You are on page 1of 22

Bayang-Bayang Wayang

BAB I

PENDAHULUAN

etika pada akhirnya saya memilih kata „bayang-bayang‟ bagi


K buku „Bayang-Bayang Wayang‟ ini, disebabkan oleh
beberapa alasan. Beberapa buku lain menyatakan bahwa
sesungguhnya kisah wayang, meski maksudnya adalah epos
Ramayana, Mahabharata dan Bharatayuda, merupakan cermin –
dan sarana untuk mawas diri - bagi kehidupan manusia. Ia
berbicara tentang berbagai watak dan karakter manusia yang bisa
meliputi keteladanan, keberanian, kemarahan, kesendirian, kecong-
kakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijakan, kebimbangan,
dendam, kekecewaan dan pencarian. Ia bisa pula berada di wilayah,
iri, dengki, intrik, fitnah, dan pengkhianatan. Walau ada pula kasih
sayang, cinta, kemesraan, kesetiaan meski tak lepas dari berbagai
bentuk penyelewengan, nafsu, skandal dan perselingkuhan yang
terkesan manusiawi. Sulit orang memahami betapa „kisah‟ yang
mungkin disusun beribu-ribu halaman, melibatkan ribuan orang,
bahkan mungkin ratusan ribu orang, namun tak ada yang benar-
benar menjadi tokoh utama. Meski ditulis oleh para cendekiawan
dan pujangga terpintar, bergelar Empu (Mpu) seperti Mpu Kanwa,
Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Para tokoh yang
tampil dalam bagian atau sekte tertentu, ternyata ia mengecewakan
para pembaca dan atau penontonnya ketika pada bagian yang lain
ternyata ia berbuat bertentangan suatu kebaikan atau seharusnya
baik. Tak ada yang pantas menjadi idola sepanjang „hidup‟,
„kehidupan‟, atau masa dimana sang tokoh „dihidupkan‟. Tidak ada
„hitam-putih‟ dalam wayangan. Bukankah itu justru sesuai dengan
kehidupan manusia senyatanya? Oleh karena itu pula maka
sesungguhnya perilaku yang melahirkan istilah-istilah politik di
kemudian hari juga tidak asing bagi dunia pewayangan. Misalnya
intrik-intrik politik, termasuk agitasi, debat, intimidasi, mata-mata

1
Bab 1. Pendahuluan

(spionase), sabotage, perebutan kedudukan, perebutan kursi,


perebutan kekuasaan, korupsi, pengkhianatan, pembunuhan,
berbagai bentuk kecurangan, money politic, cost politic, black
campaign, dan bentuk-bentuk kejahatan, kemungkaran serta
berbagai bentuk tindakan tidak terpuji lainnya. Disamping tentu
saja sikap keksatriaan, loyalitas, solidaritas, kesetia kawanan, kasih
sayang, cinta kasih, penghormatan, penghargaan, kekaguman dan
lain-lain. Alasan berikutnya, karena saya ingin buku ini juga
memberikan informasi tentang panggung wayang itu sendiri,
peraga dan perannya, tokoh-tokoh yang pernah tercatat dalam
kurun waktu tertentu dalam pertunjukan wayang, jangkauan yang
pernah dan mungkin akan dicapai oleh wayang, dan itulah bayang-
bayangnya. Proyeksi wayang untuk masa yang akan datang
mungkin tak dapat dilepaskan dari berbagai aspek pertunjukan dan
seni pewayangan. Namun sebaliknya, bayang-bayang mungkin tak
bisa bergantung sepenuhnya pada pola yang ada sebelumnya.
Contoh, batik, tak mungkin lagi dikenakan sepenuhnya untuk
budaya berkain. Kini ia bisa digunakan sebagai pola hiasan
dinding, taplak meja, baju dan lain-lain. Begitu pula keris,
seringkali sudah terlepas dari makna awal sebagai „senjata‟. Kajian
artistik lebih kental dari pada kajian senjata dan kesenjataan.
Perubahan-perubahan yang mungkin dan sudah terjadi akan
melibatkan pula teknologi maju misalnya bidang optic, termasuk
fotografi, perfilman, musik, kesenirupaan, internet dan lain-lain.

Kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi oleh Hinduisme


India, yang membawa serta sistem kasta; namun sesudah itu
nampak suatu perbedaan mendasar antara kedua masyarakat
tersebut. Sistem Kasta India berdasarkan oposisi-oposisi, yang
paling mendasar adalah antara „murni‟ versus „bernoda‟.
Bagaimanapun juga, ketika ciri-ciri kebudayaan India masuk ke
Jawa, orang Jawa mengambilnya dengan sangat selektif, serta
menolak sistem kasta yang berdasarkan oposisi-oposisi dan, sekali
lagi, lebih suka mengambil jalan tengah. Hasilnya, meskipun
menerima Hinduisme, kebudayaan Jawa tidak dapat menerima
sistem Kasta, dan juga, masyarakat Jawa berlapis-lapis namun tidak
hirarkhis (berbeda dengan Dumont, 1970). Apakah memilih sikap
jalan tengah, mendua – atau memakai istilahnya Laksono:
paradoksal - ini cocok dengan ide-ide yang menggaris bawahi
mitologi Jawa ? (De Josselin De Jong, dalam Laksono, 2009).

2
Bayang-Bayang Wayang

Suatu pertanyaan yang jawabnya jelas tidak sederhana. Selain


kajian serta analisis yang dilakukan akan terkena pula konsep
kemungkinan terjadinya sikap „kompromistis‟, juga disadari
sebagai layaknya suatu obyek kajian sosial, tidak akan
diketemukan kemutlakan antara yang positif maupun negatif.
Hitam dan putih. Untuk mencapai sasaran orientasi itu wayang juga
memberikan tuntunannya. Pada adegan pertapan yang berlangsung
sesudah tengah malam, digambarkan bagaimana seorang satria
muda mendapatkan pelajaran dari seorang pendeta mengenai
tatalaku seorang satria yang harus melayani manusia. Saran sang
pendeta yaitu agar seorang satria memperhatikan tiga ‘S’: sabar,
sareh dan saleh, sabar tidak mudah melepas emosi; sareh, lemah
lembut dan hati-hati; saleh, menyembah Tuhan dalam sikap dan
tindak. Kemudian ada empat nasehat bagi para negarawan atau
satria: sugih tanpa banda, kaya tanpa harta kekayaan; perang tanpa
bala (maju), perang tanpa bala tentara; menang tanpa ngasorake,
memperoleh kemenangan tanpa mengalahkan; dan weweh tanpa
kelangan, memberi tanpa kehilangan. Oleh karena itu seorang
pimpinan haruslah memiliki kebijaksanaan dan keadilan seorang
raja, pandangan ke depan seorang pertapa, dan kesederhanaan sejati
seorang petani (Boediardjo, 1978:101).

Orang Jawa juga menggunakan konsep jumbuhing kawula-


Gusti untuk menginterpretasi dan mengorganisasi jalan hidup
dalam masyarakat nyata (eksisten). Seperti diketahui bahwa dalam
setiap organisasi sosial, termasuk negara, selalu ada dua elemen
manusia yaitu pengorganisasi dan yang diorganisasi, atau
pemerintah dan rakyat, atau raja dan rakyat, atau penggede dan
wong cilik. Dalam hubungan ini orang Jawa, berdasarkan konsep
jumbuhing kawula-Gusti, menganggap bahwa raja dan rakyat sama
pentingnya, berbeda lebih karena fungsinya (keduniawian) dari
pada karena nilainya (transenden-esensial) (Moertono, 1981:25).
Keduanya bisa suci secara esensial dan transendental lewat
persatuan dengan Gusti atau „yang tidak bisa diterangkan‟,
sehingga identifikasi raja-dewa dan rakyat-dewa, yang tidak ada
dalam kanonik Hindu, bisa masuk akal orang Jawa.
Kemanunggalan ini dimungkinkan karena menurut mistik Jawa ada
ciri umum yang sama antara manusia dan Tuhan yang terletak
dalam esensi dan substansi yang tidak bisa diterangkan, yaitu
suksma (dari kata India berarti roh) atau Nur (dari kata Arab berarti

3
Bab 1. Pendahuluan

cahaya) (Moertono, 1981:15 dan Susanto, 1977:27-37). Kalau


orang Barat mengatakan bahwa wayang kulit purwa Indonesia
sebagai ‘…the most complex and sophisticated theatrical form in
the world…’, karena pada kenyataannya wayang merupakan buah
karya akal budi manusia Indonesia yang merupakan warisan
budaya tidak nyata dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang
luar biasa. Wayang Indonesia memang unik, karena meliputi seni
drama, seni musik, seni suara, seni sastra, seni rupa dan
sebagainya. Demikian pula, wayang hadir dalam wujudnya yang
utuh baik dalam segi estetika, etika dan filsafatnya. Wayang dalam
kehidupan bangsa Indonesia bukanlah sekedar kesenian yang
memberikan hiburan, namun merupakan abstraksi dari suatu
realitas tatanan kehidupan manusia yang diwujudkan dalam
berbagai symbol tokoh wayang, cerita, alat pertunjukan, wacana
bahkan sampai pada dalang yang mempertunjukkan wayang.

DALANG

Dalang adalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral


dari pada suatu pertunjukan wayang. Tanpa dalang, maka
pertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang pada
pertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan unit
pendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayang
merupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang
dimilikinya, ia berkomunikasi dengan kompleksitas orang dan
peralatan yang lazim digunakan dalam suatu pertunjukan wayang.
Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namun
wayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernah
mengalami ‘out of order’, semalam suntuk. Sungguh suatu bentuk
teater yang „aneh‟ karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal
dalang dapat memilih beratus lakon atau cerita baku (babon-
pakem), carangan, anggitan (sanggit) – tontonan dapat berjalan
mulus dari jejeran sampai tancep kayon. Sesungguhnya, dalam
berbagai bentuk Seni Pertunjukan Rakyat di Indonesia, terdapat
keanehan ini, dalam arti tidak menggunakan skenario atau naskah,
selain garis besar belaka (resume) yang disampaikan oleh wasesa
sandi (sutradara) dalam bentuk proses „penuangan‟. Ia bisa dalam
bentuk Kethoprak, Ludruk, bahkan Dagelan. Dalam bentuk
antawacana (dialog) dengan tembang palaran, bahkan juga

4
Bayang-Bayang Wayang

dilakukan secara spontan. Artinya semua penari harus mengenal


dengan baik kaidah penyusunan tembang macapat, berkenaan
dengan „guru lagu‟ dan „guru wilangan‟-nya. Kepada seluruh
anggota pemain wayang, pengrawit (wirapradangga), pesinden,
wirasuara, ia berkomunikasi dengan sasmita (tanda-tanda).
Sasmita ini bisa disampaikan dalam bentuk lisan, pathet, suluk,
sendon, buka celuk, sastra maupun dalam bentuk dhodhogan serta
peragaan dari pada wayang itu sendiri. Dengan pola komunikasi
sedemikian dalang bisa memerintahkan gendhing yang akan
dibunyikan. Padahal ribuan gendhing merupakan repertoire yang
tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Dengan dhodhogan maka
gamelan akan berbunyi, berganti gendhing, merubah tempo,
mempercepat, melambatkan atau bahkan menghentikan gendhing
tersebut. Hal yang sama juga dapat dilakukan dengan ‘kombangan’.
Penempatan kayon juga bermakna perubahan pathet, atau
mengganti suasana. Tak heran manakala pemain gamelan, pesinden
dan wiraswara sesungguhnya juga menjadi penonton dari pada
pentas dimana ia terlibat menampilkannya. Ketika pada akhirnya
diketahui bahwa ‘wayang’ adalah suatu model pertunjukan, maka
diketahui pula bahwa wayang (shadow play) ada dimana-mana.
Melalui sebuah seminar di New Delhi, India, 1966, dimana salah
satu pembicara dari Indonesia adalah Djadoeg Djajakusuma, yang
pernah menyutradarai film ‘Lahirnya Gatotkaca’, membahas pula
adanya beberapa pertunjukan yang dinamakan „wayang‟. Di India
dikenal ‘Kathakali’, di Jepang dikenali ‘Tintokee Puppet Show’ dan
dari Indonesia, ‘Ramayana Ballet Troupe’. Tahun 2005, penulis
mengikuti dan tampil sebagai ‘pembentang’ (penyaji) pada sebuah
seminar wayang di Pusat Kebudayaan UM Kuala Lumpur, dengan
wayang Indonesia. Wayang India disajikan oleh Prof. Dr. Ghulam
Sarwar Yousuf, serta wayang Kelantan. Tahun 1970, pernah
diselenggarakan Festival Ramayana Nasional, diikuti Festival
Ramayana Internasional, 1971. Pertunjukannya diselenggarakan di
panggung terbuka Candra Wilatikta, Pandaan, Jawa Timur. Oleh
karena alat peraganya benda mati, dan oleh karenanya harus
dihidupkan, maka diperlukan apa yang disebut dalang. Victoria
M.Clara menuliskan tentang dalang dan wayang, melalui bukunya
„Dalang Dibalik Wayang‟ (The Dalang Behind the Wayang – The
Role of the Surakarta and the Yogyakarta Dalang in Indonesian –
Javanese Society), sebagai berikut : Perkataan „wayang‟
mengandung sejumlah pengertian. Pengertian pertama adalah

5
Bab 1. Pendahuluan

„gambaran tentang suatu tokoh‟, „boneka‟, lebih tegas lagi adalah


boneka pertunjukan wayang. Pengertian ini kemudian diperluas
sehingga meliputi juga pertunjukan yang dimainkan dengan
boneka-boneka tersebut, demikian pula, lebih luas lagi ialah
bentuk-bentuk seni drama tertentu. Dengan demikian, disamping
wayang kulit, yang dalam hal ini bayangan boneka-boneka kulit
berpahat, di proyeksikan di atas kelir, dengan bantuan sebuah
lampu, adalah wayang klithik yang menggunakan boneka-boneka
kayu pipih yang bercat (klithik), dan wayang golek yang
menggunakan boneka tiga matra yang berbusana (golek), dan tanpa
menggunakan kelir bagi kedua-duanya itu. Kecuali itu ada suatu
bentuk pertunjukan, dengan seorang pemain mengisahkan
ceritanya dan dibantu oleh adegan-adegan cerita yang dilukis pada
kain atau kertas, dan digelarnya (mbeber) selagi kisah berlangsung.
Pertunjukan ini disebut wayang beber. Selanjutnya ada dua bentuk
pertunjukan lakon dengan pelaku-pelaku manusia (wong),
bukannya boneka. Bentuk ini bisa dibagi-bagi menurut
perbendaharaan cerita, teknik panggung dan perlengkapan
panggung ke dalam wayang wong yang para pelaku utamanya tidak
bertopeng, dan wayang topeng dengan pelaku-pelaku utama selalu
memakai topeng. Dengan demikian, perkataan ‘wayang’, kecuali
berarti boneka, juga manusia pemain-pemain panggung baik aktor
maupun penari. Lebih lanjut perkataan itu pun menunjuk kepada
perbendaharaan lakon yang dipentaskannya. Cerita-cerita wayang
purwa (purwa= awal, asal), misalnya, yang dimainkan baik dalam
pertunjukan-pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong,
mengambil seluruh atau sebagian bahannya dari wiracarita India
Ramayana dan Mahabharata dalam versi Jawa. Tetapi
perbendaharaan lakon purwa itu juga bertalian dengan cerita-cerita
mengenai asal-usul orang Jawa, dan riwayat nenek moyang mereka
yang telah didewakan itu. Cerita-cerita wayang gedhog, dengan
pelaku-pelaku utamanya Raden Panji dari Koripan dan Dewi
Sekartaji Galuh Candra Kirana dari Kediri, disusun dalam periode
kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa Timur itu. Menurut tutur Jawa,
cerita-cerita ini mengisahkan babad raja-raja Jawa. Perbendaharaan
lakon gedhog dimainkan baik dalam pertunjukan wayang kulit
maupun wayang topeng. Disamping perbendaharaan lakon-lakon
wayang purwa dan wayang gedhog, terdapat banyak siklus cerita-
cerita lain di dalam pertunjukan lakon wayang Jawa. Dalang adalah
tokoh utama dalam semua bentuk teater wayang yang tampil. Dia

6
Bayang-Bayang Wayang

adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak


memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin musik gamelan
yang mengiringi, dan diatas dari segalanya itu, dialah pemberi jiwa
pada boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu (Victoria, 1987: 4-
6).

Sekali peristiwa, ketika saya berjalan-jalan di Bukit


Bintang, sentral kota Kuala Lumpur Malaysia, oleh karena
penampilan saya yang barangkali cukup ‘nyentrik’ menurut
kacamata mereka, sehingga disebutnya ‘anak wayang’. Beberapa
orang lain yang mengerubungi saya saat itu mengangguk-angguk
pertanda paham akan sebutan ‘anak wayang’ yang diberikan oleh
salah seorang ‘rakan’-nya tersebut. Saya terkejut justru oleh karena
sebutannya itu. Anak wayang ? Benarkah mereka tahu wayang ?
Ternyata, yang mereka maksudkan sebagai anak wayang adalah
„artis‟. Artis itu pula hanya terfokus pada pemain film dan
penyanyi. Mungkin juga pelawak. Ada kecenderungan istilah itu
berpadan kata dengan sebutan „selebritis‟ yang mencuat populer di
negeri kita. Seniman lain atau artis lain, misalnya penari, musisi,
perupa, designer, apalagi dalang, tak termasuk artis. Tak termasuk
‘anak wayang’, dalam paham mereka. Tak heran manakala bagi
mereka, gedung „bioskop‟ (berasal dari kata ‘bio’, hidup dan
‘scope’, sudut pandang) di negeri itu disebut „pawagam‟. Singkatan
dari „panggung wayang gambar‟. Berarti „film‟ yang diputar di
sebuah gedung, disebutnya sebagai „wayang gambar‟. Lalu apa
artinya „wayang‟ menurut mereka ? Ternyata wayang adalah
‘toneel’, suatu pertunjukan di atas panggung. Ia bisa berbentuk
teater tradisional, opera Melayu, sandiwara bangsawan, bahkan
wayang Cina. Di negeri kita pertunjukan yang diselenggarakan di
klenteng-klenteng itu juga disebut dengan kata wayang. Wayang
Potehi, atau wayang Thithi.

PIRANTI DALANG

Wayang. Wayang kulit Jawa tentunya terbuat dari kulit


(walulang-lulang-leather). Pada umumnya terbuat dari kulit sapi,
hanya sedikit daripadanya yang dibuat dari kulit kambing
(Moebirman, 1973:11). Prosesnya, setelah dikerat sesuai dengan
ukuran yang dikehendaki, direndam lebih kurang dua malam,

7
Bab 1. Pendahuluan

supaya lembut dan tidak tegang. Dibantu bonggol pisang yang


dimasukkan dalam rendaman untuk mematikan kulit. Lembaran
kulit itu disandarkan di pohon atau dinding, hingga betul-betul
lembut dan tidak jatuh (Ku Zam-Zam Ku Idris, 1987:3-4). Kulit
yang lembut kemudian digunakan untuk membuat wayang. Kulit
digosok dengan daun serai dan lengkuas yang ditumbuk menjadi
serbuk. Kulit kemudian diuli dengan rempah tersebut, sampai
hilang baunya. Setelah itu barulah kulit siap untuk dibuat wayang
dengan terlebih dahulu di-penthang. Barulah dibersihkan bulu-
bulunya kemudian dibuat pola peraga wayang yang hendak dibuat.
Khusus untuk wayang yang akan dijadikan hiasan dinding,
sebagian dari bulu-bulu itu dibiarkan utuh, tidak dicabut, tidak
dibersihkan. Setelah pola atau patron dibuat, barulah di-tatah
sesuai dengan pola tersebut. Jadilah wayang putih-an, artinya sudah
di-tatah, namun belum dicat, atau di-sungging. Kini, wayang
putihan juga sudah bisa dijual, terutama manakala akan dijadikan
hiasan dinding. Pengecatan juga dilakukan sesuai dengan pola serta
ragam hias yang baku. Pekerjaan ini dilakukan dengan penuh
kehalusan, kesungguhan dan kehati-hatian. Kehalusan (ngrawit)
pekerjaan tatah-sungging ini – selain kualitas kulitnya – akan
menentukan kualitas wayangnya, sekaligus harganya. Wayang kulit
pada umumnya dianggap sebagai bentuk lain dari pada wayang
wong atau wayang orang. Demikian pula dengan busana dan
asesorisnya. Bagaimanapun bentuk wayang dianggap sebagai
mengikuti aliran surrealis. Artinya, tidak sebagaimana layaknya
kaidah proporsional dari pada bentuk manusia secara natural. Ada
juga wayang yang lebih natural/realistis yang belakangan dibuat
oleh Ki Manteb Sudarsono dan Ki Enthus Susmono. Oleh karena
wayang kulit dibuat dalam bentuk dua dimensi, maka untuk peraga
raksasa matanya dibuat berjajar. Demikian pula dengan jari-jari
kaki dan tangannya (Soekatno, 1992:78-81). Sekaligus mulutnya
yang besar „dihiasi‟ dengan taring yang menonjol keluar. Banyak
diantaranya, terutama untuk tokoh ksatria dan wanodya (wanita),
bahagian pinggang atau perutnya teramat kecil, langsing, ramping.
Sementara panjang tangan juga dibuat sedemikian rupa sehingga
nyaris sampai di telapak kaki. (Soekatno, 1992:28-29). Pola lain,
misalnya mata, ada yang disebut ‘liyepan’; ‘kedelen’;
‘dondongan’; ‘thelengan’, berikut maknanya. Demikian pula
dengan bentuk hidung, bentuk mulut warna wajah/muka dan lain-
lain. Begitu pula dengan busana dan asesorisnya misalnya

8
Bayang-Bayang Wayang

Jamang/Sumping (sada saeler, surengpati, gadjah ngoling, oncen-


oncen dan lain-lain), Selendang/Sampur: Kunca; Binggel, gelang
kaki (calumpringan, kana); Kelat Bahu (calumpringan,
nagamangsa); gelang (candrakirana, calumpringan). Sementara
tentang cara pengenaan kain ‘dodotan’ dikenal antara lain
‘katongan’ (raja); ‘rampekan’ (prajurit); „kera‟; ‘bokongan’, putri;
‘poleng’; ‘poleng bintul’; ‘punakawan’ dan lain-lain. Barang tentu
berikut motif batik yang lazim dikenakan, seperti parangkusuma,
tluntum, parang rusak, lereng, kawung (punakawan) poleng
(Hanoman, Bima) dan lain-lain. Jenis-jenis motif batik tradisional
yang sudah menjadi konvensi bagi peraga-peraga wayang tertentu.
Sampai sekarang, seseorang yang berani mengenakan kain ‘merong
kampuh jinggo’, kain berwarna merah, bermakna menantang raja
atau memberontak. Di bagian kepala ada pula pola gelung
(supiturang, wenangkara –mangkara – keling, gembelan); makutha
(mahkota, kroon, crown, tiara); kethu (dewa, pendeta, tepak,
udheng) dan jangkangan (surengpati, oncen-oncen, praban)
(Soekatno, 1992:57-75). Dari uraian tersebut jelas bahwa pada
hakekatnya busana yang di-tatah-kan dan di-sungging-kan pada
wayang kulit berdasar pada busana yang dikenakan pada wayang
orang. Sebagian besar watak manusia dapat pula digambarkan
melalui wujud raut muka, posisi bentuk serta warnanya. Ada pula
yang digambarkan melalui posisi ukuran maupun bentuk tubuhnya.
Wujud raut muka yang mengekspresikan watak, terdapat pada
bentuk-bentuk mata, hidung, mulut, warna roman muka, begitu
pula pada posisi sikap wajah, yaitu ‘luruh’, ‘longok’ dan ‘langak’-
nya. Sikap muka yang merunduk (luruh), melihat ke depan
(longok) dan agak menengadah (langak), menggambarkan watak
yang berbeda di antara satu dengan yang lain. Begitu pula wajah
yang berwarna hitam, merah, kuning emas (prada) dan biru pada
raut mukanya. Dengan demikian semakin disadari perlunya
pengenalan wayang kulit pada gambarnya, tatahannya, dan
penyunggingannya. Apalagi pada episode „kehidupan‟ suatu peraga
wayang tertentu dikenali pula apa yang disebut ‘wanda’. Wanda
adalah bentuk wayang pada posisi tertentu. Jagalabilawa (nama
khas dari Werkudara masa mengabdi secara tersamar di kraton
Wiratha) atau Bima misalnya, mempunyai beberapa bentuk yang
disebut ‘wanda’, yaitu Wanda Mimis (peluru), Wanda Lindu Panon
dan Wanda Lindu. Dibandingkan dengan bentuk Werkudara,
mempunyai perbedaan dalam hal gelung (ikat kepala), warna wajah

9
Bab 1. Pendahuluan

dan warna tubuh. Dengan demikian (ge)-gambar-(an) wayang yang


ekspressif dekoratif, tatah-(an) dan sungging- (an) yang ornamental
perlu diingat dan dikenali, apalagi berkenaan dengan
perkembangan teknologi modern yang harus dikaitkan dengan
konsep (ke)-senirupa-(an) masa kini.

Gamelan. Tidak dari awal pertunjukan wayang diiringi


gamelan. Karena pada masa itu gamelan memang belum ada.
Artinya, pertunjukan wayang telah ada sebelum adanya gamelan.
Atau, wayang dan gamelan merupakan pertunjukan sendiri-sendiri
yang terpisah antara satu dengan yang lain. Konser gamelan – lepas
sebagai pengiring wayang – memang tampil dalam berbagai
bentuk. Ada yang disebut ‘cokekan’, ‘siteran’, ‘gadon’, selain ada
pula konser lengkap yang disebut ‘klenengan’. Belakangan ada
pula gamelan Sekaten. Dipertunjukkan di Mesjid Agung Surakarta
dan Jogyakarta. Unit gamelan Sekaten milik kraton Surakarta
antara lain bernama Ki Guntur Madu. Ia menggunakan dan
mempunyai beberapa instrumen khusus. Antara lain ‘Bonang
Panembung’, bonang berukuran lebih besar dari pada ‘Bonang
Barung’. Ukuran serta jumlah dari pada ‘balungan’, seperti
‘Demung’, ‘Saron’, lebih besar dan lebih banyak. Teknis
membunyikan juga lebih keras (soran) dengan gending-gending
khusus, antara lain ‘Rambu’ dan ‘Rangkung’. Tentunya dengan
pemukul (tabuh) yang lebih besar pula. Kendang, sebagai
‘pamurba wirama’, dihilangkan diganti dengan ‘bedug’, sehingga
terkesan lebih ’Islami’. Konon gamelan ini ditambahkan serta
dipindahkan pertunjukannya ke mesjid oleh Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga (lihat lampiran). Dua wali di antara sembilan wali
yang dikenali sebagai ‘Wali Sanga’, penyebar agama Islam di
Jawa. Pertunjukan wayang mulai dikenal pada zaman Prabu
Jayabaya yang bertahta di Mamonang, tahun 930. Kemudian
berkembang pada zaman Erlangga di Kediri. Menurut Hazeu,
sebagaimana dikutip oleh Amir Mertosedono, dalam bukunya
‘Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya’, wayang pada
zaman tersebut tidak mengambil cerita dari epos Ramayana dan
Mahabharata dari India itu, akan tetapi cerita ‘Panji-Sekartaji’.
Cerita yang sampai sekarang masih berlaku dalam pertunjukan
„wayang madya’ atau ‘wayang gedog’. Bentuk wayang itu sendiri
sangat berbeda dengan yang terdapat di India, misalnya pada
pertunjukan ‘Kathakali’. Diakui bahwa wayang merupakan

10
Bayang-Bayang Wayang

pertunjukan yang menampilkan penggambaran tentang sifat dan


karakter manusia. Oleh karenanya, pertunjukan wayang diyakini
sebagai hasil kreasi atau kebudayaan asli orang Jawa (Indonesia).
Ketika kemudian epos Ramayana dan Mahabharata masuk, dalam
beberapa hal ia diakomodasikan dan di adopsi dan diadaptasi dalam
wayang Indonesia. Untuk „menterjemahkan‟ sifat dan karakter
manusia tersebut. Sehingga sesungguhnya, ‘nonton’ wayang ibarat
berkaca (kaca benggala), sekaligus menyadari akan perilaku yang
baik, maupun yang buruk. Juga tentang konflik-konflik yang
terjadi, berikut alasan-alasan yang terkadang memang terkesan
dilematis (Amir, 1986: 6-7). Lihat Serat Tripama yang
menampilkan posisi dilematis dari pada Adipati Karna, dari
Ngawangga, patih Suwandageni dari Maespati dan Kumbakarna
dari Alengkadiraja. Sebenarnya juga: Gunawan Wibisana. Terserah
kepada penonton, perilaku peraga yang mana yang akan menjadi
panduan hidup dan „idola‟-nya. Keasyikan nonton wayang dalam
konteks gambaran sedemikian mungkin seperti penonton fanatik
sinetron masa kini. Yang tetap diikuti oleh penonton setianya
meskipun bersambung-sambung hingga lebih dari seratus episode.
Saat itu pertunjukan wayang sudah menggunakan alat tetabuhan
yang dinamakan „Thudung‟ (sejenis seruling), saron dan kemanak.
Kemanak terbuat dari brons dalam bentuk seperti pisang dan
berlubang, dibawah terdapat pegangan. Dahulu alat ini dipakai
untuk mengiringi lagu-lagu. Kemanak masih dipakai sampai
sekarang sejak masa ‘Bedaya Ketawang’ di kraton Surakarta
(Amir, 1986: 8). Iringan ‘kemanak’ ini tetap digunakan pada
iringan semua bentuk beksan bedayan, serta ‘kempul isi’ pada
gending-gending Ketawang dengan gerongan khas. Bahkan ketika
gamelan sudah digunakan untuk mengiringi beksan bedayan
tersebut. Ketika gamelan sudah digunakan untuk mengiringi
pertunjukan wayang kulit, maka yang digunakan adalah Laras
Slendro. Laras Slendro dianggap lebih sesuai dengan kualitas dan
warna vokal dalang. Terutama dalam hal sulukan, ada-ada,
pathetan serta kombangan. Oleh karena gendhing-gendhing baku
untuk wayang, sampai sekarang tetap menggunakan laras Slendro,
seperti talu atau patalon, gendhing-gendhing jejeran sesuai dengan
pathetnya, seperti Gambir Sawit (Pathet Sanga) dan Kutut
Manggung (Pathet Manyura) maka disebutkan pula bahwa
penggunaan Laras Pelog adalah pinjaman. Laras Pelog pada
umumnya dipakai sebagai gendhing-gendhing dolanan, gecul yang

11
Bab 1. Pendahuluan

hadir pada adegan Limbukan (Cangik dan Limbuk) serta Gara-gara


(prepat punakawan). Belakangan juga dalam adegan Kusumayudha
(Perang Kembang), dengan iringan Ayak-ayakan Kemudha Laras
Pelog Pathet Enem.

Kelir. Wayang Golek dan Wayang Klithik tidak


menggunakan kelir. Kelir adalah layar lebar yang digunakan pada
pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di pasang pada
bagian ‘pringgitan’. Bagian ini merupakan bagian peralihan dari
pada ranah publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem atau
nggandok. Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolong
keluarga, pada umumnya nonton di bagian dalam ndalem, yang
sering dianggep nonton mburi kelir. Nonton di belakang kelir ini
memang benar-benar „wewayangan’, atau bayang-bayang. Lihat
buku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan
Domestik dan Publik’ (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruh
blencong yang seolah-olah „menghidupkan‟ wayang akan dapat
terlihat (lihat: Blencong). Penonton juga tidak terganggu oleh
adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepan
kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peraga
wayang itu sendiri, oleh karena tatah dan sungging-nya, berikut
simpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau
waranggana manakala ada. Sayang, menyaksikan dari sisi ini selain
tak dapat menyaksikan pengaruh blencong, dimana wayang seolah-
olah menjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan,
terutama gayor untuk kempul dan gong.

Debog (simpingan). Untuk menancapkan wayang, baik yang


dimainkan maupun yang yang dipamerkan (display), digunakan
‘debog’, yaitu batang pisang. Tak heran, sebagaimana pernah
diceritakan oleh Pandam Guritno, ketika melanglang buana
menampilkan wayang kulit, salah satu kesulitan utama pertunjukan
di Eropa dan Amerika adalah ketiadaan batang pisang (debog)
tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, di Eropa atau Amerika,
peran debog sering diganti dengan karet busa. Barang tentu untuk
„menancapkan‟ wayang yang di-display juga ada aturan-aturan
tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan ki dalang,
mana pula yang harus berada disebelah kirinya. Tugas
‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang
wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan

12
Bayang-Bayang Wayang

segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-


wayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya,
menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya,
menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun
mengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas digunakan
dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga
membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk
dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak
muda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan
akhirnya mencintai wayang.

Blencong. Blencong adalah lampu minyak (minyak kelapa –


lenga klentik) yang khusus digunakan dalam pertunjukan wayang
kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk (paruh) dimana
diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya
seorang penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu
blencong tersebut manakala meredup, atau bahkan mati sama
sekali.Tak boleh pula api itu berkobar terlampau besar. Karena
akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan untuk dalang pada
masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada
fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaan
blencong tersebut. Oleh karena blencong adalah lampu minyak,
maka apinya akan bergoyang manakala ada gerakan-gerakan
wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan oleh ki dalang.
Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong itu
seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu
sendiri. Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakan
listrik atau tromak (petromax). Saat ini blencong sudah jarang
digunakan. Dianggap kurang praktis dan merepotkan.

Kotak, Keprak, Kepyak

„Pemain-pemain‟ yang terdiri dari para pemimpin berbagai


negeri, mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota
serta para anggota DPR dan DPD maupun tokoh-tokoh politik
lainnya, dalam tingkatan daerah masing-masing, pada akhirnya
akan kembali „masuk kotak‟. Baik oleh karena habis masa
jabatannya, di recall, atau karena kejahatan-kejahatan korupsi,
termasuk skandal perselingkuhan yang mungkin dilakukannya.

13
Bab 1. Pendahuluan

Ketika ia masih berada di pentas jabatannya, tentu ia menari sesuai


dengan irama gendang dan atau gendhingnya. Begitu usai, ia akan
diturunkan oleh „dalang‟-nya. Kecuali kalau ia masih harus tampil
dalam panggung berikutnya, yaitu panggung pengadilan. Sama
dengan wayang. Ia akan tampil dan ditampilkan oleh dalangnya.
Ketika perannya selesai, ia akan segera masuk kotak. Tempat untuk
menyimpan wayang.. Tentu saja untuk para „pemain‟ di alam
nyata, tidak bakal diangkat kembali karena keterbatasan usia
manusia. Ia akan dibuka kembali pada waktunya, mungkin
dikeluarkan lagi, apabila ‘lakon’ memerlukannya. Kotak berukuran
1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan dalang selain
sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan
wayang, juga sebagai ‘keprak’, sekaligus tempat menggantungkan
‘kepyak’. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akan
dikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yang
akan di-simping. Di-simping artinya dijajar, di-display di kanan dan
kiri layar (kelir) yang ditancapkan di debog (batang pisang). Kotak
akan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat
dalang ditempatkan kepyak. Sedang kepraknya justru bagian dari
kotak yang dipukul dengan cempala. Keprak adalah suara
dhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan jenis tertentu
diwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala.
Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam
(kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, juga
dipukul dengan cempala, dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai
sasmita atau tanda-tanda untuk – selain mengatur perubahan
adegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep,
menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nada
yang berbeda antara kepyak wayang kulit Jogya dan gaya
Surakarta.

Cempala

Piranti ini merupakan ‘senjata’ bagi dalang untuk


memberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswara
maupun waranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia
bisa dipukulkan pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak,
tiga/empat lempengan logam yang digantungkan pada kotak
wayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang wayang

14
Bayang-Bayang Wayang

– dan ini yang unik – maka tugas untuk membunyikan keprak


maupun kepyak, dengan tetap menggunakan cempala, dilakukan
oleh kaki kanan ki dalang. Cempala – dengan desain sedemikian
rupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk
berikutnya. Menggunakan cempala memerlukan latihan untuk
memperoleh tingkatan ketrampilan tertentu. Memukul kotak
dengan cempala, Ki Dalang dapat memilih berbagai kemungkinan
pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti ada-ada, pathetan,
kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada karawitan untuk
mengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan gamelan.
Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti
suara kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke
dua belah tangan ki dalang sedang memainkan wayang, maka
keprak atau kepyak dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan yang
jarang dapat dilihat oleh para penonton wayang, karena biasanya ia
sedang asyik mengikuti adegan yang ditampilkan di kelir (layar).
Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorang
dalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak,
keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak,
sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang
dilakukannya di layar / kelir.

PENDIDIKAN PEDALANGAN

Meski sementara seniman dan budayawan merasa tidak


terlalu khawatir dengan minat generasi muda terhadap „wayang‟,
terus terang, saya justru merasa miris, khawatir. Penonton generasi
muda terhadap pertunjukan wayang, baik yang menontonnya secara
fisik di tempat-tempat pertunjukan, maupun sekedar nonton di
televisi, merosot drastis, berbanding terbalik dengan
perkembangan dan minat terhadap wayang dan pewayangan di luar
negeri. Manakala ada generasi muda kita yang „memaksakan diri‟
nonton wayang melalui televisi, maka lebih banyak diantaranya
ditonton televisi dari pada nonton televisi. Karena ketiduran.
Perkembangan minat terhadap wayang, sangat besar terutama di
Amerika, termasuk Suriname, kemudian Belanda dan juga Jepang.
Apalagi setelah wayang, kemudian juga batik dan keris, dinyatakan
sebagai hasil karya budaya luar biasa dari manusia Indonesia.
Profesor Mantle Hood, adalah seorang ethnomusikolog yang amat

15
Bab 1. Pendahuluan

mengenal seni karawitan. Lihat bukunya : „Gamelan Orchestra in


the World of Music’. Sementara Mc Hoffman adalah salah seorang
dalang berkebangsaan Amerika. Kaoru Hata dan Hiromi Kano pula
adalah dalang dan pesinden berkebangsaan Jepang. Masih ada
dalang-dalang, pesinden, penabuh gamelan serta pemerhati
gamelan dan wayang dari Perancis, Belanda dan lain-lain. Kalau
pada tahun limapuluhan, dalam acara Dies Natalis Universitas
Gadjah Mada Jogyakarta (19 Desember 1954-1959) dipentaskan
wayang kulit (5 jam) dengan pelaku para sarjana alumni perguruan
tinggi tersebut, antara lain dalang: Letkol Ir. Sri Mulyono;
pengendang Kapten Zeni Ir. Sudirgo, pengrebab, Sita Laksmi, SH
(FH UGM, Ethnomusicologi, USA), penggender penerus,
Sudiyanto, B.Sc; pembonang, Ir Suhadi; Kamanto B.Sc, bonang
penerus; Ir. Suprapta, penabuh gong dan kempul; Drs. Amir
Rokhiyatmo (kemudian menjadi tokoh SENAWANGI), penabuh
Demung dan lain-lain (Sri Mulyono, 1975:104), tentulah hal yang
biasa. Karena GAMA ada di Jogya sebagai salah satu sentral
budaya Jawa. Namun ternyata dalam salah satu dies natalisnya
pula, Universitas Sumatera Utara (USU), juga pernah menampilkan
wayang kulit semalam suntuk dengan tiga dalang bergantian, yaitu
Kaoru Hata (konjen Jepang di Medan); Kombes Pol. Suyitno
Landung (Poldasu) dan Ki Djatiutomo, MBA (PTP III). Sedangkan
Festival Wayang Kulit Provinsi Sumatera Utara, dengan peserta
lebih dari 100 orang, diselenggarakan di Medan, tahun 1969 serta
beberapa tahun berikutnya. Menyambut peringatan Hari
Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, 17 Agustus 1995, PEPADI
Sumut menyelenggarakan serangkaian kegiatan antara lain
pementasan Ki Manteb Sudarsono (auditorium IKIP Medan),
seminar tentang keris (Haryono Guritno), seminar filsafat
pewayangan (Damardjati Supadjar) dan lain-lain. Sementara
“wayang (wong) „pejabat”, juga beberapa kali pernah ditampilkan
di Medan, dengan tokoh-tokohnya antara lain Brigjen Harry
Suwondo, SH (Rektor USU); drs. Suryadi (DPRRI); Kolonel
Sukardi (TNI-AU); Mayor Sugini (Pomdam II/BB); Sugeng
Suharsono; Sugeng Iskumoro (Bank Niaga); Sugeng Karim
Sastrosiswoyo (Kejaksaan Tinggi); Djatiutomo (PTP III);
Subanindyo Hadiluwih, SH (dosen UISU) dan lain-lain. Beberapa
guru dan dosen dikirim dari Indonesia/Jawa ke luar negeri untuk
mengajar disana. Kalau saya sebutkan beberapa orang diantaranya,
niscaya sesungguhnya masih jauh lebih banyak lagi. Misalnya

16
Bayang-Bayang Wayang

Marsam dan Urip Sri Maeni, berpuluh tahun mengajar di California


University Amerika Serikat. Belakangan hadir pula disana RT
Wasitodipuro, Harjito, Ben Suharto, Kardjo dan lain-lain.
Sementara Pudjiyono dan isteri, seorang penari Bali, mengajar di
Monash University. Saya sendiri sempat mengajar di Universiti
Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, setelah universitas tersebut
membeli gamelan Jawa. Beberapa sarjana kita meraih gelar Doctor
(Ph.D) tidak dari salah satu universitas dalam negeri, akan tetapi
justru dari luar negeri. Termasuk I Made Bandem (Amerika), Sal
Murgiyanto (Amerika), Sutarno, RM Sudarsono (Amerika), Sri
Hastanto (Inggris), Rahayu Supanggah (Perancis), dan lain-lain.
Manakala minat generasi muda Indonesia pupus sudah, maka kita
harus belajar wayang, pewayangan, termasuk karawitan Indonesia,
di luar negeri. Di Indonesia sendiri lembaga pendidikan di bidang
kesenian memang lumayan. Sejak tingkatan SMA (konservatori),
misalnya Konservatori Karawitan di Sala, Jogya (tari), Denpasar,
Bandung dan Padang Panjang. Kemudian Sekolah Musik di Jogya
dan Medan. Sementara di tingkatan pendidikan tinggi, dimulai dari
Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI) yang kemudian berubah menjadi Institute Seni
Indonesia (ISI) dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).
Disamping Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang mangkal di Pusat
Kesenian „Taman Ismail Marzuki‟ (TIM). Sayang, Taman Pusat
Kesenian dan Kebudayaan (Tapiandaya) di Medan yang
pembangunannya berkiblat ke TIM Jakarta, terlanjur „almarhum‟
sebelum sempat berkibar. Rangkaian gedung kesenian yang megah,
meski sebelumnya dikenal sebagai tempat „jin membuang anak‟ itu
kemudian dihancurkan secara „sistemik‟ menjadi ajang penataran
P-4 dan kini ajang Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) yang
sedikit banyak tak ada hubungannya dengan proses kreativitas seni,
selain berjualan barang-barang hasil seni dengan mutu yang cukup
rendah. Selanjutnya beberapa IKIP, yang mempunyai Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) dengan Jurusan Seni Drama,
Tari dan Musik (Sendratasik). Berikutnya adalah Fakultas Sastra
dan Kesenian. Seperti Jurusan Ethnomusikologi Fakultas Sastra
USU dan Fakultas Kesenian Nommensen. Bagaimanapun lembaga-
lembaga seperti Taman Budaya merupakan lembaga pendidikan
non-formal di bidang kesenian. Begitu juga dengan Lembaga Pusat
Kesenian Jawa Tengah (LPKJ) era Soedjono Humardhani. Lalu
Yayasan Roro Jonggrang yang pusat kegiatannya di nDalem

17
Bab 1. Pendahuluan

Suryohamijayan dan Puro Pakualaman, yang menampilkan pentas


„Ramayana‟ secara kolosal di Panggung Terbuka (Open Theatre)
Prambanan, era Letjen Gusti Pangeran Haryo Djatikusumo (1961
sampai sekarang). Kegiatan ini merangsang beberapa daerah lain
untuk mendirikan dan membuka Panggung Terbuka. Salah satu
diantaranya Panggung Terbuka Wilatikta di Pandaan, Jawa Timur.
Kegiatan ini juga melahirkan bentuk institusi kesenian ‘ballet’,
yang kemudian mendapatkan namanya yang khas, ‘sendratari’
(seni drama dan tari). Bentuk tari ini menghilangkan ontowecana
(dialog) sekaligus menghilangkan fungsi dalang. Dialog
„diterjemahkan‟ dalam pola gerak, sedang fungsi dalang diambil
alih oleh ‘kendang’ sebagai ‘pamurba wirama’ (penguasa tunggal
irama). Harus diakui lembaga-lembaga pendidikan formal,
informal maupun non-formal ini dinilai berhasil mengangkat
kemampuan kreativitas seniman dengan latar belakang akademis
(terprogram) dari sisi kualitatif, meskipun belum cukup signifikan
secara kuantitatif. Apalagi, mereka yang masuk ke lembaga
pendidikan tersebut ternyata banyak yang berasal dari lingkungan
seniman tradisional. Dari keluarga dalang, penari, pesinden,
pengrawit dan lain-lain. Artinya, ada praktisi yang menuntut bobot
akademis, ada pula akademisi yang menggunakan ‘laboratorium’-
nya berupa kegiatan kesenian masyarakat, sehingga ia berusaha
‘ngamen’, dengan istilah PY (payon) di berbagai acara ‘murub’
(ketemune neng tarub).

Pekerjaan dalang didasarkan atas tradisi yang berabad-abad


tuanya dan diturunkan selalu secara lisan, umumnya dari ayah
kepada anak laki-laki. Meskipun belakangan juga tampil dalang
wanita, namun tidak pernah populer sebagaimana dalang pria.
Disamping pengetahuan dan ketrampilan yang harus dikuasai oleh
mereka, misalnya tentang cerita, gending yang dimainkan oleh
gamelan pengiring, suluk dan teknik pergelaran, juga ada sekian
banyak pengetahuan gaib yang terlibat di dalamnya. Pengetahuan
ini mengenai doa-doa dan mantra-mantra khusus, dan tata cara
tertentu dalam hal tingkah laku yang memberikan kekuatan bagi
dalang menghadapi kejadian-kejadian penting dalam kehidupan
masyarakat, misalnya musim kering dan hama yang mengancam
panen, malang-mujur nasib seseorang dan juga keberhasilan sendiri
sebagai seorang dalang. Pengetahuan gaib demikian semata-mata
hanya boleh dikuasai oleh mereka yang sudah diberkati, dan juga

18
Bayang-Bayang Wayang

telah menempuh beberapa bentuk pengajaran tertentu sebelumnya.


Pengetahuan yang keduniawian dan yang gaib ini berpadu, dan
membentuk apa yang dinamakan ‘pedhalangan’, yaitu ilmu atau
seni dalang. Di dalam masyarakat Jawa tradisional setiap
kedudukan dan pekerjaan seseorang sudah ditentukan oleh kaidah-
kaidah dan nilai-nilai yang berakar di dalam dan bisa diterangkan
dari masa lalu, telah disuratkan untuk selama-lamanya, sehingga
oleh karenanya dipandang sebagai tertib yang mati tidak bisa
ditawar-tawar. Kekurangan pengertian tentang kedudukan
seseorang, dan lalai akan kewajibannya, orang percaya akan
berdampak merusakkan tertib masyarakat dan alam. Oleh karena
itu, menjadi penting agar tingkah laku masyarakat dibimbing dan
diarahkan sebagaimana mestinya, untuk menghindari bencana itu
(Victoria, 1987:6-7). Melengkapi pengetahuan-pengetahuan
sedemikian, biasanya seorang dalang juga memahami beberapa
sajen yang harus disediakan, seperti ayam hidup, ingkung, pisang,
jajan pasar dan lain-lain. Berikut adalah catatan Victoria M. Clara
van Goenendael tentang awal pendidikan formal untuk para dalang.
Sekolah dalang pertama, yaitu Pasinaon Dhalang ing Surakarta
atau Sekolah Dalang Surakarta yang dalam kependekannya disebut
‘Padhasuka’, dibuka pada tahun 1923 atas perintah Susuhunan
Paku Buwana X. Sekolah ini bertempat di museum Radya Pustaka,
yang terletak di taman dan pusat hiburan Sriwedari, oleh
karenanya sekolah ini juga dikenal dengan salah satu dari ke dua
nama itu. Pada tahun 1925 contoh yang diberikan oleh Surakarta
ini ditiru oleh Yogya, ketika sekolah dalang Habirandha dibuka
atas perintah Sultan Hamengku Buwana VIII (1912-1939), dan
dengan di dorong oleh Java Instituut. Pada tahun 1931, menambah
yang sudah ada itu, Mangku Nagara VII (1916-1944) membuka
pula sekolahnya sendiri, yaitu Pasinaon Dhalang ing Mangku-
Nagaran, dalam bentuknya yang lain kelak terkenal dengan
singkatannya PDMN. Salah seorang tokohnya adalah Ki Ngabehi
Wignyasutarna. Nama PDMN pertama kali digunakan secara resmi
di dalam rapat pendirian yayasan untuk Pendidikan Pedalangan di
Mangkunegaran (Pasinaon Pedhalangan ing Mangkunegaran,
PDMN) yang diadakan di pendapa agung Mangkunegaran pada
tanggal 24 Nopember 1949. Kursus dimulai dalam bulan Januari
1950 (Serat Koenjoek, 1950; Victoria, 1987:53-54). Catatan Sri
Mulyono menyebutkan beberapa kursus pedalangan yang
berkembang antara lain: a. Kursus Dalang HBS (Himpunan

19
Bab 1. Pendahuluan

Budaya Surakarta); b. Sekolah dalang Habiranda, Jogyakarta; c.


Kursus/Sekolah Dalang Kasunanan di Museum Radya Pustaka,
Sala; d. PDM, Pasinaon Dalang Mangkunegaran di Surakarta (Ki
Wignyasutarna); e. PDL, Pasinaon Dalang Lebda Jiwa di Kartasura
(Ki Nyatatjarita); f. KPKK, Kursus Pedalangan Kesenian Klaten
(Ki Pujasumarta); g. KDW, Kursus Dalang Wonogiri (Ki Suratno);
h. KDM, Kursus Dalang Malang; i. KDS, Kursus Dalang
Semarang; j. KDM, Kursus Dalang Mardiguna di Jakarta; k. KDS,
Kursus Dalang Sekti di Jakarta; l. HSB, Himpunan Siswa Budaya,
di Surakarta dibawah asuhan Ki Susilatmaja, Ki Pringgasatata, Ki
Sri Handayakusuma dan drs. SD Humardani; Marsudiwirama,
Jogya, dibawah asuhan R. Ng. Nayawirangka / Atmacendana dan
lain-lain (Sri Mulyono, 1975:148). Alasan tentang dibukanya
sekolah-sekolah dalang di istana masing-masing itu bisa
dikemukakan : 1. ketidak puasan terhadap mutu pertunjukan
kebanyakan dalang sebagai akibat kurangnya pendidikan, dan 2.
ketidak mampuan dalang mengikuti perkembangan masyarakat di
dalam pergelaran mereka, sehingga daya tariknya terhadap kaum
intelektual Jawa menurun. Kurikulum sekolah-sekolah ini
ditekankan pada latihan praktek, dengan setiap langkah diterangkan
dalam pelajaran-pelajaran teori secara tersendiri. Juga segi-segi
perbahasan dan sastra dalam pergelaran mendapat banyak
perhatian, misalnya tentang ketepatan pengucapan suluk yang
dilantunkan dalang, dan arti kata-kata di dalamnya; penjelasan
tentang nama-nama tempat; hubungan silsilah yang benar di dalam
tokoh-tokoh wayang; urutan kronologis yang dianggap benar di
antara setiap lakon; dan hubungan wiracarita-wiracarita India,
Ramayana dan Mahabharata dengan lakon-lakon wayang Jawa.
Akibat miskinnya pendidikan di kalangan kebanyakan dalang
rakyat itu, dan sebagai akibatnya juga merekapun menjadi tidak
mengenal bahasa puisi kuna (Kawi), yang justru dari sinilah bahasa
dalang (basa pedhalangan) meminjam sangat banyak unsurnya,
maka kemudian terjadilah perusakan secara besar-besaran terhadap
ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh dalang, demikian juga
dengan segala macam penjelasan yang aneh-aneh mengenai kata-
kata dan kalimat-kalimat yang dipahaminya secara keliru.
Kekeliruan-kekeliruan pengertian seperti itulah yang dilempangkan
di sekolah-sekolah dalang tersebut (Victoria, 1987:56-57). Hal
yang teristimewa penting bagi kebanyakan dalang rakyat ini ialah
bahwa di sekolah itulah mereka untuk pertama kali berhadapan

20
Bayang-Bayang Wayang

dengan tradisi sastra tertulis di kraton-kraton. Dengan demikian,


mereka merasa dicambuk untuk belajar sendiri dengan jalan
mengikuti jam-jam pelajaran. Hasrat ini dimudahkan oleh adanya
penerbitan sejumlah buku pada saat itu, yang biasa digunakan
sebagai bahan pelajaran oleh para dalang, khususnya berkat
bantuan Commissie voor de Volkslectuur, Balai Pustaka, terlebih-
lebih oleh karena buku-buku tersebut dapat dipinjam atau dibeli
dengan harga yang sangat murah. Sejak saat itu naskah-naskah
suluk diterbitkan, seringkali juga dilengkapi dengan notasi
karawitannya. (Belakangan juga diterbitkan oleh penerbit Tan
Khoen Swie, Kediri). Disamping silsilah-silsilah dan kisah-kisah
tentang para tokoh pahlawan wayang, terbit juga sejumlah jalan
cerita wayang (pakem balungan) yang sedikit banyak terinci.
Bahan cerita ini umumnya dipinjam dari atau setidak-tidaknya
diilhami oleh, Pustaka Raja (buku tentang raja-raja) karangan
R.Ng. Ranggawarsita (1802-1874). Dia seorang pujangga kraton
Sala, tetapi menjalin hubungan erat dengan Mangku Nagara IV
(1853-1881), seorang raja penyair yang antara lain dipandang
sebagai tokoh pencipta suatu bentuk wayang baru, wayang madya.
Pustaka Raja adalah buku kumpulan cerita-cerita rakyat, seringkali
dalam bentuk jalan cerita wayang, yang digubah dan disusun oleh
penulisnya begitu rupa, sehingga menanamkan kesan adanya urutan
kronologis tertentu, diperkuat pula oleh pembubuhan pertanggalan
yang sama sekali khayali belaka. Dengan demikian Pustaka Raja
seolah-olah tampil sebagai karya sejarah mengenai riwayat nenek
moyang dan raja-raja Jawa, dan memang demikianlah
sesungguhnya arti buku ini bagi kebanyakan orang Jawa, bukan
sekedar bagi dalang-dalang saja. Bagi mereka, Pustaka Raja,
khususnya bagian pertama yaitu Pustaka Raja Purwa, menjadi
kitab babon (pakem) bagi tradisi pedalangan Surakarta. Diilhami
oleh kitab ini lakon-lakon wayang berkembang menjadi model
penyusunan cerita-cerita baru (carangan). Maka, dalang Surakarta
pun menyatakan diri mengikuti tradisi Surakarta, oleh karena
mereka menggubah lakon-lakonnya dengan bersumber kepada
Pustaka Raja (Victoria, 1987:9-11). Babon (pakem) yang lain
antara lain Pakem Sastra Miruda ditulis oleh Kusumadilaga dan
Murwakala. Pakem belakangan ini menjadi rujukan untuk lakon
dalam upacara ‘ruwatan’. Berbeda dengan rekan-rekan mereka di
Sala, dalang-dalang di Yogyakarta tidak mempunyai pakem yang
bisa dipakai sebagai pedoman. Dalam hal ini yang dimaksud ialah

21
Bab 1. Pendahuluan

semacam kitab babon yang sebanding dengan Pustaka Raja, yang


oleh dalang dipandang sebagai buku pegangan hukum (semacam
pakem istimewa). Purwakanda (cerita tentang asal muasal) yang
disusun selama pemerintahan Hamengku Buwana V (1822-1855),
dan seperti halnya Pustaka Raja yang merupakan kumpulan cerita-
cerita purbakala dan wiracarita dari Jawa masa lalu, barangkali bisa
menjadi kitab babon yang sangat cocok untuk dalang-dalang
Yogyakarta, tetapi hampir tidak diketahui sama sekali di luar
kalangan kraton. Masa belajar di Habiranda adalah tiga tahun.
Pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga setiap tahun diajarkan
satu „babak‟ yang dirancang mengikuti cara yang ditetapkan dalam
iringan gamelan (pathet), yaitu Pathet nem untuk babak pertama,
pathet sanga untuk babak ke dua, dan pathet manyura untuk babak
ke tiga. Mncermati nama-nama Pathet ini sudah menunjukkan
bahwa dasar dari pada gamelan pada masa awal perkembangan
wayang menggunakan gamelan Slendro. Karena pada gamelan
dengan laras Pelog, maka pathetannya adalah Pelog Lima, Nem,
dan Pelog Barang. Dalam setiap tahun setiap babak itu diterangkan
secara terinci. Pada akhir tahun ke tiga pendidikannya, siswa baru
diduga mampu mempergelarkan satu pertunjukan penuh. Pelajaran
tidak berdasarkan satu naskah baku tertentu, tetapi dengan
menggunakan petilan-petilan dari berbagai macam lakon.
Diharapkan pada akhir tahun ke tiga, siswa sudah akan pandai
menggubah lakon sendiri, dan juga menyusun sekaligus
percakapannya (antawecana). Metode ini dikemukakan di dalam
Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid I Gegaran Pamulangan
Habiranda (Pedalangan Yogyakarta Jilid I Pedoman Pendidikan
Habiranda), sebuah buku pedoman yang disusun oleh sejumlah
guru Habiranda bersama-sama dengan Raden Mas Mujanattistomo,
dan diterbitkan oleh Yayasan Habiranda pada tahun 1977. Buku ini
diterbitkan dalam edisi sangat mewah, sehingga tidak terjangkau
oleh dompet sebagian besar siswa sekolah itu. Kasus yang hampir
sama juga pernah terjadi dengan diterbitkannya buku tentang keris
bernama Relung Pustaka, oleh Raden Tumenggung Hardjonegoro
(Go Tik Swan), kala itu pimpinan Museum kraton Radya Pustaka.
Oleh karena diterbitkan dalam edisi sangat mewah, dengan
pewarnaan yang sangat canggih pada masa itu, maka setelah
beberapa nomor, akhirnya Relung Pustaka mengalami nasib yang
sama dengan Pedhalangan Ngayogyakarta, keburu bangkrut
dengan lay out yang sesungguhnya memang sangat indah.

22

You might also like