You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

Filariasis limfatik merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan
bagi banyak negara beriklim tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh parasit kelompok nematoda yang disebut filaridae yang ditularkan melalui nyamuk sebagai
vektor dan manusia sebagai host definitifnya.
Filariasis di Indonesia masih merupakan problem kesehatan masyarakat yang
memberikan dampak sosial-ekonomi yang negatif, berupa produktivitas kerja yang menurun dan
beban sosial dan ekonomi bagi penderita elefantiasis.
Prevalensi filariasis tidak memandang jenis kelamin, umur, maupun ras. Berdasarkan
prevalensi nasional Filariasis pada 2007, prevalensi filariasis di Indonesia (berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah 0,11%. Sebanyak 8 provinsi mempunyai
prevalensi Filariasis diatas prevalensi nasional, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Kepulauan
Riau, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.1

1
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal.xii
BAB II
PENGERTIAN DAN GEJALA KLINIS

A. Pengertian
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit kronis yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk, dan dapat menyebabkan kecacatan dan stigma. Penyakit ini merupakan penyakit
menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini bersifat menahun (kronis)
dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.2.
Filariasis limfatik merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing mirip
benang yang disebut filariae, termasuk spesies Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori. Parasit filaria dewasa hidup pada sistem limfatik yang merupakan komponen
esensial sistem pertahanan tubuh. Cacing tersebut diperkirakan memiliki masa reproduksi
aktif selama 4-5 tahun, yang menghasilkan larva immatur – mikrofilaria – yang bersirkulasi
di dalam darah.3
Filariasis tidak membunuh penderita tetapi penderitaan orang yang terkena penyakit
tersebut cukup berat, yang mengakibatkan turunnya produktivitas secara individual, keluarga
maupun masyarakat

B. Gejala Klinis
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem
limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi
hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis.
Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan
limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem
limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya,
tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
 Masa prepaten
2
Ludi Mauliana Safaat.2010.Kapita Selekta Epidemiologi Penyakit Menular. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.hal.26
3
Lymphatic Filariasis. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, hal.1
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang
memerlukan waktu kira-kira 37 bulan. Hanya sebagian dari penduduk di daerah endemik
yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua
kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok
yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
 Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang
biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
 Gejala Klinik Akut
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas
dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis
akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
 Gejala Klinis Kronis4
a. Limfedema
Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan,
skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi
pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih
normal.
b. Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang pada
kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir
keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada
kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi
terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat
berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum dapat kadang-kadang
normal kadang-kadang membesar.
c. Kiluria

4
Nasrin. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Dan Perilaku Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis
Di Kabupaten Bangka Barat. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, hal 10
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal
(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga cairan limfe
dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah:
 Air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan
kadang-kadang disertai darah (haematuria).
 Sukar kencing
 Kelelahan tubuh
 Kehilangan berat badan.
d. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya caira limfe
di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung
buah pelir, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut.
 Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,
sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
 Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
 Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu Chyle (Chylocele),
darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan
untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi.
Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih.
 Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan
sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.
 Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang
ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini
menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani
keluarganya.

C. Jenis-jenis Filariasis Limfatik5


a. Filariasis Brancofti

5
Filariasis. 2010. Makalah Referat Kedokteran. www.referensikedokteran.blogspot.com
Filariasis bancrofti adalah infeksi yang disebakan oleh Wechereria bancrofti.
Cacing dewasa hidup di dalam kelenjar dan saluran limfe, sedangkan mikrofilaria
ditemukan di dalam darah. Secara klinis, infeksi bias terjadi tanpa gejala atau
manifestasinya berupa peradangan dan sumbatan saluran limfe. Manusia merupakan satu-
satunya hospes yang diketahui. Wuchereria bancrofti akan mencapai kematangan seksual
dikelenjar dan saluran limfe. Cacing dewasa berwarna putih, kecil seperti benang. Cacing
jantan berukran 40 mm x 0,2 mm, sedangkan cacing betina berukuran dua kali cacing
jantan yaitu 80-100 mm x 0.2-0.3 mm.

b. Filariasis malayi
Penyebab Filariasis Malayi adalah filaria Brugia malayi. Cacing dewasa jenis ini
memiliki ukuran panjang 13-33 mm dengan diaameter 70-80 mikrometer. Sedangkan
cacing betinanya berukuran panjang 43-55 mm dan berdiameter 130-170 mikrometer.

c. Filariasis Timori
Penyebab penyakit ini adalah filaria tipe Brugia timori. Cacing jantan berukuran
panjang 20 mm dengan diameter 70-80 mikrometer. Sedangkan yang betina berukuran
panjang 30 mm dengan diameter 100 mikrometer. Filaria tipe ini terdapat di daerah
Timor, pulau Rote, Flores dan beberapa pulau sekitarnya.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan kelenjar limfe. Vektornya adalah
Anopheles barbirostis. Mikrofilarianya menyerupai mikrofilaria Brugia Malayi, yaitu
lekuk badannya patah-patah dan susunan intinya tidak teratur, perbedaannya terletak di
dalam hal :
1. Panjang kepala sama dengan 3x lebar kepala
2. Ekornya mempunyai 2 inti tambahan, yang ukurannya lebih kecil daripada inti-inti
lainnya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan letak inti tambahan
Brugia malayi.
3. Sarungnya tidak mengambil warna pulasan Giemsa
4. Ukurannya lebih panjang daripada mikrofilaria Brugia malayi. Mikrofilaria bersifat
periodik nokturnal.
BAB III
KARAKTERISTIK
HOST, AGENT, DAN ENVIRONMENT

BAB IV
KONSEP PENULARAN

BAB V
RIWAYAT ALAMIAH
DAN POLA PENEBARAN PENYAKIT

A. Riwayat Alamiah Penyakit6


1. Prepatogenesis
Pada filariasis, fase ini terjadi ketika seseorang digigit nyamuk yang sudah
terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung larva stadium 3 (L3). Masa
prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar
antara 37 bulan.
Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi
mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian
menunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri mendapat mikro filaria karena menghisap
darah penderita atau dari hewan yang mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor

6
Ludi Mauliana Safaat, op.cit. hal.31
menghisap darah penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut
terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk.
Dalam tubuh nyamuk microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah
bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukan
gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh manusia larva 3 menuju
sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta
bekembang biak. Di sini faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi
telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit
2. Patogenesis
 Fase Subklinis
Fase ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau system
dalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan tersebut
tidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian
pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis darah pada waktu
malam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam tubuh mereka. Begitu pula jika
meminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) yang sedang digalakkan oleh
pemerintah dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul efek samping
seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, dan
alergi yang menandakan terdapat microfilaria dalam tubuh mereka.
 Fase Klinis
Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukup
untuk memunculkan gejala-gejala (symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit.
Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
 Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat
 Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
 Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar
dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)
 Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
 Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan
dan terasa panas (early lymphodema)
3. Fase Konvalesens
Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens
(penyembuhan) dan meninggal. Fase konvalesens dapat berkembang menjadi sembuh
total, sembuh dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis dapat
disembuhkan jika diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan pengobatan
dapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) karena terjadi penurunan
fungsi sebagian struktur/organ tubuh, yaitu berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat
kelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga menurunkan fungsi aktivitas
seseorang secara keseluruhan.

B. Pola Penyebaran Penyakit


BAB VI
PENCEGAHAN, PENGOBATAN,
DAN PENANGGULANGAN

Peran pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan filariasis adalah memutuskan


rantai penularan serta memberikan pelayanan berupa pengobatan dan perawatan penderita untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder dan menekan frekuensi serangan akut.
Pada tahun 1997, World Health Asembly menetapkan resolusi ”Elimination of Lymphatic
Filariasis as a Public Health Problem”, yang kemudian pada tahun 2000 diperkuat dengan
keputusan WHO dengan mendeklarasikan ”The Global Goal Elimination of Lymphatic
Filariasis as a Public Health Problem by the year 2020”. Sesuai dengan peraturan Presiden
Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahun 2004–2009, Indonesia telah melaksanakan eliminasi filariasis sebagai salah satu
prioritas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama, yaitu
memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal di daerah endemis dan upaya
pencegahan serta membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.7

C. Cara Pencegahan8
 Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan
dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
 Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan
menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk
serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit
pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur
dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida
piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat

7
Nasrin op.cit hal.5
8
James Chin. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Hal. 208
perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan
membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vektor pada suatu
daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam dari
tumbuhan air (Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut.
 Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah
dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk
memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
 Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine (DEC,

Banocide®, Hetrazan®, Notezine®); Pengobatan ini terbukti lebih efektif bila diikuti
dengan pengobatan setiap bulan menggunakan DEC dosis rendah (25-50 mg/kg BB)
selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g garam) selama 6
bulan sampai dengan 2 tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping
dapat mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemis onchocerciasis
(lihat Onchorcerciasis, reaksi Marzotti). Ivermectin dan Albendazole juga telah
digunakan; saat ini, pengobatan dosis tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini
akan lebih efektif.

B. Pengobatan
C. Penanggulangan

BAB VII
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Nasrin. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Dan Perilaku Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Filariasis Di Kabupaten Bangka Barat. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Filariasis. 2010. Makalah Referat Kedokteran. www.referensikedokteran.blogspot.com, diunduh
pada tanggal 19 Januari 2011
Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17.

Safaat,Ludi M..2010.Kapita Selekta Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Universitas Islam


Negeri Syarif Hidayatullah
Lymphatic Filariasis. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

You might also like