You are on page 1of 9

Obat Generik,

Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah


Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai
obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum
tak mampu. Betulkah asumsi ini?

Faktanya tidak demikian. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor
penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain
merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat

Membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik. Umumnya harga
barang elektronik sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka
semakin bagus kualitasnya.

Semua obat baru, tentu harus dibayar tinggi untuk jasa penemuannya, yang menjadi hak
eksklusifnya. Namun, tidak semua penyakit yang pasien derita memerlukan jenis obat baru.

Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. Kenali
lebih dekat obat generik, maka Anda akan akan diuntungkan karena meski harga murah tapi
mutu tidak kalah.

1. Kenali Jenis Obat di Indonesia


2. Obat Paten Menjadi Obat Bermerk
3. Sejarah Obat Generik
4. Kualitas Obat Generik Tidak Kalah
5. Jaminan kualitas obat generik : Wajib BABE
6. Kendala Terbesar Obat Generik
7. Obat Generik Adalah Hak Pasien

Kenali Jenis Obat di Indonesia

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum


Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode
2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi
menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan


berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang
tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun
2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.

Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut


memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain
tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki

1
perjanjian khusus dengan pemilik paten.

Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik
(generik= nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu
generik berlogo dan generik bermerk (branded generic).

Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. "Bedanya,
yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo" ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang
menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang
memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk yang lebih umum
disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang
memproduksinya.

dr. Marius Widjajarta, SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia
(YPKKI) mengungkapkan bahwa di Indonesia lebih banyak obat bermerk dibandingkan obat
generik.

Obat Paten Menjadi Obat Bermerk

Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk dagangnya pun kemudian
masuk ke dalam kelompok obat generik bermerk atau obat bermerk. Meskipun masa patennya
sudah selesai, merk dagang dari obat yang dipasarkan selama 20 tahun pertama tersebut tetap
menjadi milik perusahaan yang dulunya memiliki paten atas obat tersebut.

Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan ´obat paten´ yang ditulis oleh media massa untuk
membandingkan dengan obat generik sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai ´obat
bermerek´. Penggunaan istilah ´obat paten´ adalah salah karena patennya sendiri sudah selesai
dan tidak berlaku lagi.

Sebagai contoh perusahaan farmasi Pfizer memiliki hak paten atas produk Norvask®, sebuah
obat anti hipertensi. Paten ini baru akan kadaluwarsa pada bulan September 2007.

Karena paten ini, tidak ada obat lain dengan kandungan yang sama di negara-negara yang
mengakui paten ini. Jika ada, maka itu merupakan kerjasama khusus dengan Pfizer. Setelah
bulan September nanti, paten ini akan kadaluwarsa dan perusahaan-perusahaan farmasi lain
baru akan dapat memproduksi obat dengan kandungan yang sama.

Walaupun demikian, perusahaan-perusahaan lain tersebut tidak dapat menggunakan merk


dagang Norvask® yang tetap menjadi hak milik eksklusif Pfizer. Perusahaan-perusahaan ini
dapat menggunakan nama generik Amlodipine atau menggunakan merk sendiri.

Obat-obatan yang menggunakan nama generik ini kita sebut sebagai ´obat generik´, sedangkan
Pfizer akan tetap dapat terus memproduksi Norvask® yang lebih tepat jika kita sebut dengan

2
´obat bermerek´.

Sejarah Obat Generik

Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk
penyakit tertentu.

Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap
obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah menetapkan penggunaan obat generik pada
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.

Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan
dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya
iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya
iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan.

Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, peningkatan


pemanfaatan obat generik akan memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Kualitas Obat Generik Tidak Kalah

Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya
yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama
berkualitasnya dengan obat bermerk.

Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk.
“Orang kan makan generiknya bukan merknya, karena yang menyembuhkan generiknya,”
ungkap dr. Marius Widjajarta, SE.

Kualitas obat generik yang disebut ´tidak genit tapi menarik´ oleh dr. Marius ini tidak kalah
dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus
melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang
dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi
(BA/BE). Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan
kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.

Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di
pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.

Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di

3
pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. “Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM
masih fokus pada pelaksanaan CPOB,” ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Jaminan kualitas obat generik : Wajib BABE

“Memang mungkin ada perbedaan kualitas


antara obat generik dan obat bermerk karena
pada obat generik tidak dilakukan uji BA/BE.
Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan
dokter yang didukung pengalaman empiris
meresepkan obat generik ternyata pasien tidak
sembuh,” jelas DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Seakan menjawab keraguan di masyarakat dan


klinisi, BPOM akan mengeluarkan peraturan
untuk obat generik pada bulan Agustus 2007
nanti. Dalam peraturan tersebut, BPOM akan
mengumumkan obat resep (ethical) yang
dikenakan wajib BA/BE. Uji tersebut akan
menjadi prasyarat registrasi obat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPOM-RI.

Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan dan mutu obat generik. Dengan demikian,
masyarakat terutama klinisi mendapat jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi,
keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Selain itu, uji BA/BE disiapkan untuk menghadapai
harmonisasi bidang farmasi ASEAN 2008 mendatang.

Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat
yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria,
dan sebagainya), dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral/mulut,
rektal/dubur, transdermal/kulit).

Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate (kecepatan zat aktif
dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya
jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat
aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang
diinginkan.

Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan menjadi tidak adanya perbedaan


secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan
farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang
merupakan produk inovator, sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya
diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat.

DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes menambahkan bahwa dokter bisa percaya dan berani

4
meresepkan obat generik asalkan ada uji BA/BE yang hasilnya bagus dan dipublikasikan.

Kendala Terbesar Obat Generik

Setiap negara wajib menyusun daftar obat esensial (DOEN),


sejumlah jenis obat yang paling dibutuhkan di suatu negara, dan
yang tergolong sering dipakai. Daftar ini dapat ditambah atau
dikurangi oleh pemerintah sesuai kebutuhan negara.

Semakin bijak keputusan menyusun DOEN, semakin


diuntungkan pihak konsumen. Lebih bijak kalau jumlah jenis
obat yang dinilai layak tidak semakin banyak. Semakin sedikit
jenis obat DOEN, semakin rasional obat yang bakal digunakan
dalam praktik keseharian.

Namun, yang terjadi sekarang, dan itu sudah lama berlangsung,


DOEN kita cenderung tambun. Obat bermerk dan jenis yang
sama pun terus bertambah, sehingga membuat bingung dokter
saat menulis resep. Kalau ada seratus jenis obat esensial, dan
masing-masing jenis obat diproduksi oleh sepuluh merk obat,
berapa ribu merk obat yang harus dokter ingat.

Bayangkan kalau untuk obat batuk yang sama tersedia puluhan merek. Duplikasi obat begini
yang membuat persaingan harga obat semakin kurang sehat. Siapa merk obat yang berani lebih
genit mempengaruhi dokter dan menulis resep, merk itu yang berpotensi menguasai pasar.

“Beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali bahkan ada yang sampai
200 kali lipat,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa
keuntungan tersebut untuk komisi dokter meresepkan obat bermerk. Hal inilah yang menjadi
kendala terbesar mandeknya obat generik di Indonesia.

dr. Marius Widjajarta, SE menambahkan bahwa di luar negeri, harga maksimal obat bermerk
diatur hanya 1,2-2 kali harga obat generik. Tidak mengherankan jika kemudian peredaran obat
palsu subur di Indonesia.

Sebenarnya sejak tahun 2006 kemarin, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi)
telah mengeluarkan Surat Edaran No. 100/SK/GPFI/2006 tanggal 1 September 2006 yang
berisi himbauan kepada perusahaan farmasi untuk menurunkan harga obat bermerk sehingga
harganya berkisar 3 kali lipat harga obat generik.

Harga obat generik bermerek (obat bermerk) yang diturunkan meliputi 34 item obat esensial
bermerek yang mencakup lebih kurang 1.400 sediaan yang diproduksi berbagai perusahaan
farmasi swasta yang merupakan anggota GP Farmasi kecuali Perusahaan Modal Asing (PMA).

Beda dengan Indonesia, pangsa pasar obat generik di negara maju seperti Amerika telah

5
mencapai 40-45%. Di negara maju telah menganut sistem klaim asuransi kesehatan, sedangkan
Indonesia masih menganut auto pocket dimana kalau sakit baru bayar biaya pengobatan.

Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan
yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan
produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.

Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga
produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan
jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat
fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk
obat tersebut.

Obat Generik Adalah Hak Pasien

Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:

1. Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.


2. Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.
3. Hak untuk ganti rugi.
4. Hak untuk memilih.
5. Hak untuk didengar.
6. Hak untuk mendapatkan advokasi.
7. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.

Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang menanti pun cukup berat.
Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun.

Coba simak tips untuk berobat ke dokter dari dr. Marius Widjajarta, SE :“Mintalah obat
generik ketika berobat ke dokter dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan
informasi yang benar, jujur dan jelas maka dokter bisa melanggar UU No. 8 tahun 1999.”

Pasien memiliki hak untuk memilih pengobatan. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes mengatakan
bahwa pasien harus mengingatkan dokter untuk menuliskan resep obat generik.

Jadi tidak ada alasan terutama bagi konsumen yang berkantong tebal untuk ragu dan merasa
‘bersalah’ jika hendak memilih obat generik dengan alasan penghematan. Apalagi dalam
kondisi bangsa saat ini yang sedang menderita kronis akibat permasalahan hukum, politik,
ekonomi, dan keamanan, di mana diperlukan kecerdasan seorang konsumen dalam memilih
pengobatan.

6
.:: POPULAR ARTICLES ::.
Popular Articles
Category: General

Istilah Generik, Branded (nama Dagang), Logo, Paten, Obat-jadi

ISTILAH:
Dewasa ini di seluruh tanah air sedang digalakkan penulisan resep obat generik. Bagi banyak
orang, istilah-istilah di sekitar masalah obat generik ini masih terasa mem-bingungkan sehingga
kerapkali orang membuat interpretasi sendiri-sendiri. Dapatkah dijelaskan apa yang dimaksud
dengan istilah : generik, nama generik, obat generik, branded drug, branded generic, logo,
product patent, paten atas obat jadi, generic prescribing, obat paten dan obat jadi ?

Penjelasan :

Generik = semua hal yang berhubungan dengan suatu genus atau klas; tidak perlu berhubungan
dengan obat khususnya. Dalam bidang obat berarti berhubungan dengan nama “umum” atau
international non-priorietary name (INN) obat tersebut.
Nama generik = INN = nama obat atau zat kimia yang disebut dengan nama internasional, yang
telah dibakukan oleh Panitia International Non-prorietary Names. Bisa disebut dalam bahasa
Latin, Inggris, Perancis, dsb., yang ejaannya di-Indonesiakan. Dalam Farmakope Indonesia
dipakai ejaan Latin (tetrasiklina), tetapi dalam penulisan resep dan pembahasan dalam Ilmu
Kedokteran disebut dengan ejaan Inggris yang di-Indonesiakan (tetrasiklin).
Obat generik (unbranded drug) = obat-jadi yang dipasarkan dengan nama generik (kapsul
tetrasiklin 250 mg). Biasanya ditulis dengan huruf kecil bila di tengah kalimat. Bisa juga obat
generik disediakan dalam bentuk bahan baku untuk racikan di apotik, misalnya teofilin. Obat-
jadi dengan nama generik tidak boleh dipatenkan, sehingga bila suatu produsen membuat kapsul
bernama “Ampisilin” misalnya, nama ini tidak mungkin dipatenkan dan harus digolongkan ke
dalam obat generik.

Obat bernama dagang (branded drug) = obat-jadi yang dipasarkan dengan nama dagang
(proprietary name), biasanya terkait dengan nama dan logo pabrik (misalnya kapsul
Dumocycline, 250 mg atau Steclin, 250 mg, yang keduanya mengandung tetrasiklin 250 mg.
Biasanya ditulis dengan hurus besar pada huruf permulaannya, walaupun di tengah kalimat.

7
Branded generic = dengan sendirinya merupakan salah kaprah dalam peristilahan, karena akan
berarti branded-unbranded drug. Istilah ini sebaiknya tidak digunakan, karena hanya merupakan
politik pabrik obat kecil (di Eropa) untuk dapat ikut dalam perlombaan produksi obat generik.
Yang dimaksud dengan istilah ini misalnya ialah “Dumocycline”, yang sebenarnya sama dengan
suatu branded drug.

Logo = lambang atau huruf dengan bentuk spesifik sebagai tanda pengenal suatu pabrik obat,
seperti yang di-emboss di atas tablet atau brosur. Logo termasuk dalam hak paten nama dagang.

Product patent = yaitu paten yang diberikan pada zat kimia atau obat baru, yang berlaku sekitar 7
tahun atau lebih dan berarti tidak boleh ditiru pembuatan bahan bakunya oleh pabrik lain.
Tentunya ini hanya berlaku untuk negara yang mengikuti perjanjian hak paten internasional.
Obat yang masih dalam masa paten tidak boleh diproduksi dan dijual dengan nama generik;
tentunya tidak berlaku untuk negara yang tidak mengakui perjanjian hak paten produk.
Paten atas obat jadi = adalah paten terhadap nama dagang (misalnya Dumocycline). Tidak ada
pabrik lain yang boleh memakai nama dagang ini untuk obat-jadi yang mengandung tetrasiklin
ataupun lain obat.

Generic prescribing = yang dimaksud dengan peraturan Menteri Kesehatan nomer 85/1989 ialah
menulis resep obat dengan nama generik (versi Inggris dengan ejaan Indonesia), dan harus
disediakan dan diberikan oleh apotik dalam bentuk obat-jadi generik, kecuali bila belum dapat
disediakan oleh Pemerintah.

"Obat paten" = suatu pengertian yang salah dalam percakapan sehari-hari, yang mungkin
dimaksudkan dengan obat-jadi yang diimpor. Perlu diketahui bahwa 95% obat-jadi tidak diimpor
lagi dalam bentuk obat jadi, namun dalam bentuk bahan baku. Pengertian awam ini juga dapat
membingungkan karena tidak jelas yang dimaksud dengan “paten” itu paten produk atau paten
nama dagang.

Obat-jadi = obat dalam bentuk yang siap untuk diberikan pada penderita misalnya tablet, kapsul,
sirop, ampul, supositoria, salep, bubuk, dsb. Lawannya ialah bahan baku.

8
9

You might also like