Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Dimulai pada awal era 1980-an RRC mengalami tidak kurang daripada
keajaiban ekonomi. Saat ini RRC merupakan negara dengan pertumbuhan
ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005,
GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan
ekonomi 9,2% setiap tahunnya.1 Aspek terpenting dari fenomena ini adalah
sebuah sistem terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari
sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang
khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi baru itu akan menjamin
pertumbuhan dan kemakmuran Cina sampai abad ke-21. Dengan penduduk
yang sekarang sudah mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk
dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu akan menyediakan peluang bisnis yang
menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga.
Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina
(PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan
sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi 有中国特色的社会主
义 , atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng
Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun”2 dikristalisasikan dalam
Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan
rumusan shehuizhuyi shichang jingji 社会主义市场经济 (ekonomi pasar sosialis).
Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di RRC sejak tahun 1992
memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. 6 Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi Cina yang baru
memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di dunia, sistem ini
pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari setiap aktivitas
berbudaya (melalui bisnis). Berikut beberapa elemen tersebut :
1.guanxi
2.ganqing
3.xinyong
II.I. guanxi ( 关系 )
Secara harafiah, guanxi berarti hubungan. Makna ini dapat digunakan
untuk setiap jenis hubungan. Dalam budaya bisnis Cina guanxi dapat diartikan
sebagai ‘koneksi’. ‘Koneksi’ di sini bermakna sebagai suatu jaringan hubungan di
antara bermacam-macam personal, kelompok / badan yang saling bekerjasama
dan mendukung satu sama lain. Mental para pebisnis Cina sangat dekat
maknanya dengan sebuah pameo dari Barat, “You scratch my back, I’ll scratch
yours.” Di mana pun, kapan pun, dalam mengurus segala hal, orang Cina selalu
“kao guanxi”, artinya pakai koneksi. 7
6 I. Wibowo, Belajar Dari Cina, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama Bab II.
7 Ibid., hlm. 177.
di Cina dalam jangka panjang.
Guanxi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa saja terjadi dalam
sebuah malam di tempat karaoke dengan pemimpin departemen pemadam
kebakaran setempat, agar proposal pengajuan ruang kerja baru dengan
komputerisasi yang mutakhir disetujui. Atau pada tingkat yang lebih tinggi,
guanxi bisa saja berarti datangnya eksekutif perusahaan asing untuk berjabat
tangan dengan menteri terkait yang menjadi kunci As dalam pengerjaan sektor
industri potensial.
II.III. Xinyong ( 信用 )
Dalam istilah bahasa Inggris, xinyong disebut sebagai gentlemen’s
agreement (Cheng, 1985). Xinyong dalam budaya bisnis Cina bermakna sebagai
sebuah jaringan antar pribadi.
Bagi orang Cina kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang
terpenting. Para pengusaha etnis Cina biasanya hanya berhubungan komersial
dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang
penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis Cina secara pribadi
akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan
8 http://en.wikipedia.org/wiki/wu’er kai-xi
meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya
sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di
perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura,
Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di Cina Daratan menunjukkan
bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan
bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh
komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang
bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat
terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke
dalam lingkaran mereka. 9
Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis.
Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya
diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah
cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan
ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika
tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis
dengannya lagi (atau kehilangan lian).
9 Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op cit., khususnya bab IV.
(peristiwa 4 Mei 1919), yang berusaha menghapuskan Konfusianisme di Cina
serta merubah dunia kesusastraan dan sosial-kebudayaan masyarakat Cina.
Cina sejak dahulu penuh dengan nilai-nilai revolusioner.
Budaya bisnis Cina moderen sendiri mengalami perubahan yang
signifikan sejak era tadi. Secara garis besar, gejolak di Cina pada awal abad
kedua puluh memunculkan kelas baru di masyarakat Cina yang disebut dengan
kelas komprador. Golongan ini bertugas mewakili hubungan dagang antara
pemerintah Cina (saat itu masih dipegang Dinasti Qing) dan pihak Barat atau
negara asing lainnya.10 Saat itu, di tengah-tengah masyarakat sendiri
pertentangan konsep antara bisnis dan nilai-nilai patriotisme (bukan lagi nilai
moral), masih hangat sekali. Sebagian masyarakat Cina masih mengharamkan
bisnis (apalagi) dengan pihak barbar/asing, sebagian lagi marah karena diinjak-
injak martabatnya oleh bangsa asing sehingga mereka mencari alternatif-
alternatif dalam mengatasi penghinaan semacam ini. Kelas komprador lah yang
mengawali sepak terjang Cina dalam dunia bisnis moderen.
Pada perkembangannya ketika kaum komunis mutlak menguasai
pemerintahan Cina daratan, dunia bisnis Cina (dalam konteks ini individu
maupun badan swasta) untuk sekali lagi kembali ditekan. Segala individu
maupun badan swasta yang melakukan bisnis tanpa otorisasi elit kaum komunis
pasti akan dicap sebagai antek-antek kapitalis atau dengan kata lain
bertentangan dengan nilai-nilai kaum revolusioner. Begitu ekstremnya tindakan
kaum revolusioner Cina hingga kesusastraan Cina pun dijadikan alat
propaganda untuk mendukung komunisme, salah satunya dengan menyerang
para kapitalis atau individu yang dianggap sebagai oposisi. Sejak merdeka
(1949) hingga sebelum diberlakukannya gaige kaifang (1979), RRC memeluk
“ekonomi terencana secara pusat”, yang menempatkan negara pada posisi
sentral. Selama 30 tahun itulah dunia bisnis RRC stagnan.
Baru pada Desember 1978, yaitu ketika Kongres XI Partai Komunis Cina
mengesahkan rumusan gaige kaifang atau kebijakan reformasi dan keterbukaan,
bisnis RRC kembali menggeliat. RRC masuk pada tahap baru, jauh berbeda
10 Pada perkembangannya, terminologi “komprador borjuis” digunakan ketua Mao dan kaum
komunis RRC lainnya untuk melabeli orang atau pihak-pihak yang dianggapnya kapitalis.
dibanding sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan
dalam evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982 : “Kemiskinan bukan
sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan.”.
Nilai-nilai bisnis masyarakat Cina berubah luar biasa sejak 1978. Sejak
saat itu makin banyak masyarakat yang memandang berkarier di bidang bisnis
sebagai profesi yang layak. Media mula-mula menyebut gejala ini sebagai
“demam bisnis”. Terlebih pada 1979 sampai 1997, banyak orang Cina
memandang bisnis sebagai jalan terbaik untuk memperoleh uang. Situasi ini juga
menimpa cendekiawan Cina yang kini memilih bisnis sebagai pilihan karier
terbaik dan menantang nilai tradisional yang memandang studi sebagai jalan
menuju birokrasi. Pergeseran budaya ini telah menjadi pokok pembicaraan
sebagian besar masyarakat Cina.
“Demam bisnis” mula-mula timbul pada 1984, yaitu ketika pasar kerja
paruh waktu melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di
pedesaan, mahasiswa, dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua yaitu sekitar
tahun 1990, yang ditandai hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader
partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi ke sektor perdagangan.
Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna perubahan
yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan
cendekiawan Cina. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang
telah berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan
akhir yang wajar dari perjalanan akademis seseorang. Dalam waktu kurang dari
satu generasi, peran ilmuwan/cendekiawan Cina telah bergeser dari penjaga
pintu gerbang nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan
sosial yang terbesar di Cina.11
11 Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op cit., terutama Bab III.
IV. Budaya Perusahaan Cina Moderen
Cina adalah salah satu bangsa tertua di dunia yang memiliki harga diri
dan martabat yang tinggi. Sejarah panjang yang terukir dalam perjalanan
peradaban mereka mencerminkan dinamika kebudayaan yang lahir dan mati
seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan selalu
terjadi. Berbagai kejadian domestik hingga internasional yang mempengaruhi,
terbukti menempa masyarakat Cina untuk selalu beradaptasi dengan sekitarnya.
Masih hangat di benak kita saat Deng Xiaoping mengumumkan kebijakan
pintu terbukanya pada 1979, khalayak RRC sekali lagi terhentak oleh angin
perubahan. Di daratan Cina masyarakat setempat begitu antusiasnya
meneriakkan slogan reformasi. Bagaimana mungkin sebuah negara komunis
totaliter yang identik dengan ejekan “Tirai Bambu” ini, tiba-tiba saja menyulap
negaranya menjadi sebuah pasar ekonomi bebas hampir serupa dengan para
seterunya, negara-negara Barat penganut kapitalisme? Ada dua hal signifikan
yang dapat menjelaskan fenomena ini: Globalisasi dan kebanggaan nasional.
Dalam dunia moderen yang semakin sempit ini, RRC melakukan
terobosan-terobosan baru dalam menjaga eksistensinya. Hal ini sangat erat
berkaitan dengan globalisasi. Perlu diketahui, bahwa RRC merupakan pemain
lama dalam globalisasi. Hal ini sudah dilakukannya sejak awal abad Masehi
dengan dibukanya jalur sutra, dan pada Dinasti Ming mengirimkan banyak
ekspedisi ke luar negri. Hanya saja, RRC dengan paradigma-nya yang inward-
looking, memiliki cara yang unik dalam menjalankan globalisasi. Ketika dunia
asing (Barat) menyentuh teritori dan otoritas Cina secara masif pada akhir abad
ke-19, Cina mengalami perubahan yang drastis. Konsep monarki runtuh dan
digantikan dengan konsep yang lebih moderen; demokrasi republik.
Perkembangan terakhir yang kita ketahui kini, RRC menjalankan ekonomi pasar
sosialis-nya. Menurut para elit politbiro RRC, Cina saat ini sedang mengalami
tahap awal sosialisme.
Kedua, semangat kebanggaan nasional. Ketika Cina dijajah dan “dibagi-
bagi” oleh bangsa Barat (juga Jepang) pada awal abad ke-20, kebencian
terhadap bangsa asing semakin menjadi-jadi. Pihak Cina yang dipimpin oleh Sun
Yat Sen berhasil merobohkan dinasti Qing dan mengarahkan Cina ke arah
kemerdekaan dengan konsep negara yang lebih moderen dan relevan. Sangat
disayangkan bahwa agresi Jepang dan konflik domestik (pertentangan kaum
nasionalis-komunis) pada era ini, harus menunda kemerdekaan Cina. Setelah
merdeka pada 1949, kaum komunis yang memimpin RRC, mutlak tampil sebagai
penguasa tunggal. Rakyat RRC di bawah kepemimpinan Mao Zedong dipenuhi
oleh gelombang “kediktatoran proletariat”, yang muncul sebagai semangat sosial
dalam menghadapi kekuatan asing di Cina. Akibatnya, segala hal yang berbau
Barat (atau produk kapitalisme) secara ekstrem dilarang dan dienyahkan. Dunia
bisnis RRC dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Baru pada era Deng, RRC
memeluk pendekatan yang berbeda dalam menghadapi globalisasi, namun
masih dengan isu yang sama; kebanggaan nasional. RRC mencapai keajaiban
ekonomi yang menakjubkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil.
Ladang bisnis pun digarap secara serius oleh pemerintah dan dibuka luas untuk
orang asing.
Dari sudut pandang budaya, RRC saat ini mengalami begitu banyak
perubahan, akan tetapi tidak semuanya merupakan nilai-nilai kebudayaan asing
yang diadaptasi. Pada budaya bisnisnya, tidak sedikit orang Cina yang
mensikretiskan nilai-nilai lama dengan nilai bisnis moderen. Ini semua tercermin
dalam elemen kebudayaan yang muncul dalam interaksi dan operasional
perusahaan / organisasi mereka.
BIBLIOGRAFI
Boisot, M. & Child J. From fiefs to clans and network capitalism: Explaining
China’s emerging economic order. USA : Administrative Science
Quarterly, 2000.
De Dreu, C. & Van de Vliert, E. Using conflict in organizations. Beverly Hills, CA :
Sage, 1997.
Ding, D.Z. In Search of Determinants of Chinese Conflict Management Styles in
Joint Ventures: An Integrated Approach. Paper, City University of
Hongkong : Hongkong, 1996.
Fishman, Ted. C. China Inc. USA : Simon & Schuster Inc, 2005.
Henderson, Callum. China on The Brink. Singapore : McGraw-Hill, 1999.
http://chinese-school.netfirms.com
http://en.wikipedia.org
Kirkbride, P.S. Tang, S.F.Y. & Westwood, R.I. Chinese conflict preferences and
negotiating behaviour: Cultural and Psychological influences.
Organizational Studies, 12, 365-386, 1991.
Levy, Marion J., Jr & Guo Hengshi. The Rise of The Modern Chinese
Business Class. New York : Institute of Pacific Relations, 1949.
Morse, H.B., The Guilds of China. New York: Longmans, Green and
Company, 1932.
Triandis, H.C., McCusker, C. & Hui, C.H. Multimethod probes of individualism
and collectivism. Journal of Personality and Social Psychology, 1990.
Whiteley, A. (Juli 2004). Mengelola Bisnis Pendidikan dalam Konteks Budaya
Cina. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2004.
Wibowo, I. Belajar Dari Cina. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Januari 2004.
Yuan, Wang & Goodfellow, Rob. & Xin ShengZhang. Menembus Pasar Cina.
Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2000.