You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan beberapa sumber sejarah, terlihat bahwa Islam bukanlah agama pertama
yang tumbuh pesat, namun Islam masuk ke lapisan masyarakat yang telah memiliki
peradaban, budaya, dan agama sebagaimana terlihat dalam masyarakat Asia Tenggara bahkan
Islam dianggap sebagai Islam periferal karena adanya akomodasi antara pranata dalam Islam
dengan agama lain dan tidak terlepas oleh pengaruh yang datang di wilayah Asia Tenggara.
Apapaun label Islam yang ada di Asia Tenggara bukan berarti Islam di Asia Tenggara tidak
memiliki penganut khususnya Filipina. Filipina adalah salah satu negara di Asia Tenggara
dengan jumlah penganut Islamnya lebih sedikit dengan jumlah penduduk yang ada.
Bagaimana sejarah dan dinamika Islam di Filipina??

Sehubungan dengan hal diatas, dalam makalah ini kami akan membahas secara singkat
lembaran-lembaran sejarah Islam di Filipina.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah singkat Islam di Filipina

Menurut Taufiq Abdullah, kawasan Asia Tenggara terbagi menjadi tiga bagian
berdasarkan atas pengaruh yang ada yakni:

• Indianized Southeast, Asia Tenggara yang dipengaruhi India yang dalam hal ini
Hindu dan Budha

• Sinized South East, Asia Tenggara yang mendapat pengaruh China seperti India

• Hispainized South East, Wilayah Asia Tenggara yang diSpanyolkan yaitu Filipina.

Ketiga pembagian tersebut seolah meniadakan pengaruh Islam yang begitu besar di asia
tenggara khususnya Filipina, walaupun Filipina mendapatkan pengaruh oleh Spanyol akan
tetapi pranata kehidupan di Filipina tidak terlepas pengaruh Islam terutama pada masa
penjajahan Amerika dan Spanyol. Adapun secara kuntitas, Dr. Hamid mencantumkan bahwa
Islam di Filipina merupakan salah satu kelompok minoritas diantara negara-negara yang ada.
Dari statistik demografi pada tahun 1977 masyarakat Filipina berjumlah 44.300.000 jiwa.
Sedangkan jumlah muslim 2.348.000 jiwa dengan presentase 5,3 % dengan unsur dominan
komunitas Mindanao dan mogondinao. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang sejarah
Islam di negeri Filipina.

Menurut cendekiawan Muslim Filipina, Ahmed Alonto, berdasarkan bukti-bukti sejarah


yang terekam, Islam datang ke Filipina pada tahun 1380. Muslim pertama yang datang adalah
Sherif Macdum (Sharif Karim al-Makhdum) yang merupakan seorang ahli fikih.
Kedatangannya kemudian diikuti oleh para pedagang Arab dan pendakwah yang bertujuan
menyebarkan Islam. Pada mulanya dia tinggal di kota Bwansa, dimana rakyat setempat
dengan sukarela membangun masjid untuknya dan banyak yang ikut meramaikan masjid.
Secara bertahap beberapa kepala suku setempat menjadi Muslim. Kemudian dia juga
mengunjungi beberapa pulau lain. Makamnya dipercaya terdapat di pulau Sibutu.
Selain orang Arab, umat Islam India, Iran dan Melayu datang ke Filipina, menikahi penduduk
lokal dan mendirikan pemerintahan di pulau-pulau yang tersebar di kepulauan Filipina. Salah
seorang pendiri pemerintahan itu adalah Sherif Abu Bakr, yang berasal dari Hadramaut. yang
datang ke kepulauan Sulu melalui Palembang dan Brunei. Dia menikahi putri pangeran

2
Bwansa, Raja Baginda, yang sudah beragama Islam. Ayah mertuanya menunjuknya sebagai
pewaris. Setelah menggantikan mertuanya dia menjalankan pemerintahan dengan hukum
Islam dengan memerhatikan adat istiadat setempat. Dengan demikian, dia bisa disebut
sebagai pendiri kesultanan Sulu yang bertahan hingga kedatangan Amerika ke Filipina.
Kesultanan Sulu mencapai puncak kejayaannya pada abad delapan belas dan awal abad
sembilan belas, ketika pengaruhnya membentang hingga Mindanao dan Kalimantan utara.
Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada di bawah kekuasaan pemimpin-
pemimpin Islam yang bergelar Datuk dan Raja. Dengan berhasilnya penyebaran islam di
wilayah Mindanao dan kepulauan Sulu jumlah Islam pun semakin besar, sehingga tidak
mudah ditaklukkan oleh bangsa Spanyol.

Bangsa Spanyol masuk ke wilayah Filipina pada 16 Maret 1521 M. Bangsa Spanyol
tidak mudah menaklukkan wilayah selatan seperti halnya wilayah utara, mereka harus
bertempur mati-matian, kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu bahkan
harus menghabiskan lebih dari 375 tahun untuk menaklukkan wilayah selatan yang kaumnya
tak lain kaum muslim. Walaupun demikian, kaum muslim tidak pernah dapat ditundukkan
secara total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule serta mision-
sacre terhadap orang islam. Bahkan orang-orang islam diistigmatisasi sebagai Moro. Sejak
saat itu julukan Moro melekat orang-orang islam yang mendiami kawasan Filipina selatan.
Pada tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. penduduk
pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial
Spanyol. Kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang islam di
selatan, sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan
misi suci. Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang kristen
Filipina terhadap bangsa Moro1. Sejarah mencatat orang islam pertama yang masuk kristen
akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau
Cebu.

Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao-Solo, Spanyol tetap menganggap


kedua wilayah tersebut merupakan bagian dan teritorialnya. Secara tidak sah dan bermoral,
Spanyol menjual Filipina ke Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M

1
Bangsa Moro adalah bangsa filipina yang berada disebelah selatan, sedangkan
istilah moro merupakan julukan kepada orang islam yang tinggal di wilayah selatan.
Moro artinya, orang yang butah huruf , jahat, tidak bertuhan, dan huramentados (tukang
bunuh).

3
melalui Traktat Paris . Dengan kedatangan Amerika Serikat di Filipina merupakan babak
baru bagi bangsa Filipina khususnya bangsa Moro yang berada di wilayah selatan.

Masa imperealisme Amerika Serikat

Pada tahun 1896, presiden McKinley dari AS memutuskan untuk menduduki Filipina
untuk mengkristenkan. Amerika berhasil menaklukkan jajahan Spanyol pada tahun 1899
namun baru pada tahun 1914 berhasil menklukkan bangsa sulu setelah perjuangan dan gagah
berani serta menghapuskan kesultanan Sulu dan menggabungkan bangsa Moro ke dalam
Filipina.2 Pada tahun 1914-1920 Amerika melancarkan program pengintegrasian bangsa
Moro (Muslim) dan pada tahun 1919 pemerintah Filipina mendapat hak legislatif untuk
menguasai tanah Moro. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai
seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Dan inilah karakter musuh-musuh Islam
sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20
Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan
pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut
hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat
yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina
Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M,
kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan
penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi
wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat
Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak.
Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali
pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa selama
periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan
tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode
1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro.
Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa
Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan
bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas
penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti
merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai

2
M. Ali Kettani,Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: PT RajaGravindo
Persada, 2005), hlm. 196.

4
hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan
basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih
disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama
masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan
orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan
berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit
mengancam tradisi kemandirian.

Manuel L. Quezon, seorang senator (1936-1944), berusaha memperbanyak jumlah


bangsa Filipina non-muslim. Konsep penjajahan AS melalui koloni diteruskan oleh
pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti
orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri. Hal ini terbukti, pada
tahun 1944 terjadi transmigrasi besar-besaran penduduk Filipina Utara ke wilayah Mindanau
yang berakibat semakin meningkatnya pertikaian-pertikaian antara Muslim dengan penduduk
Filipina. Kebijakan yang telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang telah membuat
Muslim Filipina harus memperjuangkan kemerdekaannya supaya dapat bebas sebagaimana
masyarakat Filipina lainnya. Penderitaan Muslim yang tidak kalah pelak itu semakin
diperparah ketika Ferdinand Marcos berkuasa pada tahun 1965 memperlakukan Muslim
secara tidak wajar dan melakukan tekanan-tekanan terhadap Muslim. Dari Maret 1968
sampai tahun 1982, lebih dari seratus ribu orang sipil muslim dibunuh oleh tentara Filipina,
lebih dari liama puluh desa, kota kecil dan besar telah diratakan oleh tentara Filipina,
termasuk ibu kota Muslim, Joko.3

B. Muslim Filipina sebagai Minoritas

Telah disinggung di atas bahwa keminoritasan ummat islam di Filipina akan terjadi
akibat goncangan yang ada dari pribumi Filipina yang tidak menginginkan kebebasan bagi
kaum muslim. Namun demikian, kaum muslim khususnya di kepulauan Sulu dan Mindanao
mampu mempertahankan diri dari serangan Spanyol karena raja yang ada di wilayah selatan
mendapatkan dukungan dari rakyatnya atau dalam konsep Milner disebut politic centity
(masyarakat politik). Dalam konsep Milner, raja adalah tumpuan utama kesetiaan rakyat,
bukan ras. Dengan demikian, raja menduduki tempat sentral dalam kehidupan warganya. Di
luar raja dan kerajaan , tidak ada sesuatu pun. (Milner, 1981:49)4

3
Ibid,.I hlm. 197.
4
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A., Renaisan Islam Asia Tenggara, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 90.

5
Filipina merdeka tahun 1946. Tapi nasib bangsa Moro tidak pernah berubah sampai
sekarang. Filipina menjelma menjadi penjajah yang lainnya, bahkan sama kejamnya. Dalam
masa kemerdekaan Filipina, muslim Moro sadar bahwa perjuangannya harus bersatu, tidak
boleh bercerai-berai. Kemudian dibentuklah MIM (Muslim Independent Movement), Anshar-
el-Islam, MNLF (Moro National Liberation Front), MILF (Moro Islamic Liberation front),
MNLF-Reformis, BMIF.

Pada awalnya umat Islam Filipina memilih jalan damai untuk merebut kedaulatan.
Setelah terbukti bahwa perjuangan konstitusional untuk merebut kemerdekaan tidak dapat
dilakukan, mereka membentuk MNLF (Moro National Liberation Front) untuk
mengorganisasi perjuangan bersenjata. Tujuan berdirinya MNLF pada mulanya ialah untuk
membentuk negara sendiri. Namun kemudian hal ini berubah ketika pemerintah Filipina
memulai negosiasi dengan MNLF pada 1975 dan setahun kemudian tercapai kata sepakat
tentang kerangka penyelesaian masalah di Filipina. Persetujuan ini dikenal dengan
Kesepakatan Tripoli yang ditandatangani pada 23 Desember 1976 antara MNLF dan
pemerintahan Filipina. Kesepakatan ini mengikat MNLF untuk menerima otonomi sebagai
status bagi wilayah Filipina selatan. Penerimaan MNLF terhadap Kesepakatan Tripoli
memicu perpecahan di kalangan internal MNLF, yang berakibat pada munculnya faksi baru
yang bernama MILF. Kesepakatan Tripoli berisi pembentukan pemerintahan otonomi di
Filipina selatan yang mencakup tiga belas propinsi, yaitu Basilan, Sulu, Tawi-Tawi,
Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, Cotabato utara, Manguindanao, Sultan Kudarat,
Lanao Norte, Lanao Sur, Davao Sur, Cotabato selatan, dan Palawan.5 Otonomi penuh
diberikan pada bidang pendidikan dan pengadilan, sementara bidang pertahanan dan politik
luar negeri tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat di Manila. Kesepakatan damai yang
ditanda tangani di Tripoli ternyata dikhianati oleh Ferdinand Marcos, dengan mengadakan
referendum di tiga belas propinsi yang tercantum dalam Kesepakatan Tripoli untuk
mengetahui penduduk ketiga belas propinsi yang akan diberi otonomi khusus. Referendum
yang dilakukan Marcos ini sebenarnya adalah cara yang dia gunakan untuk membatalkan
Kesepakatan Tripoli secara halus. Dengan program perpindahan penduduk yang digalakkan
pemerintah pusat untuk mendorong rakyat bagian utara yang mayoritas Katolik, kawasan
selatan yang semula lebih banyak penduduk Muslim menjadi didominasi warga
Katolik/Kristen. Kondisi ini memastikan hasil yang diharapkan Marcos, yaitu menolak
otonomi.

5
Cesar A. Majul, Muslim in the Philippie, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 141.

6
Disamping perjuangan bersenjata melalui organisasi seperti MNLF, masyarakat sipil
juga melakukan pendekatan damai dan demokratis dibawah pengawasan PBB, melalui
Bangsa Moro People’s Consultative Assembly yang melakukan pertemuan pada tahun 1996
dan 2001. Pertemuan pertama, yang menurut laporan dihadiri lebih dari satu juta orang,
menghasilkan pernyataan untuk mendirikan kembali negara dan pemerintahan Bangsa Moro.
Hal ini semakin nyata dalam pernyataan bersama yang dideklarasikan oleh ratusan ribu
Bangsa Moro yang ikut serta dalam Rapat Umum untuk Perdamaian dan Keadilan in
Cotabato City dan Davao City pada 23 Oktober 1999, di Marawi City pada 24 Oktober 1999,
dan di Basilan pada 7 Desember 1999. Dalam serangkaian rapat umum mereka mengeluarkan
pernyataan sikap terhadap pemerintah Filipina: ”…kami percaya bahwa satu-satunya solusi
berguna dan abadi bagi hubungan yang tidak sehat dengan pemerintah Filipina adalah
pengembalian kebebasan kami yang secara ilegal dan imoral telah dicuri dari kami, dan kami
diberi kesempatan untuk mendirikan pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai sosial, relijius
dan budaya kami”. Sikap ini dipertegas dalam pertemuan kedua, yang dilaksanakan pada
tahun 2001 dan dihadiri sekitar dua setengah juta orang, yang menyatakan ”Satu-satunya
solusi yang adil, bermakna dan permanen untuk persoalan Mindanao adalah kemerdekaan
rakyat dan wilayah Bangsa Moro sepenuhnya”.

Hubungan problematis antara Bangsa Moro dan pemerintah pusat di Manila, yang dalam
banyak kasus berarti konfrontasi kekerasan, harus dipahami dalam konteks keinginan untuk
merdeka. Masyarakat Bangsa Moro meyakini bahwa jaminan terbaik untuk keamanan
mereka dan satu-satunya kesempatan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka
yakini adalah ketika mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur nasib sendiri, yang menjadi
inti permasalahan dalam konflik berkepanjangan yang terjadi.

C. Perkembanagan ekonomi, sosial dan budaya

Masyarakat muslim terkonsentrasi di wilayah otonom Filipina Selatan. Mereka ada di


kepulauan Mindanao, daerah ujung selatan Palawan, dan gugusan kepulauan Sulu. Secara
etnis dan bahasa mereka setidaknya terdiri dari tiga belas kelompok bahasa. Mereka
berkedudukan di 13 propinsi yang berada di empat wilayah perundang-undangan yang
berbeda.

7
Dari segi etnis, tiga suku diantaranya yakni, suku maranao, tausug dan Manguindanao
merupakan kelompok etnis muslim terbesar di kawasan ini memiliki penduduk muslim
sekitar 75 % dari jumlah total penduduk muslim di Filipina.

Dilihat dari jenis, setidaknya sampai 1970-an, masyarakat muslim Filipina tidak banyak
yang berbeda dari warga lainnya. Mayoritas dari mereka menekuni bidang pertanian,
perikanan, dan ekonomi yang berbasis pada hutan. Kaum muslim Manguindanau banyak
yang bertani sawah, sedangkan masyarakat maranau dikenal sebagai pengrajin kuningan dan
tenunan, selain bertanam padi dan jagung di pegunungan. Sebagian mereka juga dikenal
sebagai pedagang yang terkenal sampai ke pelosok-pelosok Filipina.

Orang Tausug yang tinggal di pesisir umumnya bekerja sebagai nelayan, hampir sama
dengan sebagian masyarakat Iranun, kalagan, dan Samal pesisir.fenomena yang agak berbeda
terdapat pada orang-orang tagalog Islam yang karena mengalami proses urbanisasi besar-
besaran, telah beralih menjadi pekerja profesional baik di kantor maupun pabrik di daerah
perkotaan.

8
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari beberapa uraian diatas, kami dapat menggaris bawahi bahwa:

secara umum kelompok minoritas dapat digolongkan menjadi tiga kategori besar.

• Pertama adalah komunitas migran, sebagaimana banyak ditemukan di negara-negara


Barat saat ini.

• Kedua adalah penduduk setempat yang menjadi minoritas di tempat


tinggalnya, seperti yang terjadi di suku Aborigin di Australia dan Indian di Amerika.

• Kategori ketiga adalah mereka yang dipaksa bergabung ke dalam negara-


bangsa baru, seperti yang terjadi pada umat Islam di Filipina selatan, yang dipaksa
bergabung dengan pemerintahan pusat di Manila usai penjajahan Amerika Serikat.

Menurut C. A. Majul dalam bukunya Muslims in the Philippine membagi Islamisasi awal
di Sulu ke dalam beberapa tahap.

Tahap pertama terjadi pada seperempat terakhir abad ketiga belas atau lebih awal ketika
para pedagang asing mendiami kawasan ini. Beberapa pedagang ini menikahi keluarga
setempat yang berpengaruh. Pada tahap ini elemen-elemen Islam awal diintegrasikan ke
dalam masyarakat setempat dan secara bertahap terjadi pembentukan keluarga Muslim.
Tahap kedua, yang diperkirakan terjadi pada paruh kedua abad keempat belas, adalah
kelanjutan dari pendirian kumpulan keluarga Muslim yang secara bertahap melakukan
dakwah terhadap masyarakat setempat. Peristiwa ini bersamaan dengan proses dakwah Islam
di Jawa. Pada tahap ini para pendakwah dikenal dengan sebutan makhdumin. Tahap ketiga
adalah kedatangan Muslim Melayu dari Sumatra pada permulaan abad kelima belas.

9
DAFTAR PUSTAKA

Azra azyumardi, Dr., Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Remaja


Rosdakarya, Cet.III, 2006.

Majul, Cesar adib, Muslims in the Philippine, Jakarta: LP3ES, 1989

Kettani, Ali M., minoritas muslim di dunia dewasa ini, Jakarta: RajaGrafimdo
Persada, 2005.

www.google.com, BangsaMoro, Minoritas Muslim Filipina, Februari 7, 2009.

www.google.com. Islam di Mindanao, Minoritas di Negeri sendiri, 20 January 2010.

10

You might also like