You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya hubungan antara pengusaha dan pekerja/ buruh adalah


hubungan kerjasama untuk menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan.
Pekerja/ buruh berperan dalam mengolah modal yang dimiliki oleh Pengusaha
baik berupa uang atau barang baku yang kemudian dirubah menjadi barang dan
jasa yang dibutuhkan. Topik yang menarik untuk dibahas dalam pola hubungan
antara buruh dan pengusaha salah satunya adalah mengenai sistem pengupahan
pengusaha kepada buruh.

Dalam membahas menganai Upah, tidak hanya Pengusaha dan pekerja/


buruh yang mempunyai kepentingan, namun pemerintah, serta masyarakat juga
umumnya sama-sama mempunyai kepentingan atas sistem ini. Pengusaha
berkepentingan dalam hal pengelolaan modal yang dimilikinya, bagaimana dapat
mengelola modal yang dimilikinya sebaik mungkin dengan memperoleh hasil
yang maksimal. Pekerja dan keluarganya sangat tergantung pada upah yang
mereka terima untuk dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, perumahan
dan kebutuhan lain. Pemerintah dalam hal ini berkepentingan dengan kebijakan
pengupahan dan terkait juga dengan pemenuhan standar kemakmuran rakyatnya.
Sedangkan masyarakat adalah bentuk keseluruhan dari pemerintah, pengusaha
dan pekerja/ buruh yang akan mengalami dampak dari sistem pengupahan yang
dibangun.

Dalam hal perumusan mengenai upah, pekerja/ buruh memiliki


kecenderungan yang saling berbeda. Pekerja memiliki kecenderungan untuk
mendapatkan upah yang banyak untuk mencapai penghidupan yang baik.
Pengusaha memiliki kecenderungan untuk memberikan upah yang rendah kepada
pekerja karena upah dipandang sebagai pengurang keuntungan yang didapatkan.
Semakin besar upah yang diberikan, maka semakin besar juga biaya yang harus
dikeluarkan oleh Pengusaha, hal ini berarti juga keuntungan yang akan
diperolehnya akan berkurang.

1
Menghadapi hal ini, Pemerintah terkadang harus turun tangan melalui
kebijakannya, karena masalah pengupahan akan membawa pengaruh juga kepada
tingkat kemakmuran masyarakat dan negara. Dalam hal ini Pemerintah lebih
banyak bersikap sebagai penengah diantara kepentingan Pengusaha dan Pekerja/
buruh yang saling berseberangan tersebut. Pemerintah harus dapat bersikap adil
dalam mengeluarkan kebijakannya terkait dengan masalah pengupahan ini.
Apabila pemerintah terlalu berpihak kepada Pengusaha, maka kebijakannya
tersebut akan membawa pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan apabila Pemerintah terlalu berpihak kepada Pekerja/ buruh, maka
kebijakannya tersebut akan menghambat pembangunan ekonomi secara makro.

Dalam keadaan seluruh faktor produksi terpakai, sistem pengupahan


antara Pengusaha dan Pekerja/ buruh lebih banyak didasarkan atas kesepakatan
antara kedua belah pihak dimana posisi tawar kedua pihak tersebut sama-sama
kuat. Pengusaha membutuhkan pekerja/ buruh untuk menggerakkan pengolahan
modalnya. Sedangkan pekerja/ buruh membutuhkan pengusaha untuk membantu
meningkatkan kesejahteraannya dan pemenuhan kebutuhan pekerja/ buruh
tersebut.

Keadaan seimbang dimana Pengusaha dan Pekerja/ buruh yang saling


membutuhkan tersebut sangat jarang terjadi. Di Indonesia misalnya sebagai
negara yang menduduki peringkat ke-4 dalam jumpah penduduk didunia tentunya
memiliki potensi Sumber Daya Manusia (pekerja/ buruh) yang sangat besar,
sedangkan pertumbuhan ekonominya tidak sebesar jumlah penduduknya. Oleh
karena itu hubungan yang tercipta adalah seakan-akan pekerja/ aburuh yang
membutuhkan pekerjaan dan upah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam
kondisi demikian, Pengusaha lebih mempunyai posisi tawar yang lebih besar
dibandingkan dengan pekerja/ buruh. Oleh karena itu Pengusaha cenderung untuk
menurunkan upah yang diberikan kepada pekerja/ buruh, sedangkan pekerja/
buruh tidak bisa memberikan pilihan yang lebih baik dikarenakan dengan
kebutuhannya akan upah tersebut.

Menyikapi keadaan yang tidak seimbang tersebut, Pemerintah melalui


kebijakannya harus membantu pekerja/ buruh memperbaiki posisi tawarnya

2
tersebut atau paling tidak melindungi tingkat kesejahteraanpekerja/ buruh yang
notabene merupakan warga negara butuh perlindungan dan pemenuhan
kesejahteraan. Salah satu kebijakan Pemerintah tersebut adalah penetapan standar
upah minimum pekerja/ buruh. Pemerintah berharap agar pekerja/ buruh dalam
situasi tawar yang lemah dapat terlindungi kesejahteraannya. Kelompok kami
tertarik untuk menganalisis implementasi penerapan kebijakan penetapan upah
minimum di Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial.

3
BAB. II

KERANGKA TEORI

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam


bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan dari
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.

Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana atau instrumen


kebijaksanaan yang cocok untuk mencapai kepantasan dalam hubungan kerja.
Tujuan penetapan upah minimum adalah untuk:

a. Menghindari atau mengurangi persaingan yang tidak sehat sesama pekerja


dalam kondisi pasar kerja yang surplus, sehingga mereka bersedia
menerima upah di bawah tingkat kelayakan;
b. menghindari atau mengurangi kemungkinan eksploitasi pekerja oleh
pengusaha yang memanfaatkan kondisi pasar untuk akumulasi
keuntungannya;
c. sebagai jaring pengaman untuk menjaga tingkat upah karena satu dan lain
hal jangan turun lagi;
d. mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja, terutama bila upah
minimum tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dasar pekerja dan

4
keluarganya;
e. mendorong peningkatan produktivitas baik melalui perbaikan gizi dan
kesehatan pekerja maupun melalui upaya manajemen untuk memperoleh
kompensasi atas peningkatan upah minimum;
f. meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum;
g. menciptakan hubungan industrial yang lebih aman.

Maksud besar penetapan upah minimum ini adalah memberikan jaminan


kesejahteraan bagi pekerja/ buruh dalam situasi tawar dengan pengusaha yang
kurang menguntungkan. Kebijakan ini bertujuan menciptakan suasana yang
berkeadilan diantara Pengusaha, Pekerja/ buruh. Dalam pembahasan ini,
kelompok kami menyimpulkan bahwa ukuran keadilan dalam penetapan upah
adalah para pihak yang terkait dalam masalah pengupahan ini tidak saling
merugikan satu sama lainnya. Kelompok kami juga akan menganalisis penetapan
kebijaksanaan upah minimun untuk mencapai keadilan sosial dengan
menggunakan beberapa teori, yaitu:

A. Teori dan Hukum Penawaran dan Permintaan

Teori pengupahan pada dasarnya masih tetap berlandaskan hukum


penawaran dan permintaan yang dikembangkan oleh Adam Smith (1723-
1790). Teori adam Smith termasuk dalam teori klasik yang didasarkan pada
pertumbuhan penyediaan atau penawaran faktor produksi. Teori dan hukum
penawaran dan permintaan tersebut didasarkan pada asumsi pasar sempurna
dan mobilitas tenaga kerja secara sempurna. Bila upah disuatu sektor ekonomi
atau disuatu daerah tertentu lebih rendah dari upah di sektor daerah lain, maka
sebagian pekerja akan berpindah.

Teori ini hanya bisa mencerminkan keadilan sosial apabila penawaran


dan permintaan tersebut didasarkan pada asumsi pasar sempurna dan mobilitas
tenaga kerja secara sempurna, artinya pengusaha dan pekerja/ buruh tidak
saling membutuhkan. Pengusaha bebas untuk mengganti pekerja/ buruhnya
dan pekerja/ buruh dapat berpindah ke pekerjaan lain yang menawarkan upah

5
yang lebih menarik. Lalu, apa yang akan terjadi apabila pemerintah menarik
kebijakan penetapan upah minumum? Apakah kebijakan tersebut akan
mengacaukan proses tawar menawar antar pengusaha dan pekerja/ buruh.
Buruh akan lebih merasa aman dengan posisi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, sebaliknya pengusaha belum tentu dapat secara finansial
mencapai kemampuan memberikan upah minimum yang ditetapkan
pemerintah. Kemudian apakah dari kekacauan proses penawaran dan
permintaan tersebut akan menghasilkan implementasi kebijakan yang
berkeadilan sosial?

B. Teori Investasi Sumberdaya Manusia

Teori Investasi Sumberdaya manusia didasarkan pada asumsi bahwa


setiap tambahan investasi sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan,
latihan, pengalaman kerja serta gizi dan kesehatan akan menambah
kemampuan berproduksi dari orang yang bersangkutan. Dengan kata lain,
produktifitas kerja atau produk yang dihasilkan oleh seseorang, berbanding
lurus dengan akumulasi investasi sumberdaya manusia yang dialami oleh
orang tersebut. Semakin besar akumulasi investasi sumberdaya manusia yang
dialamu seseorang, semakin tinggi produktifitas kerjanya.

Upah merupakan imbalan atas nilai produk yang dihasilkan oleh


seseorang. Semakin tinggi produktivitas kerja seseorang, semakin tinggi pula
upahnya. Dengan kata lain, tingkat upah berbanding lurus dengan
produktivitas kerja dan dengan demikian berbanding lurus dengan akumulasi
investasi manusia. Apa yang akan terjadi apabila Pemerintah menetapkan upah
minimum, dikhawatirkan pengusaha akan cenderung merasa aman bila
memberikan upah yang telah memenuhi standard minimum, sedangkan
pekerja cendeung tidak termotivasi untuk meningkatkan produktifitasnya
karena telah merasa aman dengan batasan upah minimum yang diberikan oleh
pemerintah.

C. Teori Upah Kontekstual

6
Tingkat upah dipengaruhi oleh kondisi pekerja, kondisi perusahaan
dan berbagai faktor ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Tingkat upah
dipengaruhi oleh kualitas atau produktivitas pekerja sebagai wujud dari
akumulasi pendidikan, latihan dan pengalaman kerjanya. Tingkat upah juga
dipengaruhi oleh kondisi perusahaan, teknologi yang digunakan dan kualitas
manajemen di perusahaan tersebut. Peran serikar pekerja, tingkat upah
diperusahaan lain dan kebijaksanaan Pemerintah dapat pula mempengaruhi
pengupahan di suatu perusahaan.

Apa yang akan terjadi apabila Pemerintah menetapkan upah


minimum, dikhawatirkan pengusaha akan cenderung merasa aman bila
memberikan upah yang telah memenuhi standard minimum, sedangkan
pekerja cendeung tidak termotivasi untuk meningkatkan kualitas kerjanya
karena telah merasa aman dengan batasan upah minimum yang diberikan oleh
pemerintah.

7
BAB. III

FAKTA DAN MASALAH

I. Masalah yang Muncul dari Kebijakan Penetapan Upah Minimum.

Dari pemaparan yang telah disinggung sebelumnya pada Bab Kerangka


Teori, kelompok kami menyimpulkan masalah utama yang terkait dengan
penetapan upah minimum, yaitu:

1. Apakah Kebijakan pemerintah menetapkan upah minimum telah


mencerminkan keadilan sosial bagi masyarakat?

8
Untuk menjawab masalah tersebut, kelompok kali akan menganalisis
berdasarkan fakta empiris yang terjadi dan menganalisis secara yuridis mengenai
kebijakan pemberian upah di Indonesia. Dari pembahasan itulah maka dapat
diambil kesimpulan mengenai keadilan sosial kebijakan pemerintah enetapkan
upah minimum tersebut.

II. Pembahasan

A. Fakta Penerapan Kebijakan Upah Minimum

Untuk mengetahui fakta empiris dari penerapan kebijakan upah minimum,


maka kelompok kami mengutip hasil penelitian lembaga penelitian SMERU
dengan dukungan dari USAID /PEG yang meneliti tentang “Dampak Kebijakan
Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah
Perkotaan Indonesia.

Dari hasil analisis statistik penelitian ini menunjukkan kenaikan upah


minimum telah mendongkrak upah pekerja kasar. Adanya hubungan yang positif
antara tingkat upah minimum dan tingkat upah rata-rata juga ditemukan di
berbagai kelompok pekerja lainnya, misalnya pekerja perempuan, muda usia,
berpendidikan rendah, dan pekerja kerah putih (white collar worker). Namun
hubungan positif tersebut secara statistik tidak nyata. Hal ini tidak berarti bahwa
upah minimum tidak berpengaruh terhadap upah pekerja secara individu, tetapi
pengaruh tersebut berbeda-beda antar pekerja. Upah beberapa pekerja terangkat
oleh adanya upah minimum, sementara upah pekerja lainnya malah tertekan,
sehingga pengaruhnya menjadi tidak nyata pada upah rata-rata keseluruhan
pekerja.

Berbeda dengan dampak terhadap upah, hasil analisis statistik


menunjukkan bahwa:

- Kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga


kerja di sektor formal perkotaan, dengan perkecualian bagi pekerja kerah
putih.

9
- Dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang
mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga
kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja
berpendidikan rendah. Perlu diingat bahwa mereka ini merupakan mayoritas
dari pekerja di Indonesia, baik di sektor formal maupun sektor informal.

- Pekerja kerah putih (white colar worker) adalah satu-satunya kategori pekerja
yang mendapat keuntungan dari upah minimum dalam hal penyerapan tenaga
kerja.

- Setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses


produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat
modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling keterkaitan
antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih yang lebih
tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal.
Dengan demikian, adanya kenaikan tingkat upah minimum maka perusahaan
akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja
kerah putih.

Karakteristik-karakteristik perusahaan sangat mempengaruhi


penerapan peraturan upah minimum di tingkat perusahaan. Secara umum,
perusahaan-perusahaan di sektor padat modal membayar upah lebih tinggi,
dan karena itu menunjukkan penerapan peraturan upah minimum yang lebih
tinggi daripada perusahaan-perusahaan di sektor padat karya. Ukuran
perusahaan juga merupakan faktor penentu dalam penerapan peraturan upah
minimum. Umumnya perusahaan yang lebih besar akan lebih mampu
membayar upah lebih tinggi, dan karena itu penerapan peraturan upah
minimumnya lebih baik daripada perusahaanperusahaan kecil. Perusahaan-
perusahaan modal asing juga umumnya membayar upah lebih tinggi dan
menerapkan peraturan upah minimum secara lebih efektif dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan domestik.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang menjual produknya ke


pasar ekspor rata-rata membayar upah lebih tinggi dan menerapkan peraturan

10
upah minimum lebih baik daripada perusahaanperusahaan yang hanya
mengincar pasaran domestik. Namun, temuan-temuan mengenai perusahaan-
perusahaan padat modal, perusahaan asing, dan eksportir ini ternyata lebih
diakibatkan karena perusahaan-perusahaan tersebut masuk dalam kategori
sampel perusahaan skala besar. Analisis ekonometrik menunjukkan bahwa
skala perusahaan adalah penentu utama kemampuan perusahaan dalam
menerapkan peraturan upah minimum. Pekerja di perusahaan skala menengah
memiliki 21% kemungkinan lebih tinggi untuk memperoleh upah di atas upah
minimum daripada pekerja di perusahaan skala kecil. Demikian pula, pekerja
di perusahaan skala besar mempunyai 44% kemungkinan lebih tinggi untuk
menerima upah di atas upah minimum daripada pekerja di perusahaan skala
kecil.

Kkarakteristik-karakteristik pekerja juga mempengaruhi penerapan


peraturan upah minimum oleh perusahaan. Pekerja pria rata-rata digaji lebih
tinggi dari upah minimum dan hanya sedikit dari pekerja pria yang menerima
upah di bawah upah minimum dibanding dengan pekerja perempuan.
Hubungan U-terbalik yang sering ditemui antara usia dan upah juga tampak
jelas dalam studi ini. Upah mulamula meningkat seiring dengan
meningkatnya umur, tetapi kemudian menurun kembali pada tingkat umur
yang semakin tua. Pendidikan juga merupakan faktor penentu yang penting
dalam penetapan upah. Mereka yang hanya berpendidikan tidak lebih tinggi
dari sekolah lanjutan tingkat pertama rata-rata dibayar sekitar upah minimum.
Kemudian, ditemukan adanya hubungan yang positif antara pengalaman kerja
dengan tingkat upah yang diterima. Akan tetapi, analisis ekonometrik
mengidentifikasi jender sebagai variabel utama yang mempengaruhi apakah
seorang pekerja dibayar di atas upah minimum atau tidak. Pekerja perempuan
mempunyai 19% kemungkinan lebih rendah untuk dibayar di atas upah
minimum dibanding dengan pekerja laki-laki. Dengan demikian, baik
karakteristik-karakteristik perusahaan maupun pekerja sama-sama
mempengaruhi kemungkinan apakah seorang pekerja dibayar sesuai dengan
atau lebih rendah daripada upah minimum.

11
Survei kualitatif menemukan bahwa jenis kontrak kerja yang
mencerminkan hubungan kerja antara perusahaan dan pekerjanya juga
mempunyai konsekuensi penting terhadap kesejahteraan pekerja. Pekerja
harian lepas menerima upah rata-rata sekitar upah minimum dan sekitar 44%
dari pekerja dalam kategori ini dibayar lebih rendah daripada upah minimum.
Sebaliknya, pekerja bulanan tetap umumnya menerima upah lebih tinggi
daripada kategori pekerja-pekerja lainnya. Menurut responden dari
perusahaan, cara penetapan kebijakan upah minimum akhirakhir ini telah
menghambat perkembangan sejumlah perusahaan, sehingga menghambat
peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen.

Kebijakan upah minimum juga telah menjadi salah satu penyebab


utama perselisihan perburuhan. Sebelum krisis, upah minimum ditetapkan
sekali setiap tahun. Namun baru-baru ini dibeberapa wilayah tingkat upah
minimum telah diubah lebih dari satu kali dalam setahun. Akibatnya, hal ini
menimbulkan masalah bagi perusahaan dalam melakukan perencanaan dan
memperkirakan aliran dana. Disamping itu, hal ini juga menimbulkan
kesulitan bagi perusahaan-perusahaan yang sudah menandatangani kontrak
dengan pembeli. Perhitungan biaya dalam kontrak tidak memasukkan
kenaikan tingkat upah yang tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga
menyebabkan kerugian bagi perusahaan.

Upah minimum tampaknya juga telah mengurangi insentif bagi


pekerja untuk meningkatkan produktivitas. Sejak akhir tahun 1980an tingkat
upah minimum sudah mengalami kenaikan dengan cepat sehingga telah
mencapai satu titik dimana upah minimum menjadi tingkat upah yang berlaku
bagi sebagian besar pekerja. Hal ini terutama terjadi di perusahaan-
perusahaan skala menengah dan kecil. Semua pekerja tidak terampil dan
setengah terampil di perusahaan-perusahaan ini kini menerima upah yang
kurang lebih sama besarnya, yaitu upah minimum. Akibatnya, hal ini telah
membatasi kemampuan perusahaan untuk menggunakan upah sebagai sistem
insentif untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Juga terdapat
kekhawatiran bahwa hal ini akan menimbulkan disinsentif bagi pekerja yang

12
lebih produktif. Akhirnya, hal ini dapat menyebabkan penurunan
produktivitas secara keseluruhan di perusahaanperusahaan tersebut.

Dampak upah minimum terhadap perusahaan berbeda antar sektor.


Dampak yang paling besar terjadi pada sektor-sektor yang padat karya.
Namun, perusahaan-perusahaan di sektor ini tidak mempunyai banyak pilihan
selain mentaati peraturan upah minimum, sekalipun sesungguhnya mereka
kesulitan untuk membayar upah pekerja pada tingkat itu. Tetapi, biaya bila
tidak mematuhi peraturan diperkirakan akan lebih besar karena kemungkinan
akan terjadinya perselisihan perburuhan.

Secara teoritis, bagi perusahaan yang sedang menghadapi kesulitan


untuk menerapkan peraturan upah minimum memang peraturan memberi
kesempatan untuk mengajukan permohonan penundaan sementara. Namun,
persyaratan untuk mendapatkan ijin penundaan ini sulit dipenuhi dan
biayanya sangat mahal, sperti harus adanya audit oleh akuntan publik.
Disamping itu, penundaan cenderung mengundang protes dan pemogokan
pekerja, sehingga akan mengganggu kegiatan produksi dan mengakibatkan
keterlambatan pengiriman produk kepada pemesan.

Kombinasi antara hubungan perburuhan yang penuh masalah dan semakin


banyaknya peraturan ketenagakerjaan yang cenderung memberatkan
perusahaan akhir-akhir ini telah menjadi keprihatinan banyak perusahaan.
Perusahaan tidak hanya harus menerapkan peraturan mengenai upah
minimum, tetapi mereka juga menghadapi kesulitan untuk mempertahankan
pekerja mereka, terutama karena adanya peraturan mengenai uang pesangon
yang mendorong pekerja untuk keluar dari pekerjaannya hanya karena ada
perselisihan kecil dengan pihak manajemen. Untuk mengatasi masalah ini,
beberapa perusahaan telah memilih untuk mengubah sistem kepegawaian
mereka, yaitu dengan cara lebih banyak menggunakan pekerja borongan.

B. Analisis Yuridis Kebijakan Pemberian Upah di Indonesia

13
Terdapat hal-hal yang menjadi kendala untuk dapat terwujudnya
tujuan yang ideal dari undang-undang No. 13 tahun 2003 tersebut karena
masih terdapat aturan-aturan dalam pasal-pasalnya yang belum jelas dan
kontradiktif dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

1. Perumusan pasal yang yang tidak jelas

Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No, 13 Tahun 2003 mengatur bahwa :

"Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi


penghidupan yang layak bagi kemanusiaan"

Belum ada kriteria atau parameter yang dapat digunakan sebagai


penetapan kehidupan yang layak berikut jenis-jenis kebutuhan untuk setiap
komponen. Sebaiknya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
dijelaskan secara gamblang hal-hal apa saja yang seharusnya dipenuhi
dalam menetapkan kebutuhan hidup yang layak karena Kebutuhan hidup
yang layak dapat meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas
perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas
nasional.

Adanya penetapan Upah Minimum aebagaimana diatur dalam


Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 juga pada
prakteknya masih belum memenuhi rasa keadilan para pihak yang terlibat
dalam hubungan kerja.

Penetapan upah minimum kemudian upah minimum regional


(UMR) atau upah minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota
(UMK) mengacu pada UU Otonomi Daerah no, 22 tahun 1999. Intervensi
pemerintah dalam hal ini ditunjukkan untuk menghilangkan kesan
eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar dibawah standar
hidupnya. Nilai UMR, UMD dan UMK ini biasanya dihitung bersama
berbagai pihak yang merujuk kepada kebutuhan fisik Minimum Keluarga
(KFM), kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau kondisi lain didaerah
yang bersangkutan.

14
Penetapan UMR sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari
realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh.
Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi,
seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam
mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan
UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh malas untuk
memaksa pengusaha memberikan gaji minimal, meski perannya dalam
kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi). Di sisi
lain UMR dan UMD skerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran
gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan
tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu
perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata
tidak serta merta menghilangkan masalah gaji/ upah ini. Hal ini terjadi
disebabkan oleh:

a). Pihak pekerja , yang mayoritasnya berkualitas rendah dalam kuantitas


yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup
dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Akhirnya besaran gaji hanya
ditentukan oleh pihak pengusaha dan kaum buruh berada di posisi sulit
menolak;

b). Pihak pengusaha sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR
mengingat meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah,
pengusaha tetap harus membayar sesuai dengan batas tersebut.

c). Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan
dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh
pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan dan pengetahuan para
buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan.

d). Kebutuhan hidup yang juga memang bervariasi dan bertambah tetap
saja tidak dapat dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari
masalah ini adalah pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan
dasar kehidupan masyarakat.

15
2. Pengecualian Asas No Work No Pay

Beadasarkan Pasal 93 (2) buruh/ pekaaja berhak atas upah penuh


selama tidak masuk kerja sebagai pengecualian asas No Work No Pay.
Namun penggunaan hak tersebut tidak dapat dilaksanakan jika hak
pengecualian asas No Work No Pay tersebut tidak diatur dalam perjanjian
kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Hal ini diatur
dalam Pasal 93 (5) yang menentukan: "Pengaturan pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pengaturan Pelaksaan
Pasal 93 ayat (2) dalam Perjanjian Kerja, pexatuaaa Perusahaan, perjanjian
Kerja bersama tersebut di atas bertentangan dengan Undang-Undang No.
10 Tahun 2005 yang mengatur hierarki Peraturan Perundang-undangan
yang tidak memasukkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan
perjanjian kerja bersama ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Peraturan Pelaksana dari Undang-undang No, 13 Tahun 2003 ini
seharusnya dituangkan dalam Peraturan Pemerantah atau minimal
dalam Keputusan Presiden.

3. Inkonsistensi antara Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dengan salah


satu peraturan pelaksanaannya.

Dalam Pasal 1 angka 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003


diatur bahwa upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.

Disisi lain dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun


1981 diatur bahwa upah adalah suatu pemerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaanatau jasa yang telah

16
dilakukan atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang
yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-
undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha
dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun
keluarganya.

Dari uraian diatas jelas upah diberikan dalam bentuk uang, namun
secara normatif masih ada kelonggaran bahwa upah dapat diberikan dalam
bentuk lain berdasarkan perjanjuan atau peraturan perundang-undangan,
dengan batasan nilainya tidak boleh melebihi 25 % (dua puluh lima persen)
dari nilai upah yang seharusnya diterima (Pasal 12 Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 1981).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan adanya ketidaksesuaian pembatasan


pengertian upah itu sendiri.

17
BAB. IV

PEMECAHAN MASALAH

A. Peningkatan Peran Pemerintah Dalam Masalah Hubungan Pengusaha dan


Pekerja/ Buruh.

Pemerintah dalam upaya mewujudkan keadilan antara pekerja/ buruh


dan pengusaha di Indonesia saat ini masih belum seimbang, hal ini terbukti
dengan masih bergejolaknya masalah perburuhan akibat perundang-undangan
yang ada tidak memberi kepastian hukum. Kelompok kami melihat bahwa ada
dua peran pemerintah yang dapat dijalankan, yaitu sebagai mediator dan
sebagai regulator.

1. Sebagai mediator

Fungsi mediator yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan tujuan:

a. Menjembatani antara kepentingan buruh/ pekerja dengan kepentingan


pengusaha agar nantinya diproleh solusi jalan tengah (win win solution)
melalui proses yang demokratis. Pada dasarnya kepentingan pekerja/
buruh adalah memperoleh kesejahteraan atas imbalab dari pekerjaan
yang dilakukannya, dan kepentingan dari pengusaha adalah dapat
menjalankan usaha dengan biaya terjangkau sehingga dapat memperoleh
keuntungan atas usaha yang dilakukannya.

b. Berusaha memberi keadilan bagi pengusaha maupun bagi buruh, karena


pada dasarnya keduanya saling membutuhkan dalam menciptakan
kesejahteraan satu sama lain pada khususnya dan bagu perekonomian
Indonesia pada umumnya. Bagi pengusaha agar dapat berusaha,
memperoleh keuntungan dan memutar roda perekonomian, sedangkan
bagi buruh mendapatkan perlindungan dan memperoleh haknya sebagai
tenaga kerja.

18
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan
perannya sebagai mediator dilakukan dengan :

a. Menghidupkan kembali forum tripartit.


Sebagai salah satu unsur dari tripartit, diharapkan pemerintah dapat
memiliki peran yang lebih besar dalam menjembatani kepentingan
pengusaha dan buruh/ pekerja yang seringnya berseberangan.

b. Membuka ruang dialog bagi buruh dan pelaku usaha.

2. Sebagai Regulator

Sebagai regulator, pemerintah berperanan aktif dalam usaha membuat


peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam hal
terdapat kekurangan dari suatu

peraturan peruiluangan maka pemerintah dalam perannya sebagai regulator


dapat melaukan revisi terhadap peraturan tersebut dengan memperhatikan
aspirasi dari semua pihak yang Lerkait. Jangan sarnpai terjadi kekacauan
akibat adanya undang-undang tersebut.

Sebagai contoh adaiah adanya revisi Undang-undang terhadap Undang-


Undang No. 13 Tabun 2003 yang manual reaksi keras dan i pihak
buruh/pekerja. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang kini berlaku dirasa menguntungkan kepentingan pihak buruh. Kongres
Serikat Pekerja Indonesia terus menolak rencana revisi Undang-Undang No.
13 tahun 2003 tersebut karena dinilai. sangat merugikan kaum pekerja. Hal
tersebut diatas terjadi karena pemerintah saaL ini masih sangat berorientasi
pada perbaikan ekondmi dengan care menarik para investor penanam modal
using dengan mengunggulkan politik upah murah, tanpa melakukan
perbaikan masalah birokrasi yang juga masih simpang siur (dan masih
banyak pungutan-pungutan liar), serta masih banyak lagi hal lain yang
seharusnya juga dibenahi seperti korupsi dan lain sebagainya.

19
Selain berperan sebagai mediator dan regulator dalam bidang
ketenagakerjaan pada khususnya, pemerintah pun seharusnya dapat
memberikan jaminan kesejahteraan yang layak bagi pekerja , karena saat ini
terdapat kecenderungan pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja adalah
tanggung jawab pengusaha. Negara dalam hal ini seolah-olah lepas tangan
sama sekali. Sektor kesehatan yang harus dipenuhi oleh Negara. Sebab,
kedua sektor tersebut termasuk dalam kategori pemeliharaan kemaslahatan
umum. Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan
pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga
negara, tidak terkecuali para buruh.

Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi tarik ulur antara pengusaha dengan
buruhnya mengenai masalah tersebut. Para buruh bisa bekerja dengan
kenang, karena kebutuhan primernya sudah terpenuhi sambil menunggu
upahnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan
lancarnya pekerjaan para buruh maka pengusaha pun akan senang karena
berarti produksi berjalan baik maka keuntungan dapat diraih. Negara pun
akan memperoleh bagian dengan lancarnya perniagaan para pengusaha yaitu
melalui pajak yang disetorkan untuk dikelola demi kepentingan seluruh
rakyat.

20
BAB. V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Upah minimum telah menguntungkan sebagian pekerja tetapi


merugikan sebagian lainnya. Para pekerja yang dapat mempertahankan
pekerjaannya di pabrik-pabrik jelas mendapat keuntungan dari peningkatan
upah minimum. Pekerja kerah putih jelas merasakan manfaat besar dari
penegakan kebijakan upah minimum. Namun, mereka yang kehilangan
pekerjaan sebagai akibat meningkatnya upah minimum adalah mereka yang
dirugikan oleh kebijakan upah minimum. Mereka ini khususnya terdiri dari
para pekerja yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar tenaga kerja,
seperti pekerja perempuan, muda usia, dan mereka yang berpendidikan
rendah.

Dalam iklim pertumbuhan ekonomi tinggi, peningkatan upah


minimum tidak terlalu menjadi persoalan karena pertumbuhan itu sendiri
akan mendorong peningkatan upah, sehingga tingkat upah yang berlaku sama
dengan atau di atas upah minimum. Pertumbuhan ekonomi juga akan

21
mendorong penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar daripada yang
hilang karena kebijakan upah minimum.

Dampak upah minimum terhadap kesejahteraan pekerja di sektor


informal, yang merupakan sebagian besar dari angkatan kerja di Indonesia,
mungkin sama pentingnya atau bahkan lebih penting lagi. Salah satu bidang
yang penting untuk dikaji di waktu yang akan datang adalah bagaimana
dampak pengurangan kesempatan kerja di sektor modern dari upah minimum
berpengaruh terhadap penghasilan riil dari mereka yang bekerja di sektor
informal.

Penetapan upah yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah ketentuan


upah minimum yang berlaku secara regional, sektoral regional atau sub
sektoral regional wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan dengan
pengertian bahwa perusahaan tidak boleh membayar upah pekerjanya di
bawah Ketentuan Upah Minimum. Apabila Pemerintah mengeluarkan
Ketetapan Upah Minimum yang baru yang jumlahnya meningkat dari yang
lama maka akan terjadi perubahan upah di dalam perusahaan. Mereka yang
berada pada tingkat upah minimum yang lama akan mengalami kenaikan
upah minimal sama dengan kenaikan di dalam Ketetapan Upah Minimum.
Dengan naiknya upah pekerja yang paling bawah dapat mendekati atau
menyamai tingkat upah pekerja di atasnya. Pekerja yang berada di atas
Ketentuan Upah Minimum Pemerintah.

B. SARAN

Inti dari menaikkan posisi tawar pekerja/ buruh dalam proses


negosiasi upah tidak adalah tingkat kesejahteraan pekerja/ buruh itu sendiri.
Kesejahteraan merupakan pertanda telah terpenuhinya kebutuhan masyarakat
di suatu Negara. Pemenuhan kebutuhan masyarakat disuatu Negara, paling
tidak kebutuhan pokoknya, adalah tugas dari pemerintah.

22
DAFTAR PUSTAKA

Gaol, Lumban S, Pengaturan Upah Perusahaan, Pendidikan Lanjutan Ilmu


Hukum, Universitas Indonesia.
Simanjuntak, Payaman J, Teori dan Sistem Pengupahan, Himpunan Pembina
Sumberdaya Manusia Indonesia, Jakarta 1996.
SMERU, Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan
Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Indonesia, Jakarta, Oktober 2001.
Silalahi, Marulinda, Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Pekerja/ Buruh
Dihubungkan Dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Serta Implikasinya Terhadap Upaya Mewujudkan
Keadilan Antara Pekerja/ Buruh dan Pengusaha, Tesis: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.
Supriadi, Andri Yudhi, Dampak Kenaikan Upah Minimum Terhadap Pekerjaan
Formal di Perkotaan Tahun 1998-2004, Tesis: Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta 2005.

23

You might also like