You are on page 1of 7

Dilalah atau Makna

Mengetahui makna sebuah kata adalah hal yang penting dalam agama yang memiliki kitab suci. Meskipun
mungkin menurut saya juga penting dalam memahami hukum konstitusi yang tertulis. Tapi sayang yang saya
tulis dibawah ini adalah kajian klasik dari Islam tentang makna sebuah teks, yang tentu duhubungkan dengan
bahasa arab yang merupakan bahasa teks suci dalam islam.

Pembahasan seperti ini masuk dalam subyek Ushul Fikih dalam literatur Islam. Dibawah ini adalah usaha
untuk menulis dan memahami lebih dalam selanjutnya, semoga, apa yang telah saya dapat dari bacaan saya.
Ilmu Ushul fikih mempunyai banyak aliran sebagaimana aliran fikih itu sendiri, meskipun perbedaannya
tidak selebar dan seluas Fikih.

Dibawah ini akan disebutkan pandangan Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam makna atau dilalah:

Dilalah menurut mazhab Hanafiyah ada 4:

1. Ibaroh nash: makna eksplisit, maksud asli, makan elementer.


2. Isyaroh nash: implisit, taabi’, sekunder yang didapat melalui isyarat/tanda.
3. Dilalah nash: meaning, didapat dari ‘illat’/spirit teks. Ini mungkin bisa dimasukkan dalam qiyas
dalam Syafi’iyah.
4. Iqtidlo’ nash: Makan yang tidak ada dalam teks. Ini didapat untuk menyempurnakan makna asli teks.

Menurut Syafi’iyah dilalah ada 2:

1. Dilalah manthuq: makan tertulis/ eksplisit.


2. Dilalah mafhum: makna yang dinyatakan secara tidak langsung oleh teks.

Dilalah mafhum ada 2: muwafaqoh dan mukholafah.

Disini saya juga inngin sedikit menyebutkan bahwa Maqoosid as-syari’ah yang sering duganakan oleh
kalangan Liberal Islam untuk mendasarkan dan mengembalikan semua hukum Islam diatasnya adalah
dimulai pertama oleh Turmuzi (abad 3 H) dalam Ash-Sholat wa Maqoosiduha à Maturidi (333 H) –> Abu
Bakar Qaffal (365 H)à Baqillany (403 H) à Ghazali (505 H) à dan puncaknya pada Asy-Syathibi (Spanyol
790 H/ 1380 M).

Tetapi Liberal Islam menggunakan konsep ulama klasik ini dengan cara berbeda dengan yang ditetapkan
dalam buku-buku Ushul Fikih mereka itu diantaranya dalam:

1. Ulama klasik memberikan Maqosid asy-syari’ah itu urutan gradasi dalam 5 Maqosid itu. Urutannya
adalah: Allah/agama, akal, hidup, keturunan, dan kehormatan. Liberal menafikan urutan bergradasi
ini atau bahkan menghilangkan agama/Allah dalam tujuan hukum. Karena Allah dianggap tidak
membutuhkan sesuatu dan hukum syariat hanya untuk manfaat manusia.
2. Pengertian klasik atas Maqosid adalah bahwa hukum ditetapkan oleh Allah untuk menjaga 5 hal
diatas dalam hal selamat atau dalam bebas dari kejelekan. Tetapi Liberal mengambil pengertian
bahwa seseorang itu bebas untuk melakukan sesuatu dalam 5 hal itu. Kalau tidak salah ini adalah
perbedaan dengan istilah Inggris, antara Freedom from dan freedom to. Liberal mengambil yang
terakhir.
3. Liberal menggunakan 5 hal tadi sebagai dasar pokok dibuatnya sebuah hukum Islam. Jadi apabila
ada sebuah hukum yang dianggap tidak bisa lagi memenuhi tujuan/maqosid 5 tadi, maka hukum itu
dihapus dan diganti dengan yang bisa memenuhi.

http://sulthony.wordpress.com/2010/08/26/meaning-atau-dilalah/

EORI LAFAZ TERHADAP MAKNA:


Perbandingan Antara Metode Hanafiyah dan Mutakallimin
A. Pendahuluan
Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama
Usul dalam memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafaz (turq dilalah al-alfaz).

Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut - juga dikenal sebagai dua aliran besar
dalam Usul al-Fiqh - yaitu, Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki
rumusan tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti telah
diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah.
Tulisan ini akan membahas konsep lafaz yang dirumuskan oleh kedua metode tersebut. Titik temu keduanya
akan dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan komparatif. Namun, tulisan ini tidak berpretensi untuk
memberikan penilaian terhadap keabsahan kedua metode tersebut.

B. Lafaz Menurut Metode Hanafiyah


Pakar Usul Hanafiyah sepakat bahwa lafaz ada yang dapat dipahami langsung secara tekstual dan ada yang
tidak. Yang dapat dipahami langsung, ada yang mengandung mana eksplisit dan ada yang inplisit. eksplisit
tersebut umum disebut ‘ibarah an-nass, Sementara yang inplisit disebut isyarah an-nass. Adapun lafaz yang
tidak dapat dipahami secara tekstual, ada kalanya dapat dipahami melalui kaedah bahasa dan ada yang
melalui pendekatan syara’ atau logika. Yang pertama disebut dilalah an-nass, dan kedua disebut iqtida’ an-
nass. Klasifikasi tersebut - ‘ibarah an-nass, isyarah an-nass, dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass - merupakan
pembagian lafaz dalam memahami makna nass menurut Hanafiyah.
Untuk lebih lanjut, dirasa perlu mendeskripsikan substansi masing-masing tersebut, guna pemahaman lebih
mendalam dan persamaan persepsi.

1. ‘Ibarah an-Nass
As-Sarakhsi (w. 490 H.) berpendapat bahwa ‘ibarah an-nass adalah ungkapan yang dapat dipahami langsung,
diketahui sebelum menggunakan pengamatan atau pemikiran, dan zahir nass telah mendeskripsikannya.
Menurut Abu Zahrah, ‘ibarah an-nass tidak hanya dapat dipahami melalui lafaz zahir semata, melainkan juga
dapat dipahami melalui lafaz nass, lafaz muhkam, maupun lafaz mufassar. Menurut al-Khinn, suatu
ungkapan disebut ‘ibarah an-nass, bila ungkapan tersebut mengandung makna langsung (asalah) atau makna
tidak langsung (tab’an).

Berdasarkan pendekatan defenitif tersebut, suatu nass mengandung ‘ibarah apabila memenuhi beberapa
unsur, di antaranya: terdiri dari lafaz zahir, nass, muhkam, atau mufassar; dapat dipahami tanpa melalui
proses pengamatan (qabl at-ta’ammul); dan memiliki makna eksplisit, baik langsung atau tidak. Misalnya
Firman Allah SWT tentang kebolehan berumah tangga. ‘ibarah an-nass yang diperoleh berdasarkan
ungkapan tersebut adalah: Kebolehan berumah tangga, Kebolehan mempunyai istri lebih dari satu orang, dan
tentang kewajiban membatasi untuk menikahi seorang wanita, jika ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil
bila mempunyai istri lebih dari seorang.

2. Isyarah an-Nass
Isyarah an-nass adalah ungkapan yang mengandung makna inplisit, yang dapat dipahami melalui proses
pengamatan tanpa menambah atau mengurangi lafaz. Dengan ungkapan yang berbeda, Abu Zahrah
menyatakan bahwa isyarah an-nass merupakan kesimpulan (natijah) dari sebuah ungkapan yang dipahami
dari ‘ibarah, namun terlepas dari lafaz ‘ibarah tersebut. Dalam Kitab Kasyf al-Asrar dinyatakan bahwa
ungkapan tersebut diperoleh melalui rangkaian ungkapan ‘ibarah, namun bukan sebagai tujuan, juga bukan
nass, serta bukan merupakan bentuk zahir. Wahbah az-Zuhaili menyatakan, lafaz bukan merupakan maksud
secara langsung dan tidak langsung, melainkan mengandung makna yang dapat diperoleh dengan segera
melalui ungkapan lafaz. Maksudnya adalah makna yang tergambar dari lafaz tersebut.
Dengan mengacu pada batasan terminologis sebelumnya, suatu ungkapan mengandung isyarah apabila
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: merupakan ungkapan yang memiliki makna inplisit; dipahami
melalui proses pengamatan; tanpa menambah atau mengurangi teks nass, merupakan rangkaian 'ibarah,
maknanya terlepas dari lafaz ‘ibarah, serta bukan mengandung makna langsung atau sebaliknya.
Firman Allah mengenai masa kehamilan minimal 6 bulan dapat dijadikan contoh. Makna isyarah ayat
tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal adalah 6 bulan. Dan tersebut bukan makna yang segera
diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.
3. Dilalah an-Nass
Dalam Kitab Kasyf al-Asrar dinyatakan bahwa dilalah an-nass merupakan penetapan yang diperoleh melalui
makna ungkapan nass secara lugawiyah, tanpa ijtihad dan istinbat. Al-Khinn menjelaskan, pada mulanya
sebagian pakar Usul Hanafiyah berbeda pendapat mengenai batasan pengertian dilalah an-nass. Namun ada
kesepakatan di antara mereka, bahwa dilalah an-nass merupakan lafaz yang digunakan untuk penetapan
hukum dan diketahui oleh setiap orang yang bisa berbahasa Arab karena adanya indikasi tanpa terlebih
dahulu melalui ijtihad.
Adapun unsur-unsur lafaz dilalah an-nass dapat dirumuskan sebagai berikut: makna yang diperoleh
merupakan jiwa nass; penetapan makna bukan melalui proses ijtihad atau istinbat, dan makna tersebut dapat
dipahami oleh orang yang mempunyai pengetahuan bahasa Arab; serta adanya implikasi dari makna lafaz
untuk memahami hal yang tidak disebutkan lafaz. Contohnya, Firman Allah SWT tentang larangan ta'fif:
Kandungan ibarah an-nass ayat tersebut adalah larangan ta’fif dengan alasan bahwa perbuatan tersebut
menyakiti orang tua (al-iza’). dilalah an-nass ungkapan tersebut adalah larangan untuk memukul, memaki,
memarahi orang tua, dll.

4. Iqtida’ an-Nass
Batasan iqtida’ an-nass menurut Abu Zahrah adalah lafaz yang tidak bisa dipahami kecuali dengan
mentaqdirkannya. Ditegaskan oleh al-Khinn, suatu disebut iqtida’ an-nass bila kebenaran atau kesahihan
sebuah makna secara syara’ atau ‘aqliyyah yang tergantung pada makna di luar lafaz. Dengan demikian,
unsur-unsur iqtida’ an-nass adalah: makna yang diinginkan berada pada lafaz yang ditaqdirkan; dan lafaz
dapat dipahami dengan bantuan syari’ah dan logika.

C. Lafaz Menurut Metode Mutakallimin


Secara umum, pakar Usul Mutakallimin membagi lafaz kepada mantuq dan mafhum. Berikut dipaparkan:

Mantuq
Menurut as-Syaukani (w. 1255 H.), mantuq merupakan lafaz yang diketahui dari objek penuturan (fi mahl
an-natq), artinya, hukum yang disebutkan lafaz dan sebagai keadaan yang sebenarnya (hal min ahwalihi). Al-
Khinn sependapat dengan batasan tersebut, namun ia menegaskan bahwa mantuq tidak terbatas pada hukum
an-sich. Selanjutnya Mutakallimin sependapat bahwa mantuq terdiri dari mantuq sarih dan gair sarih.
Mantuq sarih adalah lafaz dari segi kesesuaian (mutabaqah) dan cakupan (tadammum). Misalnya: Firman
Allah SWT tentang riba. mantuq sarih nass tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Adapun
mantuq gair sarih adalah yang mengandung kemestian (iltizam), bukan kesesuaian dan cakupan. Seperti
Firman Allah tentang nisbah anak. Mantuq gair sarih ayat tersebut adalah bahwa anak dinisabkan kepada
ayah dan ibunya dan nafkah anak adalah tanggung jawab ayahnya, bukan ibu.

Mantuq gair sarih dapat diklasifikasikan menjadi tiga pembagian:


Dilalah iqtida’; yang mengabstraksikan bahwa maksud si pembicara tergantung pada makna di luar lafaz.
Dilalah al-Ima’; yang beriringan dengan ketetapan, dan jika tidak beriringan karena suatu illat, niscaya akan
jauh pada makna yang dikandungnya. misalnya Firman Allah SWT tentang hukuman bagi pencuri. Melalui
pendekatan al-ima’ dapat diketahui bahwa perintah potong tangan terkait dengan sifat pencurian, jika sifat
tersebut bukan sifat sebagai illat hukum yang terkait dengan perintah potong tangan, maka niscaya tidak
akan ada kebersamaan makna.
Dilalah isyarah; yang bukan merupakan maksud pembicaraan. Misalnya Firman Allah SWT tentang masa
kehamilan. isyarah yang muncul berdasarkan kedua ayat tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal
adalah 6 bulan. Dan tersebut bukan makna yang segera diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.

Mafhum
Mafhum adalah lafaz yang bukan merupakan objek penuturan. Maksudnya bahwa ketetapan tersebut
merupakan ketetapan terhadap makna yang tidak disebutkan. Jumhur Mutakallimin sepakat bahwa, mafhum
dapat dibedakan pada dua pembagian:
Mafhum Muwafaqah. Disebut mafhum muwafaqah bila lafaz mantuq suatu ungkapan sesuai dengan yang
tidak disebutkan. tersebut diperoleh tanpa memerlukan ijtihad. lafaz tersebut disebut mafhum muwafaqah
karena yang tidak disebutkan sama hukumnya dengan yang disebutkan. Jumhur Mutakallimin juga sepakat
bahwa mafhum muwafaqah dapat dibedakan menjadi:
Fahw al-Khitab; jika mafhum tersebut lebih utama (lebih tinggi tingkatannya). Misalnya Firman Allah SWT
tentang larangan ta'fif. Kandungan mantuq ayat tersebut adalah larangan ta’fif dengan alasan bahwa
perbuatan tersebut menyakiti orang tua (al-iza’). fahw al-khitab yang diperoleh adalah larangan memukul,
memaki, memarahi orang tua, dll.
Lahn al-khitab, jika mafhum tersebut memiliki tingkatan yang sama (musawi). Misalnya Firman Allah SWT
tentang keharaman memakan harta anak yatim. Makna mantuq ayat tersebut adalah keharaman memakan
harta anak yatim dengan zalim. lafaz lahn al-khitab-nya adalah bahwa membakar atau menyia-nyiakan harta
anak yatim juga haram. Penyamaan tersebut karena memakan dan membakar harta anak yatim bersifat
memusnahkan atau menghabisi harta tersebut.
Mafhum Mukhalafah. lafaz pada ungkapan yang tidak disebutkan memiliki konsekuensi yang berbeda dari
lafaz yang mantuq. Mafhum ini juga disebut dalil al-khitab. Misalnya Firman Allah SWT tentang keharaman
menikahi hamba perempuan. mantuq ayat tersebut adalah sesuai dengan pemahaman langsung. Sementara
mafhum mukhalafah yang dikandung ayat tersebut adalah keharaman untuk menikahi hamba perempuan
bagi orang yang dapat memenuhi nafkah bila menikahi wanita mukmin yang merdeka.

D. Analisa Perbandingan
Ketika mendeskripsikan uraian sebelumnya, hipotesa yang muncul adalah adanya kesan pemahaman yang
hampir sama, antara metode Hanafiyah dan Mutakallimin dalam memahami esensi dan substansi lafaz.
Sebagian besar perbedaan terma-terma yang digunakan mengandung esensi yang sama antara Metode
Hanafiyah dan Mutakallimin. Perbedaan juga lumrah terjadi dalam tatanan pengembangan rumusan masing-
masing metode. Meskipun keduanya beranjak dari konsep dasar yang sama, yaitu penelusuruan terhadap
lafaz dalam konteks upaya pemahaman terhadap makna nass.
Dari sudut pandang terma-terma yang digunakan; golongan Hanafiyah menggunakan ‘ibarah an-nass,
isyarah an-nass, dilalah an-nass, dan iqtida’ an-nass. Sementara golongan Usul Mutakallimin menggunakan
terma seperti mantuq sarih, gair sarih (dilalah iqtida’, dilalah al-ima’ dan dilalah isyarah), mafhum
muwafaqah, dan mafhum mukhalafah. Kedua golongan tersebut sepakat dalam menggunakan terma isyarah
dan iqtida’. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama.
Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin.
Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin,
kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Berdasarkan pendekatan defenisi, diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua
golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah an-nass menurut Hanafiyah dikenal
dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah an-nass bagi
kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum wuwafaqah menurut Mutakallimin. Bedanya,
Mutakallimin membagi mafhum mukhalafah kepada fahw al-khitab dan lahn al-khitab, sementara Hanafiyah
tidak menjabarkan dilalah an-nass. Dari deskripsi sebelumnya, dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak
mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.
Dalam konteks dilalah an-nass atau mafhum muwafaqah, kalangan mutakallimin seperti Syafi’i, Hambali
dan ar-Razi’ mendudukkannya sebagai Qiyas. Menurut ada pula beberapa ulama Mutakallimin, terutama dari
golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa mafhum mukhalafah bukan merupakan Qiyas
melainkan makna yang segera dapat diperoleh dari keadaan yang sebenarnya. Kalangan Hanafiyah sepakat
untuk tidak menjadikan dilalah an-nass sebagai Qiyas karena penetapan hukum diperoleh dari pemahaman
terhadap makna nass, bukan melalui qiyas.
Selanjutnya mengenai tingkatan masing-masing lafaz, ulama Hanafiyah sepakat bahwa lafaz yang paling
tinggi tingkatannya adalah ‘ibarah nass, kemudian isyarah an-nass, kemudian dilalah an-nass, dan iqtida’ an-
nass. Pada dasarnya golongan Mutakallimin sepakat dengan tingkatan tersebut kecuali tentang keberadaan
isyarah dan dilalah an-nass.
Menurut Syafi’iy, dilalah an-nass lebih didahulukan daripada isyarah an-nass. Alasan yang dipergunakan
adalah bahwa dilalah an-nass dapat dipahami secara langsung dari pendekatan bahasa. Dengan demikian,
pemahamannya lebih mendekati makna yang dikandung oleh ‘ibarah an-nass. Sedangkan isyarah an-nass
lebih cenderung memandang pemahaman yang inplisit. Hanafiyah beralasani bahwa isyarah an-nass
diperoleh dari rangkaian ‘ibarah an-nass. Selain itu, isyarah an-nass berada dalam cakupan lafaz yang
mantuq, sedangkan ‘ibarah an-nass berada dalam cakupan lafaz yang mafhum.
Salah satu contoh perbedaan penemuan hukum, akibat pertentangan pemahaman antara Syafi’i dan Hanafi
dalam konteks isyarah an-nass dan dilalah an-nass, adalah dalam memahami Firman Allah SWT tentang
pembunuhan sengaja. Makna inplisit ayat tersebut adalah bahwa pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja tidak terkena hukuman dunia. Kemudian dihubungkan dengan ayat lain. Makna berdasarkan
pendekatan dilalah an-nass menunjukkan bahwa kalau pembunuhan karena tersalah dikenakan kifarat, tentu
juga kifarat tersebut diberlakukan pada pembunuhan dengan sengaja.
Konsekuensi logisnya, menurut Hanafiyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja tidak
dikenakan kifarat. Alasannya, mereka lebih mendahulukan isyarah an-nass dari pada ‘ibarah an-nass.
Sementara menurut Syafi’iyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja dikenakan sanksi
kifarat.

http://muhithul-ulum.blogspot.com/2009/09/mafhum-mantuq.html

Petunjuk (Dilalah) Al Quran, semua kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum
syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut
(penetapannya) adalah qath’i hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Dan
kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada
qira’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari
Nabi SAW atau hasil ijtihad mereka.
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian :
1. Nash yang qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak
tergantung pada hal-hal lain mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash
itu sendiri. Contohnya adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba,
pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat yang
mencantumkan hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan
dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972:35)
2. Nash yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang mempunyai makna lebih
dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonim) ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami
dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Dan untuk lebih jelasnya pembahasan hal di atas maka kami akan mencoba menyampaikan dalam
pembahasan Dilalah. Akan tetapi Kesempurnaan hanyalah milik Allah semata, maka apabila nanti ada
kekurangan, kami minta kritik dan sarannya atas makalah yang kami buat ini.

BAB II
DILALAH

Dilalah adalah suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna. Menurut Hanafiyah dilalah
dibagi 4 macam yaitu ibarat nash, isyarat nash, dilalah nash, dan iqtida’ nash. Dan menurut jumhur ulama itu
dibagi 5 sama dengan Hanafi tapi ditambah satu yaitu dilalah mafhum mukhalafah. Sedang menurut
Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.
Bentuk-bentuk dilalah menurut hanafiyah dan jumhur ulama antara lain :
1. Ibarah Nash
Yaitu pemahaman dari lafazh baik yang tersurat atau tersirat, baik yang memiliki satu atau banyak makna.
Contoh :
‫واجتنبوا قول الزور‬
“Dan jauhilah kamu semua dari pembicaraan bohong”
Maksud ayat ‫ قول الزور‬dapat kita pahami bahwa saksi palsu termasuk jenis jarimah (Pelangaran hukum), itu
adalah termasuk lafazh yang tersurat. Sedangkan yang tersirat misal :
‫ان الذين يأكل اموال اليتا مىظلما‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatimi dengan cara dholim (aniayah)”
Dari nash di atas makna tersuratnya adalah memakan harta anak yatim dan bertuk tersiratnya adalah
menghacurkan anak yatim. Jadi ayat di atas merupakan salah satu dari berbagai macam kedholiman ialah
memakan harta anak yatim.
2. Isyarat Nash
Yaitu pemahaman yang diambil dari isyarah nash (bersumber dari isensial makna) yang dipahami dari
ungkapan yang ada.
‫و ا مر هم شو ر ى بينهم‬
“Dan atas perkara-perkara mereka musyawarahlah diantara mereka”
Ayat ini mengisaratkan hukum Islam berdasarkan permusyawaratan kaum muslimin.
3. Dilalah Nash
Dilalah Nash disebut juga dilalatul Aulah/qizas jali. Mafhum muwafaqoh dalam istilah hanafiyah disebut
juga dilalah nash yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat
itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak
tertulis karena persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa
memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad.disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang
tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis. Misal :
‫وال تقل لهما اف وال تنهرهما‬
“Dan janganlah kamu berkata kepada ibu-bapakmu degan ucapan ‘hush’”
Bahwa nash diatas menunjukkan tentang haramnya berkata “hush” kepada kedua orang tua apalagi
memukul.
4. Dilalah Iqtida’
Yaitu lafazh atas satu perintah yang tidak bisa dipahamkan lain kecuali apa yang ditunjukkan.
‫فمن عفى له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء اليه باحسان‬
“Maka barangsiapa memaafkan sesuatu kesalahan seseorang dari saudaranya , maka ikutilah dengan
kebajikan dan tunaikanlah kepadanya dengan kebaikan”
Perbuatan ikhsan merupakan konsekuansi logis dari jelasnya pemberian maaf oleh seseorang terhadap orang
yang meminta maaf.
5. Dilalah mafhum al-mukhalafah
Yaitu petunjuk lafzh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang
tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya,
karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. Mafhum mukhalafah disebut juga dalil
khitab yaitu hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Karena hukumnya diambil
dari jenis khitab-nya atau karena khitabnya sndiri menunjukkan atas hukum itu. Misal dalam hadits
disebutkan :
‫فى ساءمة الغنم وكاة‬
“Dalam kambing-kambing yang digembalakan itu ada zakatnya”
dari hadits di atas, menurut mafhumnya “ yang tidak digembalakan” artinya yang diberi makan di kandang
tidak terkena zakat. Sedangkan syarat-syarat mafhum mukhalafah ialah :
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum
muwafaqah.
2. Manthuqnya tidak disebutkan karena ada tujuan memperingatkan ni’mat.
3. Manthuq itu bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
4. Manthuq itu bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Macam-macam Mafhum Mukhalafah :
1. Mafhum shifat
Yaitu mempertalikan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Misalnya firman Allah tentang kifaraat
membunuh :
‫فتحرررقبة مؤمنة‬
“Maka dengan memerdekakan hamba yang mu’min”
maka kalau hamba sahaya yang tidak mukmin diangap tidak cukup.
2. Mafhum ‘adad
Yaitu mempertalikan hukum kepada bilangan (‘adad) yang tertentu. Misalnya yaitu tentang melakukan zina.
3. Mafhum ghayah
Yaitu lafazh yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batas).
4. Mafhum ‘illat
Yaitu mempertalikan hukum dengan ‘illat, seperti mengharamkan arak karena memabukkan.
5. Mafhum hashr
Yaitu mengkhususkan hukum dengan apa yang disebutkan dalam perkataan yang dinyatakan.
Sedangkan menurut Syafi’iyah terbagi dalam 2 antara lain :
1. Dilalah Mantuq
Ialah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri.
Dilalah mantuq seperti ini mancangkup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat,
isyarat, dan iqtida nash. Mantuq dibagi menjadi 2 :
a. Mantuq nash
Yaitu lafazh atau susunan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti nama-nama orang, juga
susunan lafazh :
‫“ = فصيام ثالثة ايام‬puasa tiga hari”
b. Mantuq dhahir
Yaitu suatu lafazh atau susunan yang menunjukkan suatu makna, tetapi makni ini bukannya yang dimaksud.
Misal :
‫ = ويبقى وجه ربك‬diartikan “waj-hu” dengan makna “dzat”
2. Dilalah mafhum
Ialah petunjuk lafazh pada hukum yang tidak disebutkan oleh lafadh itu sendiri, melainkan datang dari
pemahaman. Dilalah mafhum disebut dalam istilah Hanafiyah disebut dilalah nash. Dilalah mafhum dibagi
menjadi 2 macam :
a. Mafhum muwafaqah
Mafhum muwafaqah dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dilalah nash, yaitu petunjuk kalimat yang
menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan
hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknannya.
Mafhum muwafawah dikenal pula dengan nama fahwa al-khitab dan lahn al-khitab, sebagaimana
dikemukakan oleh ulama Zaidiyyah.akan tetapi Ibnu As-Subki membedakan pengertian keduannya, yang
pertama dimaksudkan untuk masalah tertulis, yang hukumnya lebih utama dan lebih sesuai dari hukum bagi
masalah tertulis, sedangkan yang teakhir dimaksudkan untuk masalah yang sama tingkat hukumnya dengan
masalah lain yang tidak tertulis, perbedaan ini disepakati oleh Asy-Syaukani.
b. Mafhum al-mukhalafah
Penjelasan mafhum ini sudah kami sampaikan dibahasa awal jadi tidak kami ulas kembali. Dan mengenai
mafhum mukhalafah itu ulama Hanafiyah tidak memandang sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash
syara atau menetapkan hukum.alasan mereka adalah :
1. Banyak nash syara yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya
2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melaikan
untuk targib dan terhib.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujah syara maka sustu nash yang telah
menyebutkan suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat
tersebut.
Akan tetapi menurut jumhu ushulliyyin mafhum mukhalafah dapa dijadikan sebagai hujjah syara’, alasannya
antara lain :
1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin iantumkan tanpa tujuan dan sebab.
2. Sikap Rosulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khthab dalam memahami mafhum mukhlafah dari
ayat 101 An-Nisa. Namun Raosulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan diperbolehkan
sekalipun dalam keadaan aman.
3. Harus sesuai dengan syarat. (sudah kami terangkan di atas)

http://hierry-makalah.blogspot.com/2010/01/dilalah-dalam-ushul-fiqih.html

You might also like