You are on page 1of 3

Pesantren dan Khazanah Islam Klasik

Pesantren selama berabad-abad tampil sebagai pusat khazanah Islam di Indonesia dengan
mewujudkan peradaban intelaktual dan etika sosial. Kombinasi antara intelektualitas dengan etika
sosial yang menjadi dasar dalam setiap tindakan dan pola pengajaran pesantren menjadi keunikan
tersendiri sehingga pesantren tetap eksis dan menarik perhatian banyak kalangan hingga dewasa
ini. Tidak jarang para peneliti mengatakan pesantren merupakan artefak peradaban Islam di
Indonesia, center of civilized muslim, dan lain-lain.
Bentuk khazanah Islam yang dimunculkan oleh pesantren berupa tradisi pembacaan kitab
kuning sebagai ciri khas pesantren dalam setiap memberikan solusi realita sosial. Kitab kuning
telah menjadi pedoman primer yang disuguhkan kepada setiap “santri”—walaupun tidak
semuanya harus mampu membacanya—untuk dikaji baik dengan model “bendongan”,
“sorogan”, maupun mandiri ekspresif. Antusiasme santri terhadap pembacaan kitab kuning
paling tidak disebabkan oleh doktrin bahwa kitab kuning merupakan intisari atau sinopsis ajaran
Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Oleh karenanya, Seyyed Housen Nasr
memberi nama kitab kuning (turast) sebagai The Living Legacy, warisan yang tetap hidup sampai
saat ini.
Ekspresi kitab kuning lambat laun mengambil peran otoritas dalam merespon akselarasi
zaman yang terus berkembang. Dalam hal ini, bahtsul masail menjadi media pesantren dalam
merespon perubahan sosial tersebut (social change). Perjalanan bahtsul masail selalu mengaitkan
realita sosial dengan teks kitab kuning yang dituangkan oleh cendikiawan muslim pada masa
silam tanpa merujuk langsung kepada sumber primer Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Cara ini
ditempuh untuk meminimalisir kesalahan berfikir karena redaksi al-Qur’an dan Hadis bersifat
global, universal, dan disampaikan dengan gaya metaforis. Sering terlihat fenomena kitab kuning
yang sejatinya hanya sebagai khazanah keislaman dianggap sebagai Islam itu sendiri.
Implikasinya, kitab kuning disakralkan di tengah-tengah komunitas pesantren.
Dari beberapa paradigma di atas, bahstul masail sampai saat ini membutuhkan inovasi
baru—untuk tidak mengatakan belum menemukan relevansinya di hadapan masyarakat luas.
Sebab dari segala keputusan yang dihasilkan oleh lembaga bahtsul masail tidak memberikan
jalan keluar dan terkesan memaksakan kasus yang berkembang saat ini tunduk pada peradaban
teks yang muncul beberapa dekade yang silam. Posisi bahtsul masail saat ini tidak lebih dari
pembendaharaan hukum—khususnya untuk kalangan santri—yang tidak bisa diterapkan dalam
masyarakat. Hal ini terbukti saat lembaga bahtsul masail merespon kasus yoga, foto pre-wedding,
facebook, acara televisi The Master yang dianggapnya sihir, dan sejumlah kasus lainnya
menerima kritikan pedas dari sejumlah masyarakat dan kaum akademisi di luar pesantren.
Setidaknya dalam mengaktualisasikan bahtsul masail sebagai khazanah keislaman
pesantren, perlu adanya reformasi pola pikir, mainstream, dan paradigma baru dalam lembaga
tersebut. Dalam hal ini, metodologi pembacaan epistemologi turath Al-Jabiri sepatutnya menjadi
perubahan dalam pembacaan ulang terhadap kitab kuning.

Pembacaan Epistemologis terhadap Tradisi (Turats)


Dalam pendangan Al-Jabiri, turast merupakan warisan masa lampau yang ditinggalkan
oleh orang-orang terdahulu baik dalam aspek budaya, seni, sastra, agama, dan ilmu pengetahuan.
Turats memiliki konsepsi yang tidak dapat dipisahkan dengan historisitas dan ketidaksadaran
mereka. Maksudnya, turats terbentuk melalui proses kesejarahan yang panjang dan terkonstruk
dengan sendirinya seiring dengan pandangan dunia (weltanschauung) saat turats itu muncul.
Sehingga nilai budaya, kultur, dan konstruksi sosial, akan includ di dalamnya. Begitu juga dengan
kitab kuning, sebagai “turats” yang umumnya berkembang di dunia pesantren terbentuk dalam
satu konstrusi yang tidak terlepas dengan unsur budaya dan sosio-kultural saat kitab tersebut
dikodifikasikan.
Keberadaan kitab kuning sebagai turats tidak bisa dipahami sebagaimana-meminjam
bahasanya Al-Jabiri—“yang ada” sekarang, melainkan harus dipahami bagaimana “yang
seharusnya”. Sebab dua konstruksi yang berbeda, dulu dan saat ini, berimplikasi terhadap
paradigma yang berbeda pula (taghayyrul ahkam bi taghayyur al-zaman). Namun bukan berarti
turats tidak akan memberikan nilai apapun dan dipandang sebelah mata. Dalam bahasa Al-Jabiri
“turats bukanlah menjadi koleksi perpustakaan, Turats harus dikontruksi ulang untuk
diaplikasikan sesuai dengan konteks hari ini ”. Di sinilah Al-Jabiri memberikan tawaran
pembacaan baru terhadap turats.
Dalam pembacaan terhadap turats, Al-Jabiri menekankan nilai-nilai objektivisme yang
memiliki dua gerakan. Gerarakan pertama dari subjek (reader) kepada objek (text). Dalam
gerakan ini ada nilai-nilai subjekjektivitas untuk menjadikan objek sebagai korpus pengetahuan.
Gerakan kedua adalah refleksi dari objek ke subjek. Dalam gerakan ini ada umpan balik dari
objek ke subjek. Dua gerakan ini dimaksudkan adanya pemisah antara subjek dengan objek agar
hasil yang diperoleh oleh subjek benar-benar objektif (fashl al qori’ ‘an al ma’ruq). Untuk
mengoperasikan pendekatan objektivisme, Al-Jabiri memberikan beberapa tahapan.
Pertama, pendekatan strukturalisme yang menempatkan teks sebagai objek awal untuk
membaca sebuah tradisi. Teks harus dipahami sebagai sebuah sistem yang koheren dan tidak
lepas dari unsur-unsur baku yang berperan di dalamnya sehingga membentuk perubahan-
perubahan pada dirinya. Pendekatan ini mengharuskan kita untuk memahami pemikiran author
yang dilingkupi oleh budaya dan sosial. Konkretnya, pembaca teks (reader) dituntut untuk
memahami substansi yang ada dalam teks (maqoshid al-nushus) untuk menjauhkan reader dari
sikap apriori atau taken for granted dari sebuah teks.
Kedua, pendekatan analisis historis (al-tahlil al-tarikhy). Analisis ini berupaya
mengetahui watak historisitas author yang meliputi konteks sosial, politik, kultural, serta
ideologisnya . hal ini dilakukan untuk mengukur kemungkinan-kemungkinan sejarah yang terjadi
pada author. Kemungkinan historis dapat mengungkap makna-makna yang dikandung ataupun
yang tidak dikandung dalam teks. Dengan kata lain, di balik sebuah pendapat yang tertuang
dalam teks tersebut ada wacana yang tidak terlafalkan (not-said).
Ketiga, kritik ideologi (al-naqd al-idiulujy). Aplikasi yang digunanakan oleh Al-Jabiri
dalam pendekatan ini hampir mirip dengan teori double movement yang ditawarkan oleh
Fazlurrahman, yaitu mengkaji ulang—jika tidak ingin mengatakan mengkritisi—ideologi turats
dengan menggunakan pendekatan strukturalisme dan analisis historis dan memposisikan teks
pada masa yang silam di mana teks itu muncul untuk mencari relevansi turats dalam kontek
kekinian. Pengejawantahan ini yang oleh Al-Jabiri disebut sebagai wasl al-qari ‘an al-maqru’,
menghubungkan kembali pembaca dangan turats tentunya dengan beberapa pendekatan di atas.
Setidaknya beberapa tawaran epistemologi Al-Jabiri menjadi bahan pertimbangan dalam
pembacaan kitab kuning agar tidak terlalu menganggap teks dalam kitab kuning merupakan
bahan baku yang tidak bisa dikritisi atau paling tidak dapat menghilangkan asumsi yang selama
ini berkembang, semua yang ada dalam kitab kuning adalah kebenaran.
Yang terjadi dalam pesantren saat ini, khsususnya dalam bidang bahtsul masail tidaklah
bebas kritik. Sebab, inovasi dan pembaharuan dalam pandangan ulama bukanlah hal yang asing
dangan slogannya yang populer taghayyurul ahkam tataghayyaru bi taghayyuril ahwal wan
amkinah, perubahan hukum selaras dengan perubahan waktu dan tempat. Perjalanan imam
madzhab dari waktu ke waktu telah memberikan variasi hukum yang berbeda dalam satu kasus
tertentu, kadang boleh, makruh, atau bahkan haram. Ini mengindikasikan bahwa hukum akan
selalu berkembang dinamis, dan bukan berarti akan terhenti sampai di sini.
Saat ini, sudah waktunya pesantren melakukan terobosan baru dan welcome terhadap
disiplin ilmu kontemporer sebagai penunjang agar selalu dapat beradaptasi dengan konteks
kekinian dan menghidari—meminjam bahasa Abu Zaid—dari kungkungan peradaban teks (al-
nash al-tsaqofy). Ada benarnya jika konsepsi pesantren yang menganut semboyan “al-
muhafadzah ‘ala qodim al-shalih wa al-akhdu min jaded al-ashlah” dimodifikasi oleh sebagian
orang dengan “al muhafadzah ‘ala qodim al-shalih wa al-akhdu min jaded al-ashlah wal ibda’
al-fikrah al-mu’ashirah al-ashlah” (menjaga tradisi klasik yang baik, mengadopsi pemikiran baru
yang baik, dan menerima inovasi pemikiran-pemikiran kontemporer yang lebih baik).

Oleh: Ahmad Fawaid,


Sarjana Theologi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya

You might also like