You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu gangguan


yang kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor. PPOK memiliki suatu
karakteristik berupa keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang kekerapan
PPOK. Namun pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI
1992 menunjukkan angka kematian akibat asma, bronkitis kronis dan
emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4% dan
angka kematian mencapai 6%, sedangkan angka kesakitan wanita 2% dan
angka kematian 4%, dengan umur penderita di atas 45 tahun. National
Health Interview Survey mendapatkan, sebanyak 2,5 juta penderita
emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan
30% lebih memerlukan rawat inap di rumah sakit. Dan berdasarkan temuan
The Tecumseh Community Health Study, PPOK menyumbang 3% dari
seluruh kematian dan merupakan urutan kelima penyebab kematian di
Amerika. Pada tahun 1992, Thoracic Society of the Republic of China (ROC)
menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun
1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi, serta
menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan. 3
Berbagai faktor dapat berperan dalam peningkatan kejadian PPOK,
baik sebagai faktor resiko serta sebagai faktor pencetus timbulnya PPOK.
Faktor paling utama sebagai faktor resiko PPOK adalah kebiasaan merokok.
Di Negara-negara maju tercatat bahwa 80-85% penderita PPOK adalah
perokok. Namun hanya 15% perokok yang menderita PPOK dengan gejala

1
klinis nyata sedangkan sisanya bermanifestasi keterbatasan jalan napas
tanpa disertai sesak, batuk dan produksi sputum berlebihan. Kebiasaan
merokok yang masih tinggi ini terjadi pada umur diatas 15 tahun yaitu sekitar
60-70%. Tidak hanya kebiasaan merokok, paparan asap rokok pada perokok
pasif juga dapat menjadi faktor yang dapat menimbulkan PPOK, meskipun
belum ada studi khusus yang meneliti tentang PPOK dan perokok pasif.
Faktor-faktor lain yang dapat menjadi pemicu adalah faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, partikel yang dapat menjadi
pencetus timbulnya PPOK antara lain debu, gas, asap kendaraan, dan
bahan-bahan antigen lain. Pengaruh industrialisasi dan pengaruh paparan
polusi udara terutama di kota-kota besar juga dapat memiliki dampak yang
cukup besar terhadap penyebab timbulnya PPOK.3
Faktor jenis kelamin juga dapat menjadi faktor resiko, data dari
National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) I dan
NHANES III memperkirakan kemungkinan terjadinya PPOK lebih tinggi pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kesimpulan ini diambil dari data
spirometri. Dan angka kejadian akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Usia juga dapat sebagai faktor resiko timbulnya PPOK.
Adanya peningkatan usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-
an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an dapat menjadi penyebab
peningkatan pasien PPOK.3

B. Tujuan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk memberikan


gambaran secara singkat mengenai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
meliputi definisi, faktor resiko, patogenesis, penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan terhadap Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. 4

B. Penyebab PPOK
Ada 2 (dua) penyebab dari penyumbatan aliran udara pada penyakit
ini, yaitu emfisema dan bronkitis kronis.

Gambar I. Paru normal dibandingkan PPOK

3
1. Emfisema

Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh


pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding
alveoli atau suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang
disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal,
sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli),
membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap
terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga
bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat
udara dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara
menyempit dan sifatnya menetap.4

Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli.


Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang
menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih
yang akan menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang
akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli.Merokok akan
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu
dengan cara merusak sel-sel seperti rambut (silia) yang secara normal
membawa lendir ke mulut dan membantu mengeluarkan bahan-bahan
beracun.2

Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang


peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase.
Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang
tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga
emfisema terjadi pada awal usia pertengahan (terutama pada perokok). 2

Gambar II. Gambaran paru emfisema

4
2. Bronkhitis kronis

Bronkitis kronis adalah Kelainan saluran napas yang ditandai oleh


batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. merupakan
batuk menahun yang menetap, yang disertai dengan pembentukan dahak
dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui
(misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan
jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan
kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara. 2

Gambar III. Gambaran paru bronkhitis

5
C. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu.
Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga
dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru
dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.
Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan
dengan risiko mendapatkan PPOK.5
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru

6
adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan
perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok
akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor
genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor
risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang
cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. 5
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan
lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang
ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat
pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan
jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun
artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan
menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,
asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor),
seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan,
dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi,
gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara
merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor
polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi
dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar
biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor
risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya
PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat
pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi.5
Gambar IV. Mekanisme rokok menyebabkan PPOK

7
D. Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga
tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan
keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas
antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering
dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP). 4
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.

8
Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan.4
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di
dalam paru dan saluran udara kolaps.4
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk
melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak
diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan
(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran
gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi,
dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi
hipoksik pada arteriol.4

9
E. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan
dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK
sesuai derajat penyakit.
1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),
dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun
polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab
kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien
merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200),
sedang (200-600), dan berat ( >600).6
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak

10
napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala
sesak menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 1).4

Tabel I. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)


Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1
tingkat
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah
beberapa menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi

 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer (Gambaran yang khas pada emfisema,
penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips
breathing) atau blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik,
penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di
basal paru, sianosis sentral dan perifer)

b. Palpasi
 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi

11
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
 suara napas vesikuler normal, atau melemah
 terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
 ekspirasi memanjang
6
 bunyi jantung terdengar jauh

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak
tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.4

b. Radiologi (foto toraks)


Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun
kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien.4
c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum

12
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu:

Klasifikasi Tabel II. Klasifikasi


Gejala Klinis PPOK. Spirometri
Penyakit
PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk -VEP1 ≥ 80% prediksi
-Dengan atau tanpa produksi (nilai normal spirometri)
sputum -VEP1/KVP < 70%
-Sesak napas derajat sesak 1
sampai derajat sesak 2
PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -VEP1/KVP < 70%
-Dengan atau tanpa produksi -50% ≤ VEP1 < 80%
sputum prediksi
-Sesak napas derajat 3
PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 -VEP1/KVP < 70%
dan 5 -30% ≤ VEP1 < 50%
-Eksaserbasi lebih sering prediksi
terjadi
PPOK Sangat -Sesak napas derajat sesak 4 -VEP1/KVP <70%
Berat dan 5 dengan gagal napas -VEP1 < 30% prediksi,
kronik atau
-Eksaserbasi lebih sering -VEP1 < 50% dengan
terjadi gagal napas kronik
-Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung
kanan

Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial


(biasanya karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung,
aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak
tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat,
penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk,
lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada
stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi). 6

13
Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien
sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Faktor risiko yang signifikan
adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien
dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367
meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan
perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44 mmHg,
dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi
sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum.
Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga
tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II
(eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III
(eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.6

F. Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma
pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau
gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal
jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel III. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK,
asma bronkial dan gagal jantung kronik
PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung
Kronik
Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia
Riwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak ada

14
Pola sesak Terus menerus, Hilang timbul Timbul pada
napas bertambah berat waktu aktivitas
dengan aktivitas
Ronki Kadang-kadang + ++
Mengi Kadang-kadang ++ +
Vesikular Melemah Normal Meningkat
Spirometri Obstruksi ++ Obstruksi ++ Obstruksi +
Restriksi + Restriksi ++
Reversibilitas < ++ +
Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung
kongestif

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hidup penderita

Tatalaksana PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana


eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya.
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.6

15
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktiviti optimal
d. Meningkatkan kualiti hidup

2. Obat – obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).6
Macam - macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
 Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

16
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
 Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. 1

c. Antibiotika
 Lini I :
- Amoksisilin
- Makrolid
 Lini II :
- amoksisilin dan asam klavulanat
- sefalosporin
- kuinolon
- makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih
 Amoksilin dan klavulanat
 Sefalosporin generasi II & III injeksi

17
 Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
 Aminoglikose per injeksi
 Kuinolon per injeksi
 Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. 6

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 1
f. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. 1

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya. Manfaat oksigen1 :
 Mengurangi sesak
 Memperbaiki aktiviti
 Mengurangi hipertensi pulmonal

18
 Mengurangi vasokonstriksi
 Mengurangi hematokrit
 Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
 Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi :
 Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
 Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen :
 Pemberian oksigen jangka panjang
 Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
 Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
 Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat
berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen
diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di
rumah dibedakan :
 Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =
LTOT )
 Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
 Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan
stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap
hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada
waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita

19
tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak
napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan
analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai
saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
 Nasal kanul
 Sungkup venture
 Sungkup rebreathing
 Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan
kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik
dapat dilakukan dengan cara 1 :
 ventilasi mekanik dengan intubasi
 ventilasi mekanik tanpa intubasi

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena

20
berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis
gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan1 :
 Penurunan berat badan
 Kadar albumin darah
 Antropometri
 Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)
 Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak
akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)
dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa
tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya,
protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan
respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK
dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan
kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK
karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah 1 :
 Hipofosfatemi
 Hiperkalemi
 Hipokalsemi
 Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan
waktu pemberian yang lebih sering.

21
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor
pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah
berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam,
dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi
infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor
pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan.6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Paru Obtruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang bersifat


progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun / berbahaya. Kebiasaan merokok, usia pertengahan
dan hidup dilingkungan dengan kondisi udara yang kurang sehat bisa
menjadi faktor resiko terjadinya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Penatalaksanaan PPOK yang baik akan meningkatkan kualitas hidup
penderitanya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society and European Respiratory Society.


Standart for the diagnosis and management of patients with
COPD; 2001.

2. Baratawidjaja, G.K. Bronchitis kronis, dalam Soeparman Ilmu


Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI ; 1990.

3. Candly. Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Eksaserbasi Akut di RSUP H Adam Malik Medan. Medan :
Universitas Sumatera Utara ; 2010.

4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global


Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of

23
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical
Communications Resources ; 2009. Available from:
http://www.goldcopd.org [Accessed 23 march 2011].

5. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C. Risk
Factors. In: Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. London: BC Decker
Inc ; 2002.

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru


Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia ; 2003. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
[Accessed 23 March 2011]

24

You might also like