You are on page 1of 15

Muta’akhir ini, pertembungan antara kaum muda dan kaum tua diHANGATkan semula.

Perkara
ini sangat bahaya kepada perpaduan ahli sunnah wal jamaah yang terdiri daripada pendokong al
asya’irah, al maturidiah, dan pendokong metodologi salaf yang sebenar. Ulama’ khalaf (merujuk
kepada zaman) tidak pernah menolak kaedah dan pendapat ulama’ salaf(merujuk kepada zaman,
bukan mazhab) bahkan menjadi rujukan mereka sepanjang masa. Yang timbul sekarang ialah
segolongan ‘ulama’ dan ‘ustaz’ yang mendakwa diri mereka mengikut manhaj salaf,
menyesatkan dan menghukumkan bid’ah yang sesat kepada sesiapa yang mengikut pendapat
khalaf.

Artikel di bawah menghuraikan asal usul punca perbezaan pendapat antara metodologi salaf dan 
khalaf.

AYAT 7 SURAH ALI IMRAN

﴿ َ‫ين ىف ُقلُوهِبِ ْم َزيْ ٌغ َفيَتَّبِ ُعو َن َما تَ َشـبَهَ ِمْنهُ ابْتِغَآءَ الْ ِفْتنَ ِة َوابْتِغَآء‬ ِ َّ
ٌ ‫ُخُر ُمتَ َشـبِ َه‬
َ ‫ـت فَأ ََّما الذ‬
ِ َ‫ـت ُه َّن أ ُُّم الْ ِكت‬
َ ‫ـب َوأ‬ ٌ ‫ـت حُّمْ َك َم‬
ِ َ‫ك الْ ِكت‬
ٌ َ‫ـب مْنهُ آي‬
َ
ِ
َ ‫ُه َو الَّذى أ‬
َ ‫َنز َل َعلَْي‬
ِ َ‫ند رِّبنَا و َما يَ َّذ َّكر إِالَّ أ ُْولُواْ األَلْب‬ِِ ِِ ِ ِ ‫تَأْ ِويلِ ِه وما يعلَم تَأْ ِويلَه إِالَّ اللَّه و‬   ﴾
‫ـب‬ ُ َ َ ‫الرس ُخو َن يِف الْعْل ِم َي ُقولُو َن ءَ َامنَّا به ُكلٌّ ِّم ْن ع‬ َ َُ ُ ُ َْ َ َ

Maksudnya: ” Dialah (Allah) yang menurunkan kepada kamu al Qur’an, daripadanya ada ayat
muhkamat(mempunyai hukum yang jelas) yang menjadi asas kitab Al Qur’an, dan yang lainnya
ayat mutasyabihat(samar). Maka adapun orang yang di dalam hatinya cenderung kepada
kesesatan, lalu mereka mengikut apa yang yang samar-samar daripadanya (ayat-ayat
mutasyabihat), bertujuan mencari fitnah dan mencari makna yang lain. Dan tidaklah mengetahui
makna sebenarnya melainkan  Allah , dan orang-orang yang mendalami ilmu berkata ‘kami telah
beriman dengannya(ayat mutasyabihat) , semuanya dari sisi Tuhan kami, Dan tidaklah
mengambil peringatan melainkan orang-orang yang mempunyai akal fikiran.”

Jadi, Al-Quran terdiri dari dua macam :


Ayat Muhkam
Yaitu ayat yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya, arti ayat
itu jelas diketahui. Misalnya :
Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)
Dan tidak satupun yang sesuatupun yang menyamai-Nya (Al-Ikhlas :4)

Ayat Mutasyabih
Yaitu ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna ayat
ini membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya Surat Thaha : 5
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. 20:5)
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-
Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik  dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-
orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka
akan hancur. (QS. 35:10)

Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihat, sehingga memiliki banyak arti.
Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan
tidak bertentangan dengan ayat muhkam. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling
bertentangan. Beritu juga hadis tidak boleh saling bertentangan. Juga hadis tidak mungkin
bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk menerangkan ayat mutasyabihat,
keduanya benar :
1. metodologi Salaf
2. metodologi khalaf

Metodologi Salaf
Salaf adalah ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah
pemberian penjelasan umum, sehingga ulama salaf ayat ini memiliki arti sesuai dengan
kesempurnaan Allah. Daripada mengatakan artinya, mereka merujukkan ayat-ayat mutasyabih ke
ayat muhkam. Contoh yang baik adalah
perkataan Imam Syafii :
“Saya percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan apa
yang Rasulullah sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.”

Dengan perkataan lain, arti yang sesuai tidak berdasarkan makna fisik dan indra yang salah, yang
akan membawa kepada misalnya tempat, bentuk, kaki, gerakan, duduk, warna, arah, tersenyum,
tertawa atau makna lain yang tidak boleh disifatkan kepada Allah. Lebih lanjut, orang Arab pada
ketiga abad itu memiliki bahasa Arab yang alami dan sangat fasih. Mereka memahami bahwa
ayat-ayat itu memiliki makna yang layak bagi Allah, dan mustahil bahwa mereka akan memberi
makna fisik dan indrawi yang tidak layak bagi Allah.

Meski demikian, telah diketahui bahwa beberapa ulama salaf memberi makna tertentu kepada
ayat Mutasyabih. Imam Bukari dalam Shahih-nya, bab Tafsirul Quran, memberi makna tertentu
kepada lafal “illa wajhahu” yaitu dalam QS Al-Qashash 88. Dia mengatakan, “illa mulkahu”,
yaitu dia mengatakan bahwa “wajh” – yang disifatkan kepada Allah – artinya “mulk” atau
“kerajaan/kekuasaan”.

Metodologi Khalaf
Khalaf adalah ulama yang hidup sesudah 3 abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah
memberikan makna tertentu kepada ayat mutasyabih. Ulama khalaf yang hidup  pada saat di
mana orang mulai kehilangan bahasan alami dan kefasihan berbahasa Arab. Melihat bahwa
orang Arab kemampuan bahasa alaminya menurun dan mereka takut pada orang yang hatinya
condong kepada kesesatan akan membaca ayat mutasyabih dengan arti yang tidak layak bagi
Allah, sebagaimana Surat Ali Imran ayat 3 di atas. Untuk menjaga aqidah Islam, ulama khalaf
mengikuti contoh di antara ulama salaf yang memberi arti tertentu pada ayat-ayat mutasyabih.
Dengan mengacu ayat itu dengan ayat muhkam, mereka memberi arti tertentu kepada ayat
mutasyabih yang sesuai dengan kaidah bahasa dan agama. Mereka memberi makna yang benar
dan dapat diterima pada ayat mutasyabih.

Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7).
Sehubungan dengan ayat ini Ibn Abas : “Saya adalah satu dari orang yang mendalam ilmu
agamanya”. Masyhur bahwa Ibn Abbas adalah unggul di antara sahabat dalam menerangkan arti
ayat Quran.

Di antara orang yang hatinya condong kepada kesesatan adalah musyabbiha, yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya. Mereka secara salah mengklaim bahwa dilarang menunjuk pada arti
tertentu pada ayat mutasyabih dan khususnya yang berhubungan dengan sifat Allah. Lebih lanjut,
mereka membuat aturan yang  keliru bahwa  penunjukkan makna tertentu pada ayat tersebut
yang akan membawa kepada peniadaan sifat-sifat Allah. Klaim mereka ini  membawa pada
interpretasi ayat Quran saling kontradiksi dan juga interpretasi antar hadis, dan interpretasi hadis
dan Quran. Lebih lanjut klaim mereka ini telah menuduh ulama-ulama salaf dan khalaf  dengan
fitnah bahwa mereka meniadakan sifat-sifay Allah.  Ini akan meliputi : Ibn ‘Abbas, Sufyan ath-
Thawri, Mujahid, Sa’id Ibn Jubayr, Malik, Ahmad, al-Bukhari, an-Nawawi, Ibn Rajab al-
Hanbali, Ibn-ul-Jawzi, Ibn Hajar , al-Bayhaqi, Abu Fadl at-Tamimi, ‘Abdul-Qahir al-Baghdadi,
ulama hadis dan ahli bahasa Murtada az-Zabidi, dll. (Ketr. lihat isi artikel berikutnya…)

Dengan klaim mereka ini, mereka bertentangan dengan Rasul. Al-Bukhari menyatakan bahwa
Rasul melakukan doa untuk Ibn Abbas. Rasul saw mengatakan :
Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.

Dalam bab Tafsir al-Qur’an, Imam al-Bukhari mengatakan bahwa kata  wajhahu dalam Surat al-
Qasas, ayah 88, berarti “Kerajaan/kekuasan-Nya.” Tetapi, mushabbihah yang menserupakan
Allah dengan makhluk mengatakan, “Kami tidak menginterpretasikan, tetapi memilih makna
literal,” sehingga mereka mengatakan wajhahu artinya “muka-Nya.”

Ibn Hajar al-’Asqalani, dalam Al-Fath (Sarah Sahih al-Bukhari), Volume 6, hal 39-40: ” …..
sehubungan dengan perkatakan sifat Allah , ad-dahik (tertawa), artinya “mengasihi,’ dekat
dengan makna ‘menerima kebiakan’. Tetapi mushabihah berkeras mengambil makna literal,
sehingga mereka mengatakan bahwa Allah tersenyum atau tertawa.

Dalam Surat Al-Qalam 42 :


Pada hari betis disingkapkan  dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa,
(QS. 68:42)
Salaf mengatakan lafal “saq” sebagai “suatu kesulitan”, sehingga makna ayat adalah “hari yang
penuh ketakutan dan kesulitan”. Penjelasan ini diberikan oleh Ibn ‘Abbas, Mujahid, Ibrahim an
Nakh’i, Qatadah, Sa’id Ibn Jubayr, dan sejumlah ulama. baik Imam al-Fakhr ar-Razi dalam
Tafsir  Qur’an, Volume 30, hal 94 dan Imam al-Bayhaqi dalam Al-’Asma’ was-Sifat, (hal 245)
dan Fath-al-Bari, (Volume;13, hal 428) meriwayatkan penjelasan dari Ibn ‘Abbas. Ibn Qulayb
Juga menyatakan dari Sa’id Ibn Jubayr yang mendapat ilmu dari ‘Abdullah Ibn ‘Abbas and Ibn
‘Umar. Tetapi mutashabihah berkeras pada makna literal dan mensifati pada Allah “betis”,
dengan mengartikan literal ‘betis’.

Dalam Al-Baqarah 115 : Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (QS. 2:115)
Imam Mujahid, murid Ibn ‘Abbas, mwngatakan bahwa kata wajh artinya ‘qiblat,’ i.e., ara
prayers pada waktu sahalat sunah dalam perjalanan atau naik hewan. Tetapi orang mushabihah
berkeras dengan makna literal, mereka mengartikan  “muka/wajah”.

Begitu juga, jika ayat 12 At-Tahrim :” Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh
(ciptaan) Kami”, diambil makna literal artinya Allah meniup sebagian dari Ruh-Nya kepada Isa.
Ulama mengatakan artinya : Allah menyuruh Jibril untuk meniup ke dalam Nabi Isa ruh yang
dimuliakan Allah. Juga dalam Shad 75, secara literal berarti : Allah berfirman: “Hai iblis,
apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.
…” (QS. 38:75) Para ulama mengatakan arti “yadain” adalah “perhatian/kasih (care)”. Tetapi,
orang mushabihah berkeras bahwa arti yadain adalah tangan. Juga An-Nur :35, “ Allah adah
Cahaya langit dan bumi…”. Para ulama mengartikan : ‘Allah (Pencipta/Pemberi) petunjuk di
langit dan bumi’. Tetapi mushabihah berkeras dengan makna literal, Allah adalah cahaya. Al-
Fajr:22 : “Datanglah Tuhanmu..”. Imam Ahmad Ibn Hanbal, mengartikan : Kekuasaan Allah
telah datang. Hafiz Imam al-Baiaqi dalam Manaqib Ahmad, menerangkan dari sanad sahih. Juga
Ibn al-Jawzi al-Hanbali, ulama Madzhab Hambali, menyatakn bahwa Imam Ahmad menunjuk
pada arti tertentu, yang dapat diterima, yang mutasyabihat. Dia juga membuktikan bahwa Imam
Ahmad tidak mempercayai tentang “maji-ah” (dari ja-a) dalam ayat itu, bahwa itu adalah
pergerakan. Imam Ibn Al-Jauzi, juga : Tidak mungkin Allah bergerak”. Tetapi musyabihah
berkeras bahwa “Allah datang” (yi, dari satu tempat ke tempat lain). Hadis dari Bukhari (ttg.
Allah nuzul /turun) dijelaskan Imam Malik : Sebagai turunya kasih sayang dan bukan gerakan.
Tetapi kaum musyabihah berkeras “nuzul” artinya Allah turun dalam arti gerakan.

Mengutip Imam Asy’ari, Imam Baihaqi, dalam buku Al-Asma wa Sifat hal 488 : “Allah ta’ala
tidak di suatu tempat. Gerakan, istirahat dan duduk adalah
sifat-sifat badan”Imam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz “istiwa” dalam Surat Taha :5
artinya “al-istila” yang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk
menjelaskan ayat ini, itu berarti Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat
ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy
diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum sesuatu yang diciptakan ada.
Dalam konteks ini, ulama memberi istilah “al-azal”, yang berarti keadaan tanpa permulaan. Jadi
dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) ‘arsy dalam al-azal, yang berarti bahwa Allah
menguasai ‘arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan
makna literal, mereka mengatakan istiwa artinya “duduk” di atas Singgasana atau “bertempat
secara kuat” di atasnya.

Dalam bukunya Al-Mu’taqad, Imam Baihaqi menyatakan dari sanad al-’Awza’i ,Imam Malik
dan Sufyan ath-Thawri serta al-Layth Ibn Sa’d, bahwa ketikamereka ditanya hadis yang
mutasyabihat, mereka berkata : ”Terimalah mereka sebagaimana datangnya tanpa menerapkan
‘bagaimana’ padanya”. Hal ini karena jika seseorang bertanya bagaimana, jawabnya adalah
“seperti ini atau itu”. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan Allah tidak seperti
makhluk. Siapa pun tidak dapat membayangkan, Allah berbeda dari apa pun. Ketika ulama
mengatakan :”….tanpa ‘bagaimana’ padanya”, mereka mengartikan bahwa Allah bersih dari
sifat-sifat duduk, istirahat, bergerak, berkaki, bertubuh atau anggota tubuh. Mereka tidak
mengartikan istiwa di atas singgasana… Sebaliknya, para ulama sepenuhnya meniadakan
“bagaimana” pada Allah.
Sehingga pernyataan yang mengatakan “Allah duduk di atas singgasana tetapi kita tidak tahu
bagaimana” adalah tertolak berdasar keterangan mereka. Siapa pun dengan suara pikiran tahu
bahwa duduk, bagaimanapun caranya, adalah sifat-sifat tubuh. Bertempat membutuhkan
“bagaimana” dan ditujukan kepada tubuh. Lebih lanjut, warna dan sentuhan adalah atribut tubuh
dan “bagaimana” ditujukan padanya. Semuanya adalah mustahil ditujukan kepada Allah.

Hampir sama, ketika Rasul bertanya kepada budak hitam wanita: “Di mana Allah?”, para ulama
mengartikan Beliau menanyakan tetntang kedudukan Allah. Dia menjawab: Fis-sama” yang
artinya Allah memiliki kedudukan tertinggi. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal –
Rasul menanyakan tempat Allah, dan dia menjawab “Allah di langit”, artinya langit adalah
tempat Allah.

Beitu juga hadis : Jika kamu mengasihi yang di bumi, kamu akan dikasihi yang di langit. Artinya
Jika kamu mengasihi yang di bumi, malaikat – yang ada di langit, akan membawa kasih Allah
kepadamu. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal”… Allah , yang ada di langit, akan
mengasihimu”

Dengan menolak pemahaman majazi, mengakibatkan adanya saling kontradiksi antar ayat-ayat
Al-Quran atau hadis. Sebagai contoh hadis terkenal “Allah di antara orang dan leher
peliharaannya”. Hal ini secara langsung bertentangan dengan hadis “Allah di langit” di atas.
Juga dengan Al-Hadid :4 :”Allah bersama kamu dimana pun kamu berada”. Ulama mengartikan
Allah mengetahui di mana pun kamu berada.
Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: “Allah di negeri-
negeri syam”, karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari
Iraq ke negeri-2 Syam.
Juga Al-Baqarah :125 makna literalnya : “Ka’bah adalah rumah Allah”. Jika Surat An-Nahl 128
diambil literal, artinya menjadi “Allah bersama orang berbuat kebaikan”

Jika semua diambil makna literalnya betapa banyak kontradiksinya. Para ulamamengambil
makna yang sesuai dan dapat diterima pada ayat dan hadis yang mutasyabihat berdasar bahasa
dan agama, dan dengan merujuk pada ayat muhkam.

Mereka mengartikan :
Allah Maha Mengetahui dimana pun kamu berada (Hadid :4),

Allah mengetahui segala sesuatu (Fusilat:54),

Kabah adalah rumah yang sangat dimuliakan Allah (Al-Baqarah 125).

Surat Al-An’am 61 : merujuk “fauqiah” (aboveness) kekuasaan, sehinggaartinya “Segala sesuatu


di bawah kekuasaan Allah”
Surat An-Nahl 128 artinya Allah menolong orang-orang yang berbuat kebaikan.

Taha 5, artinya Allah menguasai Arsh dalam al-azal (tanpa permulaan),seperti seluruh sifat
Allah.
Dalam pengambilan makna literal kaum musyabihah, mereka mencoba keluar dari kontradiksi
dengan berkamuflase, bahwa Allah memiliki muka tanpa penampakan, dan Allah mempunyai
“arah” yaitu atas, tetapi kita tidak tahu bagaimana; dan Allah mempunyai “betis” yang kita tidak
tahu bagaimana betisnya. Juga mereka mengatakan Allah “duduk” tetapi kita tidak tahu
bagaimana Dia duduk.

Ahli Bahasa dan hadis madzhab Hanafi, Imam Murtada Az-Zabidi, dalam bukunya Ithafus-
Sadatil-Muttaqin, menolak orang yang menolak penunjukan manka yang dapat diterima pada
ayat mutasyabihat dan berkeras pada makna literal. Dia mengatakan : “Pada dasarnya mereka
merendahkan kedudukan Rasul; mereka mengklaim bahwa Rasul tidak tahu sifat-2 Allah yang
diturunkan kepadanya; …”

Bagaimanapun Allah mengatakan Surat ash-Shu’ara’, ayah 195, “Al-Quran diturunkan dalam
bahasa Arab yang jelas” Az-Zabidi :”Orang yang mengambil posisi menentang pengambilan
makna tertentu yang dapat diterima pada dasarnya adalah menyerupakan Allah dengan makhluk”
Menskipun mereka berkilah dengan mengatakan bahwa Dia memiliki “tangan”, yang tidak sama
dengan tangan makhluk, dan “betis” yang tidak sama dengan betis makhluk, bertempat/istawa
yang tidak kita ketahui. Dia menyebut mereka:”Perkataan Anda bahwa ‘kita mengambil makna
literal, yang tidak kita ketahui’ adalah kontradiksi. Jika anda mengambil makna literal, maka ‘as-
saq’ dalam  Surat al-Qalam, ayah 42, adalah betis, yang itu adalah bagian tubuh yang berupa
kulit, daging, tulang dan syaraf. Jika Anda mengambil makna literal, maka anda telah melakukan
penghinaan, dan jika anda kemudian menolaknya, bagaimana anda mengklaim melakukan
makna literal?”

Penutup
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati
Allah dengan yang tidak layak baginya.

Singkat kata, cara pertama yang benar dalam memahami ayat mutasyabihat dalam Al-Quran
adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan artinya , dan tanpa
“bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti
lain dan dikenakan pada manusia/makhluk. Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan,
“Allah istiwa yang pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas bagi-Nya –
yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan muka”

Cara yang benar kedua adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti
metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad artinya
‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau ‘Kiblat’”.
….
Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa
yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan
penghinaan”

Kita bermohon kepada Allah agar menjaga kita dalam jalan dan keyakinan yang benar yang
dimiliki ulama Salaf dan Khalaf. Kita mohon lindungan Allah dari perangkap kesesatan, karena
Rasul saw berkata dalam riwayat Tarmizi, “Seorang hamba akan mengucapkan sebuah kata yang
dia tidak tahu merugikan, akan menyebabkan dia masuk ke dalam neraka selama 70 musim”. Itu
adalah tempat yang hanya dicapai oleh orang kafir.

Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18,
“setiap kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga berhati-
hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah SWT dengan
makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat
dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan dan segala sesuatu penyerupaan dengan
makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala penyerupaan
dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang
yang tidak benar tentang Dia.

diambil dari ahlisunah.org

…………………………………..

Bagaimana sikap kita terhadap golongan musyabbihat? Berilah penjelasan kepadam masyarakat
tentang kefahaman yang benar berpandukan ilmu ulama’2 salaf dan khalaf yang mujtahid serta
muktabar. Ingatlah pesanan Nabi junjungan besar kita yang direkodkan oleh Imam Ahmad dari
ِ َ‫ك الْ ِكت‬ ِ
Aisyah r.a.  yang maksudnya, ” Rasulullah membaca ayat ﴿ ‫ـت ُه َّن أ ُُّم‬ ٌ ‫ـت حُّمْ َك َم‬
ٌ َ‫ـب مْنهُ آي‬
َ َ ‫ُه َو الَّذى أ‬
َ ‫َنز َل َعلَْي‬
ٌ ‫ُخ ُر ُمتَ َشـبِ َه‬
‫ـت‬ ِ َ‫ ﴾الْ ِكت‬, lalu Nabi sallallahu alaihi wasallam
َ ‫ـب َوأ‬

berkata , «‫وهم‬ ِ َّ ِِ ِ ِ َّ ِ
ُ ‫اح َذ ُر‬
ْ َ‫ ف‬،ُ‫ين َعىَن اهلل‬
َ ‫ َف ُه ُم الذ‬،‫ »فَإ َذا َرأ َْيتُ ُم الذين جُيَادلُو َن فيه‬,

“Maka sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdebat padanya(ayat mutasyabihat), mereka
lah yang Allah maksudkan, maka jauhilah mereka.”

Sikap ahli sunnah wal jamaah ialah mengiktiraf keilmuan ulama’-ulama’ yang menta’wil ayat-
ayat mutasyabihat di kalangan salaf dan khalaf berdasarkan disiplin ilmu tafsir yang diiktiraf
iaitu mengikut kaedah bahasa Arab. Kita hendaklah jauhi diri dari berdebat mempertahankan
pendapat masing-masing secara melampau sehingga menyesatkan dan mencerca ulama’ yang
ikhlas di sepanjang zaman. Keta’suban terhadap metod masing-masing (salaf dan khalaf)
menyebabkan diri pendebat dikuasai syaitan yang sentiasa mencari peluang itu. Ingatlah Nabi
pernah bersabda, ” Tidak sesat sesuatu kaum selepas (memperoleh) hidayah yang dikurniakan ke
atas mereka melainkan mereka suka berdebat.”
Dinukil dari Al Husein bin Muhammad bin Habib an Naisaburiy bahwa ada tiga pendapat
didalam permasalahan ini :

1. Bahwa Al Qur’an seluruhnya adalah muhkamat, sebagaimana firman-Nya :

ٍ ِ‫ت ِمن لَّد ُْن َح ِك ٍيم خَ ب‬


‫ير‬ ْ ‫ِكتَابٌ أُحْ ِك َم‬
ِّ ُ‫ت آيَاتُهُ ثُ َّم ف‬
ْ َ‫صل‬

Artinya : “(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya adalah muhkamat.” (QS. Huud : 1)

2. Bahwa Al Qur’an seluruhnya adalah mutasyabihat berdasarkan firman-Nya :

ِ ‫هَّللا ُ نَ َّز َل أَحْ َسنَ ْال َح ِدي‬


‫ث ِكتَابًا ُّمتَ َشابِهًا‬

Artinya : “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
mutasyabihat.” (QS. Az Zumar : 23)

3. Bahwa Al Qur’an sebagiannya adalah muhkamat sedangkan sebagiannya lagi mutasyabihat,


inilah yang paling benar, berdasarkan firman-Nya :

ٌ َ‫َوأُ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬


‫ات فَأ َ َّما الَّ ِذينَ في قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ‬

Artinya : “Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan.” (QS. Ali Imran : 7)

Tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat ini, Al Lajnah ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’
menjelaskan sebagai berikut :

1. Ihkam berarti kukuh, ihkamul kalam : perkataan yang kukuh dan terang yang berarti perkataan
untuk membedakan kejujuran dari kedustaan didalam suatu berita, petunjuk dari kesesatan
didalam berbagai perintah. Al Qur’an muhkam dengan makna ini, terang tanpa ada kesamaran
didalamnya bagi setiap orang, firman Allah swt :

ٍ ِ‫ت ِمن لَّد ُْن َح ِك ٍيم َخب‬


‫ير‬ ْ ‫الَر ِكتَابٌ أُحْ ِك َم‬
ِّ ُ‫ت آيَاتُهُ ثُ َّم ف‬
ْ َ ‫صل‬

Artinya : “Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya muhkamat serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.” (QS.
Huud : 1)

2. Tasyabuh didalam suatu perkataan digunakan untuk keserupaan atau kesesuaian, artinya
bahwa sebagiannya membenarkan sebagian lainnya didalam perintah-perintahnya, tidak
memerintahkan sesuatu didalam satu tempat namun melarangnya di tempat yang lain,
sebagiannya membenarkan sebagian lainnya didalam berita-beritanya, apabila dia memberitahu
tentang terjadinya sesuatu di satu tempat namun tidak memberitahukan penafiannya di tempat
yang lainnya. Al Qur’an seluruhnya mutasyabihat dengan makna ini namun tidak ada
pertentangan dan kekacauan didalamnya, firman-Nya :

‫اختِالَفًا َكثِيرًا‬ ْ ‫أَفَالَ يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِعن ِد َغي ِْر هّللا ِ لَ َو َجد‬
ْ ‫ُوا فِي ِه‬

Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS.
An Nisa : 82)

ِ ‫هَّللا ُ نَ َّز َل أَحْ َسنَ ْال َح ِدي‬


‫ث ِكتَابًا ُّمتَ َشابِهًا‬

Artinya : “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
mutasyabihat.” (QS. Az Zumar : 23)

Mutasyabihat dalam makna ini tidaklah bertentangan dengan ihkam dengan maknanya yang
umum bahkan salah satunya membenarkan yang lainnya dan tidak saling bertentangan.

3. Tasyabuh dalam arti yang khusus : adalah memiliki keserupaan terhadap sesuatu dari satu sisi
namun berbeda dari sisi yang lainnya. Didalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang mutasyabihat
dengan makna ini yaitu mengandung berbagai dalil yang bersesuaian dengan ayat-ayat muhkam
dan juga mengandung berbagai dalil yang bertentangan dengannya sehingga maksud darinya
menjadi samar di sebagian manusia.

Barangsiapa yang mengembalikan mutasyabihat dengan makna khusus ini kepada ayat-ayat yang
muhkamat yang sudah jelas maka akan tampaklah maksud dari ayat-ayat mutasyabihat itu dan
dapat membantunya mendapatkan kebenaran. Dan barangsiapa dari kalangan ulama yang
berhenti pada ayat-ayat mutasyabihat itu dan tidak mengembalikannya kepada ayat-ayat
muhkamat yang sudah terang maka sungguh dirinya telah berada didalam suatu kebatilan dan
mengalami kesesatan dari jalan yang lurus, seperti orang-orang Nasranu didalam argumentasi
mereka tentang Isa adalah anak Allah. Allah mengatakan tentangnya bahwa ia adalah “kalimat-
Nya yang disampaikan kepada Maryam” dan meninggalkan mereka (orang-orang Nasrani) untuk
kembali kepada firman-Nya tentang Isa as.

: “Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya nikmat (kenabian).” (QS.
Az Zukhruf : 59)

ُ‫ال لَهُ ُكن فَيَ ُكون‬ ٍ ‫إِ َّن َمثَ َل ِعي َسى ِعن َد هّللا ِ َك َمثَ ِل آ َد َم خَ لَقَهُ ِمن تُ َرا‬
َ َ‫ب ثِ َّم ق‬

Artinya : “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam.
Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang
manusia), Maka jadilah Dia.” (QS. Al Imran : 59)

Artinya : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al Ikhlas : 1 -3)
Terhadap tasyabuh dalam arti khusus dan ihkam yang khusus ini serta adanya perselisihan
manusia didalam sikap mereka terhadapnya telah ditunjukkan oleh firman-Nya :

ُ‫ات فَأ َ َّما الَّ ِذينَ في قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنه‬ٌ َ‫ب َوأُ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬ ِ ‫ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكتَا‬
ٌ ‫ات ُّمحْ َك َم‬ ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬ َ ‫ي أَنزَ َل َعلَ ْيكَ ْال ِكت‬ َ ‫ه َُو الَّ ِذ‬
ُ ْ ْ
ْ ُ‫ا ْبتِغَاء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَاء تَأ ِويلِ ِه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأ ِويلَهُ إِالَّ هّللا ُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِّم ْن ِعن ِد َربِّنَا َو َما يَ َّذ َّك ُر إِالَّ أوْ ل‬
‫وا‬
‫ب‬ ْ
ِ ‫األلبَا‬

Artinya : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Al Imran : 7)

Dengan ayat itu dapat diketahui bahwa Al Qur’an adalah penjelas segala sesuatu, berisi petunjuk,
rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin dan tampaklah keserasian diantara nash-nashnya
dan bahwasanya ar Rosikhun adalah orang-orang yang menginginkan kebenaran lalu
mengembalikan ayat-ayat yang mutasyibihat itu kepada ayat-ayat muhkamat dalam memberikan
keputusan tentangnya sehingga menghilangkan kesamaran yang ada didalam ayat-ayat
mutasyabihat yang memiliki makna khusus itu dan bisa diketahui maksudnya.

Hal ini berbeda dengan orang-orang yang didalam hatinya terdapat penyakit keraguan dan
kesesatan yang membawa kepala-kepala mereka mengikuti hawa nafsu mereka cenderung
kepada nash-nash yang mutasyabihat tanpa mengembalikannya kepada yang muhkamat
dikarenakan menginginkan fitnah, menginginkan kerancuan ditengah-tengah manusia serta
menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. (Al Lajnah ad Daimah Lil Buhut wal Ifta’ juz VI hal
55 – 58)

Dan ketika ayat-ayat mutasyabihat itu tidak dijelaskan atau diterangkan oleh dalil-dalil yang
qoth’i maka hendaklah mengimaninya dan tidak memberikan pena’wilan atasnya, sebagaimana
penuturan Imam az Zarkasyi,”Adapun ayat-ayat muhkamat maka diamalkan sedangkan yang
mutasyabihat hendaklah diimani, tidak mena’wilkannya apabila tidak ada dalil qoth’i yang
menjelaskan tentangnya.”

Wallahu A’lam
1. Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

 Untuk memahami tema ini harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam Al Qur'an terdapat
ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, Allah berfirman:

ُ‫ه‬£‫ابَهَ ِم ْن‬£‫ات فَـأ َ َّما الَّ ِذ ْينَ فِي قُلُوْ بِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُوْ نَ َما ت ََش‬ ٌ َ‫ب َوأُخَ ُر ُمتَ َشابِه‬ ِ ‫ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكتَا‬
ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ َءاي‬ َ ‫ك ْال ِكت‬ َ ‫هُ َو الَّ ِذيْ أَ ْن َز َل َعلَ ْي‬
ِ ‫ا ْبتِـغَا َء ْالفِـ ْتنَ ِة َوا ْبتِـغَا َء تَأْ ِو ْيلِ ِه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويْـلَهُ ِإالَّ هللاُ َوالر‬
‫وْ ا‬££ُ‫ذ َّك ُر ِإالَّ أُوْ ل‬£َّ £َ‫ا ي‬££‫ا َو َم‬££َ‫ ِد َربِّن‬£‫َّاس ُخوْ نَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُوْ لُوْ نَ َءا َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن‬
ِ ‫ا‬££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££َ‫ْاألَ ْلب‬
)7 : ‫ران‬££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££££‫ب (ءال عم‬
"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-
ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya,
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta
orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan "kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
darinya kecuali orang-orang yang berakal" (QS. Al Imran : 7)

Ayat-ayat Muhkamat: Ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak
memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan
maksudnya. Seperti firman Allah:

)۱۱ :‫ورى‬£££££££££££££££££££££££££££‫ورة الش‬£££££££££££££££££££££££££££‫ى ٌء (س‬£££££££££££££££££££££££££££‫ ِه َش‬£££££££££££££££££££££££££££ِ‫ْس َك ِم ْثل‬


َ ‫لَي‬
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua
segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (QS. asy-Syura: 11)
)4: ‫ورة اإلخالص‬£££££££££££££££££££££££££££££££££‫ ٌد (س‬£££££££££££££££££££££££££££££££££‫ ًوا أَ َح‬£££££££££££££££££££££££££££££££££ُ‫هُ ُكف‬£££££££££££££££££££££££££££££££££َ‫َولَ ْم يَ ُك ْن ل‬
“Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (QS. al Ikhlash : 4)

)65 : ‫ريم‬£££££££££££££££££££££££££££££‫ورة م‬£££££££££££££££££££££££££££££‫ ِميًّا (س‬£££££££££££££££££££££££££££££‫هُ َس‬£££££££££££££££££££££££££££££َ‫لْ تَ ْعلَ ُم ل‬£££££££££££££££££££££££££££££َ‫ه‬


“Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (QS. Maryam : 65)
Ayat-ayat Mutasyabihat: Ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak
kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan
yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah:

﴿ ِ ْ‫ر‬£££££££££££££££££££££‫رّحْ مٰ نُ َعلَى ال َع‬£££££££££££££££££££££‫ال‬


)5: ‫ه‬£££££££££££££££££££££‫ورة ط‬£££££££££££££££££££££‫تَ َوى ﴾ (س‬£££££££££££££££££££££‫ش ا ْس‬

﴿ َّ ‫ ُل‬££££££££££‫ َع ُد ْال َكلِ ُم الطَّـيِّبُ َو ْال َع َم‬££££££££££‫ص‬


)10: ‫اطر‬££££££££££‫ورة ف‬££££££££££‫ هُ ﴾ (س‬££££££££££ُ‫الِ ُح يَرْ فَع‬££££££££££‫الص‬ ْ َ‫ ِه ي‬££££££££££ْ‫إِلَي‬

Makna ayat kedua ini adalah bahwa dzikir seperti ucapan ‫ ال إله إالّ هللا‬akan naik ke tempat yang
dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan
seperti ini sesuai dan selaras dengan ayat muhkamat ﴿ )۱۱ :‫ورى‬££‫ورة الش‬££‫ى ٌء ﴾ (س‬£ ‫ ِه َش‬££ِ‫ْس َك ِم ْثل‬
َ ‫ لَي‬.
Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat
muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh
para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam
ayat

﴿ )7 : ‫ران‬££££££££££££££££££££‫ورة ءال عم‬££££££££££££££££££££‫ا يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويْـلَهُ إِالَّ هللاُ ﴾ (س‬££££££££££££££££££££‫َو َم‬

Menurut bacaan waqaf pada lafzh al Jalalah ‫ هللا‬adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti
munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5).
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

" )‫ا‬££££££££££‫عفا خفيف‬££££££££££‫عيف ض‬££££££££££‫ديث ض‬££££££££££‫ابِ ِه ِه" (ح‬££££££££££‫وْ ا بِ ُمت ََش‬££££££££££ُ‫ ِه َو َءا ِمن‬££££££££££‫وْ ا بِ ُمحْ َك ِم‬££££££££££ُ‫ا ْع َمل‬

Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah
terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat
mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang
muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.
Seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, Murtadla az-Zabidi dalam syarh
Ihya' 'Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf as-Sadah al Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al
Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah :
"Sedang firman Allah : ﴿ )7 : ‫ران‬£‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويْـلَهُ إِالَّ هللاُ ﴾ (سورة ءال عم‬yang dimaksud adalah waktu
tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam tentang kiamat kapan tiba. Jadi mutasyabih dalam konteks ini mengisyaratkan pada
pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di
masa mendatang dan akhir semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman: ﴿ َّ‫هَلْ يَ ْنظُرُوْ نَ ِإال‬
)53 :‫راف‬££££££££££££££££££££££‫هُ ﴾ (األع‬££££££££££££££££££££££ُ‫وْ م يَـأْتِي تَأْ ِو ْيل‬££££££££££££££££££££££َ‫هُ ي‬££££££££££££££££££££££َ‫تَأْ ِو ْيل‬
maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat.

Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan (berdalih ayat tersebut)
bahwa terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang makhlukpun untuk
mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah ini termasuk
penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian ?!. Bahwa Nabi tidak mengetahui takwil sifat-
sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ?!,
bukankah Allah berfirman (tentang al Qur'an) :
﴿ )195 : ‫عراء‬£££££££££££££££££££££‫ورة الش‬£££££££££££££££££££££‫ا ٍن َع َربِـ ٍّي ُمبِ ْي ٍن ﴾ (س‬£££££££££££££££££££££‫بِلِ َس‬
Maknanya : "Dengan bahasa Arab yang jelas" (Q.S. asy-Syu'ara' : 195)
Berarti kalau menurut logika pendapat mereka ini maka mereka mesti mengatakan bahwa Allah
telah berdusta karena mengatakan ﴿ ‫ ﴾ بِلِ َسا ٍن َع َربِـ ٍّي ُمبِ ْي ٍن‬sebab mereka ternyata tidak memahaminya.
Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur'an ini
berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang tidak
diketahui oleh orang Arab padahal al Qur'an berbahasa Arab. Jika demikian halnya apa sebutan
yang patut untuk pendapat yang berujung pada pendustaan terhadap Allah ini !?".
Az-Zabidi selanjutnya mengatakan masih menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat
yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah َ‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويْـلَهُ إِالَّ هللاُ َوالرَّا ِس ُخوْ ن‬
‫ فِي ْال ِع ْل ِم‬, seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya
serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah
mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang
beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk orang-orang yang
mendalam ilmunya".
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar :
Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama.
Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil ijmali),
yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu
yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan
kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna
ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah : ﴿ ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه‬
َ ‫لَي‬
)۱۱ :‫ورى‬££££££££££££££££££££££££££££££££££££££‫ورة الش‬££££££££££££££££££££££££££££££££££££££‫ى ٌء ﴾ (س‬££££££££££££££££££££££££££££££££££££££‫َش‬
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah
meridlainya- :
" ُ ‫" َءا َم ْن‬
ِ‫وْ ِل هللا‬£££££££‫ َرا ِد َر ُس‬£££££££‫وْ ِل هللاِ َعلَى ُم‬£££££££‫ ا َء ع َْن َر ُس‬£££££££‫ا َج‬£££££££‫ َرا ِد هللاِ َوبِ َم‬£££££££‫ ا َء َع ِن هللاِ َعلَى ُم‬£££££££‫ا َج‬£££££££‫ت بِ َم‬
"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan
beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah", yakni
bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan
sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili) seperti
yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab
tafsir al Qur'an tertulis :
" ‫ ِه " اهـ‬£££££ْ‫ ِه إِلَي‬£££££ِ‫رَّبُ ب‬£££££َ‫ا يُتَق‬£££££‫ا َل َم‬£££££َ‫ هُ َويُق‬£££££‫ إِالَّ ُم ْل َك‬، ُ‫ه‬£££££َ‫ك إِالَّ َوجْ ه‬
ٌ £££££ِ‫ ْى ٍء هَال‬£££££‫لُّ َش‬£££££‫ ُك‬، ‫ص‬ َ َ‫وْ َرةُ ْالق‬£££££‫س‬.
ِ £££££‫ص‬ ُ
"Surat al Qashash, ُ‫ه‬£َ‫ك ِإالَّ َوجْ ه‬
ٌ £ِ‫ ْى ٍء هَال‬£‫لُّ َش‬££‫( ُك‬Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan
pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak
seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih
terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits
ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil
firman Allah : ‫ك ﴿ َو َجا َء‬
َ ُّ‫ َرب‬secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya
(tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al
Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi
dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati
kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib
Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni
terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al
Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad
mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang
merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak
mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara
logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama
yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti
dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan
menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab.
Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya.
Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap
keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
﴿ ُ ‫ا خَ لَ ْق‬££££££££££££££££‫ ُج َد لِ َم‬££££££££££££££££‫ك أَ ْن ت َْس‬
َّ ‫ َد‬££££££££££££££££َ‫ت بِي‬
)75 : ‫ورة ص‬££££££££££££££££‫ي ﴾ (س‬ َ ££££££££££££££££‫ا َمنَ َع‬££££££££££££££££‫َم‬
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian
khusus) dan al Hifzh (pemeliharaan dan penjagaan).

You might also like