Professional Documents
Culture Documents
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia yang dibina oleh
Muh. Fatoni Rohman, S.Pd
Oleh
Khori Widayanti
NIM 0710963019
HALAMAN SAMPUL
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Topik Bahasan 3
1.3 Tujuan 3
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kesantunan 4
2.2 Kesantunan Berbahasa 5
2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa 6
2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia Disekitar Kita dengan Mengaplikasikan
Teori Kesantunan 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 15
3.2 Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada
yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu
mengungkapkan sebagian besar pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan
karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu
menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya
tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alat
komunikasi.
Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa
menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika
berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik
menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang
sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar,
dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi
kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang
tidak baik dan tidak santun. Dalam kesantunan berbahasa ada beberapa teori yang
mendasarinya yaitu teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.
Adapun topik bahasan dalam makalah ini adalah mengkaji penggunaaan Bahasa
Indonesia yang ada di sekitar kita dengan mengaplikasikan 4 teori kesantunan yaitu; teori
Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar kita mengetahui kesantunan dalam berbahasa
dengan cara mengkaji penggunaan Bahasa Indonesia yang ada disekitar kita dengan
menerapkan teori dari beberapa pakar.
3
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
4
berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan,
tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti
antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara
tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat
(bertindak) dan cara bertutur (berbahasa).
5
mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang
sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.
Beberapa teori yang mendasari kesantunan berbahasa yaitu teori Lakoff, teori
Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice.
6
2. Penggunaan muka (face) dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif dan
strategi kesantunan negatif.
B. Teori Yueguo Gu
Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan
norma-norma kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat preskriptif dalam konsep
Cina limao (politeness) dan terikat pada ancaman sangsi moral dari masyarakat.
1. Nosi muka (face) di dalam konteks cina tidak dianggap sebagai keinginan (want)
psikologis, tetapi sebagai norma-norma kemasyarakatan.
2. Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif.
3. Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam
jika individu gagal memenuhi standar yang ditentukan masyarakat.
Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenai
sikap hormat (respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus
(warmth and refinment). Ada empat maksim dalam teori Gu:
a. Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri dan
meninggikan orang lain.
b. Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yang
sesuai.
c. Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur.
d. Maksim kedermawana yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan
keuntungan antara penutur dan mitra tutur.
C. Teori Pranowo
Menurut Pranowo (2008), fakta pemakaian Bahasa Indonesia yang santun
dapat diidentifikasi dari :
1. Pembicaraan wajar dengan akal sehat, yaitu bertutur secara santun tidak perlu
dibuat-buat tetapi sejauh penutur berbicara, secara wajar dengan akal sehat,
tuturan akan terasa santun.
2. Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, sehingga kalimat
tidak perlu berputar-putar agak pokok masalah tidak kabur.
3. Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur.
4. Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum.
7
5. Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas
sambil menyindir.
6. Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.
Selain itu, ada pula fakta bahwa pemakaian BI yang santun ditandai dengan
pemakaian bahasa verbal, seperti :
perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh orang lain,
ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang
diinginkan oleh penutur,
penyebutan kata ”bapak, Ibu” dari pada kata ”Anda”,
penyebutan kata ”beliau” dari pada kita ”dia” untuk orang yang lebih
dihormati,
pergunakan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang dimungkinkan dapat
merugikan mitra tutur.
Di samping bentuk-bentuk verbal seperti di atas, perilaku santun juga dapat
didukung dengan bahasa non-verbal, seperti :
- memperlihatkan wajah ceria,
- selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara,
- sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur,
- posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang).
Pemakaian bahasa non-verbal seperti itu akan dapat menimbulkan ”aura santun”
bagi mitra tutur.
D. Teori Grice
Grice (1978) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus
memperhatikan prinsip kerja sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus
memperhatikan :
1. Prinsip kualitas. Artinya, jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang
lain, informasi yang disampaikan harus didukung dengan data.
2. Prinsip kuantitas, artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang
dikomunikasikan harus sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak
kurang.
8
3. Prinsip relevansi (hubungan), artinya ketika berkomunikasi yang dibicarakan
harus relevan atau berkaitan dengan yang dsedang dibicarakan dengan mitra
tutur.
4. Prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus
ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara menyampaikan.
Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah
yang dibicarakan sangat bagus dan menarik, namun jika cara menyampaikan
justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan
terasa kasar, atau cenderung melecehkan, tujuan komunikasi dapat tidak tercapai.
2.4 Penggunaan Bahasa Indonesia Disekitar Kita dengan Mengaplikasikan Teori Kesantunan
2.4.1 Teori Lakoff
Aplikasi atau penerapan dari teori Lakoff dalam berbahasa sehari-hari antara lain :
a. Kaidah Formalitas atau “ jangan memaksa ”
- “ Tolong ambilkan buku saya dimeja ya “ lebih santun dari pada “ Ambilkan
buku saya dimeja “
- “ Permisi, bias saya liat SIM dan STNKnya ” lebih santun dari pada “ Lihat
SIM dan STNKnya ”
b. Kaidah Ketidaktegasan
- “ Silahkan kerjakan ini sekarang atau besok “ lebih santun dari pada “
Kerjakan ini sekarang juga! ”
- “ Berikan surat ini ke pak RT besok atau lusa” lebih santun dari pada “
Kasihkan surat ini ke pak RT besok! ”
c. Kaidah Persamaan/ Kesekawanan
- “ Selamat pagi buk, habis dari pasar ya, banyak sekali bawaannya” lebih
santun dari pada “ belanja apa mborong buk, banyak sekali bawaannya”
- “ Silahkan masuk, anggap saja rumah sendiri “ lebih santun dari pada “
Masuk aja! “
9
dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama (SBY, Jawa Pos,
1/4/2008:1)
- Selama masih ada korupsi, selama itu pula kesejahteraan belum tercapai
(Kholiq Arif, Suara Merdeka, 02/05/08).
Data di atas menandakan bahwa penutur berbicara secara wajar, tidak perlu
berbunga-bunga, tidak dilebih-lebihkan tetapi dapat diterima oleh akal sehat.
b. Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan
- Tak ada masalah, silakan saja. Kita tidak asal menangkap, tapi sudah
didasarkan pada bukti awal yang cukup kalau tersangka membantah, itu
haknya (Johan Budi, Juru Bicara KPK, KR, hal 28, 02/05/08).
- Kalau masalah korupsi, asal atasannya tegas, tentu yang bawahan tidak
ikut ikutan (Bambang Sadono, Suara Merdeka, 02/05/08).
Data di atas mencermikan bahwa setiap bertutur ada masalah pokok yang
dikemukakan.
c. Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur
- Saya merasa sedih, kecewa atas peristiwa itu karena nila setitik rusak susu
sebelanga (Hendarwan, Jaksa Agung; Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008).
- Voting juga merupakan bentuk demokrasi. Jadi kalau tidak ada kata
mufakat dalam musyawarah, maka voting bisa juga” (Jusuf Kalla, Wakil
Presiden RI; Kedaulatan Rakyat, 3 Maret 2008).
Komunikasi akan santun jika antara penutur dengan mitra tutur dalam berbicara
selalu berprasangka baik satu sama lain.
d. Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum
- Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya
kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah
semua. Seperti zaman kegelapan (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1
Data di atas menunjukkan bahwa penutur menyampaikan kritik secara terbuka
dan mau menerima kritik secara terbuka pula. Namun penutur juga berusaha
mendudukkan permasalahan kritik secaraproporsional dengan mengatakan “…
analisisnya kok sepertimenyatakan bahwa yang dilakukan oleh pemerintah salah
semua…”. Meskipun berisi kritik secara terbuka dan relatif keras, masih dapat
dikatakan berkadar santun karena tidak ada person yang “ditohok” secara
langsung (kiritik umum). Dengan demikian, komunikasi yangsantun tidak harus
menghindari penyampaian kritik. Sejauh kritik itu disampaikan secara terbuka,
10
dan bersifat umum, kritik tidak ditujukan kepada seseorang secara langsung,
tuturan tetap dapat dirasakan sebagai tuturan yang santun.
e. Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas
sambil menyindir
- Saya sangat berterima kasih kepada negeri ini. Tidak ada lagi ambisi saya
secara ekonomi dan politik. Sebagi non-pri, jabatan politik saya saat itu
sudah yang tertinggi sebagai anggota DPR. Nggak mungkin naik lagi.
Demikian pula dengan ambisi ekonomi, sudah cukuplah yang saya punya
ini (Sofjan Wanadi, Ketua Umum Apindo (2008-2013); Jawa Pos,
30/3/2008:14)
- Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya
kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah
semua. Seperti zaman kegelapan (SBY, Presiden RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1)
f. Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius
- Saya minta sekali lagi, jangan ada dusta di antara kita. Pemerintah kurang
bagus, saya akan bikin bagus. All-out, segala tenaga. Harapan saya, tema
dunia usaha juga begitu, melakukan langkah yang sama (SBY, Presiden
RI; Jawa Pos, 1/4/2008:1).
- Ibu Mega sempat bertanya, apakah Bibit dan mbak Rustri bias menang.
Beliau bilang, “Awas Tjahjo,kalau sampai kalah, aku ‘sembelih’ kamu,”
ungkap Puan ketika memberi sambutan menggantikan Megawati. (Puan
Mahaarani, Suara Merdeka, 03/03/08).
Data di atas menggambarkan bahwa penutur sebenarnya sedang berbicara serius
tetapi disampaikan secara berkelakar/bercanda.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, banyak sekali kekurangan, oleh karena itu untuk
pengkajian lebih ulang diharapkan dapat terlengkapi kekurangan-kekurangan tersebut.
Untuk perpustakan Brawijaya sebaiknya menambah koleksi buku yang membahas
tentang teori-teori kesantunan.
15
DAFTAR PUSTAKA
16