You are on page 1of 13

KHULU’ DAN FASAKH DALAM HUKUM ISALM\

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap
suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media
televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu
jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan,
sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka
melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan
walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
“Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu)
supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih saying dan
rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”.
Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk
keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.
Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah
wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk
mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat
dibenci olehNya (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah
talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini agar pembahasan lebih terfokus ada beberapa rumusan masalah di antaranya:
1. Apa penrertian khulu dan fasakh?
2. apa akibat hokum khuli’ dan fasakh?

BAB II
PEMBAHASAN

1. KHULU’
A. Pengertian Khulu’
Al-Khulu, dalam bahasa Indonesia disebut Gugatan cerai. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan
hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya
melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk
melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang
semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan
(perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan
pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-
Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau
selainnya dengan lafazh yang khusus”

B. Hukum AL-Khulu’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah :
229]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku
hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu
mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya
dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun
menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan
Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh
Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma
tentang syari’at Al-Khulu,

C. Ketentuan Hukum Al-Khulu


Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi
sebagai berikut.
[1]. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut
tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan
pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan
penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah
satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa
muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya
akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya
membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-
Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang
isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan
haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar
dan tidak memilih perceraian. [11]
[2]. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan
sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan
kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan
kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan
dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata” [An-Nisa : 19] [12]
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut.
Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan
dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]
b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi
perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan
syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram
baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan
Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]
[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-
Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]
[4]. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap
orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya
sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri
keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di
hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim
peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan
seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun
harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang
memiliki keyakinan dan perbuatan kufur .

D. Cara Menjatuhkan Khulu


Secara umum khulu dapat dilakukan denghan tiga cara: pertama menggunakan kata khulu’,
kedua menggunakan kata cerai (thalak), dan ketiga dengan kiasan yang di sertaio dengan niat.
Dalam qaul qodim imam syafi’I berpendapat bahwa khulu yang dilakukan denghan
menggunakan kata-kata kiasan mengakibatkan fasakh perkawinan. Yaitu perkawinan itu batal
dengan sendirinya. Dan akad pernikahan tidak berlaku. Sedangkan dalam qaul jadid beliau
berpendapat bahwa khulu yang dilakukan dengan menggunakan kata kiasan tidak mengakibatkan
fasakh perkawinan karena kata-kata kinayah dalam talak tidak memerlukan niat begitu pula
khulu.

E. Hikmah Khulu’
Mengenai hikmah khulu al Jurjawi menuturkan:
Khulu sendiri sebenarnya di benci oleh syariat yang mulia seperti halnya talak. Semua akal sehat
dan perasaan sehat menolak khulu’ hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya
untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hokum-hukum Allah.
Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah manolak bahaya yaitu apabila perpecahan antara
suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syari’at-syariat
dalam kehidupan suami istri, maka khulu dengan cara yang telah di tetapkan oleh Allah
merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakan hokum-hukum Allah.

2. FASAKH
A. Pengertian
Fasakh adalah surak atau putusnya perkawinan melaluoi pengadilan yang hakikatnya hak suami-
istri di sebabkan sesuati yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang
muncul setelsah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat
sebuah perkawinan .
Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh yaitu fasid. Maksud dari fasid
adalah merupakan siuatu putusanb pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa
perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hokum, hal itu disebabkan
misalnya tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun nukah atau disebabkan di langgarnya
ketentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut.

B. Akibat Hukum
Perceraian yang diakibatkan fasakh tidak mengurangi bilangan talak sebab fasakh bukan bagian
dari talak. Jadi kalau yang telah bercerai itu kemudian kembnali melalui pernikahan yang baru
setelah menyadari dan rela dengan keadaan seperti apa adanya, talak yang dia kiliki masih utuh.
Jiaka pemisahan itu terjadi sebelum terjadi hubugan suami istri, maka tidak ada mahar bagi istri.
Apakah pemisalah itu dari puhak suami atau pihak istri, sebab jika fasakh itu dari pihak istri
maka haknya gugur dan jika pemisahan itu datang dari pihak suami dan hal itu di sebabkan cacat
yang di sembunyikan oleh istri terhadap suaminya maka ia tidak berhak mendapatkan mahar.
Namun jika pemisahan dilakukan sesudah terjadi hubungan suami istri maka ia berhak
mendapatkan mahar dan pemisahan dilakukan oleh hakim (pengadilan)
Dan seorang suami tidak boleh dengan sengaja berlaku buruk di dalam mempergauli istrinya
dengan maksud agara istri menyerahkan harta(mahar) nya.kepada suami sebagai ganti rugi atas
permintaannya (ayat surat an-Nisa 19)

C. Yang Menyebabkan Faskh


Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari suami istri mengetahui ada ‘aib
pada pihak lain sebelum ‘aqad nikah itu diketahuinya sesudah ‘aqad tetapi ia sudah rela secara
tegas ata8u ada tanda yang menunjukan kerelaanny maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk
meminya fasakh dengan alas an ‘aib itu bagaimanapun.
Ada 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya:
Tiga berada dalam keduanya (suami-istri) yaitu: gila, penyekit kusta dan supak.
Dua terdapat dalam laki-laki yaitu: ‘unah (lemah tenaga persetubuhannya), impoten
Tiga lagi berasal dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang
menghalangi persetubuhan, tumbuh kemaluan dan tumbuh dagingdalam kemaluan, atau terlaluy
basah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan persetubuhamn
Ketika suami pergi tidak tahu kemana istri tidak boleh di fasakhkan sebelum benar-benar
diketahui kemana suaminya itu pergi. Akan tetapi menurut maliki di tangguhkan sampai 4 tahun
sesudah itu difasakhkan oleh hakim atas tuntutan istri
Sebagian ulama berpendapat hakim boleh memasakhkan sesudah di beri masa tenggang yang
dipandang perlu oleh hakim. Paling baikdi tunggu 4 tahun mengingat perhubungan di masa itu
sukar dan sulit

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa kesimpulan dantaranya:


Khulu’ maupun fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak
ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita
(isteri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, isteri juga
mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui
khulu’ maupun fasakh.
Hokum khuliu tergantung situasi yang ada pada saat itu.
Begitu juga dalam fasakh.

DAFTAR PUSTAKA

Sa’id Abdul Aziz Al-Jandul, Wanita Diantara Fitrah, Hak Dan Kewajiban, Pustaka Dariul Haq,
Jakarta: 2003
Rahmat Hakim Hokum Perkawinan Isalm, Pustaka Setia, Bandung: 2000
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta: 2006
Jaih Mubarok, Modifikasi Hokum Islam, Rajawali Pers, Jakarta:2002
Sayyid sabiq Shahih Fiqhis Sunnah
Taudhihul Ahkam, juz 5
Hasby Ash-Sidiqi, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1991

2. Khulu’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan
sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Penceraian semacam ini pernah terjadi
pada masa Rasulullah. Jamilah binti Sahal, istri dari Tsabit bin Qais, merupakan wanita pertama
yang melakukan khulu’ dalam Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas:
“Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang menemui Rasulullah SAW dan ia
berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak
maupun agamanya. Hanya saja aku khawatir akan terjerumus ke dalam kekufuran setelah
(memeluk) Islam (karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”. Rasulullah
bersabda:” Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu? Wanita itu
menjawab: “Saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada suaminya: “Ambilah kebun itu dan
ceraikan istrimu”. (HR.Bukhari)

Dalam surat al-Baqarah Allah berfirman:

” …Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya….
“(QS Al-Baqarah[2]:229)

Berdasarkan hadits dan ayat di atas, para ulama seperti Ibnu hajar al-’Asqalaniy dan ath-Thibiy
mengaitkan pembolehan khulu’ dengan:

• adanya kekhawatiran istri akan ketidakmampuannya menjalankan kewajiban sebagai istri


bila terus tinggal bersama suami yang tidak dicintainya bahkan yang dibencinya;
• timbulnya rasa tidak suka terhadap suami disebabkan oleh kekurangan fisiknya atau
keburukan akhlaknya;
• adanya kekhawatiran istri bahwa perubahan perasaannya terhadap suami akan
menjerumuskannya ke dalam dosa dan fitnah, seperti membuatnya bersikap kasar,
membangkang, serta tindakan-tindakan lain yang dapat melukai dan menyakiti hati
suaminya.

Imam Malik bahkan membolehkan khulu’ dalam kondisi istri tidak dapat mencintai dan melayani
suaminya disebabkan kekurangan fisiknya, minimnya ilmu agamanya, kelalaiannya menjalankan
perintah agama, kelanjutan usianya ataupun kondisinya yang lemah dan dikhawatirkan tidak
dapat memenuhi kewajibannya sebagai suami, sehingga menelantarkan hak-hak istri.

Besarnya ‘iwadh (kompensasi) yang diberikan istri kepada suami tergantung kesepakatan mereka
dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepada istri. Berbeda dengan
fasakh, dalam kasus khulu’ ini yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafadh talak adalah
suami, baik dengan sepengetahuan Hakim ataupun tidak.

Efek Hukum Fasakh dan Khulu’

Efek hukum yang ditimbulkan fasakh dan khulu’ adalah talak ba-in sughra, yaitu hilangnya hak
rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada
mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan
tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin
menikah dengan laki-laki yang lain.
Bersabar dan Memperbaiki Diri

Fasakh dan khulu’ tanpa alasan yang dibolehkan syara’, ditempuh sebagai legitimasi untuk
melakukan hal-hal yang dilarang agama, seperti untuk mendapatkan kebebasan, adalah hal yang
dilarang dan pelakunya akan menerima laknat Allah SWT. Nabi bersabda:

“Dari Tsauban r.a. ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang
menuntut cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang mendesak, maka diharamkan baginya
(mencium harumnya) bau syurga”. (HR. Abu Daud)

Jumhur ulama juga melarang khulu’ ketika rumah tangga dalam kondisi stabil, adanya hubungan
baik antara suami istri, serta tidak adanya hal-hal yang mendesak terjadinya perceraian. Khulu’
dalam kondisi ini akan menghancurkan tujuan dan maslahat dari perkawinan itu sendiri.

Jika suami sangat mencintai istrinya dan menolak khulu’ maka dianjurkan bagi istri untuk
bersabar dan tetap tinggal bersamanya. Mudah-mudahan perasaannya terhadap suaminya dapat
berubah seiring dengan berjalannya waktu. (Lihat kitab Kasysyaf al-Qina’.)

Menghancurkan perkawinan memang lebih mudah daripada menjaganya, dan dampak yang
ditimbulkannya sangat merugikan kedua belah pihak. Perceraian adalah sesuatu yang sangat
dibenci Allah. Bersabar merupakan jalan terbaik yang dapat ditempuh oleh istri dalam
menghadapi segala cobaan yang menimpa kehidupan rumah tangganya. Kesabaran dan saling
pengertian adalah kunci kesuksesan yang akan berbuah kebahagian dan kesenangan. Allah akan
selalu berada di sisi orang-orang yang sabar. Innallaha ma’a ash-shabirin. Pada saat bersamaan,
suami juga hendaknya memperbaiki dirinya agar kesabaran istri mudah diwujudkan dan rumah
tangga harmonis kembali terbina. Wallahu Ta’ala a’lam.

Rusli Hasbi

May 28, '08 6:40 AM


Khulu'
for everyone
Diambil dari kitab Bidayatul Mujtahid
C. Khulu’
Kata-kata khulu’, fidyah, shulh, dan mubara’ah, semuanya mengacu pada satu makna, yaitu
pemberian ganti rugi oleh seorang perempuan atas talak yang diperolehnya. Hanya saja, masing-
masing kata tersebut mempunyai arti khusus. Khulu’ adalah pemberian seorang istri kepada
suami semua harta yang diberikan oleh suami kepadanya. Shuluh adalah pemberian sebagian
harta. Fidyah adalah pemberian sebagian besar harta. Dan mubara’ah adalah penghapusan oleh
istri atas suami dari hak-hak yang dimilikinya.
Pembicaraan mengenai pokok-pokok persoalan pemutusan ikatan perkawinan ini meliputi empat
pembahasan. Pertama, kebolehan terjadinya khulu’. Kedua, syarat-syarat terjadinya, yakni
syarat-syarat kebolehan terjadinya khulu’. Ketiga, jenis khulu’, yakni apakah termasuk talak atau
fasakh. Keempat, hukum-hukum yang mengikutinya.

1. Kebolehan Terjadinya khulu’


Mengenai kebolehan terjadinya khulu’ ini dipegangi oleh kebanyakan ulama, berdasarkan
firman Allah:
﴾229 :‫ ﴿البقرة‬.‫فل جناح عليهما فيما افتدت به‬
“…maka tidak ada dosa atas keduanya berkenaan dengan bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya” (QS. al-Baqoroh: 229)

Dan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a :


‫ يا رسول الله ! ثابت بن قيييس ل‬:‫أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت‬
‫ ولكن أكره الكفر بعد الدخول في السلمن فقال رسول اللييه صييلى‬،‫أعيب عليه في خلق ول دين‬
‫ اقبييل‬:‫ قال رسول الله صلى اللييه عليييه وسييلم‬،‫ نعم‬:‫ أتردين عليه حديقته؟ قالت‬:‫الله عليه وسلم‬
﴾‫ ﴿أخرجه البخاري والنسائي‬.‫الحديقة وطلقها طلقة واحدة‬

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw. kemudian berkata, wahai
Rasululla, Tsabit bin Qais saya tidak mencelanya, baik dalam segi akhlak maupun agamanya.
Akan tetapi saya membenci kekafiran sesudah masuk Islam. Rasulullah saw. berkata, apakah
engkau hendakmengembalikan kebunnya kepadanya? Jawabnya, Ya. Rasulullah saw lalu
berkata kepada Tsabit, terimalah kebun itu dan ceraikan dia satu kali” (HR. Bukhori dan Nasai)

Lafal hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai, dan hadits ini telah
disepakati kesahihannya.
Dalam hal ini, Anu Bakar bin Abdullah al-Mazini berpendapat nyeleneh (berbeda jauh)
dengan pendapat jumhur fuqaha dengan mengatakan, suami tidak boleh mengambil sesuatu pun
dari istri. Dalam memberikan alasan bagi pendapatnya, ia mengatakan bahwa firman Allah
“..maka tidak ada dosa atas keduanya berkenaan dengan bayaran yang diberikan

oleh istri untuk menebus dirinya” (QS. al-Baqarah: 226) telah dibatalkan oleh firman Allah yang
lain, yaitu:
﴾20 :‫ ﴿النساء‬.‫وإن أردتم استبدال زوج مكان زوج وأتيتم إحد يهن قنطارا فل تأخذوا منه شيئا‬
“Dan jika kamu ingin mengganti istri(mu) dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka jaganlah kamu
mengambil kembali darinya barang sedikitpun” (QS. an-Nisa’: 20)
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pengertian ayat in adalah apabila pengambilan
tersebut tanpa kerelaan istri. Akan halnya jika dengan kerelaannya, maka hal itu dibolehkan.
Jadi, silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan dalam mengartikan kata-kata al-
Qur'an, apakah diartikan kepada keumumannya atau kepada kekhususannya.

2. Syarat-syarat terjadinya khulu’


Mengenai syarat-syarat kebolehan terjadinya khulu’, di antaranya ada yang berkaitan dengan
kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu’, ada yang berkaitan dengan sifat (keadaan) dimana
khulu’ boleh dilakukan, dan ada pula yang berkaitan dengan keadaan wanita yang melakukan
khulu’ atau keadaan wali-wali bagi wanita-wanita yang tidak boleh bertindak sendiri. Maka
disini terdapat empat persoalan.
a. Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu’
Mengenai hal ini, Malik, Syafi’I, dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa seorang istri
boleh melakukan khulu’ dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang
diterimanya dari suaminya, jika kedurhakaan datang dari pihaknya, atau memberikan yang
sebanding dengan mahar atau lebih sedikit.
Segolongan fuqaha berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil lebih banyak dari
maskawin yang diberikan kepada istrinya sesuai dengan lahir hadits Tsabit.

Bagi fuqaha yang menyamakan kadar harta dalam khulu’dengan semua alat tukar yang
digunakan dalam mua’malat, berpendapat bahwa kadar harta tersebut didasarkan atas kerelaan.
Sedang bagi fuqaha yang memegangi lahir hadits tidak membolehkan pengambilan yang
lebih banyak dari maskawin. Seolah mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk
pengambilan harta tanpa hak.

b. Sifat harta pengganti


Syafi’I dan abu hanifah mensyaratkan diketahuinya sifat dan wujud harta tersebut.
Sedang malik membolehkan harta yang tidak diketahui wujud dan kadarnya serta harta yang
belum ada, seperti hewan yang lepas atau lari, buah yang belum dipetik/panen, dan hamba yang
diketahui sifat-sifatnya.
Dari Abu Hanifah diriwayatkan tentang kebolehan memberikan barang yang tidak jelas,
tetapi melarang memberikan barang yang belum ada. Silang pendapat ini disebabkan adanya
kemiripan harta pengganti disini dengan harta pengganti dalam jual beli, barang-barang hibah,
dan barang-barang yang diwasiatkan.
Bagi fuqaha yang menyamakan harta pengganti dalam khulu’ dengan jual beli mengharuskan
adanya syarat-syarat seperti jual beli dan nilai tukarnya. Sedang bagi fuqaha yang menyamakan
harta pengganti dalam khulu’ dengan hibah, maka mereka tidak menetapkan syarat-syarat
tersebut.
Fuqaha berselisih pendapat dengan khulu’ yang dijatuhkan dengan imbalan barang haram,
seperti khamar atau babi, apakah istri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat
bahwa talak dapat terjadi.
Malik berpendapat bahwa istri tidak wajib mengganti. Pendapat ini dikemukakan oleh abu
hanifah. Sedang Syafi’i berpendapat bahwa wajib mengeluarkan maskawin mitsil.

c. Berdamai untuk khulu’


Mengenai keadaan-keadaan yang dapat dan yang tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan
khulu’, jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu’ boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami
istri, selama kerelaan itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri. Dasar kebolehan ini
adalah firman Allah:
﴾19 :‫ ﴿النساء‬.‫ول تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما آتيتموهن إل أن يأتين بفاحشة مبينة‬
“Jika kamu khawatir bahwa jika keduanya (suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum alla,
maka tidak ada dosa atas keduanya berkenaan dengan bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya” (QS. an-Nisa’: 19)
Abu Qilabah dan Hasan al-Bashri aneh (syad) pendapatnya ketika mengatakan bahwa suami
tidak boleh menjatuhkan khulu’ atas istri kecuali jika ia melihat istri berbuat zina. Dan keduanya
mengartikan kata “keji” sebagai perbuatan zina.
Dawud berpendapat bahwa suami tidak boleh mnejatuhkan khulu’ kecuali didasarkan pada
kekhawatiran suami istri itu tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan lahir
ayat.
An-Nu’man juga aneh pendapatnya dengan mengatakan

bahwa khulu’dapat dijatuhkan meski merugikan.


Berdasarkan aturan fiqh, tebusan itu diberikan kepada istri sebagai imbalan talak yang
menjadi otoritas suami. Karena talak diberikan kepada suami jika ia membenci istri, maka khulu’
diberikan kepada istri jika ia membenci suami.
Dengan demikian, dalam khulu’ terdapat lima pemdapat. Pertama, pendapat yang tidak
membolehkan sama sekali. Kedua, pendapat yang membolehkan secara mutlak, meski
merugikan. Ketiga, pendapat yang tidak membolehkan kecuali salah seorang menyaksikan
pasangannya berbuat zina. Keempat, pendapat yang membolehkan, jika terdapat kekhawatiran
bahwa suami istri itu tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Kelima, pendapat yang
membolehkan sama sekali, kecuali jika disertai kerugian. Ini adalah pendapat yang terkenal.

d. Istri yang boleh mengadakan khulu’


Telah disepakati di kalangan jumhur fuqaha bahwa istri yang cakap boleh mengadakan
khulu’ untuk dirinya, sedang hamba perempuan tidak boleh mengadakan khulu’ untuk dirinya,
kecuali dengan izin tuannya. Disepakati pula bahwa istri yang bodoh dan walinya secara
bersamaan boleh melakukan akad khulu’, bagi fuqaha yang menetapkan bahwa istri yang bodoh
harus berada dalam pengampunan walinya.
Malik berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengadakan khulu’ untuk anak perempuannya
yang masih kecil sebagaimana ia boleh menikahkannya. Demikian pula untuk anak lelakinya
yang masih kecil, karena bagi Malik ayah tersebut dapat menceraikan atas namanya.
Silang pendapat terjadi berkenaan dengan anak lelaki yang masih kecil. Syafi’I dan abu
Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengadakan khulu’ atas namanya, karena mereka
berpendapat bahwa ayah tersebut tidak boleh menjatuhkan talak atas namanya, Wallahu a’lam.
Malik berpendapat bahwa istri yang sedang sakit berat boleh mengadakan khulu’ jika nilai
harta tebusannya itu sebesar warisan suami yang didapat istri. Tetapi Ibn Nafi’ juga
meriwayatkan dari Malik bahwa istri

557

yang sakit tersebut dapat mengadakan khulu’ dengan nilai sepertiga harta seluruhnya. Syafi’i
berpendapat, apabila istri mengadakan khulu’ sebesar mahar mitsilnya, maka hal itu di bolehkan,
dan harta tersebut dihitung sebagai bagian dari harta pokok. Apabila lebih dari maskawin mitsil,
maka tambahan tersebut harus diambilkan dari yang sepertiga. Akan halnya istri yang terlantar,
yakni yang tidak punya washi dan ayah, Ibn Qasim berpendapat bahwa ia boleh mengadakan
khulu’ atas dirinya sebesar mahar mitsilnya.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh mengadakan khulu’.
Akan tetapi al-Hasan dan Ibn Sirin aneh (syad) pendapatnya dengan mengatakan bahwa ia tidak
boleh mengadakan khulu’ kecuali dengan izin penguasa.

e. Kedudukan khulu’
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu’ adalah talak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh
Malik. Abu hanifah menyamakan khulu’ dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedang
Syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad
dan Dawud, dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibn Abbas r.a.
Diriwayatkan dari Syafi’I bahwa khulu’ itu kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata
sindiran tersebut menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak maka fasakh. Tetapi
dalam pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.
Kegunaan pemisahan tersebut untuk mengetahui apakah khulu’ dihitung dalam bilangan
talak atau tidak?. Jumhur fuqaha yang menganggap khulu’ itu talak, menjadikannya sebagai
bain. Demikian itu karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka
penebusannya itu tidak berarti lagi. abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak meng-

558

gunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu’
tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya.
Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidak
lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan
ikatan perkawinan tetapi berasal dari kehendaknya. Sedang khulu’ ini berpangkal pada
kehendak[1]. Oleh karenanya, khulu’ itu bukan fasakh.
Akan halnya fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa
dalam al-Qur'an, mula-mula Allah swt. Menyebutkan tentang talak:
﴾229 :‫ ﴿البقرة‬.‫الطلق مرتان‬
“Talak yang dapat dirujuki itu dua kali” (QS. al-Baqarah: 229)
Kemudian Dia menyebutkan tentang tebusan (khulu’), dan selanjutnya Dia berfirman:
﴾230 :‫فإن طلقها فل تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره ﴿البقرة‬
“Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain” (QS. al-Baqarah: 230)

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi
suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak yang keempat.
Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan
dengan fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.

559

Fuqaha yang menentang pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan
tebusan sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang berbeda
dengan talak. Jadi, silang pendapat ini terjadi disebabkan, apakah adanya imbalan untuk
memutus ikatan perkawinan ini dapat dianggap keluar dari jenis pemutusan perkawinan karena
talak, menjadi jenis pemutusan perkawinan karena fasakh atau tidak?

c. Akibat-akibat hukum khulu’


Mengenai hal ini, terdapat cabang persoalan yang banyak. Tetapi akan kami sebutkan saja
yang terkenal, antara lain apakah wanita yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau
tidak?
Malik berpendapat bahwa khulu’ tersebut tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali
pembicaraan bersambung. Syafi’I berpendapat tidak dapat diikuti meski pembicaraan
bersambung. Sedang Abu Hanifah berpendapat dapat diikuti, tanpa memisahmisahkan antara
segera atau ada tenggang waktu.
Silang pendapat itu karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak,
sedang Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Karena itu ia tidak membolehkan
seseorang mengawini wanita yang saudara perempuannya masih dalammasa iddah dari talak
bain.
Maka bagi fuqaha yang menganggap iddah masuk dalam hukum nikah berpendapat bahwa
khulu’ tersebut dapat diikuti dengan talak. Sedang bagi fuqaha yang tidak menganggap demikian
mengatakan bahwa khulu’ tersebut tidak dapat diikuti dengan talak.
Persoalan lain adalah kesepakatan jumhur fuqaha bahwa suami yang menjatuhkan khulu’ tidak
dapat merujuk bekas istrinya pada masa idda, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari said bin
al Musayyab dan ibn Syihab, yang mengatakan, apabila suami mengembalikan imbalan yang
telah diambil dari istrinya_menurut saya_ wanita itu dapat dirujuk.

560

Mengenai pemisahan yang kami sebutkan dari abu Tsaur adalah antara menggunakan kata-
kata talak atau tidak menggunakan kata-kata tersebut. persoalan lain lagi adalah kesepakatan
jumhur fuqaha bahwa suami dapat mengawini bekas istrinya pada masa iddahnya dengan
persetujuan. Segolongan fuqaha mutaakhirin berpendapat bahwa suami maupun orang lain tidak
boleh mengawininya pada masa iddahnya. Silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan,
apakah larangan nikah pada masa iddah termasuk perkara ibadah atau tidak, yang bahkan dapat
dijelaskan alasannya?
Fuqaha berselisih pendapat dalam hal iddah wanita yang dikhulu’, dan pembicaraan
mengenai masalah ini akan disebutkan pada uraian mendatang. Fuqaha juga berselisish pendapat
mengenai apabila terjadi persengketaan antara suami istri berkenaan dengan kadar bilangan harta
yang dipakai untuk terjadinya khulu’. Malik berpendapat bahwa yang dipegangi ialah kata-kata
suami jika tidak ada saksi. Syafi’I berpendapat bahwa suami istri saling bersumpah, dan istri
dikenai senilai mahar mitsil
Syafi’I menyamakan persengketaan antara suami istri itu dengan persengketaan antara
penjual dan pembeli. Sedang Malik memandang istri sebagai pihak yang tergugat dan suami
sebagai pihak penggugat. Dalam bab ini terdapat banyak persoalan, tetapi hal itu bukan menjadi
tujuan kami.

D. perbedaan antara talak dan fasakh


Malik berbeda-beda pendapatnya mengenai perbedaan antara fasakh yang tidak termasuk
dalam bilangan talak tiga dengan talak yang termasuk dalam bilangan talak tiga. Dalam hal ini
terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, perkawinan-walaupun terjadi silang pendapat di luar
madzhabnya, yakni tentang kebolehan perka-

561

winan itu sendiri, sedang perselisihan ini terkenal—menurut Malik putusnya ikatan perkawinan
itu, ini talak, seperti hukum tindakan seseorang perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri,
dan perkawinan orang yang sedang berihram. Berdasarkan riwayat ini, pemutusan perkawinan
tersebut adalah talak, bukan fasakh.
Pendapat kedua, yang menjadi pertimbangan adalah, sebab yang menjadikan putusnya
perkawinan. Jika sebab putusnya perkawinan itu bukan dari suami istri, dalam arti jika suami
istri itu hendak melanjutkan perkawinannya maka tidak sah jika sebab itu masih ada, maka
putusnya perkawinan dalam hal ini fasakh. Seperti mengawini orang perempuan yang sesusuan
atau kawin dalam masa iddah. Tetapi jika keduanya dapat melanjutkan perkawinan—meski
sebab tersebut masih ada, seperti putusnya perkawinan karena adanya cacat—maka pemutusan
perkawinan tersebut adalah talak.

562

[1] Yang dimaksud kehendak istri. Sedang fasakh diluar kehendak suami, tetapi dilakukan oleh penguasa
(pengadilan)
Prev: Pembaruan Kompilasi Hukum Islam
Next: Hati tak Bertuan

You might also like