You are on page 1of 91

oleh Hafidz Abdurahman M.

Untuk membaca, apalagi melacak, pemikiran Sayyid Qutub (1906-1966), seperti


kata penulis buku ini, diperlukan kejelian dan kecermatan. Karena itu, ketika
menulis

pengantar ini, saya berusaha mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya tentang Sayyid Qutub
dan pemikirannya, agar saya bisa bersikap amanah, setidak-
tidaknya untuk menjawab pertanyaan besar yang belum dijawab dalam buku Perubahan
Mendasar Pemikiran Sayyid Qutub ini.

Pertanyaan-pertanyaan yang justru menjadi kunci pembahasan buku ini. Antara lain: Apa yang
dimaksud “Perubahan Mendasar” dalam pemikiran Sayyid Qutub? Benarkah Sayyid Qutub
mengalami ”perubahan mendasar” dalam pemikirannya? Jika benar, dimanakah letak perubahan
pemikiran yang mendasar itu terjadi? Siapakah yang banyak mewarnai perubahan mendasar dalam
pemikiran Sayyid Qutub? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jelaskan dalam
pengantar ini.

Buku ini dikumpulkan dan artikel yang ditulis secara berseri dalam majalah al-Wa’ie. Dengan
judul at-Taghyir aI-Judzuri fi aI-Fikr al-Syahid Sayyid Qutub (Perubahan Mendasar Pemikiran as-
Syahid Sayyid Qutub), setidak-tidaknya mempunyai dua asumsi. Dalam bahasa Arab: at-Taghyir
al-Judzuri fi al-Fikr bisa diasumsikan:

Pertama, “konsep tentang perubahan mendasar dalam pemikiran.” Dan mungkin inilah yang
dimaksudkan oleh penulis, sebagaimana yang terlihat dalam petikan-petikan pandangan Sayyid
Qutub yang dituangkan dalam tulisannya. Asumsi ini didasarkan kepada sikap penulis untuk
tidak menyinggung sedikit pun tentang apa maksud “perubahan mendasar” yang di-highlight dalam
tulisannya. Karena seluruh wacana pemikiran yang dituangkan dalam buku ini sudah menjawab
maksud “perubahan mendasar”, yang lebih kepada konsep “perubahan mendasar” dalam pemikiran
Sayyid Qutub. Tetapi, mungkin saja asumsi ini tidak betul. Sebab, ada faktor lain yang boleh jadi
mempengaruhi penulis untuk tidak melakukan beberapa catatan di atas, antara lain, karena tulisan
ini bukan merupakan “tulisan ilmiah” yang sengaja disusun untuk menjadi sebuah buku, tetapi
merupakan “tulisan ilmiah” yang ditulis untuk konsumsi majalah. Kedua, “perubahan mendasar
dalam pemikiran…” sebagaimana judul terjemahan buku ini. Makna yang tidak merujuk kepada
“konsep” atau “pemikiran” tentang “perubahan mendasar’ tetapi lebih kepada terjadinya perubahan
mendasar dalam pemikiran Sayyid Qutub. Asumsi ini juga dapat diterima, sekalipun penulis —
karena pertimbangan tertentu— dalam pengantarnya tidak memberikan ulasan tentang maksud
ini.

Asumsi ini dibenarkan, karena biasanya untuk merujuk kepada “konsep” atau “pemikiran”
tentang “perubahan mendasar” dalam bahasa Arab digunakan ”at- Taghyir al-Judzuri fi al-Nadhri”
(konsep “Perubahan Mendasar” dalam pandangan). Karena itu, berdasarkan perspektif kebahasaan,
asumsi yang kedua ini lebih tepat. Cuma persoalannya, jika asumsi kedua yang dianggap Iebih
tepat, buku ini secara keseluruhan tidak menguraikan ciri-ciri “perubahan mendasar” dalam
pemikiran Sayyid, setidaknya dengan comparatively method, antara pemikiran beliau sebelum
dan setelah berubah.

Sekalipun demikian, tidak berarti buku ini tidak layak untuk mengurai “perubahan mendasar”
pemikiran Sayyid Qutub. Paling tidak, buku ini telah membuka mata kita melalui symptom-symptom
yang diurai di dalamnya, setidaknya untuk mendiagnosis hakikat “perubahan mendasar” tersebut.
Hanya penelitian lebih mendalam terhadap hakikat “perubahan mendasar” ini masih perlu
dilakukan. Karena itu, saya memberanikan diri memberikan pengantar buku ini dengan maksud
untuk memecah kekaburan tersebut.

Dilahirkan di Qaryah, wilayah Asyuth, tahun 1906, sepuluh tahun kemudian, Sayyid Qutub telah
hafal aI-Qur’an. Dari Qaryah, beliau melanjutkan studi ke Kairo, tepatnya di Dar al-’Ulum
hingga lulus. Sekitar tahun 1926, pada usia 20 tahun, beliau belajar sastra kepada Abbas
Mahmud al-’Aqqad, penulis buku ad-Dimuqrathiyyah fi al-Islam. Tokoh ini mempunyai
pengaruh besar terhadap Sayyid Qutub. Kurang lebih 25 tahun, Sayyid Qutub bersamanya, dan
karena pengaruh al-’Aqqad-lah, beliau terlibat dengan kehidupan politik yang pertama. Dalam
rentang inilah, beliau menjadi anggota Partai al-Wafd. Pada akhirnya beliau keluar, dan bergabung
dengan Partai al-Haihah al-Sa’adiyyah, pecahan Partai al-Wafd, tetapi hanya bertahan dua tahun.
Setelah itu, beliau tidak terlibat dengan partai manapun.

Al-’Aqqad juga orang yang berjasa mengangkat kepopuleran Sayyid Qutub, dengan peluang
menulis gagasan-gagasannya dalam harian partainya. Beliau akhirnya populer sebagal murid
aI-’Aqqad. Tetapi, sejak tahun 1946, setelah menulis buku at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an,
beliau mulai sedikit demi sedikit menjauhkan diri dan al-’Aqqad.

Selama 25 tahun, antara tahun 1926-1950, Sayyid Qutub belum menggeluti pemikiran Islam,
khususnya ketika bersama al-’Aqqad. Inilah pengaruh negatif al-’Aqqad pada diri Sayyid.
Gambaran ini dapat dilacak dalam tulisan-tulisan beliau seperti yang pernah dipublikasikan oleh
majalah al-Risalah (1934-1952), disamping buku-buku beliau yang dicetak pada rentang masa
tersebut. Tulisan beliau yang dipublikasi dalam rentang waktu tersebut berkisar soal sastra, seperti
bait-bait syair dan beberapa makalah sosial (1933- 1937), konflik terbuka melawan al-Rafi’i
membela al‘Aqqad (1938), kritik nyanyian yang diselingi dengan beberapa bait syair dan
makalah sosial (1940-1941), kritik terbuka kepada Dr. Muhammad Mandur tentang seni retorika
(1943), kritik dan penjelasan tentang aliran seni sebagai aliran al-’Aqqad (1944), kritik dan medan
konflik terbuka dengan Shalah Dzihni tentang kisah dan kisah-kisah Mahmud Taimur (1944 dan
awal 1945), serta uraian tentang krisis di tanah air, peristiwa politik dan problem sosial dengan
beberapa makalah yang berbentuk kritik (1945-1947).

Disamping itu, gambaran di atas juga dapat dilacak dalam buku-buku beliau yang diterbitkan
dalam rentang waktu tersebut. Antara lain: Muhimmah as-Sya‘ir fi al-
Hayah wa Syi’r al-Jail al-Hadhir (1933). Ini merupakan buku beliau yang pertama diterbitkan. Di
dalamnya beliau menguraikan kedudukan seorang penyair dalam kehidupan, dan syair di antara
seni-seni keindahan yang ada, kemudian tentang siapa yang disebut penyair, disamping tentang
kepribadian penyair dan pengaruh lingkungannya. As-Syathi’al-Majhul (1935). Buku ini berisi
kumpulan bait syair yang diterbitkan pertama dan terakhir kali. Dalam pengantarnya, beliau
mengatakan, bahwa buku ini berisi teori ilmiah dan filosofis, ketika seorang penyair
beninteraksi dengan “dunia fantasi”. Naqd Kitab Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr (1939). Ini
berisi bantahan terhadap Taha Husein. Tulisan ini asalnya dimuat dalam buletin Dar al-‘Ulum,
yang kemudian diadopsi oleh koran aI-Ikhwan al-Muslimin, ketika Sayyid Qutub belum menjadi
anggota jamaah ini.

Sekalipun berisi bantahan, tetapi beliau tidak menolak seratus persen pemikiran Taha Husein.
Buku ini juga tidak memberikan bantahan dalam perspektif Islam, tetapi lebih berdasarkan
perspektif edukatif. At-Tashwir al-Fanni fi aI-Qur’an (1945). Ini dianggap sebagai buku
keislaman yang pertama. Al-Athyaf al-Arba’ah (1945). Buku ini ditulis bereempat dengan
saudaranya untuk mengenang kepergian ibunya. Thiflun min al-Qariyah (1946). Sayyid Qutub
menghadiahkannya untuk Taha Hussein, penulis buku al-Ayyam, yang sangat beliau kagumi. Al-
Madinah a!-Mashurah (1946). Buku ini berisi kisah fantasi. Kutub wa Syakhshiyyah (1946).
Karya ini ditujukan kepada para sastrawan, penyair dan pengkaji yang aktivitas sastranya beliau
kritik. Asywak (1947). Ini merupakan karya di bidang roman percintaan. Masyahid al-Qiyamah
fi al-Qur’an (1948). Berisi pemandangan kiamat, dan menguraikan seratus lima puluh
pemandangan, yang terbagi dalam delapan puluh surat. An-Naqd al-Adabi Ushuluhu wa
Manahijuhu (1948). Buku ini berisi kritik sastra, dasar dan metodenya. Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah
fi a/-Islam (1949). Ini dikatakan sebagai buku pemikiran Islam beliau yang pertama kali
diterbitkan. Buku ini ditulis ketika pengaruh Sosialisme begitu kuat di Mesir, dengan
meminjam trade mark “keadilan sosial” Sosialisme, sekalipun beliau coba uraikan dengan
paradigma keislaman beliau. Buku yang disebutkan terakhir ini ditulis sebelum beliau berangkat
ke Amerika, dan sebelum bergabung dengan aI-Ikhwan.

Sebagaimana penuturannya kepada an-Nadawi, setelah beliau melalui fase keraguan terhadap
hakikat keagamaan hingga pada batas yang sangat jauh, akhirnya beliau kembali kepada al-Qur’an
untuk mengobati kegalauannya. Perubahan ini terjadi sejak sekitar tahun 1945, setelah beliau
menulis at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an (1945), Masyahid aI-Qiyamah fi aI-Qur’an (1948) dan
al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949). Ketika di Amerika, tahun 1949, beliau
menyaksikan Hassan al-Bana, pendiri aI-Ikhwan dibunuh. Dari sini, Sayyid mulai simpati
dengan jamaah ini. Setelah kembali ke Mesir, beliau mengkaji sosok Hassan al-Bana, seperti
dalam pengakuannya:
“Saya telah membaca semua risalah al-Imam as-Syahid. Saya mendalami perjalanan hidup
beliau yang bersih dan tujuan-tujuannya yang haq. Dari sini saya tahu, mengapa beliau
dimusuhi? Mengapa beliau dibunuh? Karena itu, saya benjanji kepada Allah untuk memikul
amanah ini sepeninggal beliau, dan akan melanjutkan perjalanan ini seperti yang beliau lalui,
ketika beliau bertemu dengan Allah”4

Pada tahun 1951, ketika berusia 45 tahun, beliau bergabung dengan al-Ikhwan. Pada saat
inilah, Sayyid menganggap dirinya baru dilahirkan, setelah dua puluh lima tahun umurnya
dihabiskan dengan al-’Aqqad. Sejak masuk jamaah ini hingga meninggal dunia, beliau hanya
sempat hidup selama 15 tahun, hingga dijatuhi hukuman mati oleh regim Nasser, kawan beliau
dalam merancang Revolusi Juli tahun 1952, setahun setelah bergabung dengan al-Ikhwan. Dalam
jamaah ini, sekalipun beliau tidak pernah menjabat sebagai pemimpin al-Ikhwan, seperti al-Bana,
tetapi beliau dinobatkan sebagai pemikir nomer dua setelah al-Bana.

Perubahan Sayyid nampak terutama setelah bergabung dengan Al-Ikhwan, sekalipun ini bukan
fase akhir perubahan pemikiran beliau. Perubahan ini nampak misalnya dalam buku beliau, antara
lain: Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’simaliyyah (1951). Buku yang menekankan, bahwa hanya
Islam-lah satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan semua krisis sosial yang terjadi. As-
Salam al-Alami wa al-Islam (1951). Ini mengurai kegoncangan dunia dan perdamaian yang dapat
diwujudkan oleh Islam. Fi DhilaI aI-Qur’an juz I (1952). Karya monumental beliau setelah
kembali kepada al-Qur’an. Dirasat Islamiyyah (1950-1953). Buku ini berisi tiga puluh enam
makalah. Hadza ad-Din (1953). Buku yang mencerminkan fase baru pemikiran Islam beliau.
Kemudian secara berurutan, dalam rentang antara tahun 1953-1966, keluar buku beliau, seperti:
al-Mustaqbal Iihadza ad-Din, Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh, al-Islam wa
Musykilat aI-Hadharah dan Ma’alim fi at-Thariq.
Bahwa perubahan pemikiran Sayyid Qutub setelah bergabung dengan al-Ikhwan bukan merupakan
fase akhir perubahan mendasar dalam pemikirannya, nampak setelah pemikiran beliau dilacak
dengan teliti dan cermat melalui buku-bukunya. Karena itu, seperti yang diungkapkan oleh Shalah
al-Khalidi (1981), ketika buku beliau yang pertama diterbitkan, at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an
(1945), mereka yang arif mengatakan: “Inilah kitab Sayyid Qutub.” Ketika buku al-’Adalah al-
Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949) terbit, mereka mengatakan: “Bukan itu. Inilah kitab Sayyid
Qutub.”

Ketika buku Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh terbit, mereka mengatakan:


“Bukan itu, tapi ini.” Ketika Fi Dhilal al-Qur’an juz I (1952) terbit, mereka mengatakan:
“Inilah buku beliau.” Dan begitu buku Ma’alim fi at-Thariq terbit, mereka mengatakan: “Inilah
kitab Sayyid Qutub yang sesungguhnya.” Karena
itu, “Saya yakin, kalaulah Allah menakdirkan terbitnya buku-buku gerakan keislaman beliau
yang lain setelah Ma’alim, pasti akan menutup apa yang ditulis sebelumnya.” demikian ungkap
Shalah al-Khalidi, ketika menggambarkan perubahan demi perubahan dalam pemikiran sang syahid
ini.

Inilah “perubahan mendasar” yang terjadi dalam pemikiran tokoh syahid ini. Boleh jadi karena
faktor keikhlasannya, beliau akhirnya dapat meraih kedudukan agung ini. Keikhlasan ini nampak
ketika beliau mampu mengumumkan, bahwa dirinya telah melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran
beliau sebelumnya, setelah beliau mengadopsi pemikirannya yang baru. Sesuatu yang biasanya
sulit dilakukan oleh orang yang mempunyai popularitas seperti beliau. Keikhlasan beliau juga
nampak ketika pada tahun 1953 berkunjung ke al-Quds, dan bertemu dengan as-Syeikh
Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam pertemuan ini, beliau melakukan dialog pemikiran dengannya,
yang pada akhirnya beliau mendukung gagasan an-Nabhani dan partainya. Sikap yang jarang
ditemukan pada mereka yang menisbatkan gerakannya kepada beliau. Laporan yang menyatakan
dukungan beliau ini, sangat susah ditemukan dalam tulisan mereka yang menisbatkan gerakannya
kepada Sayyid Qutub. Apa lagi
untuk mendapat laporan, bahwa sedikit banyak beliau juga telah menyerap pandangan-
pandangan tokoh yang disebutkan terakhir ini.

Tentang masalah yang terakhir ini, sekalipun masih terlalu prematur untuk dibuktikan, namun
setidaknya symptom-nya dapat ditemukan ketika melacak wacana pemikiran Sayyid Qutub dalam
buku ini. Pemakaian istilah al-wa’yu, isti’naf al-hayah aI-Islamiyyah (melanjutkan kehidupan
Islam), serta seruan beliau untuk membangkitkan umat melalul tegaknya Khilafah Islam, dan
sebagainya dapat dianggap sebagai symptom penyerapan beliau terhadap pandangan-pandangan
ulama ini. Karena term-term —selain gagasan yang terakhir— ini merupakan term dan gagasan
yang secara konsisten diperjuangkan oleh ulama ini, sejak pertama kali mendirikan partainya,
tahun 1953. Sedangkan sejauh mana pengaruh pandangan tokoh ini terhadap Sayyid
Qutub, apa hanya sekedar intifa‘ (istilahnya dimanfaatkan) ataukah benar-benar ta’atstsur
(terpengaruh). Sekali lagi untuk menjawab masalah ini perlu penelitian yang lebih akurat.

Akhirnya, apapun tentang Sayyid Qutub rahimahullah, beliau adalah as-Syahid yang tetap hidup di
tengah kita. Pemikirannya masih menyinarkan harapan untuk menyembuhkan kondisi umat,
yang masih belum sadar, dan ketika banyak orang sudah tidak lagi mempunyai harapan
terhadap kehidupan mereka. Dan buku ini, merupakan uraian terbaik dalam memahami
mainframe gerakan Sayyid Qutub yang banyak dilupakan oleh para pengikutnya. WaIlahua’lam bi
as-Shawab.
01/02/2011
Kategori: Siyasah . Yang berkaitan: ral, an, banna, hasan, nabhani, taqiyuddin . Penulis: khilafah
trooper
http://khilafahtrooper.wordpress.com/2011/02/01/perubahan-mendasar-pemikiran-sayyid-qutb-dari-al-
aqqad-hasan-al-banna-hingga-taqiyudin-an-nabhani/
Membantah "Dien, Seni, dan Kisah"
Diposkan oleh Abdullah al-Atsary on 5.21.2008 / Label: Pemikiran Sayyid Quthb
Judul ini merupakan salah satu pasal yang terdapat dalam At-Tashwirul Fanniy halaman 171 Sayyid
Quthb berkata di bawah judul ini:

"Dahulu kita katakan bahwa tunduknya 'kisah' kepada maksud keagamaan tidaklah
menghalangi terlihatnya kekhususan-kekhususan seni sewaktu ditampilkan. Sekarang kita
katakan bahwa sebab pengaruh ketundukan inilah makanya nampak keistimewaan-
keistimewaan seni itu sendiri yang diperhitungkan pada tinjauan seni tentang kisah (cerita)
dalam dunia kesenian yang bebas.”

Dia katakan dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

"Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu;
sedang malaikat berbaris-baris. dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu
ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: 'Alangkah
baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.' Maka pada hari itu tiada
seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-
Nya." (Al-Fajar : 21-26)

Dia katakan: "Di tengah-tengah ketakutan ini yang disebarkan oleh tontonan barisan
ketentaraan disertai dengan Jahannam dengan nada (kobaran) barisan ketentaraan yang sangat
teratur dan muncul dari bangunan lafazh yang keras bentuknya bersama dengan adzab tunggal
tiada duanya dan permisalan ikatan, dikatakan kepada orang-orang yang beriman:

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr : 27-30)

Sayyid Quthb pun menafsirkan ayat ini dengan uslub bahasanya, hingga ucapannya:

"Dengan keharmonisan yang memenuhi seluruh ruang udara dengan ridla dan sambutan
kelembutan ini:

(Maka masuklah dalam kelompok hamba-hamba-Ku) berbaur dengan mereka dan saling mencintai:

(Dan masuklah dalam Surga-Ku). Disambungkan dengan bunyi 'Lii' beserta suatu jenis nada di
sekitar pemandangan yang menentramkan berisi gelombang suka cita yang menghanyutkan,
berlawanan dengan nada ketentaraan yang keras itu."

Dia katakan: "Adapun beragamnya musik, meletakkannya sesuai dengan ragam bagian yang
diilustrasikannya. Maka di sisi kami ada yang kami pegangi untuk memastikan bahwasanya dia
mengikuti aturan khusus dan selaras dengan suasana umum tanpa terkecuali. Kadang kita
membutuhkan di dalam meletakkan batasan bagi perbedaan-perbedaan ini dan sewaktu
menerangkannya, kaidah-kaidah nada secara khusus dan istilah-istilah nada, di mana tidak
semua pembaca mempunyai kesiapan untuk menerima ilmu tersebut, demikian juga dengan
kita.

Hanya saja kita menilai masalah ini lebih mudah dari hal tersebut, jikalau kita memilih jenis-
jenis yang berjauhan dan berbagai bentuk nada yang berbeda pada surat An-Naazi’at. Dua
bentuk nada dan pemaduan yang harmonis bersama keadaan keduanya secara
sempurna…………" (At-Tashwirul Fanniy: 110-111)

Kemudian dia melanjutkan menyebutkan macam-macam nada, intonasi, dan penerapan-nya, serta
bahwasanya nada sangat jelas pada sebagian ayat yang membuat tidak butuh lagi mengetahui kaidah-
kaidah musik (halaman 112-113). Sedangkan pada halaman 114-115, dia berbicara tentang visualisasi
serta pembauran berbagai gambar dan lukisan. Dia katakan: "Keserasian warna ini adalah kunci
jalan menuju keserasian yang kita maksudkan itu sendiri di sini. Yang kita maksudkan itu ialah:
1 Apa yang dinamakan 'Kesatuan lukisan', di mana seorang pemula dalam kaidah-
kaidah ini pun memiliki pengetahuan tentang kesatuan ini, sehingga kami tidak
berhajat untuk menjelaskannya, namun cukuplah kami katakan: Sesungguhnya
kaidah-kaidah dasar seni lukis mengharuskan adanya kesatuan antara tiap-tiap
bagian gambar sehingga tidak kacau masing-masing bagiannya.
2 Penyebaran bagian-bagian gambar -setelah penyesuaian- di atas papan dengan
ukuran-ukuran tertentu agar sebagiannya tidak menyerempet bagian yang lain dan
ia tidak kehilangan keharmonisan dalam keseluruhannya.
3 Warna yang dipakai melukis dengannya dan bertahap dalam bayangan agar
merealisasikan iklim kebersamaan yang berpadu dengan ide dan tema.
4 Penggambaran dengan warna-warna sangat memerhatikan keterpaduan ini,
sebagaimana hal tersebut diperhatikan pada pembagian peran dalam adegan sandiwara
dan film. Penggambaran dalam Al-Qur'an tegak di atas asas itu, walaupun satu-satunya
sarana yang dia gunakan hanyalah lafazh-lafazh, maka dengan itu meninggilah nilai
mu'jizat-nya dibandingkan semua usaha tersebut."
Sayyid Quthb mengatakan pada halaman 114 dalam buku At-Tashwir, dia mempersilakan professor
seni Dhiyauddin Muhammad, seorang pengawas lukisan di kementerian ilmu pengetahuan untuk
memberikan koreksi atas bagian khusus tentang keserasian visualisasi, maka diapun berkata:
"Ambillah sebuah surat pendek yang bisa saja disangka oleh sebagian orang serupa dengan
mantera dukun atau perkataan sajak. Dan ambillah surat Al-Falaq! Suasana apakah yang
hendak dibangun di dalamnya? la adalah suasana pengucapan mantera sebab padanya ada
suara tersembunyi, samar, pelan, dan memberikan khayalan."

Pernah saya menyangka/mengira ada seorang muslim yang mengatakan ucapan seperti ini dalam
menafsirkan Al-Qur'an, akan tetapi inilah keterlepasan dari aqidah. Kemudian dia menafsirkan surat ini
berdasarkan kaidahnya, berupa gambar-gambar, foto, perpaduan bagian-bagian, dan pemandangan.

Dia katakan di halaman 117: "Bagian-bagian ini tersebar di atas papan dengan selaras berpadu
sebagai keterpaduan yang sangat dalam, semuanya mempunyai satu warna, ia adalah hal-hal
yang tersembunyi dan menakutkan, dilipat oleh ketersembunyian dan kegelapan, sedangkan
suasana umum tegak di atas asas satu kesatuan bagian dan warna.

Tidak ada dalam penjelasan ini sedikit pun tipu daya, tidaklah nilai kedalaman dari semua
ketelitian ini kosong tanpa tujuan, serta bukanlah tujuan ini sebuah hiasan yang fana.
Permasalahannya bukanlah persoalan lafazh atau pertemuan perasaan, namun ia adalah layar,
suasana, keserasian, dan perpaduan visual yang ternilai sebagai seni kelas tinggi dalam bidang
visual. Ini adalah kemu'jizatan jika diperankan daripada sekedar ungkapan saja."

Saya katakan: Ini adalah tikaman yang sangat mengherankan terhadap kitab Allah subhanahu wa
ta’ala, tindakan yang sangat buruk kepada Rabb alam semesta, dan itulah tipu daya yang sebenarnya.
Seolah Allah subhanahu wa ta’ala seorang seniman yang tidak mempunyai tujuan selain mengundang
decak kagum para seniman dan pelukis, seolah Al-Qur'an tidak menjadi mu'jizat kecuali jika berada di
atas metode Sayyid Quthb berikut kaidahnya yang sesat dan rusak yang terlepas dari aqidah. Lantas
meremehkan tindakan barbar terhadap kedudukan dan kesucian Al-Qur'an juga terhadap keagungan
orang yang berbicara dengannya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah Allah subhanahu wa ta’ala
berikan wahyu untuk menunjuki para hamba-Nya.

Sayyid Quthb berkata pada pasal 'Keharmonisan seni' halaman 86: "Ketika kita berkata
(sesungguhnya visualisasi adalah kaidah dasar uslub Al-Qur'an, lalu imajinasi dan mewujudkan
secara jasadi adalah pemandangan yang sangat jelas dalam visualisasi ini), maka kita tidaklah
berlebihan dalam memberikan penjelasan tentang keistimewaan-keistimewaan Al-Qur'an secara
umum dan juga tidak dengan keistimewaan-keistimewaan visual Al-Qur'an secara khusus. Di
luar semua ini, masih banyak cakrawala lain yang dicapai oleh keselarasan rangkaian Al-Qur'an
serta dengannyalah penyempurnaan. Darinya didapatkan kesesuaian dalam penampilan seni
dan darinya pula lahir musik yang muncul dari pemilihan lafazh dan perangkaiannya dalam
aturan khusus.

Lalu karena pemandangan ini terlalu sangat terang dalam Al-Qur'an dan ia teramat sangat
dalam membangun seni, maka sesungguhnya pembicaraan mereka tentangnya tidaklah
melampaui batas pemandangan yang nampak tersebut, tidak naik kepada pencapaian beragam
uslub nada, keterpaduan semuanya itu dengan suasana di mana dillustrasikan dengan musik ini,
serta peranan yang dimainkannya di setiap bentuk kalimat."

Lalu Sayyid Quthb mengemukakan keistimewaan-keistimewaan lain.

Setelah itu dia katakan di halaman 89: "Bersamaan dengan keistimewaan-keistimewaan yang ia
ciptakan secara hakiki dan berkualitas, sesungguhnya ia senantiasa menjadi pemandangan
keselarasan terbaik yang dapat disentuh oleh seorang pembahas Al-Qur'an. Di belakangnya
masih ada banyak cakrawala lain yang belum mereka singgung sama sekali selain pemandangan
nada musik yang merupakan salah satu ufuk tinggi tersebut. Hanya saja, mereka sebagaimana
yang telah saya katakan terhenti pada pemandangan-pemandangan luar. Lalu ketika visualisasi
Al-Qur'an adalah perkara yang belum mereka paparkan dengan menjadikannya sebagai asas
pengungkapan Qur'ani secara global, maka masih tersisa keselarasan seni dalam visualisasi ini
yang jauh dari ufuq pembahasan mereka sesuai tabiat keadaan."

Saya katakan: Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan mereka semua
kesehatan dan keselamatan dan menjauhkan mereka dari bala' yang ditimpakan kepadamu dengan
sebab kenekatan dan keberpijakanmu yang tanpa aqidah dalam membuat-buat perkataan terhadap
Kitab Allah yang agung yang telah engkau jadikan sebagai medan penerapan seni yang terendah.
Apakah para seniman dan manusia lainnya mempunyai hak untuk meluruskan Al-Qur'an secara
benar??

Sayyid Quthb berkata dalam pasal 'Kisah di dalam Al-Qur'an' halaman 143-144: "Hakikat Al-Qur'an
yang terbesar dalam pengungkapan adalah visualisasi". Juga dia katakan "Seni dan Dien dua hal
yang setingkat di dalam kedalaman jiwa".

Kami katakan: Andaikan perkaranya seperti yang lelah engkau sebutkan, maka tentu Islam tidak akan
memisahkan antara Dien dan seni, padahal Islam mengharamkan lagu, alat senda gurau yang masuk di
dalamnya musik dan gendang, juga Islam mengharamkan gambar (yang bernyawa,-pent) dan
mengabarkan bahwa para pembuat gambar adalah orang yang akan mendapatkan adzab yang terberat
di hari kiamat serta Islam melaknat para pembuat gambar.

Andaikan urusannya sebagaimana yang engkau katakan, maka tentu para nabi, shahabat, dan manusia
pilihan umat ini yakni ulama akan menjadi orang yang paling memerhatikan bidang seni. Sangat
mustahil Dien menilai seni setingkat dengannya, serta sangat jauh orang pilihan umat ini bahkan orang
terburuknya pun dari menganggap Dien dan seni sebagai dua hal yang sederajat.

Andaikan masalahnya seperti yang diucapkan oleh Sayyid Quthb, maka tentu engkau akan
mendapatkan sekolah-sekolah seni akan selalu berdampingan dengan sekolah-sekolah Dien.
Bagaimanapun ulama umat ini adalah manusia yang terpintar tentangnya, namun Allah subhanahu wa
ta’ala melindungi mereka dari was-was semua setan, baik setan manusia maupun jin.

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis:
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-
Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan:
Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
http://hizb-ikhwani.blogspot.com/2008/05/membantah-dien-seni-dan-kisah.html

Sayyid Quthb telah membangun perbuatan fatalnya di dalam buku ini dan selainnya di atas dasar-dasar
yang rusak lagi menghancurkan, yaitu:
1. Kaidah Tashwirul fanniy (visualisasi seni) dan rentetannya yang bersumber dari kaidah tersebut.

2. Keyakinan bahwa Dien dan seni setara.

Berpijak dari sini dan dari dasarnya ini, dia berpendapat bolehnya hasil gambar tangan beserta apa
yang menyertainya berupa alat lukis/gambar dan medianya (papan, kanvas, kertas, dll). Dia telah
meminta bantuan ahli gambar (tashwir) dalan pekerjaannya menyusun At-Tashwirul Fanniy
Sesungguh-nya itu merupakan gambar yang diharamkan dan telah tersebut riwayat yang berisi laknat
dan kecaman keras tentangnya.

Dari sini jugalah dia berpendapat bolehnya permainan musik dengan ragamnya, padahal ia diharamkan
dan seburuk-buruk alat yang melalaikan (dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala). Dia telah
menggunakan pula dalam perkerjaannya ini ahli musik, sebagaimana pernyataannya sendiri.

3. Keterlepasannya dari aqidah yang dia sendiri menegaskan: "Saya dengan terang-terangan
mengatakan hakikat yang terakhir ini, juga menyatakan dengan gamblang bersamanya, bahwa
dalam hal ini saya tidak tunduk pada aqidah religius yang membelenggu pikiranku dari
pemahaman." (At-Tashwirul Fanniy hal. 255)

4. Dia berpegang pada pemikiran dalam apa yang telah dia tetapkan dari Al-Qur'an dan hakikat-hakikat
lainnya, di mana dia katakan dalam bentuk kalimat pembelaan terhadap Al-Qur'an dan semua
ketetapan-nya -berdasarkan pemahamannya-: "Saya dalam titik ini bukanlah pria agamis yang
diikat oleh aqidah murni sehingga tidak bisa melakukan telaah bebas. Bahkan saya adalah pria
pemikir yang menghormati akalnya daripada sifat kufur nikmat dan cerita berhiaskan
kebohongan." (At-Tashwirul Fanniy, hal. 258)

Ternyata realitas tidak sama dengan sangkaannya. Dia justru banyak melakukan kekufuran dan
membuat cerita berhiaskan kebohongan disebabkan keterlepasannya dari aqidah dan anggapannya akan
pemikirannya. Dia mengulang-ulangi pengungkapan kemuliaan yang dirasakannya dengan kebebasan
berpikir ini, lalu dia katakan di dalam Masyahidul Qiyamah fil Qur'an: "Ini bukan sama sekali
kalimat yang berasal dari seorang laki-laki yang terkurangi dari kebebasan berpikir.
Sesungguhnya saya berbangga dengan kalimat singkat yang pasti yang diungkapkan oleh
professor peneliti besar ‘Abdul ‘Aziz Fahmi Basya yang menyifati arah pemikirannya ini: 'la
memberikan semerbak kebebasan akal yang belum pernah kita dengarkan sebelumnya'."

Benarlah, 'Abdul 'Aziz Fahmi Basya berkata bahwa dia tidak pernah mendengarkan kebebasan yang
semisal (gilanya) kebebasan Sayyid Quthb!!

5. Dalam pekerjaannya ini, dia tidak dikekang oleh suatu aqidah apapun dalam mempraktikkan
kaidahnya yang rusak di atas nash-nash Al-Qur'an. Begitu pula dengan rentetan kaidah tersebut,
berupa: pementasan teater, tontonan panggung, drama, gambar, musik dengan beragam jenisnya,
pertunjukan di mana dia telah menjadikan mayoritas nash-nash Qur'ani sebagai panggung yang luas
untuk inovasi Yahudi dan Nasrani, bahkan komunis demi merusak Dien dan akhlak.

6. Dia beranjak dari pemikiran dasar Jahmiyyah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah 'Dia adalah sumber mata air bid'ah' (yakni argumennya akan barunya (bukan azali) alam
dengan barunya jasad dan juga argumennya akan barunya jasad dengan barunya unsur materi):
((Jahmiyah berkata: "Jasmani tidak terpisah dan unsur materi yang baru, sedangkan apa saja yang
tidak terpisah dan yang baru atau apa saja yang tidak mendahului yang baru, maka dia juga baru)).
(Lihat Minhajus Sunnah 1/112-113 cetakan lama)
Beliau juga katakan di tempat lain dalam Minhaj 1/403 cetakan baru: "Berargumen dengan cara ini
mengakibatkan penafian sifat yang dimiliki Allah subhanahu wa ta’ala dan menyebabkan munculnya
bid'ah Jahmiyyah yang telah dikenal oleh Salaf umat ini, serta memberikan bagi golongan dahriyyah
[Golongan yang mengingkari adanya hari kebangkitan. (-pent.)] alasan terbesar untuk menyerang
ajaran yang dibawa oleh para rasul dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Sayyid Quthb telah mengumpulkan kedua dasar yang rusak ini untuk menta'thilkan sifat istiwa'
(bersemayam) Allah di atas Arsy-Nya dan sifat ketinggian-Nya di atas para makhluk. Dia katakan pada
tafsir surat Yunus dalam Azh-Zhilal 3/1762 di pasal 'Imajinasi inderawi dan jasadi' halaman 71-72:
"Ketika kita mengatakan bahwa tashwir (visualisasi) adalah sarana paling diutamakan dalam
uslub (metode) Al-Qur'an serta kaidah utama dalam penjelasan, maka kita belum lagi selesai
berbicara tentang pemandangan universal ini. Di mana sesungguhnya di belakang itu masih
tersisa persoalan yang patut untuk kita pisahkan kedalam pasal khusus."

Kemudian dia menyambung menjelaskan pemikirannya yang bathil, dia katakan:

"Lalu Dia beristiwa' di atas 'Arsy."

(("Beristiwa' di atas Arsy, kalimat majazi untuk mengungkapkan posisi kekuasaan yang
tertinggi, teguh, dan kokoh dengan bahasa yang difahami oleh manusia. Lalu tergambar
dengannya makna-makna sesuai cara Al-Qur'an dalam memberikan gambaran. Sebagaimana
yang telah kami rincikan dalam pasal Imajinasi inderawi dan jasadi' dalam buku At-Tashwirul
Fanniy fil Qur'an.")) (Fi Zhilalil Qur'an 3/1762)

Dia katakan dalam Azh-Zhilal sewaktu menafsirkan surat Thaahaa 4/2328: "Beristiwa' di atas 'Arsy
adalah ungkapan majazi tentang puncak kekuasaan dan ketinggian."

Dalam tafsir surat Al-Furqan dalam Azh-Zhilal 5/2807, ia berkata:

"Lalu Dia beristiwa' di atas 'Arsy."

"Beristiwa di atas Arsy: simbol ketinggian-Nya di atas seluruh makhluk. Adapun Arsy itu
sendiri maka tidak ada celah untuk mengatakan sesuatu tentangnya, namun harus berhenti
pada lafazhnya. Berbeda dengan kata istiwa', yang nampak ini adalah ungkapan majazi tentang
ketinggian. Sedangkan lafazh 'lalu' secara pasti tidak mungkin bermakna berurutannya waktu,
karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengalami keadaan yang berubah-ubah, tidak mungkin
Dia subhanahu wa ta’ala berada dalam suatu keadaan lalu berada pada keadaan yang lain.
Namun yang dimaksudkan di sini hanyalah urutan maknawi: 'Lalu ketinggian adalah derajat di
atas makhluk', ini diungkapkan dalam bentuk kalimat seperti itu."

Kemudian, dia mengulang-ulangi kata 'ketinggian' dan 'kekuasaan' dalam bentuk kalimat yang
menunjukkan bahwa dia tidak mengakui adanya Arsy sebagai makhluk yang Ar-Rahman beristiwa' di
atasnya, sebagaimana dia telah menyebutkannya berulang-ulang yang sebagiannya kian menegaskan
yang lain.

Tafsir surat Ar-Ra'd dalam Zhilalil Qur'an 4/ 2044-2045, ia katakan: "Dari pemandangan yang luar
biasa ini, di mana manusia dapat melihatnya hingga kepada keluarbiasaan yang jauh
tersembunyi yang tidak sanggup untuk dicapai oleh semua pandangan mata dan pemahaman:
"Lalu Dia beristiwa' di atas Arsy."

"Jikalau ia adalah ketinggian maka ini yang tertinggi dan seandainya ia adalah keagungan
maka ini yang teragung, yakni ketinggian mutlak yang Dia gambarkan dalam bentuk wujud
berdasarkan cara Al-Qur'an di dalam memberikan pendekatan tentang persoalan-persoalan
yang mutlak bagi kemampuan pemahaman manusia yang terbatas. Ini juga merupakan
sentuhan keluarbiasaan selanjutnya dari goresan-goresan pensil mu'jizat, sentuhan tentang
ketinggian mutlak di samping sentuhan pertama tentang ketinggian yang dapat dilihat,
keduanya berdampingan dan bersatu di dalam satu ungkapan. Serta dari ketinggian mutlak
kepada penundukan/ pengendalian……"

Dalam surat Al-Hadiid di dalam Azh-Zhilal 6/ 3480, ia katakan: "Dan demikian juga dengan 'Arsy,
kita beriman kepadanya sebagaimana yang Dia sebutkan sementara kita tidaklah mengetahui
hakikatnya. Adapun beristiwa' di atas 'Arsy, maka kita sanggup untuk berkata bahwa 'la
adalah ungkapan kiasan tentang kekuasaan di atas seluruh makhluk', ini berdasarkan apa yang
kita ketahui dari Al-Qur'an secara yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah berubah-
ubah keadaan-Nya. Tidak mungkin Allah awalnya tidak beristiwa' di atas 'Arsy lalu setelah itu
beristiwa'. Pendapat lain: "Kita beriman kepada istiwa' namun kita tidak mencapai ziyyat
(gambaran bagaimana)-nya". Pendapat ini tidak menafsirkan:

"Lalu Dia beristiwa' di atas Arsy."

Hanya saja, lebih utama kita katakan "la adalah kata kiasan dari kekuasaan", sebagaimana
yang telah kita sebutkan. Takwil di sini tidak keluar dari metode yang kita sebutkan tadi,
karena ia tidak bersumber dan ketetapan-ketetapan yang berasal dari diri kita sendiri, bahkan
ia bersandar kepada ketetapan-ketetapan Al-Qur'an sendiri dan gambaran yang
diwahyukannya tentang Dzat Allah subhanahu wa ta’ala juga sifat-sifat-Nya."

Pembaca dapat melihat Sayyid Quthb menakwilkan sifat istiwa' dan ketinggian di manapun letaknya
(dalam Al-Qur'an) dengan penafsiran Jahmiyyah ini. Dia juga membangun tafsirnya di atas kaidah
Jahmiyyah sang sumber bid'ah. Lantas dia menguatkannya dengan kaidah yang dia buat dalam
'Visualisasi seni' dan ekornya 'Mengkhayalkan dan melahirkan dalam bentuk jasadi'. Kaidah ini juga
merupakan sumber lain dari bid'ah-bid'ah yang buruk dan telah dia ukir dalam bukunya; At-Tashwirul
Fanniy, Al-Masyahid, dan Azh-Zhilal.

Ucapannya: "Takwil di sini tidak keluar dari metode yang kita sebutkan tadi, karena ia tidak
bersumber dari ketetapan-ketetapan yang berasal dari diri kita sendiri, bahkan ia bersandar
kepada ketetapan-ketetapan Al-Qur'an sendiri."

Ini perkataan batil, ia sama sekali tidak bersandar kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur'an. Namun justru
bersandar kepada ketentuan-ketentuan sebelumnya yang bersumber dari filosofi Jahmiyyah sesat, di
mana mereka meneguknya dari buku-buku ahli bid'ah lagi sesat dan filosofi kelompok sufi ekstrem
yang telah membawa mereka dan diri Sayyid sendiri sampai kepada ajaran wihdatul wujud
[Reinkarnasi atau istilah jawanya 'Manunggaling kawula Gusti', (keyakinan yang menyatakan
bersatunya Allah dengan makhluk-Nya). (-Penerbit)]. Kemudian dia menguatkan hal itu dengan
filosofi barunya yang dia ambil dari peranan bioskop dan panggung sandiwara beserta apa yang
mengikuti dan bersumber darinya, berupa; tontonan, pertunjukan, serta teori, kaidah-kaidah visualisasi,
dan dasar-dasar berbagai bidang seni perfilman yang telah dia praktikkan atas Al-Qur'an dengan segala
kebiadaban/keberanian.
Sayyid Quthb dalam hal pengaburan dan menimbulkan kerancuan mempunyai bandingan, ketika dia
men-ta'thil [2] sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Dia mengatakan semisal ucapan di atas dan
sewaktu dia menghina para shahabat radhiyallahu ‘anhum dia katakan 'Saya bukanlah kaum Syi'ah',
sebagaimana yang dikatakannya dalam Kutub wasy Syakhsiyyat.

Para pengikut Sayyid Quthb telah mengambil pelajaran darinya berupa cara seperti ini, di mana mereka
memerangi manhaj dan pembela Salaf, setelah itu mengaku-ngaku sebagai orang-orang salafi. Mereka
juga menempuh jalannya dalam memberikan pengakuan palsu dan pengaburan. Hati mereka serupa
dan arwah itu berkelompok-kelompok, maka apa yang sejalan ia pun bersatu dan apa yang tidak sehati
ia pun berselisih. Jiwa mereka telah bersimpangan dengan jiwa para salafiyyin, serta jiwa mereka telah
bersatu dengan jiwa Sayyid Quthb dan lain semisalnya.

7. Sangat berlebihannya dalam memberikan penilaian bagi perfilman, seni peran, dan musik, sehingga
jadilah seni dan Dien sebagai dua hal yang sepadan (sederajat) bagi Sayyid Quthb, sebagaimana yang
dia katakan pada halaman 143-144 dalam buku At-Tashwirul Fanniy dan halaman 231-232 pada Al-
Masyahid:"Dien dan seni adalah dua hal yang sepadan di kedalaman jiwa dan penegasan indera.
Sementara tercapainya keindahan seni menjadi rambu adanya kesiapan untuk menerima
pengaruh keagamaan [3], ketika seni naik ke tingkat setinggi ini dan ketika jiwa menjadi jernih
untuk menerima misi keindahan itu".

Dalam keyakinan batil ini ada kedustaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Dien Islam dalam semua
misi kerasulan merupakan syari'at Allah subhanahu wa ta’ala Rabb alam semesta. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:

"Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan
ha yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali
(kepada-Nya)." (Asy-Syuura: 13)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut'." (An-Nahl : 36)

Termasuk dari thaghut: gambar (patung) yang diajarkan oleh setan dan dia telah menyesatkan generasi
demi generasi dari masa Nuh ‘alaihis sallam hingga hari kita ini. Allah subhanahu wa ta’ala telah
mengutus para nabi untuk mencampakkan, menghancurkan, dan membersihkan bumi dan akal darinya.

Imam Al-Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan dalam Shahih-nya pada tafsir surat Nuh nomor
4920: "Sesungguhnya Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr adalah nama orang-orang Shalih dari
kaum Nuh ‘alaihis sallam. Ketika mereka semua telah meninggal, maka setan membisikkan kepada
kaum mereka untuk membangun patung (mereka) dan menamakan semuanya dengan nama-nama
mereka ditempat majlis-majlis mereka yang dahulu mereka (orang-orang shaleh) duduk ditempat
tersebut. Mereka pun melakukannya, namun saat itu belum disembah. Hingga tatkala mereka semua
telah meninggal sedangkan ilmu telah terhapus, patung-patung itupun disembah (oleh generasi
selanjutnya)."

Yang menjadi saksi dalam hadits ini bahwa penggambaran (makhluk bernyawa) berasal dari bisikan
setan, sementara Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat para pembuat gambar, juga
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya
di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar." (HR. Al-Bukhari no. 5950)

Dan telah tersebut banyak hadits selain kedua hadits di atas yang menjelaskan kerasnya pengharaman
gambar serta penggolongannya ke dalam dosa besar.

Sementara Sayyid Quthb menghalalkannya, menafsirkan dengannya kitab Allah subhanahu wa ta’ala,
dan berpendapat itulah metode penafsiran Al-Qur'an yang tertinggi. Dia telah meminta bantuan untuk
bukunya At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an kepada professor seni Diyauddin Muhammad, seorang
pengawas bidang melukis di Kementrian Ilmu Pengetahuan agar memeriksa bagian khusus tentang
kesejiwaan gambar. Lihat At-Tashwir halaman 114.

Adapun seni peran, maka ia berasal dari peribadatan berhala yang diciptakan oleh bangsa Yunani lantas
diadopsi bangsa Romawi, setelah itu disebarkan oleh kuffar di negeri-negeri kaum muslimin ketika
mereka menjajahnya serta menggunakannya sebagai senjata yang merusak Dien kaum muslimin dan
akhlak. Termasuk di antaranya: bioskop, panggung sandiwara, musik, dan seni peran setan. Tidaklah
diragukan bahwa seni peran/drama itu haram, sebab:

1 Padanya ada kedustaan, karena dusta adalah salah satu rukunnya yang harus ada.
Demikianlah tatkala Sayyid Quthb memanfaatkannya diapun terjatuh dalam kedustaan,
sebagaimana yang akan kami jelaskan di tempat mendiskusikan perkara ini.
2 Penyerupaan diri dengan kuffar dan bertaklid buta terhadap mereka.
3 Laki-laki bisa berperan sebagai perempuan dan perempuan berperan laki-laki, lalu ber-ikhtilath
(bercampur baur) di dalamnya.
Oleh sebab itulah banyak dari para ulama yang mengingkarinya dengan sangat tegas, di antaranya
Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Hammud at-Tuwaijiriy, Syaikh
Shalih al-Fauzan, dan Syaikh Shalih al-Luhaidan. Juga telah sangat banyak karangan buku
Ahlussunnah yang mengharam-kannya, bahkan kalangan ahlil bid'ahpun ikut menyusun buku tentang
keharamannya semisal Al-Ghummariy.

Adapun melodi musik (gitar atau piano atau organ????), maka ia adalah seburuk-buruk alat musik
senda gurau yang melalaikan, banyak hadits shahih yang diriwayatkan berisi pengharamannya, juga
para ulama Islam telah mengharamkannya.

Silakan merujuk kepada kitab Tahriim Aalaatith Tharbi (Haramnya Alat Musik) karangan Al-
Allamah Al-Muhaddits Al-Albani, jika engkau mau maka bacalah semuanya. Jika tidak, maka
cukuplah pasal pertama halaman 36-74, di mana beliau rahimahullah menyebutkan tujuh hadits dalam
pembahasan ini yang menunjukkan diharamkannya lagu dan alat 'senda gurau' (musik). Beliau
mempunyai kalimat sangat bagus tentang musik yang beliau rahimahullah sebutkan di pembukaan
kitab tersebut. Beliau rahimahullah katakan pada halaman 15: "Di antara hal tersebut, kolom lain yang
juga disiarkan oleh majalah Ikhwanul Muslimun di edisi kelima dalam tema 'Musik Islami'. Tersebut
padanya:

Nada simponi (klasik) sebagai jenis musik kelas tertinggi yang dicapai oleh para musikus, seperti
Beethoven, Straub, Mozart, dan Chicofisky. Semua itu mengungkapkan perasaan kejiwaan yang ada
dari balik tabiat manusia, di dalamnya tergabung para pemusik handal dalam jumlah terbesar dengan
alat musik paling modern yang beragam, agar lebih tepat dalam memberikan ungkapan dengan segala
kemampuan yang dimiliki.
Kelompok simponis Mesir yang berjumlah lebih dari 30 orang pemusik telah terbentuk, mereka
dibantu oleh Yayasan Pemuda Kristen(?!) lantas bermain musik di salah satu universitas di
Amerika(?!). Betapa pantasnya untuk kita menguasai bidang ini, betapa butuhnya kita kepada
semangat baru yang akan menjadi pendobrak blantika musik dan meraih kemajuan internasional dalam
bidang ini. Di saat itu, nampaklah sebuah warna tersendiri yang menguasai hati dunia internasional,
yaitu musik Islami(?!) sebagai pengganti dari musik timur ...

Al-'Allamah Syaikh Al-Albani mengatakan: "Saya katakan, inilah bukti terbesar bahwa anggapan
kehalalan alat-alat musik telah tersebar pada kaum muslimin sampai pun oleh sebagian orang-orang
yang menyerukan ‘Pengembalian kemuliaan kaum muslimin dan penegakan Daulah Islam', semisal
Ikhwanul Muslimun. Andaikan tidak demikian, maka tentu majalah mereka tidak akan mau untuk
menyebarkan kalimat yang sangat jelas menghalalkan musik yang diharamkan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala ini. Tidak berhenti sekedar itu bahkan mengajak kepadanya, lantas menamakannya dengan
'musik Islami' di atas timbangan sosialis "Islam", demokrasi "Islam", .. ..dan lainnya yang membuat
mereka terkena firman Allah subhanahu wa ta’ala:

"Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah
tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. " (An-Najm : 23)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan sebagiannya dalam sabda Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam: "Sungguh akan ada umatku yang menghalalkan khamr dengan nama yang mereka
sendin membuatnya" pada riwayat yang lain "Mereka menamakannya dengan selain namanya”. Hadits
ini dikeluarkan dalam Ash-Shahihah halaman 90, juga akan datang di halaman 86."
Berakhir kalimat Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Inilah sebagian sendi rusak Sayyid Quthb yang dia sebutkan dalam buku At-Tashwirul Fanniy fil
Qur'an dan yang telah dikendarainya dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia, ayat-ayat yang telah
dia jadikan sebagai lapangan praktik untuk kaidah-kaidah sesatnya. Begitulah dia melihat bahwa Al-
Qur'an seluruhnya adalah tempat untuk mempraktikkan dasar-dasar tersebut. Dia juga telah
mempraktikkan dalam buku Masyahidul Qiyamah fil Qur'an, lalu nampak jelas jejaknya pada buku
Azh-Zhilal. Sebagaimana dia masih punya kaidah-kaidah lain yang dia praktikkan pada Azh-Zhilal.

____________________

[2] Ta'thil: menghilangkan makna hakiki, (-pent.)


[3] Apakah para nabi, para shahabat, dan orang-orang shalih semuanya, mempunyai ketergantungan
kepada seni laksana ketergantungan Sayyid Quthub beserta sanjungannya itu?!

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis:
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: BANTAHAN TERHADAP KITAB AT-
TASHWIRUL FANNIY FIL QUR'AN karya Sayyid Quthb; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc;
Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
http://hizb-ikhwani.blogspot.com/2008/05/membantah-ushul-yang-dipegangi-sayyid.html
Menyoroti Adab Sayyid Quthb dalam Berinteraksi dengan Rasul dan Kalim Allah
Musa 'Alahissallam
Diposkan oleh Abdullah al-Atsary on 5.23.2008 / Label: Pemikiran Sayyid Quthb
Dia katakan dalam buku At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an halaman 200-205:

(("Sebelum ini kita telah memaparkan kisah dan pemilik dua kebun dengan temannya dan kisah Musa
dengan gurunya, pada keduanya ada perumpamaan yang terlihat jelas. Contoh-contoh berdasarkan
visualisasi warna inilah adanya seluruh kisah Al-Qur'an. Itulah ciri yang nampak pada kisah-kisahnya,
yakni ciri seni yang murni. Ia sendiri menjadi tujuan dari kisah-kisah seni bebas. [4]

Inilah kisah Qur'ani yang arah utamanya adalah da'wah keagamaan. Ia (Al-Qur'an) dengan
cerdik memiliki ciri ini dalam perjalanannya lalu tampil jelas dalam semua kisahnya. Dia
melukiskan beberapa figur kemanusiaan melalui para pemeran yang melewati batas-batas
kepribadian maknawi kepada kepribadian percontohan.

Kami akan menampilkan beberapa kisah secara global, setelah itu memberikan perincian untuk
sebagiannya:

1. Kita ambil Musa. Dia adalah contoh seorang pemimpin yang temperamental, fanatik
kesukuan, dan labil.

Inilah dia, dibesarkan dalam istana Fir'aun, di bawah pendengaran dan penglihatannya,
akhirnya menjadi seorang pemuda yang kuat [5]:

"Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam
kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang
(lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan
kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah
musuhnya itu." (Al-Qashash :15)

Di sini tampak sikap fanatik kesukuan dan emosional. Maka dengan segera percikan api fanatik
kesukuan menyala membakar jiwanya, layaknya kebiasaan para ahli fanatik lainnya [6]:

“Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
menyesatkan lagi nyata (permusuhan-nya).’ Musa berdo’a: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku telah
menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku’. Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya
Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, demi nikmat
yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku, Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-
orang yang berdosa". (Al-Qashash :15-17)

"Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat
perbuatannya)." (Al-Qashash :18)

Ini adalah sebuah pengungkapan tentang keadaan yang sudah dikenal baik: keadaan gugup,
kehilangan konsentrasi, dan takut akan bahaya yang akan menimpa pada segala tindak-
tanduknya. Ini juga ciri dari para ahli fanatisme.

Walau demikian, walaupun dia telah berjanji untuk tidak membantu para pelaku kejahatan,
namun marilah kita lihat apa yang dilakukannya ………. Dia melihat:
“Maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya.
Musa Berkata kepadanya.” (Al-Qashash:18) Yakni kali selanjutnya terhadap laki-laki lain.

"Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata
(kesesatannya)’." (Al-Qashash:18)

Akan tetapi dia bermaksud menimpakan kepad laki-laki kedua ini sebagaimana yang telah
dilakukannya kemarin. Ta’ashub (fanatik kesukuan) dan emosionalnya telah membuat dia lupa
akan istighfar, penyesalan, takut, dan kekhawatiran kemarin, jika saja tidak diingatkan oleh
calon korbannya dari tindakannya tersebut, sehingga diapun teringat dan takut. [7]

"Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya
berkata: 'Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah
membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat
sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dan orang-orang
yang mengadakan perdamaian." (Al-Qashash :19)

Maka ketika itulah datang seorang dari pinggiran kota dengan tergopoh-gopoh menasihatinya
agar segera pergi, maka diapun pergi sebagaimana yang telah kita ketahui.

Marilah kita meninggalkannya di sini untuk kita bertemu kembali dalam fase kedua
kehidupannya setelah sepuluh tahun. Barangkali dia sudah tenang dan menjadi seorang yang
bertabiat stabil dan berjiwa santun. [8]

Tidak demikian! Inilah dia yang diteriaki di sisi kanan bukit Thursina "Lemparkan
tongkatmu!", diapun melemparkannya, maka tiba-tiba tongkat itu menjadi ular yang bergerak.
Begitu melihatnya, dia segera loncat berlari terbirit-birit tanpa berbalik ….. Dia masih pemuda
yang fanatik itu. Andai saja dia telah menjadi seorang yang dewasa!!

Bahwa selainnya juga tentu akan takut, ya. Tapi kalau saja dia sekedar menjauh, setelah itu
berhenti memikirkan keajaiban yang sangat besar ini.[9]

Kembali marilah kita meninggalkannya sementara untuk melihat apakah yang diperbuat oleh
zaman terhadap urat-urat syarafnya.

Dia telah menang melawan para penyihir, menyelamatkan bani Israil dengan membawa mereka
menye-berangi lautan, setelah itu dia pergi untuk memenuhi perjanjian dengan Rabbnya, serta
benar dia adalah seorang nabi. Namun, inilah dia yang meminta kepada Rabbnya sebuah
permintaan yang sangat mengherankan:

"Berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, nampakkanlah (din Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
Engkau'. Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku'." (Al-A'raaf :143)

Lalu terjadilah apa yang tidak sanggup dipikul oleh urat syaraf manusia, bahkan tidak juga
oleh urat syaraf Musa [10]:

"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku
bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman"." (Al-A'raaf:143)

Kembalinya syaraf dan emosi dengan cepat.

Kemudian, inilah dia kembali lagi, lantas dia mendapatkan kaumnya telah mengambil patung
anak sapi sebagai ilah sesembahan, sementara di kedua tangannya ada lembaran-lembaran yang
telah Allah subhanahu wa ta’ala wahyukan kepadanya, maka tanpa tanggung-tanggung dan
tidak pula lemah:

"Dan Musapun melemparkan lauh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun)
sambil menariknya ke arahnya." (Al-A'raaf:150)

Begitulah dia berlaku emosional menarik rambut dan jenggot saudaranya tanpa mau
mendengarkan sepatah katapun darinya:

"Harun menjawab: 'Hai putera ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku;
sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): Kamu telah memecah antara Bani
lsrail dan kamu tidak memelihara amanatku." (Thaahaa : 94)

Ketika dia telah mengetahui bahwasanya Samiri-lah dalang perbuatan tersebut, maka dia
berpaling kepadanya dengan kemurkaan dan bertanya kepadanya dengan nada tinggi, tatkala
telah mengetahui teka-teki di balik patung anak sapi itu:

"Berkata Musa: 'Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya
dapat) mengatakan: 'Janganlah menyentuh (aku)'. Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat)
yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap
menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan
menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan)." (Thaahaa : 97)

Demikianlah kobaran emosi yang sangat terlihat dan perilaku yang penuh ketegangan [11].
Mari kita meninggalkannya hingga beberapa tahun kemudian.

Kaumnya telah pergi dalam kesesatan, menurut sangkaan kami dia sudah menjadi seorang tua
tatkala berpisah dengan kaumnya. Dia menemui sang lelaki tersebut (Khidhir) yang
dimintainya agar sudi untuk diikuti semoga dia mengajarkannya ilmu yang telah diberikan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tahu bahwa Musa tidak sanggup bersabar sampai Khidhir
memberitahukannya rahasia yang terdapat dalam perbuatan yang Khidhir lakukan, kali
pertama, kedua, dan ketiga, akhirnya mereka berdua berpisah ……….

Itulah kepribadian yang menyatu sangat jelas dan contoh kemanusiaan yang terang dalam
semua tahapan kisah. [12]

2. Berlawanannya kepribadian Musa dan Ibrahim ………….. Ini adalah contoh ketenangan,
pemaaf, dan santun:

"Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali
kepada Allah." (Huud : 75)

Inilah dia ketika kecilnya menyendiri dalam proses berpikirnya, mencari tentang Ilahnya:
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi
tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala
dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata:
"Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang
sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih
besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. dia berkata:
"Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal Sesungguhnya Allah Telah memberi
petunjuk kepadaku". dan Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu
persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu.
pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) ?" (Al-An’am: 76-80)

Tidak lama setelah dia mencapai keyakinan Ini, maka diapun berusaha dengan baik dan penuh
rasa kasih sayang menunjuki ayahnya dengan lafazh yang terindah dan paling hidup:

“Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu
yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku,
Sesungguhnya Telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu,
Maka ikutilah aku, niscaya Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha
Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan
yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (Maryam: 42-45)

Hanya saja ayahnya mengingkari perkataannya dan membalas dengan ucapan yang kasar
disertai dengan ancaman keras:

"Berkata bapaknya: 'Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti,
niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama'." (Maryam : 46)

Sikap kasar itu tidaklah membuat dia keluar dari adab yang tinggi, tabiatnya yang penuh kasih
sayang, serta tidak membuatnya bercuci tangan dari ayahnya:

"Berkata Ibrahim: 'Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu
kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu
dan dari apa yang kamu seru selain Allah, serta aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan
aku tidak akan kecewa dengan berdo'a kepada Tuhanku'." (Maryam : 47-48)

Lalu, inilah dia yang menghancurkan patung-patung mereka. Mungkin ini satu-satunya tindak
kekerasan yang pernah dilakukannya. Hanya saja yang memotivasinya melakukan tindakan ini
ialah kecintaan yang demikian besar diiringi harapan bahwa kaumnya akan beriman ketika
melihat sesembahan mereka telah hancur berantakan, kala mereka telah mengetahui bahwa
sesembahan itu tidak sanggup untuk membela diri mereka sendiri. Memang benar, hampir saja
mereka benar-benar beriman, tatkala itu:

"Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: 'Sesungguhnya kamu
sekalian adalah orang-orangyang menganiaya (din sendiri)'." (Al-Anbiyaa': 64)
Namun mereka kembali (pada ketidaksadaran lagi), lalu bermaksud untuk membakar Ibrahim,
maka ketika itu:

"Kami berfirman: 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim'." (Al-
Anbiyaa': 69)

Ibrahim telah meninggalkan mereka dalam jangka waktu yang panjang bersama dengan
sekelompok manusia yang juga beriman, di antaranya; sepupu beliau Luth ………))

Tampak jika maksud Sayyid Quthb menyebutkan kisah Nabi Ibrahim ‘alahis sallam secara berlawanan
dengan gambarannya tentang Nabi Musa ‘alahis sallam adalah untuk menegakkan kaidah "Melalui
lawannya, maka sesuatu itu akan menjadi jelas". Bahkan dia dengan terang-terangan mengatakan
pertentangan yang dia maksudkan
ini.

Setelah itu dia juga membenturkannya dengan Yusuf ‘alahis sallam, dia berkata: "Sedangkan Yusuf
adalah contoh seorang laki-laki yang berkesadaran tinggi lagi kokoh". Sayyid Quthb
memaksudkan kalau Musa ‘alahis sallam sebaliknya dalam hal ini. Dia mengulang-ulangi menyifatkan
Yusuf dengan kesadaran tinggi dan teguh di tengah-tengah dia menjelaskan kisahnya untuk
menguatkan maksudnya, demikianlah keadaan Yusuf ‘alahis sallam dan demikian pulalah kondisi
Musa ‘alahis sallam.

Namun yang benar ialah: beliau Musa ‘alahis sallam mempunyai kedudukan yang agung lagi tinggi di
sisi Allah subhanahu wa ta’ala yang mewajibkan atas manusia untuk memuliakan dan
mengagungkannya layaknya seluruh para Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentangnya:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa;
maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang
yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (Al-Ahzab : 69)

"Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)."
(Thaahaa:13)

Sebenarnya cukuplah bagi Sayyid untuk membaca hadits-hadits tentang para nabi di kitab Shahih Al-
Bukhari, agar dapat mengetahui jika dia telah melampaui batas, melenceng, melayang jauh dalam
khayalannya yang membawa terbang, metode pengisahannya yang menjelekkan, serta perumpamaan
yang dia lekatkan berupa; temperamental, fanatik suku, kasar, suka gugup, dan tegang kepada
Kalimullah dan Rasul-Nya Musa ‘alahis sallam.

Imam Al-Bukhari rahimahullah telah mengeluarkan dalam Shahih-nya dari Abdullah bin Mas'ud
radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam membagikan pembagian, lalu
seseorang berkomentar "Sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak diinginkan dengannya Wajah
Allah subhanahu wa ta’ala". Saya pun menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan
melaporkannya, maka Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam murka. Saya melihat kemarahan tampak
pada wajahnya, lalu Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
merahmati Musa ‘alahis sallam. Sesungguhnya dia telah disakiti lebih dari ini dan dia bersabar."

Sesungguhnya apa yang dinisbatkan oleh Sayyid kepada Kalimullah dan Nabi-Nya Musa ‘alahis
sallam itu menafikan apa yang seharusnya beliau ‘alahis sallam dapatkan berupa penghormatan dan
pemuliaan. Ini adalah perkara yang membuat berdiri bulu kuduk, serta hukum dari perbuatan
berbahaya ini sangat besar dan berat di sisi para ulama. Silakan merujuk kepada kitab Asy-Syifa' karya
Qadhi 'Iyadh rahimahullah dan Ash-Sharimil Maslul 'Ala Syatimir Rasul karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah

__________________________

[4] Apakah yang dia maksud dengan kisah seni bebas??

[5] Kita tidak tahu, apakah Sayyid Quthb telah melupakan pemuliaan Allah subhanahu wa ta’ala
terhadap Nabi-Nya Musa ‘alahis sallam dalam firman-Nya: Lalu dia mengatakan ucapannya ini,
ataukah dia pura-pura lupa agar dapat selaras dengan ejekannya terhadap Nabi ini??

[6] Lihatlah bagaimana celaannya kepada Nabiyullah Musa ‘alahis sallam dalam komentarnya ini.
Sikap fanatik kesukuan tercela, sifat temperamental tercela, tapi ucapannya 'sebagaimana kebiasaan
para ahli fanatisme' sungguh adalah puncak celaan.

[7] Tidak demikian, tidak ada ta'ashub atau emosional, Musa ‘alahis sallam tidaklah lupa akan apa
yang telah dia katakan, di mana beliau 'alahis sallam tetap tidak menjadi penolong bagi pelaku
kejahatan.

[8] Ini benar-benar puncak celaan dan penistaan. Artinya beliau ‘alahis sallam tidak mempunyai
ketenangan dan sikap santun, bankan beliau ‘alahis sallam mempunyai sifat yang berlawanan dengan
keduanya menurut Sayyid Quthb.

[9] Di sini juga ada celaan yang sangat buruk dan olokan terhadap Nabi yang mulia ini.

[10] Terkandung celaan dan penghinaan yang luar biasa. Artinya penyakit syaraf yang diderita oleh
Musa ‘alahis sallam tidak ada yang menandinginya. (Menurut Sayyid)

[11] Lihatlah, betapa jahat tikamannya di dalam lembaran bukunya ini. Demi Allah, andaikan celaan
dan penghinaan ini diarahkan kepada manusia yang paling hina sekalipun, maka tentu semua itu akan
diingkari dan dianggap buruk oleh para cendekiawan mulia. Sementara kalimat itu dengan sangat
kurang ajar justru ditujukan kepada seorang Rasul mulia, seorang pembesar para rasul, dan termasuk
Ulul 'azmi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk mengambil
keteladanan dalam kesabaran dari mereka:

"Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul
telah bersabar." (Al-Ahzab: )

[12] Dalam semua yang telah lalu ada celaan buruk terhadap Nabi mulia ini, hendaklah pembaca
mengingat ucapan Sayyid Quthub secara terang-terangan bahwa 'Tidak ada aqidah keagamaan yang
membelenggunya dari pemikiran'. Inilah hasil keterlepasannya dari aqidah Islam tentang Musa
‘alahis sallam dan selainnya, serta juga tentang Al-Qur'an itu sendiri.

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis:
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-
Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 50-66; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc;
Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
http://hizb-ikhwani.blogspot.com/2008/05/menyoroti-adab-sayyid-quthb-dalam.html

Tulisan ini sengaja diberi titel "angan-angan (imaginaire) sosial-politik demokratik Piagam Madinah".
Sedikitnya ada tiga alasan yang bisa dikemukakan sebagai pertanggunganjawab dalam menentukan
pilihan redaksi tersebut berikut implikasi makna yang dikandungnya. Pertama, penulis menyepakati
suatu pendapat bahwa baik al-Qur'an maupun al-Sunnah, sebagai sumber utama Islam, dalam berbagai
teksnya tidak mengajarkan suatu bentuk atau sistem pemerintahan (negara)[1] tertentu yang harus
dianut oleh umat Islam. Karena itu, penulis menyebut “angan-angan sosial-politik”, bukan “sistem
politik atau pemerintahan” Piagam Madinah. Sumber Islam itu hanya memberikan pedoman ajaran
berupa seperangkat prinsip[2] dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[3]
Prinsip-prinsip yang dimaksud bersifat universal sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris
dan eternal. Demikian juga Piagam Madinah yang dirumuskan Rasulullah SAW bersama warganya.
Piagam ini sama sekali tidak mencerminkan sebuah sistem negara atau pemerintahan yang baku,
melainkan menggambarkan sejumlah prinsip luhur yang penting bagi kemanusiaan dan keadilan sosial.
Sementara pola kenegaraan yang diterapkan Abu Bakar, Umar b. Khatab, Usman b. Affan, dan Ali b.
Abi Thalib, serta sistem-sistem negara lain yang mengklaim Islam, semuanya juga tak ada yang
bersifat imperatif dan teologis. Keragaman tersebut semata-mata bersifat sosiologis-relatifis yang tidak
mengikat bagi umat Islam.
Selain itu, terbukti bahwa sebuah sistem cenderung bersifat statis, mengekang dinamika masyarakat
yang selalu berubah, dan menghambat perkembangan dari masa ke masa, terlebih lagi apabila sistem
itu diwahyukan dan bersifat absolut. Tentu sifat ini bertentangan dengan ajaran Islam yang
mengajarkan prinsip fleksibelitas agar bisa diterapkan di mana saja dan mampu menyesuaikan dengan
perkembangan bagaimana saja (shâlih-un li kulli zamân-in wa makân-in wa ahwâl-in). Sebagai angan-
angan sosial-politik, Piagam Madinah tentu dapat menjadi inspirasi politik bagi umat Islam untuk
membangun tatanan kenegaraan yang beretika dan bermoral. Pemahaman ini sejalan dengan prinsip
universalitas ajaran Islam yang memungkinkan Islam diamalkan di mana dan kapan saja. Karena itu,
benar apa yang dikatakan Munawir Sjadzali bahwa:
Islam tidak hanya mengatur soal ibadah, tetapi juga hubungan antar manusia, misalnya Islam berbicara
tentang beberapa prinsip atau etika seperti musâwah (persamaan), 'adâlah (keadilan), syûrâ
(musyawarah) dan sebagainya. Tetapi, Islam tidak menetapkan sesuatu sistem untuk menegakkan
prinsip-prinsip tersebut. Sebenarnya saya tidak mengatakan bahwa di dalam Islam tidak terdapat sistem
politik, tetapi Islam tidak mempunyai preferensi tentang sistem politik yang mana. Apalagi para
penggagas negara Islam kontemporer yang paling getol pun tidak berbicara tentang sistem [negara]
Islam.[4]
Bagi penulis, prinsip dan tata nilai etika tersebut disebut angan-angan (imaginaire) sosial-politik
[Islam] yang demokratik.
Kedua, digunakan kata "demokratik" saja, bukan "negara demokratik" atau "khilafah demokratik" atau
lainnya, karena angan-angan sosial-politik Islam--dalam asumsi penulis--tidak menentukan kepastian
sebuah bentuk [performa] negara apapun. Karena itu, kebebasan merumuskan bentuk negara sebagai
pelembagaan dan perwujudan nyata dari angan-angan tersebut terbuka lebar bagi kesejarahan umat
Islam.
Di samping itu, menggunakan kata "negara" dewasa ini terasa mengerikan. Sebab, performa negara
sekarang jauh berbeda dengan istilah "negara" yang digunakan para pakar untuk mengidentifikasi
komunitas Madinah saat Nabi SAW memimpin. Memang intelektual semacam Fazlur Rahman,[5]
Thomas W. Arnold, [6] H.A.R. Gibb, W. Montgomery Watt,[7] D.B. MacDonald, C. A. Nallino, Joseph
Schacht, R. Strothmann,[8] dan banyak pakar lain, dengan 'kaca mata' ilmu politik modern
menganggap komunitas Nabi SAW saat itu adalah sebuah "negara"; karenanya dalam waktu yang
bersamaan Nabi menurut mereka adalah pemimpin agama dan kepala negara sekaligus. Tapi, penulis
yakin mereka tidak akan menyamakan istilah "negara" yang digunakan untuk komunitas Nabi saat itu
dengan konsep “negara” yang berlangsung dewasa ini. Sebab, realitas negara saat ini telah
memetamorposis menjadi sosok “makhluk” yang--seolah-olah--paling raksasa, paling berkuasa, di atas
bumi ini. Ia memiliki kewenangan (authority), kekuatan (power), dan klaim (claim) yang hampir tak
terbatas (unlimited), termasuk terhadap "kebenaran". Bisa diilustrasikan, kalau hati seorang beriman
menyatakan bahwa di atas manusia tidak ada instansi lain kecuali Tuhan, maka dalam kenyataannya,
yang dirasakan oleh setiap manusia yang beriman maupun kafir, di atas manusia yang secara riil ada
dan benar-benar terasa adanya adalah maha-instansi yang bernama "negara". Negara semakin terasa
menjadi pemeran sifat kemahakuasaan Tuhan sebagai al-Muhîth, yang maha-meliput.[9] Meminjam
istilah yang digunakan Karl Marx untuk menyebut realitas negara sekarang adalah suatu aparat atau
mesin opresi (penindasan), tirani, dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat reproduksi (kaum
kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja. "Negara" yang
demikian tentu bukan istilah yang tepat untuk menyebut komunitas Nabi SAW saat itu dengan Piagam
Madinahnya.
Untuk kata "demokratis", para teorisi politik Islam memang terlalu hati-hati untuk menyebut bahwa
Islam itu "demokratis". Karena jika demokratis, maka berarti Islam mengakui kedaulatan rakyat di
mana otoritas Syari’at Islam dapat dianulir oleh kesepakatan rakyat dalam lembaga perwakilan rakyat.
Kekhawatiran ini pernah menghantui pemikiran politik beberapa pemikir Islam, seperti Abu A’la al-
Maududi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Quthb. Dalam pandangan penulis tidak demikian, melainkan
bahwa suatu komunitas jika demokratis, maka tentu komunitas itu akan mempertimbangkan Syari’at
Islam sebagai satuan hukum yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Karena,
demokratis adalah proses pengambilan keputusan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang
diangan-angankan dengan cara partisipatif dan mempertimbangan pluralitas nilai yang berkembang
dalam masyarakat. Dengan pemahaman ini, bisa jadi demokrasi menjadi suatu keniscayaan bagi
kelompok Muslim manapun sebagai suatu cara untuk mengelola kehidupan bersama yang beragam
baik secara etnik, agama, ras, status sosial, gender, maupun kepentingan.
Ketiga, diambil "Piagam Madinah" sebagai basis kajian untuk mendapatkan wawasan tentang angan-
angan sosial-politik demokratik dalam tulisan ini, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam
mengakui bahwa "Piagam Madinah" merupakan instrumen hukum-politik yang membuat komunitas
Islam dan non-Islam saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah kepemimpinan Nabi SAW.
Bahkan, oleh sebagian pakar ilmu politik, "Piagam Madinah" dianggap sebagai konstitusi atau undang-
undang dasar pertama bagi 'negara Islam' yang didirikan Nabi SAW di Madinah.
Yang tak kalah menariknya untuk dikemukakan adalah latar sosial-budaya masyarakat Madinah saat itu
yang sangat plural. Penduduknya terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras, dan agama yang
berbeda. Pada umumnya faktor ini mendorong konflik yang tidak mudah diselesaikan, tetapi "Piagam
Madinah" mampu menjadi perekat unitas dari pluralitas tersebut. Diakui juga oleh para pengkaji
sejarah Islam bahwa model yang paling ideal dan sempurna, par-exellence, dari kepemimpinan politik
abad ke-7 M adalah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW karena keberhasilannya membangun
komunitas pluralis tersebut.[10] Karena alasan-alasan inilah, penulis menjadikan Piagam Madinah
sebagai basis kajian untuk memperoleh kejelasan nilai normatif dan empirik Islam dalam
pergumulannya di tengah masyarakat pluralistik.
Islam dan Negara-Bangsa: Kebutuhan Prinsip Kebangsaan
Sudah menjadi pengetahuan umum, 14 abad yang lalu, Islam hadir dan berinteraksi secara sosial-
politik dalam lingkungan masyarakat komunal-sukuisme yang plural. Pluralitas tersebut terlihat pada
komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan suku-bangsa Arab dan bangsa
Yahudi yang menganut agama dan keyakinan berbeda. Hasan Ibrahim Hasan, sejarawan Mesir,
'membaca' ada empat golongan dominan saat itu, yakni [1] Muhajirin, [2] Anshar, [3] Kaum munafik
dan musyrik, dan [3] Kaum Yahudi yang tinggal di Madinah.[11] Muhammad Zafrullah Khan juga
menyebut empat golongan sosial, tetapi dengan identifikasi yang berbeda: [1] Kaum muslimin, yang
terdiri dari Muhajirin dan Ansor, [2] Golongan Aus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam
tingkat nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi, [3] Golongan Aus dan Khazraj yang
masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang singkat telah menjadi muslim, dan [4] Golongan
Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama, yaitu Banu Qainuqa, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah.[12]
Yang penting menjadi catatan di sini adalah proses kreatif Nabi Muhammad. Selama kurang lebih
sepuluh tahun (622--632 M), Nabi Muhammad SAW mampu mencairkan bangunan komunalisme
tersebut menjadi sebuah komunitas yang berdaulat dan integrated. Ia menawarkan suatu “gagasan
baru” untuk membentuk tatanan “masyarakat baru” yang kemudian disepakati menjadi pegangan hidup
bagi “masyarakat kota” yang dinamai Madinah, sebelumnya bernama Yatsrib. Konstruksi masyarakat
saat itu memang diakui masih sangat sederhana dan lokal setingkat perkembangan peradabannya.
Bentuk masyarakat lebih luas, lebih kompleks, dan lebih plural tercapai semasa kepemimpinan al-
khulafâ' al-râsyidûn dan sesudahnya. Kawasan masyarakatnya bukan lagi kota Madinah an sich,
melainkan telah melikup seluruh semenanjung Arabia, Persia, dan menaklukkan seluruh wilayah Asia
di bawah Kekaisaran Romawi, kecuali Anatolia (Turki Modern).
Pada kegamangan modernitas dewasa ini, Islam suka tidak suka harus berinteraksi dengan sederetan
fenomena yang secara global disebut negara-bangsa (nation-state). Menghadapi ini, sungguh tidak
mudah bagi kaum muslimin untuk mencernakan keharusan historis secara interaktif. Kesulitan ini telah
melahirkan polarisasi pemikiran politik yang sangat beragam, khususnya pada tiga abad terakhir ini.
Munculnya para pemikir dan pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad
Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Sa'ad Zahlul (1867-1927),
Muhammad Husein Haikal (1888-1956 M)[13], Thaha Husayn (1888-1966), Ali Abd al-Raziq (1888-
1966)[14], Abu al-'Ala al-Maududi (1903-1979)[15], dan Sayyid Quthb (1906-1968 M), yang
kemudian melahirkan apa yang disebut oleh pengamat sebagai “Islam fundamentalis”, “Islam
modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam sosialis”, “Islam sekularis”, dan “Islam nasionalis”, adalah
bentuk-bentuk nyata dari interaksi tersebut. Adalah tetap relevan untuk memperbincangkan kaitan
Islam dengan pluralisme masyarakat-bangsa, suatu masyarakat yang timbul sebagai konsekuensi logis
dari konstruksi negara-bangsa. Dengan demikian, adanya prinsip-prinsip dasar bagi Islam untuk
menghadapi kenyataan pluralisme dan negara-bangsa menjadi kenyataan yang tak bisa ditawar-tawar
lagi.
Yang menjadi persoalan, sebagaimana berkali-kali dinyatakan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur,
adalah kenyataan bahwa negara-bangsa dengan wawasan kebangsaannya adalah fakta yang tidak dapat
dihindari. Dengan kata lain, idealisasi Islam sebagai konstruk sosial yang ideal--dan kadang utopis--
hanyalah merupakan pelarian dari kenyataan. Hanya ada dua pilihan dari hal yang akan menjadi
pencarian semacam itu: meneruskan utopisme itu kepada usaha operasional untuk menjadikan Islam
sebagai sistem alternatif terhadap konsep negara-bangsa umumnya, atau langsung meninggalkan
wawasan Islam sama sekali. Jelas sekali, dalam pandangan Abdurrahman Wahid, memilih salah satu
dari dua hal di atas sama sekali tidak konstruktif, karena di dalamnya terkandung sikap apatis terhadap
kehidupan masyarakat bangsa yang mesti dihadapi.[16] Karena itulah, tulisan ini sengaja mengangkat
"angan-angan sosial-politik demokratik" dari Piagam Madinah sebagai upaya untuk menundukkan
permasalahan masyarakat bangsa yang demikian plural itu pada konteks yang proporsional.
Namun semestinya membincangkan "Islam" kaitannya dengan "sosial-politik" dewasa ini tentu tidak
bisa hanya merujuk pada masa awal Islam. Masa Rasul dan al-Khulafâ' al-Râsyidûn sekalipun, yang
selalu dipandang "ideal" untuk saat itu, tidak terlalu tepat untuk dijadikan sebagai satu-satunya cermin
dalam menghadapi pluralisme modern. Dengan luasnya hamparan "ruang" dan memanjangnya rentang
"waktu" kehadiran Islam, kita tidak bisa mengasumsikan Islam taken for granted begitu saja. Islam
yang diterima sekarang ini tidak lain adalah Islam yang telah menjelma melalui proses pergulatan
sejarah manusia dalam segala dimensinya; Islam yang telah (dan harus) menyejarah (Islam historis).
Karena itu, realitas pluralisme, modernisme, sekularisme, dan hegemoni nation-state--sebagai realitas
kepolitikan kontemporer--harus menjadi agenda dalam diskursus sosial-politik Islam (kontemporer).
Bukan sekadar itu, seluruh ranah kebudayaan dan peradaban, termasuk ruh dari setiap perkembangan
zaman, penting menjadi pertimbangan dalam memahami dan merumuskan Islam pada zamannya.
"Seperti dijelaskan oleh Bernard Lewis, jika kita ingin memahami semua yang terjadi di masa lalu dan
sedang terjadi sekarang di dunia Muslim, seyogyanya kita mengapresiasi watak universalitas dan posisi
sentral agama sebagai suatu faktor dalam kehidupan umat Islam. Berbeda dengan agama-agama besar
dunia lainnya, " Islam sejak masa hidup pendirinya adalah negara itu sendiri. Identitas agama dan
pemerintahan melekat tak terhapuskan dalam angan-angan dan kesadaran umat Islam, yang dibentuk
oleh teks-teks suci, sejarah, dan pengalaman mereka". Lebih dari itu, tidak mengherankan jika
kebanyakan gerakan sosial dan politik yang penting dalam sejarah modern umat Islam telah menuju
Islam pada benang merah yang sangat kuat dengan Islam sebagai kekuatan pemersatu dan pemberi
dorongan."[17]
Maka tidak mengherankan, jika para pemikir Muslim merasa kesulitan dalam menentukan "hubungan
sosial-politik" yang sesuai dengan kehendak ajaran Islam. Termasuk dalam kesulitan ini adalah
melakukan respon terhadap wujud "negara" yang telah berubah sedemikian rupa dewasa ini. Selain
tidak ada nash (teks) yang tegas-eksplisit menentukan bentuk negara sebagai klaim Islam, juga bukti-
bukti historis-sosiologis di dalam masyarakat Muslim menunjukkan ketiadaan (nihil) bentuk tunggal
negara, apalagi dalam metamorfosis negara sekarang. Itulah sebabnya kita menyaksikan relasi agama-
negara (dîn-dawlah) menjadi demikian plural dalam sejarah politik umat Islam. Ada yang meyakini
bahwa agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated), seperti yang dianut oleh kalangan
Syi'ah. Ada juga yang memandang agama dan negara harus berhubungan secara simbiotik, hubungan
timbal balik dan saling memerlukan. Pandangan ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran
Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M)[18], Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) [19], dan Ibn Khaldun (w. 808
H/1406 M)[20]. Sebaliknya ada juga yang memegang teguh bahwa agama dan negara harus dipisah,
sekularistik, seperti yang pernah digagas Ali Abd al-Raziq (w. 1966 M). Masing-masing dari penganut
paradigma ini mengklaim dan bersandarkan pada sumber ajaran Islam.[21]
Dalam konteks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial yang
pluralistik. Sebagimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan butir-butir Piagam Madinah,
paradigma pluralisme ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa maknanya dalam mengarahkan
sejarah kemanusiaan. Piagam Madinah hadir mempertaruhkan "gagasan baru" bagi suatu bentuk
tatanan "masyarakat baru" yang disebut ummat (community) dalam sejarah umat manusia.
Prinsip-prinsip Dasar Menuju Demokrasi: 'Wasiat' dari Piagam Madinah
"Piagam Madinah" adalah sebutan bagi al-shahîfah (yang berarti lembaran tertulis, disebut sebanyak 8
kali) dan al-kitâb (yang berarti buku, disebut sebanyak 2 kali) yang dibuat oleh Nabi SAW bersama
warganya. Kata "Madinah" menunjuk kepada tempat dibuatnya naskah. Sementara kata "piagam"
berarti "surat resmi..... yang berisi pernyataan pemberian hak, ..... atau berisi pernyataan dan
pengukuhan mengenai sesuatu.”[22] Sumber lain menyebutkan bahwa "piagam" (charter) adalah
dokumen tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan pembuat undang-undang yang mengakui hak-
hak rakyat, baik hak-hak kelompok sosial maupun hak-hak individu.[23]
Melihat proses perumusannya, Piagam Madinah adalah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi
SAW sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, serta sekutunya.
Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak
mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam
kehidupan sosial politik.
Terlepas dari polemik historisitas penyusunan dan otentisitas naskah Piagam Madinah, tampak dari
berbagai studi yang dilakukan para ahli,[24] Piagam Madinah yang digunakan adalah yang telah
disistematisasi menjadi 47 pasal. Piagam ini tidak saja menggambarkan komposisi penduduk Madinah
saat itu, melainkan menjadi bukti historis situasi sosial-politik komunitas Madinah yang menjalani
perjanjian aliansi (treaty of alliance). Sebagai perjanjian aliansi segi tiga--Muhajirin-Anshar-Yahudi--
paling tidak bisa dilihat karena dua alasan. Pertama, karena perjanjian itu merupakan suatu usaha Nabi
SAW untuk mengadakan rekonsiliasi antara suku-suku sebagai perjanjian persahabatan untuk
meleburkan (fusi) semua pluralitas dalam satu komunitas yang integrated. Untuk itu, Nabi bekerja
keras menumbuhkan sikap loyal mereka kepada agama dan komunitas baru itu. Kedua, perjanjian itu
sebagai suatu aliansi antara suku-suku Arab sebagai satu golongan dan suku-suku Yahudi sebagai satu
golongan lain. Setiap suku dari Yahudi adalah satu bangsa dengan orang-orang beriman, sekalipun
mereka (Yahudi) tetap dalam agama mereka.[25]
Oleh karena itu, diakui bahwa dengan penetapan (arrangement) ini, Nabi Muhammad berhasil
membangun masyarakat yang bersatu dari keragaman agama: Muslim, Yahudi, dan penganut
Paganisme. Ini tidak lain karena Nabi Muhammad SAW tatkala membuat Piagam tersebut bukan hanya
memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat Muslim, melainkan juga memperhatikan
kemaslahatan masyarakat non-Muslim. Dengan kata lain, paradigma sosial yang digunakan Nabi, baik
dalam membaca realitas maupun mengambil keputusan politik, adalah inklusifisme-egaliterianisme.
Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan adanya pengakuan bahwa kebiasaan-kebiasaan (tradisi,
konvensi) masyarakat Madinah sepenuhnya diakui sebagai hukum yang hidup oleh Piagam Madinah.
Oleh karenanya, ketetapan-ketetapan Piagam Madinah menjamin hak semua kelompok sosial dan
persamaan hukum dalam segala urusan publik. Fakta historis ini, menurut Philip K. Hitti, merupakan
bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan negosisasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan
masyarakat Madinah.[26]
Maka tidak apologetis, apabila Piagam ini dinyatakan mempunyai angan-angan sosial-politik untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan semua unsur pluralisme (suku, agama, golongan, dan
kepentingan) menjadi satu bangsa (ummat) untuk hidup berdampingan secara damai, menjunjung
tinggi moralitas, ketentuan-ketentuan hukum, dan keadilan sosial atas dasar keimanan dan ketakwaan.
Dengan kata lain, angan-angan sosial-politik Islam adalah suatu masyarakat yang ultramodern di dalam
segala hal, di mana berlaku nilai-nilai Islam secara konsisten, harmonis dengan sifat-sifat asasi
manusia. Yakni, suatu masyarakat egaliter, adil dan makmur, dan sejahtera bagi setiap warganya, tanpa
perbedaan apa pun di mata hukum. Di dalam tatanan masyarakat demikian ini akan hidup dengan
rukun dan damai segala macam ragam manusia dari seluruh aliran agama dan suku bangsa, rahmatan li
al-'âlamîn.
Jadi, tugas Islam sebenarnya adalah mengembangkan etika sosial (social ethics) yang memungkinkan
tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masyarakat yang
bernama negara maupun lainnya. Dengan demikian, universalitas Islam dapat difungsikan sepenuhnya
dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Untuk mencapai tujuan
ini, cita-cita politik umat Islam harus dibimbing oleh komunitas politik Islam sebagai asosiasi
pluralistik-desentralistik yang lebih berdasarkan pilihan ketimbang paksaan. Gagasan-gagasan ini
menganjurkan tuntutan etika sentral dari Islam yang lebih sesuai dengan asosiasi bebas bagi kerjasama
komunitas yang saling menguntungkan (mutualistik), ketimbang konsep modern negara sentralistik
yang memaksa (represif). Dengan demikian, kalau dilihat dari fungsi agama dalam kehidupan
masyarakat, Islam bertugas melestarikan sejumlah dan pola perilaku sosial yang mempertalikan
pencapaian tujuan dengan kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai dan pola perilaku itu
sering disebut al-akhlâq al-karîmah. Maka jelaslah, Islam berfungsi penuh dalam kehidupan
masyarakat bangsa, melalui pengembangan nilai-nilai sebagai etika masyarakat yang bersangkutan.
Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu,
melainkan sebagai etika sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat
sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia.
Prinsip-prinsip substansial ini memang sungguh-sungguh terrefleksikan secara eksplisit dalam diktum
naskah Piagam Madinah. Namun, beberapa ahli, seperti Muhammad Khalid,[27] Muhammad Jalal al-
Din Surur,[28] Hasan Ibrahim Hasan,[29] dan Maulvi Muhammad Ali,[30] serta Zainal Abidin
Ahmad[31], Ahmad Sukarja[32] dan J. Suyuthi Pulungan[33] dalam bukunya masing-masing, berbeda
dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar "kehidupan demokratis" dalam angan-angan sosial-politik
Piagam Madinah yang hanya berjumlah 47 pasal itu. Namun, dari keragaman rumusan ini secara
singkat dapat ditarik point-point umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan bagi
kehidupan demokratis untuk segala zaman dan tempat itu adalah:
1. Prinsip kesatuan umat, bangsa, komunitas (ummat wâhidah)
2. Kolektifitas dan solidaritas sosial
3. Perlindungan dan pembelaan terhadap yang lemah dan tertindas
4. Keadilan sosial
5. Perdamain antar sesama dan lingkungan
6. Persamaan di depan hukum
7. Kebebasan berpendapat, berorganisasi, berekspresi dan beragama
8. Menjunjung tinggi hak asasi manusia
9. Nasionalisme
10. Equalitas sosial
11. Musyawarah
Prinsip-prinsip di atas pada dasarnya adalah prinsip universal yang diakui oleh kalangan internasional
sebagai prasyarat untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik yang egaliter dan demokratis.
Tampaknya, hanya ada satu prinsip yang tak terlihat di atas bagi kokohnya kehidupan demokrasi, yakni
penegasan "kedaulatan rakyat". Namun, prinsip ini sesungguhnya telah terjawab dengan keterlibatan
rakyat dalam perumusan dan kesepakatan Piagam ini. Sikap Rasul yang tidak memberikan petunjuk
untuk menentukan penggantinya sebagai 'kepala negara' sesudah wafatnya, selain bisa ditafsirkan
sebagai sikap demokratis yang tidak memberikan wasiat pelimpahan kekuasaan, juga bisa dimaknai
bahwa Rasul mewariskan "demokrasi" bagi generasi berikutnya. Artinya, kedaulatan dikembalikan
kepada rakyat sepenuhnya tanpa ada pesan-pesan politik yang mengganggu kebebasannya dalam
bersikap dan menentukan nasib politiknya. Kekuasaan politik untuk mengatur urusan bersama
dikembalikan sepenuhnya kepada kedaulatan rakyat. Diamnya Rasul seolah-olah menyatakan:
"Tanggungjawabmu urusan sosial politik zamanmu, dan tanggungjawabku urusan sosial politik
zamanku; karena itu pilihlah sendiri penggantiku [jika dibutuhkan], tentukan sendiri cara
pemilihannya, dan aturlah urusan bersama dengan cara yang terbaik menurut kamu". Dalam konteks
ini, tepat apa yang dikatakan oleh Ali Abd al-Raziq:
Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum
muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah
memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi
intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial
dan tuntutan zaman.[34]
Untuk membuktikan otentisitas dan keluhuran Piagam Madinah kiranya penting dilakukan studi
perbandingan secara mendalam dengan Magna Charta (Piagam Agung, 1215) yang dibuat Raja John
dari Inggris; Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1689) yang diterima oleh Parlemen Inggris; Bill of
Rights (Undang-undang Hak, 1798) yang dirumuskan Rakyat Amerika; Declaration des droits de
l'homme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dari Warga Negara, 1789) yang lahir pada
permulaan Revolusi Perancis; The Four Freedoms (Empat Kebebsan): [1] kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat, [2] kebebasan beragama, [3] kebebasan dari ketakutan, dan [4] kebebasan dari
kemelaratan, yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt; dan Declaration
of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Mnusia, 1948) oleh PBB.
Karena itu, wajar kalau sang orientalis semacam W. Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah
sebagai suatu "kesatuan politik tipe baru" (political unit a new type) dan dikatakan sebagai suatu ide
yang revolusioner untuk saat itu.
Wallahu 'Alam bi al-Shawab

[1] Sistem politik (political system) yang dimaksud adalah suatu konsep yang mengatur soal
kenegaraan, misalnya tentang sumber kekuasaan, bentuk negara, hubungan antara negara dan warga
negara, cara pengangkatan dan pemberhentian kepala negara, mekanisme pemerintahan, dan sebaginya.
Atau, pola hubungan masyarakat yang dibentuk berdasarkan keputusan-keputusan yang sah dan
dilaksanakan dalam masyarakat itu. Sistem politik dibedakan dari sistem sosial lain oleh empat ciri
khas; [1] daya jangkau yang universal, meliput semua anggota masyarakat, [2] kontrol mutlak atas
pemakaian kekerasan fisik, [3] hak membuat keputusan-keputusan yang mengikat dan diterima sebagai
absah, dan [4] keputusannya bersifat otoritatif, artinya menyandang daya pengabsah dan kerelaan yang
besar. Karena keempat ciri-ciri khas tersebut adalah juga ciri-ciri khas negara, maka istilah “sistem
politik” umumnya dipakai sebagai nama kolektivitas hubungan dari suatu negara. Baca Jack C. Plano,
Robert E. Riggs, dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Cet. II, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.
179.
[2] Istilah “prinsip” ini berasal dari bahasa Inggris “priciple”. Secara leksikal berarti: [1] dasar
kebenaran; hukum umum sebab akibat; [2] tuntunan peraturan untuk tingkah laku, moral. A.S. Hornby,
A.P. Cowie, dan A.C. Gimson (eds.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (London: Oxford
University Press, 1974), hlm. 664. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata itu berarti
“dasar, asas (kebenaran yang menjadi dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya). Tim Penyusun Kamus
Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hlm. 701.
[3] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-
Press, 1993), hlm. 233. Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan
Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.
[4] Munawir Sjadzali, “Islam Kosong Sistem Politik”, Wawancara di PESANTREN No. 3/Vol.VI/1989,
(Jakarta: P3M, 1989), hlm. 34-35. Bandingkan juga dengan bukunya, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233.
[5] Baca Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue dan L. Esposito,
(eds.), Islam in Transition, Muslim Perspective (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 261.
Ia membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu negara dan
pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.
[6] Baca Thomas W. Arnold, The Caliphate, (London: Routledge and Kegan Paul LTD, 1965), hlm. 30.
[7] Baca W. Montgomery, Islamic Political Thought, yang diterjemahkan menjadi Pergolakan
Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 24-36. Dan terjemahan lain Politik Islam
dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 30-41.
[8] Baca Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rayis, al-Nadharariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, (Mesir:
Maktabah al-Anjlu al-Mishriyat, 1957), hlm. 18--19.
[9] Bandingkan dengan Kata Pengantar Masdar F. Mas’udi, “negara (...)”, dalam Abdelwahab El-
Affendi, Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, Terjemahan Amiruddin Ar-Rani dari
Who Need an Islamic State? (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. v.
[10] James A. Bill dan Carl Leiden, Politics in the Middle East, (Boston: Little, Brown and Company,
1979), hlm. 135.
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, (Kairo: Maktabah Nahdliyat al-Mishriyyah, 1979),
hlm. 102.
[12] Dikutip dari J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan aL-Qur’an (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 55.
[13] Buku politiknya yang sering menjadi rujukan adalah al-Hukumah al-Islamiyyah, (kairo: Dar al-
Ma’arif).
[14] Buku politiknya yang kontroversial adalah Al-Islam wa Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa
al-Hukumah, (Mesir: Mathba’ah Meshr, 1925).
[15] Karya politik Al-Maududi yang spesifik adalah Islamic Law and Constitution, dan Al-Khilafah wa
al-Mulk (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
[16] Abdurrahman Wahid, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, dalam PESANTREN No. 3/Vol. VI/1989,
(Jakarta: P3M, 1989), hlm. 11.
[17] Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin
Arrani dari Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law,
(Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 7-8.
[18] Baca Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
[19] Baca Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah, (t.tp.: Dar al-
Katib al-Arabiy, t.t.).
[20] Baca Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
[21] Baca lebih jauh pada M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah
Pemikiran Politik Islam, JURNAL ULUMUL QUR’AN No. 2, Vol. IV. Th. 1993, hlm. 4-9.
[22] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hlm. 680.
[23] James, A.H. Murray et.el. (eds.), The Oxford English Dictionary, Vol. II (London: Oxford at the
Clarendon Press, 1978), hlm. 294.
[24] Misalnya studi yang dilakukan Ahmad Sukarja, tentang Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press,
1995), dan J. Suyuthi Pulungan, tentang Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah
Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: LSIK dan RajaGrafindo Persada, 1994).
[25] Dikutip J. Suyuthi Pulungan, op. cit., dari Madjid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltinore: John Hopkins, 1955), hlm. 209.
[26] Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, (Minneapolis: University of Minnesofa, 1973), hlm.
35-36.
[27] Baca Muhammad Khalid, Khatam al-Nabiyyin, (al-Qahirat, 1955), hlm. 116.
[28] Muhammad Jalal al-Din Surur, Qiyam al-Dawlah al-’Arabiyyat al-Islamiyyat fi Hayat
Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam (al-Qahirat, 1952), hlm. 78-79.
[29] Baca Hasan Ibrahim Hasan, op. cit., hlm. 124.
[30] Baca Maulvi Muhammad Ali, Muhammad the Prophet (Lahore, 1924), hlm. 121.
[31] Baca Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: 1956), hlm. 78.
[32] Baca Ahmad Sukarja, op. cit.
[33] Baca J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 121.
[34] Lihat Muhammad ‘Imarah, al-Islam wa Ushl al-Hukm li ‘Ali Abd al-Raziq, (Beirut: 1972), hlm.
92.

BIBLIOGRAFI
Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, Jakarta: 1956.
Arnold, Thomas W., The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul LTD, 1965.
El-Affendi, Abdel Wahab, Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, Terjemahan
Amiruddin Ar-Rani dari Who Need an Islamic State? Yogyakarta: LKiS, 1994.
Bill, James A. dan Carl Leiden, Politics in the Middle East, Boston: Little, Brown and Company, 1979.
Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, Kairo: Maktabah Nahdliyat al-Mishriyyah, 1979.
Hitti, Philip K., Capital Cities of Arab Islam, (Minneapolis: University of Minnesofa, 1973.
Hornby, A.S. A.P. Cowie, dan A.C. Gimson (eds.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London:
Oxford University Press, 1974.
‘Imarah, Muhammad, al-Islam wa Ushl al-Hukm li ‘Ali Abd al-Raziq, Beirut: 1972.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Maududi, Al-Khilafah wa al-Mulk, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
an-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, terjemahan Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani
dari Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, Yogyakarta:
LKiS, 1994.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985.
al-Rayis, Muhammad Dhiya’ al-Din, al-Nadharariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, Mesir: Maktabah al-
Anjlu al-Mishriyat, 1957.
Rahman, Fazlur, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue dan L. Esposito, (eds.), Islam
in Transition, Muslim Perspective, New York: Oxford University Press, 1982.
al-Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm (Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah, Mesir:
Mathba’ah Meshr, 1925.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-
Press, 1993.
--------. “Islam Kosong Sistem Politik”, Wawancara di PESANTREN No. 3/Vol.VI/1989, Jakarta: P3M,
1989.
Sukarja, Ahmad, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup
Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995.
Syamsudin, M. Din “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam,
JURNAL ULUMUL QUR’AN No. 2, Vol. IV. Th. 1993.
Taymiyah, Ibn, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah, t.tp.: Dar al-Katib al-
Arabiy, t.t.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Plano, Jack C. Robert E. Riggs, dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Cet. II, Jakarta:
Rajawali, 1989.
Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan
aL-Qur’an , Jakarta: LSIK, 1994.
Wahid, Abdurrahman, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, dalam PESANTREN No. 3/Vol. VI/1989,
Jakarta: P3M, 1989.
Watt, W. Montgomery Islamic Political Thought, yang diterjemahkan menjadi Pergolakan Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987; Dan terjemahan lain Politik Islam dalam Lintasan Sejarah,
Jakarta: P3M, 1988.

Biodata Penulis
Marzuki Wahid, lahir di Cirebon 20 Agustus 1971. Alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin
Cirebon dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Menempuh pendidikan sarjana (S1) pada Fak.
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Magister (S2) pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini
tengah menyelesaikan program pendidikan doktor (S3) pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehari-
hari bekerja sebagai Kepala Seksi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah pada Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Depag RI, staf pengajar pada Fak. Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan
Sekolah Tinggi Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Juga aktif sebagai staf peneliti pada
LAKPESDAM-NU Jakarta dan sekretaris Dewan Kebijakan Fahmina-institute Cirebon. Beberapa buku
yang pernah dieditnya adalah Pesantren Masa Depan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Geger di
Republik NU (Jakarta: KOMPAS-Lakpesdam, 1999), Dinamika NU (Jakarta: KOMPAS-Lakpesdsam,
1999), Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Rosda-
INCReS, 1999). Sedangkan buku yang ditulis sendiri bersama Rumadi adalah Fikih Madzhab Negara,
Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2000). Adapun beberapa buku di
mana ia menjadi salah satu kontributor tulisan adalah Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan,
Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Yogyakarta: Kerjasama Rahima-ff-LKiS, 2002), Serial
Khutbah Kontemporer, Beragama di Abad Dua Satu, Cet. I, (Jakarta: CV. Zikrul-Hakim, 1997), dan
Kritik Nalar Bahtsul Masail NU: Trasformasi Paradigma, (Jakarta: Lakpesdam, 2002).
http://isif.ac.id/riset/item/42-islam-dan-pluralisme-angan-angan-sosial-politik-demokratik-piagam-
madinah.html
]

oleh Hafidz Abdurahman M.A


Untuk membaca, apalagi melacak, pemikiran Sayyid Qutub (1906-1966), seperti kata penulis
buku ini, diperlukan kejelian dan kecermatan. Karena itu, ketika menulis pengantar ini, saya
berusaha mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya tentang Sayyid Qutub dan pemikirannya,
agar saya bisa bersikap amanah, setidak-
tidaknya untuk menjawab pertanyaan besar yang belum dijawab dalam buku Perubahan
Mendasar Pemikiran Sayyid Qutub ini.

Pertanyaan-pertanyaan yang justru menjadi kunci pembahasan buku ini. Antara lain: Apa yang
dimaksud “Perubahan Mendasar” dalam pemikiran Sayyid Qutub? Benarkah Sayyid Qutub
mengalami ”perubahan mendasar” dalam pemikirannya? Jika benar, dimanakah letak perubahan
pemikiran yang mendasar itu terjadi? Siapakah yang banyak mewarnai perubahan mendasar dalam
pemikiran Sayyid Qutub? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jelaskan dalam
pengantar ini.

Buku ini dikumpulkan dan artikel yang ditulis secara berseri dalam majalah al-Wa’ie. Dengan
judul at-Taghyir aI-Judzuri fi aI-Fikr al-Syahid Sayyid Qutub (Perubahan Mendasar Pemikiran as-
Syahid Sayyid Qutub), setidak-tidaknya mempunyai dua asumsi. Dalam bahasa Arab: at-Taghyir
al-Judzuri fi al-Fikr bisa diasumsikan:

Pertama, “konsep tentang perubahan mendasar dalam pemikiran.” Dan mungkin inilah yang
dimaksudkan oleh penulis, sebagaimana yang terlihat dalam petikan-petikan pandangan Sayyid
Qutub yang dituangkan dalam tulisannya. Asumsi ini didasarkan kepada sikap penulis untuk
tidak menyinggung sedikit pun tentang apa maksud “perubahan mendasar” yang di-highlight dalam
tulisannya. Karena seluruh wacana pemikiran yang dituangkan dalam buku ini sudah menjawab
maksud “perubahan mendasar”, yang lebih kepada konsep “perubahan mendasar” dalam pemikiran
Sayyid Qutub. Tetapi, mungkin saja asumsi ini tidak betul. Sebab, ada faktor lain yang boleh jadi
mempengaruhi penulis untuk tidak melakukan beberapa catatan di atas, antara lain, karena tulisan
ini bukan merupakan “tulisan ilmiah” yang sengaja disusun untuk menjadi sebuah buku, tetapi
merupakan “tulisan ilmiah” yang ditulis untuk konsumsi majalah. Kedua, “perubahan mendasar
dalam pemikiran…” sebagaimana judul terjemahan buku ini. Makna yang tidak merujuk kepada
“konsep” atau “pemikiran” tentang “perubahan mendasar’ tetapi lebih kepada terjadinya perubahan
mendasar dalam pemikiran Sayyid Qutub. Asumsi ini juga dapat diterima, sekalipun penulis —
karena pertimbangan tertentu— dalam pengantarnya tidak memberikan ulasan tentang maksud
ini.

Asumsi ini dibenarkan, karena biasanya untuk merujuk kepada “konsep” atau “pemikiran”
tentang “perubahan mendasar” dalam bahasa Arab digunakan ”at- Taghyir al-Judzuri fi al-Nadhri”
(konsep “Perubahan Mendasar” dalam pandangan). Karena itu, berdasarkan perspektif kebahasaan,
asumsi yang kedua ini lebih tepat. Cuma persoalannya, jika asumsi kedua yang dianggap Iebih
tepat, buku ini secara keseluruhan tidak menguraikan ciri-ciri “perubahan mendasar” dalam
pemikiran Sayyid, setidaknya dengan comparatively method, antara pemikiran beliau sebelum
dan setelah berubah.

Sekalipun demikian, tidak berarti buku ini tidak layak untuk mengurai “perubahan mendasar”
pemikiran Sayyid Qutub. Paling tidak, buku ini telah membuka mata kita melalui symptom-symptom
yang diurai di dalamnya, setidaknya untuk mendiagnosis hakikat “perubahan mendasar” tersebut.
Hanya penelitian lebih mendalam terhadap hakikat “perubahan mendasar” ini masih perlu
dilakukan. Karena itu, saya memberanikan diri memberikan pengantar buku ini dengan maksud
untuk memecah kekaburan tersebut.

Dilahirkan di Qaryah, wilayah Asyuth, tahun 1906, sepuluh tahun kemudian, Sayyid Qutub telah
hafal aI-Qur’an. Dari Qaryah, beliau melanjutkan studi ke Kairo, tepatnya di Dar al-’Ulum
hingga lulus. Sekitar tahun 1926, pada usia 20 tahun, beliau belajar sastra kepada Abbas
Mahmud al-’Aqqad, penulis buku ad-Dimuqrathiyyah fi al-Islam. Tokoh ini mempunyai
pengaruh besar terhadap Sayyid Qutub. Kurang lebih 25 tahun, Sayyid Qutub bersamanya, dan
karena pengaruh al-’Aqqad-lah, beliau terlibat dengan kehidupan politik yang pertama. Dalam
rentang inilah, beliau menjadi anggota Partai al-Wafd. Pada akhirnya beliau keluar, dan bergabung
dengan Partai al-Haihah al-Sa’adiyyah, pecahan Partai al-Wafd, tetapi hanya bertahan dua tahun.
Setelah itu, beliau tidak terlibat dengan partai manapun.

Al-’Aqqad juga orang yang berjasa mengangkat kepopuleran Sayyid Qutub, dengan peluang
menulis gagasan-gagasannya dalam harian partainya. Beliau akhirnya populer sebagal murid
aI-’Aqqad. Tetapi, sejak tahun 1946, setelah menulis buku at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an,
beliau mulai sedikit demi sedikit menjauhkan diri dan al-’Aqqad.

Selama 25 tahun, antara tahun 1926-1950, Sayyid Qutub belum menggeluti pemikiran Islam,
khususnya ketika bersama al-’Aqqad. Inilah pengaruh negatif al-’Aqqad pada diri Sayyid.
Gambaran ini dapat dilacak dalam tulisan-tulisan beliau seperti yang pernah dipublikasikan oleh
majalah al-Risalah (1934-1952), disamping buku-buku beliau yang dicetak pada rentang masa
tersebut. Tulisan beliau yang dipublikasi dalam rentang waktu tersebut berkisar soal sastra, seperti
bait-bait syair dan beberapa makalah sosial (1933- 1937), konflik terbuka melawan al-Rafi’i
membela al‘Aqqad (1938), kritik nyanyian yang diselingi dengan beberapa bait syair dan
makalah sosial (1940-1941), kritik terbuka kepada Dr. Muhammad Mandur tentang seni retorika
(1943), kritik dan penjelasan tentang aliran seni sebagai aliran al-’Aqqad (1944), kritik dan medan
konflik terbuka dengan Shalah Dzihni tentang kisah dan kisah-kisah Mahmud Taimur (1944 dan
awal 1945), serta uraian tentang krisis di tanah air, peristiwa politik dan problem sosial dengan
beberapa makalah yang berbentuk kritik (1945-1947).

Disamping itu, gambaran di atas juga dapat dilacak dalam buku-buku beliau yang diterbitkan
dalam rentang waktu tersebut. Antara lain: Muhimmah as-Sya‘ir fi al-
Hayah wa Syi’r al-Jail al-Hadhir (1933). Ini merupakan buku beliau yang pertama diterbitkan. Di
dalamnya beliau menguraikan kedudukan seorang penyair dalam kehidupan, dan syair di antara
seni-seni keindahan yang ada, kemudian tentang siapa yang disebut penyair, disamping tentang
kepribadian penyair dan pengaruh lingkungannya. As-Syathi’al-Majhul (1935). Buku ini berisi
kumpulan bait syair yang diterbitkan pertama dan terakhir kali. Dalam pengantarnya, beliau
mengatakan, bahwa buku ini berisi teori ilmiah dan filosofis, ketika seorang penyair
beninteraksi dengan “dunia fantasi”. Naqd Kitab Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr (1939). Ini
berisi bantahan terhadap Taha Husein. Tulisan ini asalnya dimuat dalam buletin Dar al-‘Ulum,
yang kemudian diadopsi oleh koran aI-Ikhwan al-Muslimin, ketika Sayyid Qutub belum menjadi
anggota jamaah ini.
Sekalipun berisi bantahan, tetapi beliau tidak menolak seratus persen pemikiran Taha Husein.
Buku ini juga tidak memberikan bantahan dalam perspektif Islam, tetapi lebih berdasarkan
perspektif edukatif. At-Tashwir al-Fanni fi aI-Qur’an (1945). Ini dianggap sebagai buku
keislaman yang pertama. Al-Athyaf al-Arba’ah (1945). Buku ini ditulis bereempat dengan
saudaranya untuk mengenang kepergian ibunya. Thiflun min al-Qariyah (1946). Sayyid Qutub
menghadiahkannya untuk Taha Hussein, penulis buku al-Ayyam, yang sangat beliau kagumi. Al-
Madinah a!-Mashurah (1946). Buku ini berisi kisah fantasi. Kutub wa Syakhshiyyah (1946).
Karya ini ditujukan kepada para sastrawan, penyair dan pengkaji yang aktivitas sastranya beliau
kritik. Asywak (1947). Ini merupakan karya di bidang roman percintaan. Masyahid al-Qiyamah
fi al-Qur’an (1948). Berisi pemandangan kiamat, dan menguraikan seratus lima puluh
pemandangan, yang terbagi dalam delapan puluh surat. An-Naqd al-Adabi Ushuluhu wa
Manahijuhu (1948). Buku ini berisi kritik sastra, dasar dan metodenya. Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah
fi a/-Islam (1949). Ini dikatakan sebagai buku pemikiran Islam beliau yang pertama kali
diterbitkan. Buku ini ditulis ketika pengaruh Sosialisme begitu kuat di Mesir, dengan
meminjam trade mark “keadilan sosial” Sosialisme, sekalipun beliau coba uraikan dengan
paradigma keislaman beliau. Buku yang disebutkan terakhir ini ditulis sebelum beliau berangkat
ke Amerika, dan sebelum bergabung dengan aI-Ikhwan.

Sebagaimana penuturannya kepada an-Nadawi, setelah beliau melalui fase keraguan terhadap
hakikat keagamaan hingga pada batas yang sangat jauh, akhirnya beliau kembali kepada al-Qur’an
untuk mengobati kegalauannya. Perubahan ini terjadi sejak sekitar tahun 1945, setelah beliau
menulis at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an (1945), Masyahid aI-Qiyamah fi aI-Qur’an (1948) dan
al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949). Ketika di Amerika, tahun 1949, beliau
menyaksikan Hassan al-Bana, pendiri aI-Ikhwan dibunuh. Dari sini, Sayyid mulai simpati
dengan jamaah ini. Setelah kembali ke Mesir, beliau mengkaji sosok Hassan al-Bana, seperti
dalam pengakuannya:
“Saya telah membaca semua risalah al-Imam as-Syahid. Saya mendalami perjalanan hidup
beliau yang bersih dan tujuan-tujuannya yang haq. Dari sini saya tahu, mengapa beliau
dimusuhi? Mengapa beliau dibunuh? Karena itu, saya benjanji kepada Allah untuk memikul
amanah ini sepeninggal beliau, dan akan melanjutkan perjalanan ini seperti yang beliau lalui,
ketika beliau bertemu dengan Allah”4

Pada tahun 1951, ketika berusia 45 tahun, beliau bergabung dengan al-Ikhwan. Pada saat
inilah, Sayyid menganggap dirinya baru dilahirkan, setelah dua puluh lima tahun umurnya
dihabiskan dengan al-’Aqqad. Sejak masuk jamaah ini hingga meninggal dunia, beliau hanya
sempat hidup selama 15 tahun, hingga dijatuhi hukuman mati oleh regim Nasser, kawan beliau
dalam merancang Revolusi Juli tahun 1952, setahun setelah bergabung dengan al-Ikhwan. Dalam
jamaah ini, sekalipun beliau tidak pernah menjabat sebagai pemimpin al-Ikhwan, seperti al-Bana,
tetapi beliau dinobatkan sebagai pemikir nomer dua setelah al-Bana.

Perubahan Sayyid nampak terutama setelah bergabung dengan Al-Ikhwan, sekalipun ini bukan
fase akhir perubahan pemikiran beliau. Perubahan ini nampak misalnya dalam buku beliau, antara
lain: Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’simaliyyah (1951). Buku yang menekankan, bahwa hanya
Islam-lah satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan semua krisis sosial yang terjadi. As-
Salam al-Alami wa al-Islam (1951). Ini mengurai kegoncangan dunia dan perdamaian yang dapat
diwujudkan oleh Islam. Fi DhilaI aI-Qur’an juz I (1952). Karya monumental beliau setelah
kembali kepada al-Qur’an. Dirasat Islamiyyah (1950-1953). Buku ini berisi tiga puluh enam
makalah. Hadza ad-Din (1953). Buku yang mencerminkan fase baru pemikiran Islam beliau.
Kemudian secara berurutan, dalam rentang antara tahun 1953-1966, keluar buku beliau, seperti:
al-Mustaqbal Iihadza ad-Din, Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh, al-Islam wa
Musykilat aI-Hadharah dan Ma’alim fi at-Thariq.
Bahwa perubahan pemikiran Sayyid Qutub setelah bergabung dengan al-Ikhwan bukan merupakan
fase akhir perubahan mendasar dalam pemikirannya, nampak setelah pemikiran beliau dilacak
dengan teliti dan cermat melalui buku-bukunya. Karena itu, seperti yang diungkapkan oleh Shalah
al-Khalidi (1981), ketika buku beliau yang pertama diterbitkan, at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an
(1945), mereka yang arif mengatakan: “Inilah kitab Sayyid Qutub.” Ketika buku al-’Adalah al-
Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949) terbit, mereka mengatakan: “Bukan itu. Inilah kitab Sayyid
Qutub.”

Ketika buku Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh terbit, mereka mengatakan:


“Bukan itu, tapi ini.” Ketika Fi Dhilal al-Qur’an juz I (1952) terbit, mereka mengatakan:
“Inilah buku beliau.” Dan begitu buku Ma’alim fi at-Thariq terbit, mereka mengatakan: “Inilah
kitab Sayyid Qutub yang sesungguhnya.” Karena
itu, “Saya yakin, kalaulah Allah menakdirkan terbitnya buku-buku gerakan keislaman beliau
yang lain setelah Ma’alim, pasti akan menutup apa yang ditulis sebelumnya.” demikian ungkap
Shalah al-Khalidi, ketika menggambarkan perubahan demi perubahan dalam pemikiran sang syahid
ini.

Inilah “perubahan mendasar” yang terjadi dalam pemikiran tokoh syahid ini. Boleh jadi karena
faktor keikhlasannya, beliau akhirnya dapat meraih kedudukan agung ini. Keikhlasan ini nampak
ketika beliau mampu mengumumkan, bahwa dirinya telah melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran
beliau sebelumnya, setelah beliau mengadopsi pemikirannya yang baru. Sesuatu yang biasanya
sulit dilakukan oleh orang yang mempunyai popularitas seperti beliau. Keikhlasan beliau juga
nampak ketika pada tahun 1953 berkunjung ke al-Quds, dan bertemu dengan as-Syeikh
Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam pertemuan ini, beliau melakukan dialog pemikiran dengannya,
yang pada akhirnya beliau mendukung gagasan an-Nabhani dan partainya. Sikap yang jarang
ditemukan pada mereka yang menisbatkan gerakannya kepada beliau. Laporan yang menyatakan
dukungan beliau ini, sangat susah ditemukan dalam tulisan mereka yang menisbatkan gerakannya
kepada Sayyid Qutub. Apa lagi
untuk mendapat laporan, bahwa sedikit banyak beliau juga telah menyerap pandangan-
pandangan tokoh yang disebutkan terakhir ini.

Tentang masalah yang terakhir ini, sekalipun masih terlalu prematur untuk dibuktikan, namun
setidaknya symptom-nya dapat ditemukan ketika melacak wacana pemikiran Sayyid Qutub dalam
buku ini. Pemakaian istilah al-wa’yu, isti’naf al-hayah aI-Islamiyyah (melanjutkan kehidupan
Islam), serta seruan beliau untuk membangkitkan umat melalul tegaknya Khilafah Islam, dan
sebagainya dapat dianggap sebagai symptom penyerapan beliau terhadap pandangan-pandangan
ulama ini. Karena term-term —selain gagasan yang terakhir— ini merupakan term dan gagasan
yang secara konsisten diperjuangkan oleh ulama ini, sejak pertama kali mendirikan partainya,
tahun 1953. Sedangkan sejauh mana pengaruh pandangan tokoh ini terhadap Sayyid
Qutub, apa hanya sekedar intifa‘ (istilahnya dimanfaatkan) ataukah benar-benar ta’atstsur
(terpengaruh). Sekali lagi untuk menjawab masalah ini perlu penelitian yang lebih akurat.

Akhirnya, apapun tentang Sayyid Qutub rahimahullah, beliau adalah as-Syahid yang tetap hidup di
tengah kita. Pemikirannya masih menyinarkan harapan untuk menyembuhkan kondisi umat,
yang masih belum sadar, dan ketika banyak orang sudah tidak lagi mempunyai harapan
terhadap kehidupan mereka. Dan buku ini, merupakan uraian terbaik dalam memahami
mainframe gerakan Sayyid Qutub yang banyak dilupakan oleh para pengikutnya. WaIlahua’lam bi
as-Shawab.

Build your own site

........:::::Sayyid Qutb:::::........
Sayyid Qutb lahir pada tahun 9 Oktober 1906 M dari rahim seorang ibu sederhana di desa Musyah di
Propinsi Asy Syuth. Beliau adalah anak kedua dari empat bersaudara. Anak tertua seorang perempuan,
Hamidah Qutb. Muhammad Qutb anak ketiga dan yang terakhir Aminah Qutb. Sejak kecil mereka
telah dikenalkan dengan lingkungan islami dan dibesarkan dengan didikan islami. Fatimah sang ibu
menjaga pergaulan anak- anaknya dari lingkungan jahiliah. Tidak heran kalau dari keluarga ini
kemudian lahir para penulis Islam yang handal. Keempatnya pernah membuat satu bunga rampai yang
diberi judul "Al Aty'f al Arba'ah".
Sebelum genap berusia 10 tahun Sayyid Qutb telah menghafal Alquran sebagaimana harapan ibunya.
Dalam bukunya "Taswžr al fannž fil qur'n" ia mengatakan, "Harapan ibu yang paling besar terhadapku
adalah agar Allah berkenan membuka hatiku, hingga aku bisa menghafal Alquran dan membacanya di
hadapan ibu dengan baik. Sekarang saya telah hafal Alquran dengan demikian saya telah menunaikan
sebagian harapan ibu". Pada tahun 1918 ia menamatkan pendidikan dasarnya di Musya. Tahun 1920 ia
kemudian merantau ke Kairo dan tinggal bersama pamannya untuk meneruskan sekolah ke jenjang
menengah di madrasah Abdul Aziz (sekolah guru menengah). Lima tahun setelah itu ia melanjutkan
pendidikan ke jenjang menengah atas di madrasah persiapan Darul Ulum. Kemudian pada tahun 1929
Sayyid Qutb terdaftar sebagai mahasiswa di fakultas adab universitas Darul Ulum Kairo dan tamat
pada tahun 1933.
Setelah lulus Sayyid Qutb dilantik oleh departemen pendidikan menjadi guru di madrasah D'wudiyah.
Kemudian dipindah ke madrasah Dimyat pada tahun 1935 . Pada tahun 1936 dipindah lagi ke Helwan.
Sejak tahun 1940 sampai 1945 ia ditarik dari dunia pengajaran dan diperbantukan di Kantor
departemen pendidikan. Pada tahun 1948 mendapat kepercayaan menjadi utusan departemen
pendidikan Mesir ke Amerika. Selama dua tahun ia bermukim di Amerika untuk mempelajari metode
pengajaran di Amerika sebagai studi banding dengan sistem pendidikan di Mesir. Tepatnya pada 20
Agustus 1950 Sayyid Qutb kembali ke Mesir dan diperbantukan menjadi pengawas di tehnikal riset
departemen pendidikan Mesir. Tahun 1952 Sayyid Qutb mengundurkan diri dari tugas kepegawaian
dan mulai berkecimpung di dunia pers.
Menginjak usia 45 tahun, Sayyid Qutb mulai bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan pada
tahun 1954 ia dipercaya menjadi pemimpin redaksi majalah resmi Ikhwanul muslimin. Di tahun yang
sama ia ditangkap bersama beberapa pemimpin Ikhwanul muslimin dan mendekam di penjara selama
dua bulan. Belum cukup beristirahat, Sayyid Qutb kembali ditangkap juga di tahun 1954 dengan
tuduhan terlibat usaha pembunuhan terhadap presiden yang berkuasa, Jamal Abdul Naser. Dalam
persidangan militer yang dipimpin oleh jamal Salim dan beranggotakan Anwar Sadat dan Husein
Syafi'i, Sayyid Qutb dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Melalui permohonan presiden Irak ketika itu,
Abdussalam Arif, Sayyid Qutb mendapat pemotongan masa hukuman dan dikeluarkan dari penjara
pada tahun 1964.
Pada tanggal 9 Agustus 1965 untuk ketiga kalinya Sayyid Qutb kembali ditahan dengan tuduhan
merencanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintah dan usaha pembunuhan presiden. Melalui
sidang militer yang dipimpin oleh Fuad ad Dajwa, tanggal 12 Agustus 1965 dijatuhkan hukuman mati
buat Sayyid Qutb yang pelaksanaannya dijadwalkan tanggal 21 Agustus 1966.
Mengetahui putusan hakim, banyak pihak yang bersimpati kepada Sayyid Qutb dan mengirimkan surat
permohonan kepada Jamal Abdul Nasser untuk memberikan grasi bagi Sayyid Qutb. Bahkan di
Pakistan terjadi demo besar-besaran. Demo ini digerakkan oleh berbagai organisasi Islam meminta
Abdul Naser mencabut kembali tuduhan buat Sayyid Qutb dan membebaskannya dari hukuman mati.
Para pemimpin negara pun tidak ketinggalan. Di antaranya Raja Faisal dari Saudi Arabia mengirim
surat permohonan pembebasan Sayyid Qutb. Pada tanggal 28 Agustus 1965 surat permohonan dari raja
Faisal sampai ke tangan pembantu presiden Jamal Abdul Nasser, Sami Syarf. Ketika akan diberikan
Jamal Abdul Nasser menolak kemudian menginstruksikan kepada Sami Syarf, "Pancunglah ia di waktu
Subuh, baru kemudian engkau berikan surat itu kepadaku".
Di pagi dinihari tepatnya tanggal 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb dipancung di penjara militer. Presiden
Jamal Abdul Naser kemudian mengirimkan surat permohonan maaf ke raja Faisal dan mengabarkan
bahwa surat sang raja sampai ke tangannya setelah pelaksanaan hukuman.
Sayyid Qutb Seorang Sastrawan
Sejak kecil Sayyid Qutb telah tertarik dengan dunia sastra. Kecenderungan sastra semakin tumbuh
ketika ia dikenalkan oleh beberapa penduduk desa yang belajar di Kairo dengan beberapa penyair
terkenal Mesir. Nama- nama penyair seperti Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim telah menghias pikirannya.
Kecenderungan ini sempat dibaca oleh Kepala sekolah tempat Sayyid Qutb belajar. Beberapa bait syair
Tsabit Jarjawi sering diberikan kepala sekolah kepada Sayyid Qutb untuk dihapal.
Dalam bukunya Taswžr al fannž fi al Qur'n, Ia menceritakan ketika selesai dari pendidikan dasar
Sayyid Qutb tidak langsung melanjutkan ke jenjang berikutnya. Waktu itu ia baru berumur 10 tahun.
Sementara syarat diterima di pendidikan menengah (Madrasah Abdul Azis) harus berusia 15 tahun.
untuk bekerja membantu bapaknya bekerja di sawa
Berarti harus menunggu selama lima tahun... Dalam masa penantian, Sayyiq Qutb mengisi waktu
luangnya dengan membaca buku. Karena ukuran badannya yang tergolong kecil ia tidak kuat untuk
bekerja membantu bapaknya bekerja di sawah seperti kebanyakan anak desa. Berbagai buku dilahap
Sayyid Qutb mulai dari kisah-kisah kepahlawanan sampai buku- buku agama. Bahkan ia mempunyai
perpustakaan pribadi di rumahnya. Karena gemar membaca Sayyid Qutb disegani oleh masyarakat
desanya yang tergolong masyarakat menengah ke bawah dan buta huruf.
Ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Kairo tidak disia-siakan olehnya. Hidup
dan belajar di Kairo adalah kesempatan emas buat Sayyid Qutb. Karena ia dapat langsung berhubungan
dengan para penyair besar Mesir. Selama hidup di Mesir ia mulai mengasah bakatnya di bidang sastra.
Ia begitu intens mengikuti berbagai kajian sastra.
Pada awalnya Sayyid Qutb sangat tertarik dengan aliran sastra yang dibawa oleh Abbas mahmud al
Aqqad. Sejak tahun 1923 Sayyid Qutb begitu intens menghadiri muhadarah Abbas Mahmud al Aqqad
di setiap tempat dan menjadikannya sebagai guru sastra. Setidaknya ada dua alasan kenapa Sayyid
Qutb tertarik kepada Abbas Mahmud al Aqqad.
Pertama: Sayyid Qutb termasuk warga kelas menengah ke bawah dari segi ekonomi. Pada waktu itu
Mesir tergolong negara miskin. Kesempatan belajar di sekolah-sekolah favorit hanya milik orang kaya.
Orang miskin tidak punya banyak kesempatan untuk menimba ilmu kalau tidak memiliki indeks
prestasi yang tinggi. Sebagai anak desa Sayyid Qutb juga mengalami hal yang sama. Kesulitan hidup
di Kairo membawa pengaruh kepada pola pikirannya. Namun ia tidak menyerah dengan keadaan tapi
malah berontak dengan lingkungan. Ia mengkritisi tatanan sosial masyarakatnya. Untuk itu ia sangat
mengidolakan sastrawan yang sejalan dengan pola pikirnya. Dan hal itu ia dapati dalam sosok Abbas
Mahmud al Aqqad.
Kedua: Abbas Mahmud Al Aqqad adalah termasuk pembaharu dalam bidang sastra pada zamannya.
Kelebihan Abbas al Aqqad dibanding sastrawan lain di zamannya adalah ia mampu membaca karya-
karya sastra penulis barat. Waktu itu termasuk aib bagi seorang penulis bila tidak menguasai bahasa
asing. Dalam tulisan-tulisannya Abbas al Aqqad sering mengkritisi pola hidup masyarakat Mesir dan
membandingkannya dengan masyarakat Barat. Ia banyak mengadopsi budaya barat sebagai masyarakat
percontohan. Kekayaan informasi di samping penguasaan bahasa asing yang dimiliki Abbas Mahmud
al Aqqad membuat Sayyid Qutb mengaguminya. Ia memandang Abbas Mahmud al Aqqad sebagai
sastrawan yang membawa nafas baru bagi masyarakat Mesir. Bila ia berjalan sesuai dengan aliran yang
dibawa Abbas Mahmud al Aqqad maka ia akan mampu merubah tatanan sosial masyarakat.
Berdasarkan dua alasan di atas terjalin hubungan akrab antara Sayyid Qutb dan Abbas Mahmud al
Aqqad. Hubungan antara guru dan murid. Aliran sastranya banyak meniru gurunya. Seperti Abbas
Mahmud al Aqqad karya- karya Sayyid Qutb baik yang berbentuk syair, prosa maupun karya ilmiah
bersifat kritik sosial. Tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai media cetak Mesir seperti al Ahr'm,
Ar Ris'lah, Ats Tsaq'fah. Ia juga menerbitkan dua majalah, al Aalam al Arabi dan al Fikr a; Jadeed
sebagai wadah mengasah kemampuan jurnalistiknya. Disamping ia juga bergabung bersama gurunya di
partai wafd sebagai corong sosialis di Mesir.Dengan tetap istiqamah dalam aliran Abbas Mahmud al
Aqqad di setiap tulisannya membuat Sayyid Qutb dekat dengan Toha Husein ketika ia menjadi pegawai
di departemen pendidikan Mesir. Kebetulan Toha Husein menjadi penasehat Kementrian Pendidikan
ketika itu. Karena nasehat dari Toha Husein yang membuat Sayyid Qutb mengurungkan niat untuk
mengundurkan diri dari tugas kepegawaian. Sebagai ucapan terima kasih Sayyid Qutb menghadiahkan
karyanya Tifl min al qoryah kepada Toha Husein.
Ketika tahun 1945 terjadi perubahan dalam diri Sayyid Qutb. Aliran Abbas al Aqqad yang sebelumnya
mendominasi dalam setiap karyanya tidak lagi terasa. Ada nuansa islami yang mulai menguat. Gejala
ini dimulai dari bukunya "taswiir al fanni fi al Quran" yang diterbitkan pada tahun 1945. Pada bab
pendahuluan ia memulai dengan tulisan "laqad wajadtu al Qur'n" (Sungguh aku telah menemukan al
Quran). Seakan-akan ia kembali menemukan mutiara yang telah hilang selama bertahun-tahun.
Perubahan ini semakin mengkristal dalam dirinya ketika berada di Amerika dalam rangka studi
banding sebagai utusan departemen pendidikan Mesir ( 1948-1950 ). Hidup di tengah- tengah
lingkungan kapitalis merupakan hal baru bagi dirinya. Sebab di Mesir Sayyid Qutb terpola dengan
pemikiran gurunya yang sosialis. Budaya santai masyarakat Mesir dipaksa untuk dicabut dari dirinya
melihat pola kerja masyarakat Amerika yang serba profesional. Dalam sebuah makalahnya yang ditulis
dari Amerika, Sayyid Qutb mengatakan, "Sesungguhnya aku yang meyakini kekuatan kalimat kini aku
merasa bahwa kita di Mesir khususnya atau masyarakat Timur pada umumnya selama ini lebih banyak
teori tanpa praktek nyata. Sekarang tiba waktunya bagi kita untuk membuat sesuatu selain teori
belaka."
Namun kehidupan yang menghambakan materi bukan membuat Sayyid Qutb luntur dan berbaur
dengan lingkungan dan pola pikir masyarakat Amerika. Tapi semangat keislamannya semakin tumbuh.
Diiringi daya kritisnya yang semakin tajam. Dalam beberapa makalah yang ditulis dari Amerika Sayyid
Qutb justru mencela budaya Amerika. Sekalipun semua fasilitas tersedia, hidup serba ada justru rakyat
Amerika stres.
Rutinitas harian membuat mereka jenuh. Sehingga menjerumuskan mereka dalam budaya seks bebas,
tindakan kriminal sebagai obat stress dan rasa jenuh.
Sayyid Qutb dan Ikhwanul Muslimin
Abdul Baqi Muhammad Husein dalam bukunya "Min a'l'm al harokah al Isl'miyah al mu''shiroh
mengatakan suatu saat ketika Sayyid Qutb berada di Amerika ia heran melihat melihat masyarakat
Amerika bergembira karena meninggalnya Hasan al Bana. Ketika ditanya sebab kegembiraan tersebut
mereka menjawab "Bahaya laten bagi Barat dan Amerika telah terbunuh di Mesir yaitu Hasan al Bana
pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin".
Sayyid Qutb takjub akan kebesaran nama Hasan al Bana di Amerika sementara ia yang orang Mesir
asli tidak begitu banyak tahu. Akhirnya ia memutuskan untuk merubah haluan hidup dan bergabung
dengan gerakan ikhwanul muslimin setelah selesai masa tugas di Amerika. Resminya di tahun 1953 ia
menjadi anggota resmi Ikhwanul Muslimin. Dengan bekal semangat keislaman ditambah pengetahuan
baru yang didapat dari Amerika menjadikan Sayyid Qutb mencapai masa keemasannya di bidang
sastra. Melalui majalah ikhwanul muslimin ia banyak menulis karya dengan aliran baru yang
diyakininya. Terlepas dari aliran Abbas Mahmud al Aqqad. Kritik- kritik sastranya yang terkenal
dengan istilah "Nadzriah as suwar wa adz dzilal" yang tergolong fenomena baru di dunia sastra. Bukan
itu saja sejak tahun 1947 berbagai buku yang sarat dengan nilai Islam lahir dari sentuhan penanya.
Puncaknya ia berhasil menciptakan tafsir "Fi adz dzil'l al Qur'n" sebagai karya monumental di bidang
tafsir.
Sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin karya- karyanya menitik beratkan ke dalam beberapa hal:
Pertama: Kebutuhan manusia akan aqidah islami yang murni yang langsung bersumber dari al Quran
dan as Sunnah. Ia mengajak masyarakat memahami aqidah secara universal tanpa ada batasan-batasan
geografis yang melingkupinya. Sayyid Qutb meyakini dengan berpegang kepada Aqidah yang murni
maka setiap muslim akan mampu menghadapi problematika hidup. Ia akan selamat di dunia dan
bahagia di akhirat. Dalam tafsir "Fi adz dzilal al Quran" ia menjelaskan, "Sesungguhnya tugas kita
bukan untuk menghukumi manusia, ini kafir ini mukmin. Tapi tugas kita adalah mengenalkan hakekat
laa Ilaaha Illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Karena manusia tidak mengetahui konsekwensi dasar
kalimat tersebut yaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan."
Kedua: langkah yang harus ditempuh untuk membuat masyarakat muslim sebagaimana masyarakat
yang telah dibentuk oleh Rasulullah SAW di Madinah. Hal ini terlihat dari beberapa karyanya seperti:
nahwa mujtama' al Isl'mi, al ad'lah al ijtim''iyah fi al Islam, hal nahnu muslimun dll.
Ketiga: keuntungan yang di dapat oleh manusia bila menjadikan Islam sebagai manhaj hidup. Hal ini
dituangkan dalam buku- bukunya seperti: al Isl'm wa al musykilah al hadh'rah, as sal'm al 'lami wa al
Isl'm dll.
Keempat: Sikap Islam terhadap kolonialisme dalam semua segi, ideologi, politik, ekonomi, militer dll.
Hal ini terlihat dalam bukunya al Isl'm wa al isti'm'r.
Pada tahun 1954 Sayyid Qutb beserta bersama ribuan anggota gerakan ikhwanul muslimin ditangkap
dengan tuduhan rencana pembunuhan terhadap Jamal Abdul Nasir yang terkenal dengan nama
peristiwa Mansyiah. Padahal ia termasuk salah seorang penasehat jamal Abdul Nasir. Melalui
keputusan sidang militer ia dijatuhi hukuman 15 tahun sementara beberapa anggota ikhwan ada yang
dijatuhi hukuman mati termasuk Hasan al Hudhaibi. Selama dalam penjara aktivitas menulisnya tidak
berhenti. Banyak buku yang dihasilkan termasuk merampungkan tafsir Fi adz dzilal al Quran.

Pada tahun 1964 ia menerbitkan bukunya "Ma'aliim fi Ath Thariq" setelah keluar dari penjara. Buku ini
adalah hasil renungan Sayyid Qutb selama di penjara. Bagi yang sekilas membacanya buku ini terkesan
sangat radikal. Padahal tidak demikian maksud Sayyid Qutb. Ia hanya mengkritik aturan-aturan selain
aturan Allah SWT yang berlaku di masyarakat sebagai aturan jahiliyah dan bukan menghukumi
masyarakat. Ketika buku ini dibaca oleh Abul A'la al Maududi ia berkomentar seolah-olah ia yang
mengarang buku tersebut. Struktru ide yang ada dalam buku "Ma'aliim fi Ath Thariq" menurut al
Maududi sejalan dengan ide yang dikembangkannya selama ini.
Pada tahun 1965 turun perintah dari Jamal Abdul Nasir yang sedang berada di Moskow untuk
menangkap Sayyid Qutb. Setelah menjalani pemeriksaan selama tiga hari Sayyid Qutb dijatuhi
hukuman mati karena bergabung dengan ikhwanul muslimin yang dituduh merencanakan kudeta. Pada
pagi dini hari tepatnya tanggal 29 Agustus 1966 Sayyid Qutb menjemput syahadah di tiang gantungan.
Penutup
Membaca perjalanan hidup Sayyid Qutb bagi penulis ibarat mengulang kembali perjuangan nabi
Ibrahim melawan raja Namrud. Seperti nabi Ibrahim, Sayyid Qutb berjuang untuk menemukan prinsip
hidup yang benar dan itu ia dapatkan dalam gerakan ikhwanul muslimin. Bahkan ia rela mati demi
prinsip tersebut.
HoME

Membantah "Visualisasi Seni Dalam Al-Qur'an"


Diposkan oleh Abdullah al-Atsary on 6.23.2008 / Label: Pemikiran Sayyid Quthb
Dia katakan di bawah tema ini halaman 36:
((Visualisasi adalah sarana paling utama dalam uslub Al-Qur'an, dia mengungkapkan dengan
gambaran inderawi imajinasi sesuatu yang maknawi, keadaan kejiwaan, kejadian inderawi,
peristiwa yang dapat dilihat, serta contoh kemanusiaan dan tabiatnya. Lalu ia naik kepada
gambar yang dilukiskannya, dia memberikan padanya sosok kehidupan atau gerakan yang
dinamis, maka tiba-tiba makna yang ada dalam pikiran itu mewujud suasana dan gerakan,
seketika itu ihwal kejiwaan menjadi layar tontonan, waktu itu juga contoh kemanusiaan
menjadi satu sosok yang hidup, serta tabiat kemanusiaan pun menjadi pribadi yang tampil.

Adapun peristiwa, kejadian, kisah, dan pemandangan maka ia menjadi kelihatan jelas di
hadapan. Padanya ada kehidupan dan gerakan dinamis, lalu tatkala ditambahkan kepadanya
percakapan, maka sempurnalah semua unsur imajinasi. Hampir tidak pernah ia memulai suatu
visualisasi melainkan ia mengubah para pendengar menjadi penonton dan memindahkan
mereka ke panggung peristiwa pertama yang terjadi padanya atau akan terjadi sewaktu
berputar seri demi seri pertunjukan dan berjalan dinamis semua gerakan. Pendengar lupa
kalau ini hanyalah kalimat yang dibacakan dan contoh yang diperdengarkan, dia
mengkhayalkannya sebagai tontonan yang ditampilkan dan peristiwa yang terjadi.

Penampilan inilah yang senantiasa ada di atas panggung, inilah reaksi beragam perasaan yang
timbul sebab fase-fase yang sejalan dengan semua peristiwanya, serta inilah kalimat yang lidah
terus bergerak menyebutkannya, lalu tampak dalam perasaan jiwa sebagai suatu kehidupan,
bukannya cerita tentang kehidupan.

Tatkala kita teringat bahwa sarana yang menggambarkan makna dalam pikiran dan keadaan
kejiwaan juga bahwa sarana yang menampilkan contoh kemanusiaan atau peristiwa yang
diceritakan, hanyalah sebuah lafazh-lafazh yang beku tanpa ada warna yang menggambarkan
dan sosok yang mengungkapkan, maka kitapun tahu sebagian rahasia kemu'jizatan dalam
bentuk ini pada pengungkapan Al-Qur'an.

Permisalannya adalah seluruh Al-Qur'an di manapun, dia dipertunjukkan untuk suatu maksud
yang telah kami sebutkan, kapanpun dia kehendaki untuk mengungkapkan suatu makna
murni, keadaan kejiwaan, sifat maknawi, contoh kemanusiaan, peristiwa kejadian, kisah masa
lalu, suatu pemandangan hari kiamat, serta keadaan nikmat dan adzab, atau di manapun dia
berkehendak untuk membuat contoh apakah perdebatan atau penunjukan hujjah, bahkan
kemanapun dia menghendaki perdebatan ini secara mutlak dan berpegang pada realitas
inderawi, khayalan, dan pandangan.

Inilah yang kami maksudkan sewaktu kami katakan: "Sesungguhnya visualisasi itulah sarana
yang paling utama dalam uslub Al-Qur'an". la bukanlah uslub hiasan dan bukan pula sesuatu
yang liar berhenti di mana saja secara kebetulan, tapi ini adalah mazhab tetap[13], satu
kesatuan alur, kekhususan universal, dan jalan yang tertentu, sangat menarik sewaktu
dipergunakan dengan berbagai cara, suasana yang bermacam-macam, hanya saja terakhir dia
kembali juga kepada kaidah besar ini: 'Visualisasi seni'.
Wajib bagi kita untuk memperluas makna visualisasi sampai kita berhasil mencapai semua ufuq
visualisasi seni dalam Al-Qur'an. Dia adalah visualisasi dengan warna, gerakan, dan khayalan.
Sebagaimana ia juga visualisasi dengan irama yang memberi warna dalam pertunjukan,
seringkali berpadu padanya penggambaran, dialog, intonasi kata, serta nada ungkapan dan
kalimat dalam menampakkan suatu bentuk yang dinikmati oleh mata, telinga, rasa, khayalan,
pikiran, dan jiwa.

Ia adalah visualisasi hidup yang diambil dari alam makhluk hidup, bukan sekedar warna dan
goresan yang beku. Ia adalah visualisasi yang mengukur jarak nan jauh dengan perasaan dan
jiwa. Makna-makna yang dilukiskan memengaruhi jiwa anak Adam yang hidup atau
pemandangan alam yang tidak memiliki kehidupan.))

Perhatikanlah istilah-istilah yang digunakannya: pemandangan, gambar, lukisan, layar, kisah, dialog,
penonton, panggung, sarana visualisasi, peristiwa yang diceritakan dan yang digolongkan ke dalamnya;
irama, musik, film, akting, nada, senandung, pensil lukis paling canggih (halaman 251), serta lensa
foto.

Di atas semua istilah inilah tegak pekerjaannya yang memurkakan Allah subhanahu wa ta’ala serta
meremukkan Dien dan akhlak, dibuat oleh para peletak perfilman dan panggung sandiwara, penulis
skenario, dan sutradara film. Berkumpul padanya orang-orang yang paling rendah akhlak dan
agamanya, bisa jadi Yahudi atau Nasrani bahkan orang-orang Komunis zindiq. Mereka mempunyai
tujuan yang sangat busuk untuk menghancurkan Dien, akhlak, akal, adat istiadat yang baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Di samping itu ada juga tujuan materialis, miliaran dollar yang
mereka cintai.

Menurut keyakinanku Sayyid Quthb juga mengetahui semuanya setelah dia mengenali kandungan
aktivitas ini dan pengetahuannya tentang jenis ragam manusia penyuka aktivitas ini yakni para
penonton dan pendengarnya, bahwasanya kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang paling
rendahan. Sedangkan manusia-manusia yang mulia baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan
semuanya berlepas diri dari aktivitas semacam ini yang berisi panggung, bioskop, penonton, dan
pendengar yang tenggelam dalam kelezatan syahwat, perbuatan sia-sia, membuang waktu percuma,
dan melalaikan shalat sehingga mereka dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Lantas kenapakah dia mempergunakan istilah-istilah yang sangat hina ini (serendah orang-orang yang
meramaikannya, pementasannya, tokoh seninya penonton, pemusik, penyanyi, serta penarinya yang
laki atau perempuan)?? Mengapa dia menjadikan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala yang agung sebagai
lapangan untuk menerapkan istilah-istilah busuk ini seburuk para produsernya dan semua yang terlibat
di dalamnya?? Lalu menganggapnya sebagai mazhab tetap Al-Qur'an, kesatuan alur......??

Jikalau dia harus menerapkan semua istilah yang berada di bawah kaidahnya Visualisasi seni' ini
silakan saja dia memilih apa yang dia kehendaki dari sya'ir dan centa-cerita buatan manusia (tapi bukan
Al-Qur'an) baik dari para penulis cerita atau penyair Eropa serta siapa saja yang dia bertaklid padanya
dari kalangan orang-orang yang melenceng baik dari bangsa Arab atau Ajam (non Arab).

Sementara sudah menjadi kewajibannya untuk menyucikan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala kalimat
Rabb sekalian alam yang agung dari kaidah seni ini dan penerapan semua istilah ini yang dibangun di
atas kaidah tersebut sementara bangsa Arab belum pernah mengenalnya padahal Al-Qur'an turun
dengan bahasa mereka. Di mana bangsa 'Arab tidak mengenal panggung sandiwara, bioskop,
pertunjukan, dan tontonan mereka tidak mengenal musik, kaidah dan ragamnya. Bahkan andaikan
mereka mengenalinya di masa kejahiliahan mereka, terlebih lagi setelah Islamnya tentunya mereka
akan melihatnya sebagai urusan yang sangat hina dan membersihkan tangan mereka darinya. Sebab
aktivitas ini menafikan kejantanan, kesatriaan, dan harga diri. Maka apakah hubungan semua urusan ini
dengan Al-Qur'an yang Sayyid telah menjadikan seluruhnya sebagai lapangan guna mempraktikkan
perkara tersebut, sangat disayangkan…..!!

Akan tetapi keadaan buruk yang telah dia pilihkan untuk dirinya sendiri dan dia menyatakan dengan
terang-terangan dalam ucapannya: "Saya menegaskan dengan terang hakikat terakhir ini lalu saya
nyatakan bersamanya, bahwa sesungguhnya saya tidaklah tunduk dalam urusan ini kepada
suatu aqidah keagamaan yang membelenggu pikiranku dari pemahaman." (At-Tashwir, hal. 255)

Jikalau sudah begini keadaan Sayyid dan pengakuannya terhadap dirinya sendiri, maka apakah yang
berdiri di depannya dan apakah yang menghalanginya??

Tidak kebesaran Al-Qur'an, tidak kedudukan para Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dan tidak pula
merasakan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab itulah sehingga dia telah bertindak
sangat buruk memperlakukan kebesaran Kitab Allah, lantas diapun melanglang buana dengan kaidah
yang rusak dan pengistilahannya yang tunduk kepadanya manusia-manusia yang paling hina serta
dikerjakan oleh seburuk-buruk dan senista-nistanya manusia di tempat yang paling dimurkai oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Diapun menjadikan Kitabullah dan nash-nashnya yang suci layaknya
pertunjukan, kisah, dan cerita yang dipanggungkan dan difilmkan, innaa lillaahi wa innaa ilahi
raaji'uun.

Seorang muslim sejati teramat sangat menyayangkan bahwa buku ini dan pengarangnya disambut riuh
dengan pengkultusan, demikian juga dengan semua karangan-karangannya yang lain. Hal ini menjadi
bukti bahwa mayoritas manusia telah sangat dangkal kesadarannya hingga ke dasar jurang, akalnya
tertutup, motivasi agamanya amat lemah, demikian juga penghormatan terhadap Al-Qur'an dan As-
Sunnah dalam jiwa mereka. Kita memohon kepada Allah Al-Karim untuk merahmati dan
menyelamatkan mereka dari bala' yang sedang mereka derita.

Sayyid katakan di halaman 53 dari sebuah pasal ‘visualisasi seni dalam Al-Qur'an', dia mengemukakan
beberapa contoh pengisahan di dalam memberi komentar terhadap firman Allah subhanahu wa ta’ala:

"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik
(hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan: 'Insyaa Allah'." (Al-Qalam : 17-18)

((Mereka telah memutuskan untuk memetik buahnya di pagi hari tanpa menyisihkan sedikitpun
untuk orang-orang miskin. Marilah kita meninggalkan mereka dengan keputusan mereka,
untuk melihat apa yang terjadi sekarang di gulita malam, di mana mereka tersembunyi dan
tidak nampak di atas panggung. Lalu tiba-tiba apakah yang dilihat oleh para penonton??
Terjadi perampasan dan gerakan tersembunyi laksana gerakan bayangan di kegelapan:

“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dan Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka
jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita." (Al-Qalam : 19-20)

Saat itu…..Inilah mereka yang berpagi-pagi bangun, sementara mereka tidak mengetahui apa
yang telah menimpa kebun mereka di kegelapan malam:

"Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: 'Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu
hendak memetik buahnya'. Maka pergilah mereka saling berbisik. 'Pada hari ini janganlah ada
seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu'." (Al-Qalam : 21-24)

Hendaklah para penonton menahan lidahnya[14], jangan memberitahukan para pemilik kebun
tersebut akan apa yang telah menimpa kebun mereka, serta hendaklah para penonton
menyembunyikan tawa geli yang hampir meletup dari mereka tatkala melihat para pemilik
kebun telah tertipu, saling memanggil dengan berbisik-bisik agar kaum faqir miskin tidak ikut
serta. Hendaklah mereka menyembunyikan tawa ejekan, akan tetapi…. lepaskanlah tawa!
Inilah pengundang tawa yang terbesar……

Inilah mereka yang kaget!! Silakan para penonton tertawa sekehendak hati:
"Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: 'Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang
yang sesat (jalan)……’." (Al-Qalam : 26) ))

Dia katakan di tempat yang lain halaman 189:


((Demikian kita para penonton masih terus tertawa mengejek mereka, sementara mereka saling
memanggil dan berbisik, padahal kebun telah kosong laksana hangus. Sampai akhirnya
nampaklah bagi mereka rahasia yang tersembunyi, setelah kita kenyang mengejek:

"Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang
yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dan memperoleh hasilnya)"." (Al-Qalam : 26-27) ))

Saya katakan : Apa keterlibatan sandiwara dan penonton juga campur tangan tawa serta ejekan
terhadap tafsir ayat-ayat mulia ini yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk diambil
pelajaran dan nasihat darinya?!

Apa motivasinya membawa jatuh Kitabullah ke dalam limbah penafsiran yang sangat aneh ini?!

Kalau Sayyid Quthb mempunyai hobi yang hendak dia lakukan, seharusnya dia mencari medan yang
pas untuk mempraktikkan hobinya itu, seperti kisah dan pertunjukan yang sesuai dengan selera akhlak
para penonton yang tidak mempunyai pekerjaan berguna itu.

Pada sandiwara ini ada kedustaan, sebab Sayyid Quthb dan orang semasanya mempunyai jarak abad
yang sangat jauh dengan kejadian para pemilik kebun itu, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan
"kita para penonton masih terus tertawa mengejek mereka", yakni mereka melihat para pemilik
kebun?? Inilah ihwal sandiwara dan pertunjukan (yaitu: kebohongan).

Ini adalah bahasa tukang cerita yang tidak mempunyai kegiatan berguna dan kehidupannya larut dalam
kebatilan panggung sandiwara dan film. Bukan bahasa Al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab yang
telah turun kepada Rasul yang paling afdlal untuk memberikan hidayah kepada manusia.

Pada halaman 186 sub bab keistimewaan seni dalam kisah, dia katakan: [Sesekali terbuka sebagian
rahasia atas penonton sedangkan ia masih tersembunyi bagi sang tokoh, sedang di kali lain
tersembunyi bagi penonton sekaligus bagi tokoh dalam satu kisah.

Misalnya, singgasana Balqis yang didatangkan dalam sekejap mata. Kita telah mengetahui
bahwa ia sudah berada di hadapan Sulaiman sewaktu Balqis masih tidak tahu apa yang telah
kita ketahui itu:

"Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: 'Seperti inikah singgasanamu?' Dia menjawab:
'Seakan-akan singgasana ini singgasanaku'." (An-Naml : 42)

Ini sebuah kejutan yang telah kita ketahui rahasianya lebih dulu.

Akan tetapi kejutan istana licin yang terbuat dari kaca sebelumnya masih tersembunyi bagi kita
juga bagi Balqis, sehingga tiba-tiba kita dan Balqis dikagetkan dengan rahasianya, tatkala:

"Dikatakan kepadanya: 'Masuklah ke dalam istana'. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu,
dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya." (An-Naml : 44)

Demikianlah dia menafsirkan kalimat mulia ini dengan kedustaan. Ini buah pahit dari bergantung
mengandalkan seni dan keterlepasan dari aqidah yang dianggapnya sebagai belenggu. Manakah
hubungan antara Kalamullah dengan sandiwara yang menjadikan bohong sebagai salah satu rukunnya
yang harus ada serta tidak dirakit kecuali oleh para pendusta, buktinya:

1. Apakah Sayyid Quthb termasuk di antara mereka yang hadir menyaksikan ketika itu dan apakah dia
mengetahui datangnya singgasana Balqis ke hadapan Sulaiman sebelum Balqis tahu?? Dan siapakah
para penonton itu?? Apakah pemeran utama ini laki-laki atau perempuan?? Begitulah seterusnya
hingga akhir komedi yang dengannya Sayyid Quthb menafsirkan Kalamullah atas nama seni yang
dalam pandangan Sayyid sekelas dengan Dien. Apakah benar kalau ini adalah keistimewaan seni dalam
Al-Qur'an??

Dia katakan di halaman 187:


((Keistimewaan seni yang ketiga yang terdapat dalam pertunjukan kisah ini ialah jeda yang
terdapat antara satu visualisasi kepada visualisasi selanjutnya, yaitu pembagian babak, di mana
dilakukan oleh sandiwara panggung masa kini dengan menurunkan layar juga perfilman
modern dengan berganti seri. Di mana di antara setiap seri ada tenggang waktu yang dipenuhi
dengan khayalan dan dinikmati dengan menegakkan jembatan penghubung antara satu serial
dengan yang selanjutnya. Inilah metode yang jadi patokan dalam semua kisah-kisah Al-
Qur'an)).

Kami katakan : Maha Suci Allah, ini sebuah kedustaan besar, sangat jauhlah Kitabullah dari apa yang
dilekatkan oleh laki-laki ini. Apakah engkau akan menafsirkan Kitabullah dengan seni-seni yang kacau
ini, hasil produksi para komunis dan orang-orang fasiq Barat??

Lalu Sayyid Quthb menyambung penafsirannya terhadap ayat-ayat Allah yang mulia di surat Yusuf
dengan cara penayangan film, sesekali dengan mengangkat layar lalu di kali lain menurunkannya
dalam beberapa putaran yang dia menamainya 'adegan'. Dia katakan "Padanya ada 28 seri
tontonan". Setelah itu dia menyebutkan sebagian, sedangkan bagian lain menurut pandangannya
sesuai dengan semua kaidahnya yang bathil.[*]

Lalu dia berkata: ((Berjalan kisah Ashhabul kahfi, Maryam, dan Sulaiman atas satu metode yang
sama, kami akan memaparkannya dengan terperincinya di poin berikut)).

Diapun menyebutkan kisah Ashhabul kahfi dalam beberapa adegan, menurunkan dan mengangkat
layar, mengisyaratkan kepada kisah para pemilik kebun, pemandangan Ibrahim dan Ismail di depan
Ka'bah, serta Nuh di hadapan air bah semuanya itu dalam pandangannya berada pada satu alur.
Demikianlah Sayyid menerapkan berbagai seni jahiliah Barat terhadap Kitabullah yang agung, Maha
Tinggi dan Suci Yang telah menurunkannya lalu berfirman tentangnya:
"Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dan belakangnya, yang
diturunkan dari Tuhan Tang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji" (Fushshilat : 42)

Di halaman 195-199, dia menyebutkan kisah Maryam di surat Maryam, membaginya dalam beberapa
episode sesuai dengan cara sandiwara, padanya ada sela-sela waktu, kejutan, penurunan layar, sampai
ia berkata di halaman 199: ((Andaikan kami belum mencoba sebelumnya, maka tentu kaki kami
akan meloncat kaget atau sungguh kami akan bergadang semalaman dikarenakan terkejut
ataupun benar-benar kami akan bengong/ mengangakan mulut keheranan. Akan tetapi kami
telah mencobanya, maka silakan mata kami mengalirkan air mata sebab tergetar dan silakan
telapak tangan kami bertepuk karena takjub. Kemudian di tenggang waktu ini layar
diturunkan, sementara air mata mengalir mengharapkan kemenangan dan tangan bersuara
dengan tepukan.))

Inilah keistimewaan-keistimewaan seni yang tidak diraih oleh orang-orang sebelum Sayyid Quthb dari
kalangan para shahabat, tabi'in, serta seluruh ahli tafsir, sedangkan Sayyid Quthb "sangat beruntung"
menemukan dan menggapainya. Lalu Sayyid Quthb bermulut besar "Tidak akan sempurna
keindahan dan kemu'jizatan bahasa kecuali dengannya."

2. Apakah para shahabat, tabi'in, atau seluruh kaum muslimin, bahkan orang-orang bodoh dan fasiq
dari kalangan muslimin semuanya bertepuk tangan sewaktu mendengarkan Al-Qur'an?!

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyifati kaum mukmin dan menjelaskan keadaan mereka
ketika mendengarkan Al-Qur'an:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila
diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji
Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri." (As-Sajdah : 15)

Ayat-ayat yang menjelaskan tergetarnya hati seorang mukmin tatkala mendengarkan Al-Qur'an banyak,
hal itu sesuai dengan kemuliaan Al-Qur'an. Pengaruh positif yang terpuji inilah yang dikehendaki oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dan Dia ridlakan untuk para hamba-Nya, bukannya tawa dan tepuk tangan
yang dimaksudkannya……. hingga akhir ucapan Sayyid Quthb yang berisi cerita jenaka, kesia-siaan,
dan bermain-main.

______________________

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis:
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-
Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 79-94; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc;
Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
http://hizb-ikhwani.blogspot.com/2008/06/membantah-visualisasi-seni-dalam-al.html
Sayyid Qutb
Desember 29, 2008 — camperenik
“Sesungguhnya telunjuk saya yang
bersaksi dengan mengucap dua kalimat syahadat (Tiada tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-nya) minimal lima kali
dalam sehari (waktu shalat fardhu) tidak mungkin dia menandatangani
atau menulis satu katapun yang menyebabkan saya beredekat-dekat dengan
penguasa thaghut (zalim). Jika saya dihukum disebabkan karena al-Haq,
maka saya ridha berhukum dengan al-Haq. Namun jika saya dihukum dengan
al-Bathil (kebatilan) maka saya lebih besar dari meminta kasih sayang
kepada kebatilan itu.“
Demikianlah ucapan Sayid Qutb
sambil menuju ke tiang gantungnya. Sebenarnya, ada tawaran dari Jamal
Abdul Naser bahwa Sayid Qutb dapat selamat dari tiang gantung (hukuman
mati) asal mau menandatangani surat minta maaf yang telah disiapkan
penguasa. Namun tawaran itu ditolak oleh Sayid Qutb dengan tegas
sembari mengucapkan kalimat tersebut (di atas) dg tegas.
Itulah
yang dihadapi Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang
merelakan hidupnya diakhiri di tiang gantung rezim Jamal Abdul Naser
demi mempertahankan isi dan kemuliaan Al-Qur’an.
Subhanallah ya…
Betapa kuat keimanannya & kecintaannya kpd Allah swt, tercermin dari kalimatnya…
Dalam salah satu untaian syair, Sayyid Qutb bersenandung :
Saudaraku….. engkau bebas merdeka di balik jeruji besi…
Saudaraku….. engkau bebas merdeka dengan belenggu ini…
Jika engkau benar-benar berlindung pada Allah….maka tipu daya budak-budah itu tidak akan
mencelakakanmu..
Saudarakau…. Jika kita mati, bebarati kita akan bertemu dengan para kekasih kita (Rasul, Sahabat
dan orang-orang saleh)
Taman syurgawi Tuhanku sudah disiapkan untuk kita…..

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah Fi Zhilalil Qiur’an ditulis


dan disebarkan. Berkat taufiq dari Allah, sejak Fi Zhilal diterbitkan
sampai hari ini, ia tetap menjadi rujukan berjuta-juta umat Islam dan
bahkan oleh para ulama sendiri di seluruh penjuru dunia.
http://ip4y.blog.friendster.com/2008/11/short-story-about-sayid-qutb/
Sayyid Qutb, atau nama lengkapnya Ibrahim Husain Shadhili Sayyid Qutb lahir pada 9 Oktober 1906
di Misha dekat Asyut Mesir. Di Indonesia ia lebih dikenal sebagai ulama dan tokoh Ikhwanul
Muslimun. Banyak karya tulis yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya, buku
tafsir Fi Dzilalil Qur’an yang dinilai sangat monumental, yang ditulis semasa Sayyid Qutb dipenjara
oleh rezim militer Mesir.
Publik di Indonesia jarang mengenal Sayyid Qutb sebagai sastrawan dan penulis kritik sastra,
sebagaimana publik Mesir. Padahal semasa hidupnya -sebelum dia menjadi syahid karena dihukum
mati pada 26 Agustus 1988 akibat difitnah oleh rezim yang berkuasa sebagai orang yang akan
membunuh presiden Mesir- banyak karya sastra lahir dari pena Sayyid Qutb.
Sebagai penulis kritik sastra, Sayyid Qutb antara lain telah menulis buku al Taswir al Fanny fi al
Qur’an, Musyahadah al Qiyamah fi Qur’an, al Naqd al Adaby Usuluhu wa Manahijuhu dan Naqd
Kitab Mustaqbal al Saqafah fi Misr. Sebagai sastrawan, Sayyid Qutb menulis novel berjudul Tif min al
Qarya, Asywak, yang dipercaya pembacanya sebagai autobiografi. Sedang novelnya yang lain adalah
al Atyaf al Arba’ah dan al Madinah al Masurah.
Kalau dikaji, karya-karya itu ditulis sebelum tahun 1951, sebelum dia -sebagai guru atau penilik
sekolah yang bekerja di Departemen Pendidikan- dikirim sebagai utusan ke Amerika Serikat.
Pengalaman menyaksikan kehancuran moral bangsa Amerika Serikat karena terlalu mengandalkan
kebebasan hidup, membuat Sayyid Qutb sadar bahwa agama Islam sungguh merupakan solusi untuk
menyelamatkan manusia dan memuliakan martabat kehidupan manusia. Ini yang kemudian
menyebabkan Sayyid Qutb bergabung dengan Ikhwanul Muslimun, risikonya, ia harus berhadapan
dengan rezim militer sekuler yang menindas gerakan kritis dan tokoh-tokoh kritis bangsa Mesir.
Pengalaman dipenjara tiga kali, dan yang terakhir berujung pada syahidnya menunjukkan bagaimana
gigihnya perjuangan agama dan perjuangan kemanusiaan yang dilakukan oleh Sayyid Qutb.
Novel berjudul Duri Dalam Jiwa (Asywak) ditulis pada tahun 1947, sebelum beliau bergabung dengan
gerakan Ikhwanul Muslimun.
http://www.geocities.com/penerbit_navila/profil/sayid_qutb.htm
Pada intinya semua buku Sayid Qutb bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau mendapat
inspirasi keduanya tanpa ada ketentuan yang mengikat sebelumnya, bahwa keduanya dipandang
sebagai sumber yang benar dalam agama ini, sedangkan sepanjang sejarahnya manusia telah jauh dari
sumber ini. Karena mereka telah menyibukkan diri dengan buku-buku yang disebut ‘ilmiah’. Inilah
yang menjauhkan mereka dari sumber-sumber kekayaan berharga, dan rugilah mereka denga
meninggalkan kebaikan yang banyak sekali. Kerugian mereka jelas-jelas tampak dalam panggung
sejarah dan benar-benar terjadi dalam realita.
Oleh karena itu, pemahaman atas Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang wajib bagi semua
Muslim. Sayid Qutb menyadari betul hal ini, lalu beliau menulis tiga buku: at-Tashwirul fi Al-Qur’an
(Disiplin Ilmu di dalam Al-Qur’an), Masyahidul Qiyamah (Kesaksian Hari Kiamat) dan Fi Zilalil
Qur’an (di Bawah Naungan Al-Qur’an).
Di balik lembaran buku-buku itu beliau bermaksud mengarahkan manusia kepada suasana Qur’ani,
yaitu suasana baru, suasana kelezatan hidup dibawah naungan Al-Qur’an sebagaimana suasana
diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri. Dengan metode penyampaiannya yang segar, beliau mencoba
menyingkap tabir yang menyelimuti manusia mngenai rahasia-rahasia dan arti-arti yang belum pernah
diterangkan sebelumnya. Maka sangguplah orang membaca secara dalam setiap kata dan hurufnya
serta kalimat yang diterangkannya.
Kesungguhan dalam visinya ditemukan dalam karya-karya besarnya yang pernah dikemukakan.
Permasalahan hidup yang mencekam yang sedang melanda hidup manusia saat ini atau tentang mereka
telah tertimpa dosa masa lalu beliau refleksikan dalam buku-bukunya. Yang paling penting, beliau
meletakkan cara-cara penyelesaikan terbaik, yang menurut anggapannya benar.
Dalam menghadapi Komunisme dan Kapitalisme, beliau menulis al-‘Adalatul Ijtima’iyah fil-Islam
(Keadilan Sosial dalam Islam), as-Salamul ‘Alamiwal-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam),
Ma’rakatul Islam war-Ra’sumaliyah (Pertikaian Islam dan Kapitalisme). Dalam menghadapi
penyelewengan kebudayaan dan kesalahan-kesalahannya, beliau menulis al-Islam wa-Muskilatul
Madharah (Islam dan Problematika Kebudayaan). Dalam menghadapi kepaercayaan yang sesat, beliau
menulis Khashaisut Tashawwuril Islami wa-Muqawwamatihi (Ciri-Ciri Penggambaran Islam dan
Pembendungannya), Hazad Din (Inilah Islam). Sedangkan sebagai dasar pijakan dan langkah-langkah
dinamis, beliau menulis Ma’alim fi-Thariq (Petunjuk Jalan).
Dua tujuan dari seluruh tulisannya itu adalah berpangkal pada dua pokok: Pertama, yaitu penjelasan
mengenai penggambaran Islam sebagaimana diturunkan Allah. Kedua, yaitu penjelasan mengenai
keadaan kaum Muslimin yang jauh dari gambaran yang pertama itu. Dengan ungkapan lain, beliau
mencoba untuk menjelaskan hakikat kebodohan (kejahiliyahan), untuk menunjukkan dan
mengagungkan Islam, untuk menjelaskan jalan orang-orang Mukmin dari jalan orang yang berdosa,
dan untuk memperkuat garis pemisah antara keduanya atas dasar akidah.
http://catatancatur.blogspot.com/2008/06/membaca-sayyid-qutb.html

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Asy-syahid Sayyid Qutb


Prolog
Mungkin ada yang bertanya : Kenapa memilih Fi Zhlalil Qur’an dalam rubrik Tafsir? Apa tidak ada
karya ulama besar Islam lain sejak Ibnu Abbas (Tafsir Ibnu Abbas) sampai Maududi (The
Understanding of Qur’an). Atau karya ulama tetrkemuka Indonesia; buya Hamka yang bernama Tafsir
Al-Azhar?
Saudaraku yang tercinta. Pada dasarnya, semua karya ulama Islam yang mu’tamad (memenuhi
persyaratan sehingga bisa dijadikan pegangan) sama hebatnya. Karya-karya mereka, khususnya dalam
tafsir Al-Qur’an merupakan hasil interaksi mereka dengan Al-Qur’an secara intensif selama mereka
hidup. Bahakan tidak jarang, pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an yang mendalam dan pengamalan
isinya serta penyebaran nilai-nilai yang terkandung di dalamnya secara konsisten menyebabakan
mereka menghadapi berbagai ujian, khususnya dari penguasa atau pihak-pihak yang menginginkan Al-
Qur’an jauh dari kepala, hati, perasaan dan prilaku umat ini. Itulah yang dihadapi Sayyid Qutb, penulis
tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang merelakan hidupnya diakhiri di tiang gantung rezim Jamal Abdul Naser
demi mempertahankan isi dan kemuliaan Al-Qur’an.
Sebab itu, semua tafsir karya ulama-ualama besara sepanjang sejarah memiliki kelebihan dan
keistimewaan. Keistimewaan tersebut terletak pada konsentrasi dan permasalahan yang mereka
tekankan sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi umat di zaman mereka masing masing.
Fi Zhilalil Qur’an juga demikian. Sayyid Qutb hidup di zaman penguasa-penguasa Islam yang amat
zalim. Saking zalimnya, mereke memaksa umat ini hidup dengan sisitem jahiliyah yang mereka import
dari Barat kolonialis yang nota bene dibungkus ajaran Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas
bertentangan dengan inti ajaran Al-Qur’an.
Di zaman Fi Zhilil Qur’an ditulis (sebagian besarnya ditulis Sayyid Qutb di Penjara Mesir), nyaris sulit
membedakan antara al-Haq (kebenaran yang datang dari Allah) dan al-Bathil (kebatilan yang datang
dari manusia dan setan). Penjajah dengan segala pemikirannya menjadi tuan dan bahkan tuhan yang
harus ditaati. Sednagkan penduduk negeri asli yang Muslim menjadi asing dan tamu di negeri sendiri.
Antara Tauhid dan Syirik sudah nyaris tanpa beda. Antara iman dan kufur sudah tidak banyak lagi
dibicarakan. Antara hati nurani, pikiran sehat dan hawa nafsu sudah samar. Antara carahaya dan
kegelapan sudah tidak lagi menjadi perhatian. Bahkan antara Tuhan Pencipta (Allah) dengan berhala-
berhala yang disembah, baik dalam bentuk manusia, sistem hgidup, tradisi nenek moyang, akal, ilmu
pengetahuan, teknologi, patung, uang, jabatan dan sebagainya sudah tidak dihiraukan.
Bahkan, penguasa-penguasa dunia Islam saat itu dengan mudahnya memaksakan kepada umat ini
untuk menerima dan mengakui yang hak menjadi batil, yang batil menjadi hak, yang halal menjadi
haram dan yang haram menjadi halal. Lebih dari itu, ulama dan para aktivis dakwah yang
menyuarakan al-Haq itu adalah Al-Haq dan al-Bathil itu adalah al-Bathil dimushi, dituduh dengan
berbagai tuduhan yang mengerikan, lalu ditangkap, dipenjara dan bahkan Sayyid Qutb sendiri dibunuh
di tiang gantung rezim Jamal Abdul Naser.
Dalam salah satu untaian syair, Sayyid Qutb bersenandung :
Saudaraku….. engkau bebas merdeka di balik jeruji besi…
Saudaraku….. engkau bebas merdeka dengan belenggu ini…
Jika engkau benar-benar berlindung pada Allah….maka tipu daya budak-budah itu tidak
akan mencelakakanmu..
Saudarakau…. Jika kita mati, bebarati kita akan bertemu dengan para kekasih kita (Rasul,
Sahabat dan orang-orang saleh)
Taman syurgawi Tuhanku sudah disiapkan untuk kita…..

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah Fi Zhilalil Qiur’an ditulis dan disebarkan. Berkat taufiq dari
Allah, sejak Fi Zhilal diterbitkan sampai hari ini, ia tetap menjadi rujukan berjuta-juta umat Islam dan
bahkan oleh para ulama sendiri di seluruh penjuru dunia. Atau dengan kata lain, Fi Zhilal tetap menjadi
best seller sejak diluncurkan sampai hari ini. Syekh Abdullah Azzam pada pertengahan 80an pernah
bercerita: Di Libanon, jika ada percetakan mulai bangkrut, para pemiliknya mencetak Fi Zhilalill
Qur’an dan juga buku-buku Sayyid yang lain, maka percetakan tersebut terhindar dari kebangkrutan.
Allahu Akbar….
Kenapa Fi Zhila menjadi rujukan uatama saat ini? Jawabannya ialah bahwa situasi dan kondisi kita
sekarang tidak jauh berbeda dengan situasi dan kondisi saat Fi Zhilal ditulis sekitar 45 tahun lalu.
Bahakn jahiliyahnyapun masih itu-itu juga. Ingkar pada Allah dan Rasul-Nya. Tidak mau menjadikan
Al-Qur’an senbagai the way of life. Mempertuhankan akal, ilmu pengetahuan, teknologi, harta dan
kedudukan. Berbagai kejahatan dan kezaliman yang timbul akibat jauh dari manhaj Al-Qur’anpun juga
masih sangat terasa seperti saat Fi Zhilal diluncurkan. Alangkah miripnya zaman kini dengan masa itu.
Secara umu dapat kita simpulkan bahwa Fi Zhilalil Qur’an memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.
Di antaranya :
1 Kekuatan membawa kita tenggelam sambil menyelami ilmu dan hikmah yang ada di dalam Al-
Qur’an dengan penuh kenikmatan yang tidak mungkin digambarkan dengan kata-kata.
2 Kekuatan megikat dan merajut ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits Rasul Saw. serta Sirah
Nabawiyah dan para Sahabatnya, kemudian dikaitkan dengan sitausi dan kondisi kekinian
(waqi’).
3 Kekuatan membangkitkan keyakinan (keimanan), optimisme pada rahmat dan pertolongan
Allah dan rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang Allah hadirkan ke atas bumi ini.
4 Kekuatan menggugah pikiran dan perasaan kita sehingga muncul berbagai inspirasi, ide,
gagasan dan berbagai pertanyaan yang paralel dengan situasi dan kondisi yang kita lewati
sekarang, sehingga kita memahami dengan tepat situasi dan kondisi tersebut dengan ide
solusi yang jelas pula.
5 Kekuatan pencerahan yang luar biasa terkait hakikat Tuhan, manusia, kehidupan dunia, alam
semesta, kehidupan akhirat, jahiliyah dan Islam.
6 Kekuatan penelaahan yang sangat luar biasa dalam hal hakikat Islam dan Jahiliyah, iman dan
kufur, serta keunggulan manhaj (konsep) Islam dibandingkan dengan konsep jahiliyah, baik
dulu maupun yang ada sekarang yang datang dari Barat maupun Timur.
7 Kekuatan bahasa yang digunakan karena Sayyid Qutb memang terkenal sebagai seorang
penyair kawakan di zamannya dan bahkan beberapa syairnya sampai hari ini belum
terkalahkan.
Sungguh Fi Zhuilalil Qur’an adalah kekuatan yang lahir dari keyakinan yang kuat, pamahaman yang
mendalam, penerapan dalam kehidupan nyata dan diperjuangakan oleh penulisnya sampai detak
jantungnya yang terakhir. Sebenarnya, ada tawaran dari Jamal Abdul Naser bahwa Sayid Qutb dapat
selamat dari tiang gantung (hukuman mati) asal mau menandatangani surat minta maaf yang telah
disiapkan penguasa. Sambil menuju ke tiang gantung Sayid Qutb berkata :
Sesungguhnya telunjuk saya yang bersaksi dengan mengucap dua kalimat syahadat (Tiada
tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-nya) minimal lima
kali dalam sehari (waktu shalat fardhu) tidak mungkin dia menandatangani atau menulis
satu katapun yang menyebabkan saya beredekat-dekat dengan penguasa thaghut (zalim).
Jika saya dihukum disebabkan karena al-Haq, maka saya ridha berhukum dengan al-Haq.
Namun jika saya dihukum dengan al-Bathil (kebatilan) maka saya lebih besar dari meminta
kasih sayang kepada kebatilan itu.

Agar dapat menikmati hidangan Fi Zihalil Qur’an dengan indah dan nikmat, maka pertama kali kami
menyajikannya kepada para pembaca/pengunjung ringkasan mukaddimahnya. Ringkasan mukaddimah
tersebut kami bagi menjadi empat (4) tulisan. Setelah itu, kami akan menurunkan Fi Zhilalil Qur’an
secara tematik, yakni sesuia situasi dan kondisi yang kita hadapi. Hal tersebut kami lakukan agar terasa
bahwa Al-Qur’an itu adalah petunjuk hidup (hudan), jalan keselamatan, peringatan, syifa (obat) dan
rahmat saat kita berada di dunia ini. Al-Qur’an adalah jalan peningkatan kualitas hidup kita yang sejati
saat menjalani kehidupan dunia sementara ini sambil menuju kampung akhirat yang kekal abadi. Itulah
jalan al-Haq (jalan kebenaran). Selain Al-Qur’an adalah fatamorgana dan kesesatan.
ン ó ミ óáö ゚ õãõ ヌ ááøóåõ ム ó ネ øõ ゚ õãõ ヌ áú ヘ ó ゙ øõ ン óãó ヌミ ó ヌ ネ ó レ ú マ ó ヌ áú ヘ ó ゙ øö ナ öá ヌ ヌ á ヨ øóá
ヌ áõ ン ó テ óäøóì ハ õ ユ ú ム ó ン õæäó
Maka yang demikian itu adalah Allah, Tuhan Penciptamu yang Haq. Maka tidak ada selain Al-Haq itu
kecuali kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?
(QS. Yunus : 32)
http://dupahang.wordpress.com/2008/10/04/tafsir-fi-zhilalil-quran-asy-syahid-sayyid-qutb/
http://camperenik.wordpress.com/2008/12/29/sayyid-qutb/
METODOLOGI TAFSIR BIL MATSUR DALAM TAFSIR SAYYIQ QUTB

Oleh : Ilham

v Muqaddimah

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, yang kepada-Nya kita menyembah dan kepada-Nya kita
memohon pertolongan. Shalawat serta Salam kita haturkan kepada Nabi Junjungan yakni Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, shahabat, serta seluruh pengikut beliau
hingga akhir zaman.
Pada penelitian ini penulis akan mencoba memberikan rumusan masalah yang akan diteliti nantinya.
Yakni seberapa besar atau seberapa banyak metodologi tafsir bil matsur di dalam tafsir Fii Dzilalil
Qur’an. Maka dari itu penulis akan membatasi penelitian dengan sebuah pertanyaan:
1. Seberapa besar atau seberapa banyak metodologi tafsir bil matsur di dalam tafsir Fii Dzilalil
Qur’an atau seberapa besar atau seberapa banyak DR Sayyid Qutb Allahu Yarham menggunakan
metodologi tafsir bil Matsur di dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an di dalam Tafsirnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas maka kami akan melakukan pembahasan sebagai berikut.

v Profil Sayyid Qutb

Sebelum membahas mengenai tafsir Fii Zhilal Al-Qur'an karya Sayyid Qutb, maka alangkah baiknya
terlebih dahulu mengenal sosok Sayyid Qutb yang telah menelurkan tafsir Monumentalnya "Fii
Dzhilalil Qur'an"
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutub Ibn Ibrahim Husain Syadzili. Lahir di Musha, Asyut, Mesir. Ia
mula-mula di didik dalam lingkungan desanya dan sudah hafal Al Quran selagi kecil. Menyadari akan
bakat anaknya, orang tuanyamemindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia
memperoleh kesempatan masuk ke Tajhiziyah Dar Al-Ulum, nama lama Universitas Kairo.
Pada tahin 1929, ia mendapatkan gelar Sarjana Muda Pendidikan. Kemudian bekerja sebagai pengawas
sekolah pada Departemen Pendidikan. Ia mulai berminat pada sastra Inggris, dan dilahapnya sesuatu
yang dapat diperolehnya dalam bentuk terjemahan.
Tahun 1949, ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat dalam pendidikan selama dua tahun, yakni
di Wilson’s Teacher”s College di Washington, Greely College di Colorado dan Stanford University di
California. Ia mulai mengalami kepahitan mengenai dukungan pemberitaan Pers Amerika untuk Israel
yang dianggapnya tendensius. Dari Amerika ia mendapatkan pengalaman yang sangat luas mengenai
problema sosial kemasyarakatan yang diakibatkan dari paham Materialisme yang gersang dari Roh
ketuhanan. Ia yakin bahwa Islamlah yang mampu menyelamatkan manusia dari paham ini.
Sayyid Qutub kembali dari AS saat terjadi krisis politik di Mesir yang menyebabkan terjadi kudeta
Militer pada Juli 1952. ia menjadi sangat anti AS dan barat. Dan ia menjadi salah seorang pendukung
pemberontakan Nasser, tetapi berbalik menentangnya setelah Nasser mulai menyiksa kelompok
Ikhwan.
Sayyid Qutub bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1953, dan menjadi juru
bicara utama Ikhwan setelah pembubaran jamaah mereka pada tahun 1954; sebagai pembawa oposisi
keagamaan terhadap sosialisme. Ia mulai menulis topik-topik tentang Islam. Sayid Qutub banyak
dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Muhammad Asad (Leopold Weiss), Abul Hasan Ali An-Nadawi dan
Abul A’la Almaududi.

Pemikiran Dan Pengaruhnya

Sayyid Qutub mengusulkan Islam sebagai suatu alternatif terhadap ideologi-ideologi Komunisme,
Kapitalisme, Liberalisme dan Sekulerisme.
banyak tulisanya berisi tentang ideologi yang mendukung pembaruan Islam.
Menurut Hamid Enayat, pokok pemikiran Sayyid Qutub secara tersirat merupakan kritik terhadap
sosialisme Mesir. Yakni:
1. Baik Islam maupum Sosialisme adalah sistem pemikiran dan kehidupan yang sama-sama
komprehensif yang tidak bisa dipecah belah, namun keduanya terpisah satu dari yang lain. Karenanya,
kedua sistem ini tidak bisa dirujukkan atau disintesiskan.
2. Sosialisme – seperti halnya komunisme dan kapitalisme – adalah pertumbuhan dari pemikiran
Jahiliyyah dengan watak aslinya yang rusak. Sosialisme menekankan kesejahteraan sosial dan
kemakmuran material dengan mengorbankan keselamatan moral. Islam tidak mengabaikan segi
material tapi Islam beranggapan bahwa langkah awal untuk rancangan itu adalah penyucian dan
pembebasan jiwa. Tanpa ini upaya untuk meningkatkan kehidupan manusia tidak akan berhasil.
Publikasi rutin Tafsir Fi Zhilalil Quran, baik di Mesir maupun Saudi Arabia melalui siaran radio
mendapat tanggapan yang luar biasa dan mempengaruhi cara masyarakat dalam memahami Al Quran.
Pada saat yang sama rezim Nasser sudah mendominasi dan menundukkan pendapat umum kepada
pemerintah. Dari sinilah orang Mesir mulai tertarik untuk membaca pikiran yang tidak tunduk pada
pemerintah.
Pengaruhnya terhadap kelompok tertentu ditandai dengan pengadilan yang bukunya sebagai bukti
bahwa ia menganjurkan dan berencana menumbangkan pemerintahan Mesir dengan cara kekerasan
dengan vonis hukuman mati. Syahidnya beliau di tiang gantungan membuat pengaruh itu semakin
kuat.
Hampir pada tiap pergerakan di Mesir bahkan sampai ke Iran menggunakan bahasa dan tulisan Sayyid
Qutub untuk memperkuat aktivitas mereka.

Pandangan Syeikh Jibrin[1] Terhadap Sayyid Qutb


Pandangan beliau terhadap Sayyid Qutb dapat kita lihat dari Fatwa beliau terhadap Sayyid Qutb dan
Hasan Al-Banna
Soal:

Segelintir pemuda mengelompokkan Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna sebagai ahli bid’ah berikut
melarang membaca buku-buku mereka, serta menuduh beberapa ulama lainnya sebagai penganut
faham khawarij. Alasan mereka melakukan itu semua adalah dalam rangka menjelaskan kesalahan
kepada masyarakat, sedang status mereka sendiri masih sebagai para penuntut ilmu. Saya sangat
mengharapkan jawaban yang dapat menghilangkan keragu-raguan dan kebingungan saya mengenai hal
ini.
Jawab:

Segala puji bagi Allah semata …


Menggelari orang lain sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah) atau fasik (pelaku dosa besar) adalah
perbuatan yang tidak dibenarkan atas umat Islam, karena Rasulullah bersabda:

ãóäú ゙ ó ヌ áó á テ ó ホ öíúåö íó ヌ レ ó マ õæøó ヌ ááåö æóáóíú モ ó ゚ ó ミ áö ゚ ó ヘ ó ヌム ó レ óáóíúåö} (ム æ ヌ å


ã モ áã(.

“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: “Wahai musuh Allah”, sedang kenyataannya
tidak seperti itu, maka ucapannya itu menimpa dirinya sendiri.” (HR. Muslim).

ãóäú ゚ ó ン øó ム ó ãõ モ úáöã ヌ ð ン ó ゙ ó マ ú ネ ó ヌチ ó ネ öåöãó ヌ テ ó ヘ ó マ õåõãó ヌ} (ム æ ヌ å ヌ á ネホヌム í


æã モ áã(.

“Barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka ucapan itu tepat adanya pada salah satu di
antara keduanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

… テ óäøó ム ó フ õá ヌ ð ãó ム øó ネ ö ム ó フ õáò æóåõæó íó レ úãóáõ ミ óäú ネヌ ð ン ó ゙ ó ヌ áó: æó ヌ ááåö á ヌ ó


íó ロ ú ン ö ム õ ヌ ááåõ áó ゚ ó . ン ó ゙ ó ヌ áó: ãóäú ミ ó ヌ ヌ áøó ミ öíú íó ハ ó テ óáøóì レ óáóíøó テ óäøöíú á ヌ ó
テ ó ロ ú ン ö ム õ áö ン õá ヌ óäò 。 ナ öäøöíú ロ ó ン ó ム ú ハ õ áóåõ æó テ ó ヘ ú ネ ó リ ú ハ õ レ óãóáó ゚ ó (ム æ ヌ å
ã モ áã)

“… bahwa ada seseorang yang melihat orang lain melakukan dosa, lalu ia berkata kepadanya: ‘Demi
Allah, Allah tidak akan mengampunimu’. Maka Allah berfirman: ‘Siapakah gerangan yang bersumpah
atas (Nama)Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuninya
dan Aku gugurkan (pahala) amalmu’.” (HR. Muslim).

Kemudian saya ingin mengatakan bahwa Sayid Quthub dan Hasan Al-Banna termasuk para ulama dan
tokoh dakwah Islam. Melalui dakwah mereka berdua, Allah telah memberi hidayah kepada ribuan
manusia. Partisipasi dan andil dakwah mereka berdua tak mungkin diingkari. Itulah sebabnya, Syaikh
Abdulaziz bin Baaz [2] mengajukan permohonan dengan nada yang lemah lembut kepada Presiden
Mesir saat itu, Jamal Abdunnaser – semoga Allah membalasnya dengan ganjaran yang setimpal - untuk
menarik kembali keputusannya menjatuhkan hukuman mati atas Sayid Quthub, meskipun pada
akhirnya permohonan Syaikh Bin Baaz tersebut ditolak.
Setelah mereka berdua (Sayid Quthub dan Hasan Al-Banna) dibunuh, nama keduanya selalu
disandangi sebutan “Asy-Syahid” karena mereka dibunuh dalam keadaan terzalimi dan teraniaya.
Penyandangan sebutan “Asy-Syahid” tersebut diakui oleh seluruh lapisan masyarakat dan
tersebarluaskan lewat media massa dan buku-buku tanpa adanya protes atau penolakan.
Buku-buku mereka berdua diterima oleh para ulama, dan banyak memberikan manfaat - dengan
dakwah mereka - kepada hamba-hambaNya, serta tak ada seorang pun yang telah melemparkan
tuduhan kepada mereka berdua selama lebih dari duapuluh tahun. Bila ada kesalahan yang mereka
lakukan, maka hal yang sama telah dilakukan oleh Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Imam Ibnul Jauzi,
Imam Ibnu ‘Athiyah, Imam Al-Khaththabi, Imam Al-Qasthalani, dan yang lainnya.
Saya telah membaca apa yang ditulis oleh Syaikh Rabie’ Al-Madkhali tentang bantahan terhadap Sayid
Quthub, tapi saya melihat tulisannya itu sebagai contoh pemberian judul yang sama sekali jauh dari
kenyataan yang benar. Karena itulah, tulisannya tersebut dibantah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid [3]
hafidzhahullah …

æó レ óíúäõ ヌ á ム øö ヨ ó ヌ レ óäú ゚ õáøö レ óíú ネ ò ゚ óáöíúáó ノ ñ æóá ゚ öäøó レ óíúäó ヌ á モ øõ ホ ú リ ö


ハ õ ネ ú マ öí ヌ áúãó モ ó ヌ æöíó
Mata cinta

terasa letih memandang aib

Tapi mata murka

selalu menampakkan aib

Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin

26 Shafar 1417 H.[4]

v Sayyid Qutb dan Karya Beliau

Karya Sayyid Qutb

Diantara karya beliau antara lain:

a. Fi Dzhilall Qur’an

b. Hadza Din

c. Al-Mustaqbal Li Hadza Ad-Din

d. Khasahisut Tashawwuril Islami

e. Ma’alim Fi Thariq

f. Al-Taswir Al-Fanni Fil Qur’an

g. Musyahadatul Qiyamah Fil Qur’an

h. Al-Islam Wa Musykilatul Hadharah

i. Al-Adalah Al-Ijtima,Iyah Fil Islam

j. As-Salam Al-Alami Wal Islam

k. Kutub Wa Syahshiyat

l. Asywak

m. An-Naqdil Adabi Ushuluhu Wa Manahijuhu

n. Nahwa Mujtama’ Islami

o. Thiflun Minal Qaryah


p. Al-Athyaf Al-Arba’ah

q. Dan Lain-Lain[5]

v Sayyid Qutub dan Tafsirnya[6]

Tafsir Fi Zhilalil Quran

Di tulis dalam rentang waktu antara 1952-1965. sayyid Qutub sempat merevisi ketiga belas juz
pertama tafsirnya semasa penahanannya yang panjang.
Tafsir tersebut membawa Sayyid Qutub menjelajahi berbagai cara agar pesan orisinil Islam yang
disampaikan Al Quran dapat menjadi fondasi suatu ideologi sempurna. Al Quran memberi umat
manusia sarana untuk menemukan kembali dirinya dalam pola yang dikehendaki Allah melalui Nabi
dan oleh Nabi. Tafsirnya banyak menekankan perlunya manusia mendekati iman secara intuitif, dengan
cara yang tak perlu dirasionalkan atau dijelaskan dengan merujuk kriteria filsafat. Iman itu harus
ditetapkan melalui tindakan langsung ke dalam kehidupan individu, sosial dan tatanan politik.
Mahdi Fahullah menilai bahwa tafsir Sayyyid Qutub yang tiga puluh juz inimerupakan usaha terobosan
penafsiran yang sederhana dan jelas.

a. Latar Belakang Penulisannya

Pada kata pengantarnya, Sayyid Qutub mengemukakan kesan-kesanya hidup di bawah naungan al
Quran. Hidup di bawah naungan al Quran adalah nikmat. Nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh
yang telah merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar serta berbicara dengan Allah melalui al
Quran. Hidup di bawan naungan al Quran, Sayyid Qutub merasakan keselarasan yang indah antara
gerak manusia sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya. Ia melihat
kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat pemyimpangannya dari undang-undang alam ini.
Ia menyaksikan benturan yang keras antara ajaran-ajaran rusak yang dididektekan padanya dengan
fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah. Sayyid Qutub bertanya setan durhaka macam apa yang telah
menggiring langkah manusia ke dalam nestapa ini.
Di bawah naungan al Quran, Sayyid Qutub melihat wujud alam ini lebih besar dari pada bentuk yang
tampak di depan mata. Ia adalah alam nyata dan alam gaib, alam dunia dan akhirat. Kehidupan
manusia membentang dalam rentang masa yang panjang itu dan kematian bukanlah akhir perjalanan
hidup, melainkan satu fase setengah jalan. Perjalanan panjang fase itu adalah menuju pencipta Yang
Esa. Kepada-Nya setiapjiwa mukmin menghadap dalam khusuk.
15. Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan
sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.

Menurut Qutub, syariat Allah bagi manusia merupakan salah satu bagian dari undang-undang Nya
yang menyeluruh di alam semesta. Maka, melaksanakan syariat pasti memiliki dampak yang positif di
dalam menyerasikan perjalanan hidup manusia dengan perjalanan alam semesta.

Syariat ini tidak lain adalah buah Iman, ia tidak mungkin berjalan berjalan sendiri tanpa fondasinya
yang besar. Syariat di buat untuk dilaksanakan pada masyarakat muslim dan ia juga di buat untuk
memberi saham untuk membangun masyarakat muslim. Dalam akhir ‘pembukaanya’ beliau
mengatakan bahwa inilah sebagian dari curahan dalam kehidupan di bawah naungan Al Quran.
b. Struktur Tafsir Dan Ciri-cirinya

Tafsir Sayyid Qutub di susun dengan Tahlili. Ia memulai penafsiran suatu surat dengan memberikan
gambaran ringkas kandungan surat yang akan dikaji secara rinci. Dalam surat Al Fatihah misalnya,
Sayyid Qutub mengemukakan bahwa dalam surat ini tersimpul prinsip-prinsip akidah Islam, konsep-
konsepsi Islam dan pengarah-pengarahanya yang mengidentifikasi hikmah. Dipilihnya surat ini karena
sebagai bacaan yang di ulang-ulang dalam setiap rakaat shalat serta tidak sahnya shalat tanpa
membacanya. Setelah itu beliau memperinci penafsiran ayat demi ayat. Begitupula ketika beliau
menafsirkan surat-surat berikutnya.
Dalam menafsirkan surat yang panjang, Sayyid Qutub mengelompokkan sejumlah ayat sebagai
kesatuan, sesuai dengan pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Dalam menafsirkan surat
Al Baqarah misalnya, beliau menetapkan ayat pertama sampai ayat 29 sebagai bagian pertama
pembahasan. Selanjutnya beliau menafsirkan ayat 30 - 39, ayat 40 – 74, ayat 75 – 103, dst.
Dibandingkan dengan pengelompokan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al
Manar, pengelompokan Sayid Qutub relatif lebih besar.
Dalam menafsirkan ayat, ia menggunakan ayat-ayat al Quran sebagai penjelas. Ketika menafsirkan
ayat “ ??? ?? ? ??? ?? “ misalnya, ia mengutip surat Luqman: 5 dan Qaf: 2-3:

25. Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi
kebanyakan mereka tidak Mengetahui.

2. (mereka tidak menerimanya) bahkan mereka tercengang Karena Telah datang kepada mereka
seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, Maka berkatalah orang-orang kafir :"Ini
adalah suatu yang amat ajaib".

3. Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (Kami akan kembali lagi) ?, itu adalah suatu
pengembalian yang tidak mungkin.

Sayyid Qutub menggunakan hadist-hadist Nabi SAW sebagai penjelas. Sebagian dengan menyebut
perawi pertama dan terakhir, tanpa menyertakan rangkaian sanadnya secara lengkap. Terkadang hanya
dengan menyebutkan rawi terakhirnya. Misalnya, hadist tentang keharusan membaca surat Al Fatihah
yang di riwayatkan Bukhari dan Muslim.
Kemudian melengkapi Tafsirnya dengan perkataan sahabat, misalnya perkataan Umar tentang
permohonan suaka pendudul Iraq, terkait surat Al Baqarah:100 tentang menepati janji.
Juga mengutip pendapat-pendapat ulama terdahulu. Seperti mengutip Tafsir Ibn Katsir mengenai
peristiwa Bai’ah Aqabah. Kemudian dari Al Bidayah Wan Nihayah tentang lamanya Nabi tinggal di
Makkah selama 10 tahun.
Sayyid Qutub menekankan analisis munasabah, keseimbangan, dan keserasian dalam surat. Misalnya,
uraian tentang Nabi Musa diikuti dengan uraian tentang bani Israil, persesuaian antar pembukaan surat
dengan penutupnya sseperti tampak dalam surat Al Baqarah, yang mengutarakan sifat-sifat orang
beriman dan karakteristik orang beriman. Yang tak kalah penting, ia menekankan analisis rasional.
Misalnya tentang sihir dalam Al Baqarah 102 -103. sayyid Qutub menulis bahwa sihir yang
mempunyai kekuatan dapat memisahkan suami dengan istrinya adalah dengan izin Allah. Sihir itu
masih terjadi di setiap waktu di mana sebagian manusia memiliki keahlian dalam bidang itu yang tidak
bisa di jelaskan dengan logika ilmiah. Ini menyeripai hipnotis dan telepati. Sungguh berlawanan
dengan realitas apabila seseorang bersikap apriori, tidak percaya dengan kekuatan gaib semata-mata
karena tidak ada referensi praktis dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menyetujui bentuk khurafat,
takhayul.
Dalam menafsirkan ayat:
120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya
jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Sayyid Qutub menafsiri, orang-orang Yahudi dan Nasrani senantiasa akan memerangi kaum Muslimin.
Mereka tidak akan berdamai dengan kaum Muslimin, kecuali jika kaum Muslimin menyimpang dari
perkara ini, meninggalkan kebenaran ini, dan melepaskan keyakinan mereka lalu mengikuti kesesatan,
syirik dan pemikiran jahat orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Itulah ideologi mereka. Inilah
hakikat peperangan yang mereka lancarkan terhadap umat Islam kapanpun dan dimanapun. Perang
akidah yang selalu berkobar – walau tidak jarang umat Islam sendiri lah yang saling menyerang dan
menjatuhkan saudaranya sendiri.[7]

Pandangan Syeikh Fauzan Terhadap Tafsir Sayyid Qutb

Bagaimana pendapat fadhilatukum tentang tafsir Al-Qur’an “Fi Zhilalil Qur’an” karangan Sayyid
Quthb?

ヌ á フ æ ヌネ :

” ハンモ í ム ヌ á ゙ムツ ä á モ í マ ゙ õ リネ ã ヌ åæ ハンモ í ム …ル á ヌ áõ ヌ á ゙ムツ ä ã ヌ åæ ハンモ í ム æ ナ äã ヌ åæ ゚ á ヌ ãñ ン í


ã レ äì ヌ á ゙ õ ムツ ä 。 テ æ ヘ æá ヌ á ゙ムツ ä 。í ヤネ å ヌ á ハンモ í ム ヌ áãæ ヨ æ レ í ヌ ááí í モ ãæäå ヌ á ハンモ í ム
ヌ áãæ ヨ æ レ í 。 ヌ á ミ í í ミ゚ム ヘ æá ヌ á ツ í ヌハ ゚ á ヌ ã .. テ ã ヌ ナ äå ハンモ í ム í ヘ áá ヌ á テ á ンヌル æí モハ ä ネリ ヌ á テペヌ
ã 。 æíõæ ムマ ヌ á ム æ ヌ í ヌハ ゚ ã ヌ ン í ゚ハネ ヌ á ハンモ í ム コ ン åæ áí モ ゚ミ á ゚ 。 ン á ヌ äõ モ ãíøöå ハンモ í ムヌ ð 。 æåæ
áã íõ モ ãøöåö ハンモ í ムヌ ð 。 ン åæ ä ンモ å áã í モ ãåö ハンモ í ムヌ 。 ナ äã ヌ ゙ヌ á { ン í ル á ヌ áö ヌ á ゙ムツチ ä } í レ äí ゚
á ヌ ã ン í ã レ äì ヌ á ゙ムツ ä ãã ヌ ル å ム áå õ- ムヘ ãåõ ヌ ááå - ãã ヌ ル å ム áå æíõæ ヌン゙ レ áì ヤ í チ 。 æíõ ホヌ á ン ン í
テヤ í ヌチ 。 ä レ ã “

JAWAB:

Tafsir Al-Qur’an tulisan Sayyid Quthb bukanlah sebuah tafsir… Zhilalil Qur’an bukanlah tafsir, tetapi
ia merupakan penjelasan tentang makna Al-Qur’an atau mengenai Al-Qur’an, mirip tafsir maudhu’i
(tematik) maka ia disebut sebagai tafsir tematik, yang membahas penjelasan seputar ayat-ayat.. Karena
yang dinamakan tafsir haruslah berisi lafazh-lafazh & diambil (istinbath) hukum-hukum & disebutkan
riwayat-riwayat hadits sebagaimana dalam kitab-kitab tafsir, dan Zhilal tidaklah demikian, maka ia
tidaklah disebut tafsir, dan beliaupun (Sayyid Quthb) tidak menamakannya sebagai tafsir, karena beliau
pribadi tidak pernah menamakannya sebagai sebuah tafsir, beliau hanya menyebutnya dengan nama
“Di Bawah naungan Al-Qur’an”, yang maknanya perkataan-perkataan tentang makna Al-Qur’an yang
nampak bagi diri beliau –rahimahuLLAAH- berdasarkan apa yang nampak bagi beliau, maka ada yang
pas & ada pula yang tidak pas, demikianlah.

ンヨ íá ノヌ á ヤ í ホ ユヌ á ヘ ヌ á ン æ メヌ ä - レヨ æ åí ニノ ゚ネヌム ヌ á レ áã ヌチ

ヨ ãä ヌ á テモニ á ノ ネマム æ モ : ヌ á ハンモ í ム ãä モ æ ムノ ヌ á ヘフムヌハ ナ áì モ æ ムノ ヌ áä ヌモ

ハヌム í ホ ヌ á マムモ 13-2-1427 å ワ


Fadhilatu Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan - Anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama[8]

Kritikan terhadap tafsir Sayyid Qutb

Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata berkenaan bahaya Sayyid Qutub oleh Sheikh Rabi’:

“Semua yang telah diperkatakan tentang Sayyid Qutub (oleh Syeikh Rabi’ di dalam kitabnya) adalah
benar dan hak. Dan hal ini membuktikan kepada seluruh pembaca bahawa tidak terdapat pada diri
Sayyid Qutub pengetahuan tentang Islam sama ada usul ataupun furu’nya”. [9]

v Contoh tafsir bil dengan metodologi tafsir bilmatsur dalam tafsir Sayyid Qutb

Dalam hal ini kami akan memberikan contoh bagaimana penafsiran beliau terhadap ayat-ayat Qital
(perang) dalam surah al-Baqarah ayat 189-203 (juz dua)

189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah Balasan bagi orang-
orang kafir.

192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

194. Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, Berlaku hukum
qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-
orang yang bertakwa.

195. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.

196. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang
sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu:
berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang
mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota
Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-
bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa[124] dan
bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.

199. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan
mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

200. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah,
sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan)
berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami,
berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.

201. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka".

202. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah
sangat cepat perhitungan-Nya.

203. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang[128].
Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan
Barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa
pula baginya[129], bagi orang yang bertakwa. dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa
kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.

Dalam menafsirkan ayati-ayat ini beliu menampilkan berbagai corak penafsiran,

Pertama: dengan metode al-qur’an bil qur’an, (munasabah ayat)

Ini dapat dilihat dari penafsiran beliau dalam ayat 189,

“dalam masalah mendatangi rumah dari belakangnya disampaikan ulasan akhir ayat yang meluruskan
kebajikan (al-birr) bahwa ia tidak terletak pada gerak lahiriah tetapi terletak pada ketaqwaan;
æáí モ ヌ á ネム øõ ネテ äú ハテハ æ ヌ ヌ á ネ íæ ハ ãä ル åæ ム å ヌ æá ヌ゚ ä ヌ á ネム ø ãäö ヌ á バ ì , æ テハ æ ヌ ヌ á ネ íæ ハ ãä
テネ æ ヌネ å ヌ , æ ヌ á バ æ ヌ ヌ ááå á レ á ゚ ã ハン á ヘ æä

“….Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ketrumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung…”(189)

Dalam masalah perang secara umum al-Qur’an mengarahkan mereka agar tidak melampaui batas , dan
hal ini dikaitkan dengan cinta Allah dan kebencian-Nya:

ナ ä ヌ ááå á ヌ í ヘネ ヌ áã トハマ íä

“..karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (190)

Dalam masalah perang di bulan suci, disampaikan ulasan akhir ayat dengan taqwa kepada Allah:

...æ ヌバ æ ヌ ヌ ááå æ ヌレ áãæ ヌ テ äøó ヌ ááå ã レ ヌ áã バ íä


“…Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.”
(194)[10]

Kedua: penafsiran menurut pemahan beliau,

“mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : ‘bulan sabt itu adalah tanda-tanda
bagi manusia dan (bagi ibadah haji); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah kerumah-
rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beuntung.” (189)

Tanda-tanda waktu bagi manusia dalam tahallul dan ihram mereka, dalam berpuasa dan berbukan
puasa mereka, dalam pernikahan, talak dan ‘Iddah mereka, dalam mu’amalat, perniagaan dan hutanng-
piutang mereka.. dalam semua perkara agama dan dunia mereka.

Baik jawaban ini untuk pertanyaan yang pertama atau untuk kedua, tetapi keduanya ditujukan kepada
realitas kehidupan mereka secara nyata bukan sekedar pengetahuan yang bersifat teoritis, dan
menjelaskan tentang peredaran bulan dan bagaimana peredaeran bulan itu terjadi, padahal ini termasuk
kedalam inti pertanyaan: kenapa bulan Nampak pertama kali sebagai bulan sabit.. dan sebagainya…
jawaban ini juga tidak menjelaskan kepada mereka tentang fungsi bulan dalam tata surya atau dalam
keseimbangan gerak benda-benda luar angkasa padahal ia termasuk dalam muatan pertanyaan:
Mengapa Allah mencipatakan bulan sabit? Isyarat apakah yang ingin ditumbuhkan oleh arah yang ada
di dalam ayat ini?

Al-Qur’an pada saat itu tengah membangun tashawwur khusus, system khusus dan masyarakat khusus..
tengah membangun umat baru di muka bumi, yang memiliki peran khusus dalam memimpin umat
manusia, untuk menciptakan masyarakat teladan yang tiada tara bandingannya, untuk menjalani
kehidupan yang idealyang tiada duanya, dan untuk mengokohkan dasar-dasar kehidupan ini di muka
bumi, dan untuk menuntun manusia menuju kepada-Nya.[11]

…oleh sebab itu menghidnari jawaban manusia yang manusia itu belum memiliki kesiapan untuk
menerimanya dan tidak dapat memberikan manfaat bagi misi utama yang menjadi utama
diturunkannya Al-Qur’an. Masalah ini apapun keadaanya, bukan bidang al-Qur’an. Karena al-Qur’an
diturunkan untuk misi yang lebih besar ketimbang informasi dan pengetahuan sektoral…[12]

Kaitan antara kedua bagian ayat ini nampaknya adalah korelasi antara bulan sabit yaitu tanda-tanda
waktu bagi manuia dan ibadh haji dengan tradisi jahiliyah berkenaan dengan haji, itulah yang
diisyaratkan oleh bagian ayat yang kedua.[13]

Di dalam shahihain –dengan sanad –nya- dari al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “dahulu orang-
orang anshar apabila berhaji lalu pulang, mereka tidak masuk dari arah pintu-pintu rumah. Kemudian
salah seorang dari mereka datang lalu masuk dari arah pintu, lalu ia dicela karena perbuatan tersebut.
Kemudian turunlah ayat:

..”dan bukanlah kenajikan…(189)

Apakah tradisi mereka itu berkenaan dengan perjalanan secara umum atau berkenaan dengan haji
secara khusus –walaupun ini yang lebih dekat denga konteks –tetapi mereka dahulu menganggap hal
ini sebagai kebajikan –yakni kebikan atau iman- lalu al-Qur’an datang untuk membatalkan persepsi
yang salah dan amal perbuaan mereka yang mengada-ada yang tidak berdasar dan tidak bermanfaat
sama sekali ini. Al-Qur’an datang melurukan tashawwur keimanan tentang kebajikan…[14]

Ketiga : tafrsir al-qur’an dengan hadits

Hal ini dapat dilihat dari penfsiran beliau dalam ayat,

... æá ヌ ハレハマ æ ヌ ナ ä ヌ ááå á ヌ í ヘネ ヌ áã レハマ íä


“..tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas” (190)

Tindakan melampaui batas bisa saja terjadi denga memerangi orang-orang yang tidak memerangi atau
orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan misalnya para pendududuk sipil yang ingin hidup
damai dan ingin selamat dari peperangan yang terjadi. Tindakan melampaui batas jelas dapat
melanggar adab-adab dalam peperangan.

Dalam hal ini sayyid qutb menukil sebuah hadits

“dari Ibnu Umar Ra ia berkata: “ditemukan seorang wanita terbunuh pada sebagian peperangan
Rasulullah Saw, kemudian Rasulullah melarang membunuh wanita dan anak-anak.” (diriwayatkan
oleh Malik, Bikhari, Muslim dan abu Dawud)

Kemudian beliau mengutip hadits lan

“dari Abi HurairahRa. Rasulullah Saw bersabda: “apabila salah seorang diantara kamu membunuh
dalam peperangan maka hendaklah ia menjauhi wajah.” (diriwayatkan Bukhari dan Muslim)

Kemudian beliau memberikan komentar,

Itulah perang yang dilakukan Islam. Itulah adab-adabnya. Itulah tujuan-tujuannya. Semua itu
bersumber dari pengarahan Al-Qur’an yang mulia:

“dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah melampaui
batas, karena sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (190)[15]
v Keistimewaan Metodologi Tafsir Beliau

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir kontemporer yang paling actual dalam memberikan terapi
berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an.
Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar
pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hokum, budaya, peradabaan, politik, psikologi,
spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman.
Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, menadapatkan perhatian yang memada
di dalam tafsir ini. Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid
Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa
terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.
Karena itu tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan unik,
serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam
tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-
haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada Zhilal.
Sumber-sumber Zhilal berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann
tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi
sifatnya sekunder, sebab Sayyid Quthb menyebutkannya untuk memberikan contoh dan bukti dari
yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.

v Analisa dan Kritik

Dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas, dari analisa kami metodologi yang digunakan oleh
Sayyid Qutb lebih banyak menggunakan kepada pendekatan bahasa serta munasabah Al-Qur'an, karena
bila dilihat, dari penafsiran beliau, beliau selalu mengaitkannya dengan ayat-ayat lain yang sebelumnya
terlebih dahulu dijelaskan dengan pendekatan bahasa. Dan hal ini memang merupakan keunggulan
beliau dalam bahasa dan sastra. Kemudian dalam penafsiran beliau jarang ditemukan adanya
penafsiran beliau yang merujuk pendapat para shahabat atau pendapat Ulama mengenai ayat tersebut.
Demikian pula yang berdasarkan hadits-hadits Nabi Saw. Jumlahnya sedikit, dibandingkan dengan
pendekatan bahasa dan munasabah Al-Qur'an. Sayyid Qutub menekankan analisis munasabah,
keseimbangan, dan keserasian dalam surat. Misalnya, uraian tentang Nabi Musa diikuti dengan uraian
tentang bani Israil, persesuaian antar pembukaan surat dengan penutupnya sseperti tampak dalam surat
Al Baqarah, yang mengutarakan sifat-sifat orang beriman dan karakteristik orang beriman. Yang tak
kalah penting, ia menekankan analisis rasional. Misalnya tentang sihir dalam Al Baqarah 102 -103.
sayyid Qutub menulis bahwa sihir yang mempunyai kekuatan dapat memisahkan suami dengan istrinya
adalah dengan izin Allah. Sihir itu masih terjadi di setiap waktu di mana sebagian manusia memiliki
keahlian dalam bidang itu yang tidak bisa di jelaskan dengan logika ilmiah. Ini menyeripai hipnotis
dan telepati. Sungguh berlawanan dengan realitas apabila seseorang bersikap apriori, tidak percaya
dengan kekuatan gaib semata-mata karena tidak ada referensi praktis dari ilmu pengetahuan. Ini bukan
berarti menyetujui bentuk khurafat, takhayul.

v Kesimpulan dan Penutup


Dari pemaparan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayatr Al-
Qur'an di dalam tafsirnya menggunakan Metodologi bil Matsur. Meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan metode lainnya yang digunakan oleh beliau.
Mungkin sekian dari penulis, Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan. yang benar
datangnya dari Allah Swt, dan kesalahan datang dari penulis.
=================================================================

[1] Anggota Hai-ah Kibaril ‘Ulama (Majelis Ulama Saudi Arabia).


[2] Mantan Ketua Umum Hai-ah Kibaril ‘Ulama (Majelis Ulama Saudi Arabia) dan Mantan Ketua
Umum Dewan Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan Islam Kerajaan Saudi Arabia,
rahimahullah.
[3] Anggota Hai-ah Kibaril ‘Ulama (Majelis Ulama Saudi Arabia.
[4] http://www.al-ikhwan.net/fatwa-syaikh-abdullah-bin-jibrin-1-tentang-hasan-al-banna-dan-sayyid-
quthb-138/
[5] Al-mutasyar Abdullah al-aqil, “mereka yang telah pergi”, Terjemah,Khozin abu faqih, Jakarta: Al-
I’tisham, 2003, Hal. 606
[6] http://one.indoskripsi.com/node/7084
[7] http://one.indoskripsi.com/node/7084
[8] http://www.al-ikhwan.net/fatwa-syaikh-shalih-bin-fauzan-al-fauzan-tentang-kitab-fii-zhilalil-quran-
karangan-sayyid-quthb-rahimahullaah-142/
[9] Lihat: Baraatul Ulama Ummah. Hlm. 35
[10] Sayyid Qutb, "FIi Dzilalil Qur'an" Terj: Jakarta, Rabbani Press, 2000, Hal 406
[11] Hal. 411
[12] Ibid
[13] Hal. 417
[14] Hal 418
[15] Hal. 430

Tag: tugas ustadz ulil


Sebelumnya: T A F S I R M U N I R
Selanjutnya : WAHAI ABU BAKAR....!
http://pemudabugis.multiply.com/journal/item/258

skip to main | skip to sidebar

_______________________________________________________________________
___________

| Nawawi | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Galeri Buku | Galeri MP3 | U-VideOo |
_______________________________________________________________________
___________

Saturday, February 23, 2008


051 - Bahaya Pemikiran Sayyid Qutub
Bahaya Pemikiran Sayyid Qutub

http://bahaya-syirik.blogspot.com
Melalui pelbagai kajian, penelitian dan tulisan para ulama, mereka akhirnya telah
mengeluarkan suatu fakta dan fatwa yang begitu mengejutkan dunia dakwah di dunia Islam
masa ini iaitu berkenaan siapakah sebenaranya Ikhwanul Muslimin dan bagaimanakah fikrah
para tokoh-tokohnya yang sebenar.

Pelbagai tulisan dari para ulama telah dihasilkan dan disebarkan bagi menerangkan kepada
umat bahawa Ikhwanul Muslimin adalah sebuah pertubuhan yang di atas namakan dengan
perjuangan Islam tersebut sebenarnya adalah sebuah pertubuhan/kumpulan yang mana
pemikiran-pemikiran yang terhasil dari kalangan tokoh-tokoh utama mereka sebenarnya
amat membahayakan dan menyimpang dari hakikat Islam yang sebenar.

Perjuangan Ikhwanul Muslimin suatu ketika dahulu amat gah dan cukup dikenali oleh
sebahagian besar umat Islam. Namun, hakikatnya, matlamat, usaha perjuangan dan nama
bukanlah suatu fakta yang haq untuk menyatakan bahawa mereka dari kelompok yang benar
jika jelas ia menyanggahi kebenaran. Kita sebagai umat Islam dari kelompok Ahlus Sunnah
yang bersikap adil, makanya sama-sama kita nilaikannya berdasarkan hujjah dan dalil yang
tepat berdasarkan kefahaman para ulamanya umat, terutama berdasarkan kefahaman para
ulama dari golongan generasi awal di atas manhaj al-Qur’an dan Sunnah yang tepat. Lalu,
tidak sewajarnya kita cepat melenting dan melatah.

Makanya, dengan ini, kemungkaran dan penyelewengan mereka (Ikhwanul Muslimin)


terhadap agama akan terus didedahkan kepada umum, agar kita semua menjadi celik dan
segera menjauhi peyimpangan-penyimpangan pemikiran mereka yang berbahaya kepada
aqidah dan kesatuan umat Islam masa ini.

Sayyid Qutub Secara Ringkas

Dilahirkan di Mesir, sebuah perkampungan bernama Musha, pada 8 Oktober 1906. Dan
mendapat pendidikan awal di perkampungan yang sama. Memiliki kelayakan sebagai tenaga
pengajar dalam bahasa Arab dan ijazah dalam bidang Seni dan falsafah. Terkenal sebagai
penulis dan pejuang pertubuhan/gerakan Ikhwanul Muslimin. Hasil karyanya yang cukup
terkenal adalah Fi Dzilalil Qur’an dan Ma’alim Fi at-Thariq. Pernah bertugas sebagai tenaga
pengajar. Pernah mendapat pendidikan di barat selama beberapa tahun dan beberapa
tempat yang lain, termasuk di Colorado State College of Education (sekarang dikenali
sebagai University of Northern Colorado). Menyertai pertubuhan/gerakan Ikhwanul Muslimin
pada sekitar tahun 1950 dan menjadi seorang penulis dan pemikir. Sekaligus merupakan
seorang tokoh utama dalam gerakan tersebut.

Manhaj Qutubiyah

Qutubiyah atau Qutubi adalah suatu fahaman yang dinasabkan kepada Sayyid Qutub
rahimahullah. Atau para pengikut Sayyid Qutub yang fanatik dan ghalu (ta’asub) kepadanya.
Meraka (Qutubiyah) adalah berakar umbi dari pemikiran yang dibina oleh Jamaah Ikhwanul
Muslimin atau sesiapa yang lahir dari hasil pemikiran Sayyid Qutub (semoga Allah
mengampunkan segala kesilapannya).

Syahid
Sayyid Qutub dan Hasan al-Banna dianggap sebagai mati syahid oleh para pengikutnya dan
mereka menyangka: “Bahawa beliau (Hasan al-Banna) hidup di sisi Rabb-nya dan mendapat
rezeki di sana” (Lihat: al-Maurid al-‘Adab az-Zulal, Hlm. 228, oleh Sheikh Ahmad Yahya an-
Najmi) sedangkan (menurut para ulama Salaf as-Soleh) tidak boleh
memutuskan/menetapkan seseorang sebagai syahid kecuali dalam bentuk umum (Lihat:
Fathul Bari 6/90, Ibn Hajar) atau menurut apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-
Nya iaitu terbunuh di medan perang fisabilillah.

Di dalam hadis Bukhari ada dijelaskan:

“Tidak boleh mengatakan Si Fulan syahid”. (Lihat: (1). Sahih Bukhari (Syahadah, 2687) (2).
Lihat: Syiar A’lam an-Nubala, 159-160)

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah apabila mensyarahkan hadis riwayat Bukhari di
atas bahawa:

“Tidak boleh memastikan seseorang syahid kecuali melalui penentuan wahyu”.

Menghina Penampilan Ulama

Sayyid Qutub yang digelar ulama dan syahid oleh pendukung Ikhwanul Muslimin, semasa
hidupnya gemar mengejek cara pakaian ulama yang diistilahkan oleh beliau sebagai orang
rohaniawan, pakaian rohaniawan, pemikiran rohaniawan atau budaya rohaniawan. Sayyid
Qutub lebih senang menampilkan gaya luarannya dengan penampilan Eropah seperti
mencukur janggut, memakai topi dan lebih kerap memakai pakaian ala barat. Dia juga
menyatakan terhadap ulama dengan berkata:

“Sebahagian syubhat yang muncul, ia dimunculkan oleh pemikiran agama dari orang yang
digelar saat ini sebagai rohaniawan. Iaitu syubhat yang merosak Islam dan strukturnya
sehingga ke dalam jiwanya. Mereka (rohaniawan) merupakan makhluk yang paling mustahil
untuk diterapkan pemikirannya dan mustahil diikuti buah fikirannya, sama ada dari segi
budaya atau perilakunya, bahkan pakaian dan tindak-tanduknya disebabkan kebodohannya
terhadap realiti agama dan warisan penjajah”. (Lihat: ã レ ム ゚ ノ ヌ á ヌ モ á ヌ ã æ ヌ á ム テ モ ã ヌ áí ノ
hlm. 63. Sayyid Qutub)

Sayyid Qutub melahirkan lagi sindirannya terhadap ulama:

“Kebodohan yang lahir dari kebudayaan Islam tidak akan memberi tasawwur (gambaran)
Islam yang teguh, kerana mereka mengetahui dari orang-orang yang mereka kenali sebagai
para rohaniawan. Inilah kenyataan tentang Islam yang paling buruk yang digambarkan oleh
agama-agama yang lainnya”. (Lihat: ã レ ム ゚ ノ ヌ á ヌ モ á ヌ ã æ ヌ á ム テ モ ã ヌ áí ノ hlm. 63. Sayyid
Qutub)

Pengikut Pemikiran Sayyid Qutub (Qutubiyun)

Berkata Syeikh Abdussalam bin Salim bin Raja as-Suhaimi:


“Qutubiyun adalah mereka yang satu kaum membaca (mempelajari) tulisan-tulisan Sayyid
Qutub, mengambil dan meyakini sebagai kebenaran mutlak apa sahaja yang terdapat di
dalam tulisan-tulisan tersebut sama ada yang hak (benar) atau yang batil (merosakkan)”.
(Yang paling keji dan membahayakan ke atas orang-orang Islam ialah menghidupkan
pemikiran (fahaman) Khawarij iaitu takfiri (pengkafiran) dan teori “Tauhid Hakimiyah”)

Menurut Syeikh Abdussalam lagi: Didapati para pentaqlid dan pendukung Sayyid Qutub
sangat berlebih-lebihan apabila mempertahankan Sayyid Qutub. Jika mereka dapati ada
seseorang yang menegur kesilapannya, sekalipun teguran tersebut benar, maka mereka akan
mengeluarkan pelbagai alasan. Syeikh Abdussalam menjelaskan:

“Sudah dimaklumi bahawa Sayyid Qutub bukanlah seorang yang menguasai ilmu agama. Dia
hanyalah seorang penulis (sasterawan) berpegang dengan mazhab Asy’ari. Terdapat banyak
kesalahan yang keterlaluan dan keji di dalam tulisannya, malangnya apabila Sayyid Qutub
diberi teguran (oleh para ulama), para pendokong Qutubiyah bangun membantah dengan
kata-kata yang keji”. (Lihat: Fikru at-Takfir Qadiman wa-Hadisan. Hlm. 98. Raja as-Suhaimi)

Antara fatwa dari Syeikh al-Muhaddis Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah diakhir
hayatnya:

“Sayyid Qutub tidak mengetahui tentang Islam, sama ada secara usulnya (ilmu-ilmu
dasarnya) atau ilmu-ilmu furu’. Maka saya berterima kasih kepada al-akh (Syeikh Rabi’ bin
Hadi al-Madkhali) kerana menunaikan kewajipannya dengan menjelaskan dan menyingkap
kejahilan dan penyimpangan (akidah Sayyid Qutub) dari Islam”. (Lihat: Ta’liq (komentar)
Syeikh al-Albani terhadap kitab (al-Awasim Mimma fi Kutubi Syaid Qutub Minal Qawasim)
tulisan Rabi’ bin Hadi)

Ingatlah apa yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bahawa
ghulu itu: “Berlebih-lebihan dalam memberi pujian, sanjungan dan lainnya”. (Lihat: Syarah
Kasyfus Syubuhat Fii Tauhid. Hlm. 7. Muhammad bin Soleh al-Utaimin) Sikap keji ini telah
berlaku di kalangan pendukung tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sehingga ke taraf melatah
dan melalut.

Aqidah Yang Menyeleweng

Terdapat sebahagian pihak yang mendakwa bahawa mereka yang menjelaskan bahaya
pemikiran Sayyid Qutb ini sebagai pelampau dan extreme. Apakah Syeikh al-Albani juga
pelampau kerana menjelaskan akidah Sayyid Qutub? Fahamilah apa yang telah ditulis oleh
Sayyid Qutub yang berkaitan dengan akidah:

“Berkenaan hal “Istiwa” Allah di atas ‘Arasy, maka hendaklah kita mengatakan bahawasanya
istiwa ertinya: Penguasaan (Berkuasa, Memerintah) Allah atas makhluk-Nya”. (Lihat: fi
Zilalul Quran 4/2328 atau 4/3804)

Imam az-Zahabi, imam Ibn Taimiyah, imam Ibn Qaiyim, imam Ibn Kathir, Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahhab dan ramai lagi para ulama Salaf termasuk Syeikh Ibn Bazz dan Muhammad
Nashiruddin al-Albani dengan tegasnya telah menolak dan membantah cara takwil atau
penafsiran yang dilakukan oleh Sayyid Qutub kerana mengingkari Allah beristiwa’ di ‘Arasy.
Syeikh Abdul Aziz bin Bazz dengan ketegasannya membantah:

“Perkataan ini adalah perkataan yang fasid. Maksud dari kalimah


“Penguasaan/Berkuasa/Memerintah” di sini adalah mengingkari istiwanya (Allah di ‘Arasy)
yang maknanya telah jelas iaitu tinggi di atas ‘Arasy. Apa yang dikatakan oleh beliau (Sayyid
Qutub) adalah batil dan ini membuktikan bahawa dia miskin dalam ilmu tafsir”. (Perkataan
ini termuat dalam keset rakaman Ibn Bazz tahun 1413)

Menurut Sayyid Quthb al-Qur’an Itu Makhluk

Sayyid Qutub rahimahullah dalam tafsirnya Fii-Zilalil Quran telah menulis: “al-Quran adalah
suatu yang zahir, kauniyah (fenomena yang bersifat alami iaitu sama seperti makhluk)
sebagaimana bumi dan langit”. (Lihat: Fii Zilalil Quran. 4/2328) Tafsir Sayyid Qutub ini
membawa maksud “al-Quran itu Makhluk, bukan Kalamullah”. Ini adalah akidah Jahmiyah.
Imam Abdullah berkata: Aku mendengar bapa ku berkata: Sesiapa yang mengatakan lafazku
terhadap al-Quran itu makhluk maka itu adalah ucapan yang buruk dan kotor, itu adalah
perkataan Jahmiyah”. (Lihat: ヌ á モ ä ノ 1/165)

Sayyid Qutub mentahrif dan mentakwil nas-nas al-Quran sehingga diertikan al-Quran itu
makhluk bukan Kalamullah.

Beliau berkata: “Dan sesungguhnya mereka (manusia) itu tidak akan berdaya mengarang
satu huruf pun yang menyerupai al-Kitab ini, kerana sesungguhnya ia adalah salah satu dari
ciptaan Allah”. (Lihat: Fii Zilalil Quran, 5/2719)

æóåó ミヌ ヌ á ヘムン (ユ) ãä ユ ä レノ ヌ ááå ハレヌ áì

“Dan huruf ini (Shaad) adalah salah satu ciptaan Allah Ta’ala”. (Lihat: Fii Zilalil Quran,
5/3006)

Sayyid Qutub meyakini al-Quran adalah “ ユ ä レ ヌ ááå” ciptaan Allah (makhluk), bukan
Kalamullah. Keyakinan ini bertentangan dengan akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah.

Sayyid Qutub rahimahullah dalam tafsirnya lagi, fi-Zilalil al-Quran telah menulis:

ヌ á ゙ムツ ä ルヌ å ムノ ゚ æäí ノ ゚ヌ á ヌムヨ æ ヌ á モ ã ヌ æ ヌハ

“al-Quran adalah suatu yang zahir, kauniyah (fenomena yang bersifat alami iaitu sama
seperti makhluk) sebagaimana bumi dan langit”. (Lihat: fi Zilalil al-Quran. 4/2328)

Gaya penafsiran ayat di atas ini jika disengajakan, ia membuktikan bahawa Sayyid Qutub
telah membuat kesilapan besar di segi akidah (mudah-mudahan ia kesilapan yang tidak
disengajakan atau kesalah-fahaman orang awam terhadap uslub sastera beliau yang tinggi),
kerana kata-kata “Sebagaimana bumi dan langit” ia menyerupakan al-Quran sebagaimana
makhluk yang lainnya, sedangkan al-Quraan adalah Kalamullah bukan makhluk yang sama
sekali tidak boleh disama atau disekufukan dengan makhluk. Malah tafsir Sayyid Qutub di
atas ini benar-benar membawa maksud “al-Quran itu Makhluk, bukan Kalamullah”. Ini
adalah akidah Jahmiyah dan akidah mereka yang sealiran dengan kelompok yang sesat,
sebagaimana yang telah dijelaskan tentang sesatnya akidah serupa ini oleh Imam Abdullah
rahimahullah:

゙ ó ヌ áó ヌ úá ヌ öãó ヌ ãõ レ ó ネ ú マ õ ヌ ááå : モ óãö レ ú ハ õ ヌ ó ネ öíú íó ゙ õæúáõ : ãóäú ゙ ó ヌ áó


áó ン ú ル öí ネ ö ヌ áú ゙ õ ム ú ツ äö ãõ ホ úáõæú ゙ 。 æóåõæó ゚ óá ヌ óãñ モ õæú チ ñ ム ó マ öí チ ñ 。
æóåõæó ゚ óá ヌ óãõ ヌ áú フ óåúãöíøó ノ
Berkata Imam al-Barbahari: “Dan bahawasanya al-Quran itu Kalamullah yang diturunkan-Nya
dan bukanlah makhluk”. (Lihat: Syarah Sunnah, hlm 4. Matan 10)

Berkata Imam Abu Ja’far at-Tahawi rahimahullah: “Bahawasanya al-Quran itu adalah
Kalamullah (firman Allah)”. (Lihat: Syarah Akidah Thahawiyah, 1/172)

Berkata Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanbali: “Maka (sepakat) seluruhnya para imam mazhab
yang empat dan orang-orang Salaf dan Khalaf, mereka bersepakat bahawasanya al-Quran
adalah kalamullah bukan makhluk”. (Lihat: Syarah Akidah Tahawiyah, 1/185)

I’tiqad Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud Allah Bersama Makhluk)

Sayyid Qutub telah menerapkan fahaman wahdatul wujud melalui kitab tafsirnya. Beliau
berkata apabila menafsirkan ayat: “Sesungguhnya ayat: (Katakanlah bahawa Allah itu Esa!):
Sesungguhnya ia menjelaskan kesatuan zat (æ ヘ マ ノ ヌ áæ フ æ マ ). Maka tidak ada hakikat zat
kecuali hakikat zat-Nya. Dan tidak ada sesuatu zat yang sebenarnya kecuali zat-Nya.
Sedangkan segala sesuatu (zat) yang lain wujudnya tersimpul dari (zat)-Nya yang
sebenarnya”. (Fii Zilalil Quran, 6/4002)

Begitu juga dengan kitab Turkh Hasan Al-Banna Wa-Ahammul Warisin. Di dalam kitab ini
Syeikh Ayyad asy-Syamari telah mendedahkan kekejaman, keganasan dan kemungkaran
gerakan Ikhwanul Muslimin serta disingkap segala rancangan jahat dan konspirasi mereka
untuk menjatuhkan pemimpin Islam. Disingkap dan didedahkan juga pergerakan dakwah di
dalam Ikhwanul Muslimin terutamanya yang dipemimpin oleh Sayyid Qutub, Hasan al-Banna,
Umar at-Tilmisani dan yang lainnya.

Terlalu banyak buku-buku yang telah mendedahkan kemungkaran gerakan Ikhwanul Muslimin
dan sikap para pemimpin mereka yang keji dan mungkar, sama ada dalam pertimbangan
syara atau neraca akal yang rasional.

Perkataan Sayyid Qutub Terhadap Uthman r.a.

Sayyid Qutub berkata tentang Khalifah Uthman: “Dia (Khalifah Uthman) mengurus urusan-
urusan yang banyak menyimpang dari Islam”. (Lihat: al-‘Adalahtul Ijtimaiyah fil Islam. Hlm.
214)

Dalam kitab ヌ á レ æ ヌ ユ ã ãä ヌ á ゙ æ ヌ ユ ã oleh Abi Bakr Ibnu al-Arabi, dari hlm. 217 hingga ke
hlm. 234, menggambarkan penghinaan Sayyid Qutub yang keterlaluan terhadap Khalifah
Uthman: “Kami lebih condong kepada sistem kekhalifahan Ali radiallahu ‘anhu sebagai
mengambil alih secara tabi’i dua Khalifah sebelumnya”.

Keyakinan ini diklasifikasikan sebagai keyakinan berbaur elemen ideologi Syiah. Namun
Sayyid Qutub tidak boleh dihukum kafir di atas beberapa kesilapannya. Selain mencela
Uthman, maka antara kesalahan Sayyid Qutub ialah mengkafirkan umat melalui kata-
katanya: “Pada hari ini tidak terdapat di permukaan bumi sebuah negara Islam, tidak pula
sebuah masyarakat Islam”. (Lihat: Fii Zilalil Quran, 4/2122)

“Telah murtad manusia kepada penyembahan hamba (makhluk) dan merosakkan agama
serta keluar dari Laa Ilaha Illallah, sekalipun sebahagian dari mereka masih
mengumandangkan dengan mengulang-ulangi pada azan kalimah (Laa Ilaha Illallah)”. (Lihat:
Fii Zilalil Quran, 11/1057)

Inilah bentuk takfir terhadap orang Islam yang di luar kelompok Ikhwanul Muslimin.

Tauhid Hakimiyah Dan Takfir

Sayyid Qutub rahimahullah, selain mewariskan fahaman Qutubiyah Khawarijiyah dan Tauhid
Hakimiyah Takfiriyah, beliau juga melahirkan ramai para pengikut/pendukung yang fanatik
kepadanya di dalam pertubuhan Ikhwanul Muslimin. Gerakan dan fahaman Qutubiyah yang
tersemai di dalam pertubuhan Ikhwanul Muslimin dan diterima pakai oleh tokoh-tokohnya
telah berjaya menarik minat ramai masyarakat meniru perjuangan mereka.

Lihatlah antara apa yang difatwakan oleh Sayyid Qutub:

゚ヌ äæ ヌ ヌ á レムネ í レムン æä ãä á ロハ åã ã レ äì : ナ áå æã レ äì á ヌ ヌ áå ナ á ヌ ヌ ááå 。 ゚ヌ äæ ヌ í レムン æä :


テ ä ヌ á テ áæåí ノ ハレ äí ヌ á ヘヌ゚ ãí ノ
“Orang-orang Arab dahulu-kala, semuanya mengetahui melalui bahasa mereka makna Ilah
dan makna Laa Ilaha Illallah, mereka mengetahui: Bahawasanya Uluhiyah membawa makna
pada hakimiyah”. (Lihat: Fii Zilalil Quran, 11/1492)

æ ヌ á ミ íä á ヌ í ンムマ æä ヌ ááå ネヌ á ヘヌ゚ ãí ノ ン ì テ í メ ã ヌ ä 。 ン ì テ í ã ゚ヌ ä åã ã ヤム゚ æä


“Maka orang-orang yang tidak meng-Esakan Allah dalam hal Hakimiyah (hukum) di zaman
apapun, di mana pun mereka, maka mereka itu adalah orang-orang musyrik”. (Lihat: Fii
Zilalil Quran, 11/1492)

Perjuangan Khawarij yang diteruskan oleh Ikhwanul Muslimin sangat menitik-beratkan cara-
cara menjatuhkan penguasa yang telah mereka hukum sebagai kafir, syirik atau zalim.
Mereka menilai ke-Islaman seseorang atau pemerintah hanya pada perlaksanaan hukum
terutamanya hudud bukan pada nilai akidah mereka. Pemahaman seperti ini adalah mungkar
kerana ia diwarisi dari sikap Zul Khuwaisirah yang menentang Rasululullah yang dituduh
tidak berlaku adil. Buah fahaman yang dipetik dari benih yang ditanam oleh Khawarij yang
menentang Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam ini adalah bertentangan dengan pemahaman
Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berpegang dengan manhaj Salaf as-Soleh dalam mensikapi
pemerintah dan orang-orang Islam. (Fahaman seperti ini dikenali sebagai Fahaman “Tauhid
Hakmiyah”, Sila rujuk link ini untuk pejelasan lebih lanjut berkenaan Tauhid Hakimiyah:
http://bahaya-syirik.blogspot.com/2007/07/isu-11-tauhid-hakimiyah-punca.html)

Sayyid Qutub melalui pelbagai tulisannya telah mengheret ramai umat kepada berbagai
bid’ah pemikiran, teori, persepsi dan andaian. Bid’ah-bid’ah ini tercipta melalui penafsiran
beliau yang dihanyutkan oleh rakyunya (pendapatnya) sehingga membawa kepada kesesatan
akidah selain bid’ah ibadah, akhlak, sosial, siyasah dan iedologi songsang.

Berpunca dan juga kesan dari pelbagai bentuk pemikiran Sayyid Qutub yang bid’ah, ia telah
melahirkan fahaman yang rosak dan perpecahan yang begitu banyak di kalangan umat Islam
seperti melahirkan Jamaah Takfir wal-Hijrah, Jamaah Jihadiyah, JI, DII, Hizbut Tahrir dan
berbagai-bagai hizb yang lainnya.

Antara teori-teori bid’ah yang terkandung di dalam tulisan-tulisan Sayyid Qutub seperti di
dalam Ma’alim fii at-Tariq (Buku yang berunsur pengkafiran (takfiriyah) ini telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dengan judul “Petunjuk Sepanjang Jalan”) dan fii
Dzilalil Qur’an ialah fahaman takfir (pengkafiran) dan penghinaan terhadap umat Islam
sekarang ini dengan tuduhan sebagai masyarakat jahiliyah. Sebagai bukti Sayyid Qutub telah
berkata:

“Masyarakat yang mengaku sebagai masyarakat Islam (sekarang ini) telah termasuk ke dalam
kategori masyarakat jahiliyah. Mereka dianggap sebagai jahiliyah bukan kerana
berkeyakinan tentang anggapannya ada ketuhanan seseorang selain Allah dan bukan kerana
mereka mengutamakan syiar-syiar pengibadatan kepada selain Allah….. tetapi mereka masih
memberikan keutamaan yang sangat utama dari sifat ketuhanan kepada selain Allah iaitu
mereka masih beragama dengan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh
Allah”. (Lihat: Ma’alim fii at-Tariq. Hlm 101)

Menuduh umat ini sebagai: “Termasuk ke dalam kategori masyarakat jahiliyah” samalah
seperti mengkafirkan umat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam yang ada sekarang
ini. Selanjutnya dia berkata:

“Apabila hal sudah jelas, maka pendirian Islam terhadap masyarakat jahiliyah adalah
berkait dengan satu ungkapan iaitu Islam menolak pengakuan seperti itu iaitu pengakuan
keIslaman masyarakat ini secara total”. (Lihat: Ma’alim fii at-Tariq. Hlm 101)
Selain itu, beliau (Sayyid Qutub) turut menyatakan,

ナ äå áí モ レ áì æ フ å ヌ á テムヨ ヌ áíæã マ æá ノ ã モ áã ノ æá ヌ ã フハ ã レ ã モ áã
“Bahawasanya pada hari ini tidak terdapat di permukaan bumi sebuah negara Islam, tidak
pula sebuah masyarakat Islam”. (Lihat: Fii Zilalil Quran, 4/2122)

ン゙マ ヌムハマハ ヌ á ネヤム í ノ ヌ áì レネヌマノ ヌ á レネヌマ æ ヌ áì フ æ ム ヌ á テマ í ヌ ä æä ゚ユハ レ ä á ヌヌ áå ナ á ヌ


ヌ ááå æ ナ ä ル á ンム í ゙ ãäå ヌ í ムママ レ áì ヌ áã ツミ ä - á ヌヌ áå ヌ á ヌ ヌ ááå
“Telah murtad manusia kepada penyembahan hamba (makhluk) dan merosakkan agama
serta keluar dari Laa ilaha illallah, sekalipun sebahagian dari mereka masih
mengumandangkan dengan mengualang-ulangi pada azan kalimah (Laa ilaha illallah)”.
(Lihat: Fii Zilalil Quran, 11/1057)

Inilah bentuk takfir (menghukum orang lain kafir) dan menghukum murtad kepada orang
Islam yang di luar kelompoknya. Inilah juga antara ciri-ciri doktrin dan fahaman Khawarij
tulin, iaitu mudah mengkafirkan orang yang tidak menerima fahamannya.

Kenyataan Yusuf al-Qaradhawi sendiri telah menjadi saksi dan bukti bahawa Sayyid Qutub
melahirkan pemikiran takfirnya (pengkafirannya) terhadap umat Islam sekarang ini kerana ia
telah diakui oleh Yusuf al-Qaradhawi dengan fatwanya:

“Pada peringkat pengkafiran ini, yang merupakan kemuncak terakhir dari pengkafiran Sayyid
Qutub, ia tercatit di dalam tulisan-tulisannya. Di dalam tulisan-tulisan tersebut terpancar
pengkafiran terhadap masyarakat dan perlunya penundaan dakwah untuk beralih kepada
undang-undang Islam (hakimiyah) dan menyerukan jihad melawan seluruh manusia”. (Lihat:
Aulawiyyatul Harakah al-Islamiyah, Hlm. 110, Yusuf al-Qaradhawi)

Fatwa Yusuf al-Qaradhawi di atas yang dinukil secara amanah ini, didukung dan dikuatkan
lagi dengan kenyataan Ahmad Farid Abdul Khaliq:

“Sayyid Qutub telah memperlekeh Nabi Musa ‘alaihissalam, mencela Khalifah Uthman
radiallahu ‘anhu, mencela sahabat, meninggalkan tauhid uluhiyah, berakidah Asy’ariyah
dalam mentakwil sifat-sifat Allah, menyebarkan pemikiran takfir dan sebagainya”. (Supaya
lebih jelas, rujuklah kepada buku Sayyid Qutub “at-Taswirul Fanni’. Hlm. 163. Atau kitabnya
“Kutub wa-Syaksiyat. Hlm. 242)

Di dalam kitab ヌ áãæ ムマ ヌ á メ á ヌ á ン ì ヌ á ハ ä ネ íå レ áì テホリヌチ ヌ á ル á ヌ á Syeikh Abdullah bin ad-


Duwais telah mendedahkan sebanyak 182 (seratus lapan puluh dua) kesalahan termasuk
kesalahan dalam bab akidah. Apakah pendukung, pentaqlid buta yang taksub dan mereka
yang bersangatan memuja dan memuji Sayyid Qutub dan pertubuhan Ikhwanul Muslimin
boleh memejamkan mata tentang kesalahan yang terlalu banyak ini? Apakah Syeikh Abdullah
bin ad-Duwais seorang yang bodoh? Pastinya beliau seorang ulama besar sehingga mampu
mendedahkan kesilapan Sayyid Qutub yang sebanyak itu di dalam tafsirnya.

Jangan Mengkafirkan Mereka

Namun para masyeikh (para ulama yang bermanhaj Salaf) tidak pernah mengkafirkan Sayyid
Qutub atau sesiapapun dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang menjadi sanjungan
kelompok mereka sebagaimana dinyatakan oleh Syeikh Hammad al-Ansari:

“Diketika orang ini (Sayyid Qutub rahimahullah) masih hidup maka sewajarnya dia
bertaubat, jika tidak bertaubat dia dikenakan hukuman mati kerana telah murtad. Oleh
kerana dia telah meninggal maka perlu dijelaskan kepada umat bahawa perkataannya itu
batil, namun kita tidak mengkafirkannya kerana kita belum menegakkan hujjah ke atasnya”.
(Lihat: al-Awasim Mimma fi Kutubi Sayyid Qutub Minal Qawasim, Hlm. 24, Rabi’ bin Hadi)
Syubhat Dan Bantahan

Terdapat sebahagian pihak dari pendukung pemikiran Sayyid Qutub rahimahullah


menyamakan beliau (Sayyid Qutub) dengan kesilapan al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah
dalam persoalan takwil asma’ wa sifat. Maka, ini jawabnya:

Berkata al-Ustaz Abdul Hakim Abdat hafizahullah dalam majlis Fathul Bari Syarh Sahih
Bukhari ketika menyentuh kesalahan al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dalam masalah asma’ wa
sifat di dalam al-Fath, “Bahawasanya diakui kesalahan mereka ini sebagai kesalahan
ijtihadiyah bukan bid’ah, meskipun dari hasil ijtihad mereka mencul bid’ah, kerana
beberapa hal, iaitu: 1 – Lingkungan (persekitaran) mereka telah membentuk
(mempengaruhi) mereka seperti itu, 2 – mereka tidak mengulang-ulang perbahasan yang
salah tersebut dalam kitab-kitabnya dan tidak menulis satu kitab pun yang membahasa
tentang masalah yang salah itu, 3 – jasa-jasa mereka belum tergantikan hingga saat ini, dan
kitab-kitab mereka menjadi rujukan umat.”

Bila ingin dibandingkan: Sayyid Qutub dengan buku-bukunya selalu mengulang kesalahan
yang sama, begitu juga hasan al-Banna selalu menunjukkan tafwidh, sufiyahnya dalam buku-
bukunya. Belum lagi mereka tidak memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid, lalu
bagaimana kita boleh menerima kesalahan mereka sebagai kesalahan. Maka yang demikian
ini adalah salah satu bentuk kezaliman. (Rujukan: Menyingkap syubhat dan Kerancuan
Ikhwanul Muslimin, Andy Abu Thalib al-Atsary, Terbitan Darul Qolam, m/s. 185-186)

Menurut Sheikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsi:

Jika ada yang bertanya, “Mengapa imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani serta ta’wil
mereka yang keliru itu dimaafkan, sedangkan Sayyid Qutub, al-Banna, al-Maududi, dan yang
seumpamanya tidak dimaafkan?

Maka, dapat dijawab dari dua segi,

Pertama: Bahawa di antara dua jenis kelompok orang ini ada perbezaan yang besar, kerana
imam Nawawi dan Ibnu Hajar memiliki jasa ilmiyah dan bermanfaat bagi umat Islam yang
boleh menutupi kesalahan-kesalannya. Dan para ulama telah menjelaskan dan memebri
peringatan agar berhati-hati dari kesalahan-kesalahan tersebut, maka bahayanya telah
hilang dengan tanbih (peringatan) ini.

Adapun Sayyid Qutub dan Hasan al-Banna, mereka ini tidak memiliki jasa ilmiyah serta
amaliyah dan tidak memberi manfaat bagi umat Islam sebagaimana yang dimiliki oleh an-
Nawawi, Ibnu Hajar dan imam-imam besar yang lainnya.

Kedua: Bahawa an-Nawawi dan Ibnu Hajar tidak mengajak kepada kesalahan-kesalahannya,
dan tidak mengajak untuk tahazzub (bergolong-golongan/firqah), pengkafiran terhadap
masyarakat (kaum muslimin), penyatuan shaf di antara Rafidhah, Nasrani, Majusi, dan
firqah-firqah sesat dengan kaum muslimin dan kesalahan-kesalahannya (an-Nawawi dan Ibnu
Hajar) tidak membahayakan masyarakat, berbeza dengan Sayyid Qutub dan Hasan al-Banna
dan selainnya, mereka beranggapan bahawa antara akidah yang rosak bahkan yang kafir dan
akidah sahihah (yang benar) yang selamat tidak ada bezanya, serta mereka menganggap
bahawa antara seorang Rafidhah, Nasrani, dan lainnya dan seorang muslim itu tidak
berbeza, dan mereka ini sungguh memberi mudharat terhadap kaum muslimin bukan
memberi maslahat, kerana banyak orang yang ta’asub (fanatik) dengan pendapat-
pendapatnya yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah dan mereka memerangi ahlu Sunnah,
dan ini merupakan bahaya yang paling besar. (Dinukil dari Edisi Terjemahan atas judul:
Menepis Manhaj Dakwah II, oleh Sheikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsi, Terbitan
Daar as-Salaf, m/s. 37-38)

Fatwa Para Ulama Terhadap Sayyid Quthb

1 - Syeikh al-Muhaddis Muhammad Nashiruddin al-Albani berfatwa: “Sayyid Qutub tidak


mengetahui tentang Islam, baik secara usulnya (ilmu-ilmu dasarnya) atau ilmu-ilmu furu’.
Maka saya berterima kasih kepada al-akh (Syeikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali) kerana
menunaikan kewajipannya dengan menjelaskan dan menyingkap kejahilan dan
penyimpangan (akidah Sayyid Qutub) dari Islam”. (Lihat: Ta’liq (komentar) Syeikh al-Albani
terhadap kitab (al-Awasim Mimma fi Kutubi Sayyid Qutu Minal Qawasim) tulisan Sheikh Dr.
Rabi’ bin Hadi Umair al-Madkhali)

2 - Syeikh al-Muhaddis Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata berkenaan pendedahan


bahaya pemikiran Sayyid Qutub oleh Sheikh Rabi’:

“Semua yang telah diperkatakan tentang Sayyid Qutub (oleh Syeikh Rabi’ di dalam kitabnya)
adalah benar dan hak. Dan hal ini membuktikan kepada seluruh pembaca bahawa tidak
terdapat pada diri Sayyid Qutub pengetahuan tentang Islam sama ada usul ataupun
furu’nya”. (Lihat: Baraatul Ulama Ummah. Hlm. 35)

3 - Syeikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menyatakan berkenaan Sayyid Qutub yang
mentahrif ayat-ayat istiwa:

“Dan ini adalah batil dan menunjukkan bahawa Sayyid Qutub miskin dalam hal tafsir”.
(Lihat: Baraatul Ulama Ummah. Hlm. 30)

3 - Berkata Syeikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr:

“Bahawa Sayyid Qutub bukan termasuk ulama yang dapat dikuti perkataannya dalam
masalah-masalah ilmiyah”. (Ucapan yang dirakam pada tanggal 7/11/1414)

4 - Pujian Sheikh Abdul Aziz Bin Baz terhadap Sheikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali yang
banyak mengkaji dan membongkar sekian banyak penyimpangan dalam kepelbagaian firqah
dalam dakwah, termasuk pertubuhan Ikhwanul Muslimin:

“Khusus mengenai Sheikh Muhammad Amman al-Jami dan Sheikh Rabi’ bin Hadi al-
Madkhali, keduanya adalah Ahlus Sunnah dan aku mengenal keduanya dengan keilmuan
mereka, keutamaan mereka serta aqidah yang benar. Dr. Muhammad Amman al-Jami telah
meninggal dunia pada malam Khamis tanggal 27 Sya’ban tahun ini (semoga Allah merahmati
beliau) namun aku menasihatkan agar tetap mengambil faedah (manfaat) dari kitab-kitab
yang ditulis oleh keduanya. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq-Nya dan
agar Allah mengampuni Sheikh Muhammad Amman dan agar memberikan taufiq kepada
seluruh kaum muslimin kepada perkara yang diredhai-Nya dan perkara yang padanya
terdapat perbaikan bagi kaum muslimin, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang Maha
Mendengar lagi Maha dekat.” (Rujukan: Kaset al-As’ilah as-Suwaidiyyah. Rujuk juga: Kaset
Tsana’ul Ulama ‘ala asy-Sheikh Rabi’ – tasjilat Minhajus Sunnah)

5 – Diajukan sebuah pertayaan kepada Sheikh al-Albani dalam sebuah kaset yang berjudul
Liqa’ Abil Hasan al-Ma’ribi ma’a al-Albani, yang berbunyi: “Meskipun telah diketahui sikap
dua orang sheikh yang mulia, iaitu Sheikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dan Sheik Muqbil bin
Hadi al-Wad’i dalam memerangi kebid’ahan dan pendapat-pendapat yang menyimpang, ada
sebahagian kalangan pemuda yang meragukan bahawa keduanya berada di atas garis salaf.”

Maka beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah kami merasa yakin bahawasanya para
da’i di pelbagai negeri Islam yang mereka menegakkan kewajiban fardhu kifayah (ini), yang
mana sedikit orang yang bersedia menunaikannya di masa-masa sekarang, mereka akan
dicemuh kerana mereka berdakwah dengan dakwah yang benar yang tegak di atas al-Kitab
dan as-Sunnah di atas manhaj salafus soleh ini. Maka penghinaan atas diri dua orang sheikh
ini, iaitu Sheikh Rabi’ dan Sheikh Muqbil, dua orang da’i kepada Kitabullah dan Sunnah di
atas pemahaman salafus soleh, atau pernyataan perang dari orang-orang yang menyelisihi
manhaj yang benar ini, sebagaimana inilah yang nampak oleh semua orang, celaan kepada
mereka ini hanya bersumber dari salah satu di antara dua kemungkinan orang: boleh jadi dia
seorang yang jahil/bodoh dan boleh jadi dia adalah pengikut hawa nafsu.”

Sheikh al-Albani juga menyatakan bahawa: “Sesungguhnya pembawa bendera jarh wat
Ta’dil zaman ini adalah saudara kami Dr. Rabi’, sedangkan orang-orang yang membantah
beliau sama sekali tidak berada di atas ilmu selamanya, sementara ilmu ada pada beliau.
(Rujukan: Kaset al-Muwazanat Bid’atul ‘Ashr li al-Albani)

6 – Fatwa al-Allamah Sheikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:

Sayyid Qutub berkata dalam bukunya “Kutub wa Syakhiyah”, halaman 242, tentang
Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin al-Ash r.a., “Sesungguhnya Muawiyah dan sahabatnya
Amr r.a. tidaklah mengalahkan Ali r.a. kerana keduanya lebih mengetahui tentang
kedalaman jiwa dan lebih berpengalaman dalam bertindak dengan tindakan yang
bermanfaat dalam siatuasi-situasi yang tepat, akan tetapi kerana mereka berdua juga lebih
tangkas dalam mempergunakan pelbagai pedang sedang Ali terikat pada akhlaknya dalam
memilih sarana untuk berkelahi.

Dan ketika Muawiyah dan sahabatnya itu condong melakukan kebohongan, tipu daya,
kecurangan, penipuan, kemunafikan, penyuapan, dan membeli segala perlindungan, dan Ali
r.a. tidak mampu untuk mengikuti hingga ke tindakan yang paling hina tersebut, maka
tidaklah hairan kalau mereka berdua berhasil dan Ali gagal, dan sungguh kegagalan tersebut
adalah lebih mulia dari segala keberhasilan.”

Sheikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata ketika beliau ditanya perkataan tersebut
dan dibacakan kepadanya, “Perkataan yang buruk, ini merupakan perkataan yang buruk,
merupakan penghinaan terhadap Muawiyah dan penghinaan terhadap Amr bin Ash, semua itu
adalah perkataan yang buruk dan mungkar.
Muawiyah dan Amr serta orang-orang yang ebrsama mereka berdua adalah dalam posisi
berijtihad, dan yang berakhir tidak tepat, seangkan para mujtahid apabila tidak tepat maka
semoga Allah s.w.t. memaafkan kita dan mereka.”

Seorang penanya berkata, “Perkataannya, “sesungguhnya dalam diri mereka berdua ada
kemunafikan”, bukankah perkataan seperti ini merupakan tindakan mengkafirkan?”

Sheikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ini adalah salah dan keliru namun tidak
menjadi kafir, kerana sesungguhnya pencelaannya terhadap beberapa sahabat r.a. atau salah
satu sahabat r.a. adalah suatu kemungkaran dan kefasikan yang harus diberi hukuman (kita
memohon kepada Allah s.w.t. keselamatan) akan tetapi bila ia mencela sebahagian besar
atau memfasikkan mereka maka ia keluar dari Islam kerana mereka adalah pembawa
syari’at ini, dan bila mereka dicela ertinya adalah suatu celaan terhadap syari’at.”

Penanya berkata, “Tidakkah dilarang saja buku-buku yang ada di dalamnya perkataan
seperti itu?”

Yang mulia Sheikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Bahkan lebih baik ia dirobek (dikoyak).”

Kemudian beliau berkata kembali, “Apakah ini ada dalam surat khabar?”

Penanya berkata, “Dalam sebuah buku (semoga Allah s.w.t. membalas kebaikan kepada
sheikh).”

Sheikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Karangan siapa?” Penanya berkata,
“Karangan Sayyid Qutub.” Sheikh Abdul Aziz berkata, “Ini adalah perkataan yang buruk.”
Penanya berkata, “Dalam buku berjudul Kutub wa Sykhshiyyat.” (Rujukan: Syarh Riyadhus
Sholihin karangan Sheikh yang mulia, hari Ahad, 18/7/1416H). Rujuk: ( ン ハ ヌ æì ヌ á レ áã ヌ チ
ヌ á ゚ ネ ヌ ム ン í ヌ á ナ ム å ヌ ネ æ ヌ á ハ マ ãí ム æ ヨ æ ヌ ネ リ ヌ á フ å ヌ マ æ ヌ á ハ ゚ ン í ム , telah diterjemahkan
atas tajuk: Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad, & Mengkafirkan Kaum
Muslimin, disusun oleh Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, Terbitan Darul Haq)

7 – Sheikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya berkenaan Sayyid
Qutub, beliau menjawab:

“Pengamatan saya terhadap buku-buku Sayyid Qutub adalah sangat sedikit sekali dan saya
tidak mengetahui keadaan orang tersebut, akan tetapi para ulama telah menulis tentangnya
yang bersangkutan dengan karangannya dalam Tafsir “Fi Dzilalil Qur’an”, mereka menulis
tanggapan-tanggapan atasnya, seperti yang ditulis oleh Sheikh Abdullah ad-Duwaisy
rahimahullah, dan saudara kita Sheikh Rabi’ al-Madkhali juga menulis tanggapan-tanggapan
atasnya, atas Sayyid Qutub dalam Tafsirnya ataupun dalam buku lainnya, maka barangsiapa
yang suka untuk menelaahnya maka baik untuk ditelaah.” (Rujukan: Kaset “al-Liqa’ al-
Maftuh ats-Tsami Baina Sheikh al-Utsaimin dan al-Madkhali di Jeddah”, kemudian
ditandatangani oleh Sheikh Muhammad dengan tanggal 24/2/1421H). Rujuk: ( ン ハ ヌ æì
ヌ á レ áã ヌ チ ヌ á ゚ ネ ヌ ム ン í ヌ á ナ ム å ヌ ネ æ ヌ á ハ マ ãí ム æ ヨ æ ヌ ネ リ ヌ á フ å ヌ マ æ ヌ á ハ ゚ ン í ム , telah
diterjemahkan atas tajuk: Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad, &
Mengkafirkan Kaum Muslimin, disusun oleh Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, Terbitan
Darul Haq)
8 – Sheikh Soleh bin Fauzan al-Fauzan. Sheikh al-Allamah Soleh al-Fauzan ditanya
berkenaan buku “Fi Dzilalil Qur’an”.

Beliau berkata, “Masalah membaca buku azh Zhilal masih diperdebatkan kerana azh-Zhilal
mengandungi perkara-perkara yang masih perlu diperdebatkan, dan bahawasanya kita
membuat para pemuda tergantung dengan buku tersebut dan agar mereka mengambil
pemikiran yang padanya terdapat perkara yang perlu diperdebatkan, dan ini kemungkinan
memiliki akibat yang buruk terhadap pemikiran para pemuda. Ada tafsir Ibnu Katsir dan
tafsir-tafsir ulama salaf lainnya yang banyak sekali jumlahnya yang sudah lebih dari cukup
daripada tafsir seperti (fi zhilalil Qur’an) ini.

Pada hakikatnya kitab tersebut bukanlah kitab tafsir namun hanya sebuah buku yang
membahas erti secara umum dari setiap surah atau al-Qur’an secara umum. Maka buku itu
bukanlah tafsir dengan makna yang difahami oleh para ulama terdahulu dari masa yang lalu
iaitu bahawasanya tafsir adalah penjelasan akan makna al-Qur’an dengan riwayat-riwayat
yang ada, dan penjelasan tentang segala apa yang tersembunyi di baliknya sama ada dari
segi bahasanya mahupun keindahannya, dan segala yang terkandung di dalamnya dari
hukum-hukum syari’at. Dan sebelum itu semua, penjelasan yang dimaksud Allah s.w.t. dari
ayat-ayat dan surah-surah yang ada.

Sedangkan buku fi zhilalil Qur’an adalah sebuah buku tafsiran yang umum yang mungkin kita
dapat menamakannya dengan buku tafsir yang ebrsifat tematik iaitu di antara tafsiran yang
bersifat tematik yang kita kenal zaman sekarang ini, akan tetapi tafsir tersebut tidak dapat
dijadikan sandaran kerana bercampur dengan pelbagai perkara sufiyah dan rangkaian-
rangkaian kata yang tidak sewajarnya dalam kitabullah seperti mensifati al-Qur’an dengan
muzik dan nada-nada dan juga penulisnya tidak prihatin terhadap tauhid ibadah, sedang hal
yang sangat mengambil perhatiannya adalah tauhid rububiyah, dan bila ia sebutkan
berkenaan tauhid uluhiyah maka ia memusatkan pada tauhid hakimiyah (perundangan), dan
al-hakimiyah tidak diragukan merupakan sebahagian dari tauhid uluhiyah akan tetapi ia
bukanlah satu-satunya tauhid uluhiyah yang diinginkan (dan ia mentakwilkan sifat-sifat Allah
s.w.t. dengan cara orang-orang yang sesat).

Buku ini tidak boleh dijadikan sedarjat/setaraf dengan ibnu Katsir dan kitab-kitab lainnya.

Inilah pendapat saya, dan sekiranya mengambil dari kitab-kitab salaf (kitab terdahulu), dan
kitab-kitab yang berbicara tentang aqidah, tafsir al-Qur’an dan hukum-hukum syari’at, maka
pastilah lebih sesuai bagi para pemuda tersebut.” (Rujukan: Kaset “Majmu’ ma qalahu Ibnu
Baz haula nashihatihi al-ammah”, pertemuan dengan yang mulia sheikh, Makkah al-
Mukarramah, 9/8/1412H, yang kemudiannya diteliti kembali oleh Sheikh). Rujuk: (ンハヌ æì ヌ á
レ áã ヌ チ ヌ á ゚ ネ ヌ ム ン í ヌ á ナ ム å ヌ ネ æ ヌ á ハ マ ãí ム æ ヨ æ ヌ ネ リ ヌ á フ å ヌ マ æ ヌ á ハ ゚ ン í ム , telah
diterjemahkan atas tajuk: Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad, &
Mengkafirkan Kaum Muslimin, disusun oleh Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, Terbitan
Darul Haq)

Penutup

Tulisan yang telah anda baca ini hanya mendedahkan sebahagian kecil dari sekian banyak
fakta-fakta yang menunjukkan penyimpangan Sayyid Qutub (semoga Allah mengampuninya)
dalam perjuangannya terhadap Islam. Untuk lebih jelas lagi, anda boleh merujuk sendiri
buku-buku karangan ulama yang membahas dan mengkaji secara khusus berkenaan
Pemikiran Sayyid Qutub ini dan sekaligus pemikiran/manhaj Ikhwanul Muslimin bersama para
tokoh-tokohnya yang lain.

Antara Kitab-kita tersebut adalah sebagaimana berikut:

1 - ヌ á メ á ヌ á ン ì ヌ á ハ ä ネ íå レ áì テホリヌチ ヌ á ル á ヌ á , oleh Syeikh Abdullah bin ad-Duwais.

2 - ヌ á ゙ムヨヌ æí ン í ヌ áãí メヌ ä, Syeikh Sulaiman bin Soleh al-Khurasyi.

3 - ヌ áãæ ム マ ヌ á レ ミ ネ ヌ á メ á ヌ á ン íã ヌ ヌ ハ ハ ゙ マ レ áì ヌ áãä ヌ å フ ヌ á マ レ æí ノ ãä ヌ á レ ゙ ヌ ニ マ
æ ヌ á ヌレ ã ヌ á , Syeikh Ahmad Yahya an-Najmi.

4 - ヌ á ゙リネ í ノ åí ヌ á ンハ ä ノ ンヌレムン æå ヌ , oleh Sheikh Abi Ibrahim bin Sultan al-Adnani

5 - ベ í ゙ノ ヌ á マレ æ ノ ヌ áì ヌ ááå , oleh Syeikh Saad bin Abdulrahman al-Husin

6 - マレ æ ノ ヌ á ヌホ æ ヌ ä ヌ áã モ áãíä ン ì ãíæ ヌ ä ヌ á ヌモ á ヌ ã , oleh Farid bin Ahmad bin Mansur.

7 - ム ン レ ヌ áá ヒ ヌ ã レ ä ã ホ ヌ á ン ノ ヌ á ゙ ム ヨ ヌ æí á ヤ ム レ ノ ヌ á ヌ モ á ヌ ã , oleh Syeikh Ahmad bin


Muhammad bin Mansur al-Udaini.

8 - ン ゚ ム ノ ヌ á ハ ゚ ン í ム ゙ マ íã ヌ æ ヘ マ í ヒ ヌ æ ハ ネ ム ニ ノ ヌ ハ ネ ヌ レ ã ミ å ネ ヌ á モ á ン ãä ヌ á ロ áæ æ ヌ á ン ゚ ム
ヌ áãä ヘムン , oleh Syeikh Abdussalam bin Salim bin Raja’ as-Suhaimi.

9 - ヌ á ム ヘ ãä レ ネ マ ヌ á ホ ヌ á ゙ , oleh Syeikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali telah disemak dan


ditaqdim oleh Syeikh Dr. Soleh bin Fauzan al-Fauzan, seorang Anggota Kibarul Ulama dan
Anggota Lajnah Badan Fatwa Saudi Arabia.

10 – Sebuah Tinjauan Syari’at, Mereka Adalah Teroris!, oleh al-Ustaz Luqman bin Muhammad
Ba’aduh, Terbitan Pustaka Qaulan Sadida. (Indonesia)

11 – Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin, oleh Andy Abu Thalib al-Atsary,
Terbitan Darul Qolam. (Indonesia)

12 – ンハヌ æì ヌ á レ áã ヌチ ヌ á ゚ネヌムン í ヌ á ナム å ヌネ æ ヌ á ハマ ãí ム æ ヨ æ ヌネリ ヌ á フ å ヌマ æ ヌ á パン í ム ,


(telah diterjemahkan atas tajuk: Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad, &
Mengkafirkan Kaum Muslimin, disusun oleh Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, Cetakan
Darul Haq) – Membukukan fatwa-fatwa dari ulama seperti Sheikh Abdul Aziz bin Baz, sheikh
al-Albani, Sheikh al-Utsaimin, Sheikh Dr. Soleh Fauzan, dan lain-lain.

13 – ã リ ヌ レ ä モ í マ ゙ リ ネ ン í ヌ ユ ヘ ヌ ネ ム モ æá ヌ ááå , oleh Sheikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.


Telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dengan tajuk: Sayyid Quthb Cela Sahabat Nabi?,
Terbitan Darul Falah.

14 – Kekeliruan Pemikiran Sayyid Qutub, oleh Sheikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, Terbitan
Darul Falah. (Merupakan Terjemahan Dari Kitab Asal ke Bahasa Indonesia).
Posted by Nawawi Bin Subandi at 7:39 AM
Labels: Ikhwanul Muslimeen

1 comments:
Habibullah said...

hoi semua orang you cela trus you sendiri kayak apa sih.......
kayak malikat yach.....????
pantesan deh loe bukan malaikat jadi cuma bisa komen ja.....
malu kawan you cuma bisa mencaci kawan sendiri sesama muslim tapi loe sendiri...??????
tau gak orang kafir itu udah pada merajalela tapi you apa yang you lakukan untuk dien ini...???
jawab yach....!!!apa yang engkau berikan untuk umat ini bro...?/?? cuma bisa mencaci
bukan>>>>>////????
kayak dewan juri loe itu kalo loe disuruh berbuat yang lebih bermanfaat kagak bisa kan????
JANGAN BELAGU LOE...BELAGU PINTER TAPI.....gue gak katakan loe bodoh tapi loe
pinter but keblingaer tau loe.....???
bisa mencaci tapi gak bisa berbuat/...sama aja loe bisa makan tapi gak bisa masak.....

April 11, 2008 7:55 AM

Post a Comment

Newer Post Older Post Home


Subscribe to: Post Comments (Atom)

BAHAYA SYIRIK
Bersama Kalam/Pena/Keybord, Jari Jemari Ini Akan Terus Memintas Penyelewengan Yang Dilakukan
Terhadap Agama Ini/Islam

MY PERSONAL NETWORKS
Rangkaian Halaman Peribadi Arkib Artikel Blog an-Nawawi Blog Aqeedah Blog Fiqh-Sunnah Blog
Bahaya-Syirik Galeri Niaga Ruang Downloads MP3 Quran Persoanal Web Site Sifat Solat Sunnah I
Sifat Solat Sunnah II Zikir Dan Doa Rasulullah Ustaz Rasul Dahri PMH Yahoo-Group MY Friendster I
MY Friendster II
ARKIB ARTIKEL
-----------------------------
BLOG AN-NAWAWI
-----------------------------
BLOG AQEEDAH
-----------------------------
BLOG FIQH
-----------------------------
BLOG BAHAYA SYIRIK
-----------------------------
GALERI BUKU ILMIYAH
-----------------------------
GALERI DOWNLOAD
-----------------------------
MP3 al-Qur'an
-----------------------------
Sifat Solat Sunnah I
-----------------------------
Sifat Solat Sunnah II
-----------------------------
Doa & Zikir RasulullaH
-----------------------------
Mail-Forum Discussion
-----------------------------
My Friendster I
-----------------------------
My Friendster II
-----------------------------
Web Rasul Dahri
-----------------------------

Klik!!! - Untuk mendengarkan saluran radio sunnah


Search Islamic DirectoryKeyword:

NUMBER OF VISITORS

Persoalan Asas-asas Tauhid/'Aqeedah


Intro (Edisi Revisi)Dasar-dasar AqeedahTawheed RubbubiyahTawheed UluhiyyahTawheed Asma' wa SifatDi
Mana Allah?al-Wala' wal Bara'

Blog Archive

• ? 2011 (1)
• ? March (1)
• 126 - Misteri Tuah dan Sial Di Hujung Jari?
• ? 2010 (18)
• ? November (1)
• 125 - Tanggapan Para Ulama ke Atas Kitab Ihya’ ‘Ul...
• ? October (2)
• 124 - Nasihat Para Ulama Supaya Berhati-hati Denga...
• 123 - Pemikiran Sayyid Qutub: Pencetus Ideologi Ta...
• ? August (1)
• 122 - Mazhab al-Muwazanah: Di Antara Kritikan Dan ...
• ? July (3)
• 121 - Isyarat Jari Telunjuk: Zamihan al-Ghari Berd...
• 120 - Tatacara Angkat Takbir: Zamihan al-Ghari Pe...
• 119 - Solat Ultraman: Zamihan al-Ghari Memperlekeh...
• ? June (2)
• 118 - Tahukah Anda Hasan Nasrullah Itu Musuh Islam...
• 117 - Penjelasan Syaikh Muhammad B. Soleh al-‘Utsa...
• ? April (1)
• 116 - Hadis Ahad Yang Sahih Adalah Hujjah: Imam an...
• ? March (5)
• 115 - Perkataan Ibnu Taimiyyah Berkaitan al-Asya’i...
• 114 - Fatwa Ulama Masa Kini Terhadap Gerakkan Ikhw...
• 113 - Benarkah Ilmu Jarh wa at-Ta’dil Telah Pupus ...
• 112 - Sebuah Penjelasan Tentang al-Asya'irah
• 111 - Para Ustaz Ditangkap, Jangan Melenting!
• ? February (2)
• 110 - Manhaj dan Prinsip Ibnu Taimiyyah di Dalam M...
• 109 - Ibnu Taimiyyah Berkata Tentang Pemberontakka...
• ? January (1)
• 108 - Koreksi Ke Atas Dr. Yusuf al-Qaradhawi: Bab ...
• ? 2009 (28)
• ? December (3)
• 107 - Benarkah Dengan Banyaknya Agama Memberi Bany...
• 106 - Pujian Dr. Yusuf al-Qaradhawi Kepada Yahudi ...
• 105 - Jawaban Syaikh Ibn ‘Utsaimin Terhadap Pembel...
• ? November (2)
• 104 - Syaikh Utsaminin Toward Safar al-Hawali & Sa...
• 103 - Fatwa Syaikh al-Albani Terhadap Ikhwanul Mus...
• ? September (2)
• 102 - Parti Islam atau Khawarij?
• 101 - Benarkah Rasulullah Dan Sahabat Juga Melakuk...
• ? August (1)
• 100 - Ghuluw: Sikap Yang Perlu Dihindari
• ? July (2)
• 099 - Bahaya Syirik
• Menjawab Syubhat Artikel: “Islam Terapkan Amalan D...
• ? June (7)
• 097 - Fatwa Ulama’ Sunnah tentang Demonstrasi
• 096 - Syaikh Su’aiyyid bin Hulaiyyil Al-Umar Berka...
• 095 - Apakah Ini Kepercayaan Seorang Manusia Yang ...
• 094 - Gambar Atau Patung: Dua-dua Tidak Boleh Menu...
• 093 - Ke Mana Arah Tuju Perjuangan Islam PAS?
• 092 - Benarkah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Seor...
• 091 - Perangkap Iblis Kepada Ahli Ibadah
• ? May (2)
• Syaikh Dr. Soleh Fauzan al-Fauzan Ditanya Berkenaa...
• 89 - Jadilah Orang Yang Gembira, Jangan Jadi Tuli ...
• ? April (1)
• 88 - Islam Menolak Keganasan
• ? March (1)
• 87 - Menjawab 5 Syubhat Utama Golongan Yang Meraik...
• ? February (4)
• 086 - Fatwa: Bolehkah Membid’ahkan Orang?
• 085 - Fatwa: Siksa Untuk Pelaku Bid’ah Dan Maksiat...
• 084 - Benarkah Syaikh al-Albani Membenarkan Menyer...
• 083 - Berkasih Sayang Dan Bersabahat Dengan Yahudi...
• ? January (3)
• 082 - Tahukah Anda Bahawa Syi'ah Adalah Musuh Umat...
• 081 - Illuminiti: The Cult That Hijacked The World...
• 080 - Runtuhnya WTC, 9 September : Sebuah Konspira...
• ? 2008 (32)
• ? December (1)
• 079 - Ust. Rasul Dahri VS Ahbash
• ? November (2)
• 078 - Syiriknya Selawat Syifa’ & Selawat Nariyah
• 077 - Mempercayai Allah Di atas ‘Arsy: “Benarkah M...
• ? October (3)
• ? September (3)
• ? August (2)
• ? July (3)
• ? June (3)
• ? May (2)
• ? April (5)
• ? March (1)
• ? February (5)
• 054 - Milik Dr. Mohd. Asri - "Buku Islam Liberal.....
• 053 - Bantahan & Pertanyaan Buat Sohibus Somahah D...
• 052 - Membantah Syubhat Buku “ISLAM LIBERAL Tafsir...
• 051 - Bahaya Pemikiran Sayyid Qutub
• 050 - BAHAYA PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA DI DALAM KIT...
• ? January (2)
• ? 2007 (47)
• ? December (3)
• ? November (4)
• ? October (16)
• ? August (3)
• ? July (9)
• ? June (6)
• ? May (6)

Short Messages Only

Menjadi Teman Blog


Buku Online
Klik (Buku-buku Terhangat):

SENARAI HARGA BUKU YANG BERUBAH (Harga Terkini)


Atsar Enterprise (SA0077445-W) http://galeriniaga.blogspot.com/
1 - Tafsir Ibnu Katsir (Size Besar, 8 Jilid), Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi'i. Klik untuk info
2 - Tafsir Ibnu Katsir (Size ekonomi, 10 Jilid), Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi'i. Klik Untuk info
3 - Ushulus Sunnah (Keyakinan Imam Ahmad), Terbitan Pustaka Darul Ilmi, RM18. (Buku Baru)
4 - Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, oleh Ustaz Yazid Abdul Qadir Jawas, Terbitan Pustaka
Imam asy-Syafi'i, RM72. Klik untuk info
5 -Syaamil al-Qur'an, Terjemahan Kata per Kata, RM100. Klik untuk info
6 - Ensiklopedi Solat, oleh Syaikh Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-
Syafi'i. Klik untuk info
7 - Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Terbitan Pustaka Ibnu Katsir, Satu Set (9 Jilid). Klik Untuk Info
Tarikh Kemaskini: 16:30, 10 March 2010 (Rabu), 012-6887715.

Bekalan Haiwan Korban & Aqiqah


Bekalan lembu & kambing untuk ibadah korban. Serta kambing untuk ibadah aqiqah.
Penghantaran secara percuma disediakan untuk kawasan sekitar Klang & Shah Alam. Kami
juga menyediakan khidmat pengurusan sembelihan haiwan secara percuma jika diperlukan.
Harga lembu bemula dari RM2100-RM2700, manakala kambing dari RM650-RM750. Lebih
lanjut, sila hubungi Saudara Nawawi di 013-3701152 atau Saudara Adi Negara di 016-
2091531. Boleh juga klik di sini.

Dapatkan Rakaman Kuliah


Ingin Mendapatkan Rakaman Kuliah-kuliah Melalui DVD/CD?
Mungkin anda menghadapi kesukaran untuk memuat-turun (download) koleksi rakaman
kuliah-kuliah & e-books yang telah disediakan di http://an-nawawi.4shared.com/. Oleh itu,
mulai sekarang anda boleh mendapatkan hampir kesemua kuliah-kuliah/e-books terkini
tersebut melalui DVD yang dapat kami sediakan. InsyaAllah, dengan hanya RM20.00
(DVD/4.5gigs) kami akan hantarakan terus melalui pos kepada anda. Hubungi 013-
3701152. (Harga tersebut termasuk kos Disc, burning, & penghantaran). Duit boleh di-Bank
in kan ke CIMB account no. 0114-0018104-52-8 (atas nama Nawawi Bin Subandi). Sms-kan
Nama penuh dan alamat ke 013-3701152 untuk penghantaran.

Kandungan Utama
• al-Asya'irah (3)
• al-Fatawa (3)
• Berzanji (2)
• Bid'ah (4)
• Demokrasi (3)
• Demonstrasi (5)
• Fatwa (7)
• Freemasonry (5)
• Ghibah (4)
• Ghuluw (1)
• Golongan Al-Ahbash (4)
• Golongan-Anti-Hadis (4)
• Hizbut-Tahrir (1)
• Ikhwanul Muslimeen (17)
• Jema'ah Tabligh (2)
• Khawarij (10)
• Kuburi (5)
• Lagho (1)
• Muzik (3)
• Peringatan (2)
• Qardhawiyoon (4)
• Ramalan (1)
• Sambut Perayaan (2)
• Sekular (3)
• Syi'ah (16)
• Syirik (8)
• Tarekat-Sufi-Tasawuf (15)
• Tauheed (4)
• Tauhid Hakimiyah (7)
• Wahhabi (6)

Bekalan Air Zam-Zam


AIR ZAM-ZAM

Berminat Mendapatkan Air Zam-zam? Kami ada membekalkan air Zam-zam kepada mereka
yang memerlukan, dengan kos RM125 bagi kandungan sebanyak 11Liter +/- (satu tong).
Untuk memesan, boleh hubungi 013-3701152 atau 0126887715 (Saudara Nawawi) atau klik
info lanjut. Kami beroperasi di Shah Alam.

Madu Asli
MADU ASLI

Berminat Mendapatkan Madu Asli? Didatangkan dari Hutan Danau Toba (Warna Kehitaman) &
Hutan Riau (Warna Merah Kekuningan), Indonesia. Dalam bentuk botol kaca atau plastik ber-
isipadu 450ml. Dengan harga RM30. Untuk menempah, boleh hubungi 013-3701152 (Saudara
Nawawi) atau klik info lanjut.

Perkhidmatan Baik Pulih Komputer/Laptop


Kini Atsar Enterprise turut menyediakan perkhidmatan baik pulih komputer & Laptop.
Kepada yang berkaitan/memerlukan perkhidmatan, bolehlah menghubungi Saudara
Nawawi, 012-6887715 atau 013-3701152.
Lebih lanjut, Klik di Sini.

Prinsip Kami
Prinsip Kami
-1-
al-Qur'an & as-Sunnah sebagai pegangan.
-2-
Memahaminya di atas pemahaman para Salafus Soleh yang terdiri dari para Sahabat yang diredhai,
Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in.
-3-
Melalui para ulama yang berdiri teguh di atas jalan mereka (jalan salafus soleh).
-4-
Memastikan agama ditegakkan di atas fakta yang sahih lagi ilmiyah.
“Ya Allah, mudahkanlah semua urusan kami dan terimalah amal ibadah kami... Ameen.”

Dari Mana Blog Ini Sedang Dilihat!

| Suara Umum | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Buku |

http://bahaya-syirik.blogspot.com/2008/02/051-bahaya-pemikiran-sayyid-qutub.html

You might also like