Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hal ini pada tahap selanjutnya memungkinkan terjadinya capital flight yang
seharusnya masuk ke devisa Indonesia tetapi justru terbang ke negara lain. Bagi para
Pengusaha Pelayaran Nasional Payung regulasi undang-undang ini dapat
menguntungkan. Namun itu hanya bersifat sementara. Dalam jangka pendek
pengusaha bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat. Mereka akan mengalihkan
kapal mereka dari berbendera asing ke bendera dalam negeri.
Selanjutnya untuk investasi swasta asing, misalnya, akan dibatasi penguasaan
sahamnya maksimal 49 persen dengan konsesi pengelolaan selama 30 tahun. Dengan
demikian kendali di pelabuhan tetap harus dipegang pemerintah. Ketentuan lainnya
adalah, investasi swasta tidak diizinkan untuk menyentuh sektor hulu. Tetapi swasta
2
hanya diperbolehkan memaksimalisasikan investasi pada sektor hilir, seperti
pembangunan dan pengembangan terminal.
3
BAB 2
KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN HUKUM
USAHA BONGKAR MUAT
Selain itu, pembangunan oleh swasta juga harus mengikuti rencana induk
pelabuhan nasional yang tengah disusun pemerintah. Dari sekian banyak peraturan di
atas tentunya yang diharapkan seluruh stakeholder adalah peraturan yang tegas,
menjamin kepastian hukum dan tidak overlapping. Seperti di dalam UU No. 17 Tahun
2008 adanya indikasi bahwa penghapusan monopoli PT. Pelindo akan menyebabkan
terbukanya peran swasta yang lebih luas dibanding sebelumnya, karena investor bias
menjadi operator di pelabuhan-pelabuhan yang belum dikuasai oleh PT. Pelindo.
Walaupun pemerintah berdalih, bahwa pemerintah masih memiliki fungsi kontrol dan
regulator, misalnya dalam hal penentuan tarif. Jadi, banyak peraturan pelaksana dari
Undang-Undang sering menimbulkan overlapping dan kekaburan dalam penataan
tugas dan fungsi pihak-pihak yang terkait pada tingkat instansi, Badan Usaha
Pelabuhan (BUP) dan Badan Hukum Indonesia (BHI), sehingga tidak mendukung
iklim usaha di pelabuhan. Berikut ini beberapa pandangan yang berkaitan dengan
kepastian hukum usaha bongkar muat, yaitu:
2.1. Dukungan Hukum dan Peran Dunia Usaha Bongkar Muat dalam
Pembangunan Nasional
Jumlah ini meningkat terus, sampai pada tahun 2003 jumlah total kegiatan
bongkar untuk kegiatan antar pulau sebesar 170.201.242 ton dan kegiatan
bongkar untuk kegiatan pengangkutan internasional sebesar 53.776.870 ton.
4
Sementara untuk kegiatan muat sebesar 137.949.398 ton untuk antar pulau dan
untuk internasional kegiatan muat mencapai angka sebesar 163.339.487 ton.
Peran usaha bongkar muat dalam hal ini sangat strategis karena
bagaimana pun juga kelancaran arus keluar masuknya barang baik untuk
kegiatan antar pulau maupun untuk kegiatan perdagangan internasional akan
terganggu jika tidak didukung oleh kegiatan unit usaha bongkar muat. Iklim
usaha perdagangan nasional menjadi kurang menarik jika unit usaha bongkar
muat mengalami sejumlah kendala.
2.3. Eksistensi dan Perubahan Pola Pembinaan Usaha Jasa Bongkar Muat
dalam Hukum tentang Kepelabuhanan di Indonesia.
7
Pola pembinaan perusahaan bongkar muat ke arah kemandirian dan
profesionalitas usaha ditindak lanjuti dalam Keputusan Menteri Perhubungan RI
No. 88/AL/Phb.85 tanggal 11 April 1985 dan SK Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut No. A-2167/AL.62 tanggal 31 Desember 1985. Pola
pengembangan kearah profesionalitas terlihat dari tuntutan persyaratan substantif
yang lebih ditekankan kepada kesiapan peralatan bongkar muat dan kompetensi
sumber daya manusia dalam perusahaan jasa bongkar muat.Pola ini
memungkinkan untuk mencapai sasaran peningkatkan produktivitas bongkar
muat pelabuhan. Pola pemisahan antara fungsi pokok pelayaran dengan usaha
jasa bongkar muat telah menciptakan eksistensi yang lebih mandiri bagi usaha
jasa bongkar muat yang pada akhirnya akan berpengaruh positip pada
peningkatan kinerja dan produktifitas kegiatan pelabuhan, misalnya keberadaan
BHI sebagai perusahaan bongkar muat diberikan syarat-syarat modal dan
peralatan yang besar dan berat serta sulit untuk memperoleh ijin dari Departemen
Perhubungan untuk berdiri sendiri sebagai Perusahaan Bongkar Muat, sehingga
fungsi ini tidak diikuti dengan kepastian hokum mengenai kewenangan dan
tanggungjawab masing-masing pelaku (perusahaan pelayaran dan perusahaan
bongkar muat, yang berakibat pada prosedur penanganan klaim menjadi lambat.
8
meluas kepada prinsip perluasan kesempatan berusaha dan pengurangan campur
tangan yang terlalu besar dari pemerintah pada sektor kepelabuhanan.
9
tidak sesuai dengan kesiapan barang yang mengakibatkan terjadinya biaya long
distance dan kecenderungan angkutan langsung.
Sistem baru ini juga mengandung sejumlah kelemahan yang penting untuk
mendapatkan perhatian pemerintah. Kepastian berusaha bagi perusahaan bongkar
muat belum dapat diharapkan akibat masa kerja sama yang cukup singkat yang
hanya lima tahun. Masa yang singkat ini sangat berpengaruh pada minat pelaku
usaha bongkar muat untuk melakukan investasi peralatan mekanis, karena tidak
adanya kepastian untuk memprediksi kondisi usaha pasca berakhirnya kerjasama.
Ketidakpastian hukum dalam sistem ini juga terdapat dalam sistem pungutan
yang tidak jelas, yang berakibat pada munculnya high cost economy pada
perusahaan bongkar muat dalam bentuk banyaknya pungutan di luar tarif resmi
dari pengelola pelabuhan yang dikaitkan dengan penyerahan dan pengoperasian
fasilitas.
Kemudian dilakukan pemisahan yang tegas antara fungsi pokok dan fungsi
usaha penunjang, sehingga terdapat batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban
masing-masing actor yang terlibat dalam usaha pengelolaan pelabuhan. Konsistensi
ini diharapkan dapat menjadi konsep yang tegas tentang pola atau arah pengembangan
usaha-usaha kepelabuhanan.
17
2.4.3. Dampak Negatif Adanya Ketidakpastian Hukum dalam Usaha
Bongkar Muat.
Pelaku usaha tertentu dapat menikmati kesejahteraan hanya
melalui upayanya mempengaruhi kebijakan pemerintah ke arah yang lebih
menguntungkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Dengan kata
lain hukum telah dibelokkan secara tidak adil oleh kepentingan kelompok
tertentu. Hal ini dapat dilihat secara jelas dari Kepmenhub RI No. 26
Tahun 1998 yang memungkinkan semua kegiatan usaha di pelabuhan di
monopoli oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang merupakan badan
usaha milik negara (BUMN) dengan alasan kepentingan nasional.
Keberpihakan hukum terhadap BUP belum tentu bisa menciptakan
efesiensi dalam pengelolaan pelabuhan, bahkan justru bisa sebaliknya.
Perlindungan yang berlebihan bagi BUP justru akan mengabaikan nilai-
nilai efesiensi di tubuh BUP, sulitnya membentuk corporate culture di
tubuh BUP, dan semakin besarnya intervensi negara cq. aparatur
pemerintah di tubuh BUP. Akibatnya di masa yang akan datang
kemandirian BUP akan berkurang dan berakibat pada kelemahan pada
aspek menejerial, struktural, financial dan cultural yang pada akhirnya
mengantar BUP menjadi badan usaha yang tidak memiliki daya saing
secara nasional, apalagi pada tataran regional dan global.
18
Pendekatan partisipatif ini sangat kurang dalam perumusan
peraturan hukum atau kebijakan yang mengatur kegiatan usaha jasa
bongkar muat di pelabuhan. Para pelaku usaha atau lembaga-lembaga
tempat berkumpulnya pelaku usaha bongkar muat sangat kurang
dilibatkan dalam proses pembuatan peraturan hukum atau kebijakan
bahkan yang mengatur diri mereka sendiri. Peraturan yang selalu datang
dari otoritas yang berkuasa dan harus diterima tanpa banyak tanya adalah
fenomena yang sering terjadi dalam penataan sector usaha jasa bongkar
muat. Akibatnya peraturan yang dihasilkan umumnya tidak tepat sasaran
bahkan seperti diuraikan sebelumnya, tidak sinkron antara peraturan yang
satu dengan yang lain.
3.1. Pertumbuhan sektor ekonomi dan sektor-sektor lain di Indonesia akan terus
didorong oleh laju industri dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Dalam
hubungan ini sektor transportasi berperan sangat penting dan menentukan
sebagai urat nadi kehidupan dan perkembangan ekonomi, sosial, politik dan
menunjang mobilitas barang dan manusia, yang terus tumbuh sebagai akibat
perkembangan berbagai sektor. Pengembangan sektor transportasi di
Indonesia diupayakan dengan pendekatan kesisteman menuju perwujudan
Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) yang efisien, efektif dan terjangkau
oleh masyarakat pemakai jasa transportasi, baik dari aspek alokasi jaringannya
maupun kewajaran tarifnya.
3.5. Dalam jangka panjang perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia yang
mengglobal diperkirakan akan meningkatkan arus barang ke berbagai penjuru
dunia, yang akan memaksa setiap negara anggota GATT/ WTO termasuk
Indonesia, untuk turut terlibat dalam suasana perdagangan bebas secara
simultan, baik ditingkat regional maupun internasional. Bagi Indonesia yang
turut serta menandatangani perjanjian GATT/ WTO terbuka kesempatan yang
kondusif untuk meningkatkan akses ke pasar angkutan bagi barang-barang
produk nasional.
Pada gilirannya hal ini dapat berlanjut dengan peningkatan ekspor dan impor
serta perdagangan antar pulau, sehingga secara keseluruhan diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran negara serta masyarakat.
21
I. Transportasi Intermoda dewasa ini
I.1. Pengertian Umum
1. Pengertian umum keseluruhan arus transportasi intermoda
dapat dilihat pada lampiran Gambar –1. Dari gambar tersebut dapat
diuraikan proses transportasi intermoda sebagai berikut :
I.1.1. Arus barang dimulai dari pusat produksi dengan meng-gunakan
berbagai alternatif moda angkutan, antara lain :
a. Truk dan atau kereta api langsung dari lokasi pengi-rim ke
pelabuhan asal.
b. Truk dari lokasi pengirim ke dry port untuk konsolidasi,
kemudian dengan truk/ kereta api diteruskan ke pelabuhan asal
I.1.2. Dari pelabuhan asal dilakukan handling (muat) dan diangkut dengan
kapal ke pelabuhan tujuan.
I.3. Manfaat
Transportasi intermoda sebagaimana dikemukakan terdahulu dapat
memberikan manfaat/ keuntungan baik bagi pemilik barang, operator
angkutan maupun pemerintah, sebagai berikut :
I.3.1. Bagi Pemilik Barang (shipper,consignee) :
I.3.1.1. Jangka waktu penyerahan barang relatif pendek
I.3.1.2. Biaya total relatif rendah
I.3.1.3. Keselamatan barang, jadual angkutan dan biaya terkendali
I.3.1.4. Hanya satu penanggungjawab dalam arti reponsibility
terhadap pemilik barang.
I.4.1. Carrier, meliputi pemilik/ pengelola angkutan jalan raya, kereta api,
pelayaran, penerbangan, dan angkutan sungai danau dan
penyeberangan (ASDP).
I.4.2. Non Carrier, meliputi pergudangan, terminal peti kemas CFS
(Container Freight Station), Depo konsolidasi, perusahaan
pengepakan, pengurusan Bea-Cukai, ekspor impor, transaksi luar
negeri Pihak lain terkait, seperti perbankan, asuransi muatan, instansi
kepabeanan, pelabuhan dan Freight Forwarder. Penerbitan satu
25
dokumen angkutan mencerminkan secara prinsip disatukannya
tanggung jawab dalam proses angkutan barang tersebut ditangan satu
penanggungjawab ialah operator transportasi intermoda
26
I.5.2.1. Memberikan kepuasan penampilan transportasi intermoda
termasuk semua pelayanan yang diperlukan bagi
operasinya.
I.5.2.2. Menyerahkan barang kepada penerima/ consignee di tempat
tujuan dalam keadaan seperti waktu diterima dari pengirim/
shipper.
I.5.2.3. Menanggung perbuatan/ kesalahan yang dilakukan agen, sub
kontraktor dan karyawannya.
I.5.2.4. Bertanggungjawab atas kehilangan/ kerusakan barang yang
terjadi selama dalam angkutan sampai penyerahan di tujuan.
28
Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Departemen Perhubungan
mengenai hal-hal tersebut di atas dapat dikemukakan antara lain :
31
II.4.1. Tenaga administrasi dalam berbagai bidang antara lain perundang-
undangan internasional, pengorganisasian segmen operasi, akuntansi
biaya, pengurusan jasa transportasi/ freight forwarding, asuransi,
ekspor impor, kepabeanan, electronic data interchange (EDI), dan
pertarifan.
II.4.2. Tenaga operasi dalam berbagai bidang antara lain teknologi
transportasi, pergudangan, container terminal, sistem operasi
pelabuhan dan bandara dan pengaturan barang berbahaya.
II.4.3. Pendidikan dan pelatihan khususnya meliputi antara lain sispro
perdagangan luar negeri, perundang-undangan transportasi, sistem
informasi dan komunikasi, sispro asuransi perdagangan
internasional, perbankan, perpajakan dan tenaga kerja bongkar
muat.
32
II.5.1. Oleh karena itu, meskipun masih mengalami kendala, Indonesia
perlu mempersiapkan diri untuk memanfaatkan Sistem Transportasi
Intermoda agar dapat berperan dalam perdagangan dunia, sekaligus
memperoleh manfaat, antara lain :
II.5.2. Meningkatkan daya saing produk nasional
II.5.3. Meningkatkan penerimaan devisa Negara
II.5.4. Memperlancar distribusi barang dan jasa keseluruh tanah air
33
transportasi laut, moda transportasi udara dan transportasi pipa. Masing-
masing moda transportasi terdiri atas prasarana dan sarana yang saling
berinteraksi, membentuk satu sistem pelayanan jasa yang efektif dan efisien
dan terwujud dalam jaringan transportasi nasional yang terpadu secara serasi
dan harmonis, menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri.
34
antara lain melalui penciptaan iklim usaha yang sehat/ kompetitif dan saling
menghidupi.
35
Pengembangan sistem transportasi intermoda sebagai bagian integral
Sistranas akan mengikuti pokok-pokok arah pengembangan Sistranas antara lain
sebagai berikut :
III.2.1. Pengembangan dilakukan secara terpadu baik dalam aspek
intramoda maupun intermoda serta terpadu pula dengan sektor
pembangunan lainya sesuai kebutuhan dan perkembangan iptek
serta dengan berpedoman kepada tata ruang nasional.
III.2.2. Penentuan pangsa pelayanan antar moda transport untuk tiap
lintasan transportasi ditentukan berdasarkan variabel dan volume
angkutan agar tercapai biaya angkutan yang minimal.
III.2.3. Pengembangan dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan atau
prinsip dasar hierarkhis, geografis, ekonomis dan mendukung
pengembangan wilayah.
III.2.4. Dalam jangka menengah dan jangka panjang perlu
mempertimbangkan faktor-faktor antara lain : jaringan transportasi
yang telah ada, tata ruang, pola produksi dan konsumsi, serta
hierarkhi kota yang bersangkutan.
III.2.5. Pengembangan mengarah kepada peningkatan daya saing melalui
peningkatan efisiensi berupa penerapan teknologi maju,
pengurangan subsidi, kerjasama antar perusahaan (sinergi), inovasi
menajemen dan pelayanan, standardisasi pelayanan dan teknologi.
III.2.6. Penerapan berbagai kebijakan pemerintah guna meningkatkan peran
serta sektor swasta berupa deregulasi, debirokratisasi, kemudahan
perizinan, fasilitas finansial, tarif, pengurangan intervensi,
pengutamaan penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan
keterpaduan pelayanan antar moda.
III.2.7. Beberapa pemikiran dalam rangka reformasi kebijakan sektor
transportasi, yang kini masih dalam proses pembahasan, perlu
menjadi acuan dalam pengembangan STI, antara lain :
36
III.2.7.2. Penyelenggara transportasi perlu berorientasi kepada
kualitas, kompetisi yang sehat, efisiensi, perkembangan
teknologi terutama telematika, serta antisipatif terhadap
pasar bebas dan kemungkinan aliansi global.
III.2.7.3. Sumber daya manusia sektor transportasi dikembangkan
secara profesional agar mampu bersaing dipasar global.
III.2.7.4. Produk hukum transportasi harus disempurnakan dalam
kerangka deregulasi dan debirokratisasi secara lebih
efektif dan efisien.
III.2.7.5. Pemerintah diharapkan dapat menunjang upaya :
- Menciptakan iklim investasi yang kondusif
- Menghapus restriksi dalam pengadaan armada
- Melaksanakan privatisasi lanjut pada BUMN
- Pentarifan sesuai mekanisme pasar secara
bertahap
- Penerapan pola landlord pada
pengelolaanpelabuhan, yang terintegrasi dengan
pengembangan zona industri dan hinterland
37
meningkatkan mutu kehidupan masyarakat serta
mewujudkan berbagai kepentingan nasional untuk saat ini
dan di masa depan.
39
III.3.2.4. Berbicara dan bertindak dalam satu kesatuan langkah
pengambilan keputusan dengan tetap menghargai
perbedaan pandangan antar instansi.
III.3.2.5. Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif :
III.3.2.5.1. Bebas terhadap diskriminasi dan prasangka
buruk.
III.3.2.5.2. Pegawai memiliki peluang partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan.
III.3.2.5.3. Pegawai memiliki kepercayaan dan motivasi
bekerja secara kreatif, inovatif dan berani
mengambil resiko.
III.3.2.5.4. Pimpinan memberi ketauladanan dalam
integritas, etika dan tingkah laku.
III.3.2.5.5. Meningkatkan kemampuan mengantisipasi
perubahan secara produktif.
III.3.2.5.6. Membina dan mengendalikan pelaksanaan
Sistranas secara konsisten.
41
III.3.3.5. Untuk penerapan STI dalam praktek di lapangan dapat
diupayakan melalui penggabungan secara sinergis
beberapa perusahaan BUMN dan swasta/koperasi, yang
memiliki kegiatan saling terkait/menunjang dalam urutan
proses produksi jasa angkutan barang intermoda yang
terintegrasi (penggabungan vertikal).
42
Profitisasi merupakan peningkatan efisiensi secara
agresif sehingga mencapai profitabilitas dan nilai perusahaan yang
optimal. Selanjutnya langkah privatisasi merupakan peningkatan
penyebaran kepemilikan kepada masyarakat umum dan sektor
swasta domestik dan asing, untuk akses pendanaan, pasar, teknologi
serta kapabilitas tingkat dunia, Reformasi BUMN gelombang I yang
kini masih berjalan kini dipersiapkan untuk ditindaklanjuti dengan
reformasi BUMN gelombang II, melalui langkah sinergi berupa
pembentukan 10 perusahaan holding BUMN yang berdaya saing
dan berdaya cipta nilai tinggi.
43
Reformasi gelombang II melalui pembentukan
holding BUMN tersebut diharapkan dapat turut mengemban misi
dalam lingkup Agenda Nasional, ialah :
44
III.4.1.19. Mencari pendanaan eksternal yang lebih murah
III.4.1.20. Mengembangkan manajemen puncak anak perusahaan.
Periksa Gambar – 5.
46
III.4.2.7. Sub kelompok penunjang, terdiri atas : Sucofindo, Survey
udara Penas, SI
47
perundangan yang berlaku sekarang, antara lain UU Nomor 1/1995
dan PP. Nomor 12/1998.
III.5.2.1. Pelabuhan
Penyelenggara pelabuhan umum dilakukan oleh
Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan
kepada BUMN yang didirikan untuk maksud tersebut.
Badan hukum Indonesia dapat diikutsertakan atas dasar
kerjasama dengan BUMN tersebut.
III.5.2.2. Angkutan perairan
Penyelenggaraan angkutan perairan termasuk usaha
penunjang dilakukan oleh badan hukum Indonesia
berdasarkan izin Pemerintah.
49
Peluang swasta nasional/Badan hukum Indonesia (termasuk
BUMN) dalam penyelenggaraan MTO belum di atur dalam peraturan
perundangan tertentu, sehingga perlu dipersiapkan pengaturannya dalam
kaitan pengembangan STI.
50
BAB 4
ANGKUTAN UMUM MULTIMODA, ALTERNATIF PERENCANAAN
TRANSPORTASI YANG SUSTAINABLE
51
Penelitian penelitian yang berkembang menunjukkan bahwa belum ada
kajian angkutan multimoda secara komprehensif, sebagian hanya mencakup satu atau
dua aspek multimoda saja. Untuk Negara maju hal ini tidak terlalu menjadi masalah
karena angkutan umum mereka yang uni moda (tidak terintegrasi) saja sudah
mempunyai system jadwal, peraturan pelayanan, system pembayaran, infrastruktur
dan jaringan yang baik. Sebaliknya, di Negara berkembang dimana system angkutan
unimoda saja belum sempurna, perlu penerapan system multimoda yang mencakup
semua komponen multimoda. Oleh sebab itu dikembangkan konsep bahwa angkutan
52
Moda utama biasanya yang digunakan dalam perjalanan paling
panjang dan paling lama dari moda lainnya. Sudah banyak penelitian dan
pengembangan moda utama ini, tentang pengembangan alat angkutan umum,
sinkronisasi jadwal antara moda satu dengan lainnya.
53
4.4. Fasilitas peralihan moda (Transfer Point)
4.5. Fasilitas peralihan antar moda dengan jaringan berbeda (Intermodal Tranfer
Point)
54