You are on page 1of 8

KOMUNITAS SAMIN, PERINTIS SIASAT

PERLAWANAN TANPA KEKERASAN


ORISINIL KHAS INDONESIA
Posted on 28 June 2009 by wongalus

Mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep. Masyarakat mengenalnya dengan


penganut ajaran Samin. Yang luar biasa Logika Pemaknaan Bahasa dijadikan
alat perjuangan tanpa kekerasan.

PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke


Kabupaten Pati Jawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar akan didirikan
tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan
kawasan pertanian.

Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal
besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon,
penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal
dengan AJARAN SAMIN. Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke
meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR.

Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut
Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas
Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang
bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu
diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan
Tompe Gunung.

Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang
usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27
kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati, Minggu, 7 September 2008
lalu.

Hasil pertemuan itu adalah: Sonny Keraf meminta kepada Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke
Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta menyelami inspirasi
warga setempat.

Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan


keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah
termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan
ekologis yang sudah terjaga.

Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno saat diwawancarai harian Kompas (9/7),
mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian
merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. ”Dadi opo anak putuku
kabeh setuju yen ono pembangunan pabrik semen (Jadi apa keturunanku semua
setuju kalau ada pembangunan pabrik semen)?” kata Mbah Tarno. ”Mboten setuju
banget (Sangat tidak setuju),” teriak warga yang memenuhi rumahnya.

Itulah gambaran singkat bagaimana warga Sedulur Sikep. Masih banyak keunikan
lain apabila kita menyelami pola pikir dan pandangan hidup mereka. Dulu, jaman
kolonial, para Sedulur Sikep dicap sebagai SUBVERSIF oleh Pemerintah Kolonial
karena menolak membayar pajak dan sistem pendidikan Belanda. Mereka
mengembangkan siasat linguistik yang khas untuk melawan sehingga diolok-olok
dengan julukan “Wong Samin”. Kini oleh para PEMODAL SEMEN GRESIK para
Sedulur Sikep ini difitnah dan dicap sebagai PROVOKATOR karena menolak
pembangunan pabrik semen. Padahal, para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini
adalah perintis siasat perlawanan ACTIVE NON VIOLENCE orisinil yang khas
indonesia melawan PENJAJAHAN.

Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di
wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan
Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan,
tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur
tersebut juga memiliki MAKNA BUDAYA DAN SEJARAH BAGI MASYARAKAT
SEDULUR SIKEP YANG MEMILIKI EKOLOGI KULTURAL NYA SANGAT
BERELASI DENGAN LINGKUNGAN (GUNUNG).
Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat
lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang
terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan
Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan
pegunungan Kendengan diantaranya WATU PAYUNG yang merupakan simbolisasi
dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan
tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan
Kendeng.

Di sekitar situs watu payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan
kisah pewangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebainya.
Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat WATU
KEMBAR yang berisikan tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak
gunung sambil bermain bintang dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya
puncak gunung dan kemudian runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar.

Selain kisah pewayangan juga terdapat situs yang memiliki kaitannya dengan
ANGLING DHARMA di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo, kemudian ada
GUA JOLOTUNDO yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan Jawa.
Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam SYEH JANGKUNG yang dianggap
sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati.

Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para
penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak
peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran
kultural dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di
wilayah pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo
Pati, hal ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjungan yang hadir di
beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak,
Jepara, dan sekitarnya.

Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah
pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural
dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang
memiliki kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat. Dalam prespektif
ekologi sosial, MITOLOGI LOKAL TERSEBUT MEREDUKSI ALAM MENJADI
BAHASA MASYARAKAT (KEBUDAYAAN) YANG BERBASIS LOKALITAS.
SEHINGGA MENJADIKAN LINGKUNGAN (PEGUNUNGAN) BUKAN SAJA
MEMILIKI KEKUATAN EKOLOGI PERTANIAN (MATA PENCAHARIAN), NAMUN
JUGA TERDAPAT KEKUATAN BUDAYA YANG MENYATU DENGAN KEHIDUPAN
MASYARAKAT.

Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti “Sahabat Sikep” adalah kelompok
masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan
ajaran Samin. Komunitas masyarakat yang disebut Sedulur Sikep ini terbanyak
ditemukan di daerah daerah dan kota antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

@@@@@
SAMIN SUROSENTIKO adalah pencetus gerakan sosial ini. Dia lahir pada 1859
dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora
Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia
mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama
yang bernafaskan wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah
dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang
berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten
Tulungagung) pada 1802-1826. Samin wafat dalam pengasingan (ia diasingkan oleh
Belanda) di kota Padang, Sumatra Barat pada tahun 1914.

Kyai Samin sejak dini gemar bertapa brata, prihatin, suka mengalah dan mencintai
keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas banyaknya nasib rakyat
yang sengsara akibat kebijakan Belanda melakukan privatisasi hutan jati dan
mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Kyai keturunan bangsawan ini dikenal
oleh masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “SAMI-
SAMI AMIN” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika dia melakukan langkah
yang berani untuk membiayai masyarakat miskin dengan caranya sendiri.

Bisa disimpulkan, gerakan sosial ini muncul sebagai akibat atau reaksi dari
pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak
secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban
yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar
pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan,
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.

Komunitas Sedulur Sikep memiliki tiga unsur gerakan; PERTAMA, gerakan mirip
organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan
kekuatan agraris terselubung; Kedua, gerakan tanpa perlawanan fisik yang
mencolok; dan KETIGA, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar
pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria
dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci.

Menurut Sejarahwan Sartono Kartodirjo, Gerakan Samin adalah sebuah epos


perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah
nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.

Pengikut gerakan sosial Samin awalnya memegang lima prinsip perjuangan untuk
meneguhkan identitas melawan kolonial: TIDAK BERSEKOLAH (sekolah kolonial),
TIDAK MEMAKAI PECI, TAPI MEMAKAI “IKET”, YAITU SEMACAM KAIN YANG
DIIKATKAN DI KEPALA MIRIP ORANG JAWA DAHULU, TIDAK BERPOLIGAMI,
TIDAK MEMAKAI CELANA PANJANG, DAN HANYA PAKAI CELANA SELUTUT,
TIDAK BERDAGANG DAN PENOLAKAN TERHADAP KAPITALISME. Seiring
dengan perubahan jaman, lima prinsip ini mengalami penyesuaian, seperti saat ini
warga memiliki kesadaran untuk menuntut ilmu dengan sekolah yang setinggi-
tingginya.

Pandangan hidup Samin bersumber dari berbagai keyakinan seperti Hidhu-Dharma


dan Syiwa-Budha. Juga dipengaruhi oleh ajaran Islam yang berasal dari ajaran Syeh
Siti Jenar yang dibawa yaitu Ki Ageng Pengging sehingga mereka merupakan
bagian masyarakat yang berbudaya tinggi dan religius.
Daerah persebaran ajaran Komunitas Samin diantaranya di Tapelan (bojonegara),
Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes),
Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan) dan lainnya. Ajaran di beberapa
daerah ini merupakan sebuah GERAKAN MEDITASI DAN MENGERAHKAN
KEKUATAN BATINIAH GUNA MENGUASAI HAWA NAFSU.

Pandangan Sedulur Sikep terhadap para leluhur yaitu Kyai Samin moksa ke
kaswargan. Pada momentum perayaan upacara mauludan juga ajang untuk
mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat berpegangan
sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk
dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga.

Bahasa yang digunakan oleh para Sedulur Sikep yaitu bahasa kawi yang ditambah
dengan dialek setempat, yaitu bahasa Jawi Ngoko. Mereka memiliki kepribadian
yang polos dan jujur, selalu menyuguhkan makanan dan tidak pernah minyimpan
makanan yang dimilikinya. Pengatahuan mereka terhadap ritus perkawinan sangat
unik. Para Sedulur Sikep menganggap bahwa dengan melalui ritus perkawinan,
mereka dapat belajar ILMU KASUNYATAN yang selalu menekankan pada dalih
KEMANUSIAAN, RASA SOSIAL DAN KEKELUARGAAN DAN TANGGUNG JAWAB
SOSIAL.

Ritus perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya
untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” atau anak yang mulia. Pengantin pria
mengucapkan kalimat: “Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini)
mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup
bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa hal yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang
sampai sekarang masih dipatuhi. Perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang
menikahkan hanya orang tua pengantin. Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang
Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

“SAHA MALIH DADYA GARAN, (Maka yang dijadikan pedoman), ANGGEGULANG


GELUNGANING PEMBUDI, (untuk melatih budi yang ditata), PALAKRAMA
NGUWOH MANGUN, (pernikahan yang berhasilkan bentuk), MEMANGUN
TRAPING WIDYA (membangun penerapan ilmu), KASAMPAR KASANDHUNG
DUGI PRAYOGÂNTUK, (terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai),
AMBUDYA ATMAJA ‘TAMA (bercita-cita menjadi anak yang mulia), MUGI-MUGI
DADI KANTHI (mudah-mudahan menjadi tuntunan).

Kemajuan harus berorientasi pada PROSES yang memakan waktu, tidak serta
merta berorientasi pada HASIL. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin
seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan adalah kain dengan
dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.

Kepercayaan dan tata cara hidup juga mengalami perkembangan. Kawasan daerah
Pati dan Brebes, terdapat sempalan gerakan sosial yang disebut Samin Jaba dan
Samin Anyar yang telah meninggalkan tata cara hidup Samin dahulu. Selain itu, di
Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep,
mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama
formal, yakni Budha-Dharma.

Beberapa pandangan hidup Komunitas Samin diantaranya; menguasai adanya


kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap
sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan
kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga.
Gerakan sosial Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli
pribumi, yang bebas dari campur tangan kolonialisme, tiada dominasi dunia barat.
Ajaran politiknya yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan
hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani,
hormat dan setia pada dunia intelektual.

Referensi gerakan sosial Samin yang menjadi panduan perilaku adalah SERAT
JAMUS KALIMASADA yang terdiri atas beberapa buku, antara lain SERAT PUNJER
KAWITAN, SERAT PIKUKUH KASAJATEN, SERAT URI-URI PAMBUDI, SERAT
JATI SAWIT, SERAT LAMPAHING URIP, dan merupakan nama-nama serat yang
diugemi.

Dengan mempedomani kitab itulah, gerakan sosial/sikap Samin hendak membangun


sebuah negara batin yang jauh dari sikap DRENGKI SREI, TUKAR PADU, DAHPEN
KEMEREN. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah “LAKONANA SABAR
TROKAL. SABARE DIELING-ELING. TROKALI DILAKONI.”

@@@@

Menurut Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya THE SAMIN
MOVEMENT (1960), ajaran Samin tumbuh tahun 1890-an dan berakar di
Randublatung, sebuah kota kecamatan kecil yang dikelilingi lebat hutan jati 25
kilometer sebelah tenggara kota Blora. Pengikut Samin meyakini bahwa jauh
sebelum kedatangan orang-orang asing, dari Cina, India, Arab dan Eropa, dengan
membawa ajaran agama masing-masing, di Jawa sudah terdapat agama tersendiri.
“Ya agama Jawa itu. Agama Adam,” ujar Mbah Karmidi menerangkan.

Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan, yakni
kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku keseharian
diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup) yang mencakup
“ANGGER-ANGGER PRATIKEL” (hukum tindak tanduk), “ANGGER-ANGGER
PENGUCAP“ (hukum berbicara), serta “ANGGER-ANGGER LAKONANA” (hukum
perihal apa saja yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama berbunyi “AJA
DENGKI SREI, TUKAR PADU, DAHPEN KEMEREN, AJA KUTIL JUMPUT,
MBEDOG COLONG.” Maksudnya, warga dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri
hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “PANGUCAP SAKA LIMA BUNDHELANE ANA PITU LAN
PENGUCAP SAKA SANGA BUNDHELANE ANA PITU.” Maknanya, orang harus
meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka
tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari
segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain
yang mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna. Hukum yang paling akhir
berbunyi “LAKONANA SABAR TROKAL. SABARE DIELING-ELING. TROKALE
DILAKONI.” Warga senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “
bagaikan orang mati dalam hidup”.

Adapun yang menarik ialah logika berpikir yang bisa terlihat dari pemaknaan
bahasanya. Misalnya pengikut gerakan Samin ditanya “umur kakek berapa?” Ia akan
menjawab “Satu untuk selamanya”. Artinya umur manusia itu satu. Umur adalah
hidup dan hidup adalah nyawa. Manusia hanya punya satu umur dan nyawa. Juga
dalam tradisi bertamu, mereka tidak mengenal kata MONGGO (kata yang
mempersilahkan tamu untuk duduk atau masuk), karena menurutnya mereka jika
SESEORANG INGIN DUDUK, YAH DUDUK SAJA. Juga tidak tak perlu menyatakan
terimakasih (matur nuwun dalam bahasa Jawanya) karena pihak pemberi
memberikan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri, bukan berdasarkan
permintaan dari seseorang lainnya.

LOGIKA PEMAKNAAN BAHASA YANG LUGAS INILAH YANG MEMBAWA


GERAKAN SOSIAL INI MENJADI SEBENTUK PERLAWANAN PADA KESEWANG-
WENANGAN. Sebagai contoh seorang aparat desa di masa tahun 1900-an meminta
agar warga membayar pajak sewa tanah yang digarapnya. Lalu warga menggali
tanahnya serta memasukkan uang ke lubang dan menutupnya. “mengapa kamu
menguburkan uang di dalam tanah?” tanya aparat desa itu. Para pengikut Samin itu
menjawab “tanah itu milik bumi, jadi saya harus bayar sewa tanah pada bumi, bukan
pada penjajah”.

Seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang pada Desember 1914 (dalam


Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya THE SAMIN MOVEMENT),
mencatat peristiwa seorang patih yang sedang memeriksa seorang Samin di
pengadilan karena dirinya tak mau membayar pajak.

+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”


- saya tak hutang kepada negara”
+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”
- “Wong Sikep (warga pengikut Samin) tak kenal pajak
+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “
- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”
+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
- Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
+ Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup
uang, tak mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”
- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan
membetulkannya sendiri.”
+ Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
- Wong Sikep tak kenal pajak.”

Mencermati sejarah gerakan para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini, rakyat
Indonesia harusnya berguru kepada mereka. Ternyata BAHASA mampu menjadi
alat untuk melakukan sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. CARA-
CARA YANG SANTUN TANPA KEKERASAN dalam berjuang ini mengingatkan kita
pada gerakan sosial Mahatma Gandhi di India yang fenomenal itu. SEMOGA
SAUDARA SEDULUR SIKEP SELALU DIBERIKAN KEKUATAN OLEH TUHAN
UNTUK TETAP MENGEMBANGKAN MODEL PERJUANGAN YANG SANTUN,
SALING ASAH ASIH DAN ASUH YANG TELAH DICONTOHKAN PARA
PENDAHULU MEREKA YANG KINI TELAH MOKSA.

Wong Alus

–Artikel ini hasil interpretasi yang bersumber dari literatur-literatur skunder.


Monggo dikoreksi bersama bila salah dan mohon maaf bila kurang berkenan.

Posted in SEDULUR SIKEP SAMIN | Tagged ajaran samin, komuniitas samin,


komunitas samin, pandangan hidup samin, samin, sedulur sikep, sedulur sikep.
sikap samin, tuhan samin | 10 Comments

You might also like