You are on page 1of 14

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Rosnita1

Pengertian Evaluasi Pendidikan

Evaluasi berasal dari dari bahasa Inggris: evaluation; yang dalam bahasa
Arab diistilahkan dengan taqyīm atau taqwīm yang berasal dari kata al-Qīmah
yang berarti nilai (value).2 Jadi, secara harfiah evaluasi pendidikan yang
disebut taqwīm al-tarbiyah, dapat diterjemahkan sebagai penilaian dalam
bidang kependidikan, atau penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar.

Dalam praktek sehari-hari evaluasi pendidikan selalu dihubung-


hubungkan dengan ujian. Sekalipun ada kaitannya, akan tetapi tidak
mencakup keseluruhan maknanya. Ujian pada umumnya (imtihān) atau ujian
akhir (khataman) sekalipun, belum dapat menggambarkan esensi evaluasi
pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan Islam. Sebab, evaluasi
pendidikan pada dasarnya bukan hanya menilai hasil belajar, tetapi juga
proses-proses yang dilalui pendidik dan peserta didik dalam keseluruhan
proses pembelajaran.

Memang dalam setiap proses pembelajaran mengandung evaluasi atau


penilaian. Pada jantung penilaian itulah, kata Dimyati Mahmud, terletak
denyut nadi setiap keputusan yang didasarkan atas nilai-nilai.3 Dalam setiap
proses penilaian pula terdapat suatu upaya membandingkan informasi-
informasi yang tersedia dengan kriteria-kriteria atau ukuran tertentu, setelah
itu barulah diambil keputusan.

1
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan. email: rosnita.ma@gmail.com
2Muhammad Alī Al-Khūlī, Dictionary of Education (Bairut-Libanon: Dar al-‘Ilm li al-
Malayīn, 1981), h. 165.
3Dalam mengurai evaluasi pendidikan di dalam buku ini, baik disebutkan sebagai

catatan kaki ataupun tidak, banyak menukil pemikiran M. Dimyati Mahmud, Psikologi
Pendidikan (Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan,
Dirjend Dikti Depdikbud, 1989), h. 251-256.
1
2

Dalam kawasan penilaian dijumpai dua macam istilah, yang pertama


muqāyas atau pengukuran (measurement) dan yang kedua adalah taqyīm atau
penilaian (evaluation). Pengukuran adalah penilaian yang sifatnya kuantitatif,
untuk melukiskan suatu peristiwa atau karakteristik dengan angka-angka.
Pengukuran memberitahukan berapa banyak, berapa sering atau berapa baik
melalui skor, tingkat-tingkat atau pun ratingnya. Dalam bahasa pengukuran
seorang guru selalu berkata: “Zaiden hanya dapat menjawab lima per-
tanyaan dengan benar dari dua puluh pertanyaan pada ulangan
matapelajaran matematika”. Kalau guru tersebut berkata: “Zaiden tidak
pandai dalam matapelajaran matematika”, maka pernyataan itu tidak lagi
dapat disebut sebagai pengukuran kuantitatif, melainkan sudah bersifat
kualitatif.

Dalam melakukan pengukuran seorang pendidik memungkinkan


untuk membandingkan prestasi belajar setiap peserta didik pada matapela-
jaran tertentu dengan suatu standar atau ukuran tertentu atau
membandingkannya dengan prestasi belajar peserta didik yang lain.4

Perlu dicatat bahwa tidak semua keputusan penilaian yang ditetapkan


oleh guru mesti menggunakan pengukuran. Banyak fakta menunjukkan
bahwa tidak sedikit keputusan yang didasarkan atas informasi yang sulit
dinyatakan dalam angka, seperti misalnya: hal-hal yang lebih disukai peserta
didik; informasi yang datang dari orang tua, pengalaman-pengalaman masa
lalu dan bahkan intuisi. Sekalipun demikian, pengukuran itu tetap memiliki
peranan yang besar dalam menetapkan keputusan yang bersangkut paut
dengan proses pembelajaran, terutama jika dilaksanakan dengan semestinya.
Pengukuran yang benar tentulah dapat menyediakan data yang cukup
obyektif dan tidak berprasangka bagi penilaian.

4Bandingkan
dengan Noeng Muhadjir, Teknik Penilaian dalam Pendidikan (Yogyakarta:
Rake Sarasin PO Box 83, 1987), h. 17.
3

Telah disinggung di depan bahwa evaluasi itu mencakup pengukuran


dan penilaian. Evaluasi itu bermanfaat bagi guru karena dapat membantu
menjawab masalah-masalah penting mengenai peserta didiknya dan
prosedur pembelajaran yang dilakukannya. Tidak ada proses belajar-
mengajar yang bebas dari evaluasi; tidak ada guru ataupun peserta didik
yang dapat menghindar dari evaluasi. Sejak dari memulai profesi sebagai
pendidik sampai kemudian pensiun karena udzur dan lain-lain, setiap
pendidik akan terus menerus berkelindan dengan penilaian dan evaluasi;
mulai dari jenjang pendidikan yang paling rendah sampai pendidikan
tinggi.

Peserta didik juga tidak pernah berhenti menjadi subyek evaluasi.


Bahkan lebih dari itu, para penyelenggara atau lembaga pendidikan dan
orangtua pun tidak terlepas dari evaluasi, karena mereka pun tetap
menimba manfaat daripadanya. Jadi, kehadiran evaluasi itu memang
melekat dengan sistem pendidikan. Subyek yang dievaluasi adalah peserta
didik; dan dievaluasi dengan sarana tertentu, seperti: ujian (imtihān) dalam
bentuk tes atau non tes seperti misalnya melalui pengamatan secara jeli dan
berkesinambungan terhadap perilaku dan aktifitas peserta didik, baik secara
perorangan maupun kelompok.

Oleh karena setiap lembaga pendidikan, sekolah ataupun madrasah


mempunyai tugas untuk mendidik peserta didik sebagai pribadi yang utuh,
maka evaluasinya pun tidak hanya terbatas pada status akademiknya saja,
tetapi meliputi seluruh kompetensinya, kecerdasan, bakat, penyesuaian
personal dan sosial, sikap dan minatnya. Akan tetapi dalam prakteknya,
kelihatannya para “pendidik” dewasa ini lebih banyak terlibat dalam
mengukur dan menilai hasil belajar peserta didik dan prestasi akademiknya
yang berlangsung di ruang belajar. Padahal evaluasi yang sesungguhnya
mencakup lingkup yang luas mulai dari proses belajar di dalam dan di luar
4

sekolah, di dalam keluarga, di tengah-tengah masyarakat dan di dalam


keseluruhan lingkup kehidupan peserta didik.

Evaluasi pendidikan itu seperti dikemukakan oleh Anas Sudijono


adalah:

(1) Proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan


dengan tujuan yang telah ditentukan;
(2) Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi
penyempurnaan pendidikan.5

Sesuai dengan pengertian tersebut maka setiap kegiatan evaluasi


merupakan suatu proses dan kegiatan yang disengaja direncanakan untuk
memperoleh informasi atau data. Berdasarkan data itulah kemudian
ditetapkan suatu keputusan. Sudah barang tentu informasi atau data yang
dikumpulkan itu haruslah data yang sesuai dan mendukung tujuan evaluasi
yang direncanakan.

Dari rumusan-rumusan tersebut sedikitnya ada tiga aspek yang perlu


diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan evaluasi,
khususnya evaluasi pendidikan, yaitu:

1. Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis. Ini berarti bahwa


evaluasi dalam pendidikan merupakan kegiatan yang terencana dan
dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi bukan hanya merupakan
kegiatan akhir atau penutup dari suatu program tertentu, melainkan
merupakan kegiatan yang dilakukan pada permulaan, selama program
berlangsung, dan pada akhir program setelah program itu dianggap
selesai.

2. Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang


menyangkut objek yang sedang dievaluasi. Dalam kegiatan pendidik,
data yang dimaksud berupa perilaku atau penampilan peserta didik

5Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996),


h. 2.
5

selama mengikuti proses pembelajaran, hasil ulangan atau tugas-tugas


pekerjaan rumah, nilai ujian midsemester, nilai ujian akhir semester, dan
sebagainya. Berdasarkan data itulah selanjutnya diambil suatu keputusan
sesuai dengan maksud dan tujuan evaluasi yang sedang dilaksanakan.
Perlu dikemukakan di sini bahwa ketepatan keputusan hasil evaluasi
sangat bergantung kepada kesahihan dan objektivitas data yang
digunakan dalam pengambilan keputusan.

3. Setiap kegiatan evaluasi pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan-


tujuan pembelajaran atau indikator keberhasilan yang hendak dicapai.
Tanpa menentukan atau merumuskan tujuan-tujuan atau indikator
keberhasilan terlebih dahulu, akan sulitlah melakukan evaluasi sejauh
mana pencapaian hasil belajar peserta didik. Hal tersebut disebabkan
setiap kegiatan evaluasi memerlukan sesuatu kriteria tertentu sebagai
acuan dalam menentukan batas ketercapaian objek yang dinilai. Adapun
tujuan pembelajaran atau indikator keberhasilan merupakan kriteria
pokok dalam penilaian.

Dalam hubungannya dengan keseluruhan proses belajar-mengajar,


materi dan metode pembelajaran, tujuan pembelajaran serta prosedur
evaluasi adalah saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lain.

Bahan atau materi pembelajaran apa yang akan diajarkan dan metode
apa yang akan digunakan sangat bergantung pada tujuan pengajaran atau
indikator keberhasilan yang telah dirumuskan. Demikian pula bagaimana
prosedur evaluasi harus dilakukan serta bentuk-bentuk atau alat evaluasi
mana yang akan dipakai untuk menilai hasil pengajaran tersebut harus
dikaitkan dan mengacu kepada bahan dan metode pembelajaran yang
digunakan dan tujuan pembelajaran atau indikator keberhasilan yang telah
dirumuskan.
6

Fungsi Evaluasi Pendidikan

Suatu pertanyaan yang sering timbul adalah, mengapa pendidik harus


melakukan evaluasi?

Dalam hal ini perlu dicatat bahwa sekurang-kurangnya ada 5 (lima)


fungsi evaluasi dalam pendidikan yang secara keseluruhan selalu berpusat
pada kepentingan peserta didik, yaitu: (1) sebagai insentif untuk
meningkatkan belajar; (2) sebagai umpan balik bagi peserta didik; (3) sebagai
umpan balik bagi pendidik; (4) sebagai informasi bagi orang tua; dan (5)
sebagai informasi untuk keperluan seleksi,6 yang secara ringkas dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Insentif untuk Meningkatkan Belajar

Salah satu fungsi evaluasi ialah untuk mendorong peserta didik untuk
belajar secara lebih giat. Untuk hasil belajar yang bagus diberi nilai tinggi
dan kalau mungkin hadiah-hadiah. Bagi peserta didik tingkat Sekolah Dasar
hal ini penting sekali karena atas dasar itu mereka dihargai oleh pendidik
yang menjadi orangtua mereka. Bagi peserta didik Sekolah Lanjutan, hal itu
juga penting, karena merupakan bekal untuk melanjutkan belajar ke
lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

Sekurang-kurangnya ada lima kriteria agar penilaian dapat


meningkatkan kegiatan belajar peserta didik. Kelima kriteria tersebut ialah:

a. Evaluasi atau penilaian itu bermanfaat bagi peserta didik. Suatu penilaian
dapat dikatakan efektif kalau hasil evaluasi itu bermanfaat bagi peserta
didik. Sesuatu yang tak bermanfaat akan lenyap begitu saja, yang di
dalam al-Qur`ān diumpamakan bagaikan buih yang bakal hilang ditelan
bumi, dan hanya yang bermanfaat sajalah yang akan tetap menimbulkan
kesan. 7

6Mahmud, Psikologi, h. 253-254.


7Qur`ān, al-Ra’d/13: 17.
7

Begitu juga halnya mengenai nilai yang diperoleh peserta didik akan
kurang efektif sebagai insentif baginya kalau orangtuanya kurang peduli
terhadap nilai tersebut; sebaliknya nilai tersebut menjadi lebih efektif
sebagai insentif kalau orangtua mereka memperhatikan dan menghargai
hasil usaha putera-puterinya. Dalam hal ini peserta didik merasa ada
manfaat baginya bila dia memperoleh prestasi. Bahkan akan lebih efektif
lagi kalau peserta didik sendiri mempunyai rencana untuk memasuki
sekolah yang lebih tinggi yang mempersyaratkan nilai tinggi untuk
diterima sebagai peserta didik.

b. Evaluasi itu sehat dan obyektif. Penilaian harus berkaitan rapat dengan
usaha peserta didik yang sebenarnya. Kalau ada peserta didik yang keliru
atau salah, hendaklah diinformasikan mengapa dia keliru, dan sekiranya
dia benar berilah penilaian yang semestinya tanpa ada yang perlu
disembunyikan. Allah swt menegaskan bahwa kebenaran dan atau
kesalahan sekecil apapun yang dilakukan umat manusia akan tetap
diinformasikan secara jujur.8 Dalam hal ini peserta didik akan merasa
bahwa untuk dapat berhasil secara memuaskan di sekolah adalah dengan
belajar lebih giat dan gigih, karena penilaian itu dilakukan secara jujur,
sehat dan obyektif.

c. Evaluasi yang dilaksanakan bersifat adil. Penilaian itu akan efektif kalau
peserta didik tahu bahwa penilaian tersebut lebih kurang sama bagi
semua peserta didik. Kalau ada peserta didik merasa bahwa temannya
yang lain ada yang dinilai lebih lunak, lebih memakai kebijaksanaan
dengan alasan-alasan yang tak diterima oleh pendidikan, maka penilaian
itu akan menjadi berkurang efektifitasnya. Peserta didik, sebagai subyek
penilaian biasanya cukup peka terhadap perlakuan yang berbeda, apalagi
kalau ia tahu bahwa penilaian itu didasarkan pada kecenderungan pilih
kasih. Ajaran Islam menegaskan agar berlaku adil terhadap sesama

8Qur`ān, al-Zalzalah/99: 7-8


8

manusia, dan jangan sampai hanya disebabkan perasaan kekurang-


senangan tertentu terhadap satu atau lebih peserta didik menyebabkan
berlaku tidak adil dalam memberikan penilaian.9 Lebih lanjut, hal itu juga
berarti bahwa suatu penilaian yang dilakukan tanpa persiapan dan
perencanaan yang matang dan semestinya, apalagi jika dilaksanakan
secara sembarangan dan asal-asalan maka hal itu telah mengkhianati ke-
sucian hakikat pendidikan.

d. Evaluasi itu sesering mungkin dilaksanakan. Semakin sering penilaian itu


dilakukan, diperkirakan akan semakin tinggi prestasi yang bakal dicapai
oleh peserta didik. Penilaian yang sering dilaksanakan, walau sebentar-
sebentar dan pendek-pendek, adalah lebih baik dari pada penilaian yang
jarang diadakan walaupun waktunya lebih lama dengan item-item yang
panjang pula. Artinya ialah jika evaluasi sering dilakukan diharapkan da-
pat membuat peserta didik tetap memperhatikan belajarnya. Belajar yang
sifatnya sedikit demi sedikit tetapi berkesinambungan adalah lebih baik
daripada hanya belajar musiman kalau akan menghadapi ujian atau
ulangan saja.

e. Evaluasi itu bersifat menantang. Keberhasilan dalam penilaian haruslah


merupakan tantangan bagi semua peserta didik; menilai peserta didik
agar lebih baik belajarnya dari pada yang sudah-sudah ternyata dapat
meningkatkan prestasi belajar mereka. Karena itu, sistem penilaian
haruslah dibuat untuk menggalakkan peserta didik agar selalu meraih
sukses sedikit demi sedikit, setapak demi setapak, setiap langkah belajar
yang sekarang harus selalu sedikit lebih cepat dan tepat dari pada
langkah-langkahnya yang berhasil di waktu-waktu yang lalu, sehingga
hari esok menjadi lebih baik lagi.10

9Qur`ān, al-Māidah/5: 8.
10Qur`ān, al-Hasyr/ 59:18.
9

Lima kriteria di atas pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatnya


gairah dan kegiatan belajar peserta didik, sehingga memberikan dorongan
bagi peserta didik untuk belajar secara lebih berkualitas.

2. Umpan Balik bagi Peserta didik

Peserta didik perlu megetahui hasil jerih payahnya, hal ini dapat
diperoleh melalui hasil penilaian. Dengan perkataan lain, penilaian itu dapat
memberikan umpan balik kepada peserta didik, sehingga peserta didik
selalu tahu kekuatan dan kelemahannya. Misalkan guru menugaskan peserta
didik untuk membuat karangan; karangan itu kemudian diperiksa,
dikomentari dan diberi nilai; setelah karangan tersebut dikembalikan kepada
peserta didik, mereka menjadi tahu di mana kekurangan-kekurangan
mereka; mungkin ada yang merasa kurang dalam segi isi karangan, mung-
kin ada yang sadar akan kekurang-mampuannya dalam menyusun kalimat
dengan baik, atau mungkin pula ada yang merasa lemah dalam
perbendaharaan kata-kata, dan sebagainya. Dengan demikian penilaian
tersebut dapat membantu peserta didik memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan dan keterampilan karang-mengarang.

Agar bermanfaat sebagai umpan balik, penilaian itu seyogianya


lengkap, artinya kalau hasil pekerjaannya diberi komentar tertulis ditambah
dengan nilai (angka atau pun huruf) peserta didik akan berpretasi lebih baik
dari pada kalau hanya diberikan nilai saja, sebab, peserta didik dapat
mengetahui apa yang harus dilakukannya agar prestasinya lebih meningkat
pada masa-masa yang akan datang. Di samping itu dia menjadi yakin bahwa
apa yang telah dicapainya itu adalah berkat jerih payahnya sendiri dan
bukan lantaran keberuntungan atau karena faktor-faktor eksternal lainnya.

3. Umpan Balik bagi Pendidik

Salah satu fungsi evaluasi yang terpenting ialah memberikan umpan


balik kepada pendidik mengenai efektifitas pembelajaran yang
10

dilaksanakannya. Pendidik tidak dapat berharap bahwa proses pembelajaran


yang dilaksanakannya sudah efektif atau tidak, kalau dia tidak mengetahui
apakah peserta didiknya telah menangkap dan menyerap hal-hal yang
penting dari bahan pelajaran yang disajikannya. Dengan jalan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara lisan guru dapat mengetahui seberapa jauh
dan seberapa baik peserta didik menangkap, memahami dan menyikapi
pelajaran yang disajikannya. Dalam banyak hal pula evaluasi tertulis akan
membantu guru mengetahui lebih banyak tentang kemajuan peserta
didiknya dan mengerti pula dalam segi-segi apa kiranya mereka masih
memerlukan bantuan dan bimbingan.

4. Informasi bagi Orangtua/Wali

Suatu buku laporan kemajuan belajar, atau lazim disebut dengan buku
“rapor”, karena ia “melaporkan” informasi tentang kemajuan peserta didik
kepada orangtuanya. Fungsi melaporkan ini menjadi penting karena dua
alasan: (a) orangtua dapat mengetahui kemajuan belajar putera-puterinya di
sekolah. (b) nilai dan penilaian-penilaian yang lain dapat membantu orang
tua untuk memberikan reinforcement secara informatif. Hal ini ternyata ikut
membantu peserta didik belajar lebih giat dan berprestasi lebih baik. Karena
pada umumnya orangtua itu menginginkan putera-puterinya membawa
pulang nilai-nilai yang baik, maka penilaian itu menjadi lebih penting dan
lebih efektif sebagai insentif.

5. Informasi untuk Keperluan Seleksi

Apabila digunakan pendekatan sosiologis terhadap evaluasi


pendidikan akan terlihat bahwa maksud dan tujuan pokok sekolah ialah
mempersiapkan peserta didik untuk memangku peranan-peranan yang
terdapat di tengah-tengah masyarakat guna melakukan pekerjaan-pekerjaan
tertentu kelak setelah selesai sekolah. Fungsi memilih ini berlangsung
11

setapak demi setapak selama bertahun-tahun melalui penjurusan yang


bermacam ragam.

Setiap seleksi dan penjurusan itu sangat penting dan seyogianya


didasarkan atas penilaian yang seobyektif mungkin, dapat dipercaya dan
tidak berprasangka.

Sasaran Pokok Evaluasi Pendidikan

Evaluasi sebagaimana telah disajikan pada uraian-uraian terdahulu,


merupakan bagian integral dari program dan proses pembelajaran pada
segala jenis dan tingkatan. Kenyataan seperti yang sering terlihat dalam
praktek, evaluasi kebanyakannya dilakukan dengan mengadakan ujian-ujian
atau tes terhadap hasil belajar, namun harus tetap diingat bahwa tes
hanyalah salah satu cara dari evaluasi. Cara lain, seperti telah disebutkan
terdahulu, bisa juga melalui pengamatan secara jeli dan berkesinambungan
terhadap perilaku dan aktifitas peserta didik, baik secara perorangan
maupun kelompok.

Lebih dari itu, sesuai dengan harapan dan tuntutan teori evaluasi,
bahwa evaluasi itu pada prinsipnya bermata dua, yang sasarannya bukan
hanya peserta didik, melainkan juga tak kalah pentingnya adalah pendidik
dan segenap penyelenggara/tenaga kependidikan yang ada. Atas dasar
itulah, sekurang-kurangnya sebagai harapan teoritis, bahwa apapun prestasi
peserta didik haruslah diasumsikan sebagai prestasi pendidik dan prestasi
keseluruhan penyelenggara pendidikan secara bersama-sama, yang diwakili
oleh pendidik sebagai ujung tombaknya.

Di samping itu, adanya kesepakatan tidak tertulis yang mengisyaratkan


bahwa keluarga (orangtua) dan masyarakat telah mengamanatkan tugas
pendidikan kepada lembaga pendidikan sekolah atau madrasah maka faktor
lembaga pendidikan, khususnya pendidik dan unsur penyelenggara
pendidikan lainnya adalah lebih banyak memikul tanggung jawab.
12

Kalau teori fitrah dipercayai kebenarannya secara ekstrem dan parsial,


maka tidak akan ada lagi peserta didik di dunia ini yang bodoh. Semua anak
manusia pada dasarnya berpotensi untuk menjadi manusia yang baik dan
bermutu. Termasuk dalam pengertian baik dan bermutu ini ialah sanggup
memikul amanat untuk menjadi “pandai”, setidaknya pada bidang-bidang
tertentu. Akan tetapi permasalahannya adalah, apakah di rumah, di
masyarakat dan lebih-lebih lagi di lembaga pendidikan tempat peserta didik
belajar yang memiliki perangkat peralatan dan fasilitator yang berkemam-
puan hebat, telah menemukan cara untuk mengkondisikan agar potensi
peserta didik dapat berkembang maksimal. Dalam konteks inilah
sesungguhnya evaluasi pada hakekatnya merupakan diagnosa untuk
menemukan cara untuk memaksimalkan kemampuan potensi tersebut.

Sungguh sangat tidak adil jika seorang peserta didik yang potensinya
tidak atau belum sempat berkembang saat dievaluasi; lantas kemudian dicap
dan diklasifikasikan sebagai orang bodoh, malas belajar dan bermacam-
macam tudingan yang tak enak didengar. Itulah kenyataan yang umum
terdengar. Hampir-hampir atau nyaris tak terdengar, ada para guru sebagai
pendidik yang menyesali nasibnya atas ketidakmampuannya dalam
menjadikan peserta didiknya menjadi orang yang berprestasi.

Adalah wajar, jika ada peserta didik yang berprestasi tinggi, maka
gurunya akan berkata sambil bersyukur, “Al-hamdulillāh, siapa dulu dong
gurunya”, atau dengan ucapan kebanggaan lainnya, “Dia ‘kan peserta didik
kami”. Akan tetapi adakah sebaliknya, jika ternyata ada peserta didik yang
entah disebabkan apa, tetapi prestasinya, termasuk perilakunya jauh di
bawah rata-rata, adakah guru sebagai pendidik yang berani tepuk dada,
“siapa dulu dong gurunya!” atau berkata: “sekedar seperti itulah yang
mampu saya hasilkan!”
13

Itu adalah kenyataan-kenyataan di lapangan, yang sesungguhnya


belum memenuhi keinginan dan masih jauh dari harapan-harapan teoritis
seperti yang diinginkan oleh evaluasi pendidikan.

Oleh karena itu sasaran pokok evaluasi bukanlah sekedar peserta didik,
melainkan seluruh penyelenggara pendidikan, mulai dari pendidik,
kurikulum, sarana dan prasarana, metode pembelajaran, alat atau media dan
seluruh unsur yang terlibat dalam kegiatan proses belajar mengajar.
14

DAFTAR PUSTAKA

Alī Al-Khūlī, Muhammad, Dictionary of Education, Bairut-Libanon: Dar al-


‘Ilm li al-Malayīn, 1981.
Mahmud, M. Dimyati, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Dirjend Dikti Depdikbud,
1989
Muhadjir, Noeng, Teknik Penilaian dalam Pendidikan, Yogyakarta: Rake
Sarasin PO Box 83, 1987.
Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996.

You might also like