuhlah yang menyetubuhi dan bunuh juga yang
disetubuhi.” (3) “Dikutuklah laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan (4)
Dari kata kaum Luth inilah kemudian digunakan sebagai sebutan dan aktivitas
seksual yang lebih condong kepada laki-laki. Praktek homoseksualitas pada masa kaum
Nabi Luth itu dilakukan dengan menyetubuhi lelaki yang sejenis pada duburnya atau
yang sekarang dikenal dengan istilah sodomi, tapi penulis menyebutnya dengan
penetrasi anus. Istilah itu boleh jadi diambil dari nama kaum Nabi Luth yaitu kaum
Sodom.
Luth dikarenakan pada waktu itu terjadi musim paceklik, sehingga mereka kekurangan
pangan (buah-buahan), padahal dulunya mereka punya pohon yang berbuah lebat di
kebun-kebun mereka. Lalu sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: Kalian
asing melakukan perjalanan ke negeri kalian. Oleh sebab itu, maka nanti setiap kalian
73
Muhammad Shahrur., 1990, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, Al-Ahali li Al-Nasyr:
Damaskus, hlm. 637
74
Moh. Yasir Alimi, Op. Cit, hlm. xxxii
72
Perilaku Homoseksual di Ponpes
bertemu mereka, “kumpulilah” dengan cara sodomi dengan memberi imbalan uang
empat dirham. Setelah itu niscaya orang-orang tidak akan datang lagi ke negeri kalian
ini. Rupanya anjuran yang hanya didasarkan pada setiap mitos ini diikuti oleh kaum
Sodom tersebut, dan akhirnya hal itu menjadi kebiasaan di lingkungan mereka. 75
Sampai saat ini di dunia Islam wacana tentang homoseksual selalu dikaitkan
atas dalam pandangan Islam jelas dilarang atau diharamkan. Artinya dalam legislasi
Islam siapa yang melakukan homoseksual mendapat dosa dan siapa yang
yang lain seperti cerita tentang Nuh, Ibrahim, dan Musa adalah tentang kaum yang
dihukum karena penolakan terhadap Nabi mereka.76 Selain itu, menurut Kugle, ada
kemiripan tapi tidak sama antara cerita tentang Luth dalam Injil dan Al-Qur’an. Dalam
Injil relasi seksual sesama jenis disebut lebih eksplisit. Tafsir tentang Luth yang
Alasan lain yang sering dikemukakan dalam ajaran Islam tentang larangan
relasi seksual sesama jenis sebagaimana dipahami dari teks al-Qur’an, disebutkan dalam
75
Abdul Mustaqim, Op. Cit, hlm. 11-12
76
Moh. Yasir Alimi., Op, Cit, hlm. Xxiii-xxiv
77
Ibid..
73
Perilaku Homoseksual di Ponpes
tersebut. Informasi yang dapat kita ketahui bahwa pada akhirnya kaum Nabi Luth yang
melakukan praktek sodomi, mendapat siksa dari Allah berupa hujan batu (Q.S. Al-
A’raf: 84); “Dan Kami turunkan kepada mereka (kaum Nabi Luth) hujan batu, maka
alasannya adalah dosa dan haram sehingga dampak negatif yang ditimbulkan dari
ada satu perbuatan maksiat yang kerusakannya lebih besar dibandingkan dengan
bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan dari tindakan pembunuhan.
Dari sejarah turunnya wahyu, yang sangat menarik adalah tingkat hukuman
terhadap kaum homoseksual. Dalam hal ini Al-Qur’an memang tidak memberikan
menjelaskan secara tegas tentang hukuman bagi pelaku zina (Q.S. Al-Nur: 2). Fakta
tentang homoseksual / liwath berbeda dengan zina. Liwath tidak termasuk jenis dari
perzinaan, sehingga dapat dikatakan bahwa liwath masuk dalam keumuman dan dalil
syara’ yang menyebut tentang perzinaan. Zina adalah masuknya kelamin laki-laki ke
78
Abdullah Mustaqim., Op. Cit, hlm. 11
74
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Semasa Rasulullah tidak ada satu kasus pun tentang penghukuman atas
praktek relasi seksual sejenis. Setidaknya ada tiga hukuman berat terhadap pelaku
homoseksual yaitu; pertama, dibunuh, kedua; dibakar (eksekusi pertama ini dibuat pada
masa khalifah Umar bin Khattab) dan ketiga; dilempar dengan batu setelah
dijungkalkan dari tempat yang tinggi. 79 Sementara itu, para sarjana pada waktu itu
berbeda pendapat tentang hukuman ini karena tidak seorang pun manusia yang layak
menafsirkan ayat-ayat serta hadis yang menjadi dasar penetapan hukumnya. Sementara
itu dalam menjatuhkan hukuman terhadap para pelaku homoseks memerlukan bukti
yang jelas, baik melalui pengakuan dari para pelakunya maupun keterangan saksi. 81
Terdapat perbedaan pendapat para ulama’ dalam hal saksi terhadap perilaku
homoseksual. Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa saksi dalam homoseks
sama halnya dengan saksi dalam zina, yakni empat orang saksi dan semuanya adalah
laki-laki yang adil. Sedangkan Hanafi berpendapat saksi dalam homoseksual berbeda
79
Abu Hafshah., “Hukuman Bagi HomoSeks”, dalam Artikel Buletin Annur, diakses dari
Alsofwah. Or. Id. Index.php/ index.php/?pilih=lihatannur&id=324, tanggal 20 April 2005
80
Moh Yasir Alimi, Op. Cit, hlm. xxvii
81
Sudirman M., “Studi Tentang Homoseksual Menurut Pandangan Hukum Islam”, dalam
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (Edit)., 1994, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka
Firdaus kerja sama Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan: Jakarta, hlm. 84
75
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dengan saksi dalam zina, karena kemudaratan yang ditimbulkan dalam homoseksual
lebih ringan daripada zina, serta tidak menimbulkan pencampuran keturunan. Karena
itu untuk membuktikan perilaku homoseksual cukup dengan satu saksi saja.
lama. Eksistensi homoseksual yang demikian lama dan hingga saat ini masih tetap ada,
bahkan di beberapa tempat tampak diberi empati, tidak berarti nilai dan perilaku
homoseks telah beralih dari perilaku menyimpang tiba-tiba menjadi diperbolehkan dan
menjadi bagian tren dari masyarakat modern. Sungguhpun demikian khalayak umum
masih memandang perilaku homoseks sebagai perbuatan yang tidak dapat diterima.
begitu khawatir terhadap bahaya nuklir yang mengancam kehidupan manusia di abad
modern ini. Yang kita khawatirkan adalah serangan bom seks yang setiap saat dapat
oleh sejarawan Arnold Toynbee yang menyatakan , “Dominasi seks dewasa ini akan
Pernyataan para ahli ini didasarkan atas fakta empiris bahwa hubungan seks
dewasa ini tidak lagi terbatas pada suami-isteri atau dua insan berlainan jenis, tetapi
telah jauh melebar ke bentuk hubungan seks sesama jenis, baik homoseks maupun
lesbian. Inilah yang melatarbelakangi tulisan James Ruston di harian New York Times
82
Fafhi Yakin., 1989, Islam dan Seks , Al-Hidayah: Jakarta, hlm. 7-8
76
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang menyatakan bahwa bahaya tenaga seks lebih besar daripada bahaya tenaga nuklir.
Ini dapat dibuktikan dari catatan resmi Dewan Kesehatan Dunia, bahwa terdapat
Penyimpangan seksual itu bukan hanya dilakukan oleh orang-orang ateis yang
menyangkal wujud Allah dan menentang Hari Kebangkitan, tetapi juga dilakukan oleh
orang beragama, yang menyakini adanya Tuhan dan alam akhirat. Ini disebabkan
agama dan nilai spiritual. Pada masyarakat kota telah tersebar berbagai sarana
Namun demikian, sebagai wacana keislaman yang lebih terkini perlu dilihat
alasan-alasan medis, biologis, psikologis, filosofis, sosiologis, kultural dan tentu saja
mendasarkan secara tekstual kepada nash al-Qur’an, jadi alasan yang digunakan adalah
alasan normatif. Menurut sebagian ahli medis mengatakan bahwa hubungan sesama
jenis secara umum tidak menyebabkan penyakit atau gangguan fisik lainnya.
Perbuatan sodomi atau homoseksualitas tersebut disebabkan karena orang tak takut
Secara filosofis hubungan seksual sesama jenis juga dapat dipahami. Artinya
bahwa homoseksual merupakan sebuah aktivitas kemanusian yang wajar. Karena dalam
83
Ibid., hlm. 49.
84
Murthada Muthahari., 1984, Manusia dan Agama, Mizan: Bandung, hlm. 58
77
Perilaku Homoseksual di Ponpes
kajian filsafat tidak dikenal perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dari sini dapat
dipahami bahwa diskursus homoseksual dan lesbian tidak terkait dengan filsafat.
Hanya saja ketika berbicara tentang filsafat etika tidak disinggung, itupun tidak
signifikan. Karena filsafat etika lebih menekankan pada kajian tentang hakikat
hubungan manusia dengan manusia lain atau manusia dengan dirinya sendiri.
Jika ditinjau dari sudut psikologi, maka kajian tentang homoseksual menjadi
sangat ramai dan menegangkan. Ramai artinya banyak teori yang ada dan pada
terkagum-kagum terhadap fenomena yamg sulit diterima oleh akal. Dalam praktek
antara lain, adanya penjara dan asrama-asrama kaum pria yang terpisah dari kaum
Islam (Indonesia) masih sangat tabu dan bertentangan dengan agama dan bangsa.
Hubungan sosial yang tidak melalui perkawinan dan apalagi sesama jenis merupakan
85
Kartini Kartono., 1989, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual: PT. Mandar Maju:
Bandung, hlm. 248.
78
Perilaku Homoseksual di Ponpes
sebuah perbuatan yang dikutuk oleh masyarakat. Pelakunya layak mendapat hukuman
dari masyarakat.
tidak adanya keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Jika ada di antaranya telah
kawin, akan menyuruh laki-laki yang disukainya untuk menyetubuhi isterinya sendiri
asalkan laki-laki itu bersedia digaulinya secara homoseks. Bila seorang homo telah
berlanjut usia dan tidak sanggup mendatangi laki-laki, dia sendiri yang mengundang
dan membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Akibat dari perilaku ini perempuan
pun merasa tidak puas bersetubuh dengan laki-laki, dan timbullah keinginan mereka
Alasan yang sering dipakai untuk menyatakan pelarangan ini adalah seperti
diungkapkan oleh Dr. Muzammil Siddiqi dari The Islamic Society of North Amerika
moral, sebuah dosa dan korupsi. Orang yang melakukan tindakan ini karena
utama salah satu penyakit yang paling fatal dan berbahaya. Islam mengajarkan laki-laki
86
Hamka., 1979, Tafsir Al-Azhar, Panjimas: Jakarta, hlm. 58
79
Perilaku Homoseksual di Ponpes
seorang homoseksual sangat debatable dalam kacamata Islam. Referensi terbaik tentang
homoseksualitas sebagaimana disebut di atas adalah cerita Nabi Luth, cerita yang
Bahkan menurut beberapa penulis, seperti Scott Siraj al-Haqq Kugle, Omar
Nahas, dan Amreen Jamal, cerita tersebut tidak secara spesifik berkaitan dengan relasi
seksual sesama jenis. Cerita tersebut menurut mereka berkitan dengan kaum yang
dihukum karena melakukan bentuk perilaku seksual yang ilegal, termasuk seks bebas,
pedofilia,89 perlakuan yang tidak baik terhadap tamu dan penyalahgunaan kekuasaan,
Persoalan pelarangan relasi seksual sejenis dalam wacana agama tidak bisa
reproduksi. Hal inilah yang mendominasi wacana Islam dalam seksualitas. Lebih lanjut
masih diperbolehkan termasuk perilaku seksual homoseksual, atau dengan kata lain
87
Moh Yasir Alimi., Op.Cit, hlm xxiii
88
Ibid..
89
Pedofilia adalah gejala rasa tertarik dan mendapatkan kepuasan seksual pada orang dewasa
dengan melakukan persetubuhan dengan anak-anak kecil. Lihat, Kartini Kartono., Op. Cit, hlm. 252-253
90
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. Xxiii-xxiv
80
Perilaku Homoseksual di Ponpes
homoseksualitas pada awalnya diperbolehkan dan belum ada pemahaman tentang zina,
kecuali pada masa tertentu di mana Allah melarang atau mengharamkan perilaku
homoseksual yakni pada masa Nabi Luth. Sedangkan perbuatan zina mulai dilarang
sejak pada masa Nabi Musa. Kemudian ajaran ini yang termasuk dalam kategori ini
diharamkannya zina pada masa Nabi Musa. Selain itu, homoseksual dikategorikan
mulkiyyah), atau mulai adanya kebutuhan untuk mempertahankan ranah kehidupan (al-
tidak bisa dilepaskan dari konsep keluarga. Melalui konsep keluargalah, laki-laki dan
Reproduksi dan regenerasi warga negara inilah yang menjadi alasan diharamkannya
homoseksualitas. Sedangkan konsepsi etika (moralitas) pertama kali lahir pada masa
91
Nabi Nuh. Bahkan Mohammed Jalal Kishk dalam bukunya Muslim Ideas About
hubungan homoseksual. Buku tersebut pada akhirnya dibiarkan beredar setelah dinilai
91
Muhammad Shahrur., 2004, Tirani Islam, LKiS: Jogjakarta, hlm. 25-26.
92
Moh. Yasir Alimi., Op. Cit, hlm. Xxiv-xxv
81
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Ulama-ulama fiqh pun berbeda pendapat soal relasi seksual sejenis. Walaupun
semua sepakat seks sesama jenis tidak bisa diterima secara hukum, namun mereka
berbeda pendapat soal tingkat hukuman yang akan diberikan. Mazhab Hanafi yang
dominan di Asia Timur dan Selatan berpendapat bahwa pada masa sekarang tidak baik
Dalam konteks inilah Nasr Hamid Abu Zaid mengajak umat Islam untuk
memperlakukan wacana agama atau bahkan Al-Qur’an sebagai komponen yang paling
dan heteronormatifitas. Dengan demikian teks agama tidak hanya dilihat sebagai teks
yang berasal dari Tuhan yang tidak bisa dipikir ulang dan ditafsirkan, sehingga
dianggap sebagai teks yang harus diterima sepanjang masa. Keagamaan tidak hanya
terletak pada bunyi tekstual ayat, akan tetapi terletak pada semangat untuk selalu
memperbarui diri dan masyarakat demi terciptanya kehidupan yang adil, sejahtera, dan
setara.94
93
Ibid..
94
Ibid., hlm. Xxix-xxx
82
Perilaku Homoseksual di Ponpes
membicarakan masa lampau, maka yang dimaksud dengan Indonesia adalah budaya-
budaya yang ada di wilayah Indonesia sekarang ini, yang kadang- kadang disebut pula
lesbian atau lesbi. Hal ini perlu disebutkan secara eksplisit, karena seperti nanti akan
Nusantara, dalam budaya tradisional tidak ada kebiasaan mengacu pada identitas
kolonialisme yang masuk ke negeri ini. Discourse seksualitas ini sebagian berasal dari
India dan sebagian lainnya merupakan tradisi atau adat dari suatu masyarakat agraris
kuno. Seksualitas saat itu, terutama di kalangan atas kerajaan, bukan dipandang
sebagai masalah moral tetapi layaknya kebutuhan manusia sehari-hari seperti makan
95
Dede Oetomo, Op. Cit, hlm. 15
96
Onghokham., Op. Cit, hlm. 21
83
Perilaku Homoseksual di Ponpes
ditunjukkan adegan yang serupa, yakni pemujaan pada simbol-simbol seksual dari
Lingga, Yoni, sampai ke penggambaran nyata alat kelamin. Hubungan seksual di zaman
secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan
kemakmuran kerajaan.97
Dengan sendirinya apa yang hidup di keraton sebenarnya juga berakar pada
konsepsi tradisional. Dengan demikian, bahasa dan tingkah laku seksual masyarakat
menutupi makna kesetian para wanita yang “diperisteri”. Namun terlepas dari
keracuan persepsi seperti itu bagi kalangan rakyat bawah unsur seksualitas dipandang
sebagai hal yang lebih bersifat produktif, harus menghasilkan anak. Berlainan dengan
kalangan keraton atau elit yang memandang seksualitas melulu berunsur kenikmatan
97
Ibid
84
Perilaku Homoseksual di Ponpes
ayam”. 98
Identitas seksual atau seks biologis mengacu pada hasil pembagian jenis
kelamin secara kromosomal, kromotinal, gonadal, harmonal dan somatis. Secara lebih
awam, identitas seksual mengacu pada kejantanan dan kebetinaan dari segi ragawi,
khususnya alat kelamin luar. Sebenarnya di sini pun dapat kita amati variasi berbentuk
khas gender tertentu serta peran jenis kelamin di dalam satu budaya dapat saja tidak
sama di dalam budaya lain. Perlu diingat bahwa ada budaya-budaya yang mengakui
adanya lebih dari hanya dua gender. Seperti di Indonesia yang mengakui adanya tiga
identitas gender; laki-laki, waria, dan perempuan. Dengan demikian, maka dapatlah
disimpulkan untuk bagian definisi konsep-konsep ini bahwa seksualitas seseorang pada
dasarnya terdiri dari; (1) identitas seksual (seks biologis)nya, berupa gradasi kejantanan
atau kewanitaan, (2) perilaku (peran) gendernya (baik sebagaimana ditentukan oleh
seksualnya.
tradisional, istilah homoseksual dipakai secara etik (dari sudut pandang ilmuwan,
98
Ibid, hlm. 23
85
Perilaku Homoseksual di Ponpes
peneliti), sedangkan secara emik (dari sudut pandang budaya masyarakat itu sendiri)
belum tentu dikenal sebagai fenomena yang bermakna sama dengan makna yang
tersurat maupun tersirat oleh istilah itu dalam peradaban Barat modern, di mana
homoseksual (etik) belum tentu merasa dirinya homoseks ataupun menganggap apa
yang dilakukannya itu dapat diberi label homoseksual. Salah satu hal yang mungkin
dengan sakralitas pada beberapa budaya tradisional di Nusantara atau bahkan budaya
Bukan hanya di Barat, di Indonesia pun perilaku tersebut ada pada anggota
masyarakat suku-suku besar: Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Bali, Toraja, Dayak dan lain-
lain. Kecenderungan ini pun terjadi pada berbagai kalangan, tidak kurang pada
terjadi dalam masyarakat Madura. Homoseksual di daerah ini biasa dimaknai dengan
kata dalaq. Dalaq diterjemahkan sebagai ‘schand-jogen’ (kata bahasa Belanda untuk objek
perbuatan homoseksual dubur), atau orang Madura mengartikan istilah itu, apabila
dua anak laki-laki berteman secara akrab. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa
hubungan, perbuatan dan identitas homoseks dikenal dalam masyarakat Madura, yang
notabene pemeluk agama Islam yang taat. Apakah hubungan dan perbuatan itu
86
Perilaku Homoseksual di Ponpes
diterima ataukah ditentang oleh masyarakat Madura perlu diadakan penelitian lebih
lanjut terhadapnya.
dengan berbagai macam cara, yang dapat diuraikan dengan tipologi pola sebagai
berikut99:
Dalam pola ini indikatornya adalah adanya istilah yang mengacu pada
hubungan itu dan laporan dari para sarjana Barat. Seperti yang dituturkan oleh
dan remaja, di mana si dewasa disebut induk jawi dan remaja pasangannya disebut anak
jawi. Hubungan lain yang dikaitkan dengan Pondok Pesantren atau surau yang biasa
Jawa. Hubungan mairilan adalah hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya
yang lebih muda; hubungan itu selain mengandung aspek emosional-erotik juga
Hubungan ini lebih menonjol ditemui sebagai sesuatu yang dilembagakan secara
Snouck Hurgronje pada awal abad ke-20 melaporkan bahwa di Aceh ada
hubungan homoseksual yang dilakukan oleh para uleebalang yang sangat menyukai
budak-budak remaja putra Nias, dan para pedagang Aceh yang bermukim di pantai
99
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 30-36
87
Perilaku Homoseksual di Ponpes
timur. Selain itu, perilaku homoseks juga lazim terjadi di Jawa, khususnya daerah Solo-
Yogya, dan di Minangkabau. Laporan serupa juga ditulis oleh Julius Jacobs (seorang
pegawai kesehatan di Banyuwangi yang mewawancarai orang Bali menjelang abad ke-19)
Pemertahanan Sakralitas
warok yang ada di daerah Ponorogo. Mereka melakukannya dengan remaja sesama jenis
Dalam pola ini, orang berperilaku homoseksual karena diberi jabatan sakral,
seperti sebagai perantara dengan dunia arwah. Pola hubungan seperti ini terjadi di
daerah Suku Dayak Ngaju yang dikenal dengan sebutan basir, suku Shaman di Toraja
Pamona dengan sebutan tadu aburake, dan penjaga pusaka istana kerajaan, yang pada
100
Untuk mengetahui tentang tradisi bissu lebih lanjut, baca Srinthil, Media Perempuan
Multikultur, Nomer 5 tahun 2003, yang dicatat oleh Bisri Efendi dan Ijhal Thamaona, yang menganggap
88
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Pola hubungan ini dapat kita jumpai di Pulau Irian (termasuk Papua Nugini).
Mereka melakukan hubungan ini dengan genito-oral dan genito-anal di antara remaja
dan laki-laki dewasa. Alasannya adalah dalam rangka melengkapi dualisme kosmologis
unsur-unsur pria dan wanita, timur-barat, siang malam dan sebagainya. Hal ini terjadi
pada Suku Marind, Anim di pantai selatan Irian Jaya. Sedangkan pada Suku Sambia, di
dataran tinggi Nugini, pola hubungan tersebut dalam rangka membantu pencapaian
maskulinitas melalui inseminasi para remaja putra oleh laki-laki yang lebih dewasa.
Dalam hubungan tersebut yang paling menonjol adalah tidak dilaporkannya hal yang
Pola ini terlihat jelas ketika kita melibatkan pemeran dalam menjalankan
perilaku homoseksual. Seperti halnya Tari Sadati di Aceh yang diiringi oleh puisi
peran jenis kelamin lain yang biasanya juga menjalankan perilaku homoseksual.
Ludruk, Tari Ngremo, dan Tari Bedhaya di Jawa, dan Tari Masri di Makasar. Sehingga
identitas bissu biasa saja dan merupakan ciptaan Tuhan, bahkan mereka percaya bahwa yang
menentukannya menjadi bissu adalah Allah Taala (Islam).
101
Umar Kayam., 1985, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Gramedia: Jakarta, hlm.
23-25
102
Lihat, Helene Bouvier., 2002, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
terj. Rahayu S Hidayat & Jean Couteau, Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’Extreme-Orient, Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hlm. 240-249
89
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dari apa yang terjadi pada masyarakat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa perilaku
sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu sebagaimana yang diuraikan di atas,
sampai sekarang pun masih ada dalam masyarakat tersebut. Sekilas lintas memang
pernyataan seperti itu mudah disangsikan. Karena pengaruh peradaban Barat dan
peringkat formal-rasional, menganggap bahwa gejala semacam itu sudah tidak ada lagi,
dulu pernah ada terhapus oleh modernisasi, atau bahkan tidak mengakuinya sebagai
pernah ada. Bahkan masyarakat Nusantara tradisional yang masih bertumpu pada
budaya tradisionalnya juga enggan untuk mengakui adanya perilaku homoseksual yang
dilembagakan tersebut.103
Hal itu disebabkan oleh perubahan moralitas yang berkaitan dengan perubahan
103
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 36-37
90
Perilaku Homoseksual di Ponpes
melembagakannya menuju sikap dan tindakan (paling tidak pada sebagian masyarakat)
akibat kurang terpengaruhnya oleh modernisasi sejauh ini. Pada klas menengah ke atas,
toleransi ini kiranya dapat dihipotesiskan sebagai terusan dari toleransi yang ada dalam
penyimpangan, penyakit dan sebagainya. Walaupun ada sikap negatif dalam budaya
104
Ibid., hlm 23
105
Ibid., hlm. 39
91
Perilaku Homoseksual di Ponpes
homoseks Indonesia modern tidaklah seberat Barat. Tradisi toleran dari dulu itu masih
tersisa, terutama di kalangan kelas pekerja (bawah) yang belum banyak terkena
modernisasi
pada klas menengah modern, yang dipengaruhi oleh homophobia Barat, dan juga
pengaruh homophobik dari agama Kristen dan Islam yang berkembang di Indonesia.106
Namun juga ada pengaruh lain dari Barat, yakni sikap liberal atau bahkan militan era
gay liberation yang sudah 5-6 tahun terakhir ini menyebar di kalangan terpelajar
Indonesia modern pula. Ada yang mengatakan gay liberation di Indonesia akan lain,
karena kungkungan terhadap orang-orang gay dan lesbian di sini pada peringkat afektif-
perilaku tadi cenderung tidak sekeras di Barat. Pengaruh lain lagi dari Barat adalah
gaya hidup. Tidak kebetulan bahwa di mana-mana istilah gay dan lesbian dipinjam dan
dimasukkan dalam kosa kata bahasa-bahasa setempat. Di Indonesia gaya hidup ini yang
modern. Pada laki-laki gay dikenal beberapa pola hubungan seksnya, pertama, perilaku
oral genital (fellatio), memeluk, dan mencium. Kedua, seks anal (koitus genito-anal) atau
106
Ibid..
92
Perilaku Homoseksual di Ponpes
penetrasi anus, dan ketiga, koitus interfemoral dan gesek-gesek (frottage), dan fisting (di
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) II pada tahun 1993,
untuk merefisi pedoman pada tahun 1985. 108 Lebih lanjut perkembangan kaum
untuk membuat organisasi atau paguyuban. Tanggal 1 Maret 1982 didirikan Lambda
Indonesia (LI) dengan buletinnya G: Gaya Hidup Ceria, yang terbit sampai tahun 1984.
buletinnya Jaka, dan bubar pada tahun 1988. Setelah meluas lingkupnya menjadi
nasional, maka berubah namanya menjadi Indonesia Gay Society (IGS). Lalu
November 1987 muncul pula Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN)
yang ditandai dengan berdirinya Lambda Indonesia, yang mana mulai tahun 2000
107
Homoseksual diakses dari sp18.com 09 Mei 2001. Lihat juga Dede Oetomo., Op. Cit, hlm.
44-45
108
Linda Christanty., Op. Cit, hlm. 44-46
109
Dede Oetomo., Op. Cit, hlm. 45-46
93
Perilaku Homoseksual di Ponpes
telah disepakati oleh kaum homoseksual bahwa tanggal berdirinya Lambda Indonesia
tersebut sebagai hari peringatan pembebasan gay dan lesbian Indonesia. Selain itu, juga
bagian dari kaum homoseksual seperti D O,110 O, dan indonesianis seperti B A, serta
mulai bermunculannya para selebriti yang mengklaim diri mereka sebagai homoseksual
Pergerakan kaum homoseksual ini semakin luas seiring berdirinya beberapa gerakan di
di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Pada tahun 1993, Berdiri organisasi gay
mengklaim diri keanggotaanya 8-10 juta pria di Indonesia, sedangkan yang perempuan
110
Ibid., hlm. Xxxiii-xliv
111
Film pada tahun 2005 ini menggambarkan tentang dilema kaum homoseksual di Indonesia,
baik secara sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Mereka pada satu sisi adalah keluarga yang harmonis,
secara ekonomi berkecukupan bahkan berlebih, dicintai keluarga, sukses dalam segala hal, namun pada
sisi yang lain, mereka sulit untuk menjelaskan bahwa mereka adalah gay, sehingga mereka kebanyakan
lebih memilih untuk diam atau menutup diri bahwa mereka gay dengan berbagai alasan yang mereka
utarakan, meskipun pada akhirnya mereka mengungkapkan kepada semuanya bahwa mereka gay. Satu
hal yang menjadi menarik dalam film ini adalah penerimaan keluarga mereka terhadap anak-anak,
saudara, dan teman-teman mereka bahwa mereka gay dan merupakan bagian dari masyarakat. Sungguh
sebuah cita-cita dari mereka kaum homoseksual untuk diakui atau disamakan hak-haknya dengan kaum
heteroseksual di Indonesia. Mungkinkah?
94
Perilaku Homoseksual di Ponpes
belum ada data yang lebih konkrit. 112 Pada perkembangan yang lain banyak media
massa nasional yang telah memberikan waktu atau ruang untuk konsultasi atau
pengakuan diri bagi kaum homoseksual, sebagaimana yang terlihat dalam harian
telah menjadi sebuah gerakan sosial politik untuk menyamakan haknya dengan kaum
heteroseksual.114
yang pada tanggal 22 Jul. 1996 menjadi partai pertama dalam sejarah Indonesia yang
mencantumkan "hak hak homoseksual dan transeksual" dalam manifestonya. Selain itu,
terjadinya pernikahan kaum homoseksual antara Wim (59 tahun) wartawan NOS
News Television Belanda dengan Philip (37 tahun) warga Jadigan Sewon Bantul
melarang pernikahan sesama jenis), pada tanggal 23 Juli 2004, maka resmilah
pernikahan sesama jenis itu. Kemudian pesta pernikahan tersebut digelar di Indonesia
112
Homoseksual; dari Seniman hingga Menteri, dikutip dari Intisari edisi Januari 2001 dan
diringkas oleh Mila.
113
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang surat-surat dan pemberitaan Kompas tentang
homoseksual, lihat, Moh. Yasir Alimi., Op. Cit.
114
Gerakan sosial politik kaum homoseksual di Indonesia sedang penulis teliti untuk ditulis
dalam rangka penulisan tesis di UIN Suka, dengan objek penelitian GaYa Nusantara di Surabaya.
95
Perilaku Homoseksual di Ponpes
September 2004, dengan dihadiri sekitar 400 tamu undangan. 115 Dari pengalaman
pernikahan sesama jenis tersebut, maka mulai bermunculan para pasangan kaum
homoseksual untuk mengikuti jejak mereka, seperti dr. Mamoto Gultom (41 tahun)
dengan pasangannya Hendy M Sahertian (30 tahun), yang telah bertunangan pada
perkembangannya hampir sama dengan masyarakat Barat, yakni dari keterbukaan pada
masa tradisional menuju ke represif pada masa modern dan kembali lagi kemasa
keterbukaan untuk sekarang ini. Hal ini semakin nyata dengan meratanya tempat
pola pikir homophobia, namun ada secercah harapan bagi kaum homoseksual untuk
minimal diakui eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, sehingga pada
akhirnya mereka pun diakui sebagai bagian yang mempunyai hak sama dengan kaum
115
Erros Jafar, Iblis itu bernama “Homoseksual” Murtadin&Jahiliyah, diakses dari Forum
Swaramuslim. Org, tanggal 23 Desember 2004. Meskipun tulisan ini sangat membenci perlakuan kaum
homoseksual namun ada beberapa tulisan yang tersirat bahwa penulis semakin mengakui akan eksistensi
kaum homoseksual di Indonesia.
116
Diakses dari WWW. Gaya Nusantara. Org, tanggal 25 Juli 2006
96
Perilaku Homoseksual di PonPes
BAB III
dengan penyebaran Islam yang terjadi di bumi Nusantara, sekitar pada abad ke 8 dan
ke 9 Masehi, yang terus berkembang sampai sa'at sekarang ini. Ketahanan yang
zaman, telah menunjukkan bahwa sebagai suatu sistem pendidikan, pondok pesantren
muncul bersamaan dengan awal kehadirannya. Karena dengan keterkaitan misi yang
ini akan menciptakan lembaga ini tumbuh dari bawah, berpijak kepada realitas sosial
masyarakat. Pondok pesantren, dimulai dari para pendirinya (kiai), berkeinginan untuk
pendiri pondok pesantren ini pada awalnya memasuki daerah-daerah yang rawan,
sehingga mereka memerlukan waktu beberapa tahun untuk dapat diterima masyarakat.
1
Abd A'la., 2002, Melampaui Dialog Agama, Kompas: Jakarta, hlm. 114
97
Perilaku Homoseksual di PonPes
kerajaan di mana pendirinya (seorang kiai) dianggap sebagai raja yang mempunyai
kekuasaan dan kewenangan yang absolut. Hal ini terkait dengan kekuasaan dan
kewenangan kiai di dalam pondok pesantrennya yang sangat mutlak, karena santri
menganggap kiai sebagai guru, pemimpin, dan penguasa tunggal di dalam pondok
pesantrennya.3
pondok pesantren tersebut (kiai). Para kiailah yang mempunyai hak akan identitas dan
terhadap semua unsur yang ada di pondok pesantren. Kebijaksanaan para kiai inilah
yang menyebabkan perbedaan antara pondok pesantren yang satu dengan yang lainnya.
Pada bab ini akan dibahas dua model pondok pesantren yang ada di Sumenep serta
2
Taufik Abdullah., 1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES: Jakarta, hlm.
98
3
Zamakhsyari Dhofier., 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet. I,
LP3ES: Jakarta, hlm. 58
98
Perilaku Homoseksual di PonPes
modern, yang pada akhirnya akan mempengaruhi masyarakat. Selain itu, akan dibahas
juga model keseharian para santri di kedua pondok pesantren tersebut, pola
terhadap para santri dan masyarakat, serta sosial budaya, dan keagamaan masyarakat
sekitar pesantren atau yang berada satu desa dengan pesantren. Meskipun penduduk
tersebut bukanlah alumni atau santri dari pesantren, namun sedikit banyak pola
Pada awalnya kiai Syarqawi yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok
berasal dari Kudus Jawa Tengah. Sebelum menetap di Madura, dia telah menuntut
ilmu di Mekkah selama kurang lebih 13 tahun, yakni tahun 1285-1293 H, untuk
dengan kiai Gemma dan istrinya Ny. Khadijah, seorang kiai dan pedagang kaya yang
berasal dari Parendu Madura, yang sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dari
4
Data ini didapat dari berbagai referensi yang telah diterbitkan, dan referensi dari lembaga
pengembangan masyarakat (LPM An-Naqiyah) yang belum diterbitkan, serta wawancara dengan tiga kiai
yang termasuk ponggawa lima An-Naqiyah yakni kiai Subhan, kiai Busiri, dan kiai Riyad serta beberapa
ustadz dan santri mulai tanggal 1 Februari-Mei 2006
99
Perilaku Homoseksual di PonPes
awal perkenalan tersebut kiai Gemma tertarik dan bersimpati terhadap kiai Syarqawi,
yang cukup luas ilmu agamanya dan mampu untuk berdakwah serta mengajarkan ilmu
agamanya kepada orang lain. Bahkan ketika kiai Gemma terserang penyakit berwasiat
kepada kiai Syarqawi, jika suatu sa'at dia meninggal maka hendaknya kiai Syarqawi
bersedia untuk menikahi istrinya dan kembali ke Parendu Madura. Akhirnya ketika
kiai Gemma meninggal dunia, maka kiai Syarqawi memenuhi wasiat tersebut dengan
mengawini Ny. Khadijah dan pada tahun 1875 M pulang ke Parendu. Untuk
mengenang jasa kiai Gemma maka didirikan masjid Jamik Gemma di Parendu sebagai
kurang lebih 14 tahun, yakni tahun 1293-1307 H, sebagai seorang kiai, kiai Syarqawi
Parendu dan sekitarnya, di samping sebagai penghulu di Sumenep. Selain itu, dia juga
dikenal sebagai orang yang mempunyai keahlian ilmu kebatinan yang tak tertandingi.
Hal itu menimbulkan persaingan dan menyulut berbagai intrik dari orang-orang yang
tidak suka kepadanya. Sehingga ketika dia bermaksud untuk melakukan dakwah dan
pengajaran ilmu-ilmu keislaman dengan mendirikan pesantren, dia lebih suka pindah
dari Parendu, yang sebenarnya sangat bagus untuk dakwah, karena daerah tersebut
adalah daerah pesisir dan perdagangan yang cukup ramai, ke daerah pedalaman yang
100
Perilaku Homoseksual di PonPes
berbukit sekitar 8 km sebelah utara Parendu, yakni desa Gilir-gilir,5 apalagi setelah dia
menikah untuk yang kedua kalinya dengan Ny. Qamariyah, seorang gadis desa Gilir-
gilir.
Sejak itu kiai Syarqawi menetap di Gilir-gilir, banyak anggota masyarakat sekitar
berdatangan ke tempatnya untuk belajar ilmu agama dan meminta fatwa. Kiai Syarqawi
pada awalnya hanya mengajar masyarakat sekitar untuk membaca Al-Qur'an serta dasar-
dasar ilmu keislaman di sebuah langgar yang didirikannya, hingga tempat pengajian
tersebut berkembang dengan tinggalnya beberapa santri serta adanya beberapa santri
yang berasal dari mertua kiai Syarqawi di Parendu yang pindah ke Gilir-gilir untuk
belajar ilmu keagamaan ke kiai Syarqawi. Sejak sa'at itu maka didirikan sebuah pondok
pesantren yang diberi nama An-Naqiyah, dengan bentuk beberapa bilik (petak-petak
kamar kecil yang terbuat dari bambu dan dibangun dengan model panggung) yang
tersebut, santri yang mondok sudah lebih dari 100 santri, sedang bilik asramanya
pondok pesantren An-Naqiyah, yakni tahun 1887-1910 M, atau yang lebih dikenal An-
Naqiyah wilayah Lubangsa, maka pondok tersebut lambat laun semakin pesat
5
Bisri Effendy., 1990, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, P3M: Jakarta, hlm. 54-
55
101
Perilaku Homoseksual di PonPes
pesantren tersebut kemudian dilanjutkan oleh kiai Bukhari (putra sulungnya dari istri
pertama) yang dibantu oleh kiai Imam Karay (menantu beliau). Sedang putra-putra
lainnya masih menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa. Pada tahun
1917 pimpinan pesantren diberikan kepada kiai Moh Ilyas Sharqowi (putra sulung dari
istri kedua) setelah beliau pulang dan nyantri di berbagai pesantren di Jawa Timur.
Pada masa kepemimpinan kiai Ilyas yang berlangsung hingga 1959, tercatat
banyak sekali perubahan yang terjadi. Pertambahan tersebut meliputi santri dan sarana
bangunan, pada tahun 1923 kiai Abdullah Sajjad, adik kandung beliau mendirikan
pesantren sendiri dengan nama Latee yang merupakan pembiakan pondok pesantren
An-Naqiyah, 100 meter ke arah timur dari pusat pesantren tersebut. Dengan demikian
pada saat itu pondok pesantren terbagi menjadi dua wilayah yaitu Lubangsa dan Latee.
pendidikan. Selain sistem pengajian sorogan dan weton (non klasikal) yang diterapkan
sejak pesantren berdiri, pada tahun 1933 pondok pesantren An-Naqiyah juga mulai
kiai Khozin Ilyas (putra kiai Ilyas Syarqowi) setelah pulang dari nyantri di pesantren
Tebuireng Jombang. Sejak itu pula berdiri sekolah pertama dengan sistem kelas, yaitu
102
Perilaku Homoseksual di PonPes
Pada tahun 1920 masyarakat yang sebagian besar mengambil jarak dengan pesantren
mulai memudar. Hasil dari perubahan itu bisa dilihat dari animo masyarakat
mengikuti pengajian umum yang dibuka kiai Ilyas dan kiai Abdullah Sajjad. Hal ini
terlihat jelas ketika kiai Sajjad bertempat tinggal di Latee, yang memperlihatkan
kesungguhannya dalam mengadakan pengajian secara rutin tiap minggu, sehingga hal
ini membawa daya tarik masyarakat sekitar yang dari tahun ke tahun mengalami
perkembangan dengan jumlah besar. Hal ini juga terlihat jelas pada tahun 30 an
pengajian tersebut tidak saja diikuti oleh masyarakat sekitar pesantren, tetapi juga
reputasi para kiai yang menjadi pimpinannya, baik sebagai pemimpin pondok
pesantren atau kiai maupun sebagai tokoh masyarakat, hal ini dibuktikan oleh
keaktifan mereka yang tidak hanya di pondok pesantren tapi juga di organisasi
masyarakat keagamaan. Kiai Syarqawi, misalnya aktif di organisasi Syarikat Islam (SI),
bahkan menjadi ketua SI di kabupaten Sumenep. Kiai Ilyas yang dijadikan sebagai
ketua Nahdlatul Ulama' (NU) pertama kali di Kabupaten Sumenep yang berkedudukan
di pondok pesantren An-Naqiyah. Di samping itu, dia juga menjadi ketua Jam'iyah Al-
Washliyah tingkat perwakilan Madura. Selain itu, dalam merebut dan mempertahankan
103
Perilaku Homoseksual di PonPes
kemerdekaan, pada masa pendudukan Jepang, kiai Ilyas membentuk kekuatan fisik
Selain itu, kiai Abdullah Sajjad (adik kiai Ilyas), selain terpilih sebagai kepala
desa Gilir-gilir, juga menjadi Komando Barisan Sabilillah untuk daerah kabupaten
Dan kiai Khazin (putra sulung kiai Ilyas), sebagai penggagas pembaharuan
dia mengikuti latihan kemiliteran oleh PETA di Jawa Barat. Sehingga dalam revolusi
fisik melawan Belanda, dia dipilih untuk menjadi ketua Barisan Pemberontakan
Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo, untuk cabang Sumenep yang
berkedudukan di Parendu. Dia kemudian meninggal dunia pada tahun 1947 setelah
Pada masa revolusi fisik itulah akselerasi pendidikan dan pengajaran di pondok
pesantren An-Naqiyah menjadi terhambat, hal ini disebabkan oleh seluruh sumber
daya pesantren yaitu santri dan kiai berkonsentrasi kepada pertempuran melawan
Belanda, dan pondok pesantren telah berubah menjadi markas tentara serta tempat
Indonesia pada tahun 1950, pondok pesantren An-Naqiyah kembali mulai menata
104
Perilaku Homoseksual di PonPes
berada di tangan kiai Ilyas. Dalam menata kembali pendidikan formal yang ada di
pondok pesantren kiai Ilyas dibantu oleh keponakannya kiai Moh. Mahfudh Hosaini.
dimulai sejak kiai Abdullah Sajjad mendirikan pesantren sendiri yang bernama Latee
pada tahun 1923. Inisiatif ini dilakukan ketika An-Naqiyah daerah Lubangsa yang
didirikan kiai Sharqawi tidak mampu lagi menampung santrinya. Berdirinya daerah
Latee kemudian diikuti oleh berdirinya daerah lainnya. Hingga tahun 1972 An-
Naqiyah sudah terdiri dari lima daerah yang seluruhnya diasuh oleh keturunan dan
menantu kiai Sharqawi. Namun yang menjadi tempat penelitian penulis adalah
pondok pesantren An-Naqiyah daerah Lubangsa dan Latee yang merupakan pusat dari
Seluruh daerah ini mengasuh santri putra dan putri. Untuk menjalankan
6
Federasi ini adalah pembentukan baru Pondok Pesantren, yang mempunyai wilayah dan
kepemimpinan tersendiri, namun tetap di bawah payung pondok pesantren An-Naqiyah.
105
Perilaku Homoseksual di PonPes
Pada tahun ini, luas areal tanah pesantren hanya sekitar 2,5 h.a. Di atasnya
berdiri kurang lebih 150 sarana santri yang hampir keseluruhannya terdiri dari
bangunan kecil terbuat dari bambu, dihuni oleh 981 orang santri yang menetap,
diasuh oleh enam orang kiai dan 44 tenaga pengajar. Terdapat juga 325 santri kalong
yang setiap pagi belajar pada sekolah formal yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyyah dan
Muallimin enam tahun. Santri-santri itu sebagian besar berasal dari beberapa
kabupaten di Jawa Timur yang memang berasal dari keturunan Madura. Selain dari
pendidikan formal tersebut, pengajaran dari sistem lama wetonan dan soroganpun
tetap berjalan seperti biasa. Selain itu, terdapat pola pendidikan keterampilan yang
Pada waktu itu An-Naqiyah memiliki satu masjid dan tiga musholla, dua
gedung madrasah dengan enam ruang sederhana dan juga terdapat sebuah kantor
dengan dua ruang yang digunakan sebagai kantor pesantren, Madrasah Ibtidaiyyah,
Madrasah Muallimin dan sebuah ruang workshop. Selama hampir 30 tahun dari tahun
1950 sampai akhir 1970-an, perjalanan pondok pesantren An-Naqiyah sangat lambat.
Tidak ada perubahan yang signifikan baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya.
Perkembangan An-Naqiyah kembali pesat setelah periode itu hingga tahun 1980-an
daerah yang merupakan bagian integral dari pesantren An-Naqiyah. Daerah-daerah itu
106
Perilaku Homoseksual di PonPes
tumbuh lebih banyak disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap kiai yang
bersangkutan untuk mendirikan pesantren. Hal itu biasanya terjadi setelah kiai
tempat baru itu, secara berangsur-angsur datang masyarakat yang ingin belajar agama
bahkan menetap atau mondok. Pada saat ini An-Naqiyah telah terdiri dari 13 daerah
Dalam 10 tahun terakhir hingga tahun 1999, secara kumulatif dari seluruh
daerah yang ada, An-Naqiyah memiliki sekitar 3.021 santri yang menetap. Mereka
kebanyakan berasal dari Sumenep, dan sebagian kecil dari Jateng, Jatim, Jabar,
Yogyakarta, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Flores. Namun mereka yang berasal dari
luar Madura mempunyai keturunan Madura. Fasilitas yang dimiliki yaitu dua masjid
jamik, sembilan musholla, 525 asrama santri, 19 perkantoran ditambah kantor daerah
masing-masing daerah, 81 ruang kelas, satu unit balai kesehatan dan dua buah gedung
kampus sekolah tinggi lantai dua, 102 kamar mandi dan WC, satu perpustakaaan
fasilitas transportasi, terdapat tiga unit mobil dan empat unit sepeda motor roda dua.
Sarana pendukung lainnya yaitu sembilan unit komputer dan warung telekomunikasi.
7
Daerah-daerah yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah sekarang ini adalah: Daerah
Lubangsa (Putra-Putri) diasuh kiai Abdul Warist Ilyas, Daerah Latee (Putra) diasuh kiai Ahmad Basyir
A.S, Daerah Latee I Putri diasuh kiai Abdul Basith A.S, Daerah Latee II Putri diasuh kiai Ahmad
Basyir A.S, Daerah Dalem Tengah Putri diasuh kiai Waqid Khazin, Daerah Nirmal (Putra-Putri) diasuh
kiai Hanif Hasan, Daerah Lubangsa Selatan (Putra) diasuh kiai Moh. Ishomuddin A.S, Daerah Daduwi
(Putra) diasuh kiai Moh. Sa'di Amir, Daerah Al-Furqan (Putra-Putri) diasuh kiai M. Mahfudh, Daerah
Karang Jati (Putra-Putri) diasuh kiai Abdul Basith Bahar, Daerah Kebun Jeruk (Putra) diasuh kiai Moh.
Waqid Khazin, Daerah Kusuma Bangsa (Putra-Putri) diasuh kiai Ahmad Kurdi.
107
Perilaku Homoseksual di PonPes
An-Naqiyah juga memiliki satu unit koperasi ditambah sembilan toko atau kantin
pesantren daerah. Seluruh sarana itu sebagian besar berasal dari swadaya masyarakat
kelembagaan utama yaitu lembaga pondok pesantren An-Naqiyah dan yayasan An-
Lembaga ini berupa kepengurusan yang terstruktur, terdiri dari majelis pengasuh,
pengurus harian dibantu oleh bidang kesekretariatan atau petugas administrasi yang
pesantren yang berorientasi keluar. Personalia pengurus biro ini tidak harus
Pendidikan Nonkurikuler. Biro ini membawa unit-unit aktivitas santri, seperti program
perpustakaan dan lain-lain. Kemudian terdapat Biro Dana dan Sarana yang menangani
badan-badan usaha lembaga pesantren. Masih ada biro-biro lainnya dalam struktur
sejajar yaitu Biro Kesehatan, Biro Alumni dan Orang Tua Santri, serta Biro Penelitian
dan Pengembangan.
108
Perilaku Homoseksual di PonPes
Pola komunikasi kepengurusan ini sifatnya instruktif, dan kebijakan tertinggi ada
kebijakan-kebijakan itu serta mengatur tata tugas dan penderivisian tugas-tugas itu
kepada dan melalui bagian-bagian di bawahnya, menurut aturan mekanisme kerja yang
telah ditentukan.
Lembaga ini didirikan pada tahun 1984. Pada awalnya alasan pendirian yayasan
tugasnya diperluas meliputi pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selain itu,
yayasan ini juga memiliki unit usaha pertokoan, home industri, peternakan, pertanian
dan perkebunan yang menjadi aset dan sumber penghasilan yayasan. Di samping itu,
dana yayasan juga bersal dari para donatur. Pada tahun bakti 1999, yayasan An-
Naqiyah memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 45. 400. 888,- dari seluruh
usahanya.
Menurut struktur kepengurusan, yayasan ini terdiri dari Dewan Pembina yang
beranggotakan sejumlah kiai. Ketua umum dibantu tiga orang ketua bidang yang
sekretaris dan dua orang bendahara. Sedangkan tiga bagian di bawahnya, meliputi
bagian pendidikan dari TK sampai sekolah tinggi, bagian Tata Usaha dan bagian
usaha. Sedangkan strata paling bawah adalah para perwakilan donatur. Yayasan An-
Naqiyah membawahi lembaga otonom yaitu Biro Pengabdian Masyarakat yang lebih
109
Perilaku Homoseksual di PonPes
dulu berdiri. Biro ini menjadi ujung tombak pengembangan masyarakat yang menjadi
dalam bidang ekonomi masyarakat lapis bawah melalui transformasi sistem pertanian,
serta pola-pola baru yang berkenaan dengan segmen kehidupan ekonomi pedesaan
dari dalam melalui perubahan mental dan perilaku petani ke arah yang lebih progresif
masyarakat.
Jika selama ini pesantren telah melakukan kegiatan dakwah yang bertujuan
memperkokoh keimanan melalui pengajian dan amalan ibadah do'a, namun tidak bisa
diabaikan adalah kondisi lahiriah masyarakat Gilir-gilir yang lebih banyak menderita
kemiskinan dan rendahnya kualitas hidup mereka yang cukup parah. Dakwah tidak
hanya cukup dengan memperkokoh kondisi batin, tetapi juga harus memperbaiki
dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sehingga hal ini juga
110
Perilaku Homoseksual di PonPes
PPA) sebagai ujung tombak pelaksana program ini, An-Naqiyah memulai misi barunya.
BPM-PPA berdiri tahun 1979 setelah setahun sebelumnya seorang kiai muda yaitu kiai
Subhan dan Syafii Anshori seorang santri senior mengikuti Latihan Tenaga
maupun operasional program ini belum banyak dikenal oleh pesantren. Namun,
karena ada persamaan prinsip dan tujuan, di samping saling membutuhkan di antara
kedua pihak, maka kerjasama di antara keduanya justru memperoleh bentuk yang kuat.
besar untuk setiap pinjaman yang diberikan. Meringankan beban petani dengan
pertanian, penerapan teknologi tepat guna dan pengadaan air bersih bekerjasama
8
Selain diikuti oleh pondok pesantren An-Naqiyah dengan utusannya yang terdiri dari kiai
Subhan dan M. Syafi'I Anshori, juga diikuti oleh berbagai utusan di antaranya dari pondok pesantren
Darunnajah (Jakarta), Cipasung (Tasikmalaya), Maslakul Huda (Pati), Pabelan (Magelang), Tebuireng
(Jombang), dan kiai Gholib (Lampung), serta beberapa orang alumni atau mahasiswa IAIN, sebagaimana
yang dikutip oleh Ison Basuni., 1985, "Dakwah Bil Hal Gaya Pesantren", dalam M. Dawam Rahardjo
(edit), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, hlm. 229
111
Perilaku Homoseksual di PonPes
Dari sekian pesantren yang mengirimkan santri ke LTPM itu hanya pondok
pesantren An-Naqiyah yang sampai saat ini masih eksis tanpa sekalipun terhenti dan
Naqiyah khususnya melalui BPM PPAnya seringkali menjadi objek penelitian baik
untuk tugas-tugas akademik maupun non akademik dari mahasiswa atau LSM dalam
3. Peternakan
5. Penanaman modal.
9
Untuk mengetahui hal ini lebih lanjut lihat, Bisry Effendy., Op. Cit, hlm. 65-105
112
Perilaku Homoseksual di PonPes
6. Tambak
Sedangkan usaha pertokoan, terdiri dari tiga unit, yang terdiri dari toko alat-
alat sekolah, toko kain dan konfeksi serta toko kelontong yang menyediakan
oleh ustadz pesantren yang sudah berkeluarga dan anggota masyarakat yang menjadi
binaan pesantren. Sedangkan usaha dalam bentuk jasa adalah berupa jasa angkutan;
dua unit mobil stasion. Yang lain berupa satu unit wartel yang juga terletak di luar
pesantren.
terdiri dari tanaman jagung dan kedelai. Tanaman hortikultura yang terdiri dari
bawang, cabe jamu dan merica di empat desa di kecamatan Gilir-gilir. Sedangkan
perkebunan yaitu kebun mente di dua desa, masing-masing kebun Assalam seluas 20
hektar dan 6 hektar. Dari kebun Assalam tahun 1999 diperoleh pendapatan sebesar
Rp. 3. 668. 350. Di bidang peternakan terdiri dari ternak ayam ras dan buras terdapat
di tiga kecamatan di Sumenep. Yang lain adalah ternak sapi di tiga dusun di kecamatan
Adapun kegiatan home industri masih dalam rintisan sejak didirikannya Pusat
dengan Departemen Perhutanan RI. Jenis produksinya yaitu gula merah (gula siwalan),
jubathe (makanan khas Sumenep yang bahan utamanya adalah gula merah), kripik
singkong dan kripik pisang, rengginang, tape serta emping jagung. Kecuali tape,
113
Perilaku Homoseksual di PonPes
seluruh jenis produksi ini sudah berjalan. Sedangkan produksi tape masih dalam
rintisan.
Yang terakhir adalah penanaman saham atau modal sebanyak tujuh lembar
saham di usaha penggergajian Nahdatut Tujjar, satu lembar saham bernilai Rp.
masing-masing senilai Rp. 15.000. Sedangkan tambak dengan luas satu hektar lebih
senilai Rp. 30 masih dalam rintisan. Selain usaha penanaman modal, seluruhnya
dikerjakan oleh kelompok tani dan pengajian binaan BPM-PPA dengan perjanjian bagi
hasil.
dana setiap tahun dari donatur yayasan. Para donatur terbagi dalam 26 kelompok,
seluruhnya berjumlah 296 orang. Tahun 1999 bantuan dari donatur sebesar Rp. 20.
158.100. Sedangkan bantuan barang, berupa tanah seluruhnya seluas 194,331 M2,
Pasongsongan Sumenep.
beserta kiai atau pengasuhnya masing-masing. Setiap pesantren daerah memiliki kantin
atau toko yang dikelola sendiri di daerahnya masing-masing. Demikian juga unit-unit
114
Perilaku Homoseksual di PonPes
kegiatan santri yang memiliki modal besar membuka usaha sendiri, yang rata-rata
berupa kantin makanan. Seluruh usaha ini terletak dalam areal pesantren.
kabupaten Sumenep bisa dilalui dengan dua jalur. Jalur selatan, adalah jalur yang
melewati desa Parendu dengan jarak tempuh kurang lebih 38 km. Yang kedua jalur
timur, jalur yang melewati desa Ganding dengan jarak tempuh kurang lebih 24 Km.
kebebasan perilaku mereka, kebersamaan sesama santri dan juga keterbukaan di dalam
interkasi sesama santri. Hal ini terlihat dari segala bentuk kegiatan atau peraturan yang
ada di pondok pesantren An-Naqiyah yang tidak tersusun secara resmi atau disusun
secara resmi. Kecuali kehidupan ritualitas ibadah para santri, yang diwajibkan untuk
dilaksanakan setiap harinya. Seperti melakukan sholat wajib lima waktu sesuai dengan
kebiasaan untuk menggunakan milik santri lainnya sesuai dengan keinginannya. Setiap
santri menganggap barang atau benda adalah milik bersama dan penggunaannyapun
115
Perilaku Homoseksual di PonPes
keroyokan,10 bahkan hak milik pakaian, ataupun celana dalam mereka. Bila barang itu
dibutuhkan oleh seorang santri maka langsung dipakai dengan atau tidak peduli siapa
pemilik barang tersebut. Kebiasaan tersebut bukan hanya untuk pakaian, sandal,
handuk, sarung, celana dalam, dan lain sebagainya namun berlaku juga pada makanan.
Jika seorang santri masuk ke dalam kamar orang lain dan melihat makanan maka
santri tersebut akan memakannya tanpa mengetahui siapa pemilik makanan tersebut.
Bahkan ketika seorang santri baru dikirim oleh orang tuanya maka berbondong-
bondong mereka memakannya sampai habis, dan kalau tidak diberi maka makanan
tersebut akan dicuri atau diberi minyak tanah oleh santri lainnya.11
sebelum santri itu masuk ke pondok pesantren. Karena budaya tersebut telah mereka
ketahui dari orang tua mereka, kakak mereka atau keluarga mereka yang telah mondok
sebelumnya. Hal ini diakui oleh kiai Subhan bahwa kebebasan yang telah dilakukan
para santri akan menuntun mereka untuk mempunyai sikap kebersamaan dan
aktivitasnya. Seperti, setiap pagi sebagian santri sekolah namun banyak di antara
mereka yang dengan seenaknya tidak sekolah dan mengobrol di depan kamar mereka
10
Sebagaimana yang diperlihatkan juga oleh tulisan Zubaidi Habibullah Asy'ari., 1996,
Moralitas Pendidikan Pesantren, LKPSM: Yogyakarta, hlm. 55-64
11
Wawancara dengan Fathur, santri baru di An-Naqiyah tanggal 26 Januari 2006.
12
Wawancara kiai Subhan, salah satu pengasuh pondok pesantren An-Naqiyah tanggal 24
Januari 2006
116
Perilaku Homoseksual di PonPes
atau di masjid. Hal ini berbeda jika ada santri yang tidak berjama'ah maka mereka akan
diberi sanksi atau dilaporkan kepada kiai. Atau jika santri tersebut tidak mengikuti
pengajian kitab kuning setiap habis sholat Ashar dan sebelum jam sekolah pagi, maka
mereka akan dipanggil oleh kiai dan diberi peringatan. Hukuman seperti inilah yang
lebih memberatkan ketimbang hukuman yang berbentuk fisik. Karena mereka sangat
takut dan sungkan ketika bertemu kiai bahkan untuk lewat di depannyapun mereka
tidak berani. Seperti ketika kiai lewat di depan mereka maka dengan segera mereka
akan menundukkan badan dan kepala atau menghindar bila dikira masih
memungkinkan.
untuk memilih kamar yang mereka sukai, bahkan untuk seterusnya sampai santri
tersebut lulus. Sehingga setiap kamar biasanya ditempati oleh 30-40 santri. Hal ini
menyebabkan mereka malas untuk berada di kamar dan tidur di dalamnya. Seringkali
para santri tidur di depan kamar mereka atau bahkan tidur di masjid dengan hanya
menggunakan sarung dengan kopyah hitamnya kecuali pada pagi hari bagi santri yang
sekolah. Selain itu, para santri banyak yang tidak memakai celana dalam ketika
bersarung dalam kegiatan kesehariannya. Karena seringnya hilang celana dalam mereka
dan juga karena malas mencuci. Sehingga sering muncul guyonan di antara para santri
tentang besar kecilnya alat kelamin mereka. Hal ini juga dikarenakan kebiasaan mereka
117
Perilaku Homoseksual di PonPes
mandi bersama dengan telanjang bulat. Hal ini memungkinkan karena kamar mandi
yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah tidak sebanding dengan jumlah santri
kakak kelas senior kepada yuniornya untuk berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Sehingga sangat sulit untuk melacak mulai kapan tradisi tersebut muncul.
Sejak berdiri pada tahun 1887, sistem pendidikan yang dipergunakan oleh
pondok pesantren An-Naqiyah adalah sistem halaqoh dengan watonannya14 dan sistem
sorogan.15 Sedangkan perubahan pada sistem klasikal atau madrasi diselenggarakan sejak
tahun 1993. Sistem ini dipelopori oleh kiai Khazin Ilyas, setelah beliau menamatkan
studinya di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Pada saat itu beliau mendirikan
madrasah (sekolah agama Islam) secara sederhana, dan sekarang mencapai 3 kelas yang
13
Pola pendidikan pondok pesantren tradisional atau salaf adalah seputar orientasi
keilmuannya yang hanya sebatas atau terbatas kepada ilmu-ilmu agama, meskipun sudah mulai ada mata
pelajaran yang sifatnya umum. Abdurrahman Mas'ud., 2003, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama
Media: Yogyakarta, hlm. 244
14
Metode halaqah atau wetonan adalah pola pengajaran yang mengajarkan santri secara
keseluruhan yang biasanya para santri akan membentuk melingkari kiainya. Hasbullah., 1999, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 145
15
Sorogan adalah sistem pengajaran yang mengajarkan dengan per-seorangan, yakni setiap santri
mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai atau para santri
membacakan dan menghafalkan pelajaran kitab kuning yang sudah diajarkan oleh kiainya. Ibid..
118
Perilaku Homoseksual di PonPes
formal . Dengan demikian, maka pada tahun 1951 didirikan madrasah Tsanawiyah.
Tsanawiyah diubah menjadi Madrasah Muallimin (IV tahun), kemudian pada tahun
dengan SMP)dan Madrasah Aliyah (sederajat dengan SMU), sehingga pada tahun
tersebut ada tiga lembaga tingkatan Madrasah An-Naqiyah, yaitu MI, MTs, dan MA.
tanggal 13 Oktober 1984 didirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan
fakultas syariah. Baru pada 5 September 1986, PTAI diubah menjadi STISA (Sekolah
pesantren An-Naqiyah menambah satu fakultas yaitu fakultas tarbiyah dengan nama
STITA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah An-Naqiyah) dan pada tahun 1996 STISA dan
STITA dijadikan satu sekolah tinggi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STIKA)
Pada tahun 1986, semakin lengkaplah jenjang pendidikan yang ada di pondok
dengan bekerjasama dengan PKBI dan Japan Internasional Exchange of Culture (JIEC).
Dari semua jenjang pendidikan formal yang ada di An-Naqiyah, sebagian besar
119
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang sifatnya mata pelajaran umum yang menggunakan kurikulum Depag, sedangkan
ada juga yang secara formal langsung berkiblat pada kurikulum Depag.
dipadukan dengan pola dan metode modern yang dianggap masih relevan dan pada
Pondok Pesantren An-Naqiyah sekarang ini mendidik sekitar 6.610 santri atau
siswa dengan dibantu 398 guru atau ustadz ustadzah, di samping itu juga dibantu oleh
Naqiyah terus mengembangkan tradisi pendidikan wetonan dan sorogan pada jam-jam di
luar pendidikan formal, yaitu dengan pengajian kitab-kitab kuning klasikal. Bidang-
bidang kajiannyapun terbatas pada materi keagamaan seperti, kajian tafsir, hadist, fiqh,
akhlaq, tasawuf dan ilmu alat, seperti nahwu dan ilmu sharaaf. Hal ini juga didukung
dengan kegiatan pengkajian keagamaan dengan bahtsul masail (kajian masalah hukum
keagamaan) yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan oleh pondok pesantren.
120
Perilaku Homoseksual di PonPes
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada sore hari hari atau pagi hari (sebelum
jam sekolah) oleh sebagian santri mukim (yang menetap di pondok pesantren) di
samping para santri yang kalong (tidak menetap di pondok pesantren). Selain
yang dilaksanakan pada malam hari (dari ba'da Maghrib sampai dengan jam 20.30 WIB)
baik pengelolaan sampai dengan kurikulum yang dipakai. Sehingga kurikulum yang
dipakai mempergunakan kurikulum yang dibuat sendiri oleh pondok pesantren An-
Naqiyah dengan materi pelajaran khusus keagamaan. Sedangkan tingkatan yang ada
selama ini terdiri dari tingkat, yaitu awaliyah atau dasar (6 tingkat kelas) dan tingkat
121
Perilaku Homoseksual di PonPes
Hal ini sebenarnya berangkat dari upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan
1. Kepramukaan
dari kiai Amir Ilyas pada tahun 1984. Secara historis gerakan pramuka merupakan
suatu fenomena yang universal, di mana pramuka selalu menjadi faktor dominan
perubahan.
pesantren An-Naqiyah merupakan suatu alat pendidikan non formal dari kegiatan yang
dilaksanakan setiap minggu. Dengan diisi kegiatan kreatif, inovatif, atraktif, produktif
Sedangkan data jumlah anggota yang ada selama ini adalah 216 santri anggota
tetap, yang terdiri dari penggalang putra 80, santri putra (8 regu / 2 pasukan), penegak
putra 40, santri (4 sangga / 1 Ambalan) serta 25 orang pembina putera (2 mahir dan
122
Perilaku Homoseksual di PonPes
Historis berdirinya lembaga bahasa Arab ini berawal dari signifikannya bahasa
di An-Naqiyah dirintis mulai pada era 1970-an yaitu mulai keikutsertaan pengasuh
pondok pesantren An-Naqiyah (di antaranya kiai Subhan dan kiai Wardi) pada
penataran bahasa Arab yang diadakan di masjid Al-Falah Surabaya, sehingga anggota
dari pengembangan bahasa Arab tersebut masih terbatas kepada para masyakhih dengan
yang dilaksanakan dalam bentuk pola pengembangan yang lebih terorganisir dengan
nama "Markaz Dirosah Allugah Al-Arabiyah". Sedangkan materi yang diberikan adalah
kursus yang dilaksanakan setiap minggu dengan empat kali pertemuan serta juga
pesantren An-Naqiyah.
yang signifikan, sehingga sekitar tahun 1953 beberapa pengasuh mulai belajar bahasa
Naqiyah semakin kuat, pada tahun 1980-an pondok pesantren An-Naqiyah melakukan
kerjasama dengan The Asia Foundation dan Volunters in Asia (VIA). Dengan
123
Perilaku Homoseksual di PonPes
bantuan tenaga pengajar asing pertama, yaitu Thomas Hutchin untuk mengajar selama
4 tahun (1983-1987).
Kemudian secara berkala sampai dengan tahun 1995, pondok pesantren An-
Naqiyah menerima 5 orang tenaga pengajar (Miss Diance, Refael Reyse, Robert
Bedecker, Brian Harmon dan Jeffry Robert Anderson). Native Speaker pertama
(Thomas Hutcin) sempat menyusun buku Kamus dan Tata Bahasa (2 jilid) serta buku
bahasa Inggris untuk pemula yang sampai saat ini masih dipergunakan untuk
sekarang sudah mencapai 8 angkatan dengan materi yang diberikan berupa: Speaking-
Teknologi informatika telah menuntut banyak perhatian yang lebih besar dari
setiap generasi ke generasi, dan berangkat dari hal tersebut santri An-Naqiyah yang nota
bene merupakan salah satu faktor penentu di era globalisasi juga dituntut untuk bisa
Dengan semakin pesatnya perhatian santri untuk bisa ikut dalam kursus ini
semakin menjadi indikasi bahwa setiap santri sudah siap menghadapi dunia baru di
abad XXI. Oleh karena itu pada tahun 1994 dibukalah kursus komputer bagi santri
124
Perilaku Homoseksual di PonPes
salah satu seorang native speaker bahasa Inggris, yaitu Thomas Hutcin pada tahun 1984.
keberadaan Kursus Mengetik Dasar ini bagi santri dengan melakukan kerjasama
Secara inherent tujuan kerja Kursus Mengetik Dasar ini adalah pemberdayaan
skill manajerial dan administrasi yang nantinya dapat mengarahkan santri untuk
tenaga pembimbing Kursus Mengetik Dasar ini berasal dari santri pondok pesantren
6. Tailor
membuka usaha tailor untuk pesanan. Potensi ini merupakan langkah dari usaha
menyalurkan skill yang dimiliki. Kendati ada bebarapa hambatan, hal ini disebabkan
karena adanya keterbatasan sarana dan prasarana, tetapi kegiatan ini mulai meng-cover
7. Fotografi
125
Perilaku Homoseksual di PonPes
tahunnya tidak berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan masalah perlengkapan
lembaga fotografi ini lebih banyak pada santri yang berdomisili di pondok pesantren
An-Naqiyah atau juga sebagian masyarakat yang ada di sekitar pondok pesantren An-
8. Jamiyatul Qura'
pesantren An-Naqiyah. Sebab dengan adanya ini, sangat dimungkinkan sekali bahwa
santri yang mempunyai keterampilan olah vokal dalam tilawatil Qur'an dapat melatih
suara dan seni membaca di jamiyatul qura'. Jamiyatul qura' ini mula-mula dirintis oleh
kiai Amir Ilyas pada tahun 1981. Sedangkan instruktur yang melatih para santri adalah
ustadz Mudda'ei (Qori' terbaik nasional MTQ 1998) dibantu para pembimbing lainnya,
9. Sanggar Seni
Potensi seni di kalangan santri juga menjadi perhatian dari pengurus pondok
pesantren An-Naqiyah. Hal ini terbukti dengan munculnya sanggar-sanggar seni, yang
selama 5 tahun terakhir sudah berjumlah 6 sanggar seni yang berbeda antara santri
putra dan putri. Di antara sanggar-sanggar seni yang ada selama ini adalah sanggar
Kreasi Seni Islami (SaKSI- putra), sanggar Andalas (putra), sanggar Nurani (putra),
sanggar Al-Zalzalah (putri), sanggar "Pajjer Laggu" (putri) dan sanggar Jejak (putri).
126
Perilaku Homoseksual di PonPes
Jika kita sempat mondok dan menjadi santri di pondok pesantren salaf atau
tradisional, maka kita akan dapat melihat pola kepemimpinan kiai terhadap santri-
santrinya. Sebagaimana komunitas feodal (keraton), para santri sangat takut jika
berhadapan dengan kiai. Jangankan untuk duduk bersama atau berdampingan ketika
dalam satu forum, berpapasan saja para santri sudah pergi untuk menghindar. Selain
itu, para santri juga tidak berani untuk menatap wajah kiainya. Karena menurut
Ketakutan ini terlihat jelas ketika ada pengajian kitab kuning, di sa'at kiai
mengajar para santri hanya mendengarkan secara khusuk dan serius. Suasana
pengajaran kitab kuning ini diwarnai oleh pola satu arah, kiai membacakan dan
menerangkan kitab yang diajarkan sedangkan santri hanya mencatat. Sehingga tidak
ada interaksi dialogis antara kiai dan santri tentang isi yang diajarkan oleh kitab kuning
tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Michael Foucault tentang
discourse yang membentuk pembelajaran dan bahkan justifikasi akan suatu wacana
dengan pola pembelajaran kitab yang sangat mendukung tentang wacana keta'atan dan
16
Hal ini diungkapkan juga dengan sangat baik oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari., Op. Cit, hlm.
31-45
127
Perilaku Homoseksual di PonPes
ketakutan santri terhadap kiainya bahkan terhadap tujuh keturunannya dan binatang
dikedepankan dengan sistem kepemimpinan ponggawa limanya yakni lima kiai senior,
anak atau penerus dari para pendiri pondok pesantren An-Naqiyah. Kiai ponggawa lima
akan arah pondok pesantren. Meskipun terdapat gap atau perbedaan kebijaksanaan
antara kiai yang jadi pemimpin di pondok pesantren tersebut.17 Kiai ponggawa lima
tersebut adalah kiai Subhan, kiai Busiri, kiai Hafidz, kiai Riyad, dan kiai Hamid.
Selain faktor discourse yang membentuk kepatuhan santri terhadap kiai, faktor
sosio-psikologi juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan. Hal ini nampak dari
pola komunikasi antara kiai dengan santri. Karena kiai dipercaya sebagai orang yang
mempunyai segala kelebihan, baik dari segi ilmu pengetahuan keagamaannya, ilmu
kebatinannya, dan kharisma pancaran Ilahinya, sehingga para santri menganggap diri
mereka sebagai orang yang tidak mepunyai kelebihan apa-apa dibandingkan kelebihan
kiai. Sehingga dengan pengaruh tersebut akan terlihat dalam bentuk tingkah laku,
aktivitas, perbuatan, dan kerja yang dilakukan oleh santri. Yakni tingkah laku yang
17
Wawancara dengan kiai Subhan, kiai Busiri, kiai Riyad tiga dari kiai ponggawa lima yang ada
di pondok pesantren An-Naqiyah antara tanggal 20 Januari-15 April 2006. Terutama tentang kebijakan
para kiai terhadap sistem pendidikan pesantrennya, yakni mulai malasnya para kiai untuk
mengedepankan program pendidikan santrinya di pondok pesantren An-Naqiyah. Hal ini disebabkan
oleh kesibukan para kiai untuk terjun ke dalam politik praktis. Sehingga sistem pendidikan yang ada di
pondok pesantren tidak mengalami kemajuan yang berarti bahkan bisa dibilang stagnan.
128
Perilaku Homoseksual di PonPes
menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Namun hubungan antara kiai dan
santrinya dengan kharisma kiai yang begitu tinggi pada akhirnya akan menguatkan
budaya subordinasi dalam masyarakat. Hubungan ini akan terus berlangsung meskipun
santri tersebut telah menjadi masyarakat. Hubungan ini semakin erat seiring kebiasaan
santri untuk mengunjungi kiainya setiap sa’at dan rutin tiap tahun. Kunjungan rutin
ini tidak akan berhenti meskipun kiai tersebut telah meninggal dan digantikan oleh
anaknya, karena menurut mereka kiai dan anaknya sama saja. Bahkan ketika anak kiai
tersebut telah menjadi kiai di pondok pesantrennya maka alumni tersebut akan
Selain itu, hubungan kiai dan santri semakin kuat seiring dengan pengadaan
ritual keagamaan yang dilakukan oleh kiai dan dihadiri oleh para santri dan alumni-
alumni pondok pesantrennya. Ritual ini biasanya berbentuk ritual keagamaan yang
sifatnya berkala dan dengan waktu yang tetap. Seperti, pengadaan ritual keagamaan
haul, yakni peringatan tahunan kematian pengasuh atau pendiri pondok pesantren.
Hal ini terkait erat dengan mengapa seseorang disebut sebagai kiai, karena
pengangkatan seorang kiai menurut Karel A Steenbrink,18 disebut seorang kiai karena
18
Karel A Steenbrink., 1986, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES: Jakarta, sebagaimana yang
dikutip oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari., Op. Cit, hlm. 40
129
Perilaku Homoseksual di PonPes
ia telah diterima oleh masyarakat sebagai kiai, meskipun tidak ada kriteria formal
untuk menjadi kiai, seperti ijazah, pendidikan atau yang lainnya. Sedangkan Abu
ketentuan bahwa untuk menjadi seorang kiai adalah; keturunan kiai, pengetahuan
agamanya dan kesalehannya, dan jumlah muridnya, semakin banyak jumlah santrinya
para pendiri desa yang kemudian menjadikannya sebagai tokoh masyarakat bahkan
sebagai penyebar agama Islam yang seringkali disebut sebagai kiai. Kemudian beralih
seiring perkembangan zaman. Hal ini nampak pada kepemimpinan desa yang ada di
blater. Persoalan keamanan desa menjadi faktor penentu keberhasilan blater menjadi
pemimpin desa. Meskipun mereka masih meminta restu dan do'a dari kiai.
menghargai kiai dengan kharismanya yang masih sangat tinggi dan banyak
19
Abu Bakar., 1957, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, tnp: Jakarta,
sebagaimana yang dikutip oleh Zubaidi Habibullah Asy'ari, Loc.Cit.
130
Perilaku Homoseksual di PonPes
Hal ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang menyekolahkan anak-anaknya di
mereka di pesantrennya lebih dianggap sebagai upaya para kiai untuk mempertahankan
posisinya dalam stratifikasi sosial masyarakat. Karena satu-satunya media para kiai atau
sumber nilai yang ada pada diri kiai adalah penguasaan agamanya, yang terlihat dari
besar tidaknya pesantren yang dipimpinnya. Semakin besar pesantren tersebut maka
semakin kuat dominasi dan kekuasaan serta kharisma yang ada pada diri kiai tersebut.
Hal ini terlihat dari statistik jumlah murid yang ada di sekolah-sekolah umum. Sekolah
Dasar Negeri (SDN 6 sekolah), muridnya berjumlah 600 murid, Sekolah Menengah
Menengah Atas tidak ada di desa Gilir-gilir. Bandingkan dengan sekolah-sekolah yang
Tsanawiyah (MTs 3 sekolah), muridnya sebanyak 1605 murid, dan Madrasah Aliyah
berbasis Islam, dan mereka adalah pemimpin partai tersebut. Masyumi, partai yang
berbasis Islam pada masa Orde Lama menjadi partai yang paling banyak mempunyai
20
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Guluk-Guluk Dalam Angka 2004,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 15-19
131
Perilaku Homoseksual di PonPes
Jikalau partai-partai Islam sa'at ini bersatu maka umat Islam akan menang dalam setiap
pemilu.
yakni kiai yang memimpin Partai NU tersebut. Pada masa Orde Baru, seiring dengan
kebijakan pemerintah yang meleburkan partai-partai Islam menjadi satu partai, yakni
kepada partai-partai Islam yang dipimpin oleh kiai mereka. Namun dengan mulai
pudarnya orientasi politik kiai dan masyarakat NU, dan diperparah lagi dengan
memilih partai selain PPP, bahkan mereka dianjurkan untuk memilih partai lainnya
terutama Golkar.
Sosialisasi pasca khittah 26 tersebut, banyak para kiai yang menyatakan keluar
Kondisi ini telah menjadikan warga masyarakat Gilir-gilir menjadi massa mengambang
21
Wawancara dengan Malik, tokoh masyarakat Gilir-gilir, tanggal 5 Januari 2006.
132
Perilaku Homoseksual di PonPes
masyarakat. Jika semula masyarakat Islam memperjuangkan Islam melalui partai politik
berbasis Islam kini bergeser kearah perjuangan kultural. Sebagaimana yang dijadikan
pedoman oleh NU, "NU tidak kemana-man, tetapi ada di mana-mana". Seiring dengan
kebijakan tersebut, maka pada masa Orde Baru masyarakat Gilir-gilir lebih memilih ke
partai pemerintah yakni Golkar, yang relatif lebih memungkinkan ketimbang PDI.22
Dalam era pasca kejatuhan pemerintahan Orde Baru, munculnya era Reformasi
kembali partai politik yang sebelumnya dilarang oleh pemerintahan Orde Baru.
politik tersebut, di desa Gilir-gilir juga bermunculan banyak partai politik sebagai
bentuk dari bergulirnya wacana reformasi, terutama partai-partai politik yang berbasis
massa besar, seperti PKB, PDIP, PAN, Partai Golkar, PPP, dan lain sebagainya. Dari
berbagai partai politik besar tersebut hampir semuanya pemimpinnya adalah kiai,
kecuali PDIP yang dipimpin tokoh masyarakat lainnya. 24 Dengan demikian terdapat
133
Perilaku Homoseksual di PonPes
antaranya larangan atau bahkan diharamkan terhadap para santri dan keluarganya
untuk memilih partai politik di luar kepemimpinannya atau di luar keinginannya. Hal
inilah yang memperparah citra kiai yang berpolitik di daerah Gilir-gilir. Sebagaimana
yang diketemukan oleh Lembaga Hukum dan Hak Azasi Manusia (Lakumham) DPC
Hal ini terlihat dari hasil pemilihan umum pada tahun 2004, di desa Gilir-gilir
partai pemenangnya adalah PKB mencapai 9.345 suara, PPP 9.240 suara, PDIP 6.756
suara, Partai Golkar 6.509 suara, dan PAN mencapai 4.504 suara.26
terbesar yang mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sehingga dapat menguasai
mayoritas kursi di DPRD, yakni PKB (20 kursi), PPP (7 kursi), Partai Golkar (6 kursi),
PAN (4 kursi), PDIP (2 kursi), dan sisanya adalah PKS, PAR, PNU, PBR, dan PKPI
mulai menggeser suara PKB yang pada pemilihan umum 1999 mendapat 25 kursi di
DPRD. Kharisma Abdurrahman Wahid dan kiai lokal di antaranya ketua dewan syuro
DPC PKB Sumenep (salah satu pemimpin di pondok pesantren An-Naqiyah) telah
25
Jawa Pos, Kamis 9 Maret 2006
26
Monografi Kecamatan Guluk-guluk tahun 2005, hlm. 27
27
Kabupaten Sumenep Dalam Angka, Sumenep Regency in Figure, tahun 2004, hlm. 13-14
134
Perilaku Homoseksual di PonPes
mampu mengontol perolehan suara PKB untuk tetap menjadi mayoritas di Gilir-gilir
dan Sumenep secara keseluruhan. Meskipun demikian, dengan kembalinya salah satu
kiai kharismatik lokal lainnya untuk memimpin PPP (salah satu pemimpin di pondok
keberagamaan mereka yang cukup kuat adalah kebiasaan beristri lebih dari satu
(poligami). Meskipun kiai di An-Naqiyah tidak berpoligami, namun ada beberapa kiai
di desa Gilir-gilir yang berperilaku poligami. Tradisi poligami ini selain menampakkan
keagamaan, yang memperbolehkan menikah lebih dari satu, bahkan sampai empat.28
Namun tidak semua kiai melakukan praktek poligami, terutama kiai langgar, tidak ada
yang melakukan poligami. Hanya mereka kiai yang memiliki kharisma cukup kuat di
dalam masyarakat, dan memiliki kekayaan yang cukup memadai. Selain itu, kuatnya
pengaruh kiai dalam masyarakat juga nampak dari tidak akan dinikahi para janda-janda
yang telah diceraikan oleh para kiai. Kecuali oleh kiai lainnya dan secara hirarki lebih
tinggi ketimbang kiai yang menceraikannya. Hal ini memperlihatkan bahwa kiai
28
Penafsiran keagamaan terhadap kitab suci Al-Qur'an yang ada di surat An-Nisa' ayat: 14, telah
memberikan tekanan akan pentingnya bersikap adil pada pelaku poligami, yang dalam banyak
prakteknya seringkali diselewengkan. Yang terlihat pada perilaku poligami kiai hanyalah kepentingan
biologisnya dan kepentingan politiknya daripada kepentingan sosial untuk melindungi harga diri
perempuan. Kenyataan ini semakin diperkuat oleh semakin muda istrinya akan semakin muda usianya,
dan masih perawan. Padahal poligami Nabi Muhammad mengandung unsur semangat perlindungan
dan jaminan keadilan serta rasa aman. Lihat Nasaruddin Umar., 1999, Argumen Kesetaraan Jender,
Paramadina: Jakarta.
135
Perilaku Homoseksual di PonPes
dianalogikan sebagaimana mantan istri Nabi Muhammad yang tidak pernah dinikahi
Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh kantor statistik Sumenep, jumlah
penduduk desa Gilir-gilir pada tahun 2004 adalah 15,372 jiwa yang melingkupi 3,789
rumah tangga, yang tersebar di tiga puluh RT dan delapan RW. Dengan luas wilayah
14,88 km², maka kepadatan penduduk di desa Gilir-gilir mencapai 1.033,06 jiwa/km².
Desa Gilir-gilir merupakan desa terpadat yang ada di kecamatan Gilir-gilir. Jumlah
penduduk di desa Gilir-gilir mengalami peningkatan kurang lebih 5,69% dari tahun
2000 ke tahun 2004. Akibat tingkat kepadatan yang begitu tinggi serta keadaan tanah
yang tidak begitu subur, maka menyebabkan kondisi ekonomi masyarakat di desa Gilir-
yang mencakup sebanyak 2.014 keluarga, perkebunan yang mencakup 2.029 keluarga,
ataupun peternakan yang mencapai sekitar 254 keluarga, sedangkan industri yang ada
di desa Gilir-gilir hanya meliputi industri kecil sebanyak 21 keluarga dan industri
rumah tangga sebanyak 33 keluarga, dari segi perdagangan sebanyak 124 pedagang.
yakni sebanyak 971 keluarga, yang sejahtera I sebanyak 2 keluarga, sedangkan yang
sejahtera II hanya sebanyak 478 keluarga. Hal ini disebabkan oleh mayoritas penduduk
di desa Gilir-gilir yang bekerja dalam bidang usaha pertanian, peternakan, meskipun
136
Perilaku Homoseksual di PonPes
tanahnya lebih subur daripada desa Parendu. Meskipun tanahnya relatif subur namun
didominasi oleh sawah tadah hujan, dan tanaman tembakau merupakan mata
penduduknya untuk mencari kerja atau nafkah ke luar pulau Madura, baik ke Jawa
ataupun ke luar negeri.29 Masyarakat desa Gilir-gilir tidak hanya merantau ke pulau lain
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Hongkong. Arab Saudi menjadi pilihan utama
mereka karena sambil mencari nafkah mereka juga bisa menjadi atau menunaikan
ibadah haji, sesuatu yang menjadi dambaan setiap umat Islam masyarakat Gilir-gilir.
Selain itu, masyarakat desa Gilir-gilir lebih terbuka terhadap para pendatang baru
maka sifat ulet, pekerja keras, dan tidak pernah pilih-pilih pekerjaan merupakan bagian
dari etos kerja mereka, yang mempunyai semboyan "abhenthal ombhe' asapo' angin"
(berbantalkan ombak berselimutkan angin), yang merupakan spirit kerja mereka yang
tidak hanya terbatas pada etos kerja kelautan saja tapi juga pada energisitas kehidupan
29
Secara historis masyarakat desa Gilir-gilir dan desa Parendu (baca: Madura) yang merantau
sudah berlangsung sejak penjajahan Belanda. Pada awalnya mereka datang ke wilayah Karesidenan
Besuki Jawa Timur, sekitar pertengahan abad ke XIX, yang berkaitan sangat erat dengan "ondernening
partikelir" , Suroso., 1996, "Orang Madura dan Kewiraswastaan", dalam Aswab Mahasin (edit), Ruh Islam
Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Yayasan Festifal Istiqlal: Jakarta, hlm. 278
137
Perilaku Homoseksual di PonPes
masyarakat. Kerja keras tersebut sudah mulai awal menjadi prinsip dasar masyarakat
desa Gilir-gilir dan Parendu untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya.
Selain itu, hemat dan halal juga termasuk dalam prinsip kerja masyarakatnya, meski
sebagian ada yang didapat dari hasil pekerjaan yang tidak halal.30 Seiring dengan hal
tersebut, maka masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu (baca: Madura) digambarkan
sebagai orang dengan sosok yang kasar, suka berkelahi, kaku, garang, dan menakutkan,
serta berani.31 Sehingga mereka dapat dibedakan dengan mudah dengan orang Jawa,
karena mereka kasar, tidak tahu sopan santun, terbuka, banyak bicara, dan tidak halus.
32
Di samping stereotipe negatif tersebut, terdapat pula karakteristik positif, yakni
berani, petualang, loyal, rajin, hemat, menyenangkan, antusias, dan humoris. Akan
tetapi stereotipe yang negatiflah yang lebih menonjol dialamatkan terhadap masyarakat
desa Gilir-gilir dan Parendu (Madura).33 Stereotipe tersebut tidak hanya berlaku pada
seringkali diidentikan dengan kerampingan, dada bagus, dan excellent sexual intercourse.34
Hal ini diperkuat dengan kondisi alam, ekonomi, sosial budaya, dan politik
masyarakatnya sehingga stereotipe tersebut tumbuh dengan subur. Alamnya yang tidak
30
Iskandar Dzulkarnain., Op. Cit, hlm. 33
31
Sindhunata., "Malangnya Orang Madura Teganya Orang Jawa", dalam Basis, No. 09-10 thn,
ke-45, Desember, 1996, hlm. 52
32
Huub de Jonge., "Stereotypes of the Madurese", Royal Institute of Linguistics and
Anthroppology, International Workshop on Indonesian Studies, No. 6, Leiden, 7-11 October 1991,
hlm. 4-6
33
Ibid., hlm. 10
34
Ibid., hlm. 5
138
Perilaku Homoseksual di PonPes
mereka bermigrasi, sehingga menimbulkan stereotipe mereka kasar, keras, berani, kuat,
ulet, dan hemat. Sementara dengan kurangnya kadar air di wilayahnya serta kerasnya
dimitoskan lebih manis.35 Selain itu, karena kadar airnya yang lebih banyak tercampur
seksualitasnya, karena keringnya vagina mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyak
jamu yang berhubungan dengan keharmonisan pasangan suami istri yang berasal dari
Madura. Padahal banyak yang memproduksi jamu-jamu tersebut di luar Madura dan
Lebih lanjut, masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu secara ekologi terdiri dari
tegalan, bukan sawah. Oleh karena itu ekosistem di desa Gilir-gilir dan Parendu
kelompok-kelompok kecil yang dikelilingi oleh tegal, 36 atau biasa disebut sebagai
pemukiman kampong meji (kampung meji), yaitu kelompok pemukiman penduduk desa
adanya pagar yang umumnya berupa rumpun bambu (meskipun sekarang sudah mulai
35
Ibid., hlm. 16
36
D. Zawawi Imron., 1996, " Peta Estetik Madura Masa Lalu", dalam Ibid, hlm. 293-294.
Meskipun untuk sekarang ini atau untuk beberapa tahun ke depan desa Parendu akan mengalami
kepadatan yang luar biasa, sehingga tidak ada lagi perpencaran antarrumah, namun untuk sekarang ini
masih terlihat pencaran-pencaran antarrumah di desa Parendu, walaupun mulai mengalami penyusutan.
37
Huub de Jonge, Op.Cit, hlm. 13. Kuntowijoyo., 1993, Radikalisasi Petani, Bentang:
Yogyakarta, hlm. 86
139
Perilaku Homoseksual di PonPes
banyak pagar dari semen). Antara kelompok pemukiman yang satu dengan kelompok
pemukiman yang lain biasanya dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak. Pada
setiap desa, khususnya di kawasan luar kota biasanya ditemukan lima sampai sepuluh
pemukiman kampong meji yang ada di desa Gilir-gilir dan desa Parendu. Setiap
pemukiman kampong meji biasanya terdiri dari empat sampai delapan rumah yang
dibangun dalam bentuk memanjang, membujur dari barat ke timur dan menghadap ke
selatan38
pola pemukiman pamengkang, pola pemukiman koren, pola pemukiman kampong meji,
dan pola pemukiman tanean lanjang. Pada pola pemukiman pamengkang dan pola
jumlahnya. Sedangkan pada pola pemukiman kampong meji dan pola pemukiman
tanean lanjang jauh lebih banyak jumlah rumahnya, dan bisa mencapai lima generasi
keluarga.39
panjang, merupakan salah satu pola pemukiman masyarakat Madura yang masih
ditemukan di desa Gilir-gilir dan desa Parendu,40 dan merupakan bentuk pemukiman
38
Wiryoprawiro., Op. Cit, hlm. 43
39
Ibid., hlm. 15
40
Untuk pola pemukiman tanean lanjang, di desa Gilir-gilir terdapat sekitar 2 rumah keluarga,
sedangkan di desa Parendu terdapat sekitar 1 rumah keluarga
140
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang tertua di Madura.41 Apabila dilihat dari sejarah dan susunan yang bermukim di
dalamnya, pola pemukiman tanean lanjang dibangun oleh keluarga yang mempunyai
dipakai oleh masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu, yang artinya anak perempuan
yang menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya sementara suaminya pindah ke
pekarangan istrinya. Untuk membangun pola pemukiman tanean lanjang hanya dapat
dibangun berderet dari barat ke timur dan menghadap ke selatan, sebagaimana posisi
rumah tradisional lainnya. Rumah itu dideretkan dimulai dari keluarga tertua atau
Dengan demikian jumlah rumah yang dibangun sesuai dengan jumlah anak
perempuannya, tidak termasuk rumah yang dihuni oleh orang tuanya. Pada umumnya
formasi pemukiman tanean lanjang terdiri dari empat sampai delapan rumah. Tapi pada
lanjang yang terdiri dari 12 rumah yang dihuni oleh 11 keluarga. Setiap keluarga terdiri
dari dua sampai empat orang, sehingga jumlahnya adalah 41 orang, terdiri dari 18 laki-
41
Huub de Jonge., Op. Cit, hlm. 13
42
Uxorimatrilocal merupakan kombinasi dari uksorilokal dan matrilokal, lihat Ibid., hlm. 14
43
A Latief Wiyata., 2002, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, LKiS:
Yogyakarta, hlm. 42-44
141
Perilaku Homoseksual di PonPes
tanean lanjang tidak hanya terdiri dari keluarga batih (nuclear family) melainkan juga
Melihat dari formasi yang terdapat pada pola pemukiman tanean lanjang
tampak jelas bahwa dalam ideologi keluarga masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu
dibandingkan dengan laki-laki. Setiap orang tua akan selalu menginginkan anak
mereka sudah bersuami. Perhatian dan proteksi masyarakat terhadap kaum perempuan
tidak hanya terlihat pada struktur formasi pola pemukiman tanean lanjang namun
terdapat pula pada struktur formasi seluruh pola pemukiman tradisional masyarakat
Madura. Setiap rumah yang ada di masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu mesti akan
memiliki sebuah langgar atau surau, dan lokasinya berada di ujung halaman bagian
barat sebagai simbolisasi Ka'bah yang merupakan kiblat umat Islam ketika sholat.
Langgar tersebut tidak hanya berfungsi atau bermakna sebagai tempat ritualitas
keagamaan belaka, namun secara kultural memiliki fungsi yang bermakna sebagai
tempat untuk menerima semua tamu laki-laki. Tujuannya adalah menempatkan semua
negatif bernuansa seksualitas akibat pertemuan antara laki-laki tersebut dengan anggota
44
Ibid..
45
Ibid., hlm. 24
142
Perilaku Homoseksual di PonPes
keluarga perempuan (terutama istri) dari pihak tuan rumah. Karena hal ini dianggap
sebagai parseko (tidak etis) apabila menerima tamu laki-laki di ruang tamu kecuali tamu
yang masih kerabat sendiri. Sedangkan segala bentuk gangguan terhadap kehormatan
kaum perempuan (terutama istri) akan selalu dimaknai sebagai pelecehan terhadap
meski harus lewat pertarungan carok yang akan menyebabkan nyawanya hilang.46
Dengan pola pemukiman seperti ini, maka pemukiman masyarakat desa akan
langgar. Setiap desa yang dibentuk oleh komunitas tersebut terdapat masjid, yang
dipimpin oleh kiai langgar atau imam masjid. Lebih lanjut masjid dan kiai kemudian
menjadi simbol kesatuan dan pusat komunikasi di antara warga desa. 47 Seperti
pengajian kitab, musyawarah desa dan lain sebagainya. Dalam hal ini agama
merupakan organizing principle bagi masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu. Selain itu,
agama juga memberikan collective sentiment yang melalui upacara-upacara ibadah dan
ritual serta simbol yang satu,48 dan keharusan agamalah yang membuat masyarakat desa
Gilir-gilir dan Parendu menjadi sebuah masyarakat yang membentuk organisasi sosial,
46
A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 44-45
47
Iik Arifin Mansurnoor., Op. Cit, hlm. 195
48
Kuntowijoyo., Op. Cit, hlm. 87
143
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang didasarkan pada agama dan otoritas kiai, yang pada akhirnya akan melahirkan
inilah genealogis kiai dibentuk yang pada akhirnya akan berkembang menjadi
atas teks-teks keagamaan (Al-Qur'an ataupun kitab kuning), yang akan melahirkan
otoritas keagamaan pada diri kiai. Otoritas inilah yang menciptakan pergerakan cara
berpikir dan bertindak masyarakat seperti yang diinginkan oleh pemegang otoritas
(kiai).49
desa melalui langgar dan otoritas kiai, masyarakat desa Gilir-gilir dan desa Parendu juga
sendiri, terutama sepupu, yang dalam istilah Madura dikenal dengan "mapolong
ikatan tali keluarga, sedangkan untuk keluarga menengah ke atas, perkawinan model
ini sangat penting untuk mempertahankan kekayaannya agar tidak jatuh ke tangan
biasanya menjodohkan anaknya yang masih berumur di bawah lima tahun (balita)
dengan anak dari keluarga yang lain - baik kerabat sendiri atau tidak – pada usia yang
sama. Ada pula yang menjodohkan anaknya ketika anak-anak itu masih berada dalam
49
Abdur Rozaki., Op. Cit, hlm. 48
144
Perilaku Homoseksual di PonPes
kandungan ibunya atau pada sa'at mau dilahirkan. Hal ini yang menyebabkan
banyaknya terjadi kawin paksa, meskipun angka penceraian sangat kecil. Tujuan
perjodohan pada usia muda atau kecil tersebut selain menjaga kekerabatan juga untuk
menjaga kehormatan keluarga dari perasaan aib dan malu jika pada waktunya anak
perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid pertama,
yakni sekitar umur 13-17 tahun.50 Apabila telah melewati umur tersebut masyarakat
akan mencemoohnya sebagai perempuan yang tidak laku (ta' paju lake). Sedangkan
pada laki-laki tidak ada istilah tersebut, sehingga banyak masyarakat Gilir-gilir dan
Parendu yang memperbolehkan anak perempuannya untuk diperistri lebih dari satu
(poligami), ketimbang disebut sebagai perempuan yang tidak laku. Selain itu, bentuk
superordinasi laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri). Salah satunya adalah dalam
bentuk komunikasi keluarga, suami menggunakan basa mapas (kasar) kepada istri
sedangkan istri diharuskan menggunakan basa alus (bahasa halus) kepada suaminya
besar dapat dijelaskan dengan meliputi tiga lapis sosial masyarakat. Pertama, oreng kene'
atau oreng dume' (orang kecil) sebagai lapis terbawah. Kedua, ponggaba (pegawai) sebagai
50
Hasil dari obrolan dari masyarakat desa Gilir-gilir Rt. 01/Rw. 02, di antaranya Muhammad
Sidiq, Abdur Rahman, dan Aisyah, tanggal 20 Desember 2005.
51
A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 58
145
Perilaku Homoseksual di PonPes
lapis menengah, dan terakhir parjaji (priyayi) sebagai lapis paling atas. Jika dilihat dari
dimensi agama hanya terdiri dari dua lapis sosial, yaitu santre (santri) dan banne santre
(bukan santri).52 Dalam kenyataannya kelompok santre tidak harus selalu diidentikkan
dengan parjaji dan kelompok banne santre dengan oreng kene'. Karena kelompok santre
bisa terdiri dari parjaji dan oreng kene', begitu juga dengan banne santre. Dalam konteks
ini, kiai merupakan kelompok masyarakat lapis atas, sedangakan santre kelompok
masyarakat lapis bawah. Sedangkan bindarah (keturunan kiai atau gus dalam istilah
bahasa (dag-ondagga basa) yang digunakan oleh masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu
atau dalam bahasa Madura ada lima tingkatan; yaitu, bahasa keraton, misalnya abdi
dalem (saya), dan junan dalem (kamu), bahasa tinggi (abdina dan panjenengan), bahasa
halus (kaula dan sampeyan), bahasa menengah (bule dan dika), dan bahasa kasar atau
mapas (sengko' dan ba'na).53 Dengan tingkatan dalam linguistik, bukan hanya menunjuk
sebagai perbedaan bahasa tetapi lebih kepada kepunyaan relasi yang sangat erat dengan
status sosial seseorang dalam sistem stratifikasi sosial, baik achieved status atau ascribed
tetapi juga sebagai kesalahan sosial. Bahkan kesalahan tersebut secara kultural,
52
Abdurrachman., Op. Cit, hlm. 5
53
A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 48-49
146
Perilaku Homoseksual di PonPes
terutama dalam penerapan bahasa mapas yang tidak sesuai, akan dikecam karena
dinilai sebagai perilaku yang janggal (tidak mempunyai sopan santun). Sebaliknya
seseorang yang mencerminkan perilaku yang mempunyai etika sopan santun. Setiap
masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu secara sosial kultural selalu dituntut untuk
bersikap dan berperilaku sopan (andap asor) dengan cara menggunakan basa yang halus
atau bahkan tinggi. Namun tuntutan sosial kultural tersebut tidak selalu dapat
konfliknya yang selalu cenderung diselesaikan dengan cara kekerasan, seperti carok dan
terbentuk melalui keturunan dari keluarga yang berdasarkan garis keturunan ayah dan
ibu (paternal and maternal relatives). Tetapi, pada umumnya ikatan kekerabatan sesama
anggota keluarga akan lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung lebih
dan ke bawah (descending generations) dari ego.55 Generasi paling atas disebut garubuk
54
Ibid., hlm. 50-51
55
Tingkatan generasi dalam kekerabatan masyarakat Gilir-gilir dan Parendu, dari atas ke bawah
tersebut, yaitu: garubuk (orang tua juju'/enju'), juju'/enju' (orang tua dari kakek/nenek), kae/agung/emba
147
Perilaku Homoseksual di PonPes
(orang tua juju'), sedangkan generasi paling bawah disebut kareppek (anak dari cicit).
Selain itu, kekerabatan yang dikarenakan ikatan pernikahan masyarakat Gilir-gilir dan
Parendu mereka menyebutnya dengan istilah taretan ereng (saudara samping). Oleh
karena itu, selain majadi' (saudara dari ayah/ibu) juga dikenal majadi' ereng (saudara dari
ayah/ibu mertua), majadi' sapopo (saudara sepupu dari ayah/ibu), dan majadi' sapopo
ereng (saudara sepupu ayah/ibu mertua). Sedangkan saudara kandung (baik adik/kakak)
dari istri atau suami disebut epar. Orang tua istri atau suami disebut mattowa, yang
terdiri dari mattowa lake' (ayah mertua), dan mattowa bine' (ibu mertua).56 Sedangkan,
dalam sistem kekerabatannya dikenal tiga kategori sanak keluarga, yaitu taretan dalem
(kerabat inti), taretan semma' (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Di luar
ketiga kategori tersebut disebut sebagai oreng luwar (orang luar/bukan saudara).
aktivitas-aktivitas sosial, seperti saling mengunjungi baik ketika dalam suasana senang
(perhelatan acara, kelahiran, pertunangan, pernikahan, dan lain sebagainya) atau dalam
Secara gender, masyarakat desa Gilir-gilir dan desa Parendu mengakui adanya
tiga jenis kelamin dalam masyarakatnya, yakni lalake' (laki-laki), bendu (banci), dan
bebine' (perempuan). Namun berbeda dengan masyarakat yang lain pada umumnya,
masyarakat Gilir-gilir dan Parendu atau bahkan Sumenep secara keseluruhan lebih
(kakek atau nenek), eppa'/ebbu'/rama/emma' (ayah/ibu), ego, ana' (anak), kompoy (cucu), peyo' (cicit), dan
kareppek (anak dari cicit).
56
Ibid., hlm. 51-53
148
Perilaku Homoseksual di PonPes
masyarakat lainnya. Ada tiga makna yang ada di masyarakat tentang kategori bendu.
Pertama, bendu adalah mereka yang tidak kawin sampai usia sangat tua (khusus laki-
laki), karena dianggap tidak ereksi alat vitalnya. Kedua, bendu yang mencari kepuasan
ke sesama laki-laki tapi dengan tidak dibayar malah mereka yang membayar untuk
mencari kepuasan. Terakhir, adalah bendu-bendu yang mecari kepuasan ke sesama laki-
laki namun dengan dibayar atau dengan kata lain bendu-bendu ini menjual diri.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Citra57 (bendu yang bekerja di Depan Masjid Jamik
Sumenep):
57
Citra adalah nama panggilan dia atau nama akrabnya, sedangkan nama aslinya adalah
Muhammad Slamet, yang lahir di Sampang dan sudah lebih dari tujuh tahun pindah ke Sumenep,
sebagaimana yang dia perlihatkan di KTPnya, Taman Bunga Sumenep, tanggal 10 Desember 2005
149
Perilaku Homoseksual di PonPes
ketika kiai Chotib, kakek dari para pengasuh pondok pesantren Al-Amanah sekarang,
mulai membangun langgar kecil di desa Parendu. Beliau meneruskan usaha adik
iparnya kiai Sharqawi yang hijrah ke Gilir-gilir dan membangun pondok pesantren An-
Parendu untuk memenuhi amanat sahabatnya, kiai Gemma yang wafat di Mekkah.
Langgar kecil ini kemudian lebih dikenal dengan nama Congkop. Dari Congkop inilah
sebenarnya cikal bakal pondok pesantren Al-Amanah Parendu dengan kiai Chotib
Pada tanggal 2 Agustus 1930, kiai Chotib wafat. Maka usaha dalam lapangan
pendidikan ini dilanjutkan oleh putra-putranya, terutama kiai Mukri dan kiai Djauhari,
kemudian mendirikan Mathlabul Ulum pada tahun 1934. Madrasah Mathlabul Ulum
yang barangkali merupakan lembaga pendidikan dengan sistem klasikal yang pertama
kali ada di Madura ini terus bertahan dan bertahan sampai sekarang.59
58
Data ini didapat dari berbagai referensi yang telah diterbitkan, dan wawancara dengan
direktur pondok pesantren Al-Amanah, kiai Ridwan, dan Wiroduddin ketua pusat studi Islam Al-
Amanah, serta beberapa ustadz, dan santri antara tanggal 10 Oktober 2005-Januari 2006
59
Muhammad Idris Jauhari., t.t, Sekilas Tentang Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep:
t.n.p, hlm. 1-3
150
Perilaku Homoseksual di PonPes
Dan pada tanggal 10 November 1952, kiai Djauhari, yakni putra kiai Chatib
atau ayah dari para pengasuh pondok pesantren Al-Amanah yang sekarang, mulai
pondok pesantren yang berlokasi di Congkop tersebut dan diberi nama pondok
pesantren Tegal. Berawal dari pondok pesantren inilah maka berkembang kemudian
pondok pesantren Al-Amanah Parendu. Oleh karena itu, maka tanggal tersebut secara
Parendu, setelah Madrasah Diniyah Awaliyah yang sudah berdiri sejak awal berdirinya
pondok pesantren ini, yakni pada tanggal 10 November 1952, dan Madrasah
Ibtidaiyah atau Madrasah Wajib Belajar yang didirikan pada awal tahun 1957.
telah dirintis pendiriannnya sejak pertengahan tahun 1959 oleh kiai Djauhari. Pondok
pesantren ini diilhami oleh sistem pendidikan yang ada di Kulliyatul Mu'allimien al-
Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor, yang memang sangat dikaguminya, sehingga
60
Muhammad Idris Djauhari., t.t, TMI: Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah, Apa, Siapa, Mana,
Kapan, Bagaimana, dan….Mengapa?, Sumenep: t.n.p, hlm. 1
151
Perilaku Homoseksual di PonPes
meninggalnya kiai Djauhari pada tanggal 11 Juni 1971. Sejak sa'at itu, maka
berbagai perubahan secara mendalam dengan cara melihat atau mencontoh pondok
pesantren yang besar yang ada di Jawa Timur, yang dipimpin oleh sebuah tim yang
diketuai oleh putra tertua kiai Djauhari sendiri, yakni kiai Abd. Rahman 61 Namun
pelaksanaan ide ini diserahkan kepada kiai Ridwan, putranya yang ketiga, karena kiai
Alam Islami di Mekkah. Maka kiai Ridwan mulai melakukan berbagai inovasi dan
berbagai reformasi dari berbagai hasil yang didapatnya seusai melihat dan mencontoh
pondok pesantren besar yang ada di Jawa Timur, terutama pondok pesantren Modern
Gontor dan bahkan meminta do'a restu kepada kiai Ahmad Sahal dan kiai Imam
Zarkasyi Gontor, seperti membuka lokasi baru seluas 6 ha untuk pondok pesantren
putra dan 2 ha untuk pondok pesantren putri yang terletak sekitar 2 km di sebelah
pendidikan putra dan putri, seperti, TK, MTs, MA, Tarbiyatul Muta’allimin Putri,
61
Anggota tersebut terdiri dari tiga orang, yakni kiai Abd. Rahman, kiai Ridwan, dan kiai Jamil.
152
Perilaku Homoseksual di PonPes
Pesantren Tinggi (Ma'had Aly), dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA), yang mulai
Sejak melewati berbagai proses tersebut, maka pada hari Jum'at tanggal 3
Desember 1971, Tarbiyatul Muta’allimin (khusus putra) secara resmi didirikan oleh
kiai Ridwan, dengan menempati bangunan darurat milik penduduk sekitar pondok
pesantren Modern Al-Amanah Parendu dan sebagai pusat dari sentra pendidikan
nama Tarbiyatul Mu'allimaat, baru dibuka secara resmi 14 tahun kemudian, yaitu pada
tanggal 19 Juni 1985, yang dipimpin oleh nyai Aisiah Fatma (putri kiai Marhawi dan
istri kiai Abd. Rahman), yang pada sa'at itu masih bermukim di Mekkah bersama
seluruh keluarganya.
Perayaan, Kabupaten Sumenep Madura Jatim. Desa ini terletak di pinggir jalan raya
yang membelah pulau Madura bagian selatan, yaitu kurang lebih 30 km di sebelah
barat kota Sumenep, 22 km di sebelah timur kota Pamekasan, dan 130 km sebelah
153
Perilaku Homoseksual di PonPes
timur kota pelabuhan Kamal Bangkalan. Lokasi pondok pesantren Al-Amanah seluas
kurang lebih 20 ha saat ini, yang menyebar di desa Perayaan Laok dan desa Parendu.
pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwah, kaderisasi dan ekonomi
inovatif. tetapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh (tradisi kesholehan). Pondok
pesantren ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada
salah satu bentuk golongan atau partai politik apapun. Meskipun ada indikasi pondok
pesantren ini berafiliasi secara politik ke Masyumi.62 Semua aset dan kekayaan pondok
pesantren Al-Amanah telah diwakafkan kepada umat Islam dan dikelola secara kolektif
oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut "Majelis Kiai". Untuk menjalankan tugas
sehari-hari, Majelis Kiai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan
62
Wawancara dengan Taufiqurrahman, kabupaten Pamekasan, tanggal 1 Desember 2005.
Penulis disertasi Otonomi Sistem Penyelenggaraan Sekolah (Studi Kasus pada Sekolah Muallimin di
Pondok Pesantren Al-Amanah, Universitas Negeri Malang, September 2003.
154
Perilaku Homoseksual di PonPes
baru (al-muhafidh alal qodimis sholeh wal akhidz bil jadidil ashlah)
membutuhkannya.
Sehingga dari lembaga ini diharapkan lahir sumber daya manusia (SDM) yang
berupa:
ummah).
empat program pokok untuk menjalankan berbagai program yang telah dibentuk.
Program pokok tersebut biasanya dikenal dengan istilah Al-Khutuwat al-Arba' atau catur
jangka. Yang meliputi, program pokok dalam bidang pendidikan dan pembudayaan,
155
Perilaku Homoseksual di PonPes
program pokok dalam bidang dakwah, program pokok dalam bidang kaderisasi, dan
156
Perilaku Homoseksual di PonPes
157
Perilaku Homoseksual di PonPes
* Yang paling ditekankan sejak dini di Al-Amanah adalah niat awal dalam belajar dan
mengajar yaitu semata-mata untuk ibadah kepada Allah SWT dan ittiba' (mengikuti)
pengajaran. Sehingga keteladanan dan disiplin menjadi urat nadi kehidupan sehari-
hari.
* Para santri selalu diarahkan untuk beramal atas dasar ilmu dan mencari ilmu untuk
diamalkan.
* Arah pendidikan Al-Amanah adalah mencetak santri yang multitampil untuk hidup
1. Membina kaum dhuaffa' dan mushtadhaffin dalam sektor ekonomi, pendidikan, dan
158
Perilaku Homoseksual di PonPes
dalam berbagai sektor dan bekerjasama dengan perorangan atau lembaga baik
pengobatan santri dan keluarga (BPSK), Baitul mal wat-tanwiel (BMT), pusat
dan ibu-ibu, forum remaja sekitar pondok (RESPON), forum anak-anak sekitar Al-
dirintis oleh para rasul baik secara substansial ataupun yang menyangkut
@ Dakwah ilal khoir (ke arah kebaikan ) yang dilaksanakan secara stimulan dengan
amar makruf nahi munkar, sebagai kewajiban setiap keluarga besar Al-Amanah
Parendu.
@ Dakwah ila Sabilil-Lah (ke jalan Allah) dilaksanakan dalam konteks Islam sebagai
kondisional.
@ Metode dakwah bil uswah was shubhah (dengan keteladanan dan komunikasi non
verbal) harus menjadi dasar utama dari metode-metode dakwah yang lain.
159
Perilaku Homoseksual di PonPes
(Forsika PM 3).
Parendu yaitu:
pendidikan dan pembinaan lanjutan bagi para santri, setelah keluar dari
lingkungan pondok.
kader pondok dan umat yang harus dibina secara terus menerus, kapan
masing.
160
Perilaku Homoseksual di PonPes
Parendu harus dilaksanakan secara selektif, terarah, terus menerus sesuai dengan
kebutuhan yang ada baik terhadap masyarakat, pondok pesantren ataupun terhadap
Yang terakhir, program pokok dalam bidang ekonomi (dana dan sarana) antara
lain:
dana, memelihara sarana dan prasarana pondok yang sudah ada serta
dana dan sarana yang diperlukan antara lain; koperasi pondok pesantren
sarana Al-Amanah yaitu: setiap dana apapun di Al-Amanah harus lewat proses
dan cara-cara yang halal dan legal, setiap rupiah dana yang masuk atau keluar
161
Perilaku Homoseksual di PonPes
keuntungan pribadi dari para santri (semuanya harus lewat koperasi), anggota
kepada pondok, hak milik pribadi, berupa apapun harus dipisahkan secara
pesantren Al-Amanah diurus dan dikelola secara kolektif oleh beberapa badan
pengurus bekerja sesuai dengan prinsip manajemen yang modern, yakni efektif dan
efesien, namun tetap berpijak dan berbingkai pada visi, misi, dan landasan-landasan
yang digunakan oleh pondok pesantren Al-Amanah. Secara hirarki organisasi tersebut
wakil ketua berfungsi juga sebagai pengasuh (rais) dan wakil pengasuh
162
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang terdiri dari nyai-nyai sepuh dan istri-istri anggota Majelis Kiai.
hari. Anggotanya terdiri dari sebelas sampai lima belas kiai muda atau
tujuh belas sampai dua puluh lima guru-guru senior dan tokoh-tokoh
163
Perilaku Homoseksual di PonPes
Muta’allimin Al-Amanah (Organtri), mencakup dua puluh satu bagian, yang dibagi
menjadi dua bagian utama. Bagian pertama departemen-departemen yang ada dalam
Tamu (Bapenta), Bagian Lingkungan Hidup (Balhi), Bagian Olahraga (Bagor), dan
164
Perilaku Homoseksual di PonPes
Unit Usaha Toko Serba Ada (Toserba), Unit Usaha Toko Buku dan ATK (Tobu), Unit
Usaha Koperasi Dapur (Kopda), Unit Usaha Warung Santri (Wasis), dan Unit Jasa
wajib dan kelompok pilihan. Kelompok wajib terdiri dari, Kelompok Kelas (Shof) yang
dibimbing oleh wali kelas,63 Kelompok Kamar (Rayon) yang dibimbing oleh Musyrif
63
Kelas-kelas ini terdiri dari; Kelas Syu'bah Tamhidiyah, Kelas Syu'bah I'dadiyah, Kelas 1
Reguler, Kelas 1 Intensif, Kelas 2 Reguler, Kelas 3 Reguler, Kelas 3 Intensif, Kelas 4 Reguler, Kelas 5
Reguler, Kelas 5 Intensif, Kelas 6 Reguler, dan Kelas 6 Intensif. Kelas Reguler adalah santri yang mulai
mondok sejak lulus SD atau MI, sedangkan Kelas Intensif adalah bagi santri yang sudah lulus MTs atau
SMP dan MA atau SMU.
64
Rayon tersebut terdiri dari Rayon Singor Baru, Rayon Syabab Baru, Rayon Singor Lama,
Rayon Syabab Lama, Rayon Kibar Lama, dan Rayon Pengurus Organtri. Setiap santri baru dan lama
dipisah tempatnya atau rayonnya, namun setiap tahun terjadi perubahan yang bergilir antara satu santri
dengan santri lainnya dengan tujuan pengenalan.
65
Konsulat-konsulat tersebut meliputi; Daerah A (luar Jawa) terdiri dari, Sumatera Bagian
Utara, Sumatera Bagian Selatan, Kalimantan, Bali atau NTB, dan Indonesia Timur. Daerah B (Jawa
Bagian Barat dan Tengah) meliputi, DKI Jaya, Jawa Barat 1,2,3, dan Jawa Tengah serta Yogyakarta.
Daerah C (Jawa Timur) terdiri dari, Eks Karesidenan Surabaya dan Bojonegoro, Eks Karesidenan
Malang, Eks Karesidenan Kediri dan Madiun, Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso. Daerah
D (Madura) terdiri dari, Bangkalan 1, 2, 3, Sampang 1, 2, Pamekasan 1, 2, Sumenep 1, 2, 3, Prenduan
dan sekitarnya, serta Kepulauan. Dari banyaknya konsulat-konsulat yang ada di pondok pesantren Al-
Amien tersebut telah membuktikan bahwa Al-Amien adalah pondok pesantren dengan santri yang
sifatnya lebih plural ketimbang pondok pesantren An-Nuqayah.
165
Perilaku Homoseksual di PonPes
Kelompok Dapur dibimbing oleh Mulahidh Dapur dan Muroqib Konsulat,66 Kelompok
Tadarrus Al-Qur'an yang dibimbing oleh Guru-guru Al-Qur'an dan Wali Kelas, 67
Kelompok Muhadloroh atau Retorika yang dibimbing oleh Guru-guru Bahasa dan Wali
Kelas, 68 Kelompok Pramuka dibimbing oleh Staf MPO dan Mabigus, 69 Kelompok
Harosatul Ma'had dibimbing oleh Staf MPO dan Musyrif Sakan,70 Kelompok Ri'ayatul
Bi'ah yang dibimbing oleh Staf P3SF dan Musyrif Sakan.71 Sedangkan Kelompok pilihan
terdiri dari; Kelompok Keilmuan (Pengkajian dan Penelitian), Kelompok Bahasa dan
66
Dapur ini terdiri dari Dapur Umum (Purum), Dapur Keluarga (Purga), Dapur Kafetaria
(Dakaf), dan Dapur Barokah (Purkah). Setiap santri wajib memilih untuk berlangganan setiap bulannya
di setiap dapur yang ada yang dipilih serta dibagi oleh para pembimbing. Pola langganan dapur ini
hampir sama dengan pola catering. Yang membedakannya hanyalah santri yang datang ke tempat dapur
untuk makan setiap waktu makan.
67
Kelompok Tadarrus Qur'an terdiri dari; Kelompok Mudorrobin (Terbimbing Perorangan),
Kelompok Muwajjahin (Terbimbing Kelompok), Kelompok Mudarribin (Pembimbing Perorangan),
Kelompok Muwajjihin (Pembimbing Kelompok), Kelompok Jam'iyatul Qurro', dan Kelompok Jam'iyatul
Huffadz. Kelompok-kelompok ini disesuaikan dengan ke-bisa-an membaca Al-Qur'an para santri.
68
Kelompok Muhadloroh tersebut di antaranya; Club Syu'bah Tamhidiyah, Club Syu'bah
I'dadiyah, Club Sighor Tsanawiyah, Club Syabab Tsanawiyah, Club Aliyah, dan Club Khusus.
Penentuan kelompok ini lebih dialamatkan kepada bisa tidaknya para santri membuat tulisan atau
bahan untuk pidato dengan tiga bahasa, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia, yang dibagi
dengan pembagian setiap masing-masing santri mendapat satu bagian pidato dengan salah satu bahasa
yang ditentukan.
69
Kelompok Pramuka terdiri dari; Pasukan Penggalang, Ambalan Penegak, Regu Khusus, dan
Sangga Khusus. Kegiatan Pramuka diwajibkan bagi setiap santri, namun ada kegiatan khusus untuk
menekuni ke-Pramuka-an lebih lanjut bagi para santri.
70
Kelompok Harosatul Ma'had terdiri dari; Kelompok Hurrosul Furoi'at (Hostelwatches),
Kelompok Hurrosul Makatib (Receptionist), Kelompok Hurrosul Masa' (Evening Watches), Kelompok
Hurrosul Lail (Midnight Watches), Kelompok Bawwab (Gatekeepers), dan Kelompok Khofair (Patrols or
Waker).
71
Kelompok Ri'ayatul Bi'ah terdiri; Kelompok Kunnasul Furoi'at (Hostel Cleaners), Kelompok
Kunnasul Manathiq (Zone Cleaners), Kelompok Kunnasul Makatib (Office Cleaners), Kelompok
Kunnasul Fushul (Class Cleaners), dan Kelompok Kunnasul Masjid (Mosque Cleaners).
166
Perilaku Homoseksual di PonPes
Kesehatan (BSR atau PMR), Kelompok Pecinta Lingkungan Hidup dan Kelompok
Satgas Bagian.
telah memiliki lima puluh orang yang bisa dijadikan sebagai sumber daya manusia
(SDM) pondok pesantren Al-Amanah, yang bekerja setiap waktu (full timer) dalam
berbagai bidang yang telah mewakafkan dirinya untuk berjuang dan berkhidmat
untuk terus dibina dan dikembangkan secara sistematis dan konsisten dari waktu ke
waktu, baik dengan cara inservice training ataupun outservice training secara formal, non
dilakukan dengan langkah-langkah atau terobosan yang dapat memberikan solusi yang
sangat efektif untuk dapat mengatasi kebutuhan yang begitu mendesak. Begitu juga
dengan istrumen yang diperlukan, walaupun masih jauh dari kata cukup, tapi
instrumen pendidikan, dakwah, dan kaderisasi yang dimiliki pondok pesantren Al-
Amanah pada sa'at ini, baik instrumen fisik ataupun non fisik, kiranya sudah cukup
untuk dijadikan modal dasar bagi upaya untuk mengembangkan kerja dan kinerja
72
Kelompok pilihan Kesenian terdiri; Kelompok Qiro'at, Kelompok Kaligrafi atau Lukis,
Kelompok Leter dan Dekorasi, Kelompok Nasyid dan Diba', Kelompok Hadrah, Kelompok Musik
Kontemporer, Kelompok Sastra, dan Kelompok Teater.
167
Perilaku Homoseksual di PonPes
pondok pesantren di masa yang akan datang. Yang terpenting adalah menyikapi
sebuah lembaga pendidikan dan kaderisasi, sejak awal tahun berdirinya telah
mengeluarkan beribu-ribu alumni dan kader yang sebagian dari mereka yang sudah
termasuk di dalamnya mendirikan dan membina pondok pesantren, yang pada tahun
ini telah berjumlah sebanyak 68 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
dalam negeri ataupun di luar negeri (terutama Al-Azhar Kairo), atau di berbagai
terutama yang ada di Madura, dalam upaya mengentaskan mereka dari berbagai
bergabung dalam satu wadah silaturrahim yang berbentuk paguyuban yang bernama
"Ikatan Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Amanah Parendu" atau seringkali disebut
dengan singkatan "IKBAL". IKBAL secara resmi didirikan pada tanggal 5 Januari 1997,
yang didirikan bertepatan dengan acara puncak peringatan dan kesyukuran 45 tahun
pondok pesantren Al-Amanah Parendu, yang secara organisatoris, diurus oleh sebuah
168
Perilaku Homoseksual di PonPes
badan pengurus yang disebut koordinator pusat (Korpus), dan koordinator daerah
(korda), yang sudah diresmikan berdirinya dan ada di hampir daerah-daerah yang ada
hanya menggunakan satu jalur utama, yakni jalur antara Sumenep menuju Surabaya,
dengan jarak tempuh kurang lebih 30 Km, dengan menggunakan kendaraan bermotor
(colt) yang sama untuk menuju ke desa Gilir-gilir, atau kendaran bermotor yang
Begitu melihat kehidupan keseharian para santri yang ada di Al-Amanah, maka
kita akan melihat kehidupan santri yang menunjukkan kedisiplinan, ketakutan akan
peraturan, serta permusuhan antarsantri untuk melaporkan santri lain yang melanggar,
dan keistiqamahan dalam kesehariannya. Selain itu kehidupan para santri juga
diharuskan untuk berjalan dalam lingkup ketuhanan sebab Allah telah menggariskan
semua itu dengan jelas dan tidak bisa ditawar-tawar. Realitas ketuhanan pada
hakikatnya adalah kesejahteraan bagi manusia itu sendiri dan ketika manusia keluar
dari jalur tersebut berarti ia keluar dari jalur kemanusiaannya. Dengan demikian
pesantren Al-Amanah dengan jelas dan pasti, keseharian santrinya harus mengikuti
sunnah yang ada, agar ia menjadi muslim sejati dan tidak seenaknya bertindak sehingga
169
Perilaku Homoseksual di PonPes
kegiatan di kamar, rayon, kamar mandi, dapur, ruang tamu dan tempat-tempat
belajar mandiri.
lingkungan sekolah.
kantin, masjid, mushalla, kantor, BPSK (Balai Pengobatan Santri dan Keluarga), di
Semua itu harus berjalan sesuai dengan sunnah atau tradisi yang berjalan secara
otomatis, tanpa harus ada peraturan atau tata tertib tertulis sebab pendidikan pada
Rayon yang terdiri dari kamar-kamar adalah awal dari pendidikan di Al-
Amanah dimulai, sebab rayon atau kamar merupakan tempat berkumpulnya para
santri yang berawal dari sanalah para santri bergaul dan mencari jati diri sehingga
73
"Wasilah (Waraqah SanawIyah Li Akhir ad-dirosaH), Media Informasi Tahunan dan
Komunikasi Antar Keluarga", Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah TMI (Putra-Putri), Pondok Pesantren
Al-Amien Prenduan Tahun Ajaran 1425-1426 H (2004-2005 M), hlm. 16
170
Perilaku Homoseksual di PonPes
klasifikasi kelas yang terdiri dari rayon sighor74, syabab75 dan kibar.76
Suasana kehidupan di luar kamar bagi santri mempunyai andil yang signifikan
toleransi bersama orang lain. Situasi seperti inilah yang kemudian melahirkan sikap
Karena alasan inilah maka proses mu'amalah ma'al bi'ah di Al-Amanah di mulai dari
kamar. Di sinilah para santri berproses mencintai lingkungan sekitarnya. Dimulai dari
ditetapkan petugas kebersihan yang bekerja secara bergantian seminggu sekali dengan
jadwal khusus di bawah tanggungjawab fasilitator kamar dan musyrif hujroh. Walau
74
Rayon Shigor dihuni oleh santri kelas Syu'bah Tamhidi, kelas satu dan dua.
75
Rayon Syabab dihuni oleh santri kelas syu'bah I'dadi, kelas satu intensif dan kelas tiga
76
Rayon kibar dihuni oleh santri kelas tiga intensif dan kelas empat, khusus kelas lima disebar
ke rayon-rayon yang ada sebagai pembimbing dan pembantu para guru dan kiai di pondok atau yang
sering disebut sebagai muallim, sedangkan kelas enam difokuskan pada satu rayon demi lancarnya nilai
nihaiyah.
171
Perilaku Homoseksual di PonPes
adalah cermin awal untuk melihat sejauh mana para santri mencintai lingkungannya.
kebersihan dan kelestarian lingkungan rayonnya, maka setiap satu tahun sekali
hari raya Idul Adha. Selain itu, para santri di setiap kamar yang ada di rayon pondok
pesantren Al-Amanah dihuni sebanyak 6-10 orang, dengan fasilitas lemari, untuk tidur
setiap santri diwajibkan untuk membawa kasur, bantal, dan guling sendiri, serta di
dapur, kelas, sarana-sarana umum seperti wartel, kantin, kantor-kantor, kamar mandi
dan lain sebagainya. Para santri dibiasakan untuk mengikuti aturan-aturan yang
luar kamar inilah para santri dilatih hidup sopan dan santun, baik kepada teman
sebayanya atau kepada kakak-kakaknya. Dari sini pulalah, santri hidup bermasyarakat
dalam arti luas. Seperti bagaimana membangun toleransi, rasa tepo seliro (tenggang rasa),
gotong royong, tolong menolong dalam kebajikan dan sebagainya. Sehingga kelak
dalam masyarakat, budaya-budaya yang telah diterapkan oleh pondok dapat diciptakan
di masyarakat.
Sementara itu salah satu ciri khas pendidikan yang konsisten diajarkan di Al-
172
Perilaku Homoseksual di PonPes
Pendididikan ini mendapatkan porsi perhatian yang demikian besar dari seluruh
Hal ini bisa terlihat jelas dari praktek kepemimpinan dan manajemen di Al-
Amanah yang sudah dimulai sejak dini, yaitu ketika beberapa santri terpilih sebagai
ketua kelas dan ketua kelompok santri. Sehingga untuk menjadi pemimpin yang baik
Nabi Muhammad ataupun teori-teori kepemimpinan modern. Atas dasar ini, maka
semua santri harus menguasai semua teori-teori dengan baik berikut prakteknya secara
berlatih dan berdoa secara cerdas, sungguh-sungguh dan istiqamah. Sehingga pada
kompetensi dasar yang diperlukan untuk membuatnya berproses menjadi ilmu nafi'
antara santri lama dengan santri baru, bahkan antara santri Kibar dengan santri yang
masih Syabab dan Sighor. Hal ini tercermin dengan peraturan-peraturan yang berlaku
173
Perilaku Homoseksual di PonPes
bagi mereka. Peraturan tersebut berlaku mulai dari satu jam sebelum subuh sampai jam
21.00 malam waktu tidur bahkan tidurpun diberlakukan peraturan bagi para santri.
Satu jam sebelum subuh, masjid jamik Al-Amanah sudah diwajibkan untuk ber-
tarkhim, dan sepuluh menit kemudian bagi para santri Kibar sudah diwajibkan untuk
bangun tidur atau qiyamul lail dengan sholat Tahajjud. Sedangkan untuk para santri
Syabab dan Sighor baru dibangunkan sejak tiga puluh menit sebelum waktu subuh. Hal
ini berlaku untuk para santri lama. Santri baru diwajibkan untuk bangun sejak lima
belas menit sebelum waktu subuh. Dengan demikian semua santri di pondok
pesantren Al-Amanah diwajibkan untuk sholat subuh berjama'ah bahkan sholat lima
waktu.
Sesudah sholat subuh bagi santri lama diwajibkan untuk mengikuti pengkajian
Kutubut Turost yang diadakan per-kelas (Komdas B), sedangkan untuk santri baru
diharuskan untuk mengikuti Tazwidul Mufradat yang diadakan per-kamar. Setelah itu,
mulai jam 05.45-06.45 diadakan acara pilihan (olahraga, kerja lingkungan, kerja
Organtri, dan mandi) bagi semua santri termasuk santri lama maupun santri baru. Jam
06.45-07.15 para santri diwajibkan untuk makan di setiap dapur yang telah ditentukan
dengan siap-siap untuk masuk sekolah. Sedangkan jam 07.15-07.30 apel pagi di depan
kelas masing-masing.
Mulai jam 07.30-10.25 setiap santri baik baru ataupun lama belajar formal di
kelas masing-masing (jam sekolah I-IV). Jam 10.25-12.00 belajar formal di kelas bagi
santri lama (jam sekolah V-VI), sedangkan santri baru diwajibkan untuk mengikuti
174
Perilaku Homoseksual di PonPes
bimbingan ibadah dan sholat Dhuhur berjama'ah. Jam 12.00-13.00 sholat Dhuhur
berjama'ah dan makan siang bagi para santri lama, santri baru makan siang dan siap-
siap untuk masuk kelas. Mulai jam 13.00-13.15 diadakan apel siang di depan rayon
yang termasuk dalam Kompil A (kursus-kursus dan otodidak), sedangkan santri baru
diwajibkan untuk mengikuti kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris. Setelah jam 14.15-
waktu sholat Ashar semua santri diwajibkan untuk beri'tikaf di masjid dan sholat Ashar
berjama'ah. Sedangkan setelah selesai sholat Ashar semua santri mengikuti acara
(olahraga, kerja lingkungan, kerja Ogantri, dan mandi) selesai sampai jam 16.30, yakni
Tiga puluh menit sebelum waktu sholat Maghrib semua santri diwajibkan
untuk mengikuti apel sore, tazwidzat, tahsinan, dan sholat Maghrib berjama'ah. Setelah
habis sholat Maghrib semua santri diwajibkan untuk mengikuti tadarrus muwajjah dan
sholat Isya' berjama'ah. Sesudah sholat Isya' semua santri diperbolehkan untuk makan
malam, dan belajar muwajjah atau otodidak sampai jam 20.30. Jam 20.30-20.45
diadakan apel malam di depan rayon masing-masing (siap-siap untuk tidur). Jam 20.45-
21.30 diadakan renungan malam menjelang tidur, dan jam 21.00 semua santri
175
Perilaku Homoseksual di PonPes
pesantren Al-Amanah diwajibkan untuk memakai bahasa Arab dan bahasa Inggris
dalam berinteraksi sesama santri, guru, dan kiai dalam kesehariannya. Memakai kartu
memakai sabuk adalah sebagian peraturan bagi para santri di Al-Amanah. Tidak boleh
merokok, tidak boleh keluar pondok tanpa izin dari ustdaz atau kiai, dan tidak boleh
memakai sarung ataupun training di sa'at tidur juga merupakan peraturan di Al-
Amanah. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk mendisiplinkan para santri dan
Setiap santri yang melanggar segala peraturan akan dipanggil ke MPO sesa'at
sesudah sholat Maghrib, bagi mereka akan dikenai berbagai sanksi, di antaranya
kepalanya digundul bagi pelanggaran pertama yang berkategori berat, seperti keluar
pondok tanpa izin dan merokok. Disuruh membersihkan kamar mandi atau masjid
bagi yang pertama kali melanggar berinteraksi dengan bahasa selain bahasa Arab dan
bahasa Inggris atau melanggar waktu aktivitas yang telah ditentukan sebagaimana di
atas, serta diwajibkan bagi mereka untuk mencari santri-santri lainnya yang melanggar
sebanyak tiga orang. Bagi yang melanggar dengan kategori sangat berat seperti,
dengan kategori berat sebanyak tiga kali, akan diusir dari pondok pesantren yang
dibacakan setiap malam Jum'at habis sholat Isya'. Meskipun demikian, setiap
176
Perilaku Homoseksual di PonPes
pelanggaran, seperti pencurian sandal, baju dan lain-lain. Hal ini memperlihatkan
bahwa pondok pesantren Al-Amanah merupakan pondok yang sangat ketat dalam
yang terdapat di dalam data terakhir yang menunjukkan bahwa pada tahun 2005
terdapat 29 santri yang dikeluarkan dari pondok akibat persoalan kedisiplinan atau
Amanah berusaha mencetak santrinya agar menjadi seorang muslim yang khusu' dalam
Untuk tujuan ini ada tiga hal pokok yang harus disadari oleh mereka. Pertama,
beribadah harus sesuai dengan kesadaran. Dalam sebuah hadist dikatakan, "Dua
raka'atnya orang alim lebih baik daripada 70 rakaat sholat orang bodoh". Orang yang
sholat dengan ilmu, mengetahui apa yang sedang dilakukan, mengetahui dengan siapa
77
Wawancara dengan ustadz Suaidi Makmun, Kepala Bidang Mahkamah, di pondok pesantren
Al-Amanah pada tanggal 20 Februari 2006
78
Pola pendidikan di pondok pesantren modern, yakni budaya keilmuannya yang berjalan
seiring dengan kebutuhan-kebutuhan modernitas, namun tetap didasarkan pada pendidikan keislaman.
Ilmu-ilmu umum atau sekuler dikenalkan kepada santri secara utuh sebagaimana ilmu-ilmu agama
dengan tujuan untuk memperkaya dan memperluas pola berpikir para santri. Selain itu, dalam
kesehariannya bahasa asing khususnya bahasa Inggris dijadikan bahasa kedua sesudah bahasa Arab
dalam interkasi sesame santrinya, gurunya, dan kiainya dengan mengabsahkan label pondok pesantren
modern. Abdurrahman Mas'ud., Loc. Cit.
177
Perilaku Homoseksual di PonPes
ia berhadapan, dan merasakan dengan siapa hatinya berbicara, niscaya akan betul-betul
tidak terpenuhi maka akan menyebabkan keresahan dan rasa dahaga yang teramat
sangat. Seperti halnya kebutuhan makan dan minum, apabila tidak terpenuhi akan
kebutuhan akan menumbuhkan motivasi, antusiasme dan semangat. Ibadah seperti ini
akan melahirkan cinta, maka cintalah yang membuat seseorang selalu tergetar hatinya.
Ketiga, ibadah harus dilakukan dengan ikhlas. Prinsip ini memiliki nilai yang
sangat esensial. Ibadah yang kosong dari keikhlasan yang diwarnai dengan riya' atau
tujuan lain selain Allah tidak akan diterima, bahkan di hari kiamat akan dicampakkan
pendidikannya pada dua hal pokok. Pertama, pendidikan yang bersifat teoritis, di
mana para santri dididik dengan dasar-dasar akidah yang benar. Kedua, pendidikan
yang bersifat praktis yang berupa bimbingan ibadah dan amaliyah secara langsung.
non-stop selama 24 jam dalam satu program yang dikemas dalam Core & Integrated
Curriculum yang penuh dengan kegiatan Beribadah, Belajar, Berlatih dan Berprestasi (4
B). Selain itu, pola pendidikan di pondok pesantren Al-Amanah menggunakan pola
178
Perilaku Homoseksual di PonPes
tafaqquh fid-din yang harus dikuasai benar-benar oleh seluruh santri Al-Amanah, tanpa
khusus yang harus dipilih oleh setiap santri sesuai dengan bakat, minat dan
kecenderungan masing-masing, agar dapat tampil lebih percaya diri dan lebih
profesional.
Secara garis besar Komdas dan Kompil tersebut terbagi menjadi dua kelompok.
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, MIPA, IPS, Ilmu Pendidikan, Perbandingan Agama
Keputrian.
Selain itu, para santri juga mempunyai buku catatan harian atau lebih dikenal
dirinya dengan cara mencatat semua kegiatan keseharian mereka. Mufakkirah juga
berfungsi mencatat data-data pribadi sebagai bahan evaluasi bagi guru-guru dan
pengasuh dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Oleh karena itu, sejak
masuk Al-Amanah, para santri sudah dibiasakan dengan, bagaimana cara mengenal diri
79
Mufakkirah berisi kalender kerja santri, hobi dan catatan prestasi, perizinan, keuangan,
barang hak milik, kesehatan dan perawatan, pelanggaran, introspeksi mingguan dan catatan penting
lainnya.
179
Perilaku Homoseksual di PonPes
oleh pondok pesantren. Hal inilah yang dijadikan sebagai letak kunci kesuksesan
introspeksi diri.
intelektual juga diusahakan lewat berbagai kelompok keilmuwan dan penerbitan. Dari
dan berbagai profesi lainnya. Di antara potensi individu santri adalah bakat menjadi
kepada santri yang berbakat untuk mengelola dan memanajemeni beberapa unit usaha,
antara lain toko buku, toserba, unit jasa, wasis, dan koperasi dapur.
diri kepada Allah dan upaya mengasah potensi individu terutama yang berkaitan
180
Perilaku Homoseksual di PonPes
Amanah setingkat dengan MTs dan MA, dan kalau dilihat dari segi bahasanya setara
dengan pendidikan guru agama (PGA 6 tahun). Namun terdapat perbedaan antara
kejuangan.
semuanya harus mukim, kecuali sebagian kecil dari mereka yang tidak
keluarga.
181
Perilaku Homoseksual di PonPes
(pemimpin umat).
dan libur sebanyak dua kali dalam setahun (bulan Maulid dan
Ramadlan).
182
Perilaku Homoseksual di PonPes
bekal dasar yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, tidak ada istilah
Selain itu, sejak tahun 1982 ijazah pondok pesantren Al-Amanah telah
dengan SK No. 58/402 tertanggal 17/8/1982, Jami'ah Malik Abdil Azis (Jami'ah
Ummil Quro) Mekkah dengan SK No. 42 tertanggal 1/5/1982, Jami'ah Al-Azhar Cairo
Pakistan dengan surat resmi tanggal 11 Juli 1988, dan Universitas Az-Zaytoun Tunisia
dengan surat resmi tertanggal 21 Maret 1994. Sedangkan di dalam negeri ijazah
antaranya: Pondok Modern Gontor (diakui setara dengan KMI Gontor) dengan SK No.
183
Perilaku Homoseksual di PonPes
2000.
seluruh aspek kehidupan para santri, guru-guru baik dalam menjalankan hubungan
dengan Allah ataupun hubungan dengan sesama manusia dan alam, baik aspek-aspek
mencakup empat unsur, yaitu nilai-nilai dasar, visi dan misi, orientasi pendidikan, dan
falsafah atau motto pendidikan.80 Adapun nilai-nilai dasar tersebut meliputi, pertama,
nilai dasar keislaman, yakni akidah, syari'ah, akhlak, dan tradisi keilmuan, serta
kehikmahan, terutama pada zaman keemasan Islam. Kedua, nilai dasar keindonesiaan,
yakni Pancasila dan UUD 1945, UU No. 2 Th. 1979 tentang Sistem Pendidikan
yang positif dan konstruktif, dan falsafah "belajar untuk ibadah" (al-ilm an-nafi' dan al-
hikmah). Yang terakhir, nilai dasar kejuangan, yakni al-jihad, al-ijtihad, al-mujahadah, dan
80
Landasan institusional ini harus menjadi jiwa, sumber acuan dan bingkai kerja bagi input,
kurikulum, dan output pondok pesantren Al-Amanah.
184
Perilaku Homoseksual di PonPes
pengabdian terbaik, pengorbanan tanpa pamrih, kerja keras tanpa kenal lelah, serta
kewajiban ibadah kepada Allah. Visi ini harus tercermin dalam sifat dan sikap tawadlu',
tunduk, dan patuh sepenuhnya kepada Allah (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Serta
mengimplementasikan fungsi dan tugas khilafah (pemimpin) di bumi. Visi ini harus
tercermin dalam sifat dan sikap proaktif, inovatif, kreatif, dan eksploratif dalam
Sementara itu misi utama yang dimiliki oleh pondok pesantren Al-Amanah ada
dua yaitu misi umum dan misi khusus. Misi umum mempunyai tujuan mencetak
(masyarakat terbaik) yang pernah tampil di atas panggung sejarah dunia (Q.S. Ali
ulama' dan pemimpin umat; baik sebagai pakar, ilmuwan, akademisi, ataupun sebagai
praktisi yang mau dan mampu melaksanakan tugas indzarul qoum (pemimpin umat)
yaitu dakwah ila al-khair (dakwah kepada kebajikan), amar ma'ruf (perintah kebajikan)
dan nahi munkar (melarang kemunkaran) (Q.S. Ali Imron: 104 dan Q.S. At-Taubah:
122).
185
Perilaku Homoseksual di PonPes
kepemimpinan dan orientasi keguruan (sebagai jiwa atau profesi). Selain itu, dalam
bidang falsafah dan motto pondok pesantren Al-Amanah meliputi empat bagian yaitu
1. Pendidikan Keimanan
10. Pendidikan Keguruan dan Pendidikan (khusus untuk putri) Pendidikan Keputrian
(Tarbiyah Nasawiyah)
program pendidikan yang dikemas dan dilaksanakan secara terpadu selama 24 jam
186
Perilaku Homoseksual di PonPes
b. Dikemas dalam bentuk garis-garis besar program pengajaran (GBPP) dan dijabarkan
c. Dilaksanakan di pagi hari dalam bentuk KBM dalam kelas, praktek lapangan dan
laboratorium, latihan ekspresi 3 bahasa (Indonesia, Arab, dan Inggris), dan evaluasi
belajar berkala.
d. Di bawah tanggungjawab Kepsek, Kabid. Akademik dan Guru Master yang terkait.
e. GBPP dan RIPPS tersebut meliputi 4 kelompok bidang studi antara lain:
1. Al-Qur'an wa Ulumuhu
2. Al-Hadist wa Ulumuhu
3. Al-Fiqhu wa Ushuluhu wa Muqoranatuhu
4. Al-Aqoid wa Al-Akhlak wat-Tasawuf
5. Siroh Nabawiyah wa Tarikh Hadlarah al-Islam
1.2. Ulum Arobiyah, meliputi:82
1. Al-Maharat al-Arabiyah
2. Al-Qowaid al-Arabiyah
3. Al-Adab al-Arabiyah
81
Setiap mata pelajaran tersebut sejak kelas 2 diberi pengantar bahasa Arab.
82
Semua pelajaran tersebut diberi pengantar bahasa Arab.
187
Perilaku Homoseksual di PonPes
1. Matematika/Logika
2. IPA dan Ilmu Falak
3. IPS dan PPKn
4. Bahasa Indonesia
5. Bahasa Inggris
1. Ilmu Pendidikan
2. Ilmu Jiwa
3. Riset dan Jurnalistik
4. Keterampilan Teknis
5. Keterampilan Sosial
- Dilaksanakan di luar jam sekolah di bawah bimbingan guru dan santri senior di
bawah tanggungjawab kepala sekolah, kabid akademik, dan guru master terkait.
83
Kurikulum nasional tersebut dilakukan sesuai target dan dimudifikasi sebagaimana mestinya.
84
Bidang studi tersebut diprogramkan sejak masa-masa awal Marhalah Aliyah.
188
Perilaku Homoseksual di PonPes
- Dilaksanakan di luar jam sekolah oleh para pengurus Organtri, yaitu ISMI (putra)
dan ISTAMA (putri) di bawah bimbingan kepala sekolah dan kabid kesantrian.
1. Praktek Berorganisasi
2. Latihan Pramuka Mingguan
3. Senam Wajib Mingguan
4. Kursus-kursus Ketrampilan Wajib.
5. Kerja Lingkungan Harian.
6. Tadabur Malam Menjelang Tidur.
7. Istirham Malam Jum'atan.
3.2. Kegiatan-kegiatan Pilihan atau Minat, meliputi:
1. Kursus-kursus Kesenian.
2. Kursus-kursus Kesekaan Pramuka.
3. Kursus-kursus Kesehatan (PMR/BSR).
4. Kursus-kursus Keilmuwan dan Kebahasaan Pilihan.
5. Kursus-kursus Keterampilan Pilihan.
6. Latihan Olahraga dan Beladiri.
7. Penerbitan Media Cetak (Bulletin dan Mading)
8. Diskusi, Seminar dan Bedah Buku.
189
Perilaku Homoseksual di PonPes
- Dilaksanakan oleh para guru BP dengan dibantu oleh para santri-santri senior di
bawah bimbingan kepala sekolah, kabid tata usaha, kabid akademik dan kabid
kesenian.
- Pelaksana BP adalah Wali Kelas dibantu oleh Muharik, Musyrif Kelas dibantu oleh
Musahhil, Muraqib Konsulat dibantu oleh Ketua Konsulat, dan Mulahidh Dapur
190
Perilaku Homoseksual di PonPes
dari beberapa tenaga edukatif yang terdiri dari: kiai dan nyai (pengasuh pondok), mudir
kamar, muraqib konsultan, mulahidh dapur, guru-guru tidak tetap yang berasal dari
memperluas wawasan para santri dan meningkatkan keterampilan tertentu dan santri-
santri senior yang dimaksudkan sebagai latihan dan pendidikan. Adapun tenaga–
tenaga admistratif meliputi seluruhnya yang terdiri dari guru-guru dan santri-santri
pendidikan. Guru-guru yang ada di pondok pesantren Al-Amanah berjumlah 327 guru,
yang bermukim 274 guru dan 57 guru tidak bermukim. Sedangkan dari ijazahnya 1
agama, 2 guru S2 pendidikan, 3 guru S2 umum, 2 guru S2 Agama, 4 guru guru besar,
dan 262 guru alumni pesantren Al-Amanah. Sedangkan jumlah santri di pondok
pesantren Al-Amanah sebanyak 2.519 santri.85 Pada awal tahun berjumlah 2.646 santri,
85
Santri-santri tersebut berasal dari; Sumbagut (19 santri), Sumbagsel (47 santri), Kalimantan
(63 santri), NTB atau Bali (18 santri), Indo Timur (9 santri), DKI Jakarta (91 santri), Jawa Barat I (85
santri), Jawa Barat II (76 santri), Jawa Barat III (35 santri), Surabaya I (119 santri), Surabaya II (56 santri),
Malang dan Kediri (59 santri), Probolinggo dan Lumajang (16 santri), Jember (70 santri), Banyuwangi
(27 santri), Bondowoso (25 santri), Situbondo (27 santri), Jawa Tengah (26 santri), Bangkalan I (194
santri), Bangkalan II (126 santri), Bangkalan III (113 santri), Sampang I (107 santri), Sampang II (81
santri), Sampang III (95 santri), Pamekasan I (137 santri), Pamekasan II (136 santri), Pamekasan III (88
santri), Pragaan I (32 santri), Pragaan II (14 santri), Prenduan I (20 santri), Prenduan II (12 santri),
191
Perilaku Homoseksual di PonPes
namun 127 santri di drop out (DO), dengan alasan; pelajaran (26 santri), disiplin (29
santri), kesehatan (15 santri), ekonomi (9 santri), keluarga (8 santri), dan diserahkan
Al-Amanah meliputi:
1. Manejemen Pendidikan
2. Metode Pendidikan
a. Mempertahankan cara lama yang baik dan menggunakan cara baru yang lebih baik
kepribadian.
b. Dipisahkan secara tegas antara hak milik pribadi dan hak milik pondok
Prenduan III (18 santri), Sumenep I (126 santri), Sumenep II (92 santri), Sumenep III (86 santri),
Sumenep IV (46 santri), Sumenep V (34 santri), Kepulauan I (59 santri), dan Kepulauan II (27 santri).
192
Perilaku Homoseksual di PonPes
b. Ujian-Ujian: ujian masuk, ujian mid semester pertama, ujian semester pertama,
c. Bentuk-bentuk Ujian: ujian lisan (syafahi), ujian tulis (tahriri), ujian praktek (tathbiqi).
d. Jenis-jenis Evaluasi: studi dokumenter, angket, observasi, wawancara, case studi, dan
sosiometri.
Muhafadhohy 'alal Qodim ash-Sholeh wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah (memelihara dan
melestarikan hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik)
dengan sikap kritis dan antisipatif, tapi tetap dengan sikap hati-hati.
193
Perilaku Homoseksual di PonPes
kepemimpinan yang ada di pondok pesantren An-Naqiyah yang sentralistik kepada kiai
pembagian tugas dalam mengerjakan kebijaksanaan Majelis Kiai. Majelis Kiai adalah
pemimpin yang mempunyai otoritas terhadap segala kebijaksanaan yang akan atau
termasuk ke dalam Majelis Kiai, dan pelaksana hariannya, meliputi Direktur, Wakil
namun pada lapisan keduanya adalah Direktur Al-Amanah, serta pengurus harian yang
terdiri dari ustadz-ustadz serta para santri-santri senior yang termasuk kepengurusan
dalam kesehariannya. Sehingga banyak para santri yang lebih mengetahui Direktur Al-
Amanah ketimbang pemimpinnya, terutama para santri baru. Hal inilah yang
86
Majlis Kiai adalah para pemimpin pondok pesantren yang ada di wilayah kekuasaan Al-
Amanah.
194
Perilaku Homoseksual di PonPes
menyebabkan agak terputusnya hubungan atau jaringan antara kiai dengan para
santrinya. Berbeda dengan di An-Naqiyah yang mana para kiainya turun langsung
kebijaksanaan dan mengajar hanya untuk kelas 5 – 6 (sederajat dengan 2-3 MA).
sedikit terputus antara santri dengan kiainya apalagi dengan masyarakatnya. Pola
hubungan yang terjalin hanyalah dua pola jaringan. Pertama, jaringan geneologis
pengabdian para santri senior kepada pondok pesantren yang ada di bawah binaan Al-
Amanah atau alumni dari Al-Amanah yang mendirikan pondok pesantren. Hal inilah
yang menciptakan pola kepemimpinan di Al-Amanah sifatnya lebih bersifat semu dan
kepasrahan bukan kepemimpinan yang bersifat arogan dan eksklusif. Meskipun ada
sebagian santri yang menganggapnya itu sebagai bentuk lain dari arogansi dan
eksklusifisme para kiai pondok pesantren Modern. Selain itu, para orang tua wali
santri tidak diwajibkan untuk mendatangi kiai ketika menjenguk anak-anak mereka ke
pondok pesantren, hal ini berbeda dengan pondok pesantren An-Naqiyah yang bisa
dikatakan sebagai kewajiban bagi para orang tua untuk suwon kepada kiai ketika
195
Perilaku Homoseksual di PonPes
nampak di desa Parendu. Hal ini terlihat dari seiring memudarnya kepercayaan
masyarakat Parendu terhadap pemimpin yang ditunjuk oleh kiai ketimbang pilihan
mereka sendiri terhadap blater. Meskipun demikian, masyarakat masih menghargai kiai
terutama dalam bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan. Hal ini terlihat dari masih
sebanyak 612 murid, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN 2 sekolah), muridnya
sebanyak 322 murid, dan Sekolah Menengah Atas (SMA 2 sekolah), muridnya
Ibtidaiyah (MI 6 sekolah), muridnya sebanyak 776 murid, Madrasah Tsanawiyah (MTs
3 sekolah), muridnya sebanyak 613 murid, dan Madrasah Aliyah (MA 6 sekolah),
berbasis Islam, dan mereka adalah pemimpin partai tersebut. Terutama perkembangan
partai politik yang berbasis Nahdlatul Ulama. Hal ini terlihat dari hasil pemilihan
umum pada tahun 2004, di desa Parendu partai pemenangnya adalah PKB yakni
87
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Pragaan Dalam Angka 2004, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 15-20
196
Perilaku Homoseksual di PonPes
21.234 suara, PDIP 3.936 suara, PAN 3.614, dan PPP mencapai 2.249.88 Apalagi para
kiai di Pondok Pesantren Al-Amanah tidak memihak salah satu partai politik dan
partai politik yang berafisiliasi dengan sosial, budaya, dan agamanya, yakni partai
politik yang berbasis Nahdlatul Ulama. Meskipun sekarang ini masyarakat mulai
mengalami kejenuhan dan kebingungan mana partai politik yang benar-benar berbasis
Desa Parendu, penduduknya pada tahun 2004 mencapai 11.907 jiwa yang
melingkupi 2.722 rumah tangga, yang tersebar di lima puluh sembilan RT dan dua
puluh empat RW. Dengan luas wilayah 4.55 km², maka kepadatan penduduk di desa
Parendu adalah 2,614 jiwa/km². Akibat tingkat kepadatan yang begitu tinggi serta
keadaan tanah kering yang ada di desa Parendu, maka pendapatan perekonomian
penduduk dari segi lain di desa Parendu relatif lebih makmur atau lebih kaya
pedagang sebanyak 112 keluarga, konstruksi bangunan sebanyak 153 keluarga, usaha di
88
Monografi Kecamatan Pragaan tahun 2005, hlm. 28
197
Perilaku Homoseksual di PonPes
orang, dan usaha dalam bidang industri kecil sebanyak 35 keluarga, industri rumah
tangga sebanyak 213 keluarga,89 pertambangan sebanyak 42 keluarga, dan usaha dalam
bidang listrik, gas, dan air sebanyak 30 keluarga. Sedangkan sisanya adalah pertanian di
dan peternakan sebanyak 162 keluarga, sisanya adalah perikanan sebanyak 150
sejahtera dengan asumsi dari berbagai usaha yang dilakukan oleh keluarga masyarakat
Parendu. Hal ini dibuktikan oleh data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik Kabupaten Sumenep, yang menyebutkan bahwa masyarakat Parendu yang pra
sejahtera sekitar 706 keluarga, sedangkan masyarakat Parendu yang sejahtera I sekitar
385 keluarga, dan yang sejahtera II mencapai 2. 834 keluarga. Selain itu, bukti akan
perbankan (ATM) yang ada di desa tersebut, yakni Bank BCA (ATM), Bank BNI, Bank
Jatim, dan Bank BRI. Selain itu, masyarakat desa Parendu sangat tertutup terhadap
para usahawan-usahawan baru, dan terutama terhadap etnis Cina. Hal ini nampak dari
paguyuban para pedagang Parendu yang menolak adanya pedagang baru, bahkan
89
Industri-industri tersebut meliputi; industri makanan dan minuman, industri kayu, industri
barang galian, dan industri pengolahan.
90
Sekitar 10% masyarakat desa Prenduan bekerja sebagai buruh pembuat garam. Usaha ini
tergantung pada musim kemarau karena alat yang digunakan amat sederhana. Bila musim hujan daerah
ini dimanfaatkan sebagai tambak, namun bila musim kemarau tambak tersebut berubah menjadi ladang
garam.
198
Perilaku Homoseksual di PonPes
Selain itu, ketundukan masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap kiai
bangunan sosial masyarakatnya. Buppa' (bapak), Babu' (ibu), Guruh (guru/kiai), Ratoh
(raja), adalah pelambangan unsur-unsur dalam bangunan sosial masyarakat desa Gilir-
gilir dan Parendu (Madura). Jika Buppa' dan Babu' merupakan elemen penting dalam
keluarga di desa tersebut, maka Guruh dan Ratoh adalah penentu dalam dinamika sosial,
dan Parendu pada bapak dan ibunya, juga ketundukan terhadap tokoh panutan
(guru/kiai) dan kepada pemerintah. Tokoh panutan biasa disebut pemimpin informal.
sesepuh, tokoh-tokoh desa, dan sebagainya.92 Sedangkan pemimpin informal dan figur
yang dipatuhi dalam masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu yang perilakunya
91
Bisri Effendy., Op. Cit, hlm. 39
92
Abdurrahman., 1978, "Kepemimpinan Dalam Administrasi Pembangunan di Jawa Timur
Perbandingan Kerjasama Pimpinan Formal dan Informal Daerah di Jawa Timur", dalam Paper Proyek
Penelitian Madura, Depdikbud RI dalam Rangka Kerjasama Indonesia – Belanda, hlm. 81, sebagaimana
yang dikutip oleh Muthmainnah., 1998, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi,
LKPSM: Yogyakarta, hlm. 26
199
Perilaku Homoseksual di PonPes
bertentangan dengan kiai, adalah orang blater.93 Orang blater secara kultural mendapat
legitimasi sebagai figur yang dipatuhi. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat di
desa Gilir-gilir dan Parendu "terseret" ke dalam wacana dan ritual keagamaan yang
dibawa oleh agen sosial desa dalam hal ini kiai, seperti dalam pengamatan Kuntowijoyo.
Struktur ekologi pertanian tegalan yang tidak produktif tersebut yang melahirkan
proses sosiokultural yang tidak selalu merujuk pada keberagamaan yang dibawa para
komunitas blater.94 Mereka mempunyai perilaku yang bertentangan dengan agama dan
kiai, sehingga mereka diidentikkan dengan perilaku atau perbuatan hitam, seperti:
berjudi, minum-minuman keras, main perempuan, sering melakukan remo95 dan carok96,
serta merampok atau mencuri. Dalam hal tertentu orang blater sangat tunduk kepada
kiai, pertama, karena pada umumnya orang blater masih berguru kepada kiai. Kedua,
kesaktian orang blater (seperti tidak mempan dibacok senjata tajam) karena diberi do’a-
93
Blater adalah tokoh atau panutan masyarakat yang mengorientasikan medianya melalui
kekerasan. Blater ini kebanyakan banyak dikenal di daerah Madura Barat : Bangkalan dan Sampang,
ketimbang di Madura Timur: Sumenep dan Pamekasan. Namun pada perkembangannya blater ternyata
telah berkembang pesat bahkan sampai ke Madura Timur, yang hampir semua Kepala Desanya adalah
blater.
94
Abdur Rozaki., Op. Cit, hlm. 60
95
Remo adalah acara yang dilengkapi hiburan seperti sandur, hiburan yang disajikan dalam remo
adalah sandur Madura yaitu suatu jenis kesenian tradisional semacam ludruk yang dimeriahkan oleh
penari (tanda') laki-laki dengan diiringi oleh gamelan. Dengan adanya kesenian tersebut maka seorang
blater dapat menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang jagoan, dengan menari dengan jenis tarian
tertentu yang sesuai dengan pilihannya. A Latief Wiyata., Op. Cit, hlm. 71
96
Carok adalah berkelahi satu lawan satu atau lebih atau berkelompok dengan menggunakan
senjata tajam, yang biasanya dikenal dengan celurit. Untuk lebih lanjut mengetahui tentang kekerasan di
Madura, lihat Elly Touwen Bouwsma., 1989, "Kekerasan di Masyarakat Madura", dalam Huub de Jonge
(edit), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura, terj.
Suparmin, Rajawali Pers: Jakarta, hlm. 159-179
200
Perilaku Homoseksual di PonPes
97
do’a oleh kiai (jimat). Kepemimpinan dua tokoh dalam masyarakat yang
dibutuhkan untuk menjadi pemimpin desa atau kepala desa supaya desanya aman,98
Parendu pada umumnya dengan budaya yang unik. Satu sisi budaya mereka banyak
dipengaruhi oleh budaya Islam sebagai perwujudan kepemimpinan kiai lewat pondok
namun di sisi lain budayanya juga dipengaruhi unsur kekerasan sebagai perwujudan
kepemimpinan orang blater, seperti budaya carok dan kerapan sapi.102 Sebagai elite desa,
keduanya (kiai dan blater) saling melakukan berbagai cara untuk mendapatkan
pengaruh, simpati, dan kekuasaan dari masyarakat. Pendekatan kiai pada umumnya
97
Muthmainnah., Op. Cit, hlm. 27
98
Hal ini pernah diteliti oleh Muhammad Zuhri., 1991, Persepsi Masyarakat terhadap
Kepemimpinan Kepala Desa: Studi Kasus tentang Perilaku Devian di Kabupaten Bangkalan, Madura,
Jawa Timur, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
99
Di desa Gilir-gilir terdapat 2 organisasi gambus, desa Parendu terdapat 1 organisasi gambus.
100
Di desa Gilir-gilir terdapat 5 organisasi hadrah, desa Parendu 3 organisasi hadrah.
101
Untuk mengetahui lebih lanjut, baca Helene Bouvier., 2002, Lebur: Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, terj. Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau, Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta.
102
Meskipun pada dasarnya budaya carok adalah perlawanan atau peperangan menggunakan
celurit, namun carok merupakan pengorbanan jiwa untuk membela harga diri seperti ungkapan "Angoan
pote tolang etembang pote mata" (lebih baik mati daripada hidup menanggung malu). Sedangkan kerapan
sapi adalah sebuah kesenian masyarakat yang tidak bias dilepaskan dari keterampilan mereka
memelihara sapi. Wawancara dengan Syaf Anton Wr, Ketua Dewan Kesenian Sumenep, 24 Maret 2006.
Lebih lanjut lihat, Gleen Smith., "Pentingnya Sapi dalam Masyarakat Madura", dalam Huub de Jonge
(edit), Op. Cit, hlm. 277-291
201
Perilaku Homoseksual di PonPes
melalui wacana, ritual, dan simbolisasi keagamaan.103 Bahkan kiai melalui kekuasaan
dan pengaruhnya mampu untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama yang ada
104
di kabupaten Sumenep. Sedangkan blater melalui kemampuannya dalam
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam belum menjadi budaya yang
inherent dalam masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu, melainkan hanya sekedar
terhadap Islam, dengan ditandainya oleh banyaknya pondok pesantren yang ada di
pemahaman yang benar, dan ajaran Islam hanya dipahami sebagai seremonial
permasalahan hidup menjadi penyebab keunikan atau ambiguitas orang di desa Gilir-
103
Meskipun tidak menutup kemungkinan lewat jalur politik, karena para kiai banyak yang
berkecimpung di jalur politik (12 kiai yang jadi DPRD Sumenep), bahkan kiai dukun (kiai yang banyak
menjual jimat, mantra, dn ilmu kebal kepada masyarakat).
104
Hal ini terlihat dari penelitian, Iskandar Dzulkarnain., 2003, "Hubungan Antarumat
Beragama di Sumenep Madura (Studi tentang Hubungan Umat Islam dan Katolik di Kecamatan
Sumenep)", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
105
Pondok-pondok tersebut adalah: Al-Furqon, An-Nuqayah Lubangsa Selatan, Mambaul
Ulum, Nurul Ulum Patapan, At-Tarbiyah, An-Nuqayah Lubangsa, An-Nuqayah Late I, dan Al-Anwar,
An-Naqiyah. Daftar Emis Pondok Pesantren Tahun Pelajaran 2005/2006, Kantor Departemen Agama
Kabupaten Sumenep.
106
Pondok-pondok tersebut adalah: Al-Muqri, Tegal Al-Amien, Al-Amien Putri I, Ma'had
Tahfidz Al-Qur'an, TMI Al-Amien Putra, Ma'had Tahfidz Al-Qur'an Zainul Ibad, Darul Imar, TMI Al-
Amien Putri II, dan Al-Mukri Asalafi, Al-Amanah. Daftar Emis Pondok Pesantren Tahun Pelajaran
2005/2006, Kantor Departemen Agama Kabupaten Sumenep.
202
Perilaku Homoseksual di PonPes
gilir dan Parendu. Seperti, terlihat pada pola berpakaian masyarakatnya terutama laki-
laki, yang selalu menggunakan songko' (kopyah) dan sarung, ke manapun mereka pergi,
terutama pada sa'at menghadiri ritual keagamaan, sholat jum'at, atau ketika menerima
tamu yang tidak dikenal. Sehingga Mark R Woodward tidak menyebutnya sebagai
Islam murni melainkan "Islam lokal".107 Atau dengan kata lain sebagaimana pengaruh
menggunakan sufisme dan pengetahuan lokal (local knowledge) secara dominan.108 Hal
ini terlihat dengan masih percayanya masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap
terhadap makhluk halus, seperti: roh nenek moyang yang dipercayainya datang tiga kali
dalam sehari, yaitu menjelang maghrib, pukul satu malam, dan pukul tiga dini hari.
Sedangkan pergantian siang dan malam (sorop are atau para' compet are) segala roh halus
keluar, termasuk yang jahat. Sehingga anak-anak kecil tidak boleh keluar rumah,
terutama yang giginya belum tanggal, karena dianggap berbahaya. Untuk menyambut
roh nenek moyang, mereka membakar dupa menjelang maghrib, di halaman atau di
dalam rumahnya, terutama pada malam jum'at. Selain itu, mereka juga percaya kepada
jin, setan gondroruwo, setan gundul, din dadin (syetan), jerangkong, searaksa bengko
(yang jaga rumah), dan searaksa somor (yang jaga sumur). Hubungan antara roh nenek
107
Mark R Woodward., 2002, Islam Di Jawa, LKiS: Yogyakarta, hlm. 70-71
108
Azyumardi Azra., 1994, Jaringan Ulama': Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, Bandung: Mizan.
203
Perilaku Homoseksual di PonPes
moyang juga tampak pada ritual pembuatan sumur (searaksa somor). Perlengkapan ritual
tersebut adalah tajin (bubur) yang berbentuk tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam,
serta air kopi dan dupa. Tajin putih melambangkan kesucian niat orang yang membuat
sumur, tajin hijau melambangkan warna air dan ditujukan kepada Nabi Khidir sebagai
penguasa air, dan tajin hitam dianggap sebagai penolak bala. Sedangkan air kopi dan
dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang. Adapun hubungan dengan roh
nenek moyang yang berhubungan dengan pembuatan rumah (searaksa bengko), adalah
sebelum pondasi dibangun diadakan upacara selamatan yang dipimpin kiai. Selamatan
diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang ikut membantu bekerja. Do'a yang
dibaca kiai ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar
dapat mendapatkan berkah dan tidak mendapat gangguan terhadap rumahnya, dan
tidak terkena bala (kenneng tola).109 Mereka juga mengenal upacara: rokad disa (bersih
desa), rokad tasek (selamatan di laut), nyadar (nazar, yang biasanya dilakukan sebagai
selamatan di lahan penggaraman) 110 , dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga
percaya akan kekuatan benda-benda yang dianggap keramat dan sakti, seperti: keris,
tombak, permata cincin, dan makam para leluhur yang dianggap suci dan keramat
sehingga harus diziarahi atau sering disebut dengan istilah buju' (makam). Makam ini
dipercayai keramat, karena roh atau arwah yang bersemayam di situ pada masa
109
Andang Subaharianto (dkk)., 2004, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur,
Menjunjung Leluhur), Bayu Media: Malang, hlm. 72-74
110
Hal ini berkaitan dengan penghormatan masyarakat terhadap Anggasuta (orang yang sakti
dan pertama kali menemukan lahan garam), yang biasanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi
Muhammad tanggal 12 Maulid – 19 Maulid pada hari sabtu.
204
Perilaku Homoseksual di PonPes
hidupnya sakti. Kesaktian itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli warisnya atau
Kepercayaan masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terhadap buju' sangat tinggi.
Sehingga hampir setiap dusun terdapat buju', yang berfungsi sebagai penjaga
keramat yang dipercayai di masyarakat desa Gilir-gilir dan Parendu terdapat empat jenis:
pertama, makam keturunan raja (di Asta Tinggi Sumenep), kedua, makam para wali
(Wali Sanga/makam Syaikh Khalil Bangkalan/makam Syaikh Yusuf Sumenep dan lain
sebagainya), ketiga, makam pembabat desa (makam Anggasuta Sumenep), dan terakhir,
arwah nenek moyangnya melalui tradisi nekromansi atau melalui media tahlilan, yang
meninggal dunia. Tradisi ini seringkali disebut juga dengan istilah ngaji. Namun istilah
tersebut digunakan sebagai penyebutan praktik kultural ini yang hanya mulai dari hari
pertama sampai hari ketujuh, pesertanya tidak mendapat undangan secara khusus,
karena selamatan ini lebih dipahami sebagai pesta komunal masyarakat yang sifatnya
111
Andang Subaharianto (dkk)., Op. Cit, hlm. 74-77
205
Perilaku Homoseksual di PonPes
terbuka, sehingga melaibatkan warga masyarakat dari semua tingkatan usia, dan
semuanya laki-laki.
masyarakat peserta tahlilan pada telok arena (hari ke 3), dan pettok arena (hari ke 7),
biasanya kiai atau tokoh masyarakat. Sesudah pettok arena waktu-waktu lainnya yang
dipandang istimewa untuk menghormati arwah nenek moyang adalah pakpoloh arena
(hari ke 40), satos arena (hari ke 100), nyataon (satu tahun hari kematiannya), dan
nyaebuna (hari ke 1000). Meskipun demikian, ada beberapa warga masyarakat yang
keluarganya atau sering disebut khoul. Namun yang melaksanakan tradisi ini hanya
mereka yang mampu secara ekonomi, dan dianggap sebagai tokoh masyarakat atau
keluarga kiai.
Lebih lanjut, kesenian pertunjukan topeng dan lodrok juga memperlihatkan akan
adanya pengaruh kultural pra Islam. Selain itu, dalam tradisi kesenian ini para pelaku
seninya harus berperilaku transvetis, yakni para penari atau pelaku kesenian topeng atau
mereka adalah laki-laki. Sedangkan budaya keagamaan Islam terdapat pada upacara
dan peringatan keagamaan Islam, seperti, Mauludan, Hari Raya Idul Fitri, Isra' Mi'raj,
dan sebagainya.
206
Perilaku Homoseksual di PonPes
masyarakat Gilir-gilir dan Parendu, yakni pengajian kitab kuning, yasinan, manakiben,
nariyehen, dibe'en, dan talqinan. Pengajian kitab kuning, biasanya sering dilakukan setiap
malam selasa dan malam Jum'at di desa Gilir-gilir. Sedangkan di Parendu setiap malam
Rabu. Kitab yang sering digunakan adalah "Fathul Qarib", "Taklimul Mutaallim", dan
lainnya. Pengajian ini dipimpin oleh kiai langgar atau kiai. Pengajian ini sifatnya
terbuka dan tidak terikat, dengan maksud apabila ada salah satu warga yang tidak bisa
perwujudan akan pentingnya membaca kitab suci. Biasanya dilakukan setiap malam
Jum'at baik di Gilir-gilir ataupun di Parendu. Peserta pengajian ini semuanya adalah
laki-laki yang sudah mulai tua atau laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga. Dalam
pengajian ini kiai dianggap sebagai pimpinan, pola pengajiannya digilir dari satu rumah
ke satu rumah lainnya yang jadi anggota peserta pengajian tersebut. Di setiap pengajian
ini peserta akan diberi sajian atau hidangan makanan kecil, seperti kacang, kerupuk,
dan lain sebagainya. Atau bisa jadi diberi makan seadanya, namun yang pasti setiap
manifestasi akan ungkapan syukur atas suatu keberhasilan. Tradisi ini adalah tradisi
yang dipimpin oleh dua sampai tiga orang kiai atau orang yang bisa membaca kitab
207
Perilaku Homoseksual di PonPes
yang berbahasa arab. Kitab yang dibaca adalah kitab manakib, yang menceritakan
tentang riwayat hidup Abdul Qadir Jaelani. Tradisi nariyehen, adalah tradisi yang lebih
bersifat eksklusif. Karena peserta tradisi ini adalah ibu-ibu yang sudah berkeluarga.
Kegiatan ini seringkali diselenggarakan setiap jum'at sore, yang dipimpin oleh Istri-istri
kiai. Bahkan tradisi ini seringkali dikaitkan dengan salah satu organisasi sosial
keagamaan terbesar di Gilir-gilir dan Parendu, yakni NU, yang menggunakan atribut
"fatayat"nya dalam melaksanakan tradisi nariyehen ini, yang dilaksanakan setiap kamis
bersifat terbuka, yakni melibatkan semua umur dan jenis kelamin. Kecuali dibe'en rutin
yang dilakukan setiap malam senin (laki-laki Gilir-gilir), malam Jum'at (perempuan
Gilir-gilir), dan malam Minggu (laki-laki Parendu), sedangkan perempuannya tidak ada.
Pembacaan dibe'en ini juga menggunakan kitab yang berbahasa Arab, yakni kitab Diba’.
Kitab tersebut menceritakan tentang riwayat hidup Nabi Muhammad SAW beserta
yang meninggal dunia dengan menggunakan kalimat syahadat, agar orang yang
meninggal dunia tersebut selalu ingat kepada Allah. Hal ini menampakkan akan
kepedulian masyarakat terhadap sesamanya yang tidak hanya terbatas ketika masing-
masing hidup, tetapi berlanjut sampai ketika akan menemui ajalnya bahkan sampai
meninggal. Pembacaan talqin ini dipimpin oleh kiai, dan ketika dibacakan para pelayat
208
Perilaku Homoseksual di PonPes
akan jongkok untuk menghormati mayat yang ada di kuburan tersebut. Dalam
berbagai kalimat yang dibacakan dalam talqin tersebut menampakkan tentang arti
Islam, meskipun mereka mayoritas. Ada juga masyarakat desa Gilir-gilir yang beragama
lain, yakni beragama Kristen sebanyak 3 orang, sedangkan yang beragama Islam
sebanyak 15. 369 orang.113 Berbeda dengan desa Gilir-gilir, desa Parendu seluruh warga
112
Tadjoer Ridjal Bdr., Op. Cit, hlm. 93
113
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Guluk-Guluk Dalam Angka 2004,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 27
114
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Pragaan Dalam Angka 2004, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep, hlm. 28
209
Perilaku Homoseksual di Ponpes
BAB IV
Seks dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat biologis atau terberi oleh
alam. Hal ini semakin diperkuat dengan pengenalan kita akan seks yang berkarakter
jantan yang menunjuk kepada sosok laki-laki, dan seks yang berkarakter betina
bersifat natural namun pada akhirnya seks akan masuk dalam kategori konstruksi sosial
yang dapat memberikan pembedaan antara yang normal dengan yang abnormal. Dari
sinilah maka muncul kategori seks yang disebut hermafrodit yang berposisi di antara
betina dan jantan. Atau kita seringkali menyebutnya dengan sebutan waria (wanita-
pria) yang dalam bahasa Maduranya bendu, karena memiliki karakteristik dan bahkan
dianggap normal dan abnormal adalah yang berada dalam rangkaian oposisi duaan,
ideologisasi heteroseksual. Oleh karena itu, kategori bagi para kaum homoseksual,
meskipun secara karakter maupun perilaku sangat berbeda dengan kaum waria
termasuk ke dalam kategori perilaku seksual yang abnormal. Hal ini semakin diperkuat
1
Triyono Lukmantoro., "Moral, Seksualitas, dan Intervensi Negara", dalam Kompas, Senin, 11
April 2005, hlm. 42
210
Perilaku Homoseksual di Ponpes
ketika birokrasi negara dan swasta yang selalu mengidentifikasi setiap individu dengan
dua pilihan jenis kelamin; laki-laki atau perempuan, termasuk juga di sini instansi
secara sosial mengonstruksi kualitas, hasrat, peranan, dan identitas yang dijalankan
bersamaan dengan perilaku dan aktivitas seksual.3 Dengan demikian, maka seksualitas
memiliki watak personal maupun sosial yang dapat memberikan kemungkinan bagi
setiap lembaga termasuk pondok pesantren untuk melakukan intervensi. Yang pada
hal ini menimbulkan ambivalensi terhadap nilai yang terjadi ketika seksualitas yang
bersifat individual harus juga dimaknai secara sosial. Selain itu, seksualitas tidak akan
hadir dalam sebuah perbincangan jika tidak didahului oleh sebuah wacana (discourse)
yang mengatur. Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dibentuk oleh discourse.
Discourse sendirilah yang secara wajar dimengerti sebagai sebuah perbincangan atau
sebuah pernyataan yang dimulai dengan berbagai ideologi dan kepentingan yang
ternyata berisi tentang praktik regulasi yang memberikan evaluasi terhadap benar atau
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam bab ini penulis ingin
mendeskripsikan tentang dua wacana homoseksual atau lebih dikenal dengan istilah
2
Ibid..
3
David Jary and Julia Jary., 1991, Collins Dictionary of Sociology, Manchester: Harper Collins
Publishers, hlm. 565
4
Triyono Lukmantoro., Loc. Cit.
211
Perilaku Homoseksual di Ponpes
alaq dalaq yang berkembang di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah dan pondok
pesantren modern Al-Amanah, serta perilaku alaq dalaq santri di dalam kebebasan yang
Seks dalam kehidupan sosial manusia merupakan suatu bagian yang begitu
penting, hal ini dikarenakan perilaku seksual dapat mempengaruhi konstruksi sosial.5
Sebuah tradisi pemikiran empiris yang memandang seks sebagai sesuatu yang sangat
bersifat esensial dan merupakan bagian dari kebutuhan biologis. Oleh karena itu
dan non esensial (sosial diskursif). Dengan dua hal tersebut kiranya amat penting bagi
kita untuk menjadikannya bagian penting dalam melihat perilaku seksual para kaum
homoseksual, yang dalam artian bukan hanya sekedar relasi sosial antarpelakunya,
namun juga pola-pola perilaku seksual serta dorongan seksual yang ada dalam diri
Pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai benteng yang kokoh akan
pondok pesantren ini semakin kuat dengan semakin berkembangnya lembaga ini di
5
Thanh-Dam Truong., 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara,
Jakarta: LP3ES, hlm. 42
212
Perilaku Homoseksual di Ponpes
ustadz, dan santrinya telah dijadikan sebagai acuan moralitas bagi masyarakat
sekitarnya. Bahkan dalam strata sosial pun mereka lebih tinggi ketimbang masyarakat
lainnya.
menjadikan lembaga ini sebagai sebuah lembaga yang mempunyai ciri Islami dalam
setiap nadi kehidupannya. Hal ini semakin diperkuat dengan terjadinya hijab atau
Seperti yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah, mereka telah memisahkan setiap
dalam satu lingkungan yang sangat berdekatan. Bahkan para santri laki-laki juga tidak
diperbolehkan secara sembarangan untuk memasuki wilayah nyai-nyai atau putri para
kiai karena hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya tabu. Larangan ini
semakin kuat dengan terjadinya kejadian putri kiai (salah satu pengasuh) berpacaran
Peraturan hijab yang sedikit banyak sebagai bentuk dari representasi ajaran
Islam yang lahir di Timur Tengah inilah yang semakin menguatkan perilaku
homoseksual di antara para santri, meskipun ada beberapa alasan lainnya. Bahkan hijab
atau pemisahan ruang telah tergenderkan sejak awal kemunculan ajaran Islam,
213
Perilaku Homoseksual di Ponpes
kekuasaan, oleh karena itu konstruksi sosial ruang tentu juga merupakan sesuatu yang
tergenderkan dengan sendirinya. 6 Hal ini diperkuat juga dengan bagaimana sebuah
ruang dan tempat-tempat, telah dikonstruksi dalam hal klas, gender, ras, etnis,
kekuatan militer, intervensi pemerintah, dan berbagai wujud lainnya, seperti kekuasaan
yang sifatnya simbolis dan material,7 yang dalam hal ini kiai.
gender antara laki-laki dengan perempuan tidak mengenal batas standarisasi usia,
penempatan kamar bagi para santri lebih ditetapkan sesuai dengan keinginan santri
masing-masing. Hal ini merupakan kebiasaan yang ada di dalam tradisi pondok
pesantren tersebut. Meskipun demikian pada umumnya santri paling seniorlah yang
menjadi ketua kamar tersebut. Dalam setiap kamar yang ada di daerah-daerah pondok
pesantren An-Naqiyah di sekat-sekat menjadi beberapa puluh kamar yang dihuni oleh
lagi muat atau tidak nyaman untuk dijadikan tempat tidur. Sehingga kamar tersebut
lebih berfungsi sebagai tempat istirahat dan tempat untuk menyimpan barang-barang
serta tempat untuk mengganti pakaian, sedangkan segala kegiatan yang lain seperti
6
Chris Barker., 2005, Cultural Studies: Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural Studies
Center, Yogyakarta: Bentang, hlm. 385
7
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Nzegwu pada tahun 1996 tentang
ruang-ruang Lagos di Nigeria. Ibid., hlm. 387
214
Perilaku Homoseksual di Ponpes
belajar dan tidur biasa dilakukan di depan kamar masing-masing atau di beranda
masjid.
ciri khas dalam kehidupan mereka, sehingga seringkali perilaku dan kebiasaan
kesehariannya. Seperti, gurauan di antara mereka tentang besar kecilnya alat kelamin
mereka. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh santri sesama angkatan antara Moh.
Latief dengan Abdurrahman "oh palakna ba'na mak dhe' rajena dha' remma mun dhaggi'
abine apa tak niser ka binena" (man alat kelaminmu kok besar sekali bagaimana kalau
nanti sudah menikah apa tidak kasihan dengan istrimu). Hal ini menjadi semakin kuat
mandi yang disediakan oleh pondok pesantren tidak sesuai dengan standar jumlah
santri yang mondok. Sehingga perilaku gurauan seperti inilah yang menjadi perhiasan
Sedangkan dari perilaku seksualnya para santri yang ada di pondok pesantren
An-Naqiyah pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan perilaku seksual pada
masyarakat lainnya secara umum. Meskipun tidak dapat diukur seberapa tinggi atau
seberapa rendahnya perilaku seksual seorang santri, kalaupun mereka setiap waktunya
215
Perilaku Homoseksual di Ponpes
perilaku dorongan "biologis" untuk melakukan hubungan seksual menjadi sesuatu yang
lumrah. Hal ini semakin diperkuat dengan usia setiap santri yang mondok di pondok
pesantren An-Naqiyah yang secara mayoritas telah akil baligh, atau sekitar usia remaja
antara 12 sampai 20 tahun. Meskipun usia di bawahnya atau di atasnya masih ada dan
masih banyak. Atau bisa dikatakan bahwa para orang tua memondokkan anak-anak
sebagai bentuk konstruksi subjektif mereka terhadap seksualitas. Hal ini diperkuat
dengan asumsi mereka bahwa mereka melakukan hubungan alaq dalaq sebagai sarana
alat untuk tetap melakukan tradisi kepesantrenan (perilaku homoseksual antara santri
moralitas.8
8
Hasil dari observasi selama tiga bulan dan wawancara atau obrolan bersama para santri
216
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Kebebasan mereka terlihat dengan kuatnya ambisi mereka untuk melakukan segala hal
dalam kehidupan keseharian para santri semakin diperkuat dengan kondisi umur
mereka yang rata-rata sedang mengalami puber atau akil baligh, sehingga dorongan
untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya menjadi sesuatu hal yang lumrah.
Selain itu, kurangnya pantauan atau peraturan yang dilakukan oleh pengasuh pondok
pesantren sedikit banyak ikut mempengaruhi perilaku pubersitas kebebasan yang ada
Hal ini semakin diperkuat dengan pengakuan santri senior 9 dan alumni 10
telah lahir sejak mereka nyantri di pondok pesantren tersebut, bahkan telah diajari
oleh para senior mereka untuk melakukan perilaku yang membebaskan tersebut.
Seperti kebiasaan mereka untuk melihat atau menonton film di Sumenep atau kota
dalam judul-judul film tersebut. Misalnya, "Ranjang Ternoda", "Nafsu Birahi", dan lain
sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena pada malam Jum'at pondok pesantren An-
Naqiyah membebaskan para santrinya dalam segala kegiatan, seperti, pengajian kitab
sholat berjama'ah Isya' tersebut mereka pergi untuk melihat film dan sebelum sholat
9
Wawancara dengan Muhammad Amin, tanggal 20 Februari 2006
10
Wawancara dengan Ahmad, alumni pondok pesantren tanggal 15 Februari 2006
217
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Shubuh mereka telah kembali ke pondok pesantren, setelah itu mereka tidur akibat
bergadang semalaman. Hal ini bisa terjadi karena pada hari jum’at mereka diliburkan
dari segala kegiatan seperti hari-hari yang lain. Karena bagi pondok pesantren hari libur
adalah hari juma’at bukan hari minggu. Kebebasan ini hampir sama dengan kebebasan
yang ada di kost yang membedakannya hanyalah relasi para anak kost yang lebih
dengan lawan jenisnya atau memang karena ideologisasi heteroseksual yang sangat kuat
perilaku seksualnya ke sesama relasi santri (laki-laki dengan laki-laki), karena tidak
adanya relasi seksual lainnya selain ke sesama santri tersebut dan karena kuatnya
dorongan untuk berperilaku seperti itu, yakni perilaku alaq dalaq sesama santri di
pondok pesantren.
An-Naqiyah telah menguatkan perilaku alaq dalaq ini di kalangan santri pondok
pesantren. Tradisi tersebut sama seperti Ospek dalam kebiasaan di kalangan institut,
yakni pengajaran ideologis para santri senior kepada santri yunior sebelum mereka
masuk ke dalam lingkungan pondok pesantren. Hal inilah yang menjadikan ciri khas
di dalam pondok pesantren, yakni semakin kuatnya tradisi yang ada di pondok
218
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dengan atau tanpa pakai celana dalam, dan tidur di depan kamar masing-masing atau
di beranda masjid, serta menghuni kamar yang sesuai dengan keinginannya, yang,
Tradisi atau kebiasaan berperilaku alaq dalaq sesama santri juga merupakan
tradisi kesantrian yang sangat kuat dan mengakar di dalam keseharian santri. Hal ini
bisa terjadi disebabkan kebiasaan para santri senior untuk mulai menyeleksi para calon
santri (santri yunior), yang menurut mereka cakep dan sesuai dengan keinginannya.
Seperti, kulitnya putih, masih kecil (yunior), dan kelihatan cantik (cakep) menurut para
santri senior. Ciri-ciri dari santri yang cakep tersebut adalah; kulit putih, agak gemuk,
dan kulit pipi putih kemerahan. Penyeleksian ini berlangsung ketika terjadi
pendaftaran santri-santri baru, dan setiap santri baru yang favorit menurut mereka
dijadikan objek pencalonan pasangan seksual mereka pada nantinya. Dengan berbagai
kesepakatan yang terjalin, yakni akan dipelajari ilmu-ilmu yang ada di pondok
pesantren, ditemani dalam kesehariannya, dan dijaga agar tidak diganggu santri lainnya,
merupakan beberapa kesepakatan yang terjadi di antara mereka, dan jika telah terjadi
kesepakatan dengan sendirinya santri yunior tersebut akan tinggal satu kamar dengan
santri senior tersebut, dan santri senior lainnya tidak akan mengganggunya bahkan
mereka akan mencari pasangan lainnya. Namun jika santri yunior tersebut menolak
kesepakatan tersebut maka santri senior lainnya yang akan mendatanginya dan jika
tetap ditolak maka santri yunior tersebut dianggap sebagai pasangan yang bebas, yaitu
semua santri bisa melakukan hubungan alaq dalaq dengannya tanpa harus menjadi
219
Perilaku Homoseksual di Ponpes
pasangan. Tradisi pemilihan pasangan seksual ini telah menjalar dan menjadi pondasi
yang sangat kuat di kalangan santri, sehingga sangat mudah untuk melacak setiap
pasangan homoseksual atau pasangan alaq dalaq yang ada di pondok pesantren An-
Naqiyah, meskipun pada awalnya harus menutup segala identitas kita sebagai seorang
peneliti. Hanya kiai, pengurus, dan ustadz-ustadz sajalah yang sangat protektif terhadap
para pendatang.
Selain itu, ada beberapa santri yang menganggap hubungan alaq dalaq mereka
pondok pesantren. Seperti, tafsiran tentang "melakukan hubungan alaq dalaq yang
lebih kecil dosanya ketimbang melakukan zina". 11 Meskipun penafsiran ini tidak
penafsiran ini telah berkembang dengan sangat kuat di dalam kalangan pondok
pesantren. Hal ini diperkuat lagi oleh pandangan kiai Subhan yang mengatakan;
perilaku alaq dalaq hanyalah secuil dosa ketimbang perilaku zina. Hal ini berbeda
dengan yang terjadi pada masa Nabi Luth di mana mereka melakukan hubungan
11
Wawancara dengan Fatur, santri senior yang sekarang sudah dianggap sebagai ustadz di
pondok pesantren An-Naqiyah, tanggal 26 Februari 2006, yang mengatakan bahwa interpretasi tersebut
berasal dari kiai-kiai mereka
220
Perilaku Homoseksual di Ponpes
seksual dengan melakukan penetrasi anus, bahkan menurutnya hubungan cinta antara
santri laki-laki dengan santri perempuanlah yang lebih berbahaya yang terjadi di
antarsantri laki-laki".12
sebagaimana yang ditulis oleh Syarifuddin13, yang menganggap bahwa hampir semua
santri dan alumni santri tidak menganggap perilaku seksual mereka sebagai
homoseksual. Karena orang-orang (santri) yang melakukan alaq dalaq saat masih di
normal dan tidak pernah ditemukan kasus mereka menjadi homo. Meskipun demikian,
ternyata terdapat alumni santri dari pondok pesantren Niasyatul Alimin Bendula
yakni keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Selain itu,
perilaku seksual para kaum homo dikenal dengan beberapa pola hubungan seksualnya,
yaitu perilaku oral genital (fellatio) yang hanya dengan memeluk dan mencium, kedua,
12
Wawancara pada tanggal 24 Januari 2006
13
Syarifuddin., 2005, Mairil: Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: P-Idea, hlm. 29
14
Wawancara dengan Achmad Mugiono, seorang alumni santri yang tetap melakukan
hubungan homoseksual sampai sekarang, tanggal 25 Mei 2006. "Saya melakukan perilaku alaq dalaq ini
sejak mondok di pondok pesantren Niasyatul Alimin, mulai madrasah ibtidaiyah sampai madrasah
aliyah, kemudian saya keluar dari pondok dan menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia, lalu pulang
ke rumah dan tetap menjadi bagian dari kaum homoseksual, yakni ketertarikan relasi seksual saya
terhadap sesama".
221
Perilaku Homoseksual di Ponpes
seks anal (koitus genitor-anal) atau seksualitasnya dengan melakukan penetrasi anus, dan
ketiga, koitus interfemoral yakni perilaku seksual dengan melakukan gesek-gesek (frottage),
dan fisting (di mana tangan dimasukkan kerektum pasangannya). Dengan demikian,
homoseksual? Hal ini semakin kuat dengan tiga pola perilaku seksual alaq dalaq yang
kategori pola perilaku seksual para kaum homo, yakni fellatio dan koitus interfemoral
(frottage), serta semakin nyata dengan perilaku seksual for pleasurenya para santri.
Meskipun sangat sulit untuk mengetahui pola relasi antarpelaku alaq dalaq,
namun lewat observasi, wawancara, atau obrolan dengan informan, dan bahkan lewat
pengakuan para santri dan alumni santri, dapat disimpulkan bahwa pola relasi alaq
dalaq terdapat tiga pola. Pola relasi perilaku alaq dalaq yang ada di pondok pesantren
An-Naqiyah tersebut tergambar menjadi tiga pola relasi; pertama, relasi alaq dalaq tanpa
ikatan, kedua, relasi alaq dalaq dengan ikatan, dan terakhir, relasi seksual yang
Pertama, relasi alaq dalaq tanpa ikatan, yakni sebuah relasi homoseksual
mempunyai ikatan yang jelas dengan pasangan seksualnya. Hal ini bisa terjadi ketika
para santri senior sudah tidak mendapatkan pasangan seksualnya di saat pendaftaran
222
Perilaku Homoseksual di Ponpes
santri baru. Atau ketika para santri baru tidak mau untuk dijadikan pasangan seksual
Pada pola relasi seksual ini, pelaku adalah seorang santri senior yang
melakukan hubungan alaq dalaq dengan santri yunior atau santri yang lebih yunior
kemungkinan terjadi sesama santri senior. Hal ini terjadi karena tidak adanya pasangan
yang akan dijadikannya korban, sehingga santri senior yang tidurpun bisa dijadikannya
korban alaq dalaqnya. Model seksual tanpa ikatan ini biasanya para santri senior setiap
malamnya mencari santri yunior yang akan dijadikannya sasaran seksualnya dan
kebanyakan sasaran korbannya adalah mereka para santri yunior yang dalam keadaan
tertidur. Hal ini bisa terjadi karena para santri baik senior maupun yunior tidur di
sangat memudahkan para santri senior untuk mencari korban atau pasangan dengan
orientasi seksualnya homoseksual. Selain itu, kebiasaan para santri untuk tidak
salah satu faktor yang mempermudah terjadinya hubungan alaq dalaq ini dan juga tidak
bisa dilepaskan adalah kebiasaan mereka menggunakan sarung. Karena sarung bagi
para santri di pondok pesantren tradisional adalah pakaian resmi mereka baik untuk
ibadah, kantor, atau kegiatan resmi lainnya, termasuk juga di pondok pesantren An-
Naqiyah. Hal ini bisa terjadi karena sarung telah dibudayakan bahkan diideologikan
sebagai bagian yang utuh dari agama, sehingga ada anggapan bahwa santri atau orang
223
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang tidak memakai sarung dan kopyah dalam aktivitas keagamaannya, seperti sholat
bukanlah warga NU, yang telah melepas nilai-nilai kebudayaan. Sehingga para santri
perilaku alaq dalaq di kalangan santri, selain faktor-faktor yang telah disebutkan
sebelumnya, yakni, masa pubertas, pola kebebasan yang tinggi, pembudayaan tradisi
pondok pesantren, interpretasi tafsir terhadap perilaku alaq dalaq, dan lain sebagainya.
Pada pola relasi alaq dalaq ini santri senior akan mencari korbannya sejak mulai habis
sholat isya', sehingga dia akan mengikuti korbannya di mana ia tidur, maka santri
senior tersebut akan tidur di samping korbannya tersebut. Sementara santri yunior
(korban) tersebut tidur maka santri senior mulai lebih mendekat, hal ini biasanya
terjadi sekitar pukul 00.00 – 02.00 wib, dengan berpura-pura memeluk korbannya
pada awal reaksinya dan jika korban tersebut tidak bergerak berarti dia telah tidur
dengan pulas sehingga mempermudah pelaku untuk segera melakukannya. Setelah itu
pelaku akan membuka sebagian sarungnya dan lebih mendekatkan penisnya ke bagian
paha korbannya yang terutama bagian di antara dua paha yang menyempit, maka penis
mencapai klimaks, atau keluar air mani. Kenapa santri yunior yang menjadi korban,
karena bagi santri senior hal itu akan memudahkan untuk terjadinya perilaku alaq
dalaq tersebut, dan juga sebagai sebuah kepuasan tersendiri mendapatkan korban
yunior yang menurut mereka cakep, serta bisa diredamnya para santri yunior untuk
224
Perilaku Homoseksual di Ponpes
marah atau ngamuk ketika mereka mengetahui telah menjadi korban alaq dalaq para
santri senior. Bahkan kejadian ini bisa terjadi sampai lima pasangan perilaku alaq
dalaq.15 Pasangan alaq dalaq kebanyakan korbannya adalah yunior, karena bagi santri
senior para santri yunior tidak akan berontak secara berlebihan ketika dia mengetahui
telah dijadikan korban perilaku alaq dalaq oleh seniornya, atau santri yunior tersebut
tidak akan melaporkan perbuatan santri senior terhadapnya kepada kiai, dan juga
karena santri yunior adalah santri yang paling mudah untuk dijadikan korban karena
masih minimnya pengalaman mereka di dalam tradisi alaq dalaq di pondok pesantren.
Para korban tersebut tidak jarang diguna-gunai (diberi mantra) oleh para santri
senior untuk segera cepat tidur dengan nyenyak sehingga memudahkan santri senior
untuk melakukan aksinya. Biasanya para santri yunior yang menjadi korban tersebut
akan mengetahuinya sesa'at ketika dia akan ngambil wudlu' buat sholat subuh atau
ketika bangun tidur karena mengetahui pahanya basah oleh air mani dan sarungnya
16
tersingkap. Sehingga mengakibatkan dirinya untuk mandi dengan maksud
menyucikan diri dari kotoran air mani yang dikeluarkan oleh teman santri seniornya.
Hal ini terlihat pada setiap harinya menjelang sholat subuh banyak santri di pondok
pesantren An-Naqiyah yang melakukan mandi besar, meskipun dengan berbagai alasan,
di antaranya supaya tidak ngantuk, namun penulis yakin bahwa mayoritas dari mereka
15
Wawancara dengan Moh. Hambali, alumni santri, tanggal 25 Desember 2005, dan dengan
Ahmad Syafi'I, santri, tanggal 25 April 2006.
16
Dalam tradisi Islam dikenal dua macam cara menyucikan; pertama, suci kecil, seperti wudlu'
dan kedua, suci besar bagi mereka yang mengeluarkan air mani, bersenggama, atau korban dari perilaku
alaq dalaq.
225
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang melakukan mandi di waktu sebelum sholat subuh adalah mereka yang melakukan
perilaku alaq dalaq. Hal ini diperkuat dengan kejujuran mereka ketika penulis mencoba
untuk menanyainya satu persatu, dari setiap santri yang mandi besar tersebut. Dari hal
tersebutlah maka penulis di sini menganggap bahwa pola perilaku alaq dalaq tanpa
ikatan ini sebagai perilaku homoseksual dengan pola koitus interfemoral (frottage), yakni
mana tujuan seksualnya, yang dalam hal ini adalah di antara dua paha.
Kedua, pola relasi alaq dalaq dengan ikatan. Pada pola ini biasanya setiap santri
senior akan mendapatkan pasangan seksualnya yakni santri yunior, di sa'at mulai
pendaftaran santri baru atau ketika sudah terjalin kesepakatan di antara kedua santri
tersebut. Biasanya dengan pola ini kedua santri tersebut akan menempati kamar yang
sama, karena kesepakatan di antara mereka untuk terus bersama, saling membantu,
saling menjaga, dan saling memberi, serta saling kasih mengasihi. Santri senior dalam
hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang lain, sehingga
tidak ada yang berani santri-santri penghuni kamar tersebut untuk melawannya.
ke manapun mereka pergi. Pada pola ini bisa diasumsikan tentang pola konsepsi
keluarga dalam ajaran Islam, bahwa santri senior tersebut adalah suami yang harus
menjaga, harus membimbing, harus memberi petuah, dan tidak jarang harus memberi
nafkah seadanya, seperti uang untuk makan mereka berdua. Sedangkan santri yunior
tersebut adalah perempuan dengan sosok sebagai istri yang harus nurut terhadap
226
Perilaku Homoseksual di Ponpes
perintah suami, bersedia menemani suami, melayani suami kapanpun dan di manapun,
serta masak untuk suami. 17 Sehingga banyak guyonan para santri bahwa santri si A
adalah istri dari santri B, bahkan ada sebagian ustadz yang ngajar di pondok pesantren
An-Naqiyah yang mempunyai pasangan alaq dalaq santri yunior. Hal ini dikarenakan
usia para ustadz tersebut yang telah melampaui usia 30-an dan belum menikah. 18
Namun ketika dia sudah menikah dan keluar dari pondok pesantren dengan
sendirinya dia tidak berhubungan seksual lagi dengan santri yunior tersebut. Meskipun
ada beberapa ustadz atau santri senior yang tetap tinggal di pondok walaupun dia
sudah berkeluarga.
Berbeda dengan pola alaq dalaq yang pertama, pada pola ini pasangan seksual
alaq dalaq tersebut akan dengan bebasnya melakukan hubungan alaq dalaqnya di
manapun dan kapanpun, namun biasanya dilakukan di kamar yang mereka tempati.
Karena di kamar tersebut santri seniornya menjadi ketua kamar. Dalam pola ini
biasanya kedua pasangan tersebut hanya saling memeluk, saling mencium, meskipun
kemungkinan juga terjadinya hubungan alaq dalaq dengan penetrasi anus, karena
17
Wawancara dengan Ilham, alumni santri pondok pesantren An-Naqiyah, tanggal 26 April
2006
18
Wawancara dengan Hambali, alumni santri, tanggal 25 Desember 2005, bahkan ustadz
tersebut mempunyai prioritas utama untuk mendapatkan pasangan yang diinginkannya, sampai ustadz
tersebut menikah dan keluar dari pondok pesantren.
19
Wawancara dengan Muhammad Fathurrahman, santri senior yang mempunyai pasangan
Muhammad Wildan santri yunior yang baru dua tahun mondok, tanggal 20 April 2006.
227
Perilaku Homoseksual di Ponpes
tertutupnya hubungan alaq dalaq dengan ikatan ini ketimbang perilaku alaq dalaq
tanpa ikatan yang banyak dilihat oleh santri-santri lainnya. Sehingga penulis
memeluk dan mencium sebagai pola relasi seksual dominannya. Selain itu, para pelaku
relasi alaq dalaq dengan ikatan ini akan mendapat sanjungan atau kewibawaan
tersendiri dari santri-santri lainnya ketika dia bisa memiliki pasangan seksual yuniornya.
Sehingga hal ini dianggap sebagai pola yang hampir sama dengan gemblak dalam
tradisi warok oleh Syarifuddin, 20 yang menggambarkan bahwa ketika seorang warok
dengan gemblaknya penuh dengan tradisi yang sarat nilai, karena tanpa gemblak
seorang warok tidak akan mendapatkan pamor, sehingga ketika warok merawat
gemblak maka sebuah prestise dan kewibawaan yang akan didapatnya. Selain itu, para
santri di pondok pesantren An-Naqiyah, akan mengejek para santri yang tidak
mempunyai pasangan atau para santri yang tidak melakukan hubungan alaq dalaq
dengan santri lainnya dengan sebutan bendu. Sebutan bendu tersebut pada akhirnya
akan membuat para santri untuk melakukan perilaku alaq dalaq, karena bagi mereka
bendu adalah sebuah aib yang tidak bisa termaafkan oleh siapapun dan di manapun.
Pola relasi alaq dalaq yang terakhir adalah sex for pleasure. Berbeda dengan pola
relasi alaq dalaq yang lainnya, pada pola relasi ini tidak dikenal istilah santri senior
dengan santri yunior. Karena dalam pola relasi alaq dalaq ini kebanyakan adalah para
santri yang seangkatan atau bahkan sekelas, meskipun tidak menutup kemungkinan
20
Syarifuddin., 2005, Op. Cit, hlm. 26.
228
Perilaku Homoseksual di Ponpes
sekamar. Persamaan usia yang masih muda, yang penuh dengan imajinasi-imajinasi
nafsu liarnya akan berahi serta kebiasaan mereka untuk menonton film-film yang
berbau porno sebagai yang diperlihatkan oleh Baudrillard, bahwa adegan merupakan
tersebut nyata (visible), yang cabul adalah hipervisible, namun secara umum pornografi
adalah alat untuk menayangkan secara dekat orgasme perempuan, sehingga nafsu yang
21
merupakan sifat sebuah adegan akhirnya lenyap ke dalam kecabulan, telah
menyebabkan semakin kuatnya nafsu libido mereka untuk melakukan perilaku seksual.
Namun, keterbatasan kesempatan dan sulitnya mencari relasi seksual bagi mereka
melakukan sex for pleasure sesama santri yunior atau santri angkatannya. Hal ini
dikarenakan pada pola relasi alaq dalaq ini kebanyakan adalah mereka santri yunior.
Pada pola relasi alaq dalaq ini, biasanya terjadi di sa'at para santri berkumpul atau
berkelompok, dengan jumlah kurang lebih empat sampai lima santri. Karena kebiasaan
mereka untuk membicarakan hal-hal yang berbau porno, seperti, "wah penismu besar
sekali", "pantat perempuan itu besar ya", pada akibatnya semakin menambah semangat
kesenangan seksual untuk melakukan perilaku yang berbau seksual ke sesama santri
lainnya. Mereka dengan kelompoknya biasanya mencari sasaran, yakni santri yang lebih
kalem, penurut, dan penakut, untuk dijadikan korban dalam pola relasi seksual alaq
21
George Ritzer., 2004, Teori Sosial Postmodern, cet. II, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, hlm. 185
229
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dalaq for pleasure ini. Korban tersebut akan dipegang beramai-ramai dengan memegang
tangannya, kakinya, dan membuka sarungnya, dan kemudian ada salah satu dari
kelompok santri tersebut yang melakukan pemaksaan onani terhadap korban tersebut
sampai korban tersebut mengeluarkan air mani atau mencapai klimaks. Kesenangan
seksual ini banyak terjadi di kalangan santri terutama ketika santri-santri tersebut
sedang ngobrol atau lagi nganggur. Perilaku ini biasanya dilakukan di kamar salah satu
santri yang berkelompok tersebut atau ketika mandi bersama. Kesenangan ini dianggap
sebagai kenikmatan atau kepuasan tersendiri bagi para santri yang melakukannya.
Selain itu, pada pola relasi alaq dalaq for pleasure ini terdapat juga kebiasaan
para santri yang berkelompok tersebut untuk berlomba melakukan onani bersama,
dengan kategori siapa yang paling lama keluar air maninya akan menjadi pemenang,
dan pemenang tersebut akan mendapatkan makanan, minuman, atau rokok dari para
santri lainnya yang mengikuti. Kebiasaan ini biasanya dilakukan di kamar salah satu
santri tersebut atau di kebun di kawasan pondok pesantren, dan bahkan ada
pengakuan dari seorang santri yang melakukannya di masjid ketika akan tidur malam,
Di dalam pola relasi santri yang melakukan hubungan alaq dalaq dengan
masyarakat hampir sama dengan pola relasi santri lainnya yang tidak melakukan
hubungan alaq dalaq dengan masyarakat. Di dalam keseharian para santri, kiai, dan
22
Pengakuan dari Muhammad Marzuki, santri kelas tiga MTs, tanggal 25 Februari 2006
230
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dengan masyarakat sekitarnya bahkan masyarakat Sumenep secara luas. Hal ini
dengan wilayah yang ditempati masyarakat sekitar desa Gilir-gilir. Ketiadaan batas atau
pagar pembatas pondok bagi santri dan tolerannya atau lemahnya peraturan yang
keluar wilayah pondok pesantren asalkan hanya sebatas desa Gilir-gilir, sedangkan
kalau sudah keluar dari desa Gilir-gilir harus melapor atau izin kepada ustadz atau kiai.
Namun, karena tidak adanya peraturan secara tertulis yang diberlakukan bagi para
santrilah yang diundang oleh mereka untuk mengaji dan mensholati dan bahkan
karena mereka akan mendapatkan makan, minum, dan uang, serta berkat,23 karena bagi
mereka dengan mendapatkan itu semua maka mereka para santri tidak usah lagi
memasak untuk makan dalam kesehariannya. Selain pada waktu musibah, pada waktu
sekedar selamatan atau mengaji, seperti kelahiran bayi, pernikahan, dan lain sebagainya.
23
Berkat adalah makanan yang berbentuk nasi dengan lauk pauknya biasanya ayam, sapi, dan
telur, serta roti-roti atau snack yang bisa dibawa pulang oleh para undangan.
231
Perilaku Homoseksual di Ponpes
membedakan antara santri yang berperilaku seksual alaq dalaq dengan yang tidak
melakukannya, karena bagi masyarakat santri adalah orang yang belajar keagamaan dan
bisa menjaga moralitas keagamaan.24 Kedekatan masyarakat sekitar dengan santri sudah
lahir sejak santri tersebut mulai mondok di pondok An-Naqiyah. Sehingga dengan
lambat laun para santri akan semakin akrab dengan masyarakat sekitarnya seiring
waktu lamanya santri tersebut mondok di pondok An-Naqiyah tersebut. Yang pada
akhirnya maka masyarakat sekitar tersebut akan mengundang para santri yang lebih
akrab dengan mereka atau dengan kata lain masyarakat tersebut akan mengundang
Namun ketika hal ini ditanyakan oleh penulis kepada masyarakat, mereka
menjawab bahwa perilaku tersebut bukanlah perilaku seksual, karena bukan laki-laki
menurutnya perilaku homoseksual akan dikutuk oleh Allah dan dilarang oleh kiai,
seperti pada masa Nabi Luth. Kebiasaan alaq dalaq ini lebih sebagai dorongan nafsu
seksualitas karena tidak dapatnya para santri berrelasi dengan lawan jenisnya yakni
24
Wawancara dengan Pak Johar, tetangga pondok pesantren, tanggal 15 Mei 2006, yang ketika
akan menikahkan anak-anaknya selalu mengundang para santri, ustadz, dan kiai untuk mendapatkan
berkah Allah. Karena menurutnya mereka lebih dekat dan lebih mustajab segala permintaannya atau
do'anya kepada Allah ketimbang tetangga-tetangganya.
232
Perilaku Homoseksual di Ponpes
perempuan. 25 Pendapat seperti ini bisa dimaklumi karena masyarakat sangat patuh
terhadap segala petuah kiai, yang mengatakan bahwa perilaku alaq dalaq bukanlah
perilaku homoseksual dan lebih kecil dosanya ketimbang zina, serta tingginya
stratifikasi sosial keagamaan para kiai dan santri sehingga dengan sendirinya mereka
akan mendapatkan perlakuan yang istimewa oleh masyarakat umum yang berada di
bawahnya secara stratifikasi sosial keagamaan. Yang pada akhirnya akan menjadikan
para santri karena kebiasaan mereka dalam mempelajari dan mempraktikkan ajaran
keagamaan.
saling melakukan komunikasi, baik dalam bidang sosial, politik, agama, dan
keorganisasian partai politik sebagai pengurus. Dari kerjasama inilah mereka saling
mengetahui siapa pasangan alaq dalaq suami mereka di pondok pesantren, terutama
istri-istri mereka yang berasal dari alumni pondok pesantren juga. Pengetahuan istri-
istri tersebut tidak akan membuat mereka melarang para suaminya untuk berhubungan
kembali dengan pasangannya, karena mereka yakin para suaminya tidak akan
25
Wawancara dengan Muhammad Soleh, penduduk desa Gilir-gilir, tanggal 14 Mei 2006
233
Perilaku Homoseksual di Ponpes
melakukan hubungan alaq dalaq lagi. Hal ini diperkuat dengan mereka telah
Hal ini sejalan dengan posis kiai di dalam masyarakat Gilir-gilir yang menerima
penghormatan yang sangat tinggi dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan elite lokal
lainnya, seperti petani yang kaya, kiai khususnya yang mempunyai pondok pesantren
akan mempunyai posisi yang lebih terhormat di mata masyarakat. Selain itu,
kepemimpinan kiai tidak hanya sebatas wilayah keagamaan, namun meluas ke wilayah
politik. Sebagaimana yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah para kiainya yang
dikenal dengan sebutan punggawa lima menjadi ketua atau aktif di dalam partai politik,
Sumenep, kiai Busiri menjadi Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Selain
itu, kiai Subhan, kiai Hamid dan kiai Hafidz menjadi Dewan Syuro PKB Sumenep.
Namun hanya kiai Riyad yang menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah II
Sumenep.27 Keberhasilan ini akan semakin memperlihatkan dirinya sebagai orang yang
mempunyai pengaruh yang sangat kuat sehingga dengan mudah dapat menggerakkan
aksi sosial. Dengan demikian, kiai telah lama menjadi elite yang sangat kuat.28
26
Wawancara dengan Siti Aisyah, istri dari Muhammad Saleh, alumni pondok pesantren An-
Naqiyah, tinggal di Lenteng tanggal 03 Januari 2006
27
Meskipun terdapat perbedaan parpol di dalam kepemimpinan pondok pesantren An-
Naqiyah, namun mereka (kiai dan keluarganya) tidak pernah bertengkar dan berselisih, kecuali para
santri dan masyarakat yang menjadi pengikutnya yang kadangkala bingung untuk mengikuti kiai yang
mana, wawancara dengan kiai Busiri dan kiai Riyad, Gilir-gilir tanggal 23 Januari – 30 Januari 2006.
28
Endang Turmudi., 2003, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS: Yogyakarta, hlm. 95
234
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Ada dua faktor utama sebagai pendukung kuatnya posisi kiai di masyarakat.
Pertama, kiai adalah orang yang mempunyai pengetahuan keagamaan yang luas yang
kemampuan laduniyah dan karomah sebagai sumber keberkahan. Baik masyarakat yang
mondok, atau sebagai pengikut kiai di dalam ritual keagamaan tarekat, atau sebagai
pengikut pengajian yang dilakukan oleh kiai. Kedua, kiai kebanyakan berasal dari
kemapanan ekonomi. 29 Dengan kekayaan yang dipunyai oleh kiai maka diciptakanlah
pola patronase yang berhubungan dengan masyarakat setempat. Karena luasnya tanah
yang dimiliki oleh kiai maka ia mempekerjakan para masyarakat sekitar desa Gilir-gilir
dan Sumenep, baik sebagai buruh ataupun penyewa. Bahkan santrinyapun yang datang
dari keluarga miskin dipekerjakan di ladangnya. Dengan dua sumber daya manusia
tersebut (pendidikan dan politik), serta ekonomi yang dimilikinya, kiai pada akhirnya
akan menjadi orang yang disegani di lingkungan masyarakatnya. Hal ini terjadi
dikarenakan pola hubungan antara kiai dengan masyarakat tidak didasarkan kepada
Dengan demikian, kiai yang dianggap sebagai figur sentral dalam pondok
pesantren dan masyarakat, maka ia akan mempunyai pengikut dan pengaruh yang
sangat besar di dalam masyarakat. Sebagaimana terlihat dari perolehan suara pada
29
Ibid..
30
Ibid., hlm. 96
235
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Pemilu 2004, di mana PKB dan PPP menjadi dua partai peroleh suara terbesar.
Meskipun ada beberapa alasan lainnya akan kemenangan tersebut. Dengan pengaruh
yang begitu besar maka akan membentuk sebuah jaringan kiai terhadap masyarakat.
atau kekerabatan antara kiai yang satu dengan kiai lainnya. Sehingga
kiai lainnya. Bahkan pernah seorang putri kiai salah satu dari kiai
PPP).
muridnya.
31
Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Suwito dan Muhbib, “Jaringan Intelektual Kiai
Pesantren di Jawa-Madura Abad XX”, di dalam Khaeroni (dkk) (Edit)., 2002, Islam dan Hegemoni Sosial,
Media Cita: Jakarta, hlm. 134-137
32
Hal ini juga pernah diteliti oleh Iik Arifin Mansurnoor., 1990, Islam in an Indonesian World:
Ulama of Madura, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
236
Perilaku Homoseksual di Ponpes
237
Perilaku Homoseksual di Ponpes
penuh dengan fenomena intrinsik yang terkait erat dengan munculnya "kuasa disiplin"
(disciplinary power), yakni sebuah kuasa yang lengket dalam institusi-institusi modern,
merupakan hal yang sangat dikedepankan ketimbang yang lainnya. Sehingga kontrol
terhadap setiap perilaku santrinya sangat kuat, yang pada akhirnya akan melahirkan
kuasa disiplin pada diri pemimpin institusi pondok pesantren tersebut. Seperti, kuasa
Disciplinary power ini pada akhirnya akan memproduksi tubuh-tubuh yang jinak
(docile bodies), yakni setiap perilaku atau aktivitasnya akan terkontrol dan teregulasi,
nuraninya. Selama periode modern ini, seksualitas dan kekuasaan (sex and power) saling
jalin-menjalin dalam pola yang beragam dan berbeda-beda. Seperti, kampanye yang
dilakukan oleh para dokter dan pendidik tentang bahaya dari perilaku masturbasi.
Sehingga banyak sekali perhatian terhadap kampanye ini. Atau dengan kata lain
seksualitas erotis yang dianggap abnormal, menyimpang, dan perlu perawatan. Dengan
tubuh dan menjadikannya rawan terhadap setiap penyakit. Sehingga kita akan curiga
238
Perilaku Homoseksual di Ponpes
fisik maupun secara mental. 33 Foucault juga menambahkan tentang banyaknya para
psikiater, dokter, dan lainnya yang mengkategorikan kasus perilaku seksual yang tidak
wajar atau tidak normal menurut mereka akan diungkapkan kepada publik dan
sebagaimana perilaku homoseksual. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Judith Butler:
Jika identitas adalah suatu istilah yang salah, maka kata "aneh" harus
diletakkan pada istilah ini sebagai sebuah afiliasi, hanya saja ia tidak akan
bisa menjelaskan sepenuhnya apa yang ingin ia gambarkan. Maka, kita
harus menekankan ketidakpastian dari istilah ini: membiarkannya
dihapus oleh mereka yang pantas untuk direpresentasi oleh istilah itu,
membiarkannya diisi oleh makna-makna yang sekarang tidak dapat
diantisipasi oleh generasi selanjutnya….34
segala elemen kehidupan instansi tersebut, yakni ustadz dan santri. Sehingga akan
33
Anthony Giddens., 2004, Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta, dan Erotisme dalam
Masyarakat Modern, terj. Riwan Nugroho, Jakarta: Fresh Book, hlm. 23-25
34
Judith Butler., 1993, Body and Matter: on the Discursive Limits of "Sex", New York: Routledge,
hlm. 230, sebagaimana yang dikutip oleh Karmen MacKendrick., 2002, Counterpleasures: Risalah
Kenikmatan dan Kekerasan Seksual, terj. Sudarmaji, Yogyakarta: Qalam, hlm. 104
239
Perilaku Homoseksual di Ponpes
menciptakan tubuh-tubuh yang jinak yang bisa dikontrol, dikuasai, dan diarahkan
Selain itu, berbeda dengan sistem institusi tradisional pondok pesantren An-
dalam pemisahan ruang gender antara perempuan dan laki-laki, namun di Al-Amanah
peraturan, dan bahkan pemimpin pondok pesantren. Pondok pesantren yang laki-laki
dipimpin oleh kiai, sedangkan pondok pesantren perempuannya dipimpin oleh istri-
istri kiai atau nyai-nyai. Di An-Naqiyah meskipun diterapkannya peraturan hijab namun
antara santri laki-laki dan santri perempuan hanya terpisah oleh kamar dan ruang.
Sedangkan bangunan, peraturan, dan pemimpinnya masih sama, atau dengan kata lain
meskipun mereka berpisah namun bukan dalam satu bangunan, sehingga sangat
meskipun hanya sebatas surat cinta di antara mereka. Hal inilah yang ditakutkan oleh
para pemimpin pondok pesantren An-Naqiyah ketimbang perilaku seksual alaq dalaq di
Selain itu, dalam ruang pembatasan gender di Al-Amanah dikenal istilah santri
baru dan santri lama, serta pemisahan antarsantri setiap tahunnya agar lebih mengenal
dan lebih terbiasa dalam berhubungan dengan santri-santri yang lain termasuk
pemisahan dalam hal asal daerah santri tersebut dan juga klasifikasi kelas. Seperti
ruang kamar di rayon Shigor dihuni oleh santri kelas Syu'bah Tamhidi, kelas satu dan
240
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dua, kamar di rayon Syabab ditempati oleh santri kelas Syu'bah I'dadi, kelas satu
intensif (kelas satu sesudah santri tersebut lulus MTs atau SMP dan MA atau SMA,
dengan sistem kenaikan kelasnya berlanjut ke dua kelas sesudahnya atau naik ke kelas
tiga lalu ke kelas lima dan baru ke kelas enam), sedangkan ruang rayon Kibar dihuni
oleh santri kelas tiga intensif, dan kelas empat, untuk santri kelas lima disebar ke
kamar-kamar yang ada pada rayon-rayon yang ada sebagai ketua kamar atau
pembimbing yang dianggap sebagai pembantu para guru dan kiai di pondok yang
kemudian disebut dengan istilah muallim,35 serta sebagai pengurus di struktur Organtri
yang ditempatkan di tempat khusus dan berpisah dengan santri lainnya, termasuk bagi
santri kelas enam yang difokuskan pada satu rayon dengan maksud untuk melancarkan
nilai nihaiyah pada diri santri. Setiap kamar yang ada di pondok pesantren Al-Amanah
dengan ukuran sekitar 4 x 5 meter dihuni oleh santri sebanyak enam sampai sepuluh
orang, dengan fasilitas lemari, dan setiap santri diwajibkan untuk tidur di kamar
masing-masing dengan membawa kasur, bantal, dan guling sendiri, serta memakai
celana dengan kaos yang dimasukkan serta memakai sabuk. Setiap rayon diberi fasilitas
tempat mandi, sehingga setiap santri dilarang untuk mandi di kamar mandi rayon
lainnya, kecuali WC yang hanya diberi satu tempat untuk semua santri yang ada di Al-
Amanah.
Ketatnya peraturan dan pendisiplinan tubuh yang begitu kuat di dalam institusi
pondok pesantren modern Al-Amanah pada akhirnya akan melahirkan yang jinak yang
35
Muallim ini adalah istilah bagi para santri yang duduk di kelas lima dan kelas enam
241
Perilaku Homoseksual di Ponpes
bisa dikontrol dan dikendalikan oleh para penguasa kebijakan. Sehingga tidak sedikit
bagai para bui, yang membedakannya hanyalah mereka hidup di dalam penjara suci
yang penuh dengan aturan-aturan dan diarahkan oleh jaras (bel) dalam setiap kegiatan
yang wajib dikerjakan oleh para santri. Kedisiplinan yang diajarkan bagi para santri di
pemberontak peraturan, yang dengan kuasa disiplinnya maka para santri yang
memberontak tersebut akan dikeluarkan dari pondok atau didenda, seperti digundul.
Secara seksualitas, para santri di Al-Amanah hampir sama dengan santri di An-
Naqiyah, yakni mereka hidup dengan keterpisahan dengan lawan jenisnya pada usia
masa-masa pubertas, sehingga dorongan seksual atau libido mereka sedang kuat-
sulit bagi para santri untuk mengekspresikan gairah seksualitas mereka. Ketakutan-
ketakutan para santri ketika akan dihukum atau dikeluarkan dari pondok pesantren
impian kebebasan terkontrol dan dijinakkan, serta ketakutan mereka kalau dikeluarkan
dari pondok pesantren maka status sosial mereka dengan sendirinya akan berubah
bahkan mereka akan dibenci oleh kedua orang tuanya dan masyarakat karena dianggap
pesantren Al-Amanah ternyata ada perilaku seksual alaq dalaq antarsantri. Hal ini
tercermin dari pengakuan kiai atau pemimpin pondok pesantren Al-Amanah yang
242
Perilaku Homoseksual di Ponpes
secara tersirat mengakui bahwa ada satu santri yang pernah melakukan perilaku
tersebut dan sekarang sudah diusir dari pondok pesantren secara tidak terhormat.36
Pengakuan tersirat ini lahir ketika penulis melakukan penelitian kedua kalinya37, dan
adanya bukti dari pengakuan alumni santri yang mengatakan bahwa perilaku seksual
alaq dalaq ada di kalangan santri, namun sangat tertutup karena dilakukan oleh para
santri kibar atau muallim (santri kelas lima dan kelas enam) yang dilakukan ditempat-
tempat atau ruang Organtri. Perilaku ini berkembang sebatas perilaku seksual sebagai
dorongan kuatnya libido mereka serta bebasnya mereka dari pantauan-pantauan para
pengadil untuk melahirkan kedisiplinan. Namun perilaku ini akan ditentang ketika
sudah diketahui oleh santri lainnya atau mewabah sehingga santri tersebut akan
dikeluarkan dari pondok pesantren dan jika perilaku seksualnya tertutup dengan rapi
maka akan dibiarkan, meskipun diketahui oleh sebagian santri seangkatannya.38 Pada
pola relasi seksual alaq dalaq yang nampak hanyalah pola relasi seksual alaq dalaq
dengan ikatan, yakni antara santri senior yang seangkatan dan sama-sama sebagai
pengurus di Organisasi Santri. Hal ini bisa terjadi karena untuk menutupi perilaku
seksual alaq dalaq mereka dan sebagai dorongan libido seksual mereka yang semakin
kuat. Kedua hal tersebut semakin menguatkan hubungan di antara mereka untuk
243
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Selain itu, hampir sama dengan yang terjadi di pondok pesantren An-Naqiyah,
yakni adanya interpretasi tafsir terhadap perilaku seksual alaq dalaq yang mereka
lakukan. Dalam anggapan mereka perilaku seksual alaq dalaq bukanlah sebagai perilaku
homoseksual yang dikutuk oleh Tuhan sebagaimana pada masa Nabi Luth, meskipun
perilaku seksual alaq dalaq ini masih termasuk dalam kategori dosa namun perilaku ini
lebih kecil dosanya ketimbang berbuat zina. Hal ini semakin diperkuat oleh pandangan
kiai Ridwan yang mengatakan bahwa perilaku alaq dalaq adalah dorongan libido dan
kelaminnya ke paha pasangannya. Hal ini termasuk ke dalam kategori dosa kecil atau
zina kecil sebagaimana zina tangan yang disebut onani, atau zina mata ketika melihat
bahwa ideologisasi homoseksual berawal ketika mulai terkikisnya masa tradisional yang
berubah ke masa perkembangan modern. Hal ini semakin diperkuat dengan kenyataan
seksual alaq dalaq sangat marak di dalam tradisi kepesantrenannya, namun discourse,
penegasan akan maskulinitas, feminitas yang pada akhirnya sedikit akan melahirkan
praktik disiplin dan diskursif, yang beralih pada efek wacana antara relasi kekuasaan
39
Pandangan ini beliau sampaikan ketika ada forum pengajian di kecamatan Parendu, dan
penulis mempertanyakan tentang pandangannya seputar perilaku seksual alaq dalaq, pada tanggal 30 Mei
2006
244
Perilaku Homoseksual di Ponpes
oleh Judith Butler dan histerisasi tubuh perempuan di dalam kehidupan kesehariannya.
seksualitas santri-santrinya, seperti masih adanya nuansa sex for pleasure, tidak
kuat atau sering disebut sebagai homophobia, yakni terbentuknya diseminasi gagasan,
pedagogisasi seksualitas anak, dan konfesi. Dengan demikian, pondok pesantren Al-
Amanah adalah cerminan dari institusi modern yang telah melahirkan homophobia-
santrinya yang berperilaku seksual sesama jenis, namun itu hanya sebagian dari bentuk
sangat sulit untuk melihat atau mengetahui akan adanya perilaku homoseksual di
kalangan santri Al-Amanah. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak adanya media
245
Perilaku Homoseksual di Ponpes
(santri, kiai, ustadz, dan alumni) yang mengakui akan adanya perilaku homoseksual
tersebut. Hal ini terjadi pada penelitian pertama penulis, namun ketika penulis mulai
melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, ada seorang
informan yakni alumni santri pondok pesantren Al-Amanah yang lulus pada sekitar
tahun 1996 mengakui, bahwa di pondok pesantren modern Al-Amanah ada perilaku
seksual alaq dalaq antarsantri yang dilakukan oleh para sesama santri senior dan santri-
santri elite yang hidup di organisasi kesantrian. 40 Berbekal informasi tersebut maka
didapat oleh penulis hanyalah informasi yang tetap kuat dipegang oleh para santri,
ustadz, dan kiai di Al-Amanah yang mengatakan bahwa perilaku seksual alaq dalaq
tidak ada di Al-Amanah. Meskipun secara tersirat kiai Ridwan mengakui bahwa ada
seorang santri yang melakukan hubungan seksual alaq dalaq tersebut selama pondok
pesantren ini berdiri sampai sekarang, dan santri tersebut sudah diusir dari pondok
pesantren.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perilaku seksual alaq dalaq ternyata
ada di pondok pesantren modern Al-Amanah, dengan pola relasi hubungannya antara
sesama santri senior yang sudah duduk di kelas lima atau kelas enam. Hal ini bisa
terjadi karena mereka hidup di luar aturan kedisiplinan, karena merekalah yang
menegakkan peraturan kedisiplinan tersebut dengan dibantu oleh ustadz dan kiai.
40
Informasi ini didapat dari Ahmad Umaruddin, alumni pondok pesantren Al-Amanah,
tanggal 29 April 2006
246
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Hubungan sesama usia ini terjadi ketika tidak menjadikannya wabah perilaku seksual
alaq dalaq, namun hanya sekedar perilaku seksual yang bertujuan sebagai sex for pleasure.
yang hidup atau mempunyai kamar tersendiri yang terpisah dari kamar atau rayon para
santri lainnya. Selain itu, para santri senior tersebut di pondok pesantren Al-Amanah
dianggap sebagai muallim atau pendidik yang secara derajat kestruktural di Al-Amanah
ada di bawah kiai dan ustadz. Muallim-muallim tersebut biasanya dijadikan pendidik
keseharian para santri dan dijadikan sebagai pengawas kamar atau rayon para santri
yang lain. Hal inilah yang menyulitkan penulis untuk melacak perilaku seksual alaq
dalaq tersebut karena dibatasi dan dilarang untuk berhubungan langsung dengan para
Dengan demikian, bisa digambarkan bahwa pola relasi seksual alaq dalaq yang
ada di pondok pesantren modern Al-Amanah adalah dengan pola relasi seksual alaq
dalaq dengan ikatan dan sesama santri senior atau seangkatan, maka terlihat bahwa di
dalam instansi kemodernan masih ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa
bisa dikategorikan sebagai sebuah pemberontakan ala santri modern. Meskipun penulis
tidak mengetahui secara pasti seperti apa perilaku seksual alaq dalaq di Al-Amanah
dilakukan, namun mendengar dari informasi informan di atas ternyata perilaku seksual
alaq dalaq ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh para santri di An-Naqiyah,
247
Perilaku Homoseksual di Ponpes
antarsesama santri, dan dilakukan di kamar mereka sendiri serta di saat para santri
yang dilaksanakan oleh para santri, ustadz, dan kiai dengan Majelis Kiainya telah
sekitarnya. Hal ini diperkuat dengan bentuk bangunan pondok pesantren Al-Amanah
pesantren dengan rumah-rumah penduduk sekitar. Selain itu, dilarangnya para santri
dan sebagian ustadz untuk keluar dari pondok pesantren kecuali atas izin MPO atau
kiai telah membuktikan bahwa pondok pesantren Al-Amanah sangat bersifat eksklusif.
Sulitnya hubungan antara santri, ustadz, dan kiai dengan masyarakat sekitar
dengan program masyarakat sekitar. Meskipun demikian, penulis menganggap hal ini
41
Ungkapan ini hadir dari para tukang becak yang biasa nongkrong di depan pondok
pesantren Al-Amanah, di antaranya Muh. Tohir, Wardi, dan Salamet, tanggal 8 Oktober 2005
248
Perilaku Homoseksual di Ponpes
program kemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan pondok pesantren An-Naqiyah yang
Hal ini diperkuat lagi oleh slogan pondok pesantren Al-Amanah, yang tidak
memihak satu partai atau golongan apapun, karena pondok pesantren Al-Amanah
kata pondok pesantren Al-Amanah. Oleh karena itu, pondok pesantren Al-Amanah
dengan segala elemennya, kiai, ustadz, dan santri-santrinya sangat jauh dari masyarakat
dan tidak pernah ada hubungan, baik dari segi sosial, budaya, ataupun agama.
Karena bagi pondok pesantren Al-Amanah masyarakat adalah mereka yang ada
di ruang tamu pondok pesantren tersebut. Atau dengan kata lain masyarakat adalah
anggota saudara para santri, alumni santri, saudara-saudara ustadz atau keluarga ustadz,
yang biasanya tinggal di ruang tamu, ketika akan menjenguk anak atau saudara-
saudaranya. Sehingga sangat mudah bagi mereka (para santri) untuk beradaptasi atau
diakui sebagai santri oleh yang mereka anggap sebagai masyarakat. Karena secara
249
Perilaku Homoseksual di Ponpes
santri tersebut mempunyai kelebihan dalam hal keagamamaan, yang secara otomatis
Hal ini sejalan dengan kepemimpinan kiai di Al-Amanah tersebut maka pada
akhirnya akan berpengaruh terhadap peran kiai dalam politik dan masyarakat. Di
pondok pesantren Al-Amanah ada slogan yang berbunyi “bukan untuk satu partai dan
satu golongan”, hal ini menjelaskan bahwa pondok pesantren Al-Amanah dan kiainya
tidak ikut dalam politik praktis, seperti menjadi ketua partai politik tertentu atau
menjadi ketua salah satu organisasi keagamaan tertentu, meskipun pemimpin pondok
mahal juga eksklusif. Dengan artian bahwa para pemimpin pondok pesantren Al-
Amanah tidak menerima semua orang yang ada di sekitarnya, bahkan mereka dianggap
program pondok pesantrennya telah menyebabkan adanya anggapan bahwa para kiai
atau Majelis Kiai di Al-Amanah lebih memilih untuk berkonsentrasi terhadap pondok
250
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Parendu:
Meskipun demikian, program yang telah dibangun oleh pondok pesantren Al-
masyarakatnya. Selain itu, seiring kegagalan para kiai yang terjun ke politik maka
sedikit demi sedikit masyarakat mulai bersimpati dan memuji program-program yang
telah ditelurkan oleh pondok pesantren Al-Amanah. Meskipun mereka masih sulit
Sikap apolitis kiai dan dijadikannya sebagai slogan pondok pesantrennya telah
menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah media sarana antara kiai, ustadz, dan
kesehariannya. Hal ini berbeda dengan pondok pesantren An-Naqiyah yang cenderung
251
Perilaku Homoseksual di Ponpes
pondok pesantrennya, dan para anggota atau bagian dari pondok pesantrennya telah
menjadikan sosok pemimpin kiai Al-Amanah menjadi tokoh yang netral dan dianggap
sebagai tokoh yang bisa menelurkan segala kebijaksanaan dengan jernih. Sehingga kiai
atau salah satu pemimpinnya diangkat sebagai ketua BASSRA (Ulama se Madura).
Selain itu, masyarakat Sumenep tidak mengenal adanya sosok sentral atau tokoh yang
sangat tinggi secara struktural di antara para kiai, masyarakat lebih mengenal pola
Ahlussunnah wal Jama’ahnya sehingga mendapat simpati dan pengikut yang sangat luas
dan banyak di kalangan masyarakat sekitar. Hal ini bisa dimaklumi karena mayoritas
Al-Amanah adalah pondok pesantren terbesar kedua yang mengusung pola program
42
Padahal pondok pesantren tersebut menggunakan qunut dalam sholat Subuhnya dan tahlil
setiap malam Jum’at.
252
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dan dukungan luas dari masyarakat sekitar, namun mendapat simpati dan dukungan
253
Perilaku Homoseksual di Ponpes
BAB V
bersifat biologis yang ada sejak lahir. Karena seksualitas dipengaruhi oleh proses
pembentukan sosial budaya yang pada akhirnya masuk ke dalam konstruksi sosial yang
memberi perbedaan antara seks yang normal dan seks yang abnormal. Yang hadir
melalui sebuah wacana (discourse) yang mengatur melalui otoritas kekuasaan yang
didapat. Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah ideologi atau sebuah
alaq dalaq sebagai bagian dalam tradisi pondok pesantren atau pondok pesantren
modern Al-Amanah yang melahirkan atau mewariskan para santri, ustadz, dan kiainya
untuk menjadi bagian dari homophobia ternyata terdapat sebuah pemberontakan dari
para santri elit dan senior dengan melakukan perilaku alaq dalaq meskipun secara
tertutup. Homogenisasi subjektif pemaknaan tradisi ini tidak akan terlepas dari
254
Perilaku Homoseksual di Ponpes
berbagai sosialisasi tradisi tersebut. Hal ini dikarenakan kemampuan manusia untuk
terus belajar - secara umum - proses sosialisasi menjadi sesuatu yang sangat penting.
bahwa melalui proses inilah generasi tua banyak sekali menghabiskan waktunya untuk
bahwa dengan mengandalkan tradisi dan integrasi maka suatu kultur akan terpelihara
identitasnya.2
sebagai praktik memerintah. Seni ekonomi tidak hanya dipraktikkan dalam bisnis
namun juga dalam mengatur kota, rumah tangga, dan perkawinan seseorang.
Penguasaan diri diperagakan, yakni melakukan hubungan seksual dengan istri. Jenis
penguasaan diri ini dipandang sebagai prakondisi moralitas dalam mengatur seseorang,
dan dia tidak memandang ini sebagai sebuah sketsa etis awal dari perkawinan yang
saling setia, atau permulaan kodifikasi kehidupan perkawinan di mana Islam dan
1
Stephen K Sanderson., 1995, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi
III, Raja Grafindo Persada: Jakarta, sebagaimana dikutip oleh Tadjoer Ridjal Bdr., 2004, Tamparisasi
Tradisi Santri Pedesaan Jawa, Yayasan Kampusina: Surabaya, hlm. 101
2
Ignas Kleden.,“Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional: Dilema Indonesia Antara
Kebudayaan dan Kebangsaan”, dalam Prisma,No. XV, Edisi 8, Agustus, th. 1986, hlm. 69-86
255
Perilaku Homoseksual di Ponpes
agama pendahulunya telah memberikan sebuah bentuk yang universal, nilai imperatif,
dan dukungan pada sebuah sistem institusi. 3 Hal inilah yang kemudian melahirkan
ideologisasi heteroseksual. Dia memahami hal ini sebagai sebuah seni cinta yang penuh
dengan makna. Dalam hubungan homoseksual pada masa zaman klasik tidak dipahami
ataupun heteroseksual.
Teori ini kemudian diikuti oleh salah satu muridnya yakni Jean Baudrillard,
yang sama-sama berjuang keras untuk tidak mengkategorikan dirinya dan idenya,
yang dilakukan melalui media, massa, fashion, supermarket, industri hiburan, dan lain
di sini sama dengan konsepsinya Foucault yakni kekuasaan yang tidak mengalir dari
pusat (penguasa), akan tetapi dari peripheral (kelompok-kelompok sosial, ekonomi, dan
budaya) ke massa yang lebih besar dan heterogen. Jadi, masyarakat tidak lagi dikuasai
oleh klas sosial yang tunggal, akan tetapi oleh kelompok-kelompok sosial, ekonomi,
3
Michael Foucault., 1984, The Use of Pleasure: Volume 2 of The History of Sexuality, New York:
Pantheon Books, hlm. 153-181.
256
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dan budaya yang heterogen, dan saling bersaing untuk mendapatkan hegemoni. Dalam
hal ini kekuasaan bukanlah pemilik otoritas atau pemegang tunggal yakni kiai, namun
kekuasaan tersebut adalah masyarakat pesantren dengan santri sebagai massa, sehingga
klas sosial dengan sendirinya akan berubah seiring bergesernya arah kekuasan dari yang
plural ke tunggal. Pada awalnya kekuasan tunggal tersebut adalah pemegang otoritas
penghakiman yang mempunyai hegemoni terhadap hukum agama “kiai” telah mampu
karena tidak melakukan lewat penetrasi anus, tapi hanya menggesek-gesekkan alat
kelaminnya ke paha pasangannya, hal ini bisa terjadi karena nafsu birahi mereka
sedang kuat, padahal mereka belum mempunyai istri, dan kalau tidak melakukan
hubungan alaq dalaq dikhawatirkan akan berbuat zina. Sehingga perilaku alaq dalaq
dalam hal ini sifatnya, dilarang dalam satu sisi namun diperbolehkan bahkan wajib
dalam suatu hal yang lain, karena dikhawatirkan berbuat zina. Meskipun penulis tidak
sependapat dalam hal perilaku alaq dalaq bukan sebagai perilaku homoseksual, karena
santri-santrinya setiap pengajian kitab kuning atau lewat wali-wali santri yang kemudian
akan menyebar ke masyarakat secara luas. Bisa juga lewat genealogis antarkiai, yang
masing. Dari wacana inilah maka lahir pemaknaan bahwa perilaku alaq dalaq dilarang
257
Perilaku Homoseksual di Ponpes
pada satu sisi karena dianggap sebagai zina kecil, namun diperbolehkan kalau
Kiai dengan otoritas yang begitu kuat di dalam masyarakat pesantren dan santri
(massa), pada akhirnya dengan sendirinya akan menciptakan kharisma (wibawa) dalam
diri kiai tersebut yang merupakan salah satu kekuatan dalam menciptakan pengaruh di
dalam masyarakat pesantren Sumenep. Ada dua dimensi lahirnya kewibawaan kiai di
Madura menurut Abdur Rozaki, pertama, kewibawaan yang diperoleh secara given,
seperti tubuh yang besar, suara keras, dan mata yang tajam, serta mempunyai ikatan
pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, serta kesetiaan
menyantuni masyarakat.4 Padahal ada satu hal lagi mengapa lahir kharisma pada kiai,
yakni mempunyai pondok pesantren besar, telah menunaikan ibadah haji, dan mampu
Kuatnya kharisma kiai, pada akhirnya akan membuatnya kuat secara ekonomi,
politik, sosial, agama, dan budaya, yang pada akhirnya akan membuatnya lebih tinggi
dari masyarakat lainnya baik secara sosial keagamaan, politik, ekonomi, ataupun
budaya. Hal ini terlihat dari struktur sosial kiai yang ada di atas masyarakat lainnya.
4
Abdur Rozaki., 2004, Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, hlm. 87-
88
258
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Sehingga dengan sendirinya masyarakat akan tunduk, patuh, dan bersedia menjadi
pelayan kiai. Kekuatan kiai yang begitu dominan akan mendominasi masyarakat
pesantren Sumenep dan santri (massa) dalam segala hal, termasuk di dalamnya
pendidikan, dan budaya terlihat dengan jelas dari penguraian penulis pada bab
pengetahuan atau informasi bagi masyarakat pesantren Sumenep dan santri (massa)
homoseksual sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Luth, tapi hanya sekedar
dilarang atau kalau bisa dihindari, namun perilaku itu diperbolehkan ketika akan
berbuat zina, yang kemudian lahir pemaknaan perilaku alaq dalaq sebagaimana
perilaku onani.
Dengan demikian, discourse pemaknaan terhadap perilaku alaq dalaq santri pada
awalnya adalah sebuah komunikasi wacana yang pada akhirnya akan melahirkan
pesantren dengan kiai sebagai aktor utamanya. Dalam berbagai wacana interpretasinya
259
Perilaku Homoseksual di Ponpes
tentang perilaku alaq dalaq santri, hampir sama dengan yang digunakan untuk
menafsirkan perilaku onani.5 Dengan kategori mudlaratnya atau berbahaya berbuat zina.
berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun: 5-7, yang mengatakan bahwa ciri-ciri orang
kecuali terhadap istri dan budaknya, orang itu tidak tercela. Sedangkan orang yang
memenuhi nafsu syahwatnya dengan cara lain, mereka adalah orang-orang yang
melampaui batas, termasuk di sini perilaku seksual alaq dalaq adalah haram. Kedua,
Ulama’ mazhab Hanafi dan Hambali yang berpendapat haram dalam sebagian keadaan,
dan boleh bahkan wajib dalam keadaan lain. Wajib jika merasa kuatir akan berbuat
zina apabila tidak melakukan masturbasi, berdasar kaedah jika berhadapan dengan dua
hal yang merugikan, dan harus memilih salah satu dari keduanya, maka yang dipilih
adalah menghindari bahaya yang lebih besar dengan menempuh bahaya yang lebih
kecil. Jika nafsu syhawat bangkit, padahal tidak mempunyai istri tetapi tidak sampai
kuatir akan berbuat zina maka hukumnya mubah atau boleh. Hal inilah yang banyak
dipakai oleh kiai sebagai dasar menghukumi perilaku alaq dalaq santri, padahal mereka
5
Hasil wawancara dengan kiai Ridwan, pemimpin pondok pesantren modern Al-Amanah, 23
Juni 2006, dan kiai Subhan, salah satu pengasuh pondok pesantren tradisional An-Naqiyah, 24 Januari
2006
260
Perilaku Homoseksual di Ponpes
mengaku bermazhab terhadap Syafi’i. Ketiga, Ibn Hazm, Ibnu Umar, dan Atha’
Dengan kata lain, untuk melihat sebuah aturan yang diwacanakan sebagai
teologis – normatif, yang memang di sinilah letak hard core daripada keberagamaan
manusia, atau orang melihatnya sebagai tradisi, seperti yang digambarkan di dalam
pola relasi alaq dalaq para santri dalam kehidupan kesehariannya yang hidup di
lingkungan dengan nuansa keberagamaan yang sangat tinggi. Padahal tradisi sangat
sulit untuk dipisahkan dari faktor konstruksi manusia, yang pada awalnya dipengaruhi
oleh perjalanan sejarah, sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang amat panjang.7
Berawal dari inilah, maka wacana terhadap hukum perilaku alaq dalaq
disimpulkan. Oleh karena itu, otoritas kiai di sini lebih bersifat otoritas dalam artian
persuasif yakni melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Otoritas persuasif mampu
untuk mengarahkan atau keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan.
perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau
menghukum sehingga orang yang berakal sehat akan menyimpulkan bahwa untuk
6
Disarikan dari Ahmad Azhar Basyir., 1993, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat,
Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, hlm. 152-153
7
Amin Abdullah., 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 9
261
Perilaku Homoseksual di Ponpes
tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. 8 Lebih
otoritas adalah menduduki jabatan resmi atau struktural yang dapat memberinya
otoritas dipatuhi oleh orang lain dengan cara menunjukkan simbol-simbol otoritas
yang memberi pesan kepada orang lain bahwa mereka berhak mengeluarkan perintah
atau arahan. Singkatnya kita boleh tidak sependapat dengan sebuah perintah, tapi
bagaimanapun kita harus menaatinya karena kita mengakui otoritas orang tersebut.
yang lebih baik. Pengetahuan khusus semacam itulah yang menjadi alasan ketundukan
Dari dua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kiai dalam hal ini adalah
sebagai pemegang otoritas meskipun tidak menutup kemungkinan satu sisi sebagai
8
Khaled M. Abou El Fadl., 2004, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R.
Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, hlm. 37-38
9
R. B. Friedman., 1990, “On the Concept of Authority in Political Philosophy” di dalam
Joseph Raz (edit), Authority, Oxford: Basil Blackwell, hlm. 56-91, Sebagaimana yang dikutip oleh Khaled
M. Abou El Fadl., Loc. Cit.
262
Perilaku Homoseksual di Ponpes
pengakuan masyarakat atau orang lain bahwa kiai mempunyai kharisma yang kuat
tentang perilaku seksual alaq dalaq dipatuhi oleh orang lain, atau tunduk atau ikut
terhadap wacana yang diungkapkannya. Namun pada sisi yang lain, kiai adalah
pemangku jabatan struktural, hal ini terlihat jelas dari keterlibatan kiai dalam bidang
sosial politik, organisasi keagamaan, pendidikan, dan ekonomi. Kiai, sebagai pemangku
jabatan struktural dalam satu sisi bisa dianggap sebagai pemangku otoritas terhadap
sebagainya, dalam bidang ekonomi. Dengan jabatan struktural tersebutlah orang lain
yang ada di bawahnya secara struktural akan tunduk dan patuh terhadap segala petuah
atau wacana yang dikeluarkannya. Meskipun demikian, otoritas tersebut lebih bersifat
persuasif, dengan artian bahwa mampu untuk mengarahkan atau keyakinan atau
perilaku seseorang atas dasar kepercayaan, dengan artian bahwa orang lain ikut dan
tunduk kepada kiai karena ia memang mempunyai kekuasaan untuk itu dan secara
tersebarnya wacana tentang perilaku alaq dalaq bagi santri sehingga bagi masyarakat
263
Perilaku Homoseksual di Ponpes
pesantren Sumenep atau santri akan bungkam dan diam terhadap wacana tersebut.
Otoritas dan kekuasaan kiai yang lahir dari pengetahun keagamaannya biasanya akan
selalu melibatkan atau terkait dengan ruang yang bersifat profan dan sakral. Dalam
artian, bahwa meskipun agama memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang sakaral, yang
Ilahi, sebagai bagian dari praktik sosial, namun di dalamnya selalu akan menyertakan
wilayah tafsir yang pada akhirnya akan melahirkan wacana. Dalam konteks tafsir,
antarpara penafsir akan memiliki peran utama dari lahirnya sebuah kekuasaan yang
memiliki otoritas tertentu di dalam masyarakat. Kekuasaan yang bersumber dari ranah
juga bagaimana kekuatan tafsir atau wacana yang berhubungan dengan keagamaan
tersebut menciptakan pendukung dan jalinan relasi sosial yang kemudian akan
berimpas pula ke dalam jalinan relasi kekuasaan, relasi budaya, relasi ekonomi, relasi
tetapi dari plural (massa) ke tunggal, sehingga baginya tidak ada lagi klas sosial, yang
ada hanyalah massa, dan massa ini adalah mayoritas yang diam.11 Yang dibutuhkan
10
Khalil Abdul Karim., 2002, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, dan Kekuasaan, Yogyakarta:
LKiS.
11
Jean Baudrillard., 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, USA: Telos Press.
264
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Mereka membiarkan kebodohan mereka dijadikan sebuah iklan dan sistem informasi
biasanya memahami kekuasaan terletak pada sistem iklan tersebut, namun dapat
terletak pada sistem dan pembuatnya yakni kiai, dengan sebuah informasi secara terus-
mempunyai pilihan yang sesuai dengan keinginan sistem (kiai). Massa dengan
makna.13 Kebungkaman massa bukanlah tanda alienasi mereka akan tetapi merupakan
kebungkaman adalah strategi mereka (massa) membatalkan makna dan inilah sebuah
kekuasaan yang nyata, pada dasarnya mereka menyerap semua sistem dan pembelajaran
12
Yasraf Amir Piliang., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 143-144
13
Jean Baudrillard., 1983, Fatal Strategies, New York: Semiotext, hlm. 99
265
Perilaku Homoseksual di Ponpes
adalah fatal. Kebungkaman mereka akan makna perilaku alaq dalaq bagi santri, yang
dilarang atau dengan kata lain kalau bisa dihindarkan, namun diperbolehkan kalau
bungkam, dan bodoh sebagai strategi mereka yang fatal. Strategi fatal adalah
penandaan bahwa objek (massa) sangat lemah, sangat jujur, dibandingkan dengan
subjek (kiai dan media informasi atau pemaknaan alaq dalaq). Baudrillard memandang
bahwa massa sebagai objek adalah gen-gen kejahatan. Menurut prinsip kejahatan suatu
tatanan menjadi dan hanya untuk dilanggar, diserang, dilewati, dan dibongkar.
Tegasnya massa adalah gen kejahatan, karena mereka merespon sesuatu dengan respon
mereka sendiri, atau dengan kata lain massa dirayu oleh media informasi, namun
malah massa-lah yang merayu media informasi. 15 Masalah ini sangat nampak pada
perilaku alaq dalaq di kalangan santri. Informasi media tentang larangan perilaku alaq
dalaq dan kalau bisa dihindari, telah dilanggar dan diserang oleh massa dengan tetap
melakukan perilaku alaq dalaq sebagai bagian dari keberasamaan, kebebasan dan
interpretasi tekstual. Kejahatan inilah yang kemudian membuat media informasi atau
kiai untuk melakukan penafsiran terhadap perilaku alaq dalaq, bukannya media
14
George Ritzer., 2004, Teori Sosial Postmodern, cet. II, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, hlm. 188-190
15
Ibid., hlm. 190-191
266
Perilaku Homoseksual di Ponpes
informasi yang mempengaruhi supaya perilaku alaq dalaq menuruti berbagai informasi
yang didapatnya.
Masalah produksi dan reproduksi pemaknaan alaq dalaq ini secara umum
berdampak pada masalah perubahan orde penampakan, yang mengalami tiga orde
penampakan dalam sejarah masyarakat: pertama, Counterfeit (pola yang dominan pada
periode klasik), kedua, Produksi (pola yang dominan dalam era industri), dan ketiga,
Simulasi (pola yang dominan pada tahap sekarang yang dikontrol oleh kode). Hal ini
berjalan seiring periodisasi penampakan perilaku alaq dalaq di kalangan santri secara
khsusus dan homoseksual secara umum, yakni, periode pertama, perilaku homoseksual
dianggap sebagai bagian dari ritual keagamaan dengan melakukan penetrasi anus di
pembangkangan dengan perilaku yang lain, seperti perilaku homoseksual alaq dalaq di
pesantren, yang merubahnya dengan tidak melakukan penetrasi anus namun dengan
Baudrillard mencontohkan sebuah pertandingan sepak bola Eropa tahun 1987 antara
Real Madrid dan Naples yang dialksanakan pada malam hari di dalam stadion yang
kosong. Suporter dilarang masuk, sehingga tidak ada seorangpun yang melihat
pertandingan itu secara langsung, namun ribuan orang menyaksikan lewat televisi
267
Perilaku Homoseksual di Ponpes
(karena simulasi) citraan.16 Keberadaan simulasi yang tersebar secara luas merupakan
alasan umum bagi mulai terkikisnya perbedaan antara yang real dengan yang imajiner,
yang benar dengan yang salah. Kenyataannya bagi Baudrillard, yang benar dan yang
nyata telah mati, lenyap dalam longsoran simulasi. Ketika tidak ada lagi kebenaran dan
Ada empat fase perkembangan citra; pertama, citra adalah refleksi dari realitas,
realitas, dan keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun; citra
merupakan simulakrum murni. Berkenaan dengan itu di dalam dunia alaq dalaq santri,
citra pertama adalah sebuah refleksi dari realitas perilaku homoseksual (penetrasi anus),
bahwa perilaku homoseksual sama dengan perilaku alaq dalaq di kalangan santri, dan
citra yang terakhir, perilaku alaq dalaq bukanlah bagian dari realitas perilaku
adalah lenyapnya petanda dan metafisika representasi, yakni runtuhnya ideologi, dan
hilangnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia lalu dan
16
Jean Baudrillard., 1990, The Transparency of Evil: Essays on Extreme Phenomena, London: verso,
hlm. 79-80
268
Perilaku Homoseksual di Ponpes
fantasi.17 Tanda tidak lagi merepresentasikan sesuatu, oleh karena petanda sudah mati,
oleh karena ekivalensi tanda di dalam realitas (kelompok ideologi, klas sosial,
komunitas mitologis) juga sudah lenyap. Satu-satunya referensi dari tanda yang ada
adalah massa.
realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tidak memiliki realitas sosial sebagai
dilandasi oleh alasan-alasan nostalgia, sebagai akibat dari realitas yang hilang, atau
sebagai akibat dari janji-janji utopis kemajuan yang tidak pernah terpenuhi (oleh
merupakan bagian dari ritus sosial keagamaan yang dilakukan melalui penetrasi anus,
telah tercabut atau hilang dengan segala janji-janji kemajuan modernisme, sehingga
bagian dari duplikat dunia yang didekodifikasikan, atau reproduksi iconic menurut
Umberto Eco.
17
Jean Baudrillard., 1981, Op. Cit, hlm. 93
18
Yasraf Amir Piliang., Op. Cit, hlm. 145-151
269
Perilaku Homoseksual di Ponpes
yang sangat penting dalam menjalankan sosialisasi. Sebagaimana yang telah disebutkan
di atas bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat pesantren dan santri (massa) desa
dimensi sistem stratifikasi sosial masyarakatnya, yaitu property, pretige, dan power yang
dikuasai oleh kalangan kiai. Namun seiring perubahan kekuasan dari massa ke kiai,
maka stratifikasi sosial itu pada akhirnya akan lenyap dan hilang. Berkaitan dengan
fenomena kehidupan massa di Gilir-gilir dan Parendu tersebut, maka posisi kiai dalam
simbol identitas sosial, budaya, agama, dan politik masyarakat. Dengan terciptanya
otoritas dan identitas yang ada dalam kontrol kiai melalui media informasinya, maka
didukung oleh kultur massanya terutama masyarakat Gilir-gilir dan sebagian besar
mengalami pergeseran paradigma otoritas dan identitasnya terhadap kiai. Hal ini
karena dipengaruhi oleh sikap materialisme masyarakatnya, yang lebih menghargai para
pemimpinnya yang berhasil dalam bidang ekonomi. Sedangkan kiai menurut mereka
19
J Friedman., 1995, "Global System, Globalization and the Parameters of Modernity", dalam
M Featherstone, S Lash, and R Robertson (edit), Global Modernities, Sage: London, hlm. 69-90
270
Perilaku Homoseksual di Ponpes
tidak berhasil secara ekonomi. Kebungkaman dan kebodohan massa itu lambat laun
akan menghilangkan kekuasaan kiai, karena akan dilanggar dan diserang, sehingga
otoritas dan identitas kiai akan hilang, seperti hilangnya pemaknaan discourse kiai
terhadap perilaku alaq dalaq santri yang melarangnya menjadi diperbolehkan bagi
sebuah ekspresi dari berbagai pembatasan dan tekanan yang menghegemoni atau
mendominasi. Dalam hal ini, ideologi hegemonisasi merupakan suatu sistem ide yang
menguasai pola berpikir masyarakat, tetapi berasal dan menguntungkan lapisan atas
masyarakat (kiai). Atau dengan kata lain sebagaimana yang dikembangkan oleh
Gramschi hegemoni adalah sebuah mekanisme kontrol yang dipakai oleh para
pada kontrol atas cara produksi, akan tetapi lebih kepada kontrol melalui hegemoni
ideologi kepatuhan bisa dipaksakan dan perlawanan bisa dipatahkan atau dilenyapkan
oleh kelompok yang berkuasa. 20 Atau Foucault menyebutnya bahwa di mana ada
kekuasaan di situ ada resistensi. Dengan demikian, bisa disebutkan bahwa dengan
sosialisasi yang tercipta akan membentuk identitas dan otoritas masyarakat pesantren
yang menghargai, mengikuti, dan ta'at terhadap pemilik identitas dan otoritas dalam
20
Sebagaimana yang dikutip oleh Tadjoer Ridjal Bdr., Op. Cit, hlm. 101-102
271
Perilaku Homoseksual di Ponpes
masyarakat terhadap kiai, yang pada akhirnya akan menciptakan homogenisasi kultural
Namun dengan hilangnya otoritas kiai bagi massa (santri dan masyarakat
pesantren), dalam hal ini perilaku alaq dalaq, maka hegemoni dan hegemonisasi
kultural yang diinginkan kiai lambat laun akan hilang atau dihilangkan. Hal ini sejalan
dengan periodisasi citraan menurut Baudrillard, sehingga yang tercipta hanyalah citra
yang merupakan simulakrum murni, yang pada akhirnya melahirkan massa yang
hiperrealitas. Sehingga tidak ada lagi homogenisasi kultural yang didominasi secara
dalam relung-relung sendi kehidupan, baik pluralitas dalam bidang agama, sosial,
budaya, ataupun orientasi seksual. Sehingga dunia akan tercipta sebagai dunia
hiperrealitas yang penuh penghargaan akan pluralitas, yang pada akhirnya menyulitkan
kita untuk mengetahui mana yang real dan mana yang tidak.
272
Perilaku Homoseksual di Ponpes
BAB VI
KESIMPULAN
suatu proses sosial historis yang dimulai sejak masa kecil, remaja hingga dia benar-
benar merepresentasikan dirinya sebagai seorang diri homo. Bahkan seorang filosof
kaum homoseksual sama saja dengan menjungkirbalikkan hukum kodrat, oleh karena
biologis atau natural, namun pada akhirnya akan masuk ke dalam kategori konstruksi
sosial yang dapat memberikan pembedaan antara yang normal dan yang abnormal.
Dengan demikian, standar normalitas seksualitas lebih bersifat sosial, karena yang
dianggap normal bagi mereka adalah yang berada dalam oposisi duaan, atau penulis
dengan resmi. Hal ini semakin diperkuat dengan ikut campurnya birokrasi negara
memilih dua jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, dan dilarang terjadinya
perkawinan antarjenis kelamin yang sama. Intervensi kejelasan jenis kelamin ini pada
273
Perilaku Homoseksual di Ponpes
dalamnya pondok pesantren, kejelasan inilah yang kemudian oleh Judith Butler
Di dalam sistem pendidikan pondok pesantren, terdapat dua pola umum yakni
tradisional dan modern. Meskipun tidak terdapat sesuatu yang begitu mencolok
tentang perbedaan kedua tipe pondok pesantren tersebut. Namun dari penelitian di
sistem kelas. Selain itu, yang diajarkan di pondok pesantren tradisional lebih ke kitab-
modern lebih kepada saling curiga, saling melaporkan kesalahan santri lainnya, dan
sangat disiplin, serta menggunakan bahasa Inggris dan Arab dalam kesehariannya.
sifatnya lebih tunggal atau bentuk kepemimpinan pada masa feodalisme, sedangkan di
274
Perilaku Homoseksual di Ponpes
pondok pesantren modern lebih kearah pembagian tugas yang diatur secara manajerial
pondok pesantren tradisional lebih akomodatif terhadap politik, yang pada akhirnya
para pemimpin pondok pesantren tersebut duduk di dalam partai politik, dan secara
Sedangkan pondok pesantren modern tidak memihak ke partai politik atau organisasi
pondok pesantrennya.
Selain itu, seksualitas tidak akan hadir dalam sebuah perbincangan jika tidak
lebih dulu didahului oleh sebuah wacana (discourse) yang mengatur sebagaimana yang
digambarkan oleh Michael Foucault. Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dibentuk
oleh discourse. Discourse sendirilah yang secara wajar dimengerti sebagai sebuah
perbincangan atau sebuah pernyataan yang dimulai dengan berbagai ideologi dan
kepentingan yang ternyata berisi tentang praktik regulasi yang memberikan evaluasi
oleh power – knowledge. Lebih lanjut, menurutnya ciri wacana adalah kemampuan
275
Perilaku Homoseksual di Ponpes
menunjukkan bahwa konsep gila, tidak gila, sehat, sakit, normal, abnormal, benar, dan
salah bukan sebagai sebuah konsep yang abstrak yang datang langsung dari langit,
dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda satu sama
lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana
(marginalized).
Wacana dominan dan wacana yang terpinggirkan akan semakin jelas ketika
dioperasikan melalui asimilasinya Jane Baudrillard. Hal ini tergambar dari pergeseran
wacana masyarakat pesantren Sumenep dan santri (massa Gilir-gilir dan Parendu)
dalam memaknai homoseksual, seperti amoral, penyakit, berdosa, dan lain sebagainya
bagi mereka kaum homoseksual secara umum, berbeda ketika pandangan mereka
terhadap perilaku alaq dalaq di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah dan pondok
kategori homoseksual, oleh karena itu tidak berdosa bagi yang melakukannya, dengan
kata lain perilaku alaq dalaq di pondok pesantren bagi masyarakat pesantren Sumenep
dan santri (massa) dimaknai secara subjektif diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan
pengausa tunggal yang mempunyai otoritas dan dominasi yakni kiai, yang menganggap
276
Perilaku Homoseksual di Ponpes
alaq dalaq sebagai zina kecil dan dosa sehingga dilarang dilakukan di pondok
pesantren.
Namun massa yang bungkam dan diam dengan segala kebodohannya lambat
laun melawan dan melanggar kekuasaan tunggal tersebut, karena menurut Baudrillard
kekuasaan bukanlah dari tunggal ke massa, namun dari massa ke tunggal, dengan tetap
melakukan perilaku alaq dalaq, karena menurut perilaku alaq dalaq bukanlah
homoseksual dan diperbolehkan. Dengan demikian, perilaku alaq dalaq akan tumbuh
dengan suburnya di pondok pesantren. Terdapat tiga pola relasi antarpelaku alaq dalaq
di pondok pesantren tradisional An-Naqiyah, pertama, relasi alaq dalaq tanpa ikatan,
kedua, relasi alaq dalaq dengan ikatan, dan ketiga, relasi alaq dalaq for pleasure.
Sedangkan di pondok pesantren modern Al-Amanah hanya terdapat satu pola relasi
barat, pada masa tradisonal, homoseksual berkembang dengan pesat dan dianggap
sebagai bagian dari ritual keagamaan. Namun pada masa modern, homoseksual
dianggap sebagai penyakit, amoral, dosa, dan gila, yang harus dimusnahkan. Sedangkan
lebih toleran terhadap kaum homoseksual, yang dibuktikan dengan berbagai undang-
277
Perilaku Homoseksual di Ponpes
homoseksual mulai dianggap sebagai sebuah dosa seiring munculnya konsep keluarga,
yakni pada masa nabi Luth, sedangkan zina pada masa nabi Musa. Oleh karena itu,
pada masa sebelumnya perilaku homoseksual tidak dilarang. Namun seiring pelarangan
tersebut maka banyak kutukan bahkan hukuman mati yang sangat sadis bagi mereka
banyak yang lebih toleran terhadap perilaku homoseksual. Bahkan seorang pemikir
muslim bernama Mohammed Jalal Kishk dalam bukunya yang berjudul Muslim’s Ideas
terhadap pornografi dalam bentuk apapun, yang sekarang sedang digodok untuk
dijadikan Undang-undang, meskipun pada masa kerajaan dulu banyak mitos dan
kehidupannya.
Selain itu, yang perlu dikemukakan juga di sini adalah keterbatasan tesis ini,
atau bisa sebagai rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut, atau juga sebagai saran.
Penulis harus mengakui bahwa konsentrasi tesis ini hanya berpaku pada perilaku
terhadap homoseksual. Walaupun penulis sudah sangat teliti terhadap kedua hal
permasalahan tersebut, namun penulis kurang membahas tentang peran atau sejarah
278
Perilaku Homoseksual di Ponpes
homoseksual dulu dan sekarang di pondok pesantren, serta sejarah panjang lahirnya
Namun demikian, melalui tesis ini, penulis sudah berusaha untuk menutup
gap antara heteroseksual dan homoseksual. Pada level teoritik, tesis ini telah
persamaan hak antara kaum heteroseksual dengan kaum homoseksual. Karena hal itu
kata lain bahwa perilaku homoseksual adalah representasi atau pola keragaman
pada masa awal berdirinya negara Indonesia atau pra berdirinya Indonesia, yang sangat
sebagaimana hak yang diperoleh kaum heteroseksual, atau mungkin hal terkecil, yakni
279
Perilaku Homoseksual di Ponpes
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdullah. Amin., 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Abdullah. Taufik., 1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES:
Jakarta
Alimi. Moh. Yasir., 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa
Hingga Wacana Agama, LKiS: Yogyakarta
Al-Tabari. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir., 1995, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an ,
Dar al-Fikr: Beirut
Azra. Azyumardi., 1994, Jaringan Ulama': Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Mizan: Bandung.
Bakar. Abu., 1957, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, tnp:
Jakarta
Barker. Chris., 2005, Cultural Studies: Teori dan Praktik, terj. Tim KUNCI Cultural
Studies Center, Bentang: Yogyakarta
Basuni. Ison., 1985, "Dakwah Bil Hal Gaya Pesantren", dalam M. Dawam Rahardjo
(edit), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, P3M: Jakarta
Basyir. Ahmad Azhar., 1993, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum,
Politik, dan Ekonomi, Mizan: Bandung.
Baudrillard. Jean., 1990, The Transparency of Evil: Essays on Extreme Phenomena, Verso:
London
280
Perilaku Homoseksual di Ponpes
______________., 1981, For a Critique of the Political Economy of the Sign, Telos Press:
USA.
Bouvier. Helene., 2002, Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura,
terj. Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Brooks. Ann., 2005, Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif, terj. S. Kunto Adi Ibrahim, Jalasutra: Yogyakarta.
Butler. Judith., 1993, Body and Matter: on the Discursive Limits of "Sex", Routledge: New
York
___________., 1999, Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, Routledge:
London
Coulon. Alain., 2004, Etnometodologi, terj. Jimmy Ph. PAÄT, Lengge dan KKSK Jakarta:
Mataram
Dhofier. Zamakhsyari., 1982, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Cet. I, LP3ES: Jakarta
Djauhari. Muhammad Idris., t.t, Sekilas Tentang Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan,
Sumenep: t.n.p
Dyer. Richard., 1977, Gays & Film, British Film Institute: London.
____________., 1991, Now You See It, British Film Institute: London.
281
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Effendy. Bisri., 1990, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial Di Madura, P3M: Jakarta
El Fadl. Khaled M. Abou., 2004, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
terj. R. Cecep Lukman Yasin, Serambi: Jakarta
Fakih. Mansour., 2003, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. III, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Farida. Anis., 2003, Homoseksualitas Dan Kekuasaan: Suatu Studi Tentang Eksistensi
Pergerakan Kaum Homoseksual Dalam Upaya Pencapaian Persamaan Hak
Dengan Kaum Heteroseksual Serta Respon Masyarakat Surabaya, Universitas
Gadjah Mada: Tesis
Foucault. Michel., 2000, Sejarah Seksualitas: Seks Dan Kekuasaan, terj. Rahayu S Hidayat,
Gramedia: Jakarta
Freedman. M.., 1989, Lesbianism: Affirming Non Tradisional Roles, Rothblum & Cole:
Boston.
Freud. Sigmund., 2003, Teori Seks, terj. Apri Danarto, Jendela: Jogjakarta.
Friedman. J., 1995, "Global System, Globalization and the Parameters of Modernity",
dalam M Featherstone, S Lash, and R Robertson (edit), Global Modernities, Sage:
London
282
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Fromm. Erich., 2002, Cinta Seksualitas Matriarki Gender, terj. Pipit Maizier, Jalasutra:
Jogjakarta
Gagnon. J. H. dan William Simon., 1973, Sexual Conduct: The Social Sources of Human
Sexuality, Hutchinson: London
______________., 1985, The Nation - State and Violence: Volume Two of A Contemporary
Critique of Historical Materialism, Polity Press: Cambridge
Hasbullah., 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Imron. D. Zawawi., 1996, " Peta Estetik Madura Masa Lalu", dalam Aswab Mahasin
(edit), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Yayasan Festifal
Istiqlal: Jakarta
Jary. David and Julia Jary., 1991, Collins Dictionary of Sociology, Harper Collins
Publishers: Manchester
Jonge. Huub de., 1989, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,
Dan Islam, Suatu Studi Antropologi Ekonomi, Gramedia: Jakarta
Karim. Khalil Abdul., 2002, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, dan Kekuasaan, LKiS:
Yogyakarta.
283
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Kartono. Kartini., 1989, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, CV. Mandar Maju:
Bandung
Kayam. Umar., 1985, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Gramedia: Jakarta
Kinsey. Alfred Charles (et.al.)., 1948, Sexual Behavior in the Human Male, Saunders:
Philadelphia
Kuntowijoyo., 2002, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, terj.
Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja, Mata Bangsa: Yogyakarta
Mansurnoor. Iik Arifin., 1990, Islam In An Indonesian World: Ulama' of Madura, Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta
Miles. Matthew B. dan A. Michael Huberman., 1992, Analisis Data Kualitatif, terj.
Tjetjep Rohendi Rohidi, UI Press: Jakarta
Moesa. Ali Maschan., 1999, Kiai Dan Politik, Wacana Civil Society, LEPKISS: Surabaya
Muhadjir. Noeng., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Rake Sarasin:
Yogyakarta
284
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Nawawi. Hadari., 1995, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, cet. II, UGM Press:
Yogyakarta
Niekerk. Anja van Kooten dan Theo van der Meet., “Introduction” dalam Dennis
Altman (dkk)., 1989, Homosexuality, Which Homosexuality?, An Dekker atau
Schorer: Amsterdam
Oetomo. Dede., 2001, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press dan Ford
Foundation: Yogyakarta
Pemerintah Kabupaten Sumenep BPS., 2005, Kecamatan Pragaan Dalam Angka 2004,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & BPS Sumenep: Sumenep
Piliang. Yasraf Amir., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra
Rais. Amin., “Islam Dan Budaya Madura, dalam Aswab Mahasin dkk (edit)., 1996, Ruh
Islam dalam Budaya Bangsa, Yayasan Festival Istiqlal: Jakarta
285
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Ridjal Bdr. Tadjoer., 2004, Tamparisasi Tradisi Santri Pedesaan Jawa, Yayasan Kampusina:
Surabaya
Ritzer. George., 2004, Teori Sosial Postmodern, cet. II, terj. Muhammad Taufik,
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Rozaki. Abdur., 2004, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai
Rezim Kembar Di Madura, Pustaka Marwa: Yogyakarta
Rubin. Lilian., 1990, Erotics Wars, Farrar, Straus and Giroux: New York
Salim. Agus., 2001, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba Dan
Penerapannya, Tiara Wacana: Yogyakarta
Sanderson. Stephen K., 1995, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
Edisi III, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Seidler. Victor J., 1987, “Reason, Desire & Male Sexuality”, dalam Pat Caplan, The
Cultural Construction of Sexuality, Travistock Publication: London
Singarimbun. Masri., “Metode dan Proses Penelitian”, dalam Masri Singarimbun dan
Sofian Effendi (ed)., 1989, Metode Penelitian Survei, LP3ES: Jakarta.
Smith. Gleen., "Pentingnya Sapi dalam Masyarakat Madura", dalam Huub de Jonge
(edit), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang
Masyarakat Madura, terj. Suparmin, Rajawali Pers: Jakarta
Spencer. Colin., 2004, Sejarah Homoseksual: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj.
Ninik Rochani Sjams, Kreasi Wacana: Jogjakarta.
286
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Surachmad. Winarno., 1970, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah,
Tarsito: Bandung
Suroso., 1996, "Orang Madura dan Kewiraswastaan", dalam Aswab Mahasin (edit), Ruh
Islam Dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Yayasan Festifal Istiqlal:
Jakarta
Suwito dan Muhbib, “Jaringan Intelektual Kiai Pesantren di Jawa-Madura Abad XX”,
di dalam Khaeroni (dkk) (Edit)., 2002, Islam dan Hegemoni Sosial, Media Cita:
Jakarta
Tan. Mely G.., “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam Koentjaraningrat (ed)., 1997,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi III, Gramedia: Jakarta
Truong. Thanh-Dam., 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES
Vredenberg. Jacob., 1986, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta
Weedon. Chris., 1998, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Monash University
Press: Monash
_____________., 1980, Homosexuality: Power & Politics, Allison & Busby: London.
Wiyata. A Latief., 2002, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, LKiS:
Yogyakarta
Woodward. Mark R., 2002, Islam Di Jawa, LKiS: Yogyakarta
287
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Abdul Mustaqim., 2003, “Homoseksual Dalam Tafsir Klasik dan Kontemporer”, dalam
Musawa, PSW UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta, vol. 2, No. 1, Maret
Abu Hafshah., “Hukuman Bagi HomoSeks”, dalam Artikel Buletin Annur, diakses dari
Alsofwah. Or. Id. Index.php/ index.php/?pilih=lihatannur&id=324, tanggal 20 April
2005
Amreen Jamal., “The Story of Lut and The Quran’s Perception of The Morality of
Same-Sex Sexuality”, dalam Journal of Homosexuality, Nomer 41, 1, 2001
Dede Oetomo., “Homoseksualitas di Indonesia, dalam Prisma, No. 20 Edisi 7, Juli, th.
1991
Erros Jafar, Iblis itu bernama “Homoseksual” Murtadin&Jahiliyah, diakses dari Forum
Swaramuslim. Org, tanggal 23 Desember 2004.
Homoseksual; dari Seniman hingga Menteri, dikutip dari Intisari edisi Januari 2001
dan diringkas oleh Mila.
288
Perilaku Homoseksual di Ponpes
John Langone, “How to Block a Killer’s Path”, dalam Time, tanggal 30 Januari tahun
1989
Julia I. Suryakusuma., “Konstruksi Sosial Seksualitas”, dalam Prisma No. 20s Edisi 7,
Juli, th. 1991
Linda Christanty., “Gaya Nusantara”, dalam Surat Kabar Majalah Pantau, tahun III, No.
024, April 2002
Nuraini Juliastuti., “Studi Gay / Lesbian”, dalam Newletter KUNCI, No. 5 April 2000,
KUNCI Cultural Studies Center
Onghokham., “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintas Sejarah Pra dan Masa Kolonial”,
dalam Prisma No. 20 Edisi 7, Juli, th. 1991
Reza Indragiri Amriel., “Pasal – Pasal Susila dalam KUHP Baru, Apanya yang
Kontroversi?” Dalam Sinar Harapan, Kamis, 16 Oktober 2003.
Santoso Purwoadi.,”Kontroversi Pasal – Pasal Susila dalam KUHP Baru”, dalam Sinar
Harapan, Sabtu 11 Oktober 2003,
Srinthil, Media Perempuan Multikultur, Nomer 5 tahun 2003, yang dicatat oleh Bisri
Efendi dan Ijhal Thamaona
Sindhunata., "Malangnya Orang Madura Teganya Orang Jawa", dalam Basis, No. 09-10
thn, ke-45, Desember, 1996
289
Perilaku Homoseksual di Ponpes
Wawancara antara Dede Oetomo dengan Kantor Berita Prancis (AFP), tentang gay
yang dijadikan manuver pendukung Islam politik untuk Pemilu 2004, “Syariat Islam
dalam KUHP bermuatan politis,” dalam http://www.
Glorianet.org/berita/b4552.html, mengakses tanggal 20 Februari 2005
290
Lampiran I :
persimpangan Jln Kramat Raya-Kwitang, campur, siang & malam. Terminal Bus Senen
(kamar mandi 'Si Unyil'), campur, komersial. Dangdut Senen. sebelah gelanggang
terminal lama, campur, malam Minggu. Jangan datang selain malam Minggu. Bahaya!!!
Sahara, di pelataran, mayoritas brondong, malam. Kolam renang Ancol (di bawah 'Air
Terjun'). Minggu sore. Sogo. Plaza Indonesia. Hotel Grand Hyatt, bundaran HI, mayoritas
brondong, siang & malam. Pasaraya Big & Beautiful Blok M, toilet lantai dasar/pintu
masuk parkir, campur, siang & malam. Blok M Plasa/Terminal Kebayoran Baru, mayoritas
brondong, siang & malam. Atrium/Segitiga Senen,. depan Studio 21, mayoritas brondong,
siang & malam. Metro Kafe, Puri Indah Mal Lt.1, 10.00-21.00 WIB.
Kebanyakan Disko di Jakarta adalah tempat mangkal gay. Tanamur (disko), Jln Tanah
The New Moonlight (ML), persimpangan Hayam Wuruk-Mangga Besar, Rabu malam &
Sabtu malam Minggu, gay & lines. Kasturi Diskotik, Jln Mangga Besar Raya 10 E, Senen
malam Selasa, Gay Night, 22.00 WIB-selesai. Furama Pub & Diskotik, Jln Hayam Wuruk
Raya 75 (sebelah Holland Bakery), Selasa malam Rabu, Gay Night, 22.00 WIB-selesai.
depan Istana, malam, waria. Tugu Kujang, di sekitar pos penjagaan. Halte-halte Jln
Pajajaran (sebelum Internusa Shopping Center), dekat pagar lingkar Kebun Raya. Karaoke
Mulia, Minggu malam Senen, 21.00 WIB, campur. Taman Topi, Jln Kapt. Muslihat.
MEDAN: TD (Tembakau Deli), J1n Tembakau Deli, dekat Deli Plasa. Jln Balai Kota
(Warkop TD), malam. Jln Palmerah, waria. Jln A. Yani (Ujung)/PTP London Bld., waria.
Jln Iskandar Muda (Hotel Berlian), waria. Olympia Plasa, Lt. atas sebelah amusement &
cafe, Olympia Theatre, gay. Skyroom, Olympia Plasa Lt. 8, malam Minggu, 90% gay. Deli
Plasa Teater, gay & hetero. Que-Que Diskotik, Olympia Plasa, tiap malam, gay Chinese.
Fire Diskotik, Thamrin Plasa. S'carpark, lantai dasar Istana Plasa, gay & hetero, malam
Minggu. Swimming Pool Tiara Hotel, Jln Cut Mutia, binul & gay. Panti Pijat tuna netra,
Jln Sei Wampu (Yakestra), banyak gay pijat sekaligus meeting point. Panti pijat tunanetra
Kanduang & Jln Diponegoro, gay & waria. Dekat Teater Utama Taman Budaya, Jln.
Pancasila & Jln Samudra (Pantai Padang), malam, campur. President Music Room, Jln
Khatib Sulaiman. Jln Permiando, sekitar bioskop Mulia & Hawaii Dept. Store, malam >
21.00 WIB. Tribun Terbuka eks Lap. Imam Bonjol (Blk. Bioskop THR Imam Bonjol),
BUKITTINGGI: Taman Kota sekitar Jam Gadang, tiap hari jam 21.00-24.00 WIB,
tiap hari jam 20.00-22.00 WIB, campur. Sekitar lokasi MTQ, malam Minggu jam 21.00-
24.00 WIB, campur. Jln Cut Nya' Dien (samping kantor Depdikbud) tiap hari jam 21.00-
BATAM: Bukit Senyum, (Smiling Hill), juga di Batu Ampar, di karaoke-karaoke, malam,
waria. 21 STUDIO Jl. Raden Patah ramainya tiap malam minggu, banyak kucing dan G
yang bisa diajak kencan. Halte Bank Bali/Exim (Bank Mandiri) setiap malam pukul 21.00-
01.00 wib Ozon Mega Diskotik, malam minggu Kucing dan G yang tertutup Legend
Dangdut Diskotik, Bukit Mutiara Hotel Malam Minggu. Spinx Diskotik,Seruni Hotel. G
dan Waria. Depan Bank BCA JODOH, tapi banyak preman dan harus hati-hati, 21 Studio
PALEMBANG: Tugu Lima Hari Lima Malam, tiap malam, gay. Taman Nusa Indah,
malam, waria & gay. Seputar Taman Talang Semut, malam Minggu, gay.
Minggu. Sekitar tugu depan bioskop Golden Tanjung Karang, malam. Antara Jln. Pemuda
& Simpang Empat Raya Tanjung Karang, malam. Sekitar King Supermarket, Plasa
Tanjung Karang, siang, brondong. Kolam renang Marco Polo. Lapangan Way Halim, hari
Sabtu dan Minggu pagi. Kolam renang Kartika Hotel, sore hari.
BENGKULU: Jln Suprapto, gay & hetero. Halte Simpong Lima, gay & hetero. Stadion
Samoran, campur.
BANDUNG: A2B (alun-alun Bandung), malam. Marabu Club, Jln Suniaraja simpang Jln
Braga. Jln Sumatra, sepanjang kantor Bala Keselamatan & Ponderosa, malam, waria. LA
Dream Palace, Asia Afrika Plasa, Rabu malam, gay & lines. Bandung Indah Plasa Lt. 3,
sore & malam, gay. North Sea, Jln Braga, bule. Lap. Gasibu, depan Gedung Sate, gay. Pasar
Lembang, waria. Jln Raya Cimahi, waria. Asterix Bar, Hotel Kumala, gay.
TASIKMALAYA: Sekitar Masjid Agung, tiap malam jam 18.30-21.30 WIB, campur. Alun-
alun Kabupaten, tiap malam 23.00 WIB ke atas, waria & PSK-P. BMW Studio, Jln
Cilembang, malam Minggu, campur. Samudera Dept. Store, malam Minggu, gay & kucing.
GOR Sukapura Dadaha, tiap malam > 22.00 WIB, waria. Dinasty Billyard, malam Minggu
SEMARANG: Lap. Simpang Lima, dekat Masjid, malam, gay. Taman muka SMUN I, Jln
Menteri Supeno, gay & waria. Matahari Dept. Store, di sekitar Juice Corner, kucing.
SALATIGA: Di sepanjang Jln Sudirman, malam Minggu. Kafetaria Kampus UKSW, gay,
jam kuliah. Kauman Plasa, dekat traffic light, waria, malam. Ronde Mak Pari, Merbabu,
malam.
SUMENEP: Di depan Masjid Agung Sumenep atau Taman Bunga Sumenep Setiap hari,
PEKALONGAN: Monumen Juang 45, campur, ramai malam Jum'at & malam Minggu.
BANYUMAS: Sanggar Tari Studio 7, Balai Ds. Kanding RT01 RW01, Somagede, malam
YOGYAKARTA: Alun-alun Utara, tiap malam > 19.00 WIB, gay. Sesudahnya, ngumpul
di lesehan nasi uduk Prada, samping Jln Sosrowijayan. Borobudur Bar, tiap malam > 21.00
WIB, gay. Excelso Cafe (Malioboro Mall), gay & hetero. Kolam renang FPOK-IKIP.
Minggu sore, gay. Diskotik Graha Paramitha, Rabu malam, campur, HTM Rp10.000,00.
Yogya Cafe, campur. Kolam Renang Umbang Tirta, Minggu pagi, gay. Taman depan Bank
Indonesia (Senopati), tiap malam, waria. Sepanjang Jln Kapas, tiap malam, waria. Jln
Suroto, malam Minggu. waria. Purawisata, Kamis malam, waria show. Kafe Wayang, Jln
Mayjen Sutoyo 65, Selasa-Minggu, 11.00-01.00 WIB. Playback show, Minggu, 21.00 WIB.
PURWOKERTO: Alun-alun, malam Minggu di pojok barat dekat telp. umum, malam
biasa di bawah pohon beringin. Stadion Mini depan Rajawali 21,gay & waria, tiap malam,
hati-hati banyak preman! Diskotik DD, Komplek Tirta Kembar, Jln Dr Angka, malam
minggu, gay.
KEBUMEN: Alun-alun, tiap malam >19.00 WIB, gay & hetero. LA (Pemandian Alam
Langen Ujung), Jln Raya Karangbolong Km16, pagi/sore, gay & hetero. Diskotik Candisari
Hotel, malam Minggu, gay & waria. Rita Dept. Store, di counter buku, gay & hetero.
Krakal Hot Spring, Sabtu & Minggu sore, gay & hetero.
KLATEN: Alun-alun, di sekitar Monumen Adipura (depan)& sekitar Arca Dwarapala (blk),
gay & hetero, tiap malam > 19.30 WIB. Bekas Lap. Panahan Krido Busoro & Kantor
Pengadilan Agama, dekat stasiun (tepi jalan), waria, sedikit gay, tiap malam setelah 20.00
WIB. Makam Ki Ageng Pandanaran, Tembayat, di sisi barat makam, campur, setiap malam
WIB, gay.
SOLO: Taman Sriwedari (Swedia), juga di parkir belakang, malam, gay & kucing.
Nayu (New York). Terminal Gilingan-Solo, malam, waria Depan LP Jln Slamet Riyadi
SURABAYA: Texas (Terminal Joyoboyo), sepanjang sungai, malam, gay. Jln Irian Barat,
tiap malam, waria. Taman Remaja, sekitar panggung waria show, Kamis malam Jum'at jam
21.00-22.30 WIB, campur. Kal(i)for, jalan tembus Plasa Surabaya di atas jembatan seberang
gedung WTC dan Hotel Radisson, tiap malam > 22.00 WIB, kucing. Diskotik Lido, Kamis
malam & Minggu malam jam 23.00 WIB-selesai, gay, waria & kucing. Pantai Pattaya, Jln
Kangean (jalan tembus dari Jln Pemuda ke Embong Sonokembang), depan Monumen
Kapal Selam, tiap malam, gay & kucing. Kafe Excelso (TP III Lt. III dan Surabaya Plasa Lt.
GRESIK: Pelabuhan, bagian dalam, tiap malam jam 19.00 WIB, kecuali malam Minggu
SIDOARJO: Alun-alun, sekitar telpon umum seberang bioskop Mahkota, tiap malam, gay.
antara alun-alun barat dan timur, tiap malam >20.00 WIB, gay & waria.
KEDIRI: Diskotik Sky Disc Hotel Merdeka, tiap Selasa malam dan malam Minggu. Depan
Stadion Brawijaya, tiap malam, campur. Depan Kolam Renang Kowak. Pesanggrahan
MALANG: Alun-alun, di tengah seputar air mancur, malam, gay Seberang Stasiun, malam,
gay & waria. Seberang Museum Brawijaya, Rabu malam. Terminal Arjosari, malam Minggu.
My Place Hotel Kartika Prince, malam Minggu, campur. Lobby Mandala Theatre, malam
Minggu.
PASURUAN: Alun-alun Utara, malam, gay & waria. Warung di lorong ke-2 dari selatan
Pasar Poncol, Jln KH Wahid Hasyim, sebelah Bioskop Himalaya, malam >21.30, gay.
PANDAAN: Depan Restauran Mojopahit, malam, waria & hetero. Gunung Sari, dekat
makam Gunung Gangsir, tiap malam Jum'at Legi, waria & brondong.
MADIUN: Stadion Wilis, tiap malam. Alun-alun, tiap malam. Diskotik Fire, malam
Minggu & malam Senin, HTM Rp10.000,00 & Rp15.000,00 (khusus malam Minggu).
JEMBER: Alun-alun, malam, waria. Warung di lorong depan Stasiun, malam >22.00 WIB,
gay.
BANJARMASIN: Diskotik Bobo, Selasa malam, gay, waria & hetero. Diskotik Shinta,
Rabu malam, gay, waria & hetero. Diskotik Matt, Jum'at malam, gay, waria & hetero.
SAMARINDA: Citra Niaga, sekitar panggung terbuka, malam, gay. Diskotik BP, malam
Minggu, gay. Mesra Indah Mall Lt. 2, sepanjang koridor, malam Minggu. Diskotik
TENGGARONG: Taman Ulin: G/waria, tiap malam. Depan Museum Pelabuhan Baru:
BALIKPAPAN: Monumen Paradise, Jln Suprapto, >21.00 WITA, gay, waria &
perempuan. Lapangan Merdeka, waria. TC (The Club), Jln Stal Kuda, malam Minggu >
23.00 WITA.
PONTIANAK: Taman Alun Kapuas, depan Korem, tiap malam jam 19.00 WITA-selesai.
DENPASAR: Lapangan Puputan, simpang Jln Surapati & Jln Veteran, tiap malam jam
KUTA: Sepanjang Pantai Kuta-Legian (khususnya Pantai Oberoi), Made's Warung, Sari
Club, Scandal, Rivoli. Diskotik Spotlight, 95% pengunjungnya orang Asia. Chez Gado-
gado, disco, Seminyak, Legian, Minggu, Selasa, Rabu & Jum'at malam. Goa 2001, bar,
Legian, malam. Double Six, bar, Seminyak, malam. Culture Club Restaurant &
MAKASAR: Lapangan Karebosi, malam, gay & waria. Diskotik Zig Zag, Makassar Golden
Hotel, Jln Pasar Ikan, malam Minggu. campur. Diskotik Romantika, Jln Pattimura, malam
Minggu, campur. Diskotik Benteng, Jln Ujung Pandang, malam Minggu, campur. Studio
21, Jln Ratulangi, malam Minggu, campur. Makassar Theatre, Jln Bali, malam Minggu,
campur. Arini Theatre, Jln Rusa, malam Minggu, campur. Kareba Coffee Shop, Jln
PALU: Pantai samping Palu Golden Hotel, malam Minggu. Stadion. Planet Diskotik.
MANADO: Stasiun/Terminal Kompleks Pasar 45, malam >21.00 WITA, gay & waria.
Benteng Theatre, Jln Sam Ratulangi, malam/midnight show. Sekitar Balai Wartawan,
AMBON: Sepanjang Pantai Mardika, gay, waria & kucing. Diskotik Top Ten, Jum'at
malam, gay, waria & kucing. Ambon Plaza 21 Cineplex, malam Minggu/midnight show,
gay & waria. Coffee Shop Amboina Hotel, Kamis malam, gay.
Yang terakhir, JAYAPURA: Sepanjang Jln Irian, depan pertokoan, gay & waria. Sepanjang
Jln A Yani & depan Toko Bintang Mas, gay & hetero. Taman Imbi, gay, waria & hetero.
Bioskop Imbi, Minggu sore jam 15.30 WIT. Taman Pelabuhan Kapal (Dermaga), gay &
waria. Diskotik Paramount, malam Minggu, malam Rabu & malam Jum'at (ladies night).
Terminal Taman Porasko, dekat dermaga A.P.O.: G/waria, tiap malam. Pantai Pasifik
Indah-Dok 2 Bawah: G/waria, tiap malam. Lingkaran Pertokoan Abepura: G, sore &
malam Minggu. Pertokoan Sinar Aneka dan Mega Supermarket Abepura: G, sore &
malam Minggu.