Professional Documents
Culture Documents
Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung sifat fisik dan/atau hayati sehingga lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (KMNLH, 1998). Kerusakan lingkungan hidup
terjadi di darat, udara, maupun di air. Kerusakan lingkungan hidup yang akan dibahas dalam Bab
ini adalah meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta kerusakan lingkungan pesisir dan
laut.
A. LAHAN KRITIS
Salah satu masalah kerusakan lingkungan adalah degradasi lahan yang besar, yang apabila tidak
ditanggulangi secara cepat dan tepat akan menjadi lahan kritis sampai akhirnya menjadi gurun.
Lahan kritis umumnya banyak terjadi di dalam daerah aliran sungai (DAS) di seluruh Indonesia.
Data Departemen Kehutanan menunjukkan lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15,11 juta
hektar dan di dalam kawasan hutan 8,14 juta hektar. Hutan rusak dalam areal Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) sudah mencapai 11,66 juta hektar dan lahan bekas HPH yang diserahkan ke PT.
Inhutani 2,59 juta hektar. Mangrove yang rusak dalam kawasan hutan telah mencapai luasan 1,71
juta hektar dan di luar kawasan hutan sebesar 4,19 juta hektar.
Total hutan yang rusak sudah mendekati angka 57 juta hektar. Ironisnya, kapasitas lembaga yang
bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan lahan dengan inisiatif pemerintah tak cukup kuat
menangani kerusakan yang terjadi. Realisasi lahan kritis yang dilakukan oleh Departemen
Kehutanan dari tahun 1999 sampai tahun 2001 mencapai 1.271.571 hektar yang terdiri dari
127.396 hektar di dalam kawasan hutan dan 1.144.175 hektar di luar kawasan hutan. Sumber dana
untuk merehabilitasi pun amat terbatas padahal tiap hektar lahan yang rusak butuh dana minimal
Rp 5 juta. Untuk merehabilitasi lahan kritis 57 juta hektar maka negara perlu menyediakan dana
hingga Rp 285 trilyun. Kerugian bukan hanya karena negara harus menyediakan dana untuk
rehabilitasi lahan kritis tetapi juga kerugian akibat penebangan ilegal (illegal logging). Menteri
Kehutanan Prakosa (2002) mengatakan tiap tahun diperkirakan negara rugi hingga Rp 31 trilyun
akibat illegal logging (pencurian, penebangan, peredaran, serta perdagangan kayu secara ilegal).
Luas areal hutan yang perlu direboisasi di seluruh Indonesia mencapai 43,111 juta hektar, meliputi
Pulau Jawa 111 ribu hektar dan di luar Pulau Jawa seluas 43 juta hektar. Idealnya Pulau Jawa
mempunyai hutan minimal 30 persen dari luas daratan. Namun sampai saat ini baru 23% dikurangi
lahan kritis yang mencapai antara 250 ribu ha sampai 300 ribu ha (Dr.Ir. Prakoso, MSc, Menteri
Kehutanan, pada acara “Pencanangan Reboisasi PT Perhutani bersama masyarakat Bojonegoro,”
Kompas 5 Januari 2003).
Meluasnya lahan kritis membuat penduduk yang tinggal di daerah tersebut relatif miskin, tingkat
populasi sangat padat, luasan lahan yang dimiliki bertambah sempit, kesempatan kerja sangat
terbatas, dan lingkungan hidup mengalami kerusakan/degradasi. Kondisi ini diperparah dengan
terjadinya krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang telah memperburuk kondisi perekonomian petani
gurem. Akibatnya penebangan hutan oleh rakyat semakin merebak serta lahan yang terancam
menjadi kritis semakin meluas.
Menurut Statistik Indonesia 2001, pertambahan penduduk dari tahun 1980 sampai tahun 2000
meningkat cepat. Pada tahun 1980 penduduk berjumlah 146,935 juta jiwa bertambah sebesar 1,97
persen menjadi 178,500 juta jiwa pada tahun 1990. Pada tahun 2000 jumlah penduduk menjadi
205,845 juta jiwa atau naik 1,49 persen dengan kepadatan mencapai 109 jiwa per km2.
Bertambahnya penduduk meningkatkan kebutuhan pangan dan lapangan kerja serta meningkatkan
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 1
eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang akhirnya mengakibatkan terjadikan
kerusakan lingkungan.
GAMBAR 6.1
JUMLAH PENDUDUK
250
JUMLAH PENDUDUK 205.843
(dalam juta) 200 178.5
146.935
150
100
50
0
1980 1990 2000
TAHUN
Untuk meningkatkan produksi pangan, sekaligus membuka lapangan kerja, khususnya di daerah
pedesaan, maka dilakukan perluasan areal pertanian yang sampai tahun 2001 mencapai 11,5 juta
hektar. Namun perluasan areal pertanian di daerah banyak yang secara geografis tidak layak untuk
tanaman pertanian, misalnya terdapat pada lereng dengan kemiringan yang tajam, bahkan dengan
merusak areal hutan, seperti diilustrasikan Gambar 6.2.
Sungguh ironis, program ekstensifikasi lahan pertanian, khususnya di luar Pulau Jawa, disebabkan
lahan pertanian yang subur dan sesuai secara geografis di Jawa beralih fungsi menjadi kawasan
industri dan pemukiman. Alih lahan ini pada tahun 2000 mencapai 250.000 hektar (Situs
Departemen Pertanian, 2002). Selain itu terjadi juga alih lahan konservasi menjadi areal pertanian.
GAMBAR 6.2
CONTOH PENEBANGAN POHON DI HUTAN SECARA LIAR UNTUK DIJADIKAN AREAL PERTANIAN
TERMASUK DI LERENG YANG DILARANG UNTUK TANAMAN SAYURAN
Kegiatan lain yang memperluas lahan kritis adalah peladang berpindah yang menurut data dari
Departemen Kehutanan sampai tahun 2000 ada 14.618 KK (Kepala Keluarga) peladang berpindah
yang mengolah lahan 24.264 hektar.
• Pemberlakukan Intruksi Presiden No. 3 Tahun 1990 tentang Larangan Alih Fungsi Lahan Sawah untuk
Penggunaan Selain Pertanian;
• Pembentukan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di bawah koordinasi BAPPENAS,
tahun 1993;
• Pemberlakuan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
• Pemberlakuan UU No. 69 Tahun 1996 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Tata
Ruang;
• Pemberlakuan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional dan terencana sehingga hutan
dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi kemampuan hutannya memberikan manfaat
berkelanjutan bagi masyarakat lokal, nasional, regional, dan internasional. Sistem pengusahaan
hutan yang ada telah menimbulkan berbagai masalah di beberapa daerah yang berdampak pada
degradasi hutan. Selama lima tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan 1,6 juta hektar per tahun.
Berdasarkan citra satelit 1995-1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia pada 432 HPH
mencapai 14,2 juta hektar, sedangkan kerusakan pada hutan lindung dan hutan konservasi
mencapai 5,9 juta hektar.
Dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia yang diterbitkan akhir tahun 2001 oleh Forest Watch
Indonesia diungkapkan laju kerusakan hutan pada era tahun 1980-an di Indonesia adalah sekitar
satu juta hektar/tahun, kemudian pada awal tahun 1990-an tingkat kerusakan mencapai 1,7 juta
hektar/tahun. Lalu, sejak tahun 1996 meningkat lagi menjadi rata-rata dua juta hektar/tahun. Hutan
yang sudah terdegradasi dan gundul di Indonesia ada di Sumatera (terdegradasi 5,8 juta hektar
dan gundul 3,2 juta hektar); di Kalimantan (degradasi 20,5 juta hektar dan gundul 4,3 juta hektar);
di Sulawesi (degradasi dua juta hektar dan gundul 203.000 hektar); di Nusa Tenggara (degradasi
74.100 hektar dan gundul 685 hektar); di Papua (degradasi 10,3 juta hektar dan gundul 1,1 juta
hektar); dan di Maluku (degradasi 2,7 juta hektar dan gundul 101.200 hektar).
Kerusakan itu disebabkan oleh pemilik HPH melanggar prosedur, penebangan ilegal, perambahan
hutan, pembukaan hutan skala besar, kebakaran hutan, serta banyaknya lokasi tambang di daerah
hutan lindung dan daerah konservasi meskipun dilarang berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999.
Kondisi ini diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu.
Konflik konsesi pertambangan dengan kawasan lindung menjadi pelik karena ada kontrak-kontrak
pertambangan berada di dalam kawasan konservasi. Data Departemen Energi dan Sumber daya
Mineral menunjukan saat ini ada 150 perusahaan pertambangan yang kawasan konsesinya (terdiri
dari 116 tahap eksplorasi dan 34 sudah dalam tahap ekploitasi) berada di daerah konservasi,
dengan jumlah nilai rencana investasi 1-5 tahun sejak 2000 sebesar US$ 3,2 milyar.
GAMBAR 6.3
PENEBANGAN KAYU ILEGAL
(ILLEGAL LOGGING) DI HUTAN
DI KALIMANTAN TIMUR TELAH
MEMPERLUAS TERJADINYA
LAHAN KRITIS DAN RAWAN
LONGSOR
Penebangan ilegal juga semakin merajalela karena kebutuhan kayu untuk industri tidak bisa
dipenuhi dari penebangan legal. Kapasitas industri kayu saat ini adalah 60 juta m3, sedangkan
produksi kayu legal dari hutan alam, hutan rakyat, dan perkebunan hanya 22 juta m3. Kekurangan
tersebut dipenuhi dari penebangan kayu ilegal atau penebangan berlebih yang dilakukan oleh
pemilik HPH.
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 3
BOKS 6.2
KASUS PERAMBAHAN HUTAN
SUAKA MARGASATWA CIKEPUH, KABUPATEN SUKABUMI
Banyak sekali kasus perambahan dan pencurian kayu hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka
margasatwa. Salah satunya terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi.
Penebangan kayu dan perambahan hutan Suaka Margasatwa Cikepuh dimulai awal tahun 1999 sampai
bulan Maret 2002. Kayu yang ditebang adalah jenis kayu bungur dan laban berdiameter antara 20 – 60
cm. Kayu ditebang menggunakan alat tebang tradisional dan chain saw. Lahan yang dirambah
diperkirakan mencapai 7.000 hektar.
Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi
berupaya melakukan penegakan hukum dan berhasil menjerat para ketua kelompok, koordinator, dan
aktor utamanya.
BOKS 6.3
PENEBANGAN KAYU LIAR DI SUKABUMI
• Penjarahan hutan disertai penebangan kayu di wilayah Perhutani Unit III Jabar, termasuk di
wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sukabumi, masih terus berlangsung. Dalam tahun
2001, di Perhutani Unit III terjadi pencurian kayu sebanyak 114.601 pohon dari berbagai
jenis kayu. Kerugian yang diderita mencapai Rp 35,7 miliar lebih. Khusus di KPH Sukabumi
dalam tahun yang sama tercatat ada 13.340 pohon yang ditebang ilegal oleh pencuri dengan
kerugian senilai Rp 4,1 miliar lebih. Sementara pencurian kayu di wilayah Perhutani Unit III
dalam tahun 2002, mulai Januari sampai Mei tercatat sebanyak 23.137 pohon dengan
kerugian senilai Rp 8,1 miliar lebih (Ukin Prawirasutisna, Kepala Seksi Humas Perhutani III,
Jawa Barat).
• Untuk menekan gangguan keamanan hutan selama ini lebih dititikberatkan pada pendekatan
lingkungan dan kesejahteraan masyarakat desa hutan khususnya melalui pengelolaan hutan
bersama masyarakat (PHBM). Demikian pula dengan upaya yang bersifat polisional, lebih
mengedepankan upaya preventif, seperti penyuluhan melalui berbagai media, patroli rutin,
kampanye pelestarian hutan. Khusus di KPH Ciamis, Garut dan Sukabumi dilakukan bersama
FKPPI dan lembaga lainnya. Kemudian berbagai operasi di antaranya dilaksanakan melalui
operasi kayu selama bulan April dan Mei 2002, juga melalui Balok Lodaya 2001 bekerja sama
dengan Polda Jabar.
• Upaya represif yang dilakukan bersama institusi keamanan, selama tahun 2002 berhasil
menyita kayu sebanyak 3.506,76 meter kubik, atau naik sekitar 21 persen dibanding prestasi
tahun 2001. Ada pun jumlah tersangka yang berhasil diamankan sebanyak 82 orang.
(1). Ada 11 instansi yang berada dalam satu mata rantai pemberantasan illegal logging yang
sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan bidang kehutanan yaitu: Menko
Polkam, TNI AD/Hankam, TNI AL, Polri, Dephut, Deperindag, Dephub, Bea Cukai,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemda Provinsi/Kabupaten;
(2). Penegakan hukum masih lemah sehingga mafia kayu beraksi dengan bebas;
(3). Modus penebangan ilegal: oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana
kehutanan, di samping juga menjadi backing;
(4). Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat cenderung menjadi tidak lagi
peduli pada kelestarian hutan dan penegakan hokum;
(5). Ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan pembodohan yang
berdalih pemberdayaan masyarakat;
(6). Masih ada industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu ilegal;
TABEL 6.1
DAERAH-DAERAH YANG RAWAN PENCURIAN DAN PENYELUNDUPAN KAYU
NO PROPINSI LOKASI
1 Aceh TN. Gunung Leuser, Bireun, Singkil, Kuala Simpang
2 Riau TN. Bukit Tigapuluh, Rumbai, Dumai, Siak Hulu
3 Jambi TN. Kerinci Seblat, Kuala Tungkal, Bungo Tebo
4 Jawa Timur TN. Meru Betiri, Bondowoso, Lamongan
5 Kalimantan Barat TN. Gunung Palung, Kapuas, Bukit Dayeuh, Batuampar, Paloh, Betung Kerihun
6 Kalimantan Tengah TN. Tanjung Puting, Kuala Kapuas, Barito Utara, Palangkaraya, Barito Selatan
7 Kalimantan Selatan Kotabaru, Muara Teweh, Hulu Sungai Selatan
8 Kalimantan Timur Nunukan, Kutai, Pasir, Hulu Sungai Utara, Tenggarong, Balikpapan
9 Sulawesi Tengah TN.Lore Lindu, Donggala, Palu
10 Papua Sorong
Sumber: Media Indonesia, 28 Juni 2002
Tahun 2002 Dewan Pertahanan Nasional telah menyatakan kejahatan perusakan hutan terutama
illegal logging merupakan salah satu ancaman potensial yang dapat meruntuhkan keutuhan dan
kesatuan, serta integritas dan integrasi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu pada tahun
2003 Departemen Kehutanan bersama TNI serta instansi terkait dalam penegakan hukum,
bertekad meningkatkan penindakan secara tegas pelaku, pemodal, dan backing kejahatan
kehutanan tanpa pandang bulu, serta akan lebih transparan dalam pengungkapan aktor di
belakangnya. Salah satu upaya Pemerintah untuk menanggulangi penebangan kayu ilegal yang
semakin marak dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab adalah dengan
Pemberlakuan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu
Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan ilegal di Kawasan Ekosistem Leuseur dan Taman Nasional
Tanjung Puting. Selain itu KLH atas nama Pemerintah Indonesia telah menandatangani letter of
intent dengan Pemerintah Norwegia pada tanggal 30 Agustus 2002 yang pada prinsipnya
menekankan pentingnya KLH berperan pada kegiatan advokasi, yaitu mendorong semua pihak
untuk meningkatkan dan mensinergikan kemampuan dalam pemberantasan mafia illegal logging.
BOKS 6.4
LANGKAH PEMERINTAH MENANGGULANGI MASALAH
PERTAMBANGAN DI KAWASAN KONSERVASI DAN HPH
• Pemerintah membentuk dua tim melibatkan unsur masyarakat terdiri dari LSM, Perguruan Tinggi,
KLH, pemerintah daerah, serta swasta untuk menyelesaikan masalah pertambangan sebagai
akibat dari kebijakan yang dituangkan dalam UU No. 41 Tahun 1999. Tujuannya untuk mencari titik
penyelesaian masalah tumpang tindih ini, terutama difokuskan pada kontrak-kontrak pertambangan
dan energi yang ditandatangani sebelum ditetapkannya UU No. 41 Tahun 1999.
• Kedua tim tersebut adalah Tim A yang dibentuk melalui SK Menteri Perekonomian dan bertugas
untuk meneliti perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi. Sedang Tim B dengan SK Menhut
meneliti perusahaan yang masih dalam tahap ekplorasi;
• Menyelesaikan Peraturan Pemerintah yang akan menjembatani masalah yang timbul dari UU No.
41 Tahun 1999.
• Semua kontrak ke depan akan mengikuti aturan UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan dengan
tegas tidak boleh melakukan pertambangan terbuka di hutan lindung dan konservasi.
• Perusahaan yang menyalahgunakan HPH akan ditunda izin HPH-nya sampai ada pengkajian HPH
untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai hutan Indonesia selesai dilakukan.
• Pemerintah mengharapkan pada tahun 2003 semua HPH sudah mendapatkan sertifikasi
pengelolaan hutan produksi lestari.
Sumber: siklusits.tripod.com/hutan.htm
• Menerbitkan SK Menhut No. 541/Kpts-II/2002, yang isinya antara lain mencabut SK Menhut
No. 05.1/Kpts-II/2000, menghentikan sementara kewenangan gubernur atau bupati/walikota
menerbitkan HPH/izin pemanfaatan hasil hutan. Penerbitan SK Menhut ini telah diperkuat
dengan terbitnya PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan yang antara lain
mengatur kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan;
• Menerbitkan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
1132/Kpts-II/2001, dan No. 292/MPP/Kep/10/2001, tentang Penghentian Ekspor Kayu
Bulat/Bahan Baku Serpih yang dikuatkan dengan PP No 34 Tahun 2002 yang dengan tegas
melarang ekspor log;
• Melakukan kerja sama dengan TNI AL dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari, serta dengan
Polri dalam pelaksanaan Operasi Wanalaga;
• Kerja sama dengan negara lain, yaitu penandatanganan MoU dengan Pemerintah Inggris,
pada tanggal 18 April 2002, dan dengan RRC pada tanggal 18 Desember 2002, untuk
pemberantasan illegal logging dan illegal trade. Diharapkan kerja sama serupa dengan
Pemerintah Jepang serta beberapa negara lainnya akan segera menyusul;
• Mem-back up operasi khusus di daerah sensitif seperti wilayah perbatasan, kawasan
konservasi dan taman nasional terpilih;
• Secara bersama melaksanakan operasi di laut dan perairan;
• Memberikan back up data intelejen;
• Pengawasan yang ketat terhadap oknum TNI di lapangan yang bertindak sebagai backing
maupun pelaku.
Penegakan hukum telah dilaksanakan di bagian hilir proses penyelundupan kayu. Bea Cukai
menangkap kapal Putri IV yang mengangkut kayu gelondongan sebanyak 50 meter kubik.
Kemudian tanggal 12 Maret 2002 ditangkap lagi dua kapal asing berbendera Indonesia yaitu
Promex 26 dan Promex 27. Kapal itu mengangkut kayu gelondongan 3.400 meter kubik dari
Tanjung Selor, Kalimantan Timur. Total kerugian negara yang berhasil diselamatkan kurang lebih
Rp 5,8 milyar. Penangkapan ini merupakan yang terbesar sejak adanya Surat Keputusan Bersama
(SKB) Menperindag dan Menhut bernomor 292/MPP/Kep/10/2001 tertanggal 8 Oktober 2001.
BOKS 6.5
DATA PENEBANGAN ILEGAL
Departemen Kehutanan tanggal 15 Januari 2003 mengeluarkan informasi (berupa siaran pers) yang
menggambarkan kondisi aktual kerusakan hutan tropis serta praktek illegal logging yaitu:
(1) Hutan yang rusak atau tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai luasan 43 juta hektar dari total
hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar, dengan laju degradasi empat tahun terakhir mencapai
2,1 juta hektar per tahun;
(2) Penebangan kayu liar dan peredaran kayu ilegal mencapai 50,7 juta m3/tahun, dengan perkiraan
kerugian finansial sebesar Rp 30,42 trilyun/tahun. Di samping itu ada kerugian secara ekologi yaitu
hilangnya beberapa jenis/spesies keanekaragaman hektaryati;
(3) Penyelundupan kayu dari Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tenggara, Riau, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, dan Jambi dengan tujuan
3
negara Malaysia, Cina, Vietnam, India mencapai 10 juta m /tahun. Khusus dari Papua mencapai
3
600.000 m /bulan dengan kerugian sebesar Rp 600.000 milyar/bln, atau Rp 7,2 trilyun/thn;
3
(4) Peredaran kayu ilegal di Pantai Utara mencapai 500.000 m /bln (sekitar 500 – 700 kapal per bulan)
dengan kerugian finansial sebesar Rp 450 milyar/bln, atau Rp 5,4 trilyun/tahun
(5) Kerusakan sangat besar terjadi di daerah perbatasan Indonesia – Malaysia. Di daerah perbatasan
dengan Provinsi Kaltim laju kerusakan seluas 150.000 hektar/th, dan di perbatasan dengan Provinsi
Kalbar seluas 250.000 hektar/tahun;
(6) Dari hasil kerja sama Dephut dengan TNI AL melalui operasi Wanabahari pada tahun 2001 telah
ditangkap delapan kapal, dengan barang bukti sitaan kayu log sebanyak 26.564 m3, dengan
perkiraan penerimaan negara yang diperoleh sebesar Rp 63,6 milyar. Tahun 2002 ditangkap lima
kapal dengan barang bukti sitaan barupa kayu olahan 2.500 m3, kayu log 11.300 m3, perkiraan
penerimaan negara yang diperoleh sebesar Rp 447 milyar.
Terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia beberapa tahun yang lalu telah membawa
dampak yang sangat besar pada lingkungan hidup, sehingga mendapat perhatian yang serius di
dalam dan di luar negeri, khususnya oleh negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia dan
Brunei Darussalam, yang sebagian wilayahnya terkena dampak pencemaran asap lintas batas.
Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan dilihat dari aspek ekonomi bukan hanya hilangnya aset
kekayaan tegakan hutan berupa kayu, tetapi dari aspek ekologi banyak kehilangan habitat flora
dan fauna liar. Sebagai gambaran akibat pembakaran hutan dan lahan seluas 2.970 hektar oleh
PT. Adei Plantation di Bangkinang, Provinsi Riau, negara dirugikan kurang lebih 500 milyar rupiah.
Dampak yang sering dirasakan oleh masyarakat adalah kabut asap yang sangat merugikan
kesehatan, seperti meningkatnya penderita penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas).
Selain itu kabut asap ini mengganggu transportasi baik udara, darat maupun sungai, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi perekonomian masyarakat, baik lokal, regional maupun
internasional.
Pemantauan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan sebagai bagian dari sistem deteksi dini
dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kegiatan ini dilakukan secara kontinu oleh
KLH dan meliputi pemantauan titik panas (hotspot) di wilayah Kalimantan dan Sumatera, kualitas
udara (ISPU), jarak pandang, kelembaban, sebaran asap dan awan. Data tersebut diperoleh dari
instansi terkait seperti Departemen Kehutanan, BMG, dan LAPAN, serta informasi dari situs
ASEAN Service Meteorological Center, Singapura dan Koichi University, Jepang. Hasil
pemantauan disampaikan kepada pemerintah daerah untuk pengendalian kebakaran.
1,400
1,200
Riau
1,000 Sumatera Barat
800
Jambi
600
400
Sumatera Selatan
200 Bengkulu
-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kep.Bangka Belitung
Bulan Lampung
5,500
5,000
4,500
Jumlah Hotspot
4,000
3,500 Kalimantan
3,000 Barat
2,500 Kalimantan
2,000 Selatan
Kalimantan
1,500
Tengah
1,000 Kalimantan
500 Timur
-
- 1 2 3 4 5 Bulan
6 7 8 9 10 11 12
TABEL 6. 2
KEBAKARAN HUTAN DI SELURUH INDONESIA TAHUN 2002
LUAS HUTAN TERBAKAR
NO PROVINSI KERUGIAN (RP)
(HA)
1 Riau 2.211,85 -
2 Sumatera Selatan 10.983,53 72.371.300
3 Kalimantan Timur 33,25 8.000.000
4 Jambi 212,00 -
5 Nusa Tenggara Timur 8.265,92 13.870.000
6 Jawa Timur 2.089,89 17.225.750
7 Bali 141,20 11.500.000
8 Sulawesi Tenggara 140,95 -
9 Lampung 7.137,30 -
10 Sulawesi Selatan 4.087,75 -
11 Sulawesi Utara 600,00 -
12 Nusa Tenggara Barat 361,00 -
13 Jawa Barat 301,09 -
14 Kalimantan Barat 423,50 -
15 Maluku 200,00 -
16 D.I. Yogyakarta 300,00 -
17 Sulawesi Tengah 900,00 -
JUMLAH 38.389,23 122.967.050
Sumber: Departemen Kehutanan, 2002
(Hasil rekapitulasi laporan rutin daerah: Dishut, dishut kab, Balai TN,
Balai KSDA, Unit KSDA, HPH, HPHTI, radio komunikasi dari daerah)
b. Perkembangan penanganan
• Pemerintah telah mengantisipasi akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2002 melalui
pertemuan Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Negara
Lingkungan Hidup dengan Gubernur lima provinsi, Bupati dan ketua DPRD 17 kabupaten yang
daerahnya rawan kebakaran hutan dan lahan pada tanggal 9 Januari 2002. Pertemuan
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana aksi 17 kabupaten di Lembang pada tanggal
12-14 Maret 2002;
• Mengadakan pertemuan antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan ketua DPRD,
Gubernur dan Bupati yang daerahnya rawan kebakaran hutan dan lahan di Riau, serta
kunjungan Menteri Kehutanan ke daerah rawan kebakaran Tahun 2002
• Memberdayakan masyarakat lokal dan lembaga adat dengan kearifan tardisional melalui
Community Based Fire Management;
• Memobilisasi mahasiswa untuk melakukan pemantauan dan advokasi di Kalimantan Barat.
Untuk itu ditandatangani kesepakatan kerja sama antara Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Gubernur Kalimantan Barat dan lima rektor perguruan tinggi di Kalimantan Barat;
• Melatih tenaga penyuluh lapangan kebakaran hutan dan lahan sebanyak 297 orang;
• Menyepakati mekanisme pelaporan penanggulangan kebakaran berjenjang dari tingkat desa
sampai provinsi dengan melibatkan pemerintah, perusahaan dan masyarakat;
• Mensosialisasikan informasi mengenai kemungkinan timbulnya kebakaran oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan ke daerah;
• Menyusun peta rawan kebakaran hutan dan lahan untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan
tahun 2002 yang bertujuan untuk memprioritaskan kegiatan pengendalian kebakaran pada
lokasi-lokasi yang rawan terjadi kebakaran. Peta rawan kebakaran wilayah Sumatera dan
Kalimantan terlampir;
• Mendorong langkah moratorium penebangan hutan, yang pada tahap awal dilakukan di Pulau
Jawa dan Bali;
• Mendorong perubahan misi PT. Perhutani dalam empat tahun mendatang, dari produksi menjadi
rehabilitasi hutan-hutan yang gundul;
Penanganan kabakaran hutan dan lahan juga dilakukan di tingkat regional, yaitu dalam forum
ASEAN, baik melalui pertemuan rutin tingkat teknis (Sub-Regional Firefighting Arrangement/
SRFA) untuk wilayah Sumatera dan Semenanjung Malaya, maupun SRFA untuk wilayah Borneo
(Kalimantan, Sabah – Sarawak, Brunei Darussalam). Di samping itu ada forum pertemuan yang
lebih tinggi yaitu ASOEN Haze Technical Task Force (AHTTF).
Upaya yang dilakukan di tingkat regional antara lain ditandatanganinya Perjanjian ASEAN tentang
Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) oleh para
th
menteri lingkungan negara ASEAN dalam Pertemuan Para Menteri ASEAN tentang Asap ke-9 ( 9
ASEAN Ministerial Meeting on Haze) pada tanggal 10 Juni 2002 di Kualalumpur, Malaysia.
Perjanjian akan berlaku efektif bila enam negara telah meratifikasinya. Perjanjian ini mengandung
semangat kebersamaan untuk berupaya mencegah, memantau, serta menanggulanggi polusi lintas
batas negara. Kemudian akan dibentuknya ASEAN Coordinating Center for Transboundary
Pollution Control yang selanjutnya secara singkat disebut ASEAN Center.
BOKS 6.6
UPAYA PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
5. Ekploitasi pertambangan
Penambangan yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia saat ini banyak menimbulkan
kerugian tidak hanya kerugian materi berupa hilangnya devisa bagi negara tetapi juga ancaman
dan kerugian bagi lingkungan hidup yaitu rusaknya lingkungan dan menurunnya daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Sebagai contoh PETI yang terdapat di Propinsi Kalimantan Tengah, tepatnya pada DAS Rungan
dengan sungai utamanya Sungai Takaras. Di sana ada 480 PETI. Satu PETI menggunakan satu
atau lebih mesin sedot. Apabila satu mesin menggunakan satu kg Hg dalam rentang waktu tiga
bulan dapat dipastikan Sungai Takaras tercemar oleh Hg sebanyak 480 kg, atau dua ton Hg dalam
setahun (Kalteng Pos, 21 dan 22 Maret 2003).
Kegiatan PETI bahan galian tambang, antara lain batubara dan emas, semakin marak seiring
dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Masalah yang terkait dengan penanggulangan PETI
adalah: penegakan hukum belum optimal dengan tingkat kedisiplinan aparatnya yang masih perlu
ditingkatkan, tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan, serta krisis
ekonomi yang berkepanjangan
Fokus penanganan masalah PETI bahan galian tambang batubara dan emas didasarkan pada
pertimbangan:
• PETI batubara dalam prakteknya sangat merusak kondisi fisik: lingkungan tempat batubara
tersebut, tempat penimbunan batubara (stock pile), lokasi pelabuhan khusus batubara, dan
sarana jalan transportasi yang digubakan untuk mengangkut batubara.
• PETI emas dalam prakteknya merusak kondisi fisik wilayah penambangan emas serta
terjadinya pencemaran merkuri yang semakin meluas.
Upaya Penanganan masalah PETI telah dilakukan dengan berbagai cara oleh KLH bersama sama
dengan Instansi terkait, baik tingkat pusat maupun Daerah. Selain itu juga dijalin kerjasama dengan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap lingkungan hidup. Upaya tersebut baru
pada tahap melakukan sosialisasi tentang bahayanya merkuri terhadap kesehatan manusia melalui
berbagai sarana serta perlunya para PETI mengikuti peraturan yang berlaku.
BOKS 6.7
PT FREEPORT INDONESIA
Sesuai ketentuan Pasal 32 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Amdal, pihak PT. Freeport Indonesia (PT. FI)
wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) kepada Bupati Timika, Gubernur Papua, Departemen ESDM dan
KLH. Atas dasar ketentuan tersebut, pihak PTFI secara rutin, yaitu setiap tiga bulan menyampaikan
laporan itu kepada KLH, termasuk di dalamnya laporan tentang pengelolaan tailing.
Dari laporan itu tercatat produksi PT. Freeport Indonesia pada tahun 2001 mencapai 242.333 ton bijih per
hari. Pembuangan batuan limbah sampai tahun 2001 mencapai 181.623.100 ton ke Danau Wanagon.
Rencananya PT. Freeport akan membuang batuan limbah sebanyak 2.675 milyar ton sampai tahun 2014.
Berdasarkan laporan pelaksanaan RKL-RPL, KLH memberikan arahan saran tindak. Saran tindak terakhir
diberikan pada bulan Oktober 2000 dalam bentuk revisi atas dokumen RKL dan RPL, mengingat beberapa
ketentuan dalam RKL-RPL yang ditetapkan tahun 1997 sudah tidak efektif lagi. Sejalan dengan proses
revisi RKL dan RPL tersebut, pihak PTFI juga telah melaksanakan studi ERA (Environmental Risk
Assesment) khusus untuk pengelolaan tailing dengan bantuan konsultan Parametrix, sesuai dengan
komitmen mereka dalam dokumen RKL 300K.
Hasil studi ERA ini telah disampaikan oleh pihak PT. FI kepada KLH pada tanggal 23 Desember 2002
dengan kesimpulan antara lain:
• Hasil kajian belum menunjukkan bukti konklusif risiko dapat diabaikan, tetapi risiko tailing mungkin lebih
tinggi dari yang diperkirakan oleh Parametrix.
• Sebagian besar hasil kajian menunjukkan adanya dampak lingkungan akibat tailing, sebagaimana
diprediksi dalam dokumen Andal 300K.
• Hasil kajian juga menunjukkan adanya beberapa parameter baru yang “bermasalah” dan memerlukan
pengkajian lebih lanjut.
Memperhatikan berbagai temuan studi ERA tersebut, maka dalam waktu dekat akan segera ditetapkan
Keputusan Menteri KLH tentang Penyempurnaan RKL-RPL PT. FI.
PT. KPC merupakan perusahaan pertambangan dan produksi batu bara PMA yang beroperasi di Kecamatan Sangatta,
Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Kontrak Karya No. B - 50 /Pres/10/1981. Dalam laporan
(Agustus, 2002), PT. KPC memiliki tenaga kerja 2716 orang, dengan jumlah tenaga kerja asing 28 orang. Produksi batu
bara PT KPC : 14.013 kiloton (tahun 1999); 13.135 kiloton (tahun 2000); 15.611 kiloton (tahun 2001). Pada kurun waktu
1999 – 2000, 2000 – 2001, 2001 – 2002 PT. KPC memperoleh sertifikat emas atas penilaian Proper yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. RKL/RPL untuk triwulan Oktober s/d Desember 2001, PT. KPC akan menambang
4,1 juta ton batu bara dan 34 juta bcm (bank cubic meter) overburden dipindahkan ke areal dumping (waste disposal),
sedangkan total luas lahan yang dibuka sektar 73 ha. Kegiatan manajemen pengelolaan lingkungan hidupnya
melaksanakan Environmental Management System (EMS) berikut:
• Pengelolaan lingkungan hidup internal dan eksternal melibatkan tenaga ahli
• Integrasi manajemen lingkungan dengan struktur manajemen perusahaan
• Rencana kerja manajemen lingkungan yang komprehensif
• Program tahunan audit lingkungan internal
• Laporan rutin bulanan dan tahunan pengelolaan lingkungan oleh divisi lingkungan kepada manajemen perusahaan
• Mekanisme pelaporan kecelakaan kerja
• Program pelatihan karyawan
• Penyediaan dana pengelolaan lingkungan tahun 2001 mencapai US$ 6.026.698
• Setiap hari secara rutin setiap hari dilakukan pemantauan kualitas air limbah dan air sungai sekitar lokasi operasi PT
KPC (42 titik pantau), lokasi Sangatta dump discharge, Pit K, Sungai Murung.
• Pemanfaatan fasilitas oily water separator plant ( oil spill control )
• Pengelolaan air asam tambang dengan melakukan klasifikasi dan pemisahan batuan penutup yang didasarkan pada
potensi pembentukan asam. Jika diperlukan penutupan batuan asam dilakukan dengan rekayasa dan bila tidak
mungkin, maka aliran air asam tambang dinetralisir dengan menggunakan kapur.
• Hasil uji NAG, sisa batuan terbagi menjadi NAF (Non Acid Forming/tidak berpotensi menghasilkan air asam
tambang) sehingga ditempatkan di atas final dump dengan luas terkelola 1.700 ha (2002); PAF (Potensial Acid
Forming) ditempatkan pada bagian bawah final dump dengan luas terkelola 1.700 ha (2002).
• Meneliti geokimia di areal eksplorasi dan penumpukan akhir (final dump).
• Pengukuran kualitas air bulanan untuk pendingin di aliran keluaran berbataan dengan stasiun pembangkit listrik, air
laut dekat bakau di titik pasang surut pantai dan air laut di daerah bakau
Kegiatan penambangan pasir laut di Riau merusak lingkungan hidup dan merugikan ekonomi negara.
Untuk mengatasi ekspor pasir laut yang tidak terkontrol Pemerintah Provinsi Riau telah melakukan
sejumlah langkah-langkah. Tahun 2000, ada surat keputusan bersama (SKB) antara gubernur dengan para
bupati dan juga keluarnya SKB tiga menteri (Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan
Perikanan, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup) 14 Februari 2002 tentang Penghentian Sementara
Ekspor Pasir Laut juga didukung dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pengendalian Penambangan Pasir Laut.
1. MV Profesor Gorjunov, 7.135 GT (Rusia), pemilik PT. Aneka Yasa Setia: ditangkap di
Selat Durian, perairan Tanjungbalai Karimun;
2. MV Samsung Apollo, 5.130 GT (Korea), pemilik PT. Aneka Yasa Setia: ditangkap di
Selat Durian, perairan Tanjungbalai Karimun;
3. MV Vasco Da Gama, 36.000 GT (Belanda), pemilik PT. Equator Reka Citra: ditangkap di
Selat Durian, perairan Tanjungbalai Karimun;
4. TB Jasmine V, 7.864 GT (Jepang), pemilik PT. Pola Kendali Karimun: ditangkap di Selat
Durian, perairan Tanjungbalai Karimun;
5. TB Olivia V, 4.860 GT (Jepang), pemilik PT. Pola Kendali Karimun: ditangkap di Selat
Durian, perairan Tanjungbalai Karimun;
6. MV Alexander Van Humbolt (Luxemburg), pemilik PT. Citra Karimun Aditya: ditangkap
di perairan Tanjung Uban;
7. MV Lange Wapper (Belgia), pemilik PT. Citra Karimun Aditya: ditangkap di perairan
Tanjung Uban;
8. MV Hikarigo (Honduras) dredger statis;
9. TB Yamani-02 (Belize) Tug Boat;
10. MV KLK-II (Honduras) Dredger Statis;
11. MV Bintang Harmoni (Honduras) Sand Pump Ship;
12. TB Bintang Baru (Honduras) Pusher Tug;
13. MV Banel (Singapura) Sand Pump Ship.
Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi Pasir Laut diberikan langsung oleh bupati setempat, seperti yang telah
dilakukan oleh Bupati Karimun untuk beberapa perusahaan penambangan pasir setempat. Sejauh ini proses
perizinan langsung diajukan kepada bupati, hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bersama Gubernur Riau
dengan bupati/walikota di Provinsi Riau Nomor KPTS.33/II/2001, KPTS 18/II-2001, KPTS 3 tahun 2001 dan
KPTS 23 tahun 2001 tanggal 14 Pebruari 2001.
Sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan selaku Ketua TP4L No. 01/K-TP4L/VIII/2002
tentang Pedoman Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, Sub-Pokja 2 TP4L secara proaktif
melakukan koordinasi dengan instansi terkait dibidang pengawasan dan pengamanan. Hasilnya ditangkapnya
13 kapal pasir di perairan Riau yang diduga telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengusahaan pasir laut, antara lain UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran; UU No. 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan; UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; UU No. 11 Tahun 1967 tentang
KUHP; UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1. PETI di bekas lokasi penambangan emas PT. Ampalit Mas Perdana (PT . AMP)
di Kasongan, Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah.
PT. AMP yang mempunyai Kontrak Karya seluas 10.745 ha mulai beroperasi sejak tahun 1994
menambang emas. Produksinya bulan Januari 1994 mencapai 139,3 kg, 1995 menjadi 296,8 kg dan 1996
menurun menjadi 271,8 kg. Maraknya penambang tanpa izin (PETI) yang dimulai pada tahun 1997
(termasuk perusakan kantor PT. AMP seluas empat ha) menurunkan produksi PT. AMP dan meningkatnya
kerusakan lingkungan. Hal ini terlihat pada bekas galian para PETI yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada
upaya reklamasi.
Dalam upaya penanganan PETI emas di wilayahnya, pemerintah daerah telah berusaha dengan
dikeluarkannya Perda No. 11 tahun 1998 tentang Izin Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian Emas di
Provinsi Kalimantan.
Permasalahan:
• Hamparan hutan di daerah sekitar Sungai Cempaga dan Sungai Katingan atau tepatnya di lokasi
pertambangan emas Cempaga Buang dan Kasongan saat ini sudah gundul;
• Hutan telah berubah menjadi ratusan kolam raksasa tak beraturan, dengan diameter mencapai 200
meter dan dengan kedalaman tak kurang dari 25 meter, tanpa adanya upaya reklamasi;
• Pemakaian merkuri untuk mengikat bijih emas semakin marak sehingga pencemaran lingkungan
sudah terjadi dan tidak terhindarkan lagi;
• Diduga belum melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi di bekas daerah pertambangan sesuai
dengan dokumen RKL-RPL.
Tabel 6.4
Data Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kalimantan Tengah
Jumlah Jumlah Mesin Luas Lahan
No Kabupaten
Kecamatan (unit) (Ha)
1 Kapuas 12 2709 785
2 Kotawaringin Timur 9 2877 863
3 Kotawaringin Barat 7 622 187
4 Barito Utara 4 791 237
5 Barito Selatan 5 58 17
Total 37 7057 2089
Sumber : Laporan MENLH ke DPR, Maret 2000
Pelaku PETI emas diawali dari Kabupaten Singkawang kemudian berkembang ke wilayah lain dan saat ini
berpusat di Kabupaten Bengkayang dan Ketapang. Sistem bagi hasil antara pemodal (cukong) dan
masyarakat sebesar 70:30. Hal ini sangat mempengaruhi penduduk setempat yang asalnya masyarakat
agraris.
Permasalahan:
• Lokasi penambangan di kawasan Cagar Alam Mandor, di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Namun lokasi tersebut termasuk dalam konsesi PT. Sungai Kencana. Lokasi tersebut mengandung 60
persen kandungan emas. Terjadi tumpang tindih kebijakan pusat-daerah.
• Saat ini kondisi Cagar Alam Mandor yang masih baik tinggal 30 persen, sementara 70 persen
termasuk lokasi makam Mandor Juang telah rusak berat.
• Kondisi kawasan yang sudah rusak berupa hamparan pasir kwarsa (30%), dihiasi lubang berdiameter
15-25 meter, kedalaman delapan meter.
• Lokasi PETI di areal pertanian dan perkebunan, yang menghancurkan hara dan kesuburan tanah.
• Sungai tercemar akibat pembuangan tailing yang bercampur merkuri, sehingga diperkirakan
mencemari sumber air PDAM Pontianak, Kalimantan Barat.
Erosi yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilihat dalam seluruh kesatuan wilayah. Karena selama ini
erosi hanya dipantau di DAS-DAS yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Dalam kaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam melalui program Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
(RLKT), telah ditetapkan pola RTL-RLKT (Rencana Teknis Lapangan-RLKT) sebagai instrumen
perencanaan jangka panjang 15 tahun dan jangka menengah lima tahun. Sampai saat ini telah
disusun Pola RTL-RLKT di seluruh Indonesia yang tersebar di 39 SWP DAS (Satuan Wilayah
Pengelolaan DAS). Sampai tahun 1999 telah disusun pola RLKT sebesar 20 persen dari luas
daratan Indonesia. Sayangnya tidak semua SWP DAS mempunyai data tentang erosi.
1. Faktor DAS
Daerah Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang
bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung pada kemampuan
retensi DAS menghadapi banjir. Retensi DAS adalah kemampuan DAS untuk menahan air di
bagian hulu. Perubahan tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan perumahan, perkebunan
atau lapangan golf akan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis.
GAMBAR 6.7
KERING - Sungai Cilutung, salah satu anak
Sungai Cimanuk yang memberikan sumbangan
pelumpuran (sedimentasi) paling besar, kering
kerontang di musim kemarau. Air sungai yang
biasanya meluap, pada awal September 2001
hanya berupa kolam-kolam kecil, sehingga
jangankan untuk pertanian, untuk kebutuhan
mandi saja sudah tidak memadai.
2. Kesalahan Pembangunan
Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20 di seluruh
dunia sebenarnya hampir sama, yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul,
pembetonan dinding, dan pengerasan tampang sungai. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun
terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya
dikuras ke hilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir.
Pola pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan aliran air menuju hilir.
Di bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya.
Jika tampang sungai di tempat tersebut tidak mencukupi maka akan terjadi peluapan ke bagian
bantaran. Jika bantaran sungai tidak cukup, bahkan mungkin telah penuh dengan rumah-rumah
penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir
semakin melebar atau bahkan alirannya berpindah arah.
Pelurusan dan sudetan sungai pada hakikatnya merupakan penghilangan retensi atau
pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir
di suatu tempat dengan cara ini merupakan penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian
hilirnya. Oleh karena itu, pola penanganan banjir di Indonesia memasuki abad ke-21 harus
menggunakan prinsip integralistik yaitu One River-One Plant and One Intergrated Management.
Dengan prinsip ini maka banjir juga harus dibagi secara integral sepanjang sungai menjadi banjir
kecil-kecil, guna menghindari banjir besar yang destruktif di suatu tempat tertentu. Perlu
dikembangkan juga prinsip Let River be Natural River. Implikasinya dalam penanggulangan banjir
adalah justru sungai alamiah yang bermeander, bervegetasi lebat, dan memiliki retensi alur tinggi,
yang perlu dijaga kelestariannya karena mempunyai retensi tinggi terhadap banjir.
GAMBAR: 6.8
SEGARA ANAKAN YANG MENGALAMI PENYEMPITAN
3. Pendangkalan
Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai
berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang
melewatinya dan akhirnya meluap. Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses
pengendapan (sedimentasi) terus-menerus, terutama di bagian hilir sungai. Proses sedimentasi di
bagian hilir ini dapat disebabkan oleh erosi intensif di bagian hulu. Erosi ini selain merupakan
akibat dari rusaknya DAS bagian hulu hingga tanahnya mudah tererosi, juga karena pelurusan
sungai dan sudetan, yang dapat mendorong peningkatan erosi di bagian hulu.
Material tererosi ini akan terbawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir hingga menyebabkan
pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai sudah sangat serius dan ditemukan di hampir
seluruh daerah hilir/muara di Indonesia. Untuk itu perlu segera disosialisasikan perbaikan DAS
dengan pelarangan penjarahan hutan dan penghentian HPH serta peninjauan kembali proyek-
proyek pelurusan dan sudetan-sudetan yang tidak perlu.
Pendangkalan sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang
masyarakat ke sungai. Sampah domestik yang dibuang ke sungai terutama di kota-kota besar akan
berakibat terjadinya pendangkalan dan penutupan alur sungai sehingga aliran air tertahan dan
akhirnya sungai meluap.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat antara lain penghijauan/reboisasi
dan rehabilitasi lahan. Departemen Kehutanan mentargetkan rehabilitasi lahan kritis di seluruh
Indonesia dalam tahun 2002 seluas 818.657 ha, terdiri atas 257.240 ha di dalam kawasan hutan
dan 561.417 ha di luar kawasan hutan.
Pemerintah telah memberikan bantuan kepada penduduk di daerah tanah kritis, langsung dan tidak
langsung, untuk mengurangi eksploitasi sumber daya lahan secara tidak bertanggung jawab
sehingga merusak dan mencemari lingkungan hidup. Selain itu pemerintah juga berupaya
Konsentrasi TSS pada sungai Ciliwung, di daerah kelapa Dua dan Pantai Indah Kapuk, Propinsi
DKI Jakarta merupakan contoh betapa cepatnya terjadi pendangkalan di sungai tersebut (lihat
gambar 6.9)
200
180
160
140
Kelapa Dua (Hulu)
120
(mg/l)
100
80 Pantai Indah Kapuk
(Hilir)
60
40
20
0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Tahun
Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu sangat diperlukan, mengingat 140 juta penduduk atau
60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir dalam jarak 50 km ke arah darat dari
pantai. Kerusakan maupun pencemaran di wilayah ekosistem daratan telah nyata menurunkan
kualitas mutu lingkungan, orang lalu mengalihkan perhatian ke sumber daya pesisir dan laut
sebagai alternatif media lingkungan yang sudah sampai pada tahap untuk dapat ‘digarap.’
Pandangan semacam ini memang tidak sepenuhnya salah, sebab menimbulkan ‘harapan baru.’
Namun, lingkungan laut juga tak kurang bermasalah. Adanya pengelolaan yang keliru, misalnya
konversi hutan mangrove, penambangan pasir dan penangkapan ikan hias di habitat terumbu
karang secara paksa (memakai racun dan bahan peledak), tumpahan minyak, dan masih banyak
lagi, pasti dan sudah menurunkan bahkan menghilangkan kemampuan alam untuk merehabilitasi
(asimilasi) dirinya sendiri.
Terjadinya penurunan kualitas hutan di daerah hulu DAS, misalnya telah nyata dirasakan akhir-
akhir ini, berupa berbagai bencana, seperti tanah longsor, banjir maupun kekeringan, kebakaran
hutan, dan lain-lain, merupakan dampak negatif kegiatan manajemen lingkungan yang kurang,
bahkan tidak memperhatikan kaidah-kaidah pokok pengelolaan yang ramah lingkungan. Data
tahun 2000 menunjukkan 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lain. Di wilayah kota dan kabupaten,
terdapat kurang lebih 80 persen industri yang memanfaatkan sumber daya pesisir dan membuang
limbahnya pun ke wilayah pesisir.
Pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia, yaitu antara lain 30
persen hutan mangrove di dunia; 30 persen terumbu karang dunia, khususnya Indonesia bagian
timur; 60 persen konsumsi protein berasal dari sumber daya ikan di mana 90 persen ikan yang
ditangkap adalah ikan perairan pesisir dan sisanya berasal dari perairan dalam. Terdapat kurang
lebih 14 sektor pembangunan yang didukung oleh 20 undang-undang dan lima konvensi
internasional yang merupakan regulasi wilayah pesisir, yang umumnya bersifat antar sektoral dan
antar wilayah.
KLH bekerja sama dengan IPB memodifikasi penelitian Talaue-McManus (2000) untuk proyek Laut
China Selatan (LCS). Proyek LCS (di provinsi yang berbatasan langsung dengan LCS yaitu Riau
termasuk Batam, Babel/Sumsel dan Kalimantan Barat, serta Provinsi Lampung, Banten dan DKI
Jakarta), mengambil contoh lima kota yaitu Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, Palembang,
Pontianak, Jakarta dan empat sungai besar Musi, Kapuas, Ciliwung, Cisadane untuk diteliti beban
pencemaran di pesisirnya dengan menganalisis kualitas air di sekitarnya, kualitas sedimen, contoh
biota, perubahan organisme laut yang hidup maupun komunitas laut yang terpengaruh (mangrove,
terumbu karang, dan lamun). Hasilnya, lima kota-4 DAS seluas 16.370 km2 dari total luas wilayah
391.900 km2 (populasi sekitar 59 juta), sudah tercemar bahan organik.
TABEL 6.5
BEBAN LOGAM BERAT KE TELUK JAKARTA
As Cd Cr Cu Hg Ni Pb Zn
Sungai
Kg/hr Kg/hr Kg/hr Kg/hr Kg/hr Kg/hr Kg/hr Kg/hr
Cisadane 0,00 0,00 4.17 0,00 34,70 18,10 23,30 10,340.00
Angke 0,00 0,00 6.67 0,00 139,00 34,80 118,00 2,026.00
Grogol 0,00 0,00 2.77 6,40 4,80 0,00 9,00 110,30
Krubut 19,00 0,00 191,00 15,60 10,30 6,50 197,00 8,605.00
Ciliwung 26,10 0,00 62,20 0,00 56,60 0,00 151,00 790,00
Sunter 0,00 0,00 0,49 67,40 62,20 0,00 36,10 3,069.00
Cakung 0,35 0,00 3,80 0,00 26,50 0,00 39,00 828,00
Bekasi 0,00 0,00 32,90 47,40 11,90 0,00 140,00 10,742.00
Cikarung 0,00 0,00 21,00 54,00 25,80 94,60 43,50 6,473.00
TOTAL 45,45 0,00 325 190,80 371,8 154,0 756,90 42,983.30
Sumber: KLH, 2002
a. Mangrove
Hutan mangrove yang karakteristik fisiknya dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan berfungsi
sebagai tempat pemijahan ikan, penahan lumpur dan pencegah terjadinya intrusi serta abrasi pantai,
telah mengalami penyusutan sebesar kurang lebih 31 persen dari jumlah 4,29 juta ha. Indonesia
memiliki mangrove yang terluas di dunia. Total luasan hutan mangrove di dunia adalah 15,9 juta hektar
dan 4,25 juta hektar atau 27 persen-nya berada di Indonesia (Dephut, 1982). Berdasar laporan PHPA-
AWB (1987), hutan mangrove Indonesia diperkirakan tinggal sekitar 3,24 juta hektar. Sedangkan hasil
interpretasi citra landsat tahun 1992, luas hutan mangrove di Indonesia adalah 3.737.000 hektar
(Departemen Kehutanan, 1992).
Hutan mangrove dibagi menjadi fungsi kawasan hutan tetap, terbatas dan yang dapat dikonversi.
Sampai tahun 1990 telah ditunjuk hutan produksi seluas 1.077.000 hektar (25,34%) dan kawasan
suaka alam serta kawasan pelestarian seluas 742,828 hektar (sekitar 17,48% dari luas kawasan
seluruh hutan mangrove). Selain itu, diusulkan pelepasan areal hutan mangrove seluas 20.871 hektar
untuk dikonversi bagi kepentingan sektor pertanian (sawah pasang surut), perikanan (tambak),
transmigrasi (pemukiman), industri dan lainnya.
LUAS (HA)
NO PROVINSI
KAWASAN NON-KAWASAN TOTAL
1 DI Aceh 2,442.69 344,401.11 346,843.80
2 Sumatera Utara 71,674.63 9,268.61 80,943.24
b. Terumbu karang
Total luas terumbu karang Indonesia 85.707 km2, dengan jenis keanekaragaman hayati terumbu
karang meliputi: >450 jenis karang batu; 2.500 jenis moluska; 1.512 jenis krustasea; 850 jenis
spons; 745 jenis ekinodermata; 2.334 jenis ikan; 30 jenis mamalia laut; 38 jenis reptilia laut.
(Sumber: COREMAP).
Kondisi terumbu karang sudah Indonesia semakin mencemaskan. Sekitar 14 persen dalam kondisi
kritis, 46 persen telah mengalami kerusakan, 33 persen dalam kondisi masih cukup bagus dan hanya 7
persen kondisinya masih sangat bagus.
WILAYAH INDONESIA
TINGKAT KONDISI INDONESIA
BARAT TENGAH TIMUR
a. Mangrove
• Kurangnya peran aktif pemerintah daerah dalam upaya rehabilitasi akibat kerusakan mangrove,
di antaranya melalui peningkatan pemahaman serta komitmen di tingkat eksekutif maupun
legislatif di daerah;
• Tidak adanya kepastian hukum, terutama dalam penetapan (zonasi) area mangrove.
Perambahan hutan mangrove secara sistematis dan sporadis, berbentuk perubahan status
kawasan khususnya untuk perluasan tambak, dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta
maupun masyarakat, di samping perubahan status menjadi kawasan permukiman, industri, untuk
diambil kayunya dan keperluan lain. Contohnya kawasan hutan mangrove di Muara Angke,
Jakarta, seluas 327,61 ha (termasuk jalan tol Prof Sedyatmo dan Cengkareng Drain), banyak
mengalami tekanan, pengalihan menjadi tambak, meningkatnya pencemaran dan perambahan.
“Formula” yang cukup memadai untuk menghentikan atau mengurangi upaya perambahan ini,
belum ditemukan;
• Teknik pemanfaatan sesuai penetapan kebijakan pengelolaan mangrove, sehingga
pemanfaatannya pun dapat terus berlanjut, kurang dijalankan;
• Mekanisme rehabilitasi dan pendanaan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat (para
pemangku kepentingan) untuk berbagai program rehabilitasi hutan mangrove, belum memadai.
b. Terumbu karang
Lima ancaman utama yang disebabkan oleh perbuatan manusia yang merusak terumbu karang
Indonesia, adalah:
(1) Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan racun sianida yang disemprotkan ke arah
‘kepala’ terumbu karang agar ikan mabuk. Ikan yang diambil masih hidup, baik sebagai ikan hias
atau untuk makanan. Proses kegiatan tersebut pasti akan merusak karang secara menyeluruh;
(2) Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Bom diledakkan di wilayah karang dangkal.
Letakan selain membunuh ikan yang dikehendaki, juga dapat membunuh larva, benur dan karang;
(3) Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan produksi kapur;
Harga ikan, khususnya jenis Napoleon Wrasse di restoran Hongkong mencapai US$ 60
sampai US$180 per kg. Indonesia menjadi negara pemasok terbesar jenis ikan tersebut di
pasar pangan Asia, yaitu 50 persen dari seluruh pasokan, dengan perkiraan nilai keseluruhan
mencapai US$ 200 juta/tahun. Penangkapan ikan dengan racun tersebut, diperkirakan telah
menimbulkan kerugian sebesar US$ 46 juta, dalam empat tahun. Pilihan penangkapan ikan
yang berkelanjutan dengan hook-and-line, menghasilkan devisa negara dan lapangan kerja
untuk lebih dari 10.000 nelayan Indonesia dalam beberapa tahun yang akan datang serta
manfaat netto sekitar US$ 321,8 juta.
Hasil perhitungan biaya berbentuk pendapatan berkelanjutan yang berasal dari perikanan saja,
diperkirakan enam kali lebih besar dari perolehan jangka pendek yang diterima dari
penangkapan ikan dengan peledak (US$ 86.000 dibandingkan dengan US$ 15.000). Kerugian
lain yang dialami masyarakat (dalam bentuk proteksi wilayah pantai dan penerimaan dari
sektor pariwisata yang hilang), bahkan ternyata lebih tinggi di wilayah yang mempunyai potensi
pariwisata, dan atau konstruksi wilayah pantai yang penting. Kerugian ini diperkirakan masing-
masing sebesar US$ 193.000 dan US$ 482.000
Hasil penelitian Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, IPB dengan KLH dengan
menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV), menunjukkan nilai ekonomi wilayah
pesisir Barelang dan Bintan (didasarkan atas tiga kelompok ekosistem dominan yang ada di
kawasan tersebut, yaitu mangrove, terumbu karang dan padang lamun), menghasilkan nilai,
masing-masing US$15.877,42/ha untuk mangrove; US$140.770,52/ha untuk terumbu karang
dan US$136.829,86/ha untuk padang lamun. Nilai estimasi kerusakan mangrove, terumbu
karang dan padang lamun sebesar US$10.652043,80/tahun; US$51.787.816,51/tahun dan
US$ 28.209.810,00/tahun. Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) dari ikan-ikan
terumbu karang mencapai 80,082 ton/tahun. Dengan luas total terumbu karang 17.500 km2
berarti MSY perikanan karang, diperkirakan akan mencapai 4.57 ton/tahun. (Third Phase:
Indonesia and The Kingdom of Norwegia, 1999),
KLH, melaksanakan Program Pantai dan Laut Lestari (P2LL), dengan tujuan utama mengendalikan
pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut, berdasar Peraturan Pemerintah No 19
tahun 1999. P2LL, yang dicanangkan 19 Nopember 1996, adalah nama atau label program kerja
pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan di wilayah pantai dan laut berskala nasional,
dan dilaksanakan secara mandiri oleh setiap daerah otonom.
Program P2LL ini mulai dilaksanakan Desember 2000 di tingkat provinsi antara lain Bali, Sulawesi
Tenggara, Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Lampung,
Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Banten dan
DKI Jakarta; Tingkat kabupaten seperti Sukabumi, Lampung Selatan, Bantul, Pasir Panajam, Kutai
Kartanegara, Kepulauan Riau, Badung, Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Pontianak; Tingkat
P2LL terdiri atas tiga paket, yaitu (1) Pantai Wisata Bersih, adalah program kerja pengendalian
pencemaran, kerusakan dan kebersihan wilayah pantai dan laut yang merupakan tujuan wisata, (2)
Bandar Indah, adalah program kerja pengendalian pencemaran di wilayah pelabuhan laut, dan (3)
Teman (Terumbu Karang dan Mangrove) Lestari, adalah program kerja pengendalian kerusakan
dan pemulihan kerusakan terumbu karang dan mangrove.
Prinsip dasar pelaksanaan P2LL, adalah "SAFE" yaitu simple (sederhana), accountability (terukur),
focus (terfokus) dan enforcement (penegakan hukum) yang “harus” didukung melalui komitmen
para kepala daerah dan DPRD setempat. Pengelompokan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
dan laut melalui P2LL, akan dilakukan di Teluk Bone, meliputi delapan kabupaten Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Tenggara (Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, Luwu Utara, Kolaka dan Buton);
Teluk Benoa (Kabupaten Badung dan Kota Denpasar); Teluk Tomini (Sulawesi Tengah
dan Gorontalo).
Kegiatan yang telah diupayakan adalah peningkatan pemantapan koordinasi untuk pelaksanaan
operasional pelestarian sumber daya alam pesisir dan laut, meliputi:
• Pengendalian kerusakan ekosistem pesisir dan laut (terumbu karang, mangrove, padang lamun)
mengadapi abrasi pantai, kegiatan reklamasi, pengusahaan pasir laut melalui penetapan baku
kerusakan;
• Pengendalian pencemaran ekosistem pesisir dan laut: dumping di laut, pembuangan limbah
langsung ke laut oleh kegiatan industri, pelabuhan, anjungan minyak lepas pantai, National
Contingency Plan for Oil Spill, baku mutu laut, resor wisata pantai/pulau;
• Pengendalian kerusakan dan pencemaran pesisir dan laut lintas batas negara: Marine Electronic
Highway (MEH) di Selat Malaka dan Selat Singapore, Regional Programme for Building
Partnerships in Environmental Protection and Management for the East Asian Seas (PEMSEA),
Coordinating Body on the Sea of East Asia (COBSEA) and the South China Sea, Indonesia-
Norway for Barelang (Batam-Rempang-Galang) & Bintan Island Development Management, Oil
Spill Preparedness and Response & Oil Spill Response Action Plan in the East Asian Seas
(OSPAR & OSRAP);
• Rehabilitasi dan budi daya mangrove di Pantai Siwa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
(Colaborative Environmental Project in Indonesia, CEPI-Canada).
Pasal 20 Ayat 2 Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyatakan penetapan
kawasan lindung dan kawasan budi daya merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional yang penetapannya pun melalui peraturan pemerintah. Sedang struktur, pola pemanfaatan
dan arahan pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan mangrove) dan budi daya, dilakukan
melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dua fungsi utama pengelolaan hutan mangrove adalah pertama fungsi lindung dengan tujuan utama
meningkatkan fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan terhadap
angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota akuatik dan terestrial; sedang yang kedua
pengelolaan untuk menjaga fungsi pelestarian dengan tujuan utama menjaga kemurnian, keunikan
keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan mangrove. Kegiatan perlindungan dan
pelestarian diupayakan agar hutan mangrove mampu menampung dan terintegrasi dengan
kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya. Langkah tindak yang perlu dilaksanakan antara lain
melalui :
• Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah (provinsi dan/atau kabupaten/kota) dalam
pengembangan wilayahnya masing-masing untuk tetap mengacu pada Penetapan Tata Ruang
Daerah, berdasar prinsip konservasi untuk kawasan jalur hijau mangrove dan tetap menjaga fungsi
pelestarian untuk kawasan hutan mangrove sebagaimana telah ditetapkan dalam peruntukannya,
yaitu sebagai suaka alam atau suaka margasatwa;
• Penetapan jalur hijau pantai menggunakan mangrove untuk kawasan-kawasan yang sesuai secara
ekologis (Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung: 130 x perbedaan pasang surut
melalui peraturan daerah;
• Menetapkan lokasi-lokasi prioritas rehabilitasi (ke dalam klasifikasi kritis dan super kritis) dan
melaksanakan rehabilitasi kawasan hutan mangrove yang telah terdegradasi melalui kemitraan
antara pemerintah dan masyarakat. Program ini dinamakan Rehabilitasi Hutan Mangrove Berbasis
Masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran ekosistem pesisir dan laut adalah :
• Penyelesaian Rancangan Keppres tentang Penanggulangan Darurat Tumpahan Minyak di
Laut/National Contingency Plan untuk oil spill (NCP);
• Wisata bahari/resort wisata pantai atau pulau (eco-resort).
Kebutuhan penting saat ini, terutama dalam otonomi daerah adalah peningkatan kerja sama yang
semakin berkualitas dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut, misalnya perlunya
menempatkan bidang perikanan dalam jalur pembangunan berkelanjutan, sehingga penangkapan
berlebih (over fishing) dapat dihindari. UN Straddling Fish Stocks Agreement telah memutuskan
agar penggunaan alat/perlengkapan yang seharusnya ramah lingkungan adalah sesuatu unsur
kunci yang penting (Soegiarto, 2002).
Indonesia sebagai negara kepulauan tropis terbesar telah melakukan kerja sama regional dan
internasional. Tujuan utamanya antara lain adalah untuk meningkatkan kepedulian yang baru
menghadapi tantangan yang tersulit dalam penggunaan perairan laut sebagai peluang untuk
memanfaatkan keuntungan perdagangan dan globalisasi yang ada bagi masyarakat pantai.
Aktivitas yang sudah, sedang dan akan berjalan, antara lain, adalah kerja sama dengan:
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Lingkungan Hidup, 2002, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: KMNLH
Kementerian Lingkungan Hidup, 2002, Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2002, Statistik Indonesia 2001, Jakarta.
Banda Pusat Statistik, 2002, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2001, Jakarta.
Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi, 2001, Terumbu Karang di Indonesia, Mei 2001
Indonesia an official handbook 2002, November, 2002
Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan Kementerian Lingkungan Hidup, 2002,
Sosialisasi Strategi Pengelolaan Terpadu DAS Bengawan Solo dalam Konteks Otonomi
Daerah, November 2002
Indonesia Forest Watch, 2001, Potret Keadaan Hutan Indonesia, Desember
Warta ISOI, No. 16, Oktober-Desember 2002. Jl Pasir Putih I/No 1, Ancol Timur,
Jakarta 14430.