kepemimpinan. Seperti Leading Minds: An Anatomy of Leadership oleh Howard Gardner; Ethics: The Heart of Leadership oleh Joanna B. Ciulla; Leadership and Organization: A Behavioral Science Approach oleh Robert Tannenbaum, Irving R. Weschler, Fred Massarik; Leadership and the Culture of Trust oleh Gilbert W. Fairholm; “Understanding The Charismatic Leader-Follower Relationship: Promises and Perils” oleh Colette Dumas, Dan Sankowsky dalam Journal of Leadership Studies (Silahkan dicari di perpus kampus masing-masing).
Apabila Anda serius ingin mempelajari soal
kepemimpinan, buku-buku di atas bisa jadi rujukan yg sangat menarik. Ini terutama bagi mereka yg bercita-cita jadi pemimpin massa, LSM, politisi, dll. Apa yg akan dibahas dalam tulisan singkat di bawah adalah analisa singkat dan mendasar untuk menjadi pemimpin, terutama pemimpin massa yg kredibel.
Ada beberapa faktor penting yg harus dimiliki seorang
pemimpin: (a) confident (percaya diri); (b) visi; (c) idealisme (berpijak pada nilai standar ideal); (d) tanggung jawab tinggi (e) egaliter; (f) caring/tidak selfish (lebih mengutamakan kepentingan umum); (g) dignified (bermartabat).
a. Confident (PD – percaya diri)
Inilah syarat mutlak pertama yg mesti dimiliki
siapapun yg ingin jadi pemimpin. Jangan berharap dan bermimpi jadi pemimpin kalau anda tidak PD. Kalau belum memiliki ke-PD-an, segeralah dimiliki. Stok terbatas. PD tidak musti dalam segala hal, walaupun itu lebih baik. Yg terpenting, Anda PD memimpin lingkungan Anda.
Beberapa ciri pribadi pemimpin PD adalah [1] selalu
menganggap setiap orang sejajar dg dirinya, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah. Tidak menunduk atau mengangkat kepala, apapun status orang yg dihadapi: dubes atau pengemis, jenius atau idiot, kaya atau miskin, ‘elite’ atau ‘kere’; [2] sopan dan rendah hati. Kesopanan dan kerendahhatian terkadang kabur maknanya dg keminderan. Pemimpin sopan bukan karena minder, tapi karena memang etika sosial yg harus diikuti.
Ciri paling menyolok dari pemimpin yg berkepribadian
PD adalah ia lebih mengutamakan hal substantif/mendasar/prinsip dari pada hal-hal remeh tapi dianggap penting oleh orang kebanyakan. Seperti, ketika memiliki dana Rp. 100 juta apakah untuk merenovasi gedung atau menambah buku-buku kepustakaan, maka ia akan memilih yg kedua. Renovasi penting tapi tidak substantif dibanding buku. Universitas dan perilaku orang India bisa jadi contoh dalam hal ini.
b. Visi.
Pemimpin harus memiliki visi atau wawasan ke depan yg
jelas. Contoh, sebagai ketua PPI, periode tahun ini, sdr Jusman harus memiliki visi dan target apa yg mesti dicapai untuk perbaikan institusi PPI dan peningkatan kualitas anggotanya. Dalam konteks PPI, tentu saja yg terpenting adalah peningkatan kualitas intelektual anggota dan penciptaan imej PPI di dalam dan di luar.
Visi dapat dicapai dg [1] banyak membaca (media,
milis, dll) [2] banyak bergaul dan bertanya; [3] banyak menulis/berkomentar, walaupun hanya di buku harian atau di milis; [4] aktif diskusi; [5] membaca buku biografi tokoh-tokoh besar nasional dan dunia.
c. Idealisme.
Pemimpin yg baik dan memiliki kepribadian kuat selalu
bersikap idealis. Dia tidak akan kompromi pada nilai-nilai idealisme yg prinsip; tapi rela bersikap kompromistis, elastis atau pragmatis pada hal-hal yg tidak prinsipil. Prof Dr Hamka lebih rela mundur dari jabatan sebagai ketua MUI karena tidak mau mengkompromikan idealismenya. Jaksa Baharuddin Lopa rela dipindahtugaskan ke tempat lain karena tidak mau tunduk pada perintah atasan yg ingin mempetieskan masalah KKN di era Suharto; ia juga rela dimusuhin para diplomat bawahannya sewaktu jadi dubes di Arab Saudi karena tidak mau korupsi. Dan kasus yg lagi hangat saat ini, Munir SH rela mati diracun demi membela rakyat kecil dan tidak mau tunduk pada ancaman pihak yg merasa dirugikan. Nyawa sangat berharga, dan idealisme sama berharganya dg nyawa itu sendiri.
d. Tanggung Jawab.
Salah satu hal yg membuat orang percaya memilih kita
jadi pemimpin adalah karena kita dinilai memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab itu identik/intrinsik/koheren dg sikap konsisten dalam ucapan dan perilaku. Tanggung jawab juga berkaitan erat dg sikap semangat yg stabil dari awal tugas sampai akhir. Tidak hangat-hangat kuku. Dan akan selalu melakukan dan menyelesaikan tugas yg diemban dg penuh dedikasi, tanpa peduli tugasnya mendapat apresiasi atau kritikan bahkan makian. Karena ia tahu, melaksanakan tugas dan menyelesaikannya sampai tuntas adalah dalam rangka membangun kredibilitas kepemimpinannya sendiri di masa sekarang dan masa depan.
e. Egaliter/merakyat
Salah satu ciri menyolok dari pemimpin massa yg
karismatik dan populer adalah sikapnya yg egaliter atau merakyat dan accessible (mudah dihubungi). Gus Dur, mantan presiden RI, adalah sosok yg dikenal sangat egaliter. Sewaktu masa mudanya di Jombang, Jawa Timur, ia dikenal akrab dg berbagai kalangan. Dari tukang becak sampai presiden, begitu juga ketika kuliah di Kairo dan Baghdad. Ketika pindah ke Jakarta, mengikuti ayahnya yg jadi Menteri Agama era Sukarno dan ibunya yg jadi anggota MPR era Suharto, ia sama sekali tidak menampakkan sikap seperti “anak gedongan” yg umumnya “keren” tapi brainless. Kedekatannya dg kalangan gelandangan sampai kelompok elite Jakarta tercatat dengan jelas termasuk di kalangan media. Kalau dia ingin menulis artikel di TEMPO, ia cukup datang ke kantor redaksi dan mengetik sebentar di komputer salah satu redaktur dan tanpa pamit pergi begitu saja. Minggu berikutnya, tulisannya akan tampil di Tempo. (baca buku “Guruku Orang-orang dari Pesantren” karya Saifuddin Zuhri)
Ketika jadi Presiden, sikap egaliternya tidak berubah.
Sampai pihak protokoler istana kerepotan. Ia tetap menemui tamu sampai malam hari. Dan sampai hari ini, tamu-tamu dari berbagai kalangan tetap berdatangan ke rumahnya: dari rakyat biasa, kyai/pendeta sampai diplomat-diplomat asing.
Aksesibilitasnya juga diakui oleh Sdr. Gautham, rekan
India kita yg sering ke KBRI dan bisa bahasa Indonesia. Gautham, menurut penuturannya, sering menelpon Gus Dur untuk menanyakan berbagai masalah perkembangan politik Indonesia mutakhir. Gautham juga sering menelpon Profesor-profesor di Indonesia menanyakan hal yg sama. Dan apa komentar Gautham tentang Gus Dur? “Tidak ada orang yg paling pintar di Indonesia dalam soal politik selain Gus Dur.” Gur Dur, menurut Gautham, wawasannya jauh melebihi para profesor Indonesia yg pernah dia wawancarai.
Yg menarik dari penuturan Gautham ini adalah bahwa Gus
Dur itu sangat pintar dan jenius tapi pada waktu yg sama ia sangat egaliter. Ini yg perlu kita tiru. Biasanya kita memiliki sedikit kelebihan (entah itu jabatan, status atau kepintaran) dari yg lain sudah merasa pongah dan susah ditemui. Menjadi egaliter tidak akan membuat kita diremehkan, sebaliknya justru semakin mengundang kekaguman dan simpati.
Sikap egaliter itu identik dg kerendahhatian. Salah
satu ciri rendah hati (tawadhu’) adalah open-minded dan tidak marah ketika dikritik, ketika dihina, ketika dicaci. Karena dalam semuanya selalu terdapat kebenaran. Dan karena kebenaran tidak hanya terbungkus dalam kotak beludru yg indah dan rapi, ia terkadang berada dalam tumpukan sampah yg kotor.
f. Caring/Tidak Selfish atau Egois
Caring berarti selalu peduli pada nasib orang lain.
Pemimpin kredibel selalu “mengalah” ketika kepentingan pribadinya bertabrakan dg kepentingan umum. Ia selalu berkorban. Termasuk mengorbankan perasaannya sendiri bilamana perlu. Ia tidak ingin senang di saat ‘anak buah’nya sengsara, baik lahir atau batin.
Emha Ainun Najib, penyair dan budayawan asal Jombang
yg sekarang jadi tetangga Wisnu — calon kakak ipar saya– di Patangpuluhan Yogya, terkenal dg sikap caring-nya. Ebiet G. Ade, salah satu sahabat Emha yg juga penyanyi terkenal, pernah menuturkan di majalah Tempo, bahwa suatu hari rekan-rekan Emha termasuk Ebiet pada kelaparan. Tidak ada satu pun yg punya uang untuk makan hari itu. Emha punya uang tapi hanya cukup untuk makan sendirian. Ia tidak mau kenyang sendirian. Akhirnya, dalam suasana sama-sama lapar itu, Emha menulis artikel. Setelah jadi, ia bawa ke kantor harian Yogya “Kedaulatan Rakyat” dan langsung dia minta honornya. Dari situ, barulah mereka dapat makan bareng-bareng dan terhindar dari kelaparan pada hari itu. Ini contoh nyata bentuk kepedulian fisik.
Kepedulian juga menyangkut masalah non-fisik. Dalam
konteks PPI, Ketua PPI-India harus memikirkan bagaimana meningkatkan level kualitas anggota dan menaikkan citra PPI. Di tengah-tengah kesibukan studi, Ketua PPI juga dituntut untuk mengalokasikan waktu dan pikiran untuk peningkatan dan kebaikan anggotanya. Anggota akan memaklumi apabila kesibukan studinya terkadang mengganggu tugasnya sebagai ketua, tetapi akan sulit memahami dan mengerti apabila “kesibukan” itu sama sekali tidak berkaitan dg studi.
Kredibilitas pribadi seorang pemimpin baru teruji
disaat ia menghadapi “ujian” yg dianggapnya terberat. Apabila ia kuat melawan “ujian” itu, ia lulus dan akan semakin kredibel. Apabila tidak, ia hanya akan jadi pemimpin sampah yg akan dimakan debu sejarah. Beda pribadi yg kuat dg yg lembek adalah di saat krisis terberat datang. Karena di saat tenang, semua orang dapat jadi pemimpin. Ujian terberat, sebagaimana peluang emas, terkadang datang cuma sekali; tapi ia sangat vital dalam menentukan pola masa depan kita berikutnya dan imej kepemimpinan kita.
g. Dignified (bermartabat)
Pemimpin itu simbol yg mewakili institusi dan seluruh
anggotanya. Citra baik atau buruk sang pemimpin akan mempengaruhi citra institusi dan anggotanya. Ketika jadi pemimpin, ia tak lagi milik dirinya sendiri dan merasa bebas berbuat apa saja. Ketika akan melakukan sesuatu, hal pertama yg mesti diingat seorang pemimpin adalah adakah hal itu akan merusak martabat institusi, anggota dan kepemimpinannya?
Apabila kita berhasil memenuhi segala kriteria di
atas, kepemimpinan kita tidak akan berhenti sampai di sini. Ia akan terus berlanjut sampai di masa datang. Karena pemimpin kredibel itu langka adanya dan mahal harganya. Ia akan dicari walaupun dia berada di sebuah lereng gunung atau di dalam hutan yg tak berpenghuni.(bersambung)