You are on page 1of 121

STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I

TENTANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh:
ARIFIN
NIM. 2199096

JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH


FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2006
DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
JL. Raya Boja Km. 2 Ngalian Telp./ Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

BERITA ACARA MUNAQASYAH SKRIPSI


Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 27 Juli 2006
Jam : 11.00-12.00 WIB

Telah mengadakan Ujian Munaqasyah Skripsi dengan judul:


STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN
ANTAR AGAMA
Atas Nama :
Nama : Arifin
NIM : 2199096
Jurusan : Ahwal Syahsiyah
Keterangan : UTAMA/ULANG …………………………………………..
LULUS/TIDAK LULUS

Semarang, 27 Juli 2006


Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

H.Khoirul Anwar, S.Ag, M.Ag. M.Solek, MA.


NIP. 150 276 114 NIP. 150 262 648

Penguji I, Penguji II,

Dr.H.Abd. Hadi, MA. Ade Yusuf Mujaddid, M.Ag.


NIP. 150 209 744 NIP. 150 289 443

Pembimbing,

M.Solek, MA.
NIP. 150 262 648

ii
ABSTRAK

Dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang


berbeda agama yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak
menutup kemungkinan sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang
muncul, bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?
Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar
agama? Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan penelitian
kepustakaan (Library research). Sedangkan Pendekatannya menggunakan
pendekatan deskriptif analisis. Adapun data primer yaitu karya al-Syafi’i yang
berhubungan dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm, dan al-Risalah.
Sedangkan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di
atas. Sebagai tknik pengumpulan data menggunakan teknik library research
(penelitian kepustakaan), dengan analisis data kualitatif.
Hasil dari pembahasan dapat diterangkan bahwa dalam perkawinan
antar agama menurut Imam Syafi'i, laki-laki muslim tidak boleh menikah
dengan wanita non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: walâ tankihul
musyrikâti hatta yukminna walâmatun mu'minatun khairun min musyrikatin
walau a'jabatkum. Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki
non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: walâ tunkihul musyrikîna
hatta yukminu wala'abdun mu'minun khairun min musyrikin walau a'jabakum.
Laki-Laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim kecuali
dengan wanita non muslim yang berasal dari ahli kitab. Menurut al-Syafi'i
yang dimaksud dengan ahli kitab tersebut adalah keturunan Bani Israil atau
orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa
dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.
Sedangkan Istinbath hukum al-Syafi’i yang membolehkan laki-laki muslim
menikah dengan wanita non muslim dari ahli kitab didasarkan atas di takhsis
surat al-Baqarah ayat 221 oleh surat al-Maidah ayat 5. Adapun ahli kitab yang
dimaksud oleh al-Syafi'i hanya terbatas kepada keturunan Bani Israil atau
orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa
dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.
Disebabkan: (a) Dalam ayat 5 al-Ma'idah terdapat lafal min qablikum yang
berarti orang-orang Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada
kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguh
pada kitab Injil pada masa Nabi Isa. (b). Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus
kepada Bani Israil. Dalam kaitan ini, penulis kurang sependapat dengan
pendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.
Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka
orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah
turunnya al-Qur’an maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,
konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-
perempuan mereka.

iii
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Telaah Pustaka
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya


B. Syarat dan Rukun Nikah
C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Antar Agama

BABIII: PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN ANTAR


AGAMA
A. Biografi Al-Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya
B. Pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar Agama
C. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i

BABIV: ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN


ANTAR AGAMA
A. Pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar Agama
B. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar
Agama

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran-saran
C. Penutup

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan dunia dan seluruh makhluk yang mendiami

jagad raya ini dibentuk dan dibangun dalam kondisi berpasang-pasangan. Ada

gelap dan terang, ada kaya dan miskin. Demikian pula manusia diciptakan

dalam berpasangan yaitu ada pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan

dengan disertai kebutuhan biologis.

Dalam memenuhi kebutuhan biologis ada aturan-aturan tertentu yang

harus dipenuhi dan bila dilanggar mempunyai sanksi baik di dunia maupun di

akhirat. Sanksi yang dimaksud yaitu manakala pria dan wanita dalam

memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa diikat oleh suatu tali pernikahan.

Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak

saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh

bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai

syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun dalam

Hadis.

1
Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.1 Sementara

Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri

untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.2

Sedangkan Zahry Hamid merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijab

qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu

dan memenuhi rukun serta syaratnya.3 Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah

mengungkapkan menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga

sebagai akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya

dengan percampuran.4

As Shan’ani dalam kitabnya memaparkan bahwa an-nikah menurut

pengertian bahasa ialah penggabungan dan saling memasukkan serta

percampuran. Kata “nikah” itu dalam pengertian “persetubuhan” dan “akad”.

Ada orang yang mengatakan “nikah” ini kata majaz dari ungkapan secara

umum bagi nama penyebab atas sebab. Ada juga yang mengatakan bahwa

“nikah” adalah pengertian hakekat bagi keduanya, dan itulah yang

dimaksudkan oleh orang yang mengatakan bahwa kata “nikah” itu musytarak

bagi keduanya. Kata nikah banyak dipergunakan dalam akad. Ada pula yang

mengatakan bahwa dalam kata nikah itu terkandung pengertian hakekat yang

1
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986, hlm.
47.
2
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung,
Cet. 12, 1990, hlm. 1.
3
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1.
4
Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami' Fi Fiqhi an-Nisa, terj. M. Abdul
Ghofar, "Fiqih Wanita', (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, hlm. 375.

2
bersifat syar’i. Tidak dimaksudkan kata nikah itu dalam al-Qur’an kecuali

dalam hal akad.5

Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan

tetapi ada pula kesamaannya. Karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah

suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-

laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup

berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara

yang diridhai Allah SWT. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda:

‫ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻤ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﻧ‬ ‫ﺒ‬‫ﺧ‬ ‫ﻌ ﹶﻔ ﹴﺮ ﹶﺃ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﻧ‬ ‫ﺒ‬‫ﺧ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬‫ﺳﻌ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬
‫ﺎ َﺀ ﹶﺛﻠﹶﺎﹶﺛ ﹸﺔ‬‫ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺟ‬ ‫ﻪ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ﻲ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺭﺿ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻟ‬‫ﺎ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﻧ‬‫ﻊ ﹶﺃ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﺪ ﺍﻟ ﱠﻄﻮﹺﻳ ﹸﻞ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ‬‫ﻤ‬ ‫ﺣ‬
‫ﺓ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﺒ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺴﹶﺄﻟﹸﻮ ﹶﻥ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻨﹺﺒ‬‫ﺝ ﺍﻟ‬ ‫ﺍ ﹺ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﺕ ﹶﺃ‬  ‫ﻮ‬‫ﺑﻴ‬ ‫ﻂ ﹺﺇﻟﹶﻰ‬  ‫ﻫ‬ ‫ﺭ‬
‫ﻦ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺎ ﹶﻓﻘﹶﺎﻟﹸﻮﺍ‬‫ﺗﻘﹶﺎﻟﱡﻮﻫ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬‫ﻭﺍ ﹶﻛﹶﺄ‬‫ﺧﹺﺒﺮ‬ ‫ﺎ ﹸﺃ‬‫ﻢ ﹶﻓﹶﻠﻤ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻨﹺﺒ‬‫ﺍﻟ‬
‫ﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﺗﹶﺄ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧﹺﺒ‬‫ﻦ ﹶﺫ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺗ ﹶﻘ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﺮ ﹶﻟ‬ ‫ﻔ‬ ‫ﺪ ﹸﻏ‬ ‫ﻢ ﹶﻗ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻨﹺﺒ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻣ‬
‫ﺮ‬ ‫ﻄ‬ ‫ﻭﻟﹶﺎ ﹸﺃ ﹾﻓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻡ ﺍﻟ‬ ‫ﻮ‬‫ﺎ ﹶﺃﺻ‬‫ﺮ ﹶﺃﻧ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺁ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺑﺪ‬‫ﻴ ﹶﻞ ﹶﺃ‬‫ﺻﻠﱢﻲ ﺍﻟﱠﻠ‬  ‫ﻲ ﹸﺃ‬‫ﺎ ﹶﻓﹺﺈﻧ‬‫ﺎ ﹶﺃﻧ‬‫ﻢ ﹶﺃﻣ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﹶﺃ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬  ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫ﺍ ﹶﻓﺠ‬‫ﺑﺪ‬‫ﺝ ﹶﺃ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺎ َﺀ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺃﺗ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺘ ﹺﺰ ﹸﻝ ﺍﻟ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﺮ ﹶﺃﻧ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺁ‬
‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﺧﺸ‬ ‫ﻲ ﹶﻟﹶﺄ‬‫ﻪ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻭ ﹶﻛﺬﹶﺍ ﹶﺃﻣ‬ ‫ﻢ ﹶﻛﺬﹶﺍ‬ ‫ﺘ‬‫ﻦ ﹸﻗ ﹾﻠ‬ ‫ﻳ‬‫ﻢ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﻢ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ ﹺﻬ‬‫ﻢ ﹺﺇﻟﹶ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺎ َﺀ ﹶﻓ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺝ ﺍﻟ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺭﹸﻗ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺻﻠﱢﻲ‬
 ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻄ‬ ‫ﻭﹸﺃ ﹾﻓ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬‫ﻲ ﹶﺃﺻ‬‫ﻜﻨ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻟﱠﻠ‬
6
(‫ﻲ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﻴ‬‫ﻲ ﹶﻓﹶﻠ‬‫ﻨﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﻏ‬ ‫ﺭ‬

5
Sayyid al-Iman Muhammad ibn Ismail as-San’ani , Subul al-Salam Sarh Bulugh al-
Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hlm.
350.
6
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,
hlm. 251

3
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id bin Abi Maryam
telah memberitahu kepada kami dari Muhammad bin Ja'far
dari Himaid bin Abi Humaid ath-Thawail, sesungguhnya dia
telah mendengar dari Anas bin Malik r.a., katanya: Ada tiga
orang laki-laki datang berkunjung ke rumah isteri-isteri Nabi
saw; bertanya tentang ibadat beliau. Setelah diterangkan
kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap bahwa
apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka berkata:
"Kita tidak dapat disamakan dengan Nabi. Semua dosa
beliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni,
Allah." Salah seorang dari mereka berkata: "Untuk saya,
saya akan selalu sembahyang sepanjang malam selama-
lamanya." Orang kedua berkata: "Saya akan berpuasa setiap
hari, tidak pernah berbuka." Orang ketiga berkata: "Saya
tidak akan pernah mendekati wanita. Saya tidak akan kawin
selama-lamanya." Setelah itu Rasulullah saw. datang. Beliau
berkata: "Kamukah orangnya yang berkata begini dan
begitu? Demi Allah! Saya lebih takut dan lebih bertaqwa
kepada Tuhan dibandingkan dengan kamu. Tetapi saya
berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur, dan saya
kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku,
tidak termasuk ke dalam golonganku." (HR. al-Bhukhari)

Dari hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak

menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Namun demikian dalam

prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang berbeda agama

yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak menutup kemungkinan

sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang muncul, apakah hukumnya

sah perkawinan muslim dengan non muslim?

Peristiwa di atas berarti menyangkut perkawinan antar agama yang

menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu perkawinan antarorang yang berlainan agama,

dalam hal ini, perkawinan orang beragama Islam (pria/wanita) dengan orang

4
beragama non Islam (pria/wanita).7 Perkawinan antaragama yang dimaksud

ini dapat terjadi antara

1. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik

"ahlulkitab" maupun musyrik.

2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik

ahlulkitab maupun musyrik.

Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut: apabila

perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan

laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun ahlul kitab, maka

para ulama imamiyah – sebagaimana halnya dengan keempat mazhab lainnya

– sepakat bahwa wanita muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki non

muslim meskipun ahli kitab.8 Hal ini berarti apabila perkawinan antaragama

terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak

beragama Islam, baik musyrik maupun ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat

hukumnya tidak sah.9 Alasannya adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah

(2) ayat 221:

‫ﻮ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬


 ‫ﻣ‬ ‫ﻦ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻮﹾﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻛ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻜﺤ‬ ‫ﻨ‬‫ ﹶﻻ ﺗ‬‫ﻭ‬...

(221 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬...‫ﻢ‬ ‫ﺒ ﹸﻜ‬‫ﺠ‬


 ‫ﻋ‬ ‫ﹶﺃ‬

7
Masjfuk Zuhdi, Masail Fikhiyah, Jakarta: PT Gunung Agung, 1997, hlm. 4.
8
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336.
9
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1409.

5
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. 10

 ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻻ‬


(10 :‫) ﺍﳌﻤﺘﺤﻨﺔ‬...‫ﻦ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺤﻠﱡﻮ ﹶﻥ ﹶﻟ‬ ‫ﻭ ﹶ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺣ ﱞﻞ ﱠﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ ﹶﻻ‬...
Artinya: …Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka… (Q.S.
Mumtahanah: 10).11
Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan

musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah.

Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2)

ayat 221. Ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan

musyrik itu. Selanjutnya apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama

Islam dan perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat

di antara ulama fikih:

a. Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan

antara laki-laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya,

Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan

musyrik dan ia tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari

seseorang yang beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT

yang lainnya adalah Tuhannya.

b. Jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan

perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah pertama, penjelasan yang

10
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 53.
11
Ibid, hlm. 924

6
terdapat dalam Al-Qur'an dalam surah al-Ma'idah ayat 5 dan kedua,

pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa

sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun hukumnya makruh.

Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-laki

beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda

pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri.

Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, menurut al-

Syafi'i bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non

muslim, akan tetapi dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli

kitab. Hal ini ia nyatakan dalam kitabnya yaitu:

‫ﺪ ﲢﻞ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﲝﺎﻝ ﻭﻫﻰ ﺃﻥ‬ ‫ﺍﳌﺴﻠﻤﺔ ﻻ ﲢﻞ ﳌﺸﺮﻙ ﲝﺎﻝ ﻭﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﳌﺸﺮﻛﺔ ﻗ‬


12
‫ﺗﻜﻮﻥ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ‬
Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu
kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam
dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi'i, yang termasuk

ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang

Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi

dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah

(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang

bangsa Israel; dan

12
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287

7
(2). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5)

ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa

Israel.

Pendapat al-Syafi'i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada

intinya menyatakan:

‫ﻣﻦ ﺩﺍﻥ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺎﺑﺌﲔ ﻭﺍﻟﺴﺎﻣﺮﺓ ﺃﻛﻠﺖ ﺫﺑﻴﺤﺘﻪ ﻭﺣﻞ‬
13
‫ﻧﺴﺎﺅﻩ‬
Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan
sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.14

Mengingat kondisi yang demikian, maka terasa masih relevan

membicarakan perkawinan antar agama, karena perkawinan merupakan

sesuatu yang penting. Kecuali itu, masih banyak orang yang belum

memahaminya secara tepat, terutama di kalangan generasi muda. Di sinilah

terletak, antara lain urgennya mengkaji pendapat al-Syafi'i.

Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan

judul: Studi Analisis Pendapat Al-Syafi'i dalam Kitab al-Umm tentang

Perkawinan Antar Agama

13
Ibid, hlm. 289
14
Sabi'in adalah nama golongan yang mengikuti nabi-nabi zaman dahulu. Sedangkan
Samiri adalah nama suatu suku dari bangsa Israil.

8
A. Perumusan Masalah

Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat

pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15 Bertitik

tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:

1. Bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?

2. Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar

agama?

B. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama

2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan

antar agama

C. Telaah Pustaka

Berdasarkan penelitian di perpustakaan Fakultas Syari’ah ditemukan

kajian khusus berupa skripsi yang judulnya ada hubungan dengan penelitian

ini. Demikian pula ada beberapa buku yang membahas perkawinan antar

agama, walaupun secara khusus belum membahas konsep Al-Syafi'i secara

mendalam. Skripsi dan buku-buku yang dimaksud di antaranya:

1. Skripsi yang disusun oleh M. Rodli (NIM 2195143 IAIN Wali Songo

Semarang) berjudul: Analisis Pendapat Muhammad Rasyid Ridlo tentang

Kebolehan Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita Kristen/Nasrani (Ahlul

15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta;
Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.

9
Kitab) dalam Al-Manar. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa pada intinya

M. Rasyid Ridho membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul

kitab dengan syarat laki-laki muslim tidak terpengaruh dan ikut ke agama

istrinya, yang ia khawatirkan wanita ahlul kitab tersebut akan menarik

laki-laki muslim untuk masuk ke agamanya dengan kepandaiannya,

kecantikannya, dan hartanya. Terhadap pemikiran M. Rasyid Ridho di

atas, maka penulis mendukung karena Islam sebagai rahmat sekalian alam

tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, demikian juga

terhadap penganut agama lain.

2. Skripsi yang disusun oleh Thoifah (NIM 2196073 IAIN Wali Songo

Semarang) dengan judul: Study Pemikiran Quraisy Syihab tentang Ahlul

Kitab dan Implikasinya pada pernikahan Beda Agama di Indonesia.

Dalam skripsinya dijelaskan bahwa M. Quraisy Shihab membolehkan

seorang pria menikah dengan ahlul kitab dengan catatan wanita itu yang

muhsonat yaitu perempuan yang dapat menjaga kehormatan diri dan

sangat menghormati serta mengagungkan kitab sucinya. Muhammad

Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer dari Indonesia, lebih cenderung

berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah semua

penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan

keturunan siapa pun mereka. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman

Allah SWT dalam surah al-An 'am (6) ayat 156:

‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻭﺇﹺﻥ ﹸﻛﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﻠﻨ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﻴ ﹺﻦ ﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺋ ﹶﻔ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻃﹶﺂ‬ ‫ﺎﺏ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﺎ ﺃﹸﻧ ﹺﺰ ﹶﻝ ﺍﹾﻟ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﹺﺇ‬ ‫ﺃﹶﻥ‬
(156 :‫ﲔ )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ‬  ‫ﻠ‬‫ﻓ‬‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﻟﻐ‬ ‫ﺘ ﹺﻬ‬‫ﺳ‬ ‫ﺍ‬‫ﺩﺭ‬
10
Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An'am: 156)

Penulis kurang sependapat dengan klasifikasi Quraish Shihab,

karena ia hanya membolehkan pada penganut agama Yahudi dan Nasrani.

Hal ini mengandung arti ia membedakan antara penganut agama yang satu

dengan lainnya. Padahal Shihab tidak memberi ukuran apa sehingga

agama Yahudi dan Nasrani dibolehkan. Di sini pula ia tidak memberi

argumentasi yang detail kenapa untuk penganut agama lain tidak boleh.

3. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, terhadap surat al-Baqarah ayat 221,

menegaskan tentang perkawinan antar agama, khususnya perkawinan

wanita muslimah dengan pria non muslim. Menurut Hamka bahwa dalam

ajaran Islam, perempuan muslimah tidak boleh bersuamikan ahlul kitab

karena perempuan tidak akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah

tangga. Apalagi dalam agama-agama lain yang tidak memberikan jaminan

kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan,

sebagaimana dimiliki oleh Islam. Alhasil pada pokoknya bahwa orang

Islam laki-laki jodohnya ialah orang Islam perempuan, meskipun

perempuan itu masih budak, di zaman negeri-negeri masih mengakui

adanya budak. Orang perempuan Islam jodohnya laki-laki Islam.

Janganlah mencari jodoh karena hanya tertarik pada kecantikan, padahal

11
orangnya musyrik. Jangan tertarik oleh kekayaan atau keturunan kalau

laki-lakinya tidak beragama.16

4. Yusuf Qardhawi, dalam Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah berpendapat

bahwa hukum asal mengawini wanita ahli kitab menurut jumhur ulama

adalah mubah. Namun demikian di antara sahabat yang tidak berpendapat

demikian adalah Umar bin al-Khattab.17 Umar bin al-Khattab (42 SH/581

M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-laki muslim dan

perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT telah

mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia

tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang

beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya

adalah Tuhannya.18

5. Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin. Menurut Syekh

Hasan Khalid bahwa jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-

laki muslim dengan perempuan ahlul kitab.19 Argumen mereka yang

menyatakan boleh adalah penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an

dalam surah al-Ma'idah ayat 5

6. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Ulama ahli fiqih ini menguraikan, para

ulama sepakat bahwa perempuan Muslim tidak halal kawin dengan laki-

laki bukan Muslim, baik dia musyrik ataupun Ahli Kitab.

16
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, juz 2, 1999, hlm. 257
17
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin, “Fatwa-
Fatwa Kontemporer”, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 585
18
bid
19
Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal Abidin
Syamsudin, “Menikah Dengan Non Muslim”, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 145

12
Alasannya ialah firman Allah:

‫ﻮ‬‫ﺤﻨ‬
 ‫ﺘ‬‫ﻣ‬ ‫ﺕ ﻓﹶﺎ‬
 ‫ﺍ‬‫ﺎ ﹺﺟﺮ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎﺀ ﹸﻛ‬‫ﻮﺍ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺟ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻳ‬
‫ﻦ ﹺﺇﻟﹶﻰ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺮ ﹺﺟﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻼ‬
‫ﺕ ﹶﻓ ﹶ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺘﻤ‬‫ﻤ‬ ‫ﻠ‬‫ﻋ‬ ‫ﻦ ﹶﻓﹺﺈ ﹾﻥ‬ ‫ﺎﹺﻧ ﹺﻬ‬‫ ﹺﺑﹺﺈﳝ‬‫ﻋﹶﻠﻢ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻦ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻫ‬
(10 :‫) ﺍﳌﻤﺘﺤﻨﺔ‬...‫ﻦ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺤﻠﱡﻮ ﹶﻥ ﹶﻟ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭﻟﹶﺎ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺣ ﱞﻞ ﱠﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺍﹾﻟ ﹸﻜﻔﱠﺎ ﹺﺭ ﹶﻻ‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu
perempuan-perempuan Mukmin yang berhijrah hendaklah
mereka kamu uji lebih dulu. Allah lebih mengetahui iman
mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka
itu benar-benar beriman, maka janganlah mereka
kembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka ini
(perempuan-perempuan Mukmin) tidak halal bagi laki-laki
kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka. " (Al-
Mumtahanah: 10)

Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah

kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya

yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud daripada kekuasaan

suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir tidak ada kekuasaan

terhadap laki-laki atau perempuan Muslim.

Allah berfirman:

(141 :‫ﻼ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬


‫ﺳﺒﹺﻴ ﹰ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻣﹺﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻓﺮﹺﻳ‬‫ﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌﻞﹶ ﺍﻟﹼﻠ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻭﻟﹶﻦ‬ ...

Artinya: Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang


kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (An-Nisa':
141)

Selain itu seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang

Muslim bahkan ia mendustakan Kitab Sucinya dan mengingkari ajaran

Nabinya. Di samping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham

13
begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak

akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng. Akan tetapi hal ini

berbeda jika laki-laki Muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab, sebab

ia mau tahu agama istrinya, dan menganggap bahwa percaya kepada Kitab

Suci dan Nabi-nabi agama istrinya sebagai bagian daripada rukun iman,

dimana keimanan Islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak

mempercayai Kitab dan para Nabi Ahli Kitab.20

7. Abd al-Rahman al-Jaziri, dalam Kitab al-Fiqh ala Majahib al-Arba’ah.

Kitab ini berisi pendapat dari empat mazhab yaitu mazhab Maliki, Hanafi,

Hambali dan Syafi’i. Pada dasarnya pengarang kitab ini hanya

mengetengahkan pandangan berbagai mazhab dengan memberi komentar

di sana sini. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa telah sepakat mazhab yang

empat, bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan

Yahudi/Nasrani. Tetapi Imam Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan, ibu bapa

perempuan itu harus orang Yahudi/Nasrani juga. Kalau bapak/nenek

perempuan itu menyembah berhala dan bukan ahli kitab (Taurat/Injil),

kemudian ia memeluk agama. Yahudi/Nasrani, maka tidak boleh

mengawini Perempuan itu. Menurut Hanafi dan Maliki asal perempuan itu

beragama Yahudi/Nasrani, boleh mengawininya, meskipun ibu bapaknya.

Menyembah .berhala.21

8. Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah. Menurutnya

20
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth, hlm. 182.
21
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, juz 4, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972, hlm. 147

14
umat Islam dengan segenap fukaha dan ulamanya sepakat bahwa tidak

boleh seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki non-Muslim.

Baik laki-laki non-Muslim tersebut termasuk kelompok Ahlulkitab,

seperti Yahudi dan Nasrani, kelompok musyrikin, maupun kelompok

ateis. Allah SWT telah berfirman, "Dan janganlah kamu menikahkan

orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sehingga mereka

beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin itu lebih baik dan orang

musyrik, walaupun dia menarik hatimu." (QS. al-Baqarah: 221).22

9. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam. Dalam buku ini

Mahmud Yunus menjelaskan bahwa laki-laki muslim dibolehkan menikah

dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Tetapi perempuan muslimah

tidak boleh menikah dengan laki-laki Yahudi atau Nasrani.23

10. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia. Pengarang buku

ini menyatakan sekiranya tiap-tiap agama dalam peraturannya melarang

seorang pemeluk agama itu kawin dengan orang yang memeluk agama

lain, maka biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih

kepada agama dari pihak lain. Bila ini terjadi, tentunya tidak ada kesulitan

dalam hal perkawinan. Akan tetapi manakala kedua belah pihak masing-

masing mempertahankan agamanya maka akan muncul masalah.24

22
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,
"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 238-241
23
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya
Agung, 1990, hlm. 50.
24
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: PT Sumur
Bandung, 1981, hlm. 46.

15
Spesifikasi skripsi ini dibandingkan dengan kepustakaan di atas,

yaitu membahas pendapat seorang tokoh Islam yaitu Imam Syafi’i tentang

perkawinan laki-laki muslim dengan ahlul kitab.

D. Metode Penelitian

Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-

langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan

masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya

dicarikan cara pemecahannya.25 Dalam versi lain dirumuskan, metode

penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan

instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,26

maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:27

Jenis Data

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis

penelitian yang tidak menggunakan angka-angka statistik, melainkan

dalam bentuk kata-kata. Di samping itu penelitian ini hanya menggunakan

penelitian kepustakaan (Library research). Yang dimaksud dengan

penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan data-data

dari buku sebagai sumber kajian.

25
Wardi Bacthiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997, hlm. 1.
26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194.
27
Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmu
yang memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran
pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991, hlm. 24.

16
Pendekatan

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pemikiran Al-Syafi'i

tentang perkawinan antar agama, khususnya dalam perkawinan antara pria

muslim dengan wanita ahli kitab.

Sumber Data

Data Primer, dari karya-karya Al-Syafi’i yang berhubungan dengan judul

di atas di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Al-

Syafi’i secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi

rujukan utama dalam Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Al-

Syafi’i dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat

pendapat Al-Syafi’i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim

(pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini

dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab usul

fikih Al-Syafi’i yang berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini

dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun

1388H/1968M. (2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh

yang pertama kali dikarang dan karenanya Al-Syafi’i dikenal sebagai

peletak ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok

pikiran beliau dalam menetapkan hukum.28 (3) Kitab Imla al-Shagir;

Amali al-Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;29 Mukhtasar al-Rabi;

Mukhtasar al-Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan


28
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132
29
Ahmad Asy Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144.

17
sastra.30 Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan 97

(sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam fiqih Syafi’i. Namun dalam

bukunya itu tidak diulas masing dari karya Syafi’i tersebut.31 Ahmad

Nahrawi Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam al-

Syafi'i adalah Musnad li al-syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsuth, al-Risalah,

dan al-Umm.32

Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research

(penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan dilakukan secermat

mungkin dengan mempertimbangkan otoritas pengarangnya terhadap

bidang yang dikaji.

Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data,33 peneliti menggunakan analisis data

kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara

langsung.34 Dalam hal ini hendak diuraikan pemikiran Al-Syafi'i tentang

30
Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam
Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110
31
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186.
32
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44
33
Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan,
memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode
Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999, hlm, 419.
34
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja
grafindo persada, 1995, hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian

18
makna ahli kitab dalam perkawinan antar agama

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-

masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan

yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara

global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan

sistematika Penulisan. Dalam bab pertama ini di ketengahkan keseluruhan isi

isi skripsi secara global namun dalam satu kesatuan yang utuh dan jelas.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang perkawinan yang meliputi

pengertian nikah dan dasar hukumnya, syarat dan rukun nikah, akibat hukum

pernikahan, pendapat para ulama tentang perkawinan antar agama

Bab ketiga berisi pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama

yang meliputi biografi Al-Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat

Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama, metode istinbath hukum Al-Syafi'i

Bab keempat berisi analisis pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan

antar agama yang meliputi: pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar

agama, metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

penutup.

Kulitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-
Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm.
269.

19
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya

Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang


memberikan banyak hasil yang penting.35 Perkawinan amat penting dalam
kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan
rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil
perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan
kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.36

Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah


perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia
hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah
makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan
ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al
Khaliq (Tuhan Maha Pencipta) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna
melangsungkan kehidupan jenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar
kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya
ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab-kabul dalam akad nikah yang
dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah).
Hak dan kewajiban suami istri timbal-balik diatur amat rapi dan tertib;
demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila

35
Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman,
"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17.
36
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004,
hlm. 1.

20
terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula bagaimana cara
mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam keluarga
dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin.

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam


sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang
merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya.
Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib
ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-
qur’an dan Sunah Rasul. 37

Kata kawin menurut bahasa sama dengan kata nikah, atau kata, zawaj.
Dalam Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikh ( ‫ ) ا
ح‬dan
az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah (  ‫ ا‬-‫ ا واج‬-‫) ا واج‬. Secara harfiah, an-

nikh berarti al- wath'u (‫) ا طء‬, adh-dhammu (  ‫ ) ا‬dan al-jam'u (  ‫) ا‬.

Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an ( ‫ و‬-  -‫) و‬,
artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.38 Adh-dhammu, yang terambil
dari akar kata dhamma - yadhummu – dhamman (
! - -!) secara
harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.
Juga berarti bersikap lunak dan ramah.39

Sedangkan al-jam 'u yang berasal dari akar kata jama’a - yajma'u -

jam'an (
#" - -" ) berarti: mengumpulkan, menghimpun,

menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya

mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-

37
Ibid., hlm. 1-2.
38
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461.
39
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm.42-43

21
jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua

aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.40

Sebutan lain buat perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj/az-ziwaj dan

az-zijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan (


"‫ زو‬-‫ وج‬-‫ ) زاج‬yang

secara harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan

mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini

ialah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju-

tazwijan (
‫ &و‬-‫ وّج‬-‫ )زوّج‬dalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu-

taf'ilan"(*+#)& -'ّ#) -'ّ#( ) yang secara harfiah berarti mengawinkan,

mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.41

Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya

mengupas tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab tersebut

menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan melakukan

persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau mengawinkan.

Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.42

Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Qasim
al-Ghazzi menerangkan pula tentang masalah hukum-hukum pernikahan di
antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu
kumpul, wati, jimak dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syara’ yaitu
suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.43

40
Ibid, hlm. 43.
41
Ibid, hlm. 43-44.
42
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-
‘Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tth, hlm. 72.
43
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-
lhya at-Kutub al-Arabiah, tth, hlm. 48.

22
Menurut Zakiah Daradjat, perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.44
Menurut Zahry Hamid, yang dinamakan nikah menurut Syara' ialah: "Akad
(ijab qabul) antara wali colon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-
ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.45

Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah nikah atau
belum pernah kawin", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untuk
dirinya terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika
dikatakan: "Anak itu lahir diluar kawin", artinya bahwa anak tersebut
dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak berada dalam atau terikat oleh
ikatan perkawinan berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum.

Menurut Hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah: "Suatu ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama
dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan
menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari'at Islam".46

Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari


1974 dinyatakan; "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".47

44
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm.
38.
45
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1. beberapa definisi perkawinan
dapat dilihat pula dalam Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2002, hlm. 1-4.
46
Ibid.
47
Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
(INPRES No 1 Tahun 1991), perkawinan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Lihat Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977, hlm. 76.

23
Di antara pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu sama
lain, bahkan jiwanya adalah sama dan seirama, karena pada hakikatnya
Syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hukum
Perkawinan merupakan bahagian dari Hukum Islam yang, memuat ketentuan-
ketentuan tentang hal ihwal perkawinan, yakni bagaimana proses dan prosedur
menuju terbentuknya ikatan perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakan
akad perkawinan menurut hukum, bagaimana cara memelihara ikatan lahir
batin yang telah diikrarkan dalam akad perkawinan sebagai akibat yuridis dari
adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang
mengancam ikatan lahir batin antara suami isteri, bagaimana proses dan
prosedur berakhirnya ikatan perkawinan, serta akibat yuridis dari berakhirnya
perkawinan, baik yang menyangkut hubungan hukum antara bekas suami dan
isteri, anak-anak mereka dan harta mereka. Istilah yang lazim dikenal di
kalangan para ahli hukum Islam atau Fuqaha ialah Fiqih Munakahat atau
Hukum Pernikahan Islam atau Hukum Perkawinan Islam.

Masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan, hendaklah


memperhatikan inti sari dari sabda Rasulullah SAW. yang menggariskan,
bahwa semua amal perbuatan itu disandarkan atas niat dari yang beramal itu,
dan bahwa setiap orang akan memperoleh hasil dari apa yang diniatkannya.

Oleh karenanya maka orang yang akan melangsungkan akad perkawinan


hendaklah mengetahui benar-benar maksud dan tujuan perkawinan. Maksud
dan tujuan itu adalah sebagai berikut:

a. Mentaati perintah Allah SWT. dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul,

terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup

beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk 'Sunnah beliau. ,

b. Memelihara pandangan mata, menenteramkan jiwa, memelihara nafsu

seksualita, menenangkan fikiran, membina kasih sayang serta menjaga

kehormatan dan memelihara kepribadian.

24
c. Melaksanakan pembangunan materiil dan spirituil dalam kehidupan

keluarga dan rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera

dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa.

d. Memelihara dan membina kwalitas dan kwantitas keturunan untuk

mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam

rangka pembinaan mental spirituil dan phisik materiil yang diridlai Allah

Tuhan Yang Maha Esa.

Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan


keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman
dan sejahtera lahir batin di bawah naungan Rahmat Allah Subhanahu wa
Ta'ala.48

Adapun dasar hukum melaksanakan akad perkawinan sebagai berikut:

Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan


dianjurkan oleh Syara'. Beberapa firman Allah yang bertalian dengan
disyari'atkannya perkawinan ialah:

1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):

‫ﺎﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺏ ﹶﻟﻜﹸﻢ‬


 ‫ﺎ ﻃﹶﺎ‬‫ﻮﹾﺍ ﻣ‬‫ﻜﺤ‬ ‫ﻰ ﻓﹶﺎﻧ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴﺘ‬‫ﻲ ﺍﹾﻟ‬‫ﺴﻄﹸﻮﹾﺍ ﻓ‬ ِ ‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﱠﻻ‬ ‫ﺘ‬‫ﺧ ﹾﻔ‬ ‫ﻭﹺﺇ ﹾﻥ‬
(3 :‫ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬.ْ ..‫ﺪ ﹰﺓ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﺪﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﻓﻮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﱠﻻ‬ ‫ﺘ‬‫ﺧ ﹾﻔ‬ ‫ﻉ ﹶﻓﹺﺈ ﹾﻥ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺑ‬‫ﻭﺭ‬ ‫ﺙ‬‫ﻼ ﹶ‬ ‫ﻭﹸﺛ ﹶ‬ ‫ﻰ‬‫ﻣﹾﺜﻨ‬
49

Artinya:Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil,
maka (kawinlah) seorang saja (Q.S.An-Nisa': 3).

48
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 2.
49
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 115.

25
2) Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur): .

‫ﻮﺍ‬‫ﻳﻜﹸﻮﻧ‬ ‫ﻢ ﺇﹺﻥ‬ ‫ﺋ ﹸﻜ‬‫ﺎ‬‫ﻭﹺﺇﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺩ ﹸﻛ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﺒ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﲔ‬


 ‫ﺤ‬
 ‫ﺎﻟ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻰ ﻣ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻳ‬‫ﻜﺤ‬ ‫ﻭﺃﹶﻧ‬
(32 :‫ﻢ )ﺍﻟﻨﻮﺭ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﻠ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺍ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻠ‬‫ﻀ‬  ‫ﻦ ﹶﻓ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻢ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻐﻨﹺ ﹺﻬ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺍﺀ‬‫ﹸﻓ ﹶﻘﺮ‬
50

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya
lagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur': 32)..
.
3) Firman Allah ayat 21 Surah 30 (Ar-Rum):

‫ﻌ ﹶﻞ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻮﺍ ﹺﺇﹶﻟ‬‫ﺴ ﹸﻜﻨ‬


 ‫ﺘ‬‫ﺍﺟﹰﺎ ﱢﻟ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺴ ﹸﻜ‬
ِ ‫ﻦ ﺃﹶﻧﻔﹸ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻖ ﹶﻟﻜﹸﻢ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺗ‬‫ﺎ‬‫ﻦ ﺁﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬
(21 :‫ﻭ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡ‬‫ﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮ‬‫ﻳ‬ ‫ﻮ ﹴﻡ‬ ‫ﺕ ﱢﻟ ﹶﻘ‬  ‫ﺎ‬‫ﻚ ﻟﹶﺂﻳ‬  ‫ﻟ‬‫ﻲ ﹶﺫ‬‫ﻤ ﹰﺔ ﹺﺇ ﱠﻥ ﻓ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ ﹰﺓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻨﻜﹸﻢ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬
51

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dari dijadikan di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S.Ar-
Rum: 21)

Beberapa hadis yang bertalian dengan disyari'atkannya perkawinan ialah:

‫ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﹼﻰ‬:‫ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ – ﻗﺎﻝ‬-‫ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ‬


‫ﺝ‬‫ﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﺒﺎﺀﺓ ﻓﻠﻴﺘﺰﻭ‬‫" ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﺸ‬:‫ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ‬
‫ﻪ‬‫ﻮﻡ ﻓﺈﻧ‬‫ﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ ﻭﺃﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺠﺮ ﻭﻣﻦ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼ‬  ‫ﻪ ﺃﻏ‬‫ﻓﺈﻧ‬
.‫ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ‬."‫ﻟﻪ ﻭﺟﺎﺀ‬

50
Ibid, hlm. 549.
51
Ibid, hlm. 644.

26
52

Artinya: Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai golongan kaum muda, barangsiapa diantara kamu
telah mampu akan beban nikah, maka hendaklah dia
menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat
memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah),
maka hendaklah dia (rajin) berpuasa, karena sesungguhnya
puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR. Al-
Jama'ah).

‫ﺩ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻋﻠﻰ‬ ‫ " ﺭ‬:‫ﻭﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻭﻗﹼﺎﺹ ﻗﺎﻝ‬
(‫ﻞ ﻭﻟﻮ ﺃﺫﻥ ﻟﻪ ﻻﺧﺘﺼﻴﻨﺎ" )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﺍﳌﺴﻠﻢ‬‫ﺒﺘ‬‫ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻣﻈﻌﻮﻥ ﺍﻟﺘ‬
53

Artinya: Dari Sa’ad bin Abu Waqqash, dia berkata: “Rasulullah saw.
pernah melarang Utsman bin mazh'un membujang. Dan
kalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan, niscaya kami
akan mengebiri". (HR. Al Bukhari dan Muslim).

:‫ﱯ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ‬  ‫ﻨ‬‫ﻭﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺃ ﹼﻥ ﻧﻔﺮﺍ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟ‬
‫ ﺃﺻﻮﻡ‬:‫ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ‬,‫ ﺃﺻﻠﹼﻲ ﻭﻻ ﺃﻧﺎﻡ‬:‫ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ‬,‫ﺝ‬‫ﻻ ﺃﺗﺰﻭ‬
‫"ﻣﺎ ﺑﺎﻝ ﺃﻗﻮﺍﻡ ﻗﺎﻟﻮﺍ‬:‫ﱯ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻓﻘﺎﻝ‬ ‫ﻨ‬‫ ﻓﺒﻠﻎ ﺫﻟﻚ ﺍﻟ‬,‫ﻭﻻﺃﻓﻄﺮ‬
‫ﺴﺎﺀ ﻓﻤﻦ‬‫ﺝ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭﺃﺗﺰﻭ‬,‫ ﻭﺃﺻﻠﹼﻲ ﻭﺃﻧﺎﻡ‬,‫ﻲ ﺃﺻﻮﻡ ﻭﺃﻓﻄﺮ‬‫ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻜﻨ‬
.‫ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ‬."‫ﻲ‬‫ﻲ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨ‬‫ﺭﻏﺐ ﻋﻦ ﺳﻨﺘ‬
54

Artinya: Dari Anas: "Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi


saw. sebagian dari mereka ada yang mengatakan: "Aku tidak
akan menikah". Sebagian dari mereka lagi mengatakan:
"Aku akan selalu bersembahyang dan tidak tidur". Dan

52
Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz 4,
1973, hlm. 171.
53
Ibid, hlm. 171
54
Ibid, hlm. 171

27
sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan: "Aku akan
selalu berpuasa dan tidak akan berbuka". Ketika hal itu
didengar oleh Nabi saw. beliau bersabda: "Apa maunya
orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu?. Padahal
disamping berpuasa aku juga berbuka. Disamping
sembahyang aku juga tidur. Dan aku juga menikah dengan
wanita. Barangsiapa yang tidak suka akan sunnahku, maka
dia bukan termasuk dari (golongan) ku".(HR. Al Bukhari
dan Muslim)

:‫ﺟﺖ؟ ﻗﻠﺖ‬‫ ﻫﻞ ﺗﺰﻭ‬:‫ﺎﺱ‬‫ ﻗﺎﻝ ﱄ ﺍﺑﻦ ﻋﺒ‬:‫ﻭﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﲑ ﻗﺎﻝ‬


‫) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ‬.‫ﺔ ﺃﻛﺜﺮﻫﺎ ﻧﺴﺎﺀ‬‫ﺝ ﻓﺎ ﹼﻥ ﺧﲑ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣ‬‫ ﺗﺰﻭ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ﻻ‬
(‫ﻱ‬
 ‫ﻭﺍﻟﺒﺨﺎﺭ‬
55

Artinya: Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Ibnu Abbas pernah
bertanya kepadaku: "Apakah kamu telah menikah?". Aku
menjawab: "Belum". Ibnu Abbas berkata: "Menikahlah,
karena sesungguhnya sebaik-baiknya ummat ini adalah yang
paling banyak kaum wanitanya". (HR. Ahmad dan Al-
Bukhari).

‫ﱯ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ‬  ‫ﻨ‬‫ " ﺃ ﹼﻥ ﺍﻟ‬:‫ﻭﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﲰﺮﺓ‬


‫ﺎ‬‫ﻌ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻠ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﻼ ﻣ‬
‫ﺳ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺳ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ ﹶﻘ‬ ) :‫ ﻭﻗﺮﺃ ﻗﺘﺎﺩﺓ‬,"‫ﻞ‬‫ﺒﺘ‬‫ﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺘ‬
.(‫ﻱ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬  ‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬ‬.(38 :‫ﻳ ﹰﺔ( )ﺍﻟﺮﻋﺪ‬‫ﺭ‬ ‫ﻭ ﹸﺫ‬ ‫ﺍﺟﹰﺎ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﹶﻟ‬
56

Artinya: dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah: "Sesungguhnya


Nabi saw. melarang membujang. Selanjutnya Qatadah
membaca (ayat): "Dan sesungguhnya kami telah mengutus
beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan

55
Ibid
56
Ibid. Lihat juga TM.Hasbi ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra, jilid 8, 2001, hlm. 3-8. TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis, jilid
5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra, 2003, hlm. 3-8

28
kepada mereka beberapa istri dan anak cucu". (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah).

Menurut At Tirmidzi, hadis Samurah tersebut adalah hadis Hasan yang

gharib (aneh). Al Asy'ats bin Abdul Mulk meriwayatkan hadis ini dari Hasan

dari Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah dan ia dari Nabi saw. Dikatakan bahwa

kedua hadis tersebut adalah shaheh.

Hadis senada diketengahkan oleh Ad Darimi dalam Musnad Al Firdaus dari

Ibnu Umar, dia mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda: "Berhajilah nanti

kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan sehat. Dan menikahlah nanti

kamu akan banyak. Sesungguhnya aku akan dapat membanggakan kamu

dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadis tersebut terdapat nama

Muhammad bin Al Hants dari Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamni,

keduanya adalah perawi yang sama-sama lemah.

Hadis senada juga diketengahkan oleh Al Baihaqi dari Abu Umamah

dengan redaksi: "Menikahlah kamu, karena sesungguhnya aku akan

membanggakan kalian dihadapan ummat-ummat lain. Dan janganlah kalian

seperti para pendeta kaum Nasrani". Namun dalam sanadnya terdapat nama-

nama Muhammad bin Tsabit, seorang perawi yang lemah.

Hadis senada lagi diriwayatkan oleh Daraquthni dalam Al Mu'talaf

dari Harmalah bin Nu'man dengan redaksi: "Wanita yang produktif anak itu

lebih disukai oleh Allah ketimbang wanita cantik namun tidak beranak.

Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di hadapan ummat-ummat lain

29
pada hari kiamat kelak". Namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, sanad hadis

ini lemah.

Para Fukaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari

perkawinan. Menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha madzhab Syafi'i,

hukum nikah adalah mubah (boleh), menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan

Hambali hukum nikah adalah sunnat, sedangkan menurut madzhab Dhahiry

dan Ibn. Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup.57

Adapun Hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi

seseorang serta niat dan akibat-akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di

antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa macam, yaitu:58

Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan

kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan

memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran,

apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.

Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut. Menjaga diri dari

perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri

itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, bagi orang itu, melakukan

perkawinan hukumnya adalah wajib. Qa'idah fiqhiyah mengatakan, "Sesuatu

yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya

adalah wajib"; atau dengan kata lain, "Apabila suatu kewajiban tidak akan

terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula hukumnya." Penerapan

57
Zahry Hamid, op, cit., hlm. 3-4.
58
Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 14-16

30
kaidah tersebut dalam masalah perkawinan adalah apabila seseorang hanya

dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, baginya

perkawinan itu wajib hukumnya.

Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk

kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak

ada kekhawatiran akan berbuat zina.

Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-qur’an dan hadis-

hadis Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam menganjurkan

perkawinan di atas. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa beralasan ayat-

ayat Al-qur’an dan hadis-hadis Nabi itu, hukum dasar perkawinan adalah

sunah. Ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan

adalah mubah. Ulama-ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan

wajib dilakukan bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya

kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.59

Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan

serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan

berakibat menyusahkan istrinya. Hadis Nabi mengajarkan agar orang jangan

sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang lain.

Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-

Qurthubi) berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan


59
Ibid, hlm. 14.

31
mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk

istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal mengawini

seseorang kecuali apabila ia menjelaskan peri keadaannya itu kepada calon

istri; atau ia bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya,

barulah ia boleh melakukan perkawinan. Lebih lanjut Al-Qurthubi dalam

kitabnya Jami li Ahkam al-Qur’an mengatakan juga bahwa orang yang

mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi

kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri hams memberi

keterangan kepada calon istri agar pihak istri tidak akan merasa tertipu. Apa

yang dikatakan Al-Qurthubi itu amat penting artinya bagi sukses atau

gagalnya hidup perkawinan. Dalam bentuk apa pun, penipuan itu harus

dihindari. Bukan saja cacat atau penyakit yang dialami calon suami, tetapi

juga nasab keturunan. kekayaan. kedudukan, dan pekerjaan jangan sampai

tidak dijelaskan agar tidak berakibat pihak istri merasa tertipu.60

Hal yang disebutkan mengenai calon suami itu berlaku juga bagi calon

isteri. Calon istri yang tahu bahwa ia tidak akan dapat memenuhi

kewajibannya terhadap suami, karena adanya kelainan atau penyakit, harus

memberikan keterangan kepada calon suami agar jangan sampai terjadi pihak

suami merasa tertipu. Bila ia mencoba menutupi cacad yang ada pada dirinya,

maka suatu hari masalah ini akan berkembang dengan pertengkaran dan

penyesalan.

60
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), Beirut: Dar al-
Ma’rifah, Juz 1, t.th, hlm. 265

32
Bahkan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada diri calon istri, yang

apabila diketahui oleh pihak colon suami, mungkin akan mempengaruhi

maksudnya untuk mengawini, misalnya giginya palsu sepenuhnya, rambutnya

habis yang tidak mungkin akan tumbuh lagi hingga terpaksa memakai rambut

palsu atau wig dan sebagainya, harus dijelaskan kepada colon suami untuk

menghindari jangan sampai akhirnya pihak suami merasa tertipu.

Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi

materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak

khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran

tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya, meskipun

tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya, calon istri tergolong

orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin.

Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan

akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat

bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada yang telah

disebutkan di atas.61

Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta,

tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan

andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan

kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi

61
Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 16

33
syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga

keselamatan hidup beragama.62

B. Syarat dan Rukun Nikah

Menurut UU No 1/1974 Tentang Perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1

dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya.63

Bagi ummat Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut Hukum

Perkawinan Islam, Suatu Akad Perkawinan dipandang sah apabila telah

memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh

Hukum Syara'.

Rukun Akad Perkawinan ada lima, yaitu:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Jelas ia laki-laki.

c. Tertentu orangnya.

d. Tidak sedang berihram haji/umrah.

e. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam

menjalani iddah thalak raj'iy. ,

62
Ibid, hlm. 16.
63
Arso Sosroatmodjo dan A.Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta;
Bulan Bintang, 1975, hlm. 80

34
f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai

perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak

raj'iy.

g. Tidak dipaksa.

h. Bukan Mahram calon isteri.

2. Calon Isteri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam, atau Ahli Kitab.

b. Jelas ia perempuan.

c. Tertentu orangnya.

d. Tidak sedang berihram haji/umrah.

e. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami.

f. Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki lain.

g. Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk

menikahkannya.

h. Bukan Mahram calon suami.

3. Wali. Syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.

b. Jelas ia laki-laki.

c. Sudah baligh (telah dewasa).

d. Berakal (tidak gila).

e. Tidak sedang berihram Haji/Umrah.

f. Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya).

g. Tidak dipaksa.

35
h. Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebab lainnya.

i. Tidak fasiq.64

4. Dua orang saksi laki-laki. Syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Jelas ia laki-laki.

c. Sudah baligh (telah dewasa).

d. Berakal (tidak gila),:

e. Dapat menjaga harga diri (bermuru’ah)

f. Tidak fasiq.

g. Tidak pelupa.

h. Melihat (tidak buta atau tuna netra).

i. Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).

j. Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara).

k. Tidak ditentukan menjadi wali nikah.

l. Memahami arti kalimat dalam ijab qabul.

5. Ijab dan Qabul.

Ijab akad perkawinan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah

atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerimakan nikah calon suami atau

wakilnya".

Syarat-syarat ijab akad nikah ialah:

64
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-28. Tentang syarat dan rukun perkawinan dapat
dilihat juga dalam Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 1977, hlm. 71.

36
a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari "nikah" atau

"tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya nikahkan Fulanah, atau saya

kawinkan Fulanah, atau saya perjodohkan - Fulanah"

b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya.

c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan

sebagainya.

d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak

diucapkan.65

e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: "Kalau anakku.

Fatimah telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan Fatimah dengan

engkau Ali dengan maskawin seribu rupiah".

f. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang

berakad maupun saksi-saksinya. Ijab tidak boleh dengan bisik-bisik

sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Qabul akad perkawinan ialah:

"Serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau wakilnya dalam

akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali nikah atau

wakilnya.

Syarat-syarat Qabul akad nikah ialah:


a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari kata "nikah" atau

"tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya terima nikahnya Fulanah".

b. Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya.

65
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-25. lihat pula Achmad Kuzari, Nikah Sebagai
Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.34-40.

37
c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya "Saya terima nikah si

Fulanah untuk masa satu bulan" dan sebagainya.

d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak

diucapkan.

e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya "Kalau saya telah

diangkat menjadi pegawai negeri maka saya terima nikahnya si Fulanah".

f. Beruntun dengan ijab, artinya Qabul diucapkan segera setelah ijab

diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu, atau diselingi

perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari ijab.

g. Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab.

h. Sesuai dengan ijab, artinya tidak bertentangan dengan ijab.

i. Qabul harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang

berakad maupun saksi-saksinya. Qabul tidak boleh dengan bisik-bisik

sehingga tidak didengar oleh orang lain.

Contoh ijab qabul akad perkawinan


1). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.
a. Ijab: “Ya Ali, ankahtuka Fatimata binti bimahri alfi rubiyatin halan".

Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (kawinkan) Fatimah

anak perempuanku dengan engkau dengan maskawin seribu rupiah

secara tunai".

b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bil mahril madzkurihalan". Dalam bahasa

Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan saudara

dengan saya dengan maskawin tersebut secara tunai".

2). Wali mewakilkan ijabnya dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.

38
a. Ijab: "Ya Ali, ankahtuka Fathimata binta Muhammadin muwakili

bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku

nikahkan (kawinkan) Fatimah anak perempuan Muhammad yang telah

mewakilkan kepada saya dengan engkau dengan maskawin seribu

rupiah secara tunai".

b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa

Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan

Muhammad dengan saya dengan maskawin seribu rupiah secara

tunai".

3). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki mewakilkan kabulnya.


a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binti Aliyyin muwakkilaka

bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar,

Aku nikahkan (kawinkan) Fathimah anak perempuan saya dengan Ali

yang telah mewakilkan kepadamu dengan maskawin seribu rupiah

secara tunai".

b. Qabul: "Qabiltu nikahaha li Aliyyin muwakkili bimahri alfi rubiyatin

halan", Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah

dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan maskawin

seribu rupiah secara tunai"

4). Wali mewakilkan Ijabnya dan mempelai laki-laki mewakilkan Qabulnya.


a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binta Muhammadin muwakkilii,

Aliyyan muwakkilaka bimahri alfi Rubiyyatin halan". Dalam bahasa

Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan (kawinkan) Fathimah anak

perempuan Muhammad yang telah mewakilkan kepada saya, dengan

39
Ali yang telah mewakilkan kepada engkau dengan maskawin seribu

rupiah secara tunai".

b. Qabul: "Qabiltu Nikahaha lahu bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam

bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya (Fathimah anak perempuan

Muhammad) dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan

maskawin seribu rupiah secara tunai".

C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Antar Agama

Berbicara perkawinan antar agama, ada yang menyebut sama dengan

perkawinan campuran, dan ada pula yang berpendapat bahwa perkawinan

antar agama tidak masuk dalam perkawinan campuran melainkan istilah

tersebut berdiri sendiri. Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan

anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan

adat/suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua

insan yang akan melakukan perkawinan. Perbedaan adat misalnya perkawinan

antara pria/wanita Jawa dengan pria/wanita Batak, pria/wanita Minangkabau

dengan pria/wanita Sunda, pria/wanita Sunda dengan pria/wanita Bali, dan

sebagainya. Sedangkan perkawinan campuran antara agama, misalnya antara

pria/wanita beragama Kristen dengan pria/wanita beragama Islam, pria/wanita

beragama Hindu/Buddha dengan pria/wanita Islam dan seterusnya.66

Dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan,

yang dimaksud perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah

66
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 13-14

40
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian berdasarkan undang-

undang ini, maka perkawinan antar agama tidak termasuk perkawinan

campuran melainkan memiliki pengertian yang berdiri sendiri.

Adapun perkawinan antar agama dirumuskan oleh abdurrahman yang

dikutip Eoh yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang

memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.67

Dari rumusan pengertian perkawinan antar agama tersebut, dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud perkawinan antar agama adalah perkawinan antara dua

orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama

yang dianutnya. Namun demikian, oleh karena UU Nomor 1/1974 Tentang

Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, maka kenyataan

yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua orang yang berbeda

agama akan mengadakan perkawinan sering mengalami hambatan. Hal ini

disebabkan antara lain karena para pejabat pelaksana perkawinan dan

pemimpin agama/ulama menganggap bahwa perkawinan yang demikian

dilarang oleh agama dan karenanya bertentangan dengan UU Perkawinan.

Perkawinan antar agama ini menyangkut perkawinan antara orang

Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai

masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:

1. Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita musyrik;

67
O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998, hlm. 35

41
2. Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab;

3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.

Pertama, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita

musyrik. Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan

wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:

‫ﻦ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣ ﹲﺔ‬ ‫ﻭ َﻷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺸ ﹺﺮﻛﹶﺎ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻜﺤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺗ‬
(221 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬... ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬‫ﺒ‬‫ﺠ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ ﹶﻛ‬
 ‫ﻣ‬
Artinya: Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu… (Q.S. al-Baqarah: 221)

Hanya di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa

musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir

al-Thabari seorang ahli tafsir dalam kitabnya, al-Jami’al-Bayan fi Tafsir

al-Qur'an yang dikutip Rasyid Ridha, bahwa musyrikah yang dilarang

untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa

Arab pada waktu turunnya Al-Qur'an memang tidak mengenal kitab suci

dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang

Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti

wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci

atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu,

yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah

mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.68

68
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1367 H, hlm. 187 – 193.

42
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah

baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni

Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini, dan jika

mengawinya maka berarti menentang syara. Menurut pendapat ini bahwa

wanita yang bukan Islam, dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh

dikawini oleh pria Muslim, apa pun agama ataupun kepercayaannya,

seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk

agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi itu termasuk kategori

"musyrikah".

Dengan demikian para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak

halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,

perempuan keluar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama

politeisme (menunggaling kawula lan Gusti). Alasannya, firman Allah

sebagaimana disebut di atas.69

Kedua, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita

Ahlul Kitab. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim

boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen),

berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 5.

‫ﻢ‬ ‫ﺣ ﱞﻞ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻡ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻃﻌ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﻴﺒ‬‫ﻢ ﺍﻟ ﱠﻄ‬ ‫ﺣ ﱠﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻡ ﹸﺃ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬
‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺕ ﻭ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺕ‬ ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬ ‫ﺤ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺣ ﱡﻞ ﱠﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻣ ﹸﻜ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻃﻌ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮ‬‫ﻦ ﹸﺃﺟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺘﻤ‬‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﻢ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺁ‬ ‫ﻠ ﹸﻜ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﺏ ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻣ‬

69
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth, hlm. 178

43
‫ﻥ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺑﹺﺎ ِﻹﳝ‬ ‫ﻳ ﹾﻜ ﹸﻔ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺍ‬‫ﺧﺪ‬ ‫ﻱ ﹶﺃ‬‫ﺨﺬ‬
 ‫ﺘ‬‫ﻣ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﺤ‬
 ‫ﻓ‬‫ﺎ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﲔ ﹶﻏ‬ ‫ﺼﹺﻨ‬‫ﺤ‬ ‫ﻣ‬
(5 :‫ﻦ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬ ‫ﺳﺮﹺﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﺨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻲ ﺍﻵ‬‫ﻮ ﻓ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻤﹸﻠ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻂ‬ ‫ﺣﺒﹺ ﹶ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﹶﻓ ﹶﻘ‬
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.
Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagi
mereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah
amalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orang
yang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 5, juga

berdasarkan sunah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul

Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang Sahabat

Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah

kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para Sahabat tidak ada yang

menentangnya. Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang

perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau

Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan

Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran

trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi

umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan mengkultuskan

Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.70

70
Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin musyrikah
di satu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) di pihak lain, sesuai dengan

44
Menurut Yusuf Qardhawi, hukum asal mengawini wanita ahli kitab

menurut jumhur ulama adalah mubah. Namun demikian di antara sahabat

yang tidak berpendapat demikian adalah Umar bin al-Khattab.71 Umar bin

al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-

laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT

telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia

tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang

beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah

Tuhannya. Dalam konteks ini, menurut Qardawi, perkawinan antara laki-

laki muslim dengan wanita non muslim boleh saja sepanjang wanita itu

berama tauhid. Menurut Qardawi, saat ini sulit untuk mengukur agama

mana yang selain Islam yang memiliki keyakinan tauhid. Dengan

demikian tampaknya Qardawi menganggap perkawinan yang demikian

tidak semudah itu.72

Menurut Syekh Hasan Khalid, jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan

laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab.73 Argumen mereka yang

menyatakan boleh adalah pertama, penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an

dalam surah al-Ma'idah ayat 5, dan dari ayat ini maka menurut Ahmad Asy-

pengelompokan yang dibuat oleh Al-Qur'an, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab, Kristen
dan Yahudi itu sudah melakukan "syirik" menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu,
perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama,
berdasarkan Surat Al-Maidah ayat 5, sunah dan ijma'. Lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,
Cairo: Dar al-Manar, 1367 H, hlm. 186. Mengenai perkawinan Sahabat Nabi Hudzaifah bin
Al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi, Ibid., hlm. 180.
71
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin, “Fatwa-
Fatwa Kontemporer”, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 585
72
bid
73
Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal Abidin
Syamsudin, “Menikah Dengan Non Muslim”, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 145

45
Syarbashi dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang laki-laki Muslim boleh

menikahi Ahlul kitab, selama wanita Ahlul kitab tersebut layak untuk

dinikahi. Hikmah yang terkandung di dalam hukum bolehnya seorang laki-laki

Muslim menikahi wanita Ahlul kitab ialah tersedianya kesempatan supaya

terciptanya hubungan dan kerjasama di antara mereka; dan di samping itu agar

dengan keinginannya, wanita Ahlul kitab itu dapat mempelajari ajaran-ajaran

mulia yang terdapat dalam ajaran Islam.74 Kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli

fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa laki-laki muslim halal kawin dengan

perempuan ahli kitab yang merdeka.75 Sekalipun boleh mengawini wanita

ahlul kitab, namun kemudian Sayyid Sabiq menganggap hukumnya makruh.76

Ketiga, perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria

non-Muslim. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, ulama telah

sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita

Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk

pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi

(revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa

kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau

kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab

suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan

sebagainya.77

74
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,
"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 244
75
Sayyid Sabiq, op. cit, hlm. 179
76
Ibid
77
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336.

46
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin

antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah:

a. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:

‫ﻦ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻮﹾﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻛﲔ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻜﺤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺗ‬ ...

(221 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬...‫ﻢ‬ ‫ﺒ ﹸﻜ‬‫ﺠ‬


 ‫ﻋ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﻣ‬

Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik


sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.78

b. Ijma' para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita

Muslimah dengan pria non-Muslim.

Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam

(pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul

Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen

dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda.

Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta

alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya

pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya

tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan

khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang

telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian

diajak mengikuti "kepercayaan/ideologi" mereka.

78
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 53.

47
Mengenai hikmah dibolehkannya perkawinan antara seorang pria

Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, ialah karena pada hakikatnya

agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab

sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita

Kristen/Yahudi kawin dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada

ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya

sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan

kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di

tengah-tengah keluarga Islam. Sebab agama Islam mempunyai

panutan/pedoman hidup yang lengkap, mudah/praktis, flexible,

demokratis, menghargai kedudukan wanita Islam dalam keluarga,

masyarakat, dan negara, toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang

hidup di masyarakat, dan menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama

kebebasan beragama, serta ajaran-ajarannya yang rasionable.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan Timur

yang kawin dengan pria Muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya,

dapat terbuka hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk agama

Islam.

Namun, kalau seorang pemuda Muslim itu kualitas iman dan

islamnya masih belum baik, misalnya islamnya masih Islam K.TP atau

Islam Abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin dengan pemudi

Kristen/Yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama

istrinya. Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi Ahlul Kitab untuk

48
memurtadkan umat Islam dan kemudian menariknya ke agama mereka

dengan berbagai cara.79

Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita

Islam dengan pria Kristen atau Yahudi, karena dikhawatirkan wanita Islam

itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agamanya,

kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak

yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan

mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga

terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah

menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka

bumi ini yang memberikan kebebasan beragama dan bersikap toleran

terhadap agama/kepercayaan lain, seperti agama Islam. Sebagaimana

firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 120:

(120 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬...‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺘ‬‫ﻣﱠﻠ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺘﹺﺒ‬‫ﺗ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻯ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻨﺼ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﻟ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻚ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﺮﺿ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭﻟﹶﻦ‬
Artinya: Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada
kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.

Dan berfirman Allah dalam Surat Al-Nisa ayat 141:

(141 :‫) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬...‫ﻼ‬


‫ﺳﺒﹺﻴ ﹰ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻣﹺﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻓﺮﹺﻳ‬‫ﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌﻞﹶ ﺍﻟﹼﻠ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻭﻟﹶﻦ‬ ...
Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang
beriman.

79
Muhammad Rasyid Ridha, op. cit, hlm. 193.

49
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu berhati-

hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi

dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan

berbagai cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan

kepada mereka untuk mencapai maksudnya. Misalnya dengan jalan

perkawinan seorang wanita Islam dengan pria non-Muslim.

50
BAB III

PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG

PERKAWINAN ANTAR AGAMA

A. Biografi Al-Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya

1. Latar Belakang Keluarga

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Al-Syafi’i lahir di

Kota Gaza, Palestina,80 Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn

al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn

Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.81

Lahir di Gaza pada tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke

Makkah. Beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada

zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan ia

meninggal di Mesir pada tahun 204 H 82

Al-Syafi’i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di

masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun

kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari

perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.

80
Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu,
Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi dan Pemikirannya Dalam
Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 27
81
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2000, hlm.101. Lihat juga Abdul Mun’im Saleh, Madzhab Syafi’i Kajian Konsep
Al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001, hlm. 7. Lihat juga Ali Fikri, Kisah-Kisah Para
Imam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 76.
82
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.

51
Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan

mereka.

Al-Syafi’i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an

dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian

menghafal hadis. Ia menerima hadis dengan jalan membaca dari atas

tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke

tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat

dipakai.83

Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri

dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.

Ia pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari

bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Al-Syafi’i tinggal di

Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam

bidang syair yang digubah golongan Hudzail itu, amat indah susunan

bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain

panah. Dalam masa itu Al-Syafi’i menghafal al-Qur'an, menghafal hadis,

mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda

dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-

penduduk kota.

Al-Syafi’i belajar pada ulama-ulama Makah, baik pada ulama-ulam

fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh

dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya

83
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.

52
Muslim Ibn Khalid Az-Zamzi, menganjurkan supaya Al-Syafi’i bertindak

sebagai mufti. Sungguhpun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi

itu namun ia terus juga mencari ilmu.

Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama

besar yaitu Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana

dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Al-Syafi’i

ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia

lebih dahulu menghafal al-Muwatha’, susunan Malik yang telah

berkembang pada masa itu. Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk

belajar kepada Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur

Makah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di

samping mempelajari al-Muwatha’. Al-Syafi’i mengadakan mudarasah

dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu

Malik meninggal tahun 179 H, Al-Syafi’i telah mencapai usia dewasa dan

matang.84

2. Pendidikan dan Karir

Al-Syafi’i menerima fiqh dan hadis dari banyak guru yang masing-

masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat

berjauhan bersama lainnya. Ada di antara gurunya yang mu’tazili yang

memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana

yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Al-

84
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481.

53
Syafi’i menerima ilmunya dari ulama-ulama Makah, ulama-ulama

Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-ulama Yaman.

Ulama Makah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,

Mualim Ibn Khalid az-Zamzi, Said Ibn Salim al-Kaddlah, Daud Ibn abd-

Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid Ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad.

Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik Ibn

Annas, Ibrahim Ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz Ibn Muhammad ad-

Dahrawardi, Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad Ibn Said Ibn

Abi Fudaik, Abdullah Ibn Nafi’ teman Ibn Abi Zuwaib.

Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf Ibn

Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn abi Salamah, teman Auza’in dan

Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits.

Ulama-ulama Iraq yang menjadi gurunya ialah: Waki’ Ibn Jarrah,

Abu Usamah, Hammad Ibn Usamah, dua ulama Kuffah Ismail Ibn

‘Ulaiyah dan Abdul Wahab Ibn Abdul Majid, dua ulama Basrah. Juga

menerima ilmu dari Muhammad Ibn al-Hasan yaitu dengan mempelajari

kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari padanyalah

dipelajari fiqh Iraqi.85

Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H

Al-Syafi’i kembali ke Makah, dalam masjidil Haram ia mulai mengajar

dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam

membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka

85
Ibid, hlm, 486-487

54
menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah

tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197

H), dan akhirnya di Mesir 198-204 H). Dengan demikian ia sempat

membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan

bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang

terkenal ialah Imam Ahmad Bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Yusuf

Bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail Bin Yahya al-

Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi Bin Suliaman al-Marawi (174-270

H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting

dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Al-Syafi’i.86

Al-Syafi’i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30

Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak

orang. Kitab-kitab beliau hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan

makam beliau di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.87

3. Karya-karya Al-Syafi’i

Karya-karya Al-Syafi’i yang berhubungan dengan judul di atas di

antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Al-Syafi’i secara

sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam

Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Al-Syafi’i dalam berbagai

masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Al-Syafi’i yang

dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-

86
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm.1680.
87
Ibid, hlm. 18.

55
jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid

bersamaan dengan kitab usul fikih Al-Syafi’i yang berjudul Ar-Risalah.

Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir, kemudian

dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.

(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama

kali dikarang dan karenanya Al-Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu ushul

fiqh.88 (3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;89

Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab

tafsir dan sastra.90 Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan

sembilan puluh tujuh buah kitab dalam fiqih Syafi’i. Namun dalam

bukunya itu tidak diulas karya-karya Syafi’i tersebut.91 Ahmad Nahrawi

Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam al-Syafi'i

adalah Musnad li al-syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsuth, al-Risalah, dan al-

Umm.92

B. Pendapat Al-Syafi'i tentang Perkawinan Antar Agama

Al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm Juz V mengatakan, dihalalkan

menikahi wanita-wanita merdeka ahli kitab bagi setiap orang Islam. Karena

sesungguhnya Allah Ta'ala menghalalkan wanita-wanita tersebut, dengan

88
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132
89
Ahmad Asy Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144.
90
Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam
Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110
91
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186.
92
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
1977 217 - 219

56
tanpa kecuali. Menurut Syafi'i bahwa ia lebih menyukai, jikalau wanita-wanita

itu tidak dikawini oleh orang Islam. Dikabarkan kepada kami oleh Abdul-

majid dari Ibnu Juraij, dari Abiz-Zubair, bahwa sesungguhnya ia mendengar

Jabir bin Abdullah ditanyakan tentang pernikahan orang Islam dengan wanita

Yahudi dan wanita Nasrani. Maka beliau menjawab: "Kami menikahi wanita-

wanita itu pada zaman pembukaan (penaklukan) kota Kofah bersama Sa'ad

bin Abi Waqqash. Dan kami hampir tiada mendapati wanita-wanita Islam

yang banyak. Maka tatkala kami kembali, kami ceraikan (talaq) mereka".

Jabir bin Abdullah berkata ; "Wanita-wanita kitabi itu tiada mewarisi dari

orang Islam. Dan orang-orang Islam itu tiada mewarisi dari mereka. Wanita

mereka itu bagi kita halal dan wanita kita haram kepada mereka".93

Menurut Syafi'i, ahli kitab (yang berpegang dan beriman kepada kitab)

yang halal mengawini wanita-wanita mereka yang merdeka, ialah: ahli dua

kitab yang termasyhur : Taurat dan Injil. Mereka itu, ialah: orang Yahudi dan

orang Nasrani, tidak majusi. Orang Sabi-in dan Samiri itu dari Yahudi dan

Nasrani, yang halal mengawini wanita mereka dan memakan sembelihan

mereka. Kecuali, bahwa yang diketahui, mereka itu berselisih dengan ahli

kitab tersebut pada pokok yang mereka menghalalkan dari kitab dan yang

mereka mengharamkan. Maka haramlah mengawini wanita mereka,

sebagaimana haram mengawini wanita majusi. Dan mereka itu menta'wilkan,

lalu mereka itu berselisih. Maka tidak diharamkan oleh yang demikian akan

wanita mereka. Dan mereka itu daripadanya, yang halal mengawini wanita

93
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 5, hlm. 7

57
mereka, dengan yang halal mengawini wanita lain, dari orang yang tidak

lazim disebut nama Sabi,in dan Samiri. Tidak halal mengawini wanita-wanita

merdeka dari orang Arab, orang yang beragama dengan agama Yahudi dan

agama Nasrani. Karena asal agama mereka adalah agama yang benar.

Kemudian, mereka itu sesat dengan menyembah berhala. Sesungguhnya

mereka itu berpindah kepada agama ahli kitab sesudahnya itu. Tidak bahwa

mereka itu adalah orang-orang yang beragama dengan Taurat dan Injil, lalu

mereka itu sesat daripadanya. Dan mereka mengada-adakan padanya.94

Menurut Al-Syafi'i, saya tidak mengiranya dan yang lain, selain telah

disampaikan itu oleh Ali bin Abi Thalib ra., dengan isnad ini. Dikabarkan

kepada kami oleh Abdul Majid dari Ibnu Juraij, yang mengatakan: "kata Atha'

bahwa tidaklah Nasrani Arab itu ahli kitab. Sesungguhnya ahli kitab itu ialah

keturunan Bani Israil (dari agama Yahudi dan Nasrani) yang berpegang pada

Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada

Injil pada masa Nabi Isa. Adapun orang yang masuk pada mereka itu dari

orang banyak maka tidaklah mereka ini dari mereka itu".95

Dikawini wanita Islam atas wanita kitabi dan wanita kitabi atas wanita

Islam. Dikawini empat wanita kitabi, sebagaimana dikawini empat wanita

Islam. Wanita kitabi pada semua perkawinannya dan hukum-hukumnya yang

halal dan yang haram dengan wanita kitabi itu, adalah seperti wanita Islam.

Tiada berselisih pada sesuatu pun dan pada yang harus atas suami baginya.

Tidak dikawini wanita kitabi, selain dengan dua orang saksi, yang adil, yang

94
Ibid, hlm. 7.
95
Ibid, hlm. 8.

58
Islam dan dengan wali dari ahli agamanya, seperti wali wanita Islam. Boleh

pada agama mereka yang lain dari itu atau tidak boleh. Tidaklah saya

memandang padanya, selain kepada hukum Islam.

Kalau wanita kitabi itu kawin dengan perkawinan yang shah dalam

Islam dan itu pada mereka perkawinan yang batal. Maka adalah

perkawinannya itu shah. Tidak ditolak perkawinan wanita Islam dari sesuatu,

melainkan ditolak perkawinan wanita kitabi dari yang seperti demikian.

Tidak boleh perkawinan wanita Islam dengan sesuatu, melainkan

boleh perkawinan wanita kitabi dengan seperti yang demikian. Dan tidaklah

wali wanita dzimmi itu muslim. Walau pun dia itu bapak wanita tersebut.

Karena Allah Ta'ala memutuskan ke-wali-an di antara orang Islam dan orang

musyrik.

Rasulullah Saw. kawin dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Dan

wali akad nikahnya Ibnu Sa'id bin Al-'Ash (namanya Khalid). Dan dia ini

muslim.

Dan Abi Sufyan masih hidup, maka yang demikian menunjukkan

bahwa tak ada ke-wali-an di antara kerabat, apabila berbeda agama. Walau

pun dia itu bapak. Bahwa ke-wali-an itu dengan kerabat dan bersamaan

agama.96

Dibagikan waktu untuk isteri kitabi, seperti pembagiannya untuk isteri

Islam (1). Tidak ada perbedaan di antara keduanya. Bagi isteri kitabi, apa yang

96
Ibid, hlm. 8.

59
bagi isteri Islam. Dan bagi suami atas isteri kitabi, apa yang baginya atas isteri

Islam. Kecuali bahwa keduanya tiada pusaka-mempusakai, disebabkan

perbedaan agama. Kalau ia mentalakkan isteri kitabi atau ia me-illa'-kan atau

ber-dhihar atau ber-qadzaf (2), maka harus atas suami pada yang demikian itu

semua, apa yang harus atasnya pada isteri Islam. Kecuali, bahwa tiada

hukuman hadd atas orang yang ber-qadzaf kepada isteri kitabi. Dan dia itu

didera. Apabila suami mentalakkan isteri kitabi, maka boleh baginya ruju'

kepada isteri kitabi itu dalam iddah. Dan iddahnya, ialah iddah isteri Islam.

Kalau ditalakkannya isteri kitabi itu tiga talak, lalu isteri kitabi itu kawin

dengan orang lain sebelum lalu iddah dan dia disetubuhi, maka tidak halal dia

bagi suaminya yang pertama dahulu. Kalau isteri kitabi itu kawin dengan

perkawinan yang shah sesudah berlalu iddah, dengan seseorang suami

dzimmi. Lalu suami ini menyetubuhinya. Kemudian isteri itu diceraikan atau

suaminya yang kedua itu meninggal dan telah cukup iddahnya. Niscaya halal

isteri ini bagi suami pertama. Dihalalkan wanita itu bagi suami pertama oleh

setiap suami yang kedua yang telah menyetubuhinya, yang shah nikahnya.

Dan harus atas isteri itu iddah dan membatasi dirt karena kematian suami

(ihdad berkabung). Sebagaimana ada yang demikian itu atas isteri Islam.

Apabila isteri itu meninggal, maka kalau suami itu menghendaki, maka

ia menghadiri janazahnya, memandikan dan masuk ke kuburannya. Dan ia

tidak mengerjakan shalat kepada isterinya itu. Saya berpendapat makruh bagi

isteri memandikan suaminya, kalau suami itu yang meninggal. Kalau isteri itu

memandikan suaminya, maka memadailah pemandian isteri akan suami itu,

60
insya Allah Ta'ala.97 Bagi suami boleh memaksakan isterinya itu mandi dari

haid. Dan tidaklah bagi suami itu menyetubuhi isterinya, apabila sudah suci

dari haid, sehingga ia mandi. Karena Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

(222 :‫ﺮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳ ﹾﻄ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﺣﺘ‬ ‫ﻫﻦ‬ ‫ﻮ‬‫ﺮﺑ‬ ‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬
Artinya: "Janganlah dekati mereka, sebelum suci!". S. Al-Baqarah,
ayat 222.

Berkata sebagian ahli ilmu Al-Qur'an: "Sehingga engkau melihat suci".

Apabila wanita itu sudah bersuci, yakni: dengan air, kecuali bahwa ia berada

dalam bermusafir, yang ia tiada memperoleh air, maka ia bertayammum.

Apabila isteri itu dari orang yang halal baginya shalat dengan suci,

maka halallah isteri itu bagi suaminya. Bagi suami itu, menurut saya dan Allah

Ta'ala Yang Maha tahu dapat memaksakan isterinya untuk mandi dari janabat,

kepada kebersihan dengan menggantikan pakaian baru, mengerat kuku dan

membersihkan diri dengan air, tanpa ada janabat, selama tidaklah yang

demikian itu, dan isteri itu sakit - mendatangkan melarat baginya dengan air,

atau dalam kesangatan dingin, yang air itu mendatangkan melarat baginya.

Suami dapat melarangnya ke gereja, keluar kepada perayaan-perayaan

dan yang lain dari itu, daripada yang isteri itu bermaksud keluar kepadanya.

Apabila boleh bagi suami itu melarang isterinya yang Islam untuk pergi ke

masjid dan itu adalah benar, maka bagi suami itu pada isterinya yang Nasrani,

dapat melarang pergi ke gereja. Karena itu adalah perbuatan batil. Bagi suami

97
Ibid, hlm. 8.

61
dapat melarang isterinya meminum khamar. Karena minum itu

menghilangkan akal isteri.98 Dan melarangnya memakan daging babi, apabila

suami itu merasa jijik dengan daging babi itu. Melarangnya memakan yang

halal, apabila suami itu merasa terganggu dengan baunya, dari bawang putih

dan bawang merah, apabila tidak ada darurat (kepentingan) bagi isterinya

kepada memakannya. Kalau diumpamakan yang demikian dari yang halal,

yang tidak terdapat baunya, maka tidak boleh bagi suami melarangnya. Seperti

demikian juga, tidak boleh bagi suami melarang isterinyamemakai apa yang

dikehendakinya dari kain, selama ia tidak memakai kulit bangkai atau kain

yang berbau busuk, yang menyakiti oleh bau keduanya itu. Maka suami itu

melarang isterinya dari dua yang tersebut itu.

Apabila lelaki Islam mengawini wanita kitabi. Lalu wanita itu murtad

kepada agama majusi atau agama yang bukan agama ahli kitab. Maka kalau

wanita itu kembali kepada Islam atau kepada agama ahli kitab, sebelum

berlalu iddah. Maka kedua suami-isteri itu tetap atas perkawinan. Kalau isteri

itu tidak kembali kepada Islam, sehingga berlalu iddah. Maka sesungguhnya

telah putus ikatan di antara isteri itu dan suaminya. Tiada wajib nafkah bagi

isteri tersebut dalam iddah. Karena ia melarang dirinya bagi suami dengan

kemurtadan. Tidak dibunuh dengan sebab murtad, orang yang berpindah dari

agama kafir kepada agama kafir yang lain. Sesungguhnya yang dibunuh, ialah

orang yang keluar dari agama Islam ke agama syirik. Ada pun orang yang

98
Ibid, hlm. 8.

62
keluar dari agama yang batil ke agama yang batil, maka tidak dibunuh.99 la

dibuang dari negeri Islam, kecuali bahwa ia masuk Islam atau ia kembali

kepada salah satu agama yang diambil dari pemeluknya jizyah, Yahudi atau

Nasrani atau majusi. Lalu ia tetap dalam negeri Islam.

Kalau murtad wanita itu dari Yahudi ke Nasrani atau nasrani ke

Yahudi, Maka tidak haram isteri itu kepada suaminya, karena adalah patut

baginya bahwa ia memulai mengawini wanita itu, kalau adalah wanita tersebut

dari pemeluk agama yang ia keluar kepada agama itu. Kata Ar-Rabi' : "Yang

saya hafal dari perkataan Asy-Syafi'i r.a. bahwa beliau berkata : "Apabila

suami itu orang Nasrani. Lalu ia keluar kepada agama Yahudi, bahwa

dikatakan kepada suami itu : "Tidak boleh bagi engkau, bahwa mendatangkan

agama baru, yang tidaklah engkau pada agama itu sebelum turun Al-Qur'an.

Kalau engkau masuk Islam atau engkau kembali kepada agama engkau, yang

kami ambil dari engkau atas agama itu akan jizyah. Maka kami membiarkan

engkau. Kalau tidak, maka kami mengeluarkan engkau dari negeri Islam. Dan

kami serahkan engkau kepada diri engkau sendiri. Maka manakala kami

kuasai engkau, niscaya kami bunuh engkau". Qaul ini lebih disukai oleh Ar-

Rabi'.

Tidak boleh mengawinkan budak wanita kitabi dengan budak lelaki

muslim dan dengan orang lelaki merdeka, dengan hal apa pun. Karena yang

saya terangkan dari nash Al-Qur-an dan petunjuknya. Jenis mana pun dari

orang-orang musyrik, yang halal mengawini wanita-wanita mereka yang

99
Ibid, hlm. 9.

63
merdeka, maka halal menyetubuhi budak-budak wanita mereka dengan jalan

milik.100 Jenis mana pun yang haram mengawini wanita-wanita mereka yang

merdeka, maka haram menyetubuhi budak-budak wanita mereka dengan jalan

milik. Halal menyetubuhi budak wanita kitabi dengan jalan milik,

sebagaimana halal wanita-wanita mereka yang merdeka dengan perkawinan.

Tidak halal menyetubuhi budak wanita .musyrik yang bukan kitabi, dengan

jalan milik. Sebagaimana tidak halal mengawini wanita mereka.

Kalau adalah asal keturunan seorang budak wanita itu dari bukan ahli

kitab. Kemudian, budak wanita tersebut beragama dengan agama ahli kitab.

Niscaya tidak halal menyetubuhinya. Sebagaimana tidak halal mengawini

wanita-wanita merdeka dari mereka. Tidak halal mengawini budak wanita

kitabi bagi orang Islam, dengan hal apa pun. Karena budak wanita itu masuk

pada makna wanita musyrik yang diharamkan. Dan tidak halal itu dinashkan

dengan penghalalan. Sebagaimana dinashkan wanita-wanita merdeka ahli

kitab mengenai perkawinan. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala

menghalalkan perkawinan budak-budak wanita Islam itu dengan dua makna.

Sama saja bahwa tidak diperoleh oleh orang yang kawin itu akan perbelanjaan

yang cukup bagi wanita merdeka dan takut kepada perbuatan zina. Dan dua

syarat pada budak wanita Islam itu menunjukkan, bahwa pernikahan mereka

itu dihalalkan dengan suatu makna, tidak dengan suatu makna.

Pada yang demikian itu menunjukkan kepada pengharaman wanita-

wanita budak musyrik yang menyalahi dengan mereka. Dan Allah Yang Maha

100
Ibid, hlm. 9.

64
tahu. Karena Islam itu syarat ke tiga. Dan budak wanita musyrik itu keluar

daripadanya.101 Kalau seseorang mengawini budak wanita kitabi, maka adalah

perkawinan itu batal, yang dibatalkan atas lelaki itu, sebelum bersetubuh dan

sesudahnya. Kalau dia belum bersetubuh, maka tiada mas kawin bagi budak

wanita itu. Dan kalau sudah bersetubuh, maka bagi isteri tersebut mas kawin

yang sepertinya. Dan dihubungkan anak dengan yang mengawini dan dia itu

Islam. Dan dijualkan atas tanggungan pemiliknya kalau pemilik itu orang

kitabi. Kalau dia itu orang Islam, maka tidak dijual anak itu atas

tanggungannya. Kalau suami itu menyetubuhi budak wanita yang bukan

kitabi, maka dilarang suami itu kembali kepada isterinya itu, sudah

mengandung atau belum mengandung. Dan kalau sudah mengandung, lalu ia

melahirkan. Maka budak wanita itu menjadi gundiknya. Dan tidak halal

baginya menyetubuhinya, karena agamanya. Sebagaimana ada itu budak

wanitanya. Tidak halal baginya menyetubuhinya, karena agamanya. Apabila

lelaki itu meninggal, maka budak wanita tersebut menjadi merdeka dengan

kematiannya. Dan tidak boleh baginya menjual budak wanita tersebut. Tidak

boleh baginya mengawininya dan budak itu tidak menyukai. Dan ia menerima

pelayanannya, pada yang disanggupi oleh budak wanita tersebut. Sebagaimana

ia menerima pelayanan dari budak wanita yang lain.

101
Ibid, hlm. 9.

65
Kalau budak wanita itu mempunyai saudara perempuan, yang

merdeka, yang Islam. Maka halal bagi lelaki itu mengawini saudara

perempuan yang tersebut.102

Begitu juga kalau budak wanita itu mempunyai saudara perempuan

seibu yang merdeka, yang kitabi, yang bapaknya kitabi. Lalu ia membeli

saudara perempuan itu. Niscaya halal baginya menyetubuhi wanita itu dengan

jalan memilikinya sebagai budak. Dan tidaklah ini mengumpulkan diantara

dua wanita yang bersaudara. Karena penyetubuhan bagi wanita pertama itu,

yang dia itu bukan kitabi, adalah tidak boleh baginya. Sesungguhnya

mengumpulkan, ialah bahwa dikumpulkan diantara orang yang halal

penyetubuhannya atas sendiri-sendiri. Kalau budak wanita itu mempunyai

saudara perempuan se bapak, yang beragama dengan agama ahli kitab, niscaya

tidak halal wanita itu baginya dengan jalan milik. Karena keturunannya

kepada bapaknya. Dan bapaknya itu bukan kitabi.

Sesungguhnya saya memperhatikan pada yang halal dari wanita-

wanita musyrik itu kepada keturunan bapak. Tidaklah ini, seperti wanita, yang

Islam salah seorang dari ibu-bapaknya. Dan dia itu masih kecil. Karena Islam

tidak dapat dikongsikan oleh syirik. Dan syirik itu berkongsi dengan syirik.

Dan keturunan itu kepada bapak. Seperti demikian juga agama bagi bapak,

selama budak wanita itu belum dewasa.

Kalau saudara perempuannya sudah dewasa dan beragama dengan

agama ahli kitab. Dan bapaknya watsani atau majusi. Maka tidak halal

102
Ibid, hlm. 9.

66
menyetubuhinya dengan milik perbudakan. Sebagaimana tidak halal

menyetubuhi wanita watsani, yang berpindah kepada agama ahli kitab.

Karena asal agamanya itu bukan agama ahli kitab, kalau ia mengawini

budak wanita kitabi dan budak wanita ini mempunyai saudara perempuan,

yang merdeka, yang kitabi atau Islam.103 Kemudian lelaki itu mengawini

saudara perempuan wanita tersebut, yang merdeka, sebelum bercerai antara

dia dan budak wanita kitabi itu. Niscaya adalah perkawinan wanita merdeka

yang Islam atau yang kitabi itu boleh. Karena itu halal, yang tidak dibatalkan

oleh pernikahan budak wanita yang kitabi, yang dia itu saudara perempuan

wanita yang dinikahi sesudahnya. Karena pernikahan dengan wanita yang

pertama itu bukan perkawinan. Dan kalau disetubuhinya, maka adalah seperti

yang demikian. Karena persetubuhan itu pada perkawinan yang batal.

Hukumnya tidak mengharamkan akan sesuatu. Karena wanita itu bukan isteri

dan tidak yang dimiliki dengan jalan budak. Lalu mengharamkan

dikumpulkan di antaranya dan saudara perempuannya.

Kalau orang mengawini seorang wanita, dengan syarat bahwa wanita

itu Islam. Tiba-tiba wanita tersebut itu kafir kitabi. Maka boleh bagi lelaki

tersebut membatalkan perkawinan, dengan tanpa membayar setengah mas

kawin. Kalau ia mengawininya dengan syarat bahwa wanita itu kitabi, lalu

tiba-tiba wanita itu Islam. Maka tidak boleh bagi lelaki tersebut membatalkan

perkawinan. Karena wanita Islam itu lebih baik dari wanita kitabi. Kalau ia

mengawini seorang wanita dan ia tidak mengabarkan bahwa wanita itu Islam

103
Ibid, hlm. 9.

67
atau kitabi. Lalu tiba-tiba wanita itu kitabi. Dan ia berkata : "Sesungguhnya

saya mengawininya, dengan syarat wanita itu Islam. Maka yang didengar ialah

perkataan lelaki itu. Baginya boleh melakukan pilihan. Dan atasnya sumpah

akan apa yang dikawininya. Dan ia mengetahuinya wanita kitabi.104

Al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm Juz IV mengatakan,

‫ﺪ ﲢﻞ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﲝﺎﻝ ﻭﻫﻰ ﺃﻥ‬ ‫ﺍﳌﺴﻠﻤﺔ ﻻ ﲢﻞ ﳌﺸﺮﻙ ﲝﺎﻝ ﻭﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﳌﺸﺮﻛﺔ ﻗ‬


105
‫ﺗﻜﻮﻥ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ‬
Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu
kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam
dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

Pada halaman lain, Al-Syafi’i mengatakan:

‫ﻣﻦ ﺩﺍﻥ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺎﺑﺌﲔ ﻭﺍﻟﺴﺎﻣﺮﺓ ﺃﻛﻠﺖ ﺫﺑﻴﺤﺘﻪ ﻭﺣﻞ‬
106
‫ﻧﺴﺎﺅﻩ‬
Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan
sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.

C. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i

Al-Syafi’i menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam karya

monumental yang berjudul al-Risalah. Di samping dalam kitab tersebut,

dalam kitabnya al-Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh

sebagai pedoman dalam ber istimbath. Di atas landasan ushul fiqh yang

104
Ibid, hlm. 9.
105
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287
106
Ibid, hlm. 289

68
dirumuskannya sendiri itulah ia membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang

kemudian dikenal dengan mazhab Syafi’i. Menurut Al-Syafi’i “ilmu itu

bertingkat-tingkat”, sehingga dalam mendasarkan pemikirannya beliau

membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai berikut:

1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW

apabila telah tetap kesahihannya.

2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam

al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang

menyalahinya.

4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.

5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.107

Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari

beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.

Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih di atas dari tingkatan-

tingkatan tersebut.

Nukilan otentik dari Al-Syafi’i ini (dalam kitab al-Risalah)

menjelaskan landasannya dalam berfatwa. Seperti halnya pada mazhab

lainnya, bagi Al-Syafi’i Al-Qur’an adalah sumber pertama dan utama dalam

membangun fiqih, kemudian sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji

kesahihannya.

107
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, al-Umm. Juz 7, Dar al-
Kutub, Ijtimaiyah, Beirut, Libanon, tt, hlm. 246

69
Dalam urutan sumber hukum di atas, Al-Syafi’i meletakkan sunnah

sejajar dengan al-Qur’an pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa

penting sunnah dalam pandangan Al-Syafi’i sebagai penjelasan langsung dari

keterangan-keterangan dalam al-Qur’an.

Masdar-masdar istidlal108 walaupun banyak namun kembali kepada

dua dasar pokok yaitu: al-kitab dan as-sunnah. Akan tetapi dalam sebagian

kitab Al-Syafi’i, dijumpai bahwa as-sunnah tidak semartabat dengan al-kitab.

Mengapa ada dua pendapat Al-Syafi’i tentang ini.109

Al-Syafi’i menjawab sendiri pertanyaan ini. Ia berkata; al-kitab dalam

as- sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua sumber

yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah as-sunnah

semartabat dengan al-Qur’an. Pandangan Al-Syafi’i sebenarnya adalah sama

dengan pandangan kebanyakan sahabat.110 Al-Syafi’i menetapkan bahwa as-

Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an. Namun demikian,

tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari nabi

semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan as-Sunnah semartabat dengan al-

kitab pada saat mengistimbathkan hukum, tidak memberi pengertian bahwa

as-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam menetapkan aqidah. Orang yang

mengingkari hadis dalam bidang aqidah, tidaklah dikafirkan.

Al-Syafi’i menyamakan as-Sunnah dengan al-Qur’an dalam

108
Masdar berarti sumber, sedang istidlal artinya mengambil dailil, menjadikan dalil,
berdalil. Lihat TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT Putaka
Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 588, dan 585.
109
Ibid, hlm. 239.
110
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, al-Risalah, Mesir: al-
Ilmiyah, 1312H. hlm. 32.

70
mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa as-Sunnah bukan merupakan

cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an

hendaklah mengambil al-Qur'an. Al-Syafi’i menetapkan bahwa al-Qur'an

adalah kitab yang diturunkan dalam bahasa Arab yang murni, yang tidak

bercampur dengan bahasa-bahasa lain.

Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya kedua sumber hukum

hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah karena Al-Qur'an

memiliki kebenaran yang mutlak dan as-sunnah sebagai penjelas atau

ketentuan yang memerinci Al-Qur'an.

Ijma menurutnya adalah kesepakatan para mujtahid di suatu masa,

yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum muslimin.

Oleh karena ijma itu baru mengikat bilamana disepakati seluruh para mujtahid

di suatu masa, maka dengan gigih Al-Syafi’i menolak ijma penduduk

Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya sebagian

kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu. Alasan Al-Syafi’i menolak

ijma penduduk Madinah adalah karena ijma harus merupakan kesepakatan

dari seluruh umat Islam yang tidak hanya terbatas pada satu negara apalagi

hanya satu kota. 111

Al-Syafi’i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah SAW

dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat,

111
Menurut Abd Wahab Khalaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah
kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah
SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Lihat Abd Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul
al-Fiqh, Maktabah al-Wal-Matbaah al-Islamiyah, Syabab al-Azhar, Jakarta: 1410 H/1990M.
hlm.45.

71
apalagi yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Al-Syafi’i berkata:112

   ‫راء    رء‬

Artinya: Pendapat para sahabat lebih baik dari pendapat diri kita
sendiri

Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam

sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya ia

melakukan ijtihad. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu

mengangkat kandungan al-Qur'an dan sunnah rasulullah SAW secara lebih

maksimal ke dalam bentuk siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian

penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Al-Syafi’i

adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Al-

Syafi’i pernah mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk

berijtihad dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an

dan as-Sunnah”. Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah

qiyas.

Al-Syafi’i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam

menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia

membuat kriteria bagi istimbath-istimbath yang salah. Ia menentukan batas-

batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan

dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas.

Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam

istimbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Al-
112
TM. Hasbi Ash shiddieqy, op. cit, hlm. 271.

72
Syafi’i merupakan orang pertama dalam menerangkan hakikat qiyas. Al-

Syafi’i sendiri tidak membuat ta’rif qiyas. Akan tetapi penjelasan-

penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan

hakikat qiyas, yang kemudian dibuat ta’rifnya oleh ulama ushul.113

Terhadap istihsan, Al-Syafi’i hanya membenarkan qiyas saja dari

antara cara-cara ijtihad, ia menolak istihsan. Khusus mengenai istihsan ia

mengarang kitab yang berjudul Ibthalul Istikhsan. Dalil-dalil yang

dikemukakan Al-Syafi’i untuk menolak istihsan, disebutkan dalam kitab ini,

kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan dalam al-Umm. Kesimpulan yang dapat

ditarik dari uraian-uraian Al-Syafi’i, ialah setiap ijtihad yang tidak bersumber

al-kitab, as-Sunnah, atsar atau ijma’ atau qiyas dipandang istihsan, dan ijtihad

dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.114 Jadi alasan Al-Syafi’i

menolak istihsan adalah karena kurang bisa dipertanggungjawabkan

kebenarannya.115

Dalil hukum lainnya yang digunakan Al-Syafi’i adalah maslahah

mursalah, yaitu yang mutlaq, menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah:

suatu kemaslahatan di mana syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk

merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas

113
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, al-Risalah, op.cit, hlm.
477-497.
114
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, al-Risalah, op.cit, hlm.
146.
115
Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Perkataan “ijtihad” tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan
susah payah. Menurut istilah ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syari’at. Lihat A. Hanafie, ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya,
2001, hlm.151. lihat juga Abd Wahab kalaf, op.cit, hlm. 216

73
pengakuannya atau pembatalannya.116

Dalam kaitannya dengan perkawinan antar agama, khususnya

mengenai makna ahlul kitab dalam versi al-Syafi'i, ia menggunakan metode

istinbath hukum yaitu Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5.

‫ﺣ ﱞﻞ‬ ‫ﺏ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻡ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻃﻌ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺒ‬‫ﻢ ﺍﻟﻄﱠﻴ‬ ‫ﺣﻞﱠ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻡ ﹸﺃ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬
‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬
 ‫ﺤ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺣ ﱡﻞ ﻟﱠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻣ ﹸﻜ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻃﻌ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻟﱠ ﹸﻜ‬
‫ﻢ ﹺﺇﺫﹶﺍ‬ ‫ﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﺏ ﻣ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬
 ‫ﺤ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻭ‬
‫ﻱ‬‫ﺨﺬ‬
 ‫ﻣﺘ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﲔ‬
‫ﺤ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﲔ ﹶﻏ‬
 ‫ﺼﹺﻨ‬
 ‫ﺤ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﻫﻦ‬ ‫ﻮﺭ‬‫ ﹸﺃﺟ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻮ‬‫ﺘﻤ‬‫ﻴ‬ ‫ﺗ‬‫ﺁ‬
‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻲ ﺍﻵ‬‫ﻮ ﻓ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻤ ﹸﻠ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻂ‬
‫ﺣﹺﺒ ﹶ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻥ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺑﹺﺎ ِﻹﳝ‬ ‫ﻳﻜﹾ ﹸﻔ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺍ‬‫ﺧﺪ‬ ‫ﹶﺃ‬
(5 :‫ﻦ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬ ‫ﺳﺮﹺﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﺨ‬ ‫ﻣ‬
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.
Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagi
mereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah
amalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orang
yang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa para ahli tafsir dan para

ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat wal muhsanâtî minal lazîna

ûtul kitâb min qablikum menurut Ibnu Jarir yang dimaksud dengan muhsanat

adalah wanita baik-baik dari ahli kitab baik merdeka atau budak. Imam Syafi'i

116
Abd Wahab Khalaf, ‘Ilm ushul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dak’wah al-
Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410 H/1990M. hlm. 84. Cf. Sobhi Mahmassani, op.cit, hlm.184.

74
yang dimaksud ahli kitab di sini adalah wanita baik-baik dari Bani Israil. Dan

menurut yang lain muhsanat adalah wanita ahli kitab yang baik-baik tadi yang

merupakan penduduk Negeri Islam (Kafir Zimmi),117 karena berdasarkan

firman Allah yang mengatakan:

‫ﺧ ﹺﺮ‬ ‫ﻮ ﹺﻡ ﺍﻵ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑﹺﺎﹾﻟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑﹺﺎﻟﻠﹼ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻳ‬‫ﺗﻠﹸﻮﹾﺍ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻗﹶﺎ‬
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak pula pada hari kemudian.118

117
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm., Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1978, Juz 6, hlm. 252.
118
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 282.

75
BAB IV

ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG

PERKAWINAN ANTAR AGAMA

C. Pendapat Al-Syafi'i tentang Perkawinan Antar Agama

Perkawinan antaragama dapat terjadi antara

3. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik

"ahlulkitab" maupun musyrik.

4. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik

ahlulkitab maupun musyrik.

Dalam konteksnya dengan perkawinan antaragama, Allah berfirman

dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:

‫ﻦ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻣ ﹲﺔ‬ ‫ﻭ َﻷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺸ ﹺﺮﻛﹶﺎ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻜﺤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺗ‬
(221 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬... ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬‫ﺒ‬‫ﺠ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ ﹶﻛ‬
 ‫ﻣ‬
Artinya: Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu… (Q.S. al-Baqarah:
221).

Terhadap ayat ini, Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Jalaluddin as-

Suyuti menjelaskan tentang Asbab an Nuzul Surat al-Baqarah ayat 221: di

ketengahkan oleh Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi dari Muqatil,

katanya: ayat ini diturunkan mengenai Ibnu Abu Marsad al-Ganawi yang

meminta izin kepad Nabi Muhammad SAW untuk mengawini seorang wanita

musyrik yang cantik dan mempunyai kedudukan tinggi. Maka turunlah ayat

76
119
ini. Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Kasir dijelaskan tentang tafsir surat

al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut: melalui ayat ini Allah mengharamkan

atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan

penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum,

berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan

wasaniyah. Akan tetapi dikecualikan dari hal tersebut wanita ahli kitab oleh

Firmannya dalam surah al-Ma’idah ayat 5.120

Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama

Islam dan laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun

ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat hukumnya tidak sah. Alasannya

adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2) ayat 221

2. Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan

musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah.

Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah

(2) ayat 221. Namun ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang

disebut perempuan musyrik itu.

3. Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama Islam dan

perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat di

antara ulama fikih, namun jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan

laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah

119
Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Kairo:
Dar al-Fikr, t.th, juz 1, hlm. 6
120
Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-
‘Azhim, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, juz 2, Cairo, tth, hlm. 417

77
pertama, penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an dalam surah al-

Ma'idah ayat 5 dan kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang

menjelaskan bahwa sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun

hukumnya makruh.

Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-

laki beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda

pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri.

Dengan demikian persoalan yang paling menonjol sehingga

menimbulkan perbedaan pendapat dalam kasus perkawinan antar agama

adalah masalah makna istilah “ahli Kitab” dan “Musyrik:”

Menurut Al-Syafi'i, yang termasuk ahlul kitab adalah orang-orang

Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-

bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi dan atau Nasrani. Di antara

alasan yang diajukan adalah

(3). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang

bangsa Israel; dan

(4). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5) ayat

5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.

Pendapat al-Syafi'i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada

intinya menyatakan:

78
‫ﻣﻦ ﺩﺍﻥ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺎﺑﺌﲔ ﻭﺍﻟﺴﺎﻣﺮﺓ ﺃﻛﻠﺖ ﺫﺑﻴﺤﺘﻪ ﻭﺣﻞ‬
121
‫ﻧﺴﺎﺅﻩ‬
Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan
sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.122

‫ﺪ ﲢﻞ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﲝﺎﻝ ﻭﻫﻰ ﺃﻥ‬ ‫ﺍﳌﺴﻠﻤﺔ ﻻ ﲢﻞ ﳌﺸﺮﻙ ﲝﺎﻝ ﻭﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﳌﺸﺮﻛﺔ ﻗ‬


123
‫ﺗﻜﻮﻥ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ‬
Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu
kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam
dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

Dalam perspektif Imam al-Syafi’i bahwa perempuan ahlul kitab yang

halal dinikahi oleh orang muslim ialah perempuan yang menganut agama

Nasrani atau Yahudi sebagai agama keturunan dari orang–orang (nenek

moyang mereka) yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi

Muhammad dibangkitkan menjadi Rasul (yakni sebelum al-Qur’an

diturunkan. Tegasnya dalam pandangan al-Syafi’i bahwa orang yang baru

menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah al-Qur’an diturunkan, tidaklah

dianggap ahlul kitab, karena terdapat perkataan min qablikum (dari sebelum

kamu) dalam ayat 5 surah al-Maidah. Perkataan min qablikum tersebut

menjadi qayid bagi ahlul kitab yang dimaksud. Jalan pikiran al-Syafi’i ini

121
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287 dan 289
122
Sabi'in adalah nama golongan yang mengikuti nabi-nabi zaman dahulu. Sedangkan
Samiri adalah nama suatu suku dari bangsa Israil.
123
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287

79
mengakui ahlul kitab itu bukan karena agamanya, tetapi karena menghormati

keturunannya.

Dalam kaitan ini, penulis di satu segi kurang sependapat dengan

pendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.

Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka

orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah

turunnya al-Qur’an maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,

konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-

perempuan mereka.

Di segi lain, penulis setuju dengan pendapat al-Syafi’i yang

membolehkan pria muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab. Alasan

penulis setuju karena surah al-Maidah ayat 5 merupakan petunjuk yang qath’i

(tegas) tentang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab. Dengan kata lain,

menikahi wanita ahlul kitab boleh karena ayat ke-5 dari al-Maidah itu secara

qath'i (tegas) menyatakan kehalalannya.

Kata al-Zamakhsyari, ayat /


. 1ِ ْ3ُ 5.68
َ ‫ت‬
ِ
َ‫< ِ;آ‬
ْ ُ ْ ‫> &َ ِ =ُاْ ا‬
َ ‫ َو‬dinasikhkan

oleh ayat 5 dari al-Maidah itu. Ini pendapat orang yang menganggap ahli kitab

termasuk musyrik, sesuai dengan penegasan ayat 72 dari al-Maidah yang

berbunyi:

‫ﻦ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻧ‬‫ﻢ ﹺﺇ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻲ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﹾﺍ ﺍﻟﹼﻠ‬‫ﺒﺪ‬‫ﻋ‬ ‫ﻴ ﹶﻞ ﺍ‬‫ﺍﺋ‬‫ﺳﺮ‬ ‫ﺑﻨﹺﻲ ﹺﺇ‬ ‫ﺎ‬‫ﺢ ﻳ‬ ‫ﻤﺴِﻴ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﹾﻟ‬ ...
(72 :‫) ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬...‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻩ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻭﺍ‬ ‫ﻣ ﹾﺄ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ‬‫ﺠ‬  ‫ﻪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋﻠﹶﻴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻡ ﺍﻟﹼﻠ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻪ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ‫ﻙ ﺑﹺﺎﻟﻠﹼ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﻳ‬

80
Artinya: ... Isa al-Masih berkata: "Hai Bani Israil sembahlah Allah
[yaitu] Tuhanku dan Tuhanmu; Sesungguhnya siapa saja
menyekutukan Allah, maka Allah telah mengharamkannya
masuk surga; dan tempatnya adalah neraka...) (Q.S. al-
Maidah: 72)

Tapi bagi orang yang menganggap bahwa ahli kitab tidak termasuk

musyrik agaknya mereka akan berkata, bahwa syirik dalam al-Maidah 72 ini

berkonotasi umum atau pengertian syirik secara lughawi bukan pengertian

secara khusus yang penyembah berhala seperti tampak dalam al-Bayyinah: 1,

al-Hajj: 17 ataupun al-Maidah 82. Adapun al-Baqarah: 221 menurut mereka

membicarakan kaum musyrik selain ahli kitab; sedangkan al-Maidah: 5,

menjelaskan hukum perkawinan khusus mengenai ahli kitab. Menurut jumhur

ulama, ahli kitab ialah kaum Yahudi dan Nasrani, sementara musyrik ialah

para penyembah berhala. Pemilahan pengertian ini berawal dari redaksi ayat

Al-Qur'an sendiri yang menyebut kaum musyrik tersendiri di samping kaum

ahli kitab, yang dihubungkan dengan huruf 'athf (waw), yang menurut kaidah

bahasa Arab, antara lain menunjukkan bahwa mathuf berlainan dari

ma'thuf'alaih, sebagaimana tampak di dalam ayat-ayat berikut:

‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻨ ﹶﻔ ﱢﻜ‬‫ﲔ ﻣ‬
 ‫ﻛ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺏ ﻭ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻫ ﹺﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳ ﹸﻜ ﹺﻦ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﻟ‬
(1 :‫ﺔ )ﺍﻟﺒﻴﻨﺔ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺒ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﺗ ﹾﺄ‬
Artinya: Dan orang-orang kafir di antara ahli kitab (Yahudi, Nasrani)
dan orang-orang yang musyrik tidak mau meninggalkan
agama mereka sehingga datang keterangan kepada mereka
(Q.S. al-Bayyinah: 1).

81
‫ﺮﻛﹸﻮﹾﺍ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﺩ ﻭ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹰﺓ ﱢﻟﱠﻠﺬ‬ ‫ﺍ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﺪ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺪ ﱠﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﺠ‬
‫ﺘ ﹺ‬‫ﹶﻟ‬
‫ﺎ‬‫ﻮﹾﺍ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﻦ ﻗﹶﺎﹸﻟ‬ ‫ﻳ‬‫ﻮﹾﺍ ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﺩ ﹰﺓ ﱢﻟﱠﻠﺬ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺑ‬‫ﺮ‬ ‫ﺪ ﱠﻥ ﹶﺃ ﹾﻗ‬ ‫ﺠ‬ ‫ﺘ ﹺ‬‫ﻭﹶﻟ‬
(82 :‫)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬...‫ﻯ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻧﺼ‬
Artinya: Sesungguhnya kamu [Muhammad] niscaya menemukan
orang-orang yang sangat keras memusuhi orang-orang
beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik
(mempersekutukan Allah). Dan kamu menemukan pula
orang-orang yang kasih kepada orang-orang yang beriman,
yaitu orang-orang yang berkata, "Kami adalah orang-orang
Nasrani ...") (Q.S. al-Maidah: 82)

‫ﺱ‬ ‫ﻮ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻨﺼ‬‫ﺍﻟ‬‫ﲔ ﻭ‬  ‫ﺌ‬‫ﺎﹺﺑ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻦ ﻫ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟﺬ‬
‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛ ﱢﻞ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺔ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻘﻴ‬ ‫ﻡ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﺑﻴ‬ ‫ﺼ ﹸﻞ‬
 ‫ﻳ ﹾﻔ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺮﻛﹸﻮﺍ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻭ‬
(17 :‫ﺪ )ﺍﳊﺞ‬ ‫ﺷﻬﹺﻴ‬ ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman dan orang-orang Yahudi,
orang-orang Shabi'in (penyembah bintang), orang-orang
Nasrani dan Majusi, begitu pun orang-orang yang
mempersekutukan Allah sungguh Allah bakal memberikan
keputusan yang tegas di antara mereka pada hari kiamat.
Adalah Allah saksi pada tiap-tiap sesuatu (Q.S. al-Hajj: 17).

Di dalam ayat-ayat yang dinukilkan di atas tampak dengan jelas

berbagai golongan dan aliran agama yang dianut umat manusia. Pada urutan

pertama disebutkan kaum Yahudi, musyrik, Nasrani; dan pada urutan ketiga

lebih banyak lagi disebutkan, mulai dari kaum Yahudi terus Shabi'in, Nasrani,

Majusi, dan terakhir kaum musyrik. Akhir ayat ketiga Tuhan tutup dengan

suatu pernyataan tegas bahwa Dia akan memberikan keputusan di antara

mereka kelak pada hari kiamat. Seandainya mereka berada pada posisi yang

sama, tentu pernyataan Tuhan yang terakhir itu tidak diperlukan.

82
Jadi berdasarkan pola susunan redaksi ayat dan ditambah pula dengan

pernyataan Tuhan yang tercantum pada akhir ayat ketiga itu, maka dapat

disimpulkan bahwa masing-masing golongan itu mempunyai perbedaan

meskipun sama-sama kufur. Sekiranya mereka mempunyai status yang sama

di sisi Allah, tentu pernyataan tersebut tak akan diberikan, sebagaimana tak

perlu menyebutnya satu persatu melainkan cukup dengan sebutan kafir atau

musyrik saja. Dengan demikian maka kaum Shabiin dan Majusi, misalnya,

tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang musyrik

(‫;آُا‬
َ@
ْ ‫ َأ‬/
َ ِB .‫ ) وَا‬yang disebut Allah bersama dengan dua kelompok itu pada

ayat ketiga tersebut.

Sekarang muncul persoalan berikutnya: jika mereka tidak musyrik

apakah mereka mempunyai nabi dan kitab suci? Memang tidak ada

keterangan yang tegas tentang itu. Tapi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,

cenderung berpendapat bahwa mereka dulunya mempunyai kitab dan nabi.

Namun karena masanya telah terlalu lama dan jarak mereka dari nabi tersebut

sangat jauh, maka kitab aslinya tidak dapat diketahui lagi.124 Pendapat ini

didasarkannya pada firman Allah berikut:

(24 :‫ﺮ)ﻓﺎﻃﺮ‬ ‫ﻳ‬‫ﻧﺬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺔ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﺧﻠﹶﺎ ﻓ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﹸﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺇﹺﻥ‬ ...
Artinya: "... Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada pada
mereka seorang pemberi peringatan. " (Fathir: 24)

(7 :‫ﺩ )ﺍﻟﺮﻋﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹴﻡ ﻫ‬ ‫ﻟ ﹸﻜ ﱢﻞ ﹶﻗ‬‫ﻭ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﻨ‬‫ﺖ ﻣ‬


 ‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻧﻤ‬‫ ﹺﺇ‬...
124
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Kairo: Maktabah al-Qahirah,
cet. Ke-4, 1380 H, juz VI, hlm. 186-187.

83
Artinya: "... Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi
peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi
petunjuk." (al-Ra'd: 7)

‫ﺪ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬ ‫ﻴ ﹺﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺒ ﹸﻞ ﹶﻓﻄﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﺏ ﻣ‬


 ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻮﺍ ﻛﹶﺎﱠﻟﺬ‬‫ﻳﻜﹸﻮﻧ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬...
(16 :‫ﺳﻘﹸﻮ ﹶﻥ )ﺍﳊﺪﻳﺪ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﲑ‬ ‫ﺜ‬‫ﻭ ﹶﻛ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺑ‬‫ﺖ ﹸﻗﻠﹸﻮ‬
 ‫ﺴ‬
 ‫ﹶﻓ ﹶﻘ‬
Artinya: "... Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepada mereka,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka,
adalah orang-orang yang fasik." (al-Hadid: 16)

:‫) ﻏﺎﻓﺮ‬...‫ﻚ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬
 ‫ﺼ‬
 ‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻣ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻠ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﻼ ﻣ‬
‫ﺳ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺳ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ ﹶﻘ‬
(78
Artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul
sebelum kamu, di antara mereka, ada yang telah Kami
ceritakan kepadamu dan ada pula yang tidak pernah Kami
ceritakan kepadamu ..." (Ghafir: 78)

Andaikata pemahaman Ridha itu benar, maka pengertian syirik

menjadi sangat sempit; tidak seperti pemahaman Ibn 'Umar, bahwa selain

mukmin adalah musyrik; sebagaimana telah dijelaskan. Namun bila dikaitkan

dengan kajian skripsi ini (perkawinan antar agama), maka timbul pertanyaan:

apakah seorang muslim boleh menikahi wanita non muslim selain ahli kitab

yang tidak disebutkan oleh Al-Qur'an dan sebaliknya?

Timbul berbagai pendapat dalam menetapkan kasus tersebut. Hal itu

membuktikan bahwa para ulama tidak mempunyai kata sepakat (ijma') atas

pengertian lafal (/
َ +ِ‫< ِ;آ‬
ِ ُ ْ ‫ ) ا‬dan ‫ب‬
َ
َ6 ِ ْ ‫ أُو&ُا ا‬/
َ ِB .‫َا‬. Apakah mencakup semua

mereka yang ingkar kepada Nabi Muhammad atau tidak? Ataukah ayat itu

juga menunjuk kepada pemeluk-pemeluk agama non Islam secara umum?

84
Tidak dijumpai penjelasan yang tegas dalam hal ini. Kondisi inilah yang

membuat munculnya berbagai pendapat di kalangan ulama. Dengan demikian

tidak dapat disalahkan bila ada di antara ulama yang mengatakan bahwa lafal

itu ditujukan kepada kaum musyrik dari bangsa Arab yang menyembah

berhala; kemudian dikiaskan kepadanya para penganut agama (aliran) lain

yang juga tak mempunyai nabi dan kitab suci atau yang semisalnya,

sebagaimana dapat dikiaskan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, para pemeluk

agama-agama lain yang tidak diketahui lagi asal-usul kitab suci mereka seperti

para penganut Majusi, dan lain-lain. Qatadah, seorang tokoh mufasir di

kalangan tabi'in sebagai dikutip Ridha, memang berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan musyrik di dalam ayat itu ialah bangsa Arab (penyembah

berhala) yang ada pada waktu Al-Qur'an diturunkan.125

Oleh karena itu, tulis Ridha lagi, ayat: 5.68


َ ‫ت‬
ِ
َ‫< ِ;آ‬
ْ ُ ْ ‫> &َ ِ =ُاْ ا‬
َ ‫َو‬

/
. 1ِ ْ3ُ tidak tegas melarang menikahi wanita-wanita musyrik selain bangsa Arab

seperti Cina (penganut Kong Hu Cu, Budha, dan lain-lain).126 Asbab (latar

belakang) turun ayat 221 dari al-Baqarah memang berkenaan dengan wanita

musyrik bukan ahli kitab, yang hendak kawin dengan seorang pria muslim,

Abu Martsad al-Ghanawi; lalu turunlah ayat tersebut melarangnya.

Jika "khusus sebab" itu saja yang dijadikan dasar dalam menetapkan

suatu hukum, maka memang masuk akal bahwa yang diharamkan Tuhan

mengawininya adalah wanita-wanita musyrik di kalangan bangsa Arab saja

125
Ibid., hlm. 190
126
Ibid.,

85
ketika Al-Qur'an diturunkan. Itu berarti, sekarang tidak haram lagi menikahi

wanita-wanita musyrik. Agaknya pemahaman serupa ini terlalu longgar.

Apabila umat Islam menganut sikap ini, maka budaya permissive

(serba boleh) yang diterapkan di Barat akan melanda kehidupan Timur (Islam)

yang tenang dan damai. Akibatnya akan menimbulkan kerancuan tatanan

sosial dan kerawanan di tengah masyarakat. Dampak semua ini dapat

menghancurkan masa depan umat Islam itu sendiri.

Untuk mengantisipasi pemahaman yang demikian, maka dalam

menafsirkan suatu ayat berbagai disiplin ilmu perlu diperhatikan. Di samping

menguasai bahasa Arab, kaidah-kaidah, dan balaghah serta aspek-aspek yang

berhubungan dengannya, seorang mufasir diharuskan pula menguasai ilmu

ushul fikih dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya, Dalam kajian di sini,

misalnya, kaidah: DّEF ‫ص ا‬H=I> J)K ‫م ا‬#I ‫;ة‬E# ‫ا‬

Artinya: Yang menjadi ukuran ialah umum lafal, bukan khusus sebab.

Kalau kaidah ini diterapkan terhadap ayat 221 maka konotasi kata

syirik menjadi amat luas, sehingga masuklah ke dalamnya penganut agama

(aliran) Majusi, penyembah berhala, penganut animisme, Budhisme,

Hinduisme, Shintoisme, dan sebagainya. Apakah para pemeluk agama atau

aliran itu dianggap musyrik sehingga terlarang bagi pria muslim, mengikat

perkawinan dengan wanita-wanita mereka?

Sebagian ulama seperti Ridha, sebagaimana telah disebut, memang

menganggap mereka masuk golongan ahli kitab. Namun generasi salaf dan

pada umumnya ulama menyatakan mereka bukan ahli kitab karena tak ada

86
ketegasan dari Al-Qur'an tentang hal itu; sementara kaum Yahudi dan Nasrani

dengan tegas dinyatakan Allah sebagai ahli kitab seperti dijumpai di dalam

berbagai ayat Al-Qur'an mereka disebut dengan panggilan "ahli kitab".

Berdasarkan pendapat ulama salaf dan jumhur itu, maka Ibrahim

Husen menyatakan bahwa pemeluk agama non Islam seperti Hindu, Budha,

Kong Hu Cu, Shinto, dan Aliran Kepercayaan di Indonesia, sama statusnya

dengan Majusi. "Dus menikahi wanita-wanita mereka [bagi pria muslim]

adalah hal terlarang". Untuk mendukung pendapatnya itu, Ibrahim Husen

mengutip isi surat Rasul Allah kepada orang-orang Majusi. Antara lain

berbunyi: "Jika kamu menolak, kamu diwajibkan membayar fidyah dan

tidaklah halal bagi kami sembelihanmu, dan menikahi wanita-wanitamu." Di

dalam surat ini mereka tidak disebut 'ahli kitab'; padahal suratnya kepada

Kisra Rumawi, memanggilnya dengan sebutan 'ahli kitab'.

Di samping berbagai pendapat itu, ada pendapat lain dari ulama

Syafi'iyah yang menegaskan bahwa wanita-wanita ahli kitab yang halal

dinikahi itu ialah keturunan dari nenek moyang mereka yang memeluk agama

tersebut sebelum Muhammad saw ada/diutus. Tegasnya mereka yang

memeluknya setelah itu tidak halal lagi karena bukan ahli kitab sebagaimana

yang dimaksud oleh ayat dari al-Maidah itu.

Apabila pendapat ini diikuti, maka mereka yang masuk agama Kristen

atau Yahudi setelah Nabi Muhammad saw diutus tidak halal mengawininya.

Ibrahim Husen dengan tegas menganut pendapat ini karena konotasi kata

‫ت‬
ُ
َ H
َ =
ْ ُ ْ ‫ ا‬di dalam ayat ke-5 dari al-Maidah itu, menurutnya dibatasi ruang

87
lingkupnya oleh lafal ْ ُ KِEْ Nَ /ِ1 yang terletak sesudahnya. Jadi yang dimaksud

dengan wanita kitabiyah, tegasnya, ialah yang beragama dengan agama nenek

moyangnya sejak sebelum Nabi saw diutus.

Semua uraian di atas khusus menyangkut perkawinan lelaki muslim

dengan wanita non Islam, tidak sebaliknya. Ada pendapat yang melarangnya

sama sekali seperti yang dianut oleh Ibn 'Umar; ada yang membolehkannya

dengan syarat: sang suami tidak dikhawatirkan akan terpengaruh oleh istrinya

yang bukan Islam itu kelak; ini difatwakan oleh Mahmud Syaltut dalam kitab

al-Fatawa. Selain itu ada pendapat keempat yang dimajukan oleh ulama

Syafi'iyah. Mereka membolehkan menikahi wanita khitabiyah yang

merupakan anak cucu dari pemeluk agama ahli kitab sebelum Nabi

Muhammad saw diutus. Sebaliknya mengharamkan nikah dengan wanita yang

menjadi ahli kitab setelah kebangkitan tersebut.

Terjadi perbedaan pendapat sebagaimana dijelaskan itu, pada dasarnya

bermula dari berbedanya prinsip yang mereka anut dalam menetapkan batasan

'musyrik' dan 'ahli kitab'. Perkawinan yang dilarang Allah ialah dengan orang

musyrik; baik laki-laki, maupun perempuan. Sedangkan menikahi wanita ahli

kitab dibolehkan-Nya. Jadi para pemeluk agama non Islam yang dianggap

tidak masuk kategori ahli kitab maka haram nikah dengan wanita-wanita

mereka karena dianggap musyrik; sebaliknya, jika ahli kitab dikategorikan

sebagai musyrik, maka haram pula menikahi wanita-wanita mereka,

sebagaimana telah dijelaskan di muka.

88
Jika mayoritas ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli

kitab, maka dalam kasus wanita muslim dinikahi oleh pria non Islam, mereka

sepakat mengharamkannya. Di dalam ayat 5 dari al-Maidah di atas, kata

mereka, Allah hanya menegaskan: "makananmu halal bagi mereka, dan tidak

dikatakan-Nya wanita-wanitamu halal bagi mereka. Perbedaan redaksi ini,

kata al-Shabuni, dapat dijadikan indikator bahwa hukum kedua kasus ini tidak

sama; artinya, dalam masalah makanan, mereka boleh saling memberi dan

menerima, serta masing-masing boleh memakan makanan pihak lain; tidak

demikian halnya dengan kasus perkawinan karena jika memang dibolehkan

menikahkan wanita-wanita Islam dengan pria non Islam, niscaya Allah tidak

akan mendiamkannya begitu saja sebab persoalan 'kawin' jauh lebih urgen

ketimbang masalah 'makan'. Dampak perkawinan akan merambat tidak hanya

pada generasi sekarang, melainkan akan berlanjut pada generasi selanjutnya.

Sebaliknya makanan tidak memberikan dampak yang seluas itu. Permasalahan

makanan yang tidak begitu besar sengaja Tuhan sebutkan secara tegas, tentu

seyogyanya, masalah perkawinan lebih pantas diterangkan secara tegas dan

jelas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam pemahaman. Tapi

ternyata Allah tidak memberikan penegasan. Oleh karena itu dalam kasus

serupa ini dapat diberlakukan kaidah ushul fikih yang berbunyi:


ن‬+Eْ ‫
ن ه ا‬+E ‫ ا‬/Q ‫ّ ت‬F ‫ا‬
Artinya: Diam dari memberi keterangan adalah suatu keterangan.

Dengan demikian, maka jika diterima bahwa ayat 221 dari al-Baqarah

itu dinasikhkan oleh ayat 5 dari al-Maidah, maka yang dinasikhkan itu ialah

kata "musyrikah'" tidak "musyrik" karena yang disebut terakhir itu tidak

89
tercantum di dalam al-Maidah: 5 sebagaimana dinukilkan di atas. Berdasarkan

kenyataan itu, maka dapat disimpulkan bahwa wanita-wanita Islam selamanya

tidak dikawinkan dengan pria bukan Islam sesuai dengan penegasan ayat dari

al-Baqarah yang telah dikutip di atas.

Al-Maraghi dalam mengomentari ayat ini berkata, bahwa menikahkan

wanita Islam dengan laki-laki non muslim adalah: haram, berdasarkan Sunnah

(hadis) Nabi dan Ijma' umat. Rahasia pelarangan ini, tulisnya lagi, ialah

karena istri tak punya wewenang seperti yang dimiliki oleh suami. Oleh

karena itu tak ada artinya ia dikawinkan dengan non muslim, bahkan

sebaliknya, keyakinan istri dapat rusak oleh wibawa suaminya, dan tidak

mustahil pula seorang suami yang sangat fanatik akan selalu berusaha agar

istrinya menukar iman dengan keyakinan suami.127 Kekhawatiran al-Maraghi

itu memang cukup beralasan, terutama bila dikaitkan dengan firman Allah

berikut:

‫ﺔ‬ ‫ﻨ‬‫ﺠ‬
 ‫ﻮ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻟﹼﻠ‬‫ﺎ ﹺﺭ ﻭ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﺪﻋ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺌ‬‫ﻭﻟﹶـ‬ ‫ﹸﺃ‬...
(221 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬....‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻔ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻭ‬
Artinya: Mereka itu (orang kafir) mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan keampunan.

Kekalutan di rumah tangga akan semakin mencekam, bila masing-masing

pihak (suami istri) ingin saling mempengaruhi dan sama-sama berusaha

menanamkan keyakinan kepada anak-anaknya. Bila hal ini terjadi jelas

keretakan rumah tangga tak dapat dihindarkan, suasana "surgawi" segera

127
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
1394 H/1974 M, juz 2, hlm. 153

90
berganti dengan gejolak api pertengkaran dan permusuhan, dan pada

gilirannya mengantarkan rumah tangga itu kepada kehancuran. Tidak hanya

itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan itu, akan digerogoti terus-menerus

oleh kebimbangan, kerancuan pemikiran mengenai keyakinan agama, karena

tak tertanam secara mendalam di hatinya sejak kecil. Keyakinan semacam

inilah yang menjadi lahan yang subur bagi paham syirik, anti Tuhan, dan

sebagainya.

Kembali pada persoalan ahli kitab, Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama

fikih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja

yang mempercayai seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah

SWT. Berdasarkan kriteria ini berarti apabila ada orang yang percaya kepada

Nabi Ibrahim AS dengan suhufnya, atau kepada Nabi Daud AS dengan Kitab

Zabur-nya, maka orang tersebut adalah tergolong ahlul kitab dan wanitanya

boleh dikawini. Sebagian kecil ulama salaf berpendapat bahwa setiap umat

yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai suci (samawi), seperti orang

Majusi, penyembah berhala di India, Cina, dan sebagainya, termasuk sebagai

ahlul kitab. Bahkan menurut Abu al-A'la al-Maududi, cakupan ahlul kitab

diperluas lagi oleh ulama fikih kontemporer sehingga menjangkau agama

Budha dan Hindu.

Muhammad Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer dari Indonesia, lebih

cenderung berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah

semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan

91
keturunan siapa pun mereka. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah

SWT dalam surah al-An 'am (6) ayat 156:

‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻭﺇﹺﻥ ﹸﻛﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﻠﻨ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﻴ ﹺﻦ ﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺋ ﹶﻔ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻃﹶﺂ‬ ‫ﺏ‬


 ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﺎ ﺃﹸﻧ ﹺﺰ ﹶﻝ ﺍﹾﻟ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﹺﺇ‬ ‫ﺃﹶﻥ‬
(156 :‫ﲔ )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ‬  ‫ﻠ‬‫ﻓ‬‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﻟﻐ‬ ‫ﺘ ﹺﻬ‬‫ﺳ‬ ‫ﺍ‬‫ﺩﺭ‬
Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An'am: 156)

Majlis Ulama Indonesia (MU1) pada tahun 1980 mengeluarkan fatwa bahwa

seorang wanita beragama Islam tidak boleh (haram) dinikahkan dengan pria

yang bukan beragama Islam; dan tidak diizinkan laki-laki beragama Islam

mengawini perempuan yang bukan beragama Islam. Alasan yang diajukan

antara lain firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 221; surah al-

Ma'idah (5) ayat 5; surah at-Tahrim (66) ayat 6. Adapun pertimbangan fatwa

melarang laki-laki beragama Islam mengawini perempuan ahlul kitab yang

oleh Al-Qur'an secara tegas dibolehkan-adalah karena dampak negatifnya

lebih besar dari dampak positifnya.

Setelah mengkaji beberapa ayat Al-Qur'an, sebagaimana dikutip di

muka, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Haram mengikat perkawinan antara muslim dengan musyrik baik laki-laki

maupun perempuan.

2. Pada umumnya ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli

kitab, tidak sebaliknya.

92
Untuk menjelaskan silsilah Bani Israil dalam konteksnya dengan

makna ahli kitab, maka di sini penulis hendak memperjelasnya bahwa

Ahli kitab adalah orang-orang yang berasal dari pemeluk agama Musa

dan Isa As., serta pembawa kitab samawi baik Taurat atau Injil. Pertama

adalah orang-orang Yahudi dan terakhir orang-orang Nasrani. Setelah Nabi

Musa di utus kepada kaum Yahudi datanglah Nabi Isa membawa Injil kepada

mereka untuk meluruskan penyelewengan yang mereka perbuat dan

menunjukkan kepada jalan yang lurus namun mereka tidak memenuhi

panggilan itu, tidak mendengar ajakan dan nasehat serta peringatan beliau,

bahkan mereka menolak dan terus dalam kesesatan mereka, bahkan

menampakkan permusuhan secara terang-terangan serta menghalang-halangi

setiap orang yang teguh di atas jalan Allah. Mereka menebarkan ancaman dan

memasang perangkap untuk melunturkan istiqamah di atas kebenaran dan

tidak segan-segan membuat kedustaan dan tuduhan palsu kepada Nabi Isa

bahkan di antara mereka ada yang melakukan percobaan pembunuhan, namun

Allah menyelamatkan beliau dari maksud jahat mereka.

Allah menyelamatkan Nabi Isa dengan cara yang penuh muatan

mu'jizat dan sangat rapi serta rahasia agar mereka kesulitan menemukan

keberadaan beliau hingga selamat dari niat buruk mereka. Namun kerahasiaan

dan kesamaran itu justru membuka peluang bagi orang-orang Yahudi untuk

membuat cerita palsu dan berita bohong serta mengaburkan kebenaran dalam

rangka menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.

93
Misteri itu tetap dibuat komoditi utama bagi para pendusta dan

pemalsu untuk menebarkan kesesatan kepada orang-orang yang lemah jiwa

dan akalnya serta dangkal ilmu pengetahuan dan hujjahnya hingga Allah

mengutus Nabi Muhammad Saw dengan membawa wahyu al-Qur'an yang

mampu menyingkap misteri dan membongkar kepalsuan dan kedustaan

Yahudi terhadap Nabi Isa As.

Allah Swt berfirman:

‫ﺳﹶﺄﻟﹸﻮﹾﺍ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺎ ِﺀ ﹶﻓ ﹶﻘ‬‫ﺴﻤ‬  ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎﺑﹰﺎ‬‫ﻛﺘ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹺﻬ‬‫ﹶﻠ‬‫ﺰ ﹶﻝ ﻋ‬ ‫ﻨ‬‫ﺗ‬ ‫ﺏ ﺃﹶﻥ‬ ‫ﺎ ﹺ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻫ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻚ ﹶﺃ‬  ‫ﺴﹶﺄﹸﻟ‬  ‫ﻳ‬
‫ﻋ ﹶﻘ ﹸﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﺧ ﹶﺬ‬ ‫ﺮ ﹰﺓ ﹶﻓﹶﺄ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﺍﻟﹼﻠ‬‫ﻚ ﹶﻓﻘﹶﺎﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﺃ ﹺﺭﻧ‬  ‫ﻟ‬‫ﻦ ﹶﺫ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﺒ‬‫ﻰ ﹶﺃ ﹾﻛ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻣ‬
‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻮﻧ‬ ‫ﻌ ﹶﻔ‬ ‫ﺕ ﹶﻓ‬  ‫ﻨﺎ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﺎﺀ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﺪ ﻣ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬‫ﺠ ﹶﻞ ﻣ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺨﺬﹸﻭﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﺗ‬‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﻤ ﹺﻬ‬ ‫ﹺﺑ ﹸﻈ ﹾﻠ‬
‫ﺭ‬ ‫ﻢ ﺍﻟﻄﱡﻮ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻮﹶﻗ‬ ‫ﺎ ﹶﻓ‬‫ﻌﻨ‬ ‫ﺭﹶﻓ‬ ‫ﻭ‬ {153} ‫ﻣﺒﹺﻴﻨﹰﺎ‬ ‫ﺳ ﹾﻠﻄﹶﺎﻧﹰﺎ‬ ‫ﻰ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺗ‬‫ﺁ‬‫ﻚ ﻭ‬  ‫ﻟ‬‫ﹶﺫ‬
‫ﻲ‬‫ﻭﹾﺍ ﻓ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻭﹸﻗ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺪﹰﺍ‬‫ﺳﺠ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﺧﻠﹸﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟﺒ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻭﹸﻗ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻗ ﹺﻬ‬‫ﻴﺜﹶﺎ‬‫ﹺﺑﻤ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻴﺜﹶﺎﹶﻗ‬‫ﻀﻬﹺﻢ ﻣ‬  ‫ﻧ ﹾﻘ‬ ‫ﺎ‬‫{ ﹶﻓﹺﺒﻤ‬154} ‫ﻴﻈﹰﺎ‬‫ﻴﺜﹶﺎﻗﹰﺎ ﹶﻏﻠ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺧ ﹾﺬﻧ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺒ‬‫ﺴ‬  ‫ﺍﻟ‬
‫ﻒ‬ ‫ﺎ ﹸﻏ ﹾﻠ‬‫ﺑﻨ‬‫ﻢ ﹸﻗﻠﹸﻮ‬ ‫ﻟ ﹺﻬ‬‫ﻮ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻴ ﹺﺮ‬‫ﻐ‬ ‫ﺎ َﺀ ﹺﺑ‬‫ﻧﹺﺒﻴ‬‫ﻢ ﺍ َﻷ‬ ‫ﻠ ﹺﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻭﹶﻗ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺕ ﺍﻟﹼﻠ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺂﻳ‬‫ﻢ ﺑ‬‫ﻭ ﹸﻛ ﹾﻔ ﹺﺮﻫ‬
{155} ‫ﻼ‬ ‫ﻴ ﹰ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﹺﺇ ﱠﻻ ﹶﻗﻠ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻼ‬‫ﻢ ﹶﻓ ﹶ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ ﹺﺑ ﹸﻜ ﹾﻔ ﹺﺮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻊ ﺍﻟﹼﻠ‬ ‫ﺒ‬‫ﺑ ﹾﻞ ﹶﻃ‬
‫ﺎ‬‫ﻢ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﻟ ﹺﻬ‬‫ﻮ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ {156} ‫ﻴﻤﹰﺎ‬‫ﻋﻈ‬ ‫ﺎﻧﹰﺎ‬‫ﻬﺘ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻟ ﹺﻬ‬‫ﻮ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭﹺﺑ ﹸﻜ ﹾﻔ ﹺﺮ‬
‫ﻩ‬ ‫ﻮ‬‫ﺻﹶﻠﺒ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ‬‫ﺎ ﹶﻗ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﹼﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺮﻳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬‫ﻰ ﺍ‬‫ﻴﺴ‬‫ﺢ ﻋ‬ ‫ﻤﺴِﻴ‬ ‫ﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﺘ ﹾﻠﻨ‬‫ﹶﻗ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻢ ﹺﺑ‬‫ﺎ ﹶﻟﻬ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺷ‬ ‫ﻲ‬‫ﻪ ﹶﻟﻔ‬ ‫ﻴ‬‫ﺘﹶﻠﻔﹸﻮﹾﺍ ﻓ‬‫ﺧ‬ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﺒ‬‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻟﹶـﻜ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻪ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﻪ ﺍﻟﹼﻠ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺭﹶﻓ‬ ‫ﻞ‬‫{ ﺑ‬157} ‫ﻴﻨﹰﺎ‬‫ﻳﻘ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺘﻠﹸﻮ‬‫ﺎ ﹶﻗ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻉ ﺍﻟ ﱠﻈ‬  ‫ﺎ‬‫ﺗﺒ‬‫ﻋ ﹾﻠ ﹴﻢ ﹺﺇ ﱠﻻ ﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬
{158} ‫ﻴﻤﹰﺎ‬‫ﺣﻜ‬ ‫ﻋﺰﹺﻳﺰﹰﺍ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻭﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟﹼﻠ‬
Artinya: Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan
kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka
sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang
lebih besar dari itu. Mereka berkata : "Perlihatkanlah Allah

94
kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir
karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi ,
sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu
Kami ma'afkan dari yang demikian. Dan telah Kami berikan
kepada Musa keterangan yang nyata. Dan telah Kami angkat
ke atas mereka bukit Thursina untuk perjanjian mereka.
Dan kami perintahkan kepada mereka : "Masuklah pintu
gerbang itu sambil bersujud ", dan Kami perintahkan
kepada mereka : "Janganlah kamu melanggar peraturan
mengenai hari Sabtu ", dan Kami telah mengambil dari
mereka perjanjian yang kokoh. Maka , disebabkan mereka
melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka
terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka
membunuh nabi-nabi tanpa yang benar dan mengatakan :
"Hati kami tertutup." Bahkan, sebenarnya Allah telah
mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu
mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka.
Dan karena kekafiran mereka dan tuduhan mereka terhadap
Maryam dengan kedustaan besar , dan karena ucapan
mereka : "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih,
'Isa putra Maryam, Rasul Allah ", padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang
diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-
orang yang berselisih paham tentang 'Isa, benar-benar dalam
keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa. Tetapi , Allah
telah mengangkat 'Isa kepada-Nya . Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS an-Nisa ayat 153 – 158).

Meskipun telah banyak orang yang mendapat petunjuk dan kembali

kepada kebenaran namun ada sebagian kecil orang yang terus menjalani

kesesatan dan kebimbangan aqidah hingga terjerumus ke dalam kesyirikan

dan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, mereka membuat kepalsuan

dengan menganggap bahwa Nabi Isa disalib dan berstatus menjadi anak Allah.

Menurut anggapan mereka, setelah Nabi Isa disalib kemudian dikubur lalu

diangkat ke atas langit. Apa pun yang terjadi, mereka tetap dianggap sebagai

95
pemegang kitab samawi dan masih ada sisa-sisa ajaran dan nasehat samawi

seperti iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari Akhir,

takdir, kebangkitan, hisab, surga dan neraka serta perkara-perkara ghaib yang

dibawa oleh para rasul.

Dalam konteksnya dengan perkawinan antara agama, bahwa tidak ada

hadis yang secara eksplisit menegaskan tentang masalah itu, yang ada adalah

beberapa hadis yang secara implisit menunjuk ke arah itu. Hadis yang

dimaksud di antaranya:

‫ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬


 ‫ﻲ‬ ‫ﻨﹺﺒ‬‫ﻋ ﹺﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻪ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ﻲ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺭﺿ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ‬ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ‬ ‫ﻋ‬
‫ﺕ‬ ‫ﺮ ﹺﺑﺬﹶﺍ‬ ‫ﺎ ﻓﹶﺎ ﹾﻇ ﹶﻔ‬‫ﻳﹺﻨﻬ‬‫ﻟﺪ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻟﻬ‬‫ﺎ‬‫ﺟﻤ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﹺﺒﻬ‬‫ﺤﺴ‬ ‫ﻟ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻟﻬ‬‫ﺎ‬‫ﻟﻤ‬ ‫ﺑ ﹴﻊ‬‫ﺭ‬ ‫ﻟﹶﺄ‬ ‫ﺮﹶﺃ ﹸﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻨ ﹶﻜ‬‫ﺗ‬
128
(‫ﻙ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬ ‫ﺍ‬‫ﻳﺪ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺑ‬‫ﺗ ﹺﺮ‬ ‫ﻳ ﹺﻦ‬‫ﺍﻟﺪ‬
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: "Wanita
dikawini karena empat hal: karena harta-bendanya, karena
status sosialnya, karena keindahan, wajahnya, dan karena
ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada
agama, maka kamu akan berbahagia (H.R. al-Bukhari).

‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎﹺﺑ‬‫ﺮﻧﹺﻲ ﺟ‬ ‫ﺒ‬‫ﺧ‬ ‫ﻋﻄﹶﺎ ٍﺀ ﹶﺃ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ ﹶﻥ‬‫ﻴﻤ‬‫ﺳﹶﻠ‬ ‫ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻠ‬‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬
‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬  ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻲ‬‫ﺮﹶﺃ ﹰﺓ ﻓ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺖ ﺍ‬  ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﺖ ﹸﻗ ﹾﻠ‬  ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎﹺﺑ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﻢ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﻳ‬ ‫ﱠﻠ‬‫ﻭﺳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻲ‬ ‫ﻨﹺﺒ‬‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﻴ‬‫ﹶﻓﹶﻠﻘ‬
‫ﻮ ﹶﻝ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺖ ﻳ‬  ‫ﺎ ﹸﻗ ﹾﻠ‬‫ﺒﻬ‬‫ﻋ‬ ‫ﺗﻠﹶﺎ‬ ‫ﺍ‬‫ﻬﻠﱠﺎ ﹺﺑ ﹾﻜﺮ‬ ‫ﺐ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺖ ﹶﺛ‬  ‫ﺐ ﹸﻗ ﹾﻠ‬ ‫ﻴ‬‫ﻡ ﹶﺛ‬ ‫ﺮ ﹶﺃ‬ ‫ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹺﺑ ﹾﻜ‬
‫ﻙ ﹺﺇ ﹶﺫ ﹾﻥ‬ ‫ﻦ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓﺬﹶﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﻴﻨﹺﻲ‬‫ﺑ‬ ‫ﺧ ﹶﻞ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ ﹾﻥ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺨﺸ‬  ‫ﺕ ﹶﻓ‬  ‫ﺍ‬‫ﺧﻮ‬ ‫ﻲ ﹶﺃ‬‫ﻪ ﹺﺇ ﱠﻥ ﻟ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬

128
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 256

96
‫ﺪّﻳ ﹺﻦ‬ ‫ﺕ ﺍﻟ‬
 ‫ﻚ ﹺﺑﺬﹶﺍ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﺎ ﹶﻓ‬‫ﻟﻬ‬‫ﺎ‬‫ﺟﻤ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻟﻬ‬‫ﺎ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻳﹺﻨﻬ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺩ‬ ‫ﺢ‬ ‫ﻨ ﹶﻜ‬‫ﺗ‬ ‫ﺮﹶﺃ ﹶﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬
129
(‫ﻙ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬ ‫ﺪﺍ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺑ‬‫ﺗ ﹺﺮ‬
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abdul Malik bin Abiu
Sulaiman dari Atha': "Jabir bin Abdullah bercerita kepadaku;
"Pada zaman Rasulallah Saw. aku menikahi seorang wanita.
Suatu hari ketika bertemu dengan nabi Saw. beliau bertanya
kepadaku: "Wahai Jabir, kamu sudah menikah?" Aku
menjawab: "Benar." Beliau bertanya: ."Gadis atau janda?"
Aku menjawab: "Janda". Beliau bertanya: "Kenapa tidak
kamu cari saja yang gadis supaya kamu bisa bermain
dengannya?" Aku mencoba menjelaskan: "Wahai
Rasulallah, sesungguhnya aku ini memiliki beberapa orang
saudara perempuan. Aku "merasa khawatir ia mengganggu
hubunganku dengan saudara-saudara perempuanku itu
Rasulallah Saw. bersabda: "Baiklah kalau begitu.
Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agamanya,
hartanya, dan kecantikannya. Tetapi carilah wanita yang
punya agama, niscaya kamu akan bahagia." (HR. Muslim).

‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺪ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺍﹺﻧ‬‫ﻤﺪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻴ ﹴﺮ ﺍﹾﻟ‬‫ﻤ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺑ ﹺﻦ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺪ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﺪﹶﺛﻨﹺﻲ‬ ‫ﺣ‬
‫ﺪ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﻊ ﹶﺃﺑ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﻚ ﹶﺃ‬  ‫ﺷﺮﹺﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺣﺒﹺﻴ ﹸﻞ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺮﻧﹺﻲ ﺷ‬ ‫ﺒ‬‫ﺧ‬ ‫ﻮ ﹸﺓ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ‬‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻳﺰﹺﻳ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬  ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻤﺮﹴﻭ ﹶﺃ ﱠﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺑ ﹺﻦ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺪ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺙ‬ ‫ﺪ ﹸ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻠ‬‫ﺒ‬‫ﺤ‬
 ‫ﻤ ﹺﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺍﻟ‬
‫ﺤ ﹸﺔ‬
 ‫ﻟ‬‫ﺎ‬‫ﺮﹶﺃ ﹸﺓ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﻧﻴ‬‫ﺪ‬ ‫ﻉ ﺍﻟ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻣﺘ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻉ‬  ‫ﺎ‬‫ﻣﺘ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻴ‬‫ﺪ‬ ‫ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬
130
(‫)ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Telah mengabarkan kepadaku dari Muhammad bin Abdullah
bin Numair al-Hamdani dari Abdullah bin Yazid dari
Haiwatun dari Syurajil bin Syarik sesungguhnya dia
mendengar Abu Abdurrahman al-Khubuli dapat kabar dari
Abdullah bin Umar; sesungguhnya Rasulallah Saw.
bersabda: "Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya
perhiasan dunia ialah wanita yang saleh

129
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih
Muslim, Juz. 2, Mesir: Tijariah Kubra, tth., hlm. 175.
130
Ibid., hlm. 178.

97
D. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i tentang Perkawinan Antar Agama

Posisi "tengah" Al-Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya.

Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-

dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-

hukum far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an

dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan

sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan,

istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan

menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.

Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik

menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan Sunnah,

dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari

Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan

membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya,

Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan

Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah

Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua

ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.

Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah

pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan

hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i

menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.

98
Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash

hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji,

atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah

dan lainnya.

Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan

dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu

pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus

dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah

yang menerangkan secara terinci.

Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum

yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an

untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan

menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat

kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum

yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena

Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi

menjauhi yang dilarang.

Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad

terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-

Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu

dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas

pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),

99
misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan,

yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan

orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu

berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul."

Menurut Al-Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul", artinya

kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat

dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat lainnya, ia

ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu sendiri

dan bukan merekayasa hukum.

Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran

metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan

Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan

ijtihad.

Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar

yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut

adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga

menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan

paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok

rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.

Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia

tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana

dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas

100
terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam

bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:

Al-Syafi’i:

"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu

Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di

Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi

tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"

Lawan: "Ya."

Al-Syafi’i:

"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam

pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma'

mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda

telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan

mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam Al-

Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan

qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa

qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati

oleh para ulama."

Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam

beberapa bentuk.

Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh

masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk)

dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-

101
Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban

agama.

Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan

penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan

akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin

dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus

masyarakat.

Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka

telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang

disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi

saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati.

Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai

semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui

qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.

Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang

konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.

Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki

pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala

sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat

umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah

argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."

Al-Syafi’i: Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda

jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya,

102
memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda

menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana

anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan

mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada

generasi-generasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh

masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...?

Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah

orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah

itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif

bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika

mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak

mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus

dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang

telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada

sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun

..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal

yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena

saya tidak menerima sesuatu hadits pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih,

tidaklah penting apakah ada hadits verbal yang sesuai dengan sebagian dari

mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun

kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."

Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma'

dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses

103
asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat

dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun agak

berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut

dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.

Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu terlihat dalam

pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama

sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Al-Syafi’i, juga, menawarkan

pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh

Syafi’i disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah

partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam

suatu preseden.

Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau

disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial

umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti

istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam

qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung

dalam suatu preseden itu sendiri).

Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, bahwa dalam

perspektif Al-Syafi’i bahwa siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan

Nasrani dari orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan sembelihannya

dan halal dikawini wanitanya. Selanjutnya menurut Al-Syafi’i, wanita

104
muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim, akan tetapi

dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli kitab. 131

Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi'i, yang termasuk

ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang

Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi

dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah pertama, karena Nabi

Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang bangsa Israel; dan

kedua, lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5)

ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.

Dalam hal ini metode istinbath hukumnya Al-Syafi’i didasarkan pada

beberapa ayat dan surat di bawah ini:

‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﲔ‬
 ‫ﻨ ﹶﻔ ﱢﻜ‬‫ﲔ ﻣ‬
 ‫ﻛ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺏ ﻭ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻫ ﹺﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭﺍ‬‫ﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻳ‬‫ﻳ ﹸﻜ ﹺﻦ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﻟ‬
(1 :‫ﻨ ﹸﺔ )ﺍﻟﺒﻴﻨﺔ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﺗ ﹾﺄ‬
Artinya: Dan orang-orang kafir di antara ahli kitab (Yahudi, Nasrani)
dan orang-orang yang musyrik tidak mau meninggalkan
agama mereka sehingga datang keterangan kepada mereka
(Q.S. al-Bayyinah: 1).

‫ﺮﻛﹸﻮﹾﺍ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﺩ ﻭ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ ﹰﺓ ﱢﻟﱠﻠﺬ‬ ‫ﺍ‬‫ﻋﺪ‬ ‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﺪ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺪ ﱠﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﺠ‬
‫ﺘ ﹺ‬‫ﹶﻟ‬
‫ﺎ‬‫ﻮﹾﺍ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﻦ ﻗﹶﺎﹸﻟ‬ ‫ﻳ‬‫ﻮﹾﺍ ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﺩ ﹰﺓ ﱢﻟﱠﻠﺬ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺑ‬‫ﺮ‬ ‫ﺪ ﱠﻥ ﹶﺃ ﹾﻗ‬ ‫ﺠ‬ ‫ﺘ ﹺ‬‫ﻭﹶﻟ‬
(82 :‫)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬...‫ﻯ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻧﺼ‬
Artinya: Sesungguhnya kamu [Muhammad] niscaya menemukan
orang-orang yang sangat keras memusuhi orang-orang
beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik
(mempersekutukan Allah). Dan kamu menemukan pula

131
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287 dan 289

105
orang-orang yang kasih kepada orang-orang yang beriman,
yaitu orang-orang yang berkata, "Kami adalah orang-orang
Nasrani ...") (Q.S. al-Maidah: 82)

‫ﺱ‬ ‫ﻮ‬‫ﻤﺠ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻨﺼ‬‫ﺍﻟ‬‫ﲔ ﻭ‬  ‫ﺌ‬‫ﺎﹺﺑ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ﻭﺍ ﻭ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻦ ﻫ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻳ‬‫ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟﺬ‬
‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛ ﱢﻞ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺔ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻘﻴ‬ ‫ﻡ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﺑﻴ‬ ‫ﺼ ﹸﻞ‬
 ‫ﻳ ﹾﻔ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺮﻛﹸﻮﺍ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻭ‬
(17 :‫ﺪ )ﺍﳊﺞ‬ ‫ﺷﻬﹺﻴ‬ ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman dan orang-orang Yahudi,
orang-orang Shabi'in (penyembah bintang), orang-orang
Nasrani dan Majusi, begitu pun orang-orang yang
mempersekutukan Allah sungguh Allah bakal memberikan
keputusan yang tegas di antara mereka pada hari kiamat.
Adalah Allah saksi pada tiap-tiap sesuatu (Q.S. al-Hajj: 17).

Dalam kaitan ini, penulis di satu segi kurang sependapat dengan

pendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.

Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka

orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah

turunnya al-Qur’an maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,

konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-

perempuan mereka.

Pembatasan pengertian yang hanya dalam dua komunitas agama:

Yahudi dan Nasrani versi Syafi’i, maka menurut penulis jelas akan melahirkan

implikasi sosiologis dalam konteks kehidupan sosial yang serius di Indonesia.

Karena, realitas keragaman agama, tidak hanya terbatas pada dua agama Semit

tersebut.

106
Di segi lain, penulis setuju dengan pendapat al-Syafi’i yang

membolehkan pria muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab. Alasan

penulis setuju karena surah al-Maidah ayat 5 merupakan petunjuk yang qath’i

(tegas) tentang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab. Dengan kata lain,

menikahi wanita ahlul kitab boleh karena ayat ke-5 dari al-Maidah itu secara

qath'i (tegas) menyatakan kehalalannya.

Dalam kaitannya dengan perkawinan antar agama, khususnya

mengenai makna ahlul kitab dalam versi al-Syafi'i, ia menggunakan metode

istinbath hukum yaitu Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5.

‫ﻢ‬ ‫ﺣ ﱞﻞ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻡ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻃﻌ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﻴﺒ‬‫ﻢ ﺍﻟ ﱠﻄ‬ ‫ﺣ ﱠﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻡ ﹸﺃ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍﹾﻟ‬
‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺕ ﻭ‬  ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺼﻨ‬‫ﺤ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺣ ﱡﻞ ﱠﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻣ ﹸﻜ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻃﻌ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮ‬‫ﻦ ﹸﺃﺟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺘﻤ‬‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﻢ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺁ‬ ‫ﻠ ﹸﻜ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﺏ ﻣ‬  ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﻮﹾﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻦ ﺃﹸﻭﺗ‬ ‫ﻳ‬‫ﻦ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﻣ‬
‫ﻥ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺑﹺﺎ ِﻹﳝ‬ ‫ﻳ ﹾﻜ ﹸﻔ‬ ‫ﻦ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺍ‬‫ﺧﺪ‬ ‫ﻱ ﹶﺃ‬‫ﺨﺬ‬  ‫ﺘ‬‫ﻣ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺤ‬  ‫ﻓ‬‫ﺎ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﲔ ﹶﻏ‬ ‫ﺼﹺﻨ‬‫ﺤ‬  ‫ﻣ‬
(5 :‫ﻦ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬ ‫ﺳﺮﹺﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﺨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻲ ﺍﻵ‬‫ﻮ ﻓ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻤﹸﻠ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻂ‬ ‫ﺣﺒﹺ ﹶ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﹶﻓ ﹶﻘ‬
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.
Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagi
mereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah
amalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orang
yang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

107
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa para ahli tafsir dan para

ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat wal muhsanâtî minal lazîna

ûtul kitâb min qablikum menurut Ibnu Jarir yang dimaksud dengan muhsanat

adalah wanita baik-baik dari ahli kitab baik merdeka atau budak. Imam Syafi'i

yang dimaksud ahli kitab di sini adalah wanita baik-baik dari Bani Israil. Dan

menurut yang lain muhsanat adalah wanita ahli kitab yang baik-baik tadi yang

merupakan penduduk Negeri Islam (Kafir Zimmi),132 karena berdasarkan

firman Allah yang mengatakan:

‫ﺧ ﹺﺮ‬ ‫ﻮ ﹺﻡ ﺍﻵ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺑﹺﺎﹾﻟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﺑﹺﺎﻟﹼﻠ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ ﹶﻻ‬ ‫ﻳ‬‫ﺗﻠﹸﻮﹾﺍ ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻗﹶﺎ‬
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak pula pada hari kemudian.133

Menurut analisis penulis seorang laki-laki Muslim boleh menikahi

Ahlul kitab, selama wanita Ahlul kitab tersebut layak untuk dinikahi. Hikmah

yang terkandung di dalam hukum bolehnya seorang laki-laki Muslim

menikahi wanita Ahlul kitab ialah tersedianya kesempatan supaya terciptanya

hubungan dan kerjasama di antara mereka; dan di samping itu agar dengan

keinginannya, wanita Ahlul kitab itu dapat mempelajari ajaran-ajaran mulia

yang terdapat dalam ajaran Islam.

Tentang makna ahlul kitab, maka penulis lebih cenderung berpendapat

bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah semua penganut agama

Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan keturunan siapa pun mereka.

132
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm., Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1978, Juz 6, hlm. 252.
133
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 282.

108
Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surah al-An 'am

(6) ayat 156:

‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻭﺇﹺﻥ ﹸﻛﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﻠﻨ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬‫ﻴ ﹺﻦ ﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺋ ﹶﻔ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻃﹶﺂ‬ ‫ﺏ‬


 ‫ﺎ‬‫ﻜﺘ‬ ‫ﺎ ﺃﹸﻧ ﹺﺰ ﹶﻝ ﺍﹾﻟ‬‫ﻧﻤ‬‫ﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﹺﺇ‬ ‫ﺃﹶﻥ‬
(156 :‫ﲔ )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ‬  ‫ﻠ‬‫ﻓ‬‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﻟﻐ‬ ‫ﺘ ﹺﻬ‬‫ﺳ‬ ‫ﺍ‬‫ﺩﺭ‬
Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An' am 156)

109
BAB V

PENUTUP

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, dan dengan mengacu pada rumusan

masalah sebagaimana termuat dalam bab pertama sampai bab keempat skripsi

ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam perkawinan antar agama menurut Imam Safi'i:

- Laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim

dengan alasan surat Al-Baqarah 221: walâ tankihul musyrikâti hatta

yukminna walâmatun mu'minatun khairun min musyrikatin walau

a'jabatkum.

- Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim

dengan alasan surat al-Baqarah 221:

walâ tunkihul musyrikîna hatta yukminu wala'abdun mu'minun khairun

min musyrikin walau a'jabakum.

2. Laki-Laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim kecuali

dengan wanita non muslim yang berasal dari ahli kitab. Menurut al-Syafi'i

yang dimaksud dengan ahli kitab tersebut adalah keturunan Bani Israil

atau orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi

110
Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa

Nabi Isa.

3. Istinbath hukum Al-Syafi’i yang membolehkan laki-laki muslim menikah

dengan wanita non muslim dari ahli kitab didasarkan atas di takhsis surat

al-Baqarah ayat 221 oleh surat al-Maidah ayat 5. Adapun ahli kitab yang

dimaksud oleh al-Syafi'i hanya terbatas kepada keturunan Bani Israil atau

orang-orang yang berpegang teguh pada Kitab Taurat pada masa Nabi

Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa

Nabi Isa. Disebabkan:

(a) Dalam ayat 5 al-Ma'idah terdapat lafal min qablikum yang berarti

orang-orang Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada

Kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang

teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.

(b). Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani Israil.

E. Saran-Saran

Meskipun pendapat al-Syafi’i dibuat dalam kurun waktu yang sudah

lama, namun hendaknya dijadikan studi banding oleh peneliti lainnya, ketika

membahas perkawinan dengan non muslim. Di samping itu pendapat al-Syafi'i

memperkaya wacana perkawinan dengan non muslim. Oleh karena itu kita

perlu menghargai pendapat al-Syafi'i tersebut.

F. Penutup

111
Meskipun tulisan ini telah diupayakan secermat mungkin namun

mungkin saja masih ada kekurangan dan kekeliruannya. Menyadari akan hal

itu, penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini,

semoga Allah SWT meridhoi, Âmîn.

112
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka


Tarbiyah, 2004

Abd al-Salam, Ahmad Nahrawi, Al-Imam al-Syafi'i fi Madzhabaih fi al-Qadim wa


al-Jadid, Kairo: Dar al-Kutub, 1994

Abu Hasan, Ali al-Walid, Asbab Nuzul al-Qur'an, (ed) Sayyid Ahmad Shaqr, Dar
al-Qiblat, tt

Abu Zahrah, Muhammad, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu,


Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi dan
Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT
Lentera Basritama, 2005

Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn
Bardizbah, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410
H/1990 M

Al-Ghazzi, Syekh Muhammad bin Qasim, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-
lhya at-Kutub al-Arabiah, tth

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lamul Muwaqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Juz 2, al-
Muniriyyah

Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, juz 4, Beirut:


Dar al-Fikr, 1972

Al-Malibary, Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-
‘Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tth

Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-


Halabi, 1394 H/1974 M, juz 2

Al-Qardhawi, Yusuf, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin,


“Fatwa-Fatwa Kontemporer”, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001

Al-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Dar al-Qur'an al-Karim, 1972

Al-Syafi’i, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris, al-Risalah fi’ Ilmu al-
ushul , al-Ilmiyah, Mesir, 1312 H

____________, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Beirut


Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Beirut: Dar al-Ma'rifah, tth

113
Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah
Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri",
Bandung: al-Bayan, 1999

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja
grafindo persada, 1995

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT Putaka


Rizki Putra, Semarang, 1997

_____________, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang: PT.Pustaka Rizki


Putra, jilid 8, 2001

_____________, Mutiara Hadis, jilid 5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra, 2003

As-San’ani, Sayyid al-Iman Muhammad ibn Ismail Subul al-Salam Sarh Bulugh
al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya’ al-Turas
al-Islami, 1960

As-Suyuti, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Kairo: Dar al-Fikr, t.th

Asy Syarbasy, Ahmad, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi


Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003

______________, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,


"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera,
1997

Asy Syaukani, Muhammad, Nail al–Autar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz
4, 1973

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004

Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995

Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an


dan Terjemahnya, 1986

Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005

Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998

Fikri, Ali, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003

114
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990

Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang


Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978

Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, juz 2, 1999

Hanafie, A., Ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya, 2001

Ibn Kasir, Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail, Tafsir al-Qur’an al-
‘Azhim, Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, juz 2, tth

Khalaf, Abd Wahab, ‘Ilm ushul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dak’wah al-
Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410 H/1990M

Khalid, Syekh Hasan, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal Abidin


Syamsudin, “Menikah Dengan Non Muslim”, Jakarta: Pustaka al-Sofwa,
2004

Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan


Bintang

Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 1970

Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,


1995

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kulitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2001

Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002

____________, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.Remaja


Rosdakarya, 2000

Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.


Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama,
2000

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah


Mada University Press, 1991

Nazir, Moh., Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999

115
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: PT Sumur
Bandung, 1981

Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 2002

Rasyid Ridha, Sayyid Muhammad, Tafsir al-Manar, Kairo: Maktabah al-Qahirah,


cet. Ke-4, 1380 H

Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Cet. 9, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986

Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, juz 6, Cairo: Dar al-Manar, 1367 H

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,


1977

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth

Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di


Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977

Saleh, Abdul Mun’im, Madzhab Syafi’i Kajian Konsep Al-Maslahah, Yogyakarta:


Ittaqa Press, 2001

Sosroatmodjo, Arso, dan A.Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,


Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:


PT.Raja Grafindo Persada, 2004

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta;
Pustaka Sinar Harapan, 1993

Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986

Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, Al-Jami' Fi Fiqhi an-Nisa, terj. M. Abdul


Ghofar, "Fiqih Wanita', (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan


Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya


Agung, Cet. 12, 1990

116
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fikhiyah, Jakarta: PT Gunung Agung, 1997

117

You might also like