Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap
suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media
televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu
jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan,
sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka
melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan
walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
“Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu)
supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih saying dan
rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”.
Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk
keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.
Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah
wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk
mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat
dibenci olehNya (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah
talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini agar pembahasan lebih terfokus ada beberapa rumusan masalah di antaranya:
1. Apa penrertian khulu dan fasakh?
2. apa akibat hokum khuli’ dan fasakh?
BAB II
PEMBAHASAN
1. KHULU’
A. Pengertian Khulu’
Al-Khulu, dalam bahasa Indonesia disebut Gugatan cerai. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan
hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya
melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk
melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang
semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan
(perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan
pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-
Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau
selainnya dengan lafazh yang khusus”
B. Hukum AL-Khulu’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah :
229]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku
hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu
mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya
dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun
menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan
Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh
Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma
tentang syari’at Al-Khulu,
E. Hikmah Khulu’
Mengenai hikmah khulu al Jurjawi menuturkan:
Khulu sendiri sebenarnya di benci oleh syariat yang mulia seperti halnya talak. Semua akal sehat
dan perasaan sehat menolak khulu’ hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya
untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hokum-hukum Allah.
Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah manolak bahaya yaitu apabila perpecahan antara
suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syari’at-syariat
dalam kehidupan suami istri, maka khulu dengan cara yang telah di tetapkan oleh Allah
merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakan hokum-hukum Allah.
2. FASAKH
A. Pengertian
Fasakh adalah surak atau putusnya perkawinan melaluoi pengadilan yang hakikatnya hak suami-
istri di sebabkan sesuati yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang
muncul setelsah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat
sebuah perkawinan .
Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh yaitu fasid. Maksud dari fasid
adalah merupakan siuatu putusanb pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa
perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hokum, hal itu disebabkan
misalnya tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun nukah atau disebabkan di langgarnya
ketentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut.
B. Akibat Hukum
Perceraian yang diakibatkan fasakh tidak mengurangi bilangan talak sebab fasakh bukan bagian
dari talak. Jadi kalau yang telah bercerai itu kemudian kembnali melalui pernikahan yang baru
setelah menyadari dan rela dengan keadaan seperti apa adanya, talak yang dia kiliki masih utuh.
Jiaka pemisahan itu terjadi sebelum terjadi hubugan suami istri, maka tidak ada mahar bagi istri.
Apakah pemisalah itu dari puhak suami atau pihak istri, sebab jika fasakh itu dari pihak istri
maka haknya gugur dan jika pemisahan itu datang dari pihak suami dan hal itu di sebabkan cacat
yang di sembunyikan oleh istri terhadap suaminya maka ia tidak berhak mendapatkan mahar.
Namun jika pemisahan dilakukan sesudah terjadi hubungan suami istri maka ia berhak
mendapatkan mahar dan pemisahan dilakukan oleh hakim (pengadilan)
Dan seorang suami tidak boleh dengan sengaja berlaku buruk di dalam mempergauli istrinya
dengan maksud agara istri menyerahkan harta(mahar) nya.kepada suami sebagai ganti rugi atas
permintaannya (ayat surat an-Nisa 19)
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Sa’id Abdul Aziz Al-Jandul, Wanita Diantara Fitrah, Hak Dan Kewajiban, Pustaka Dariul Haq,
Jakarta: 2003
Rahmat Hakim Hokum Perkawinan Isalm, Pustaka Setia, Bandung: 2000
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta: 2006
Jaih Mubarok, Modifikasi Hokum Islam, Rajawali Pers, Jakarta:2002
Sayyid sabiq Shahih Fiqhis Sunnah
Taudhihul Ahkam, juz 5
Hasby Ash-Sidiqi, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1991
2. Khulu’
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan
sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Penceraian semacam ini pernah terjadi
pada masa Rasulullah. Jamilah binti Sahal, istri dari Tsabit bin Qais, merupakan wanita pertama
yang melakukan khulu’ dalam Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas:
“Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang menemui Rasulullah SAW dan ia
berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak
maupun agamanya. Hanya saja aku khawatir akan terjerumus ke dalam kekufuran setelah
(memeluk) Islam (karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”. Rasulullah
bersabda:” Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu? Wanita itu
menjawab: “Saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada suaminya: “Ambilah kebun itu dan
ceraikan istrimu”. (HR.Bukhari)
” …Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya….
“(QS Al-Baqarah[2]:229)
Berdasarkan hadits dan ayat di atas, para ulama seperti Ibnu hajar al-’Asqalaniy dan ath-Thibiy
mengaitkan pembolehan khulu’ dengan:
Imam Malik bahkan membolehkan khulu’ dalam kondisi istri tidak dapat mencintai dan melayani
suaminya disebabkan kekurangan fisiknya, minimnya ilmu agamanya, kelalaiannya menjalankan
perintah agama, kelanjutan usianya ataupun kondisinya yang lemah dan dikhawatirkan tidak
dapat memenuhi kewajibannya sebagai suami, sehingga menelantarkan hak-hak istri.
Besarnya ‘iwadh (kompensasi) yang diberikan istri kepada suami tergantung kesepakatan mereka
dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepada istri. Berbeda dengan
fasakh, dalam kasus khulu’ ini yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafadh talak adalah
suami, baik dengan sepengetahuan Hakim ataupun tidak.
Efek hukum yang ditimbulkan fasakh dan khulu’ adalah talak ba-in sughra, yaitu hilangnya hak
rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada
mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan
tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin
menikah dengan laki-laki yang lain.
Bersabar dan Memperbaiki Diri
Fasakh dan khulu’ tanpa alasan yang dibolehkan syara’, ditempuh sebagai legitimasi untuk
melakukan hal-hal yang dilarang agama, seperti untuk mendapatkan kebebasan, adalah hal yang
dilarang dan pelakunya akan menerima laknat Allah SWT. Nabi bersabda:
“Dari Tsauban r.a. ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang
menuntut cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang mendesak, maka diharamkan baginya
(mencium harumnya) bau syurga”. (HR. Abu Daud)
Jumhur ulama juga melarang khulu’ ketika rumah tangga dalam kondisi stabil, adanya hubungan
baik antara suami istri, serta tidak adanya hal-hal yang mendesak terjadinya perceraian. Khulu’
dalam kondisi ini akan menghancurkan tujuan dan maslahat dari perkawinan itu sendiri.
Jika suami sangat mencintai istrinya dan menolak khulu’ maka dianjurkan bagi istri untuk
bersabar dan tetap tinggal bersamanya. Mudah-mudahan perasaannya terhadap suaminya dapat
berubah seiring dengan berjalannya waktu. (Lihat kitab Kasysyaf al-Qina’.)
Menghancurkan perkawinan memang lebih mudah daripada menjaganya, dan dampak yang
ditimbulkannya sangat merugikan kedua belah pihak. Perceraian adalah sesuatu yang sangat
dibenci Allah. Bersabar merupakan jalan terbaik yang dapat ditempuh oleh istri dalam
menghadapi segala cobaan yang menimpa kehidupan rumah tangganya. Kesabaran dan saling
pengertian adalah kunci kesuksesan yang akan berbuah kebahagian dan kesenangan. Allah akan
selalu berada di sisi orang-orang yang sabar. Innallaha ma’a ash-shabirin. Pada saat bersamaan,
suami juga hendaknya memperbaiki dirinya agar kesabaran istri mudah diwujudkan dan rumah
tangga harmonis kembali terbina. Wallahu Ta’ala a’lam.
Rusli Hasbi
“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw. kemudian berkata, wahai
Rasululla, Tsabit bin Qais saya tidak mencelanya, baik dalam segi akhlak maupun agamanya.
Akan tetapi saya membenci kekafiran sesudah masuk Islam. Rasulullah saw. berkata, apakah
engkau hendakmengembalikan kebunnya kepadanya? Jawabnya, Ya. Rasulullah saw lalu
berkata kepada Tsabit, terimalah kebun itu dan ceraikan dia satu kali” (HR. Bukhori dan Nasai)
Lafal hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai, dan hadits ini telah
disepakati kesahihannya.
Dalam hal ini, Anu Bakar bin Abdullah al-Mazini berpendapat nyeleneh (berbeda jauh)
dengan pendapat jumhur fuqaha dengan mengatakan, suami tidak boleh mengambil sesuatu pun
dari istri. Dalam memberikan alasan bagi pendapatnya, ia mengatakan bahwa firman Allah
“..maka tidak ada dosa atas keduanya berkenaan dengan bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya” (QS. al-Baqarah: 226) telah dibatalkan oleh firman Allah yang
lain, yaitu:
﴾20 : ﴿النساء.وإن أردتم استبدال زوج مكان زوج وأتيتم إحد يهن قنطارا فل تأخذوا منه شيئا
“Dan jika kamu ingin mengganti istri(mu) dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka jaganlah kamu
mengambil kembali darinya barang sedikitpun” (QS. an-Nisa’: 20)
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pengertian ayat in adalah apabila pengambilan
tersebut tanpa kerelaan istri. Akan halnya jika dengan kerelaannya, maka hal itu dibolehkan.
Jadi, silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan dalam mengartikan kata-kata al-
Qur'an, apakah diartikan kepada keumumannya atau kepada kekhususannya.
Bagi fuqaha yang menyamakan kadar harta dalam khulu’dengan semua alat tukar yang
digunakan dalam mua’malat, berpendapat bahwa kadar harta tersebut didasarkan atas kerelaan.
Sedang bagi fuqaha yang memegangi lahir hadits tidak membolehkan pengambilan yang
lebih banyak dari maskawin. Seolah mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk
pengambilan harta tanpa hak.
557
yang sakit tersebut dapat mengadakan khulu’ dengan nilai sepertiga harta seluruhnya. Syafi’i
berpendapat, apabila istri mengadakan khulu’ sebesar mahar mitsilnya, maka hal itu di bolehkan,
dan harta tersebut dihitung sebagai bagian dari harta pokok. Apabila lebih dari maskawin mitsil,
maka tambahan tersebut harus diambilkan dari yang sepertiga. Akan halnya istri yang terlantar,
yakni yang tidak punya washi dan ayah, Ibn Qasim berpendapat bahwa ia boleh mengadakan
khulu’ atas dirinya sebesar mahar mitsilnya.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh mengadakan khulu’.
Akan tetapi al-Hasan dan Ibn Sirin aneh (syad) pendapatnya dengan mengatakan bahwa ia tidak
boleh mengadakan khulu’ kecuali dengan izin penguasa.
e. Kedudukan khulu’
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu’ adalah talak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh
Malik. Abu hanifah menyamakan khulu’ dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedang
Syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad
dan Dawud, dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibn Abbas r.a.
Diriwayatkan dari Syafi’I bahwa khulu’ itu kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata
sindiran tersebut menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak maka fasakh. Tetapi
dalam pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.
Kegunaan pemisahan tersebut untuk mengetahui apakah khulu’ dihitung dalam bilangan
talak atau tidak?. Jumhur fuqaha yang menganggap khulu’ itu talak, menjadikannya sebagai
bain. Demikian itu karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka
penebusannya itu tidak berarti lagi. abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak meng-
558
gunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu’
tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya.
Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidak
lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan
ikatan perkawinan tetapi berasal dari kehendaknya. Sedang khulu’ ini berpangkal pada
kehendak[1]. Oleh karenanya, khulu’ itu bukan fasakh.
Akan halnya fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa
dalam al-Qur'an, mula-mula Allah swt. Menyebutkan tentang talak:
﴾229 : ﴿البقرة.الطلق مرتان
“Talak yang dapat dirujuki itu dua kali” (QS. al-Baqarah: 229)
Kemudian Dia menyebutkan tentang tebusan (khulu’), dan selanjutnya Dia berfirman:
﴾230 :فإن طلقها فل تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره ﴿البقرة
“Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain” (QS. al-Baqarah: 230)
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi
suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak yang keempat.
Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan
dengan fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.
559
Fuqaha yang menentang pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan
tebusan sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang berbeda
dengan talak. Jadi, silang pendapat ini terjadi disebabkan, apakah adanya imbalan untuk
memutus ikatan perkawinan ini dapat dianggap keluar dari jenis pemutusan perkawinan karena
talak, menjadi jenis pemutusan perkawinan karena fasakh atau tidak?
560
Mengenai pemisahan yang kami sebutkan dari abu Tsaur adalah antara menggunakan kata-
kata talak atau tidak menggunakan kata-kata tersebut. persoalan lain lagi adalah kesepakatan
jumhur fuqaha bahwa suami dapat mengawini bekas istrinya pada masa iddahnya dengan
persetujuan. Segolongan fuqaha mutaakhirin berpendapat bahwa suami maupun orang lain tidak
boleh mengawininya pada masa iddahnya. Silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan,
apakah larangan nikah pada masa iddah termasuk perkara ibadah atau tidak, yang bahkan dapat
dijelaskan alasannya?
Fuqaha berselisih pendapat dalam hal iddah wanita yang dikhulu’, dan pembicaraan
mengenai masalah ini akan disebutkan pada uraian mendatang. Fuqaha juga berselisish pendapat
mengenai apabila terjadi persengketaan antara suami istri berkenaan dengan kadar bilangan harta
yang dipakai untuk terjadinya khulu’. Malik berpendapat bahwa yang dipegangi ialah kata-kata
suami jika tidak ada saksi. Syafi’I berpendapat bahwa suami istri saling bersumpah, dan istri
dikenai senilai mahar mitsil
Syafi’I menyamakan persengketaan antara suami istri itu dengan persengketaan antara
penjual dan pembeli. Sedang Malik memandang istri sebagai pihak yang tergugat dan suami
sebagai pihak penggugat. Dalam bab ini terdapat banyak persoalan, tetapi hal itu bukan menjadi
tujuan kami.
561
winan itu sendiri, sedang perselisihan ini terkenal—menurut Malik putusnya ikatan perkawinan
itu, ini talak, seperti hukum tindakan seseorang perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri,
dan perkawinan orang yang sedang berihram. Berdasarkan riwayat ini, pemutusan perkawinan
tersebut adalah talak, bukan fasakh.
Pendapat kedua, yang menjadi pertimbangan adalah, sebab yang menjadikan putusnya
perkawinan. Jika sebab putusnya perkawinan itu bukan dari suami istri, dalam arti jika suami
istri itu hendak melanjutkan perkawinannya maka tidak sah jika sebab itu masih ada, maka
putusnya perkawinan dalam hal ini fasakh. Seperti mengawini orang perempuan yang sesusuan
atau kawin dalam masa iddah. Tetapi jika keduanya dapat melanjutkan perkawinan—meski
sebab tersebut masih ada, seperti putusnya perkawinan karena adanya cacat—maka pemutusan
perkawinan tersebut adalah talak.
562
[1] Yang dimaksud kehendak istri. Sedang fasakh diluar kehendak suami, tetapi dilakukan oleh penguasa
(pengadilan)
Prev: Pembaruan Kompilasi Hukum Islam
Next: Hati tak Bertuan