You are on page 1of 18

Snouck Hurgronje (SH) Arsitek Politik Islam Hindia Belanda

Dasar pemikiran SH.

• Musuh Kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik
• SH membedakan Islam dalam artu “ibadah” dengan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik”.
Dengan membagi masalah Islam atas tiga katagori : 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2.
Bidang sosial kemasyarakatan dan 3. Bidang politik; dimana masing-masing bidang menuntut

alternatif pemecahan masalah yang berbeda. Resep inilah yang kemudian


dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijaksanaan pemerintahan kolonial dalam menangani
masalah Islam di Indonesia.
• Politik Islam yang menurut SH yaitu 1. Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama,
hendaknya pemerintah bersikap netral. 2. Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam
Islam, menuntut penghormatan. 3. Tiada satupun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh
kekuasaan Eropa.
• Prinsip politik Islam SH di bidang kemasyarakatan adalah menggalakan pribumi agar
menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda demi kelestarian penjajahannya. Ini dikenal
dengan Asosiasi Kebudayaan ( Istilah Asosiasi mengandung maksud mengikat daerah jajahan
dengan negeri penjajah) . SH adalah seorang yang mendambakan kesatuan antara Indonesia dan
Belanda dalam satu ikatan Belanda Raya.
• Dalam rangka menerapkan politik asosiasi SH memprakarsai pendidikan anak-anak bangsawan.
Pada tahun 1890 ia memperoleh murid pertama Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (Hoesein
Djajadiningrat) (lahir 1877), anak Bupati Serang yang dengan susah payah berhasil ditempatkan
di sekolah Belanda (ELS dan HBS) setelah diubah namanya menjadi Willem van Banten .
• SH optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama islam
dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus di imbangi dengan meningkatkan
taraf kemajuan pribumi. Maka pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan
menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia
• Tentang Mukimin Haji dan Kota Makkah, SH menyimpulkan, “ di kota Makkah inilah terletak
jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan
darahsegar ke seluruh tubuh penduduk muslimin di Indonesia”. Usulan SH kepada para pejabat
kolonial, yakni dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. “ Setiap langkah pribumi
menuju kebudayaan kita, berarti menjauhkan dari keinginan untuk naik haji” .
Kantoor voor Inlandsche zaken
Kalau SH dinilai sebagai peletak dasar politik Islam pemerintahan kolonial Hindia Belanda, maka
Kantoor voor Inlandsche zaken merupakan alat untuk melaksanakan ide SH tersebut. Kantoor voor
Inlandsche zaken – yang berwenang memberikan nasehat kepada pemerintahan dalam masalah
pribumi- berdiri sejak tahun 1899 yang tahun di ambang fajar kedatangan Etische Politiek .
Jabatan Penasehat atau Komisaris Urusan Pribumi dipegang oleh : 1. Dr.C.Snouck Hurgronje (1899-
1906); 2. Dr.G.A.J. Hazeu (adalah murid dari SH) (1907-1913) dan 1917-1920; 3. Dr.D.A. Rinkes
(1914-1916); 4. R.A. Kern (1921-1922 dan 1924-1926); 5. E.Gobbe (1923 dan 1927-1937); dan
Dr.G.F.Pijper (1937-1942) .
Catatan lain :
Analisa SH tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan Islam dari unsur politik itu
ternyata kemudian tidak sejalan dengan perkembangan situasi kondisi pribumi, terutama pada
duapuluh tahun terakhir (setelah tahun 1913-pen). Sementara orang mengambinghitamkan Gubernur
Jendral Idenburg, yang merestui berdirinya Sarekat Islam (SI) dengan istilah “Salah Idenburg” bagi
pengertian SI. Namun suatu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah, bahwa “ gerakan kebangkitan di
Indonesia mempunyai perkembangan tersendiri, meskipun kadang-kadang dipengaruhi oleh gerakan
reformasi di negara lain.”
Gerakan Pan Islam
Pemerintah Hindia Belanda memandang bahaya Pan Islam datang dari luar melalui para jemaah
haji . Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu
kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Kekhawatiran negara-negara
penjajah terhadap Pan Islam memang beralasan, apalagi pada waktu meletusnya Perang Dunia
pertama negara Turki terlibat perang bersama Jerman melawan sekutu. Turki mencanangkan perang
suci.
Pada awal Perang Dunia Pertama cukup banyak selebaran yang bertujuan menggalakan perang suci
melawan penguasa-penguasa kafir di negeri Islam. Salah satunya selebaran di temukan di terusan
Suez, kemudian intisarinya di kerim ke Duta Besar Inggris di Den Haag (Lihat Lampiran IV-dalam
buku ini) .

Snouck Hurgronje Arsitek Politik Islam


Hindia Belanda
11APR
Dalam posting yang lalu tentang “Politik Islam Hindia Belanda“, telah ditulis beberapa dasar
pemikiran tentang kebijakan-kebijakan politik dari pemerintahan Hindia Belanda terhadap umat Islam
yang dikenal dengan politik Islam Hindia Belanda. Berikut kita kupas kembali tentang kebijakan-
kebijakan tersebut dan aktor dibalik keluarnya kebijakan-kebijakan itu.
Siapa Snouck Hurgronje ?

Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ini


merupakan tokoh yang sangat kontroversial. Disanjung dipuja sebagai sarjana Islam yang cemerlang,
tetapi juga dicaci maki sebagai seorang ahli muslihat yang hendak menghancurkan Islam dari dalam
dengan pura-pura masuk Islam. Betapapun diakui oleh semua pihak bahwa pemerintah Belanda baru
mempunyai garis kebijaksanaan tentang Islam didaerah jajahannya yang bernama Hindia Belanda
(Indonesia) setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat pemerintah dalam hal-hal yang berkaitan
dengan Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje , lahir pada 8 Februari 1857, di Oosterhout, dari pasangan pendeta J.J.
Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser. Christiaan adalah nama kakeknya sehingga namanya
adalah gabungan nama kakeknya dan bapaknya. Ia mengawali pendidikan dasar (lagere school) di
tempat kelahirannya, Oosterhout. Kemudian ia melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Breda.
Setelah selesai di HBS, ia melanjutkan ke Universitas Leiden, dan menyelesaikan Sarjana Muda
bidang teologi pada tahun 1878.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda dibidang teologi, Snouck Hurgronje mengalihkan studinya ke
ilmu Sastera Samiyah dengan spesialisasi bahasa Arab dan Islam. Ia mengakhiri studinya dalam
bidang itu pada tanggal 24 November 1880 dengan yudicium cum laude dan menjadi Doktor dalam
bidang ilmu tersebut berdasarkan sebuah disertasi yang berjudul Het Mekkaansche feest.

Di sini, ada satu hal yang menarik untuk dicermati, yaitu pengalihan bidang studi Snouck Hurgronje
dari ilmu teologi ke ilmu Sastera Samiyah. Peralihan ini menunjukkan adanya perkembangan
pemikiran pada diri Snouck Hurgronje. Namun, perkembangan itu bukan disebabkan oleh
perpecahannya dengan kekristenan, melainkan agaknya disebabkan oleh perkembangan teologi
Kristen pada Universitas Leiden ketika itu. Perkembangan inilah yang menentukan gagasan-
gagasannya tentang Islam dan politik kolonial Belanda di kemudian hari.

Misi politik Islam Snouck Hurgronje diawali pada tahun 1884, ketika ia pergi ke Mekkah untuk
memperoleh pengetahuan praktis Bahasa Arab dan mempelajari kehidupan Islam di kota pusatnya.
Di pusat kota Muslim ini, ia meneliti pengaruh Mekkah terhadap dunia Islam lainnya, terutama Hindia
Belanda. Dalam salah satu suratnya kepada Th. Noldeke (1-8-1885), ia menyatakan tujuan utamanya
pergi ke Mekkah adalah menelaah kehidupan Islam dengan mengamati cara berpikir, cara berbuat,
dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslimin.

Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar
Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai
bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.

Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak
dengan memakai nama “Abdul Ghaffar.” Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang
isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan
ulama- ulama Mekah telah mengakui keIslaman Anda”. “Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi
tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.

Ada cerita bahwa H Hasan Mustapa-lah yang mengislamkan Snouck Hurgronje. Tapi cerita yang
lebih dapat diterima mestinya Aboebakar Djajadiningratlah–paman Pangeran Ahmad Djajadiningrat
dan Prof Dr Hoesein Djajadiningrat–yang mengislamkannya atau yang mengatur pengislamannya.

Pada waktu itu, Aboebakar Djajadiningrat bekerja di Kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Dialah yang
banyak memberikan bahan-bahan tentang Mekkah sehingga Snouck Hurgronje berhasil menulis
bukunya Mekka dalam bahasa Jerman dua jilid yang dipuji banyak orang–dan Snouck samasekali
tidak menyebut Aboebakar Djajadiningrat sebagai sumbernya.

Mestinya Snouck lebih dahulu berkenalan dengan Aboebakar Djajadiningrat daripada dengan H
Hasan Mustapa yang ditemuinya di Jeddah daripada H Hasan Mustapa yang mungkin baru
ditemuinya ketika dia ke Mekkah–beberapa lama setelah tinggal di Jeddah.

Dr. P. Sj. Van Koningsveld dalam bukunya Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti Pasaka, Jakarta,
1989) menggambarkan kemungkinan Snouck masuk Islam oleh Qadi Jeddah dengan dua orang saksi
setelah Snouck pindah tinggal bersama-sama dengan Aboebakar Djajadiningrat (1989: 95-107).

Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar
Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck
memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia
dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya
sebagai saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan
dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.

Snouck kemudian menjabat sebagai penasihat pemerintah (Hindia Belanda) untuk urusan Islam dari
1889 hingga 1906. Karena dianggap mualaf dan dengan reputasinya sebagai sarjana teologi, Snouck
ditemani oleh sahabat Sunda-nya dari Mekah, Haji Hasan Moestapha, dengan mudah bisa berkeliling
dan meninjau pesantren-pesantren di Jawa. Di Aceh tahun 1891, Snouck berhasil memperoleh
kepercayaan dari ulama Tengkoe Noerdin.
Di Jawa Barat, Snouck alias Abdul Ghaffar dengan perantaraan Haji Hasan Moestapha menikah
dengan dua putri ulama terkenal. Jika dia tidak diakui sebagai seorang Muslim, mustahil diizinkan
menikah dengan gadis Sunda. Dia memenuhi segala persyaratan dari Islam. “Dia telah disunat
(besneden), melakukan salat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menjauhi makanan serta minuman
yang terlarang”

Snouck mempunyai dua istri orang Sunda. Yang pertama, bernama Sangkana, anak tunggal
Penghulu Besar Ciamis. Raden Haji Muhammad Ta’ib, dan dari pernikahan ini lahir empat anak yaitu
Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Oemar. Yang kedua setelah Sangkana meninggal adalah Siti
Sadijah, putri penghulu Bandung Haji Muhammad Soe’eb yang dikenal dengan nama Kalipah Apo,
Snouck berusia 41 tahun dan Sadijah 13 tahun tatkala pernikahan berlangsung tahun 1898. Dari
pernikahan dengan Siti Sadiyah melahirkan seorang anak bernama Joesoef.

Van Koningsveld juga memberikan petunjuk-petunjuk yang memberikan kesan ketidaktulusan Snouck
Hurgronje masuk Islam. Dia masuk Islam hanyalah untuk melancarkan tugasnya atau tujuannya yang
hendak mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia, jadi bersifat politik–bukan ilmiah murni.

Tentu saja ketidaktulusan Snouck dalam memeluk agama Islam itu tidak diberitahukan dan tidak
diketahui oleh kawan-kawannya orang Islam, termasuk H Hasan Mustapa. Dalam naskah yang ditulis
H Hasan Mustapa berjudul Istilah terdapat bagian yang melukiskan hubungannya dengan guru-
gurunya baik di Mekah maupun di Tanah Air, dan juga dengan beberapa orang pejabat Belanda yang
dikenalnya, seperti K F Holle, Branders, van Ronkel, dan terutama tentang Snouck Hurgronje.

Dia mengatakan bahwa Snouck adalah “dulur kaula”, tur “sili bélaan salawasna keur deukeut keur
jauh,” (”saudaraku” serta “selamanya saling jaga dan saling bela baik waktu berdekatan maupun
waktu berjauhan”) (H Hasan Mustapa jeung karya-karyana, oleh Ajip Rosidi, Pustaka, Bandung,
1989: 56).

H Hasan Mustapa menjadi Penghulu Besar (Hoofdpenghoeloe) di Kotaraja (Banda Aceh) atas
desakan Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer dan Sipil Acéh, Jenderal Deykerhoff. Menurut
Snouck dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1896, tidaklah
mudah dia membujuk H Hasan Mustapa supaya mau menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan.
Dari H Hasan Mustapa lah Snouck mengetahui dan mengikuti perkembangan Aceh dengan seksama
meskipun Snouck berada di Batavia melalui laporan-laporan yang dikirim oleh Hasan Mustapa.
Dalam meneliti Islam, menurut G.W.J. Drewes, ada tiga hal masalah penting yang menarik perhatian
Snouck Hurgronje :
- Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
- Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang beriman
- Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk menuju
dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerjasama guna membangun
suatu peradaban universal.
Pemikiran Snouck Hurgronje Tentang Islam di Indonesia

Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang
merupakan garis kebijakan “Inlandsch politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap
pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak
dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap
umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh
dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam.
Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin
bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin
Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis”
dan “Universal”. Disamping itu karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada
masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama
Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat
Islam terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an dan Al-Hadits -dalam
beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak
bersifat mutlak.

Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam
Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para
ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan
menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi
lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh
kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ;
bidang Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori
pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat
Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik.
Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan
kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa.
Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran
agama Kristen.

Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa
rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan
dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan
pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik
pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka
pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran
agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam
dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan
ibadah haji.
Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan
yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang
telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck
menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan.
Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah
dengan “Theorie Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat
dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan
adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika
sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “Devide et Impera” dengan
memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan Islam dan
pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke- Islaman mereka
cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintahkolonial Belanda.
Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus
dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit “Wearwenization”.
Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun
Indonesia yang diper-Barat-kan. Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan
menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.

Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan bercorak barat dan telah terasosiasikan dengan
kebudayaan Eropa, harus diberi kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi
setempa. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial
dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi.

Secara tidak langsung, asisiasi ini juga bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk
pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi. Hal itu dikarenakan
makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia
Belanda. Asosiasi yang dipelopori oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat
untuk mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.

Pemerintah kolonial harus menjaga agar proses transformasi asosiasi kebudayaan ini seiring dengan
evolusi sosial yang berkembang dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai hegemoni
pengaruh dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang program peng-asosiasi-an budaya
ini.

Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah
menjadi ahli waris hasil budaya asosiasi hasil didikan sistem barat. Akhirnya Indonesia akan
diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan kebudayaan Eropa.

Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda,
sehingga tak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama itu telah
mampu meredam dan mengurangi aksi politik yang digerakkan oleh umat Islam. Pada akhirnya, umat
Islam pula yang menjadi motor penggerak gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa
dan Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di
Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, diusianya yang ke 81 tahun.

Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang dijuluki `dewa” dalam bidang Arabistiek-
Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang Islam, Lembaga-Lembaganya, dan
Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa” menunjukkan “kekurangan-kekurangan” dalam dunia Islam dan
perkembangannya di Indonesia. Di Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk
mengenang jasa-jasanya dan kebesarannya. Christiaan Snouck Hurgronje, tokoh penting peletak
dasar kebijakan “Islam Politiek” merupakan “Pembaratan Islam Pribumi” kini diteruskan oleh para
pewarisnya di Indonesia yang dikenal sebagai cendekiawan Islam Liberal Indonesia.

Sumber buku :
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi C. Snouck Hurgronje, Lathiful Khuluq, Pustaka
Pelajar, 2002.
Dr. Daud Rasyid, MA, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan
Konspirasi Hal. 196-199 (Usamah Press, Jakarta Cet I Agustus 2003)
Sumber lain :
- indrayogi.blog.friendster.com
- indrayogi.multiply.com
- http://ajip-rosidi.com/esai-bahasa-indonesia/snouck-hurgronje-dan-h-hasan-mustapa
- http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=10681
Top of Form
Email Password

Log in

Keep me Forgotten your


logged in password?

Bottom of Form
Sign UpFacebook helps you connect and share with the people in your life.

• Dialog Kristen-Islam's notes


• Notes about Dialog Kristen-Islam
Subscribe

• Dialog Kristen-Islam's notes

Agama anti Diskriminasi dan anti Kekerasan: Belajar dari


Hubungan Kristen-Islam di Timur Tengah
by Dialog Kristen-Islam on Monday, 27 September 2010 at 18:57

Bambang Noorsena, S.H.


*) Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari yang diselenggarakan Jami’ah Mudarasah al-

Qur’an (JMQ), di Pondok Pesantren "al-Hikam", Malang 15 Februari 1999. Dalam Seminar ini hadir

sebagai pembicara Islam : Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Alwi Shihab, dan mewakili pembicara

Kristen/Protestan: Prof. Sri Wismoady Wahono, Ph.D.

Tatkala politik kekerasan yang berwajah konflik agama menggejala akhir-akhir ini, menyusul desakan

tokoh-tokoh agama di Ciganjur untuk segera menghentikan segala bentuk politisasi agama, Gus Dur

mengemukakan pernyataannya bahwa Indonesia harus segera menentukan sikap: memilih Negara

teokrasi (yang mendasar-kan Negara pada agama) atau Negara sekuler (yang memisahkan Negara dari

agama). Istilah "Sekuler" sudah sejak lama menimbulkan alergi dan reaksi yang apriori. Tetapi

sebenarnya, reaksi demikian lebih diarahkan pada penerapan sistem itu, yang sebaliknya terlalu ekstrim

di Barat, di mana proses penyelenggaraan Negara disterilkan sama sekali dari moral agama.1)

Fenomena tersebut boleh disebut Sekularisme. Padahal istilah Sekularisasi (berasal dari kata

Latin: saecu-lum, "dunia"), justru mula-mula diarahkan untuk menghantam agama totalitas

kosmik(ontokrasi) yang mengkeramatkan segala yang ada, termasuk pendewaan terhadap raja dan

negara. Dalam kekuasaan-kekuasaan absolut tersebut, agama dijadikan justifikasi untuk merebut dan

melanggengkan kekuasaan. Justru, melalui Sekularisasi itu ditempatkan kembali "(kekuasaan) dunia"
yang selama itu disakralkan, sebagai dunia (saeculum) yang profan belaka. Dalam sejarah agama-

agama Semitik, proses itu dimulai dari Israel (agama Musa): "Here a breaks is made with the everlasting

cycle of nature and the timeless presentness of myth".3) (Di sini diputuslah lingkaran alam yang melilit

abadi dan mite tanpa waktu). Dengan proses itu, selanjutnya di dunia Barat

melaluiRenaisance dan Aufklaerung, -- meminjam padanan istilah yang diusulan Cak Nur, --

melakukan proses de-Sakralisasi yang menghantam kekuasaan absolut "Droit Divin" (kekuasaan ilahi

Raja),4) yang di belahan Timur lazim disebut kekuasaan "Dewa-raja".

Mengapa catatan ini penting saya kedepankan di awal tulisan ini? Pertama, bahwa pilihan terhadap

Sekularisasi yang memisahkan Negara dari agama, sama sekali tidak berarti menghapus peranan agama

sebagai kekuatan moral untuk melandasi penyelenggaraan Negara. Di sini, agama sebagai sumber

inspirasi, melaksanakan fungsi kritis dan korektif terhadap realitas empiris. Kedua, justru dengan adanya

inde-pendensi (dimana agama dan negara menempati posisi dan fungsinya masing-masing), 5) maka

agama dapat menjalankan fungsi etis dan interpretatifnya dalam memandang dan meng-arahkan

kenyataan hidup, tanpa harus diperalat oleh kekuatan politik tertentu. Perlu dicatat pula, tindakan

kekerasan dengan wajah agama di Indonesia akhir-akhir ini, dapat dibaca dari sudut pandang terakhir.

Agama, Kekuasaan dan Kekerasan: Belajar dari Sejarah Perjumpaan

Banyak ahli sepakat adanya kaitan yang sangat erat antara kekuasaan dan kekerasan. Ketika agama

tersubordinasi di bawah kekuasaan, disana ia gagal menjalankan fungsi profetis/ kenabiannya, lalu

menjelma sebagai "alat legitimasi" kekuasaan untuk meloloskan kemauan-kemauan politik suatu

golongan. Lebih-lebih bila agama itu mayoritas di suatu negara, ia sangat potensial dijadikan legitimasi

kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada ummat. Sejarah perkembangan agama-agama

besar sendiri telah membuktikan itu. Ketika Konstantin agung menjadi Kristen tahun 313, ia menjadikan

Kekristenan sebagai "agama Negara". Memang, Kekristenan seperti "naik kelas": dari agama rakyat

teraniaya yang secara sembunyi-sembunyi beribadah di katakombe-katakombe (gua-gua) wilayah

kekaisaran Roma, menjadi agama negara, dengan segala atribut kebanggaannya.

Euforia yang merayakan gegap gempitanya masa transisi dari agama tertindas ke agama negara ini,

dalam Gereja Orthodoks Syria digambarkan dalam kisah para penghuni gua Efesus. Kisah itu secara

lengkap dijumpai dalam buku berjudul: Ahl al-Kahfi fii Mushadir Al Suryaniyyat, 6) dikisahkan tujuh

orang pemuda yang bersembunyi di sebuah gua pada masa penganiayaan Kaisar Dakeus yang

memerintah tahun 249-251, yang oleh takdir Ilahi ditidurkan panjang sampai tahun 447, ketika Kaisar

Deodeus II yang sudah menjadi Kristen dan menjadikan Kekristenan sebagai agama Negara. Tetapi sejak

Roma memposisikan dirinya menjadi "pelindung" gereja-gereja Kristen di wilayah kekuasaannya (di

Timur Tengah), justru lembar-lembar sejarah berikutnya ditandai dengan pertumpahan demi
pertumbahan darah. Kenyataannya, Gereja Orthodoks Syria hanya sebentar saja merayakan "euphoria

Konstantinus" itu, selanjutnya menjadi Gereja yang paling teraniaya oleh sesama Kristen: mereka

menjadi sasaran fitnah, dicap sebagai aliran heresy (sesat) bahkan penganiayaan fisik oleh pihak

Byzantium, sampai --justru tentara Arab Muslimlah -- yang membebaskan mereka.

Nasib yang sama juga menimpa Gereja Koptik di Mesir, sebagaimana dicatat oleh Aziz S. Atiya,

dalamHistory of Eastern Christianity. 7) Kisah gugurnya Menas saudara Ba-thrik Koptik Benyamin,

pada tahun 632 sebagai martyr (syu-hada’) di tangan Cyrrus, utusan Kaisar Heraklitus, telah mendorong

mereka lebih menyambut pemerintahan Islam sebagai pembebas mereka kira-kira 7 tahun sesudah

peristiwa tersebut.

Apakah yang dapat dipelajari dari pengalaman sejarah Gereja Syria dan Koptik ini? Pertama, bahwa

ternyata politisasi agama (oleh pihak Byzantium) yang menggunakan kelompok mayoritas Kristen, telah

menyebabkan serangkaian penindasan atas nama "kebenaran", bukan hanya terhadap agama lain,

tetapi juga terhadap lingkungan agama sendiri yang berbeda formula keimanannya. Kedua, pengalaman

perjumpaan yang intens dengan umat beragama lain, mengantarkan pada pengakuan terhadap nilai-

nilai kebenaran dan keadilan yang lebih luas yang tidak terkungkung agama sendiri, sehingga orang-

orang Kristen tertindas ini justru menyambut tentara Arab-Islam sebagai pembebas yang adil.

Pengalaman nyata perjumpaan antar iman ini, telah mengajar orang-orang Kristen Orthodoks di Timur

Tengah untuk melakukan proses -- yang akhir-akhir ini acap disebut "crossing over" atau "pasing

over" (melintas batas Agama) -- dan membaptiskan nilai-nilai keadilan dan kebaikan, dari manapun

asalnya, sebagai keadilan dan kebaikan sejati. Sebaliknya, mereka juga sekaligus belajar dewasa dalam

beragama, yang antara lain ditandai dengan sikap otokritik : jujur mengakui bahwa brengsek itu tetap

brengsek, kendati hal itu terjadi dalam agama sendiri.

Urgensi Dialog Antar Agama dalam Masyarakat Plural

Pengalaman seperti ini, hendaknya mendasari sikap ke- agamaan otentik, yang lapang dan toleran

terhadap kehadiran orang lain yang berbeda dalam keyakinan dengan kita sendiri. Jadi, perbedaan

teologis (‘aqidah) tidaklah menjadi halangan bagi Dialog antar Agama. Bahkan, akhir-akhir ini agama-

agama sibuk menggali landasan bagi Teologi agama-agama dalam rangka membangun peradaban

bersama. Dalam bangunan pemikiran yang hendak dituju, adalah "bagaimana kita menyediakan ruang

bagi yang lain", karena sadar bahwa kita tidak berhak memutlakkan agama kita sendiri. Hanya Allah saja

satu-satunya yang mutlak di dunia ini.

Dalam sebuah doa Yahudi, yang juga menginspirasikan Yesus ketika mengajarkan Doa Bapa

Kamidalam Injil Matius 6:9-13, kita diajar untuk memohon shalom (perdamaian, anti-kekerasan): kmo
ba-sya-mayim ke ba-arets (seperti di surga, begitu juga di atas bumi). Seorang rabi bertanya: "Bagaima-

nakah shalom di surga itu, yang harus kita jadikan model shalom di bumi?". Ternyata kuncinya terdapat

dalam kata "surga" itu sendiri, yang dalam bahasa Ibrani: "syamayim". Rabi itu menganalisis 2 kata yang

bersembunyi di balik syamayim itu, yang sebenarnya 2 kata yang berlawanan: esy, "api" danmayim,

"air". Air tidak menghilangkan api, dan api tidak melenyapkan air. Keduanya berada dalam posisi

masing-masing. Melalui kata syamayim, api dan air sebagai 2 unsur yang sangat berbeda telah

didamaikan, tetapi tidak terlebur satu sama lainnya dan tidak saling meniadakan. Jadi, kunci

penghadiran shalom di bumi ialah bagaimana kita menciptakan ruang bagi yang lain: tidak saling

memaksa, membunuh atau menghilangkan eksistensi pihak lain.

Sikap keagamaan yang lapang dan tasamuh ini, -- atau menurut istilah Cak Nur: al-Hanifiyah al-

Samhah --, sangat mendesak dikembangkan dalam masyarakat plural seperti Indonesia, khususnya

melalui dialog antaragama. Sejarah per-kembangan agama-agama di Indonesia, menunjukkan bahwa

kelemahan untuk mencapai pemahaman bersama terhadap misi agama yang berbeda-beda, telah

menyebabkan kebencian, pertumpahan darah dan kebengisan berlarut-larut, yang justru bertolak

belakang dengan hakikat agama itu sendiri. Justru, tindakan kekerasan berwajah agama, berangkat dari

suatu theological killing (pembunuhan teologis), yang menjadi awal dari bentuk kekerasan untuk

meniadakan sesama manusia atas nama "tuhan". Di situlah, dimensi tragik itu dimulai, tragik dari

sebuah bentuk orthodoksi yang ingin mencapai wujud absolutnya, tetapi gagal meraihnya, lalu dilakukan

dengan cara memaksa pihak lain.8)

Sejumlah narasi dalam sejarah perkembangan agama-agama di Jawa, seperti: tragedi Hanaca-rakaversi

Tengger (yang melaporkan tragedi konflik Hindu-Islam), 9) Korawacrama pasca-kehancuran Majapahit

dari abad ke-15 Masehi, 10) maupun pensakralan pementasan epos Bharatayudha sebagai kisah

pemusnahan definitif Korawa, dalam pertunjukan wayang sekarang ini, 11) dengan jelas merekam

kesadaran akan dimensi tragik konflik agama-agama di masa lampau. Karena itu, kiranya agama-agama

dapat menjadikan fenomena di atas sebagai "rambu-rambu" dalam menerjemah-kan pesan misi atau

dakwahnya dalam masyarakat plural Indonesia.

Manusia untuk Agama, atau Agama untuk Manusia?

Setiap agama mempunyai klaim-klaim eksklusif, yang bila dibawakan secara vulgar akan menjadi

pemicu dalam hubungan antaragama. Tanpa menyangkal adanya penegasan semacam itu dalam setiap

agama, Gereja-gereja Timur meneruskan penghayatan patristik/salafiyah Gereja, mencoba memahami

ayat-ayat eksklusif itu dengan lebih serius merenungi pribadi ‘Isa alMasih secara theantropos.

Maksudnya, memahami al-Masih dalam relasi "Yang Ilahi-yang insani". Karena itu, kata ganti

diri Aku:menunjuk kepada Kalimatullah yang ghayr al-Makhluk (bukan ciptaan) dan qadim, yang
bersama Ruh Allah berdiam dalam Allah Yang Mahaesa, tetapi sekaligus juga Makhluq (ciptaan) dalam

nuzulNya sebagai Manusia. Yang pertama mutlak, universal dan kekal, sedangkan yang kedua relatif,

terbatas dan temporal.

Kahal, eklesia (gereja) atau ummat adalah jalan, bukan tujuan (betapapun paling baiknya agama

tersebut dalam penghayatan penganutnya). Dalam kesadaran penuh memproklamasikan sebuah

esoterisme, ‘Isa al-Masih merelativisir eksoterisme : "Hari Sabat (baca: agama) diadakan untuk

manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat (baca: agama)" (Markus 3:27). Karena itu misi agama-

agama adalah kemanusiaan.

Harus ditekankan, setiap agama mempunyai nilai-nilai universal dalam dirinya. Tetapi ketika prinsip-

prinsip itu harus berjumpa dengan kenyataan empiris, ia dibungkus oleh bingkai partikular berupa

"organized religion". Pemutlakan terhadap agama sebagai agama (dan bukan terhadap Allah), -- sadar

atau tidak -- telah melahirkan sikap diskriminatif terhadap pihak lain yang berbeda formula

keimanannya. Karena itu, mengor-bankan prinsip-prinsip kebenaran universal di bawah "bingkai

partikular" suatu agama, nyata-nyata suatu bentuk "de-humanisasi". Di sini religiositas, yang lebih

menunjuk pada kualitas penghayatan seseorang atas ajaran yang diyakininya, ditun-dukkan oleh bentuk

formal rumus-rumus keagamaan yang baku.

Untuk fenomena di atas, kita dapat belajar dari sejarah panjang diskriminasi "atas nama agama". Apa

yang harus kita katakan, ketika untuk alasan "kebenaran" agama: "The medieval Church did not view

the taking of a man’s life as lightly as does the modern state"?. 12) (Gereja abad pertengahan tidak

memandang bahwa merampas nyawa manusia se-enteng yang terjadi di Negara modern sekarang). Apa

pula yang mesti kita katakan, di abad kita sekarang inipun, kita masih membaca dalam Qanun-i

Shahadat (Hukum Pembuktian) yang berlaku di Pakistan (1984): bahwa di ruang pengadilan kesaksian

seorang pria Kristen hanya bernilai separuh dibanding kesaksian pria Muslim?. 13) Tentu saja, praktek

semacam ini sangat jauh dari teladan-teladan luhur seperti yang diberikan Nabi Muhammad dan para

sahabatnya terhadap ahlu adz-Dzimmiy (Yahudi/Kristen) pada masanya. Juga, bukankah "concerto for

violence" -- meminjam istilah Max I. Dimont, 14) -- yang tanpa rasa bersalah selalu dimainkan oleh

gereja abad-abad Pertengahan, begitu jauhnya dengan sabda-sabda Yesus da-lam Injil, yang bahkan

harus mengasihi musuh sekalipun?.15) Kendati mungkin ini bukan satu-satunya jawaban, tetapi dalam

kedua kasus yang dicatat di atas, faktor pendorong utamanya ialah akibat campur-aduknya agama

dengan politik. Karena itu agama hendaknya ditempatkan sesuai dengan proporsinya, khususnya dalam

masyarakat majemuk Indonesia.

Catatan Kaki
1. Di salah satu negara bagian AS yang secara konsisten memegang "Prinsip pemisahan Gereja

dengan Negara", malah pernah menjatuhkan hukuman bagi sekolah yang

menyelenggarakanReading The Bible. Alasannya, kegiatan agama adalah kegiatan priba-di yang

tidak boleh dimasukkan dalam institusi pendidikan sekuler.

2. "The term ‘secularization’ derives from the word seculum, the Latin equivalent of the Greek

word aion, which itself is the accepted term in the New Testament for ‘age, period, era’.

Consequently the term also came-to mean ‘world’. Whereas the Greeks always conceived of the

‘Cosmos’ in exclusively spatial terms, the Bible at once -- from the very first verse of the Book of

Genesis -- sets the world in the dimension of time and history. Right from the start the primary

reference of the Hebrew expression ‘olam is to time and history -- within which the Lord moves

with the people toward His Kingdom. It is the German theologian Fredrich Gogarten who defined

secularization most adequately as ‘Vergeschictichung der men-schlichen Existenz’ (human

exixtence comes to be ditermined by the dimenson of time and history). This takes its beginning

in Israel. Here raised the protest against the religion of Cosmic totality, against the

‘sacralization’ of all being, against the supremacy of fate, against the divinizing of kings and

kingdoms. Here a break ia made with the everlasting cycle of nature and the timeless

presentless of myth". Arend Th. Van Leeuwen, Christianity in the World History. The Meeting

od the Faiths of East and West (London: Ediburgh House Press, 1966), p. 331.

3. Ibid.

4. Teori "Droit Divin" (hak ilahi Raja/Paus) berasal dari Kardi-nal de Richelieu , yang memegang

kekuasan Negara tahun 1624-1642 di Perancis pada masa Louis XIII. Menurut de Richelieu, baik

Raja maupun Paus masing-masing menerima kekuasaan dari Allah, sehingga keduanya

sederajad.

5. Dalam tradisi Kristen, landasan pemisahan kekuasaan Gereja dan Negara ini, diinspirasikan dari

sabda Yesus sendiri: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan

kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Matius 22:22).

6. Mar Ignatius Zakka I ‘I Was, Ahl al-Kahfi fii Mushadir al-Suryaniyat. Dirasat Al SuryaniyahVol.

IV (Halab/Aleppo : Al-Mathran Yuhanna Ibrahim, 1980). Sumber tertua kisah ini di Gereja Timur,
mula-mula ditulis oleh Dionisius dari Tell Mahra, seorang Kristen Syria dari abad ke-5 Masehi,

dan masih menjadi perdebatan apakah aslinya ia menulis dalam bahasa Yunani atau

Syriac/Arami. Lihat: Dr. Clair Tisdall, Tanwir al-Faham fii Musadhir al-Adyan (Villach, Austria:

Light of Life, t.t.), h. 56.

7. Azis S. Atiya, History of Eastern Christianity (Notre Dame, Indiana: University of Natre Dame,

t.t.), p. 77-78.

8. Lihat: Th. Sumarthana, "Tragedi Hanacaraka dan Kebutuh-an Berdialog", dalam Drs. Samuel

Pardede, 70 Tahun Dr. T.B. Simatupang: Saya adalah orang yang Berhutang (Jakarta: PT. Media

Interaksi Utama dan PT. Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 306.

9. Menurut penelitian Robert W. Hefner, suku Tengger seba-gai sisa umat Hindu Majapahit yang

menolak dakwah Islam dan memilih bertahan dengan "Hindu Jawa"-nya di gunung Bromo Jawa

Timur, mempunyai versi khas tentang kisah terciptanya huruf Jawa: "Hanacaraka: Ada 2 orang

utusan; Datasawala: terlibat dalam perse-lisihan/hingga pertarungan fisik; Padajayanya: sama-

sama jaya; Magabatanga: tetapi akhirnya mati semua". Kisah 2 orang utusan yang sama-sama

setia pada gurunya masing-masing (Nabi Muhammad dan Sri Ajisaka), karena tidak ada dialog

dan keterbukaan diri, akhirnya saling memusnahkan. Lihat: Robert W. Hefner, Hindu Java-nese:

Tengger Tradition and Islam (Pricenton, New Jersey: Pricenton University Press, 1989), p. 137.

10. Dalam Serat Korawacrama (akhir abad ke-15), dikisahkan sehabis kehancuran definitif Korawa
pasca-Baratayuda, para Panda-wa sangat berduka: ibarat siang tanpa malam, laki-laki tanpa

perempuan, langit tanpa bumi, begitulah logika berfikir Jawa yang mono-dualistik. Pendawa

akhirnya minta Bagawan Abiyasa untuk menghidupkan kembali kaum Korawa. Lihat: R.M. Ng.

Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Amsterdam-Djakarta: Penerbit Djambatan, 1954), h. 67-69.

11. Sakralisasi pementasan kisah Baratayuda dalam pekelir-an wayang baru dimulai pada masa
Jawa Tengah, yang agaknya menyimpan trauma masa lampau tindakan kekerasan/kehancuran

definitif.

12. Max I. Dimont, Jews, God and History (New York: A Men-tor Book, 1994), p. 238-240.

13. Editorial: "Religious Apartheid", dalam I.I.S.C. Bulletin (October/November, 1985), p. 2.


14. Max I. Dimont, Loc. Cit.

15. "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di

surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan

hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang

mengasihi kamu, apakah pahalamu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan

apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada

perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?"

(Matius 5:44-47).

Copyright © 2002 Institute For Syriac Christian Studies


Top of Form
Like · Comment · Share


Bottom of Form
Facebook © 2011 · English (UK)

Mobile · Find
friends · Badges · People · Pages · About · Advertising · Developers · Careers · Privacy · Terms · Help

You might also like