You are on page 1of 106

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

SASTRAWIDJAJA

Editor
Tajerin

SASTRAWIDJAJA
PENELITI SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT MARITIM

Divisi Perbitan Buku Riset


Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan
BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
JAKARTA
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

Sastrawidjaja

Serba-Serbi Masyarakat Maritim/Sastrawidjaja


Jakarta: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 2006

xv…, hlm. 21 cm

Bibliografi: hlm …..

ISBN ……………

1. Sosial. I. Judul. II. Sastrawidjaja

Hak cipta 2006, pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi


buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara
penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan pertama, 2006

………………………..
Sastrawidjaja
SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

Hak penerbitan pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan
Jakarta

Desain cover oleh ……..

Dicetak di ………………………..

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan


Jl. K.S. Tubun Petamburan VI
Jakarta 10260
Telepon: (021) 53670083
Fax : (021) 53650158
E - mail : prppse@cbn.net.id
KATA SAMBUTAN
KEPALA BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI
KELAUTAN DAN PERIKANAN

Indonesia sebagai negara kepulauan, maka wajar kalau di dalamnya terdapat banyak
penduduk yang aktivitas kehidupannya berbasiskan maritim, dan daerah pantai yang berhubungan
dengannya. Kemudian, bila di kaitkan dengan letak Indonesia yang sangat strategis, yaitu diapit
oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, maka
keuntungan strategis ini jelas sangat mendukung kehidupan masyarakat maritim, dan penduduk
Indonesia pada umumnya, karena bangsa Indonesia mendapat keuntungan paling besar dari posisi
maritim global. Melalui tulisan serba-serbi masyarakat maritim ini, sedikit menyadarkan kita
kembali, betapa jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia, sangatlah penting
memposisikannya kembali, bahwa sumber daya maritim yang selama ini hanya di pandang
sebagai “pelengkap”, justru harus di kembalikan sebagai sumber kekuatan maha dahsyat bangsa
di masa depan. Kekuatan maha dahsyat tersebut kalau diukur secara keseluruhan dari nilai
ekonomi total produk maritim (perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia),
diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Potensi ekonomi yang berasal dari minyak
dan gas bumi yang 72 persen produksinya, berasal dari kawasan pesisir dan laut. Ditambah lagi
dengan potensi ekonomi jasa perhubungan yang menggunakan perairan maritim, diperkirakan 12
miliar dolar AS per tahun. Berdasarkan perhitungan 15 tahun terakhir, Indonesia ternyata
mengeluarkan devisa lebih dari 10 miliar dolar AS per tahunnya untuk membayar armada
pelayaran asing yang mengangkut lebih dari 95 persen dari total barang yang di ekspor dan
diimpor ke Indonesia, dan yang mengangkut 45 persen dari total barang yang di kapalkan antar
pulau di wilayah Indonesia (Rohmin Dahuri, 2005). Jadi dari sini, sedikit tergambarkan, peran
masyarakat maritim sesungguhnya sangat penting dalam membangun bangsanya, melalui
berbagai kegiatan untuk mensejahterakan bangsanya, yang di ikut sertakan secara total sebagai
satu kesatuan konsep holistik bangsa.
Maritim Nusantara ini, juga mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beraneka
ragam, baik yang dapat diperbaharui seperti; ikan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut,
produk-produk bioteknologi, tetapi juga memiliki sumber daya pertambangan yang tidak dapat
diperbaharui seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, baukset, serta mineral lainnya.
Kemudian kita juga memiliki sumber energi yang dapat diperbaharui seperti energi maritim yaitu
pasang surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Convertion; juga
ditambah lagi dengan jasa-jasa lingkungan maritim seperti pariwisata bahari dan transportasi
maritim. Pengakuan kehidupan berbasiskan perairan tersebut menjadi lebih nyata dan terasa,
setelah Negara yang berisikan konsepsi Nusantara (Archipelagic State), yang telah di perjuangkan
sejak deklarasi Djoeanda (1957) yang kemudian telah diterima masyarakat dunia, dan ditetapkan
dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS)
1982, maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km, sama dengan tiga
perempat dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Setelah pengakuan PBB, maka dengan luas
laut yang demikian besar di dalamnya mengandung lebih dari 17.500 buah pulau, yaitu pulau
besar dan pulau kecil yang ikut di kelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 km. Garis pantai
sepanjang itu adalah termasuk garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dan
karenanya Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Dari
peran geopolitik maritim, jelaslah bagi kita bahwa pengakuan PBB telah juga menempatkan
maritim memiliki peran geoekonomi.
Masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara sejak memproklamasikan dirinya pada
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang merdeka, maka secara kebangsaan masyarakat
yang mendiami nusantara ini menjadi bangsa besar yaitu bangsa Indonesia. Masyarakat bangsa
ini merupakan salah satu masyarakat di dunia yang hidup dan berkembang di banyak kepulauan
Indonesia, besar dan kecil , karena berada di tengah-tengah lautan. Sejarah telah membuktikan
pula bahwa masyarakat yang berdiam di pulau-pulau ini tetap mampu melangsungkan
kehidupannya, tidak terkecuali mereka yang hidup di pulau-pulau kecil ter-pencil, walaupun
berada jauh di tengah lautan. Oleh karena itu, keunikan yang di miliki oleh bangsa ini perlu
digali dan di ketahui, paling tidak fenomena tentang kehidupan dari sudut ekonomi dan sosial
lainnya. Indonesia sejak pengakuan UNCLOS tahun 1982, sebagai bangsa telah resmi menjadi
negara kepulauan, maka bersamaan dengan itu beribu-ribu pulau-pulau besar dan kecil ikut
terhimpun dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini, walaupun pulau-pulau
tersebut dipisahkan oleh lautan yang jaraknya bermil-mil dari satu pulau ke kepulauan lainnya, ini
memberikan kebebasan bagi anak bangsa ini untuk dapat memanfaatkannya bagi manusia
Indonesia.
Dalam upaya memperkenalkan beragam corak dan tata cara serba-serbi masyarakat
maritim, baik kehidupan masyarakat yang bersifat sosial dan kebudayaan yang langsung terkait
dengan lautan dan perairan atau tidak, maka tulisan ini merupakan sekelumit informasi tentang
serba-serbi kehidupan tersebut. Dan apabila semua elemen yang ada di Indonesia dapat bersinergi
secara total dan holistik membangun sektor maritim, maka bukan tidak mungkin bahwa sektor
maritim akan mampu membuahkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (sustained
economic growth), dengan menjadikan sektor maritim dan daratan sebagai dua tungku ekonomi
sebagai sebuah sistem yang mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan menuju
Indonesia yang maju, makmur, dan damai. Pada kontek inilah, maka Balai Besar Riset Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan ikut berperan menyelenggarakan riset, dan mendorong tumbuh
kembangnya kreatifitas dan menerbitkan buah pemikiran dalam ikut serta mencarikan solusi
sebagai masukan, dan dasar dalam mengembangkan ke ilmuan maritim kenusantaraan.

Kepala Balai Besar


Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Dr. Agus Heri Purnomo


Kata Pengantar
Indonesia sebagai negara yang di kelilingi oleh samudera dan lautan telah diakui oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982, merupakan salah satu negara kepulauan yang
besar. Jumlah penduduk negara kepulauan ini yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 pada saat pengakuan tersebut telah mencapai 150 juta jiwa dan telah tersebar di seluruh
kepulauan nusantara. Penduduk yang berdiam diseluruh kepulauan ini tidak dapat melepaskan
diri dari pengaruh lautan, apalagi di lihat dari sisi geografisnya yang berada di antara dua
samudera besar, ternyata telah ikut menguntungkan aktivitas kegiatan masyarakatnya. Ternyata
iklim yang ada di nusantara sangat mempengaruhi pola arus angin yang berada di sekitar
kepulauan nusantara. Arus angin yang di pengaruhi oleh Iklim inilah yang telah di manfaatkan
oleh penduduk Indonesia untuk menggerakkan perahu-perahu, dan kapal-kapal laut tersebut yang
telah mampu menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau, juga mengangkut dan
memindahkan berbagai kebutuhan hidup masyarakatnya ke berbagai belahan kepulauan di
nusantara ini.
Dalam upaya memperkenalkan beragam corak dan tata cara (serba-serbi) masyarakat
maritim, baik kehidupan masyarakat yang bersifat sosial dan kebudayaan yang langsung terkait
dengan lautan dan perairan atau tidak, maka tulisan ini merupakan sekelumit informasi tentang
serba-serbi kehidupan tersebut. Tulisan ini hanya membahas, atas dasar pada fenomena yang
dapat di lihat atau di rasakan denyutnya di dalam kehidupan masyarakat maritim berupa pranata
sosial; seperti alam laut dengan sekitarnya, peralatan kehidupan yang di ciptakan dan di gunakan,
kehidupan sosial, kegiatan ekonomi dan industri berbasiskan maritim.
Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil dan pantai-pantai terpencil hampir
tidak dikenal oleh sebagian besar oleh orang di nusantara ini, hal tersebut telah menyebabkan
mereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan kebangsaan, karena itu perlu ada
upaya mengenali kebudayaannya. Kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman atau pegangan
yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan dan menghadapi
lingkungan tertentu (lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk dapat melangsungkan
kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik
lagi. Karena itu, seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint (cetak biru) atau
desain menyeluruh kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972). Agar mampu
melakukan adaptasi diri, maka perlu dikenali ciri-ciri suatu tindakan sosial. Pertama, yang
bersifat faktual, yaitu suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada orientasi atau di
pengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua, tindakan sosial yang
bersifat tradisional, yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau dipengaruhi oleh
adanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, tindakan sosial
yang bersifat afektual, yaitu tindakan sosial yang berorientasi atau sangat di pengaruhi oleh
perasaan, seperti rasa pantas atau tidak pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman,
bangga atau tidak bangga, dan lain sebagainya.
Di lihat dari kepatuhan masyarakat terhadap tata-nilai yang telah ada di dalam masyarakat,
seperti: kepemimpinan, organisasi/lembaga, manajemen masyarakat maritim ikut dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang cukup baik dan posisif. Nilai-nilai universal, seperti
kerukunan, kerja keras, dan penghargaan, hal tersebut dapat di lihat dari harmonisnya kehidupan
masyarakat yang senantiasa saling tolong menolong dan saling memperhatikan. Dalam hal
mengikuti program kebaikan yang dianjurkan oleh pemimpinnya, secara fenomial senantiasa
memunculkan adanya sikap saling pengertian dengan suasana yang kondusif, saling percaya
antara yang memimpin dengan yang dipimpin, sehingga berbagai ketegangan sosial dengan
mudah dapat diredam. Dalam hal cara mengelola kepentingan bersama di dalam kampung
(manajemen dan organisasi), tampak adanya saling keterbukaan, untuk mewujutkan kepentingan
umum secara bersama-sama. Kemudian, berdasarkan hasil pertimbangan yang transfaran melalui
musyawarah yang di landasi dengan hukum adat yang telah ada di dalam masyarakat, dan juga
aturan agama Islam yang berlaku, sehingga kedamaian bersama senantiasa tetap terjaga.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensip, maka perlu ada batasan
pengertian masyarakat maritim. Definisi yang dianut selama ini, baru sebatas pengertian nelayan,
yang diartikan hanya sebagai orang yang mencari ikan di laut. Batasan ini memberi
penggambaran bahwa nelayan di pandang atau diartikan tidak lebih hanya sebagai tenaga kerja,
bukan dalam kontek bagian dari sistem kemasyarakatan masyarakat maritim. Di dalam
hubungannya dengan informasi yang disajikan dalam serbi-serbi ini, penulis lebih menitik
beratkan pada kegiatan sistem kemasyarakatan maritim. Oleh karena itu masyarakat maritim yang
dimaksudkan adalah sistem kelompok masyarakat yang berbudaya, bersosial, berekonomi,
berorganisasi, berteknologi yang mewujutkan kehidupannya tersebut di dalam negara kesatuan
Republik Indonesia. Kemudian, pekerjaan seperti menangkap ikan atau mengambil biota laut
lainnya atau membudidayakan ikan, pengolah hasil tangkapan, pembuat sarana maritim atau
segala pekerjaan yang terkait langsung dan tidak langsung yang dapat mempengaruhi dan
berpengaruh dengan perairan lautan, termasuk kedalam sistem kehidupan masyarakat maritim.
Serba-serbi tulisan ini mengambil contoh fenomena kehidupan masyarakat maritim di
Pasuruan, Kepulauan Riau, Bengkulu Selatan, Lampung Barat, Pandeglang, dan Lombok Timur
adalah untuk sedikit memberikan gambaran tentang aktivitas kehidupan masyarakat maritim yang
ada di sebagian wilayah nusantara. Penyajian informasi sangat bervariasi, tidak mendalam dan
juga sangat fenominal, tujuannya hanya ingin mengatakan bahwa masyarakat maritim di
nusantara ini tetap ada dan keberadaannya perlu menjadi perhatian kita bersama. Apapun corak
dan cara, bagaimana mereka hidup dan berkehidupan, tetap saja masyarakat maritim itu bagian
integral dan tidak dapat di pisahkan dalam mewujutkan dan membesarkan bangsa maritim yang
besar ini ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis sangat menyadari, buku serba-serbi masyarakat maritim ini masih banyak
sekali kekurangan dan kelemahannya disana sini, karena itu sangatlah pantas kalau
penulis memohonkan pengertian dan maklumnya dari siapapun yang berkenan dengan
buku ini. Penulis menulis buku ini mempunyai maksud untuk berbagi cerita, pemikiran
dan idealisme dalam upaya mengisi pembangunan kebangsaan yang tercinta, “Indonesia”
yang terbentuk diatas kawasan yang di dalamnya mempunyai perairan luas dan sempit,
juga mempunyai pulau-pulau besar dan kecil yang bertebaran di Nusantara, dan yang di
dalamnya ada banyak kehidupan. Terdorong oleh keinginan untuk berbagi tersebut, maka
penulisan buku ini adalah baru mampu menyajikan sekelumit informasi kekayaan dunia
maritim yang terangkat dari dalam masyarakat maritim, diantara begitu banyak
kekayaan informasi kehidupan lainnya yang belum mampu terungkapkan. Menyadari
begitu banyak kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka selama
menyusun penulisan, penulis merasa sangat beruntung karena banyak dibantu oleh
berbagai pihak yang ikut menyumbangkan pemikiran dan tenaganya, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung, dan begitu juga berbagai referensi yang relevan
dengan tulisan buku ini. Sehubungan dengan hal itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan juga terimakasih kepada semua pihak, khususnya kepada; Dr. Agus Heri
Purnom, selaku Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan yang
telah memberikan dorongan dan kesempatan ke pada penulis memperbincangkan
berbagai hal yang terkait dengan buku ini sehingga dapat terwujut menjadi uraian tulisan,
atas segala saran dan dorongannya sangatlah berarti bagi penulis. Ir. Zahri Nasution yang
telah memberikan dorongan agar ada buku yang menginformasikan tentang serba-serbi
kehidupan kemasyarakatan yang berbasiskan perairan, khususnya perairan kelautan. Dari
dorongan tersebut dilakukanlah berbagai perbincangan yang terkait dengan kehidupan
kemasyarakatan maritim, dan hasil perbincangan itu muncullah berbagai inspirasi
penyempurnaan penulisan buku ini. Juga tidak lupa kepada Ir. Manadiyanto yang ikut
menjadi editor, senantiasa memberikan semangat dan melakukan pengkoreksian yang
sangat berarti bagi penyempurnaan penulisan buku ini, yaitu mulai dari wacana hingga
memformulasikan pemikiran-pemikiran yang perlu dikritisi bersama. Dan kepada Ir.
Sapto Adi Pranowo juga tidak kalah besarnya sumbangsih beliau dalam
menyempurnakan penulisan buku ini, baik dari sisi isu informasi yang akan disajikan
maupun yang perlu mendapatkan forsi perhatian khusus. Kemudian khususnya kepada Ir.
Tajerin yang bersedia menjadi editor buku ini, sesuai dengan pengalaman beliau sebagai
anak bangsa yang dilahirkan di lingkungan masyarakat maritim dan ditambah lagi dengan
pengalamannya sebagai peneliti, maka unsur-unsur kepekaan dan kebijakan beliau
sangatlah membantu di dalam mengedit dan menyempurnakan penulisan buku ini. Dan
selanjutnya kepada teman-teman yang ikut membantu hingga terwujutnya buku ini,
penulis mengucapkan banyak-banyak terimakasih.

Penulis

Sastrawidjaja
Daftar Isi

I. MASYARAKAT MARITIM

A. PENDAHULUAN
B. KONSEP PEMIKIRAN
C. PENUTUP

II. MASYARAKAT MARITIM PASURUAN

PENDAHULUAN

KEARIFAN LOKAL.
1. Eksistensi Tata-nilai
2. Sikap Masyarakat Maritim Terhadap Tata-nilai
3. Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Maritim

EKONOMI.
1. Aktifitas Ekonomi
2. Status dan Peranan Masyarakat.
3. Akses Terhadap Sumberdaya Ekonomi.
4. Sistem Bagi Hasil.
5. Tingkat Ketergantungan Terhadap Sumberdaya

POLITIK.
1. Prinsip-prinsip Kepemimpinan.
2. Konflik dan Manajemen Konflik.
3. Akses Aturan Representasi Publik.
4. Sikap Masyarakat Terhadap Keputusan
5. Prinsip-prinsip Hubungan Lokal Dengan Luar.

KELEMBAGAAN.
1. Eksistensi Kelembagaan.
2. Peranan Kelembagaan
3. Akses Masyarakat Terhadap Kelembagaan

PENUTUP

III. MASYARAKAT MARITIM KEPULAUAN RIAU

I.PENDAHULUAN
1.Keadaan Lingkungan Ekologi
2. Gambaran Umum

II.FAKTOR PRODUKSI
1. Perizinan
2. Alat Produksi
3. Produksi
3. Nilai Produksi
III.PENGUSAHAAN MARITIM
1. Pengeluaran Pendapatan Penduduk
2. Penangkapan Ikan.
4. Pembudidayaan Ikan Laut
5. Pengolahan Ikan

IV. PENUTUP

IV. MASYARAKAT MARITIM BENGKULU SELATAN

I.PENDAHULUAN
1. Gambaran Umum

II.FAKTOR PRODUKSI
1. Sarana Tangkap
2. Armada Penangkapan
3. Perikanan Budidaya
4. Pengolahan Produk

III. PENGUSAHAAN MARITIM


1. Kegiatan Usaha Maritim
2. Perikanan Laut
3. Perikanan Darat
4. Pengolahan Produk Maritim

IV.EKONOMI MASYARAKAT MARITIM

V. PENUTUP

V. MASYARAKAT MARITIM LAMPUNG BARAT

I.PENDAHULUAN.
1. Monografi Daerah

II.GAMBARAN PEMBANGUNAN
1. Kebijakan Pembangunan
2. Kebijakan Moneter.
3. Pertumbuhan Ekonomi Lambar
4. Pertumbuhan Ekonomi Maritim.

III. PENGUSAHAAN MARITIM


1. Perikanan Tangkap
2. Perikanan Budidaya
3. Pengolahan Produksi Maritim
4. Masyarakat Maritim

IV. PENUTUP
VI. MASYARAKAT MARITIM PANDEGLANG

PENDAHULUAN

PENGETAHUAN LOKAL.
1. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Maritim
2. Konservasi Sumberdaya Maritim
3. Penegakan Peraturan

SISTEM RELIGI
1. Agama Yang Dianut
2. Hubungan Agama Dengan Kegiatan Ekonomi Masyarakat
3. Peranan Agama Dalam Kegiatan Sosial Politik Masyarakat.

EKONOMI.
1. Kegiatan Produksi
2. Aktivitas Berproduksi
3. Tingkat Ketergantungan Terhadap Sumberdaya.
4. Distribusi Hasil Kegiatan Ekonomi
5. Tingkat Konsumsi Ikan

KELEMBAGAAN
1. Asal Usul Lembaga
2. Fungsi Lembaga
3. Aturan Main Dalam Lembaga

POLITIK
1. Kepemimpinan Dalam Pemerintahan
2. Penilaian Kepemimpinan Oleh Masyarakat.
3. Proses Aturan Representasi Publik
4. Hubungan Pemegang Kekuasaan Lokal dengan Luar

PENUTUP

VII. MASYARAKAT MARITIM LOMBOK TIMUR

I. PENDAHULUAN
Monografi Kabupaten Lombok Timur

II. GAMBARAN PEMBANGUNAN


1. Indikator Maritim Kabupaten Lotim
2. Penduduk Desa Pantai
3. Kebijakan Fiskal Maritim
4.Pertumbuhan Ekonomi Lotim

III. PENGUSAHAAN MARITIM


1. Kegiatan Usaha Maritim
2. Maritim Laut.
3. Armada Penangkapan
4. Alat Penangkapan di Laut
5. Perikanan Laut
6. Produksi Hasil Penngkapan di Laut
7. Perikanan Budidaya Laut
8. Perikanan Budidaya Rumput Laut.
9. Perikanan Budidaya Darat
10. Pengolahan Hasil Maritim

IV. PENUTUP
DAFTAR TABEL

III. 1. Tabel. 1. Perkembangan Indikator Perikanan di Propinsi Riau Tahun 2000


III. 2. Tabel. 2. Perkembangan Indikator Perikanan Kabupaten Kepulaian Riau Tahun 2000
IV. 3. Tabel. 1. Tabel Luas Daerah Menurut Ketinggian Per Kecamatan di Kabupaten Bengkulu
Selatan Tahun 2000 (Km2)
IV. 4. Tabel. 2. Nama-Nama Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Berdasarkan
Kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan, Tahun 2000
IV. 5. Tabel 3. Tabel Banyaknya Perahu/Kapal Penangkap Ikan Per Rataan Luas Pantai
di Kabupaten Bengkulu Selatan Th. 2000
IV. 6. Tabel 4. Luas Usaha Perikanan Darat Berdasarkan Kecamatan
di Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2000
IV. 7. Tabel. 5. Biaya Investasi Armada Penangkapan Tradisional Per-Unit
di Bengkulu Selatan, Tahun 2000
IV. 8. Tabel. 6. Produktivitas Perikanan Darat Berdasarkan
Perbandingan Luasan Lahan, Di Bengkulu Selatan.
V. 9. Tabel 1. Indikator Perikanan Kabupaten Lampung Barat, Tahun 2000
V. 10. Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1997 - 2000
V. 11. Tabel 3. Kontribusi Perikanan Atas Dasar Harga Yang Berlaku Terhadap
Perikanan Dan PDRB Lampung Barat 1993-2000/ juta Rupiah.
V. 12. Tabel 4. Investasi Usaha Penangkapan Ikan Laut di Lampung Barat, Tahun 2000
VII. 13. Tabel. 1. Indikator Maritim Kabupaten Lombok Timur, Tahun 1996 – 2001.
VII.14. Tabel. 2. Laju Pertumbuhan Persentase PDRB Kabupaten Lotim Menurut Lapangan
Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993. Tahun 1997 – 2000.
VII.15. Tabel.3. Distribusi Persentase Dan Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lotim Atas
Dasar Harga Konstan 1993 Sektor Usaha Perikanan, Peternakan, Kehutanan dan
Maritim Tahun 1997 – 2000.
VII.16. Tabel 4. Biaya Investasi Dan Operasi Kegiatan Penangkapan
VII.17. Tabel 5. Biaya Investasi Budidaya Rumput Laut, 2002.
VII.18. Tabel. 6. Pengolahan Produk Pindang Cumi-Cumi, Kabupaten Lombok Timur, Tahun
2002.
DAFTAR GAMBAR

I. 1. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Masyarakat maritim.


VI. 2. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sosio dan Antropologi Masyarakat Maritim
BAB.I.

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM


A. PENDAHULUAN

Pulau-pulau besar dan kecil bertebaran di nusantara ini, telah banyak dihuni oleh
penduduk asli yang secara turun temurun mendiaminya, karena itu mereka telah mampu
membangun kebudayaan yang bercirikan kenusantaraan. Tebaran kepulauan ini secara alami
kesemuanya di kelilingi oleh perairan laut. Karena itu kebudayaan nusantara sering di cirikan
berhubungan erat dengan perairan laut, sehingga ada slogan yang menyebutkan ”nenek
moyangku orang pelaut”, dengan sendirinya, kebudayaan ini dapat juga disebut sebagai bagian
kebudayaan masyarakat maritim.
Masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara sejak memproklamasikan dirinya pada
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang merdeka, maka secara kebangsaan masyarakat
yang mendiami nusantara ini menjadi bangsa besar yaitu bangsa Indonesia. Masyarakat bangsa
ini merupakan salah satu masyarakat di dunia yang hidup dan berkembang di banyak kepulauan
Indonesia, besar dan kecil , karena berada di tengah-tengah lautan. Sejarah telah membuktikan
pula bahwa masyarakat yang berdiam di pulau-pulau ini tetap mampu melangsungkan
kehidupannya, tidak terkecuali mereka yang hidup di pulau-pulau kecil terpencil, walaupun
berada jauh di tengah lautan. Oleh karena itu, keunikan yang di miliki oleh bangsa ini perlu
digali dan di ketahui, paling tidak fenomena tentang kehidupan dari sudut ekonomi dan sosial
lainnya. Indonesia sejak pengakuan UNCLOS tahun 1982, sebagai bangsa telah resmi menjadi
negara kepulauan, maka bersamaan dengan itu beribu-ribu pulau-pulau besar dan kecil ikut
terhimpun dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini, walaupun pulau-pulau
tersebut dipisahkan oleh lautan yang jaraknya bermil-mil dari satu pulau ke kepulauan lainnya, ini
memberikan kebebasan bagi anak bangsa ini untuk memanfaatkannya bagi manusia Indonesia.
Adapun pulau-pulau kecil yang bertebaran di nusantara ini telah banyak juga dihuni oleh
penduduk asli yang secara turun temurun mendiaminya, karena itu mereka telah mampu
membangun kebudayaan yang bercirikan laut, sehingga mereka lebih dekat dengan kenyataan
dari slogan ”nenek moyangku orang pelaut”. Kenyataan-kenyataan inilah yang kemudian dapat
menguatkan pula bahwa kebudayaan masyarakat yang berbasiskan maritim memang mewujut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau
kecil hampir-hampir tidak dikenal oleh sebagian besar orang di nusantara ini, karenanya hal
tersebut telah menyebabkan mereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan
kebangsaan. Kebudayaan Masyarakat maritim dalam pandangan Emic View atau gambaran
sebagaimana yang diakui oleh pendukung suatu gejala tertentu, secara sederhana dapat ditelusuri
dalam tiga aspek, yaitu (1) pengetahuan (cognitive); (2) sikap (attitute); dan (30 praktek
(practice). Dapat dijelaskan, menurut (Hunter & Philip Whitten, 1976) pengertian (meaning)
yang mengacu pada interpretasi yang di letakkan atau di kenakan pada masyarakat yang
bersangkutan (secara emic) pada suatu gejala tertentu; biasanya sangat etnosentris dan dari segi
budaya bersifat relatif. Setiap interpretasi dijadikan dasar untuk mendapatkan keahlian. Menurut
aliran struktural Prancis, interpretasi terhadap gejala itu (yang didasari oleh pemiliknya) adalah
manifestasi permukaan dari pengertian yang sebenarnya. Pengertian yang sebenarnya seharusnya
ditemukan dalam fenomena biologi, kebudayaan, dan psikologis yang universal bagi kehidupan
masyarakat. Masyarakat maritim mempunyai sumber penghidupan sangat berbeda dengan
masyarakat daratan, perbedaannya adalah sumber penghidupan utama mereka tergantung
langsung dari hasil laut, maka fenomena biologi, kebudayaan, dan psikologis teradaptasikan
dengan lingkungan alam laut, dan pengetahuan, sikap dan praktek menjadi ciri spesifik dalam
menjalin hubungan sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang berada di dalam atau diluar
kebudayaan mereka.
Pranata sosial adalah sistem antar-hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang
terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan sosial utama tertentu
(Suparlan, 1984; 1986). Lebih lanjut dikatakan bahwa pranata sosiallah yang memungkinkan
kebudayaan dioperasikan dalam kehidupan nyata, yaitu yang terwujud dalam struktur-struktur
yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, terdapat banyak pranata sosial dalam kehidupan satu
masyarakat, misalnya, pranata kesehatan, ekonomi, politik, kekerabatan, pendidikan, dan lain
sebagainya (Suparlan, 1984 dan Koentjaraningrat, 1979). Pranata sosial di dalam masyarakat
maritim seperti yang digambarkan tersebut secara fenomial dapat dijumpai dan dibuktikan
keberadaannya di dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang terpencil umumnya
menjadikan peranan keluarga sangat penting, karena pentingnya itu maka di operasionalkan
melalui sistem kekerabatan yang menekankan pada keharusan-keharusan menjaga martabat
keturunan melalui berbagai petunjuk yang ada dalam kebudayaannya. Di dalam masyarakat
maritim peran-peran kekeluargaan menjadi sangat penting dan dikembangkan sedemikian rupa,
sehingga pola hubungan kekerabatan dapat diketahui melalui struktur sosial yang terbentuk dari
suatu suku anak bangsa. Karena peran yang penting inilah, maka aspek kehidupan yang
berekenaan dengan budaya, sosial, ekonomi, hukum dan teknologi peralatan kehidupan menjadi
sistem tersendiri, sehingga di pulau-pulau kecil sekalipun peran-peran tersebut tetap berfungsi,
dan khusus sistem ekonomi maritim masih mampu menghubungkan pemilik barang dengan
penjual barang dan jasa dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, apakah dia
yang hidup di pulau terpencil di tengah samudera lautan hindia sekalipun.
B. DASAR PEMIKIRAN
Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil hampir tidak dikenal oleh sebagian
besar orang di nusantara ini, hal tersebut telah menyebabkan mereka termarjinalkan dari berbagai
bidang pembangunan kebangsaan, karena itu perlu ada upaya mengenali kebudayaannya. Ilmu
antropologi bicara tentang antar hubungan fungsional dari bagian-bagian suatu kebudayaan, atau
tentang integrasi masing-masing bagian itu. Dengan demikian, para ahli antropologi mengartikan
bahwa bagian-bagian yang berbeda-beda dalam satu kebudayaan sebenarnya tidak hanya saling
berkaitan erat, tetapi juga merupakan gabungan fungsional yang mempunyai kegunaan, dan
merupakan satuan yang dinamis (Foster dan Anderson, 1986; dan Kalangie, 1986). Oleh sebab
itu, terdapat banyak pranata sosial dalam kehidupan satu masyarakat, misalnya, pranata religi,
kesehatan, ekonomi, politik, kekerabatan, pendidikan, dan lain sebagainya (Suparlan, 1984 dan
Koentjaraningrat, 1979). Sedangkan jarak sosial mengacu pada keadaan jauh dan tidak sesuai
yang timbul dalam interaksi antarmanusia dalam satu masyarakat (Suyono, 1985)
Tindakan kebudayaan suatu masyarakat pada dasarnya memiliki hubungan resiprokal
dengan sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya. Sementara dalam wacana masalah
pembangunan, derajat sosial dan kebudayaan masyarakat juga tidak dapat dipisahkan oleh
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian berdasarkan pada pemahaman
ini maka kebudayaan masyarakat maritim secra fenomial dapat terrepleksikan dalam bentuknya
di kehidupan ke lautan melalui pranata sosial. Fenomena makro sosial dan kebudayaan
masyarakat (pranata sosial dalam masyarakat) dan fenomena mikro sosial dan kebudayaan
masyarakat (individu atau pranata sosial dalam keluarga) secara nyata ada dan hidup di negara
maritim ini, Indonesia. Hal ini penting dibaca bersama karena ”individu” memiliki karakter
tersendiri pada saat belum terjadi interaksi, namun saat interaksi terjadi (dengan individu lain) di
dalam suatu masyarakat berbangsa, maka yang muncul adalah karakter masyarakat itu sendiri.
Untuk masyarakat maritim dengan jelas dapat dikenali dari lingkungan tempat tinggalnya,
peralatan kehidupannya, struktur sosial yang terbentuk dan norma-norma kehidupan yang
diberlakukan dalam menata individu dan individu di dalam masyarakatnya. Karena itu konsep
kebudayaan masyarakat maritim meliputi dan mencakup pranata sosial dalam kehidupan satu
masyarakat, yaitu, pranata religi, kesehatan, ekonomi, politik, kekerabatan, pendidikan. Kondisi
kebudayaan tersebut di pandang sebagai cerminan beberapa faktor utama yang menjadi pengenal
kebudayaan masyarakat maritim.
Adapun deskripsi kerangka pemikiran dan ruang tersebut dapat disajikan dalam Gambar 1
sebagai berikut:

Manusia Maritim Pulau-Pulau Besar


dan Kecil

Adaptasi Masyakarat Maritim Tindakan Sosial


Lingkungan
- Faktual
- Fisik/Alam
- Tradisional
- Kebudayaan
- Afektual
- Sosial
Kebudayaan
- Pengetahuan
- Sikap
Fenomena
- Praktek
- Biologis
- Kebudayaan
- Sosial/Psikologis

Pranata Sosial

- Kekerabatan,
- Religi,
- Ekonomi,
- Pendidikan,
- Kesehatan
- Politik
- Hukum

Kebudayaan Masyarakat
maritim

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Masyarakat maritim.

1.Kebudayaan Masyarakat
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh makhluk manusia
sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang
secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang
dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam
pengertian ini, kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya
operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan dan menghadapi lingkungan tertentu
(lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu,
seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint (cetak biru) atau desain menyeluruh
kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972). Masyarakat yang berdiam di pulau-
pulau terpencil seperti di kepulauan Indonesia, dalam hal anggota masyarakatnya mengadaptasi
diri dengan lingkungan alam sekitarnya dan menghadapi lingkungan tersebut yang berupa
lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan termasuk ekonomi untuk dapat melangsungkan
kehidupannya, adalah usaha yang harus selalu di lakukan agar mampu mempertahankan generasi
ke generasi lanjutannya.
Kehidupan yang telah terbentuk di kepulauan Indonesia, merupakan kehidupan yang
berciri khusus, kekhususan itu dapat di lihat dari kemampuannya beradaptasi dengan segala
situasi baik yang datang dari luar atau yang berasal dari dalam. Upaya adaptasi merupakan upaya
bertahan untuk dapat hidup dengan layak menurut kaidah-kaidah kebudayaan mereka sendiri.
Kembali pada cara pandang di dalam ilmu antropologi dan sudah sejak lama dikenal sebagai
trade mark ilmu antropologi, yang beranggapan bahwa batas-batas dari satu pranata dengan
pranata yang lain dalam satu kebudayaan tidak pasti; suatu pranata tidak dapat dipelajari sendiri,
namun harus dikaji dalam kontek pranata yang lainnya yang menopang atau ditopang oleh
pranata ”kebudayaan asli Masyarakat maritim di pulau-pulau kecil". Antar pranata yang terjadi
dan terbentuk di dalam masyarakat maritim di kepulauan Indonesia adalah memiliki atau
merupakan satu jaringan hubungan sistem yang sudah terpolakan.
Maka hampir secara otomatis para ahli antropologi menyerahkan perhatian mereka pada
seluruh sistem. Artinya, para ahli antropologi bicara tentang antar hubungan fungsional dari
bagian-bagian suatu kebudayaan, atau tentang integrasi masing-masing bagian itu. Dengan
demikian, para ahli antropologi mengartikan bahwa bagian-bagian yang berbeda-beda dalam satu
kebudayaan sebenarnya tidak hanya saling berkaitan erat, tetapi juga merupakan gabungan
fungsional yang mempunyai kegunaan, dan merupakan satuan yang dinamis (Foster dan
Anderson, 1986; dan Kalangie, 1986). Ditambah dengan unsur lainnya yang sering disebut
perspektif antropologi yakni relativisme kebudayaan atau suatu sikap yang menunjukkan
kemauan untuk memandang dengan simpati bentuk-bentuk budaya dari masyarakat lain dan tidak
menilai kebudayaan kebudayaan masyarakat maritim menurut norma umumnya, tetapi sesuai
dengan nyatanya, maka ilmu antropologi akan menyumbang banyak hal bagi ilmu-ilmu
antropologi dan sosial.
2.Ekonomi Masyarakat
Dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat maritim yang tidak
dapat dipenuhi sendiri, usaha ini, sebagaimana dikatakan (Suparlan, 1986 ), ada tiga wujud (atau
kecenderungan ) yang memberi ciri suatu tindakan sosial. Pertama, yang bersifat faktual, yaitu
suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada orientasi atau dipengaruhi oleh nilai-
nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua, tindakan sosial yang bersifat tradisional,
yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau dipengaruhi oleh adanya ikatan tradisi
yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, tindakan sosial yang bersifat afektual,
yaitu tindakan sosial yang berorientasi atau sangat dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas
atau tidak pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau tidak bangga,
dan lain sebagainya.
Pembahasan tulisan tentang masyarakat maritim dari pranata ekonomi, adalah lebih
diarahkan pada ciri tindakan sosial yang bersifat faktual tentang ekonomi, yaitu kasus
masyarakat di pulau kepulauan Indonesia. Tinjauan tulisan bersifat pengamatan fenomial lokal
yang berkenaan dengan; aktifitas ekonomi (menyangkut aspek produksi dan konsumsi), status dan
peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem bagi hasil, dan tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya.
3.Aktifitas Ekonomi
Di daerah pedesaan, seperti halnya di banyak kepulauan Indonesia, diduga tindakan
sosial itu cenderung bercirikan tradisional dan afektual. Oleh sebab itu, pertanyaannya mengapa
masyarakat tetap bertahan hidup dipulau terpencil, hal ini mungkin di latarbelakangi oleh sikap-
sikap tradisional dan afektual tersebut. Masalahnya untuk meningkatkan pemberdayaan
masyarakat maritim dimasa depan bagaimana keadaannya disikapi dalam situasi empirik dan
secara konseptual, inilah yang perlu pengkajian lebih dalam.
Ciri tradisional dalam persfektive yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau
dipengaruhi oleh adanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat maritim di kepulauan Indonesia mata pencaharian utamanya dari kegiatan
menangkap ikan dan mengambil biota laut lainnya dan bertani. Pekerjaan ini secara rutin di
lakukan oleh hampir semua orang yang berdiam di desa tersebut. Kebiasaan waktu bekerja yang
telah menjadi bagian kehidupan bersama yaitu dimulai sejak pagi hari hingga sore hari. Pekerjaan
utama yang di lakukan adalah mencari nafkah hidup yang bersumber dari daratan, lautan atau
peternakan. Penduduk kepulauan Indonesia pedoman kerjanya lebih didasarkan pada hukum-
hukum alam yang terjadi disekitar kehidupan mereka, termasuk curahan tenaga kerjanya
disesuaikan dengan waktu-waktu yang telah tertentu pula. Ada sebagian masyarakat maritim,
mereka mulai pergi melaut sekitar jam 4.30 pagi dan pulang kembali mendarat sekitar jam 16.00
sore harinya. Ikan hasil tangkapan langsung dibawa pulang dan kemudian ibu rumah tangga
melakukan pekerjaan untuk di olah menjadi produk ikan olahan asin yang seterusnya dijual
kepenampung ikan.
Siklus kerja masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya berlangsung terus setiap
hari, dan ini dapat juga disebut sebagai tindakan sosial yang bersifat afektual, yaitu tindakan
sosial yang berorientasi atau sangat dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas atau tidak
pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau tidak bangga, dan lain
sebagainya (Suparlan, Parsudi (Ed.), 1986). Perwujutan dari sifat afektual ini dapat dengan
mudah dikenali contohnya pada hari-hari tertentu yang berlaku bagi semua masyarakat di
kepulauan Indonesia, seperti hari raya atau pesta adat semua masyarakat di pulau berhenti sejenak
melakukan kegiatan penangkapan atau perikanan, dan begitu juga kalau ada anggota keluarga
yang mempunyai hajat perkawinan atau menemui kemalangan. Rasa solidaridas sosial di dalam
masyarakat sangat tinggi, hal ini diwujutkan dengan bentuk parsisipasi secara aktif terhadap
kegiatan kemasyarakatan.
Kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaan untuk investasi salah satunya dapat di lihat
dari pembangunan sarana perumahan, banyak juga ditemukan rumah-rumah permanen dari bahan
kayu dengan lingkungan yang asri, termasuk bangunan tempat ibadah Masjid. Kesemua hal yang
tersebut tadi memberikan indikasi bahwa masyarakat maritim kepulauan Indonesia telah mampu
mengatur kehidupan sosialnya dengan baik, dalam artian mampu melakukan hidup yang lebih
hemat. Kalau ditinjau dari investasi sarana ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan
peralatan penangkapan perahu (Non powered boat), jaring (nettings) dan mesin (machines),
tampaknya tidak banyak melakukan investasi secara besar-besaran kepada peralatan
penangkapan, hal ini terlihat dengan ukuran, dan volume perahu yang kecil-kecil dan masih
banyak yang menggunakan dayung. Sampai sekarang armada penangkapan yang tergolong kecil
ini masih mendominasi dan diperkirakan lebih dari 70% dari total armada penangkapan yang ada.

4.Status dan Peranan Masyarakat.


Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat maritim telah terdeferensiasi menurut sifat
pekerjaannya. Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan
ditengah laut, sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan
dan ada juga yang ikut membantu memperbaiki jaring. Jenis-jenis pekerjaan yang berdasarkan
spesialisasi atau keterampilan ini yang telah di lakukan secara turun temurun, telah menciptakan
kondisi kerja yang saling tergantung secara harmoni. Sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak
di perairan di lakukan oleh laki-laki (berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin,
memperbaiki perahu, memasang jaring dan menentukan arus dan musim ikan). Adapun sifat
pekerjaan yang menuntut lebih banyak di lakukan di darat, umumnya adalah pekerjaan
perempuan (mendagangkan ikan/udang (shrimp), melakukan pengolahan pengawetan ikan,
mengatur rumah tangga selama lakinya ke laut) dan pekerjaan sosial lainnya.
Bentuk hubungan positif antara spesialisasi dan reward and punishment (tercermin dari
sharing system) hal ini dapat di lihat dan diketahui secara jelas. Setiap pekerjaan spesialis
mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan
bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Dari hasil tangkapan setiap kali mendarat,
langsung di lakukan pembagian hasil berdasarkan sistem bagi hasil yang telah berlaku dan diakui
secara umum oleh setiap anggota masyarakat maritim di kepulauan Indonesia. Pembagian bagi
hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu setengah) bagian dan
anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian. Jadi kisaran total bagian adalah antara 4 (empat)
bagian hingga 5 (lima) bagian.
Kemampuan membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu
diantara anggota masyarakat maritim telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan
sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di dalam perahu, pembagian pekerjaan telah sangat jelas dan
harus di lakukan secara bersama-sama, sehingga setiap orang yang ada diatas perahu
kemampuannya menbangun kerjasama sangat besar, karena nasib mereka secara bersamaan
tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama diatas perahu, selama
pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum merupakan kerjasama
mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan untuk
membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan secara bersama-
sama.
Jaringan kerja sama kolektif telah menjadikan hubungan yang mampu saling memberi
antara lain: 1) jaminan subsistensi terhadap buruh/nelayan yang paling bawah dan 2)
interdependensi antar elemen. Jaminan subsistensi adalah memberikan kesempatan kepada semua
anggota masyarakat maritim yang ingin bekerja di laut dengan cara mengikuti pelayaran pada
perahu-perahu yang akan pergi menangkap ikan, statusnya adalah sebagai anak buah perahu
(ABK), dan atas jasanya itu maka diberikan bagian hasil. Di lihat dari interdependensi antar
elemen, ternyata antar masyarakat maritim saling memberikan informasi dan kesempatan untuk
ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi fishing ground yang sama, bersamaan
dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan ikan atau biota laut lainnya
udang (shrimp) , kepiting (mud crubs), dan lain lain. Ditinjau dari sini, maka ada hubungan
timbal balik yang saling membutuhkan antara nelayan penangkap (marine fishing), para bakul
(retailers) ikan/udang (shrimp)/kepiting (mud crubs) dan juga ibu rumah tangga yang berfungsi
menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan olahan.

5.Akses Terhadap Sumberdaya Ekonomi.


Struktur yang baik apabila jika terjadi interdependensi yang simetris (bargaining
position/power sharing) terhadap akses ke sumberdaya ekonomi. Interdependensi yang simetris
secara ideal agak sulit dikenali tanpa adanya riset yang mendalam mengenai ekonomi maritim.
Interdependensi masih dapat dikenali secara umum melalui struktur kegiatan ekonomi yang di
lakukan oleh masyarakat maritim mulai dari pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan
sistem bagi hasil yang diberlakukan pada umumnya oleh sebagian besar masyarakat maritim.
Setiap anggota masyarakat maritim yang ada di kepulauan Indonesia mempunyai
kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan penangkapan di laut setiap saat, faktor
pembatasnya hanyalah terletak pada peralatan tangkap yang mereka miliki saja. Dari sisi
kesempatan untuk berusaha melakukan penangkapan tidak ada deskriminasi yang diakibatkan
karena hak kepemilikan, sumberdaya laut adalah menjadi hak milik bersama. Untuk menjaga agar
belum terjadi eksploitasi berlebihan, maka alat tangkap yang dianggap merusak habitat ikan (
mini trawl atau modifikasinya) di lakukan pelarangan dan agar ditaati bersama. Pelanggaran
terhadap komitmen bersama inilah sebenarnya yang menjadi penyebab adanya konflik ditengah
laut yang kadang-kadang terjadi dan berakibat kepada kerusakan material atau kehilangan jiwa.
Pemasaran hasil tangkapan umumnya di lakukan oleh pedagang yang ada di tempat atau di
kepulauan Indonesia, dan selanjutnya dipasarkan kepada pihak lainnya yang ada diluar kepulauan
Indonesia. Nelayan penangkap bebas melakukan penjualan hasil tangkapannya kepada siapa saja
yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena perjanjian (tertulis atau tidak
tertulis) yang diakibatkan karena adanya pinjaman lebih dahulu kepada juragan sebelum
melakukan penangkapan di laut. Untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial akibat kegiatan
ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat maritim
dalam melakukan kegiatan usaha penangkapannya di laut.
Keterampilan fungsional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, khususnya
masyarakat maritim adalah keterampilan yang terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan
penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan, pemasaran dan pembiayaan.
Kegiatan penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya dimiliki
oleh kaum laki-laki, sehingga pergi ke laut untuk melakukan penangkapan merupakan bagian
utama pekerjaan mereka. Pengolahan produk hasil tangkapan umumnya banyak di lakukan oleh
kaum perempuan, sehingga kelompok keterampilan ini seolah-olah menjadi bagian kehidupan
perempuan. Produk olahan yang mereka buat umumnya masih terbatas pada produk olahan
tradisional, seperti ikan asin, pengasapan, pemindangan atau pembuatan ebi.
Adapun kelompok fungsional pembuatan peralatan penangkapan, untuk pembuatan perahu
umumnya di lakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring atau bubu kadang-kadang di
lakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil
tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar Kepulauan Indonesia banyak di lakukan
oleh perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar umumnya telah di lakukan oleh
laki-laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan;
keterampilan pemasaran ditingkat pengecer di lakukan oleh perempuan dan sedangkan pemasaran
ditingkat pengumpul telah di lakukan oleh laki-laki. Adapun pengelolaan pembiayaan usaha
sering di lakukan oleh perempuan, khususnya pada skala usaha kecil (pengecer, persiapan biaya
eksploitasi), tetapi pada tingkatan skala yang lebih besar maka pengelolaan pembiayaan di
lakukan oleh laki-laki, termasuk meminjamkan pada pihak ketiga (nelayan penangkap, dan
nelayan pengecer).
Persepsi terhadap sumberdaya alam terkait konsepsi hak kepemilikan (sea tenure) menjadi
bagian penting bagi seluruh anggota masyarakat maritim di Kepulauan Indonesia. Sumberdaya
alam yang dipersepsikan oleh masyarakat maritim adalah merupakan hak milik Allah, karena itu
wajib dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama. Dalam merealisasikan
persepsi ini ada juga sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan di laut itu tidak akan habis,
karena itu boleh saja melakukan usaha kegiatan penangkapan kapanpun seseorang itu mau selagi
dia mampu. Dari persepsi yang mengatakan sumberdaya alam dapat dieksploitasi sepanjang
waktu, telah menyebabkan terjadinay pertambahan alat tangkap, karena daerah fishing ground
yang dimiliki bersama terbatas telah menyebabkan terjadinya keluhan bahwa mulai ada
penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan oleh sebagian besar anggota masyarakat
maritim Kepulauan Indonesia penyebab utamanya dikarenakan oleh nelayan pendatang yang
melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka dengan menggunakan alat tangkap yang
lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl. Reaksi masyarakat adalah menentangnya
dengan keras, sehingga sering terjadi konflik sosial.
6.Sistem Bagi Hasil.
Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha
kegiatan penangkapan antara pemilik modal (perahu, jaring dan mesin) dengan tenaga kerja yang
melakukan penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK). Mempelajari
sistem bagi hasil yang telah diterapkan tampaknya masih mengundang pertanyaan yaitu "Apakah
pembagian insentif yg ada telah menggambarkan sebaran kontribusi dari masing2 pelaku
kegiatan". Susunan pembagian hasil tangkapan umumnya adalah untuk bagian kasko 1 bagian,
jaring 1 bagian, mesin 1 bagian, eksploitasi 1 bagian dan anak buah perahu 1 bagian, sehingga
total bagian adalah 5 bagian. Dari besaran pembagian ini tampaknya sebaran kontribusi dari
masing-masing pelaku kegiatan sudah terpenuhi, tetapi prinsip keadilannya sering belum tercapai
karena kasko, jaring dan mesin sering dibiayai oleh juragan (supplier), sehingga ada keterkaitan
tidak langsung setiap kali menjualkan hasil tangkapannya harus kepada pemberi modal kerja
(suppliernya).
Pembagian insentif melalui sistem bagi hasil yang telah ada, dapat dikatakan apabila usaha
kegiatan penangkapan tidak tergantung pada juragan (supplier) sebagai pemberi pinjaman modal
kerja, sebenarnya telah dapat memberikan peluang kesejahteraan kepada maritim di Kepulauan
Indonesia. Adanya peranan juragan menjadi semakin penting di dalam menjalankan kehidupan
ekonomi masyarakat dikarenakan banyak anggota masyarakat maritim yang permodalan kerjanya
terbatas, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat pergi ke laut apabila tidak meminjam modal
kerja ke juragan.

7. Ketergantungan Terhadap Sumberdaya.


Masyarakat maritim kepulauan Indonesia menjadikan laut sebagai sumber mata
pencaharian utamanya dalam menggantungkan hidup. Dengan demikian sumberdaya laut adalah
hidup matinya masyarakat mereka, maka ditinjau dari pandangan ini sangatlah beralasan mereka
sangat tergantung pada sumberdaya maritim yang berada disekitar kampung mereka dan selalu
siap untuk memanfaatkannya dan menjaganya bersama-sama.
Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang dikembangkan oleh masyaraka maritim
adalah terkait erat dengan hasil sumberdaya maritimnya, seperti perikanan tangkap atau dari
perikanan budidaya. Mata pencaharian alternatif di lihat dari struktur diversifikasi kegiatan usaha
seperti penangkapan, pengolahan, perdagangan, pembuatan peralatan penangkapan tampaknya
masih terbatas. Dihubungkan dengan pertanyaan "seberapa jauh tersedia dan mau menjalankan
mata pencaharian alternatif di dalam maupun diluar sektor ke lautan "?. Pertanyaan ini masih sulit
dijawab, karena sifat masyarakatnya yang menetap dan usaha kegiatannya cenderung
berkembang sedikit (stagnant), yang dicirikan perahunya masih kecil-kecil. Perkembangan alat
penangkapan yang terjadi di daerah lainnya yang telah merubah perahu kecilnya menjadi perahu
yang lebih besar tidak mempunyai pengaruh terhadap perbahan dinamika ekonomi masyarakat
maritim di wilayah kepulauan Indonesia pada umumnya. Untuk kasus kepulauan Indonesia
diketahui agak sulit menerima pengembangan dari luar secara cepat (drastic), hal ini terjadi,
dimana ada suatu kondisi masyarakatnya cenderung tetap mempertahankan keadaan yang telah
ada selama ini. Jadi mata pencaharian alternatif, terutama yang berasal di luar masyarakatnya
akan sulit diterima, terkecuali orang tersebut keluar dari desanya.
Ciri tradisional mata pencaharian utama dari kegiatan menangkap ikan dan mengambil
biota laut lainnya dan bertani karena ada ikatan tradisi di dalam masyarakat maritim di kepulauan
Indonesia. Dari sifat afektualnya dapat dikenali pada hari-hari tertentu berlaku bagi semua
masyarakat di kepulauan Indonesia, seperti hari raya atau pesta adat yang mempunyai solidaritas
tinggi, semua masyarakat di pulau berhenti sejenak melakukan kegiatan penangkapan atau
perikanan, dan begitu juga kalau ada anggota keluarga yang mempunyai hajat perkawinan atau
menemui kemalangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ditinjau dari investasi sarana ekonomi
dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan seperti; perahu, jaring dan mesin,
menyatakan tidak banyak melakukan investasi secara besar-besaran kepada peralatan
penangkapan, hal ini terlihat dari ukuran, volume perahu yang kecil-kecil dan masih banyak yang
menggunakan dayung.
Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat telah terdeferensiasi menurut sifat pekerjaannya.
Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan ditengah laut,
sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan dan ada juga
yang ikut membantu memperbaiki jaring. Bentuk hubungan positif antara spesialisasi dan reward
and punishment yang tercermin dari sistem bagi hasil (sharing system), setiap pekerjaan spesialis
telah mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda
dengan bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Kemampuan membangun kerjasama
secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu diantara anggota masyarakat telah terjalin
dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di lihat dari
interdependensi antar elemen, ternyata antar elemen ekonomi saling memberikan informasi dan
kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi penangkapan (fishing
ground) yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan
ikan atau biota laut lainnya. Setiap anggota masyarakat yang ada di kepulauan Indonesia
mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan penangkapan di laut setiap saat,
faktor pembatasnya hanyalah terletak pada peralatan tangkap yang mereka miliki saja.
Keterampilan fungsional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, adalah keterampilan yang
terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan
penangkapan, pemasaran dan pembiayaan.
Persepsi terhadap sumberdaya alam yang di kaitkan dengan konsepsi hak kepemilikan
(sea tenure) menjadi bagian penting bagi seluruh anggota masyarakat di kepulauan Indonesia.
Dari persepsi yang mengatakan sumberdaya alam dapat dieksploitasi sepanjang waktu, telah
menyebabkan terjadinya pertambahan alat tangkap, karena daerah fishing ground yang dimiliki
bersama terbatas telah menyebabkan terjadinya keluhan bahwa mulai ada penurunan hasil
tangkapan. Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha
kegiatan penangkapan antara pemilik modal (perahu, jaring dan mesin) dengan tenaga kerja yang
melakukan penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK). Peranan juragan
semakin penting di dalam menjalankan kehidupan ekonomi masyarakat, karena banyak anggota
masyarakat yang permodalan kerjanya terbatas, telah menyebabkan mereka tidak dapat pergi ke
laut apabila tidak meminjam modal kerja ke juragan.
Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang perlu dikembangkan oleh masyarakat harus
terkait erat dengan hasil sumberdaya maritim. Mata pencaharian alternatif di lihat dari struktur
diversifikasi kegiatan usaha seperti penangkapan, pengolahan, perdagangan, pembuatan peralatan
penangkapan masih terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu ada program
pemberdayaan ekonomi secara khusus dan berbasiskan kekhususan masyarakat maritim yang ada
di kepulauan Indonesia. Sarana perhubungan yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat
maritim perlu didukung dengan sarana perhubungan yang lebih besar. Pengembangan sarana ini
di kaitkan langsung dengan keunggulan sumberdaya kepulauan Indonesia, seperti pariwisata ke
lautan.

C. PENUTUP
Dari gambaran tentang masyarakat maritim yang di dalamnya mengandung pemaknaan
proses adaptasi lingkungan, tindakan social, untuk selanjutnya menciptakan kebudayaan,
membentuk system nilai-nilai melalui pranata social yang terbentuk kemudian, dan di dalamnya
ada nilai-nilai yang berkaitan dengan kekerabatan, religi, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan
politik serta hukum, maka masyarakat maritim tidaklah dapat dimaknai hanya sebagai objek
tunggal anse, tetapi dia harus dimaknai sebagai objek multi-dimensional yang mempunyai
system nilai-nilai tersendiri. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensip, maka perlu
ada batasan pengertian masyarakat maritim. Definisi yang telah dianut selama ini, masyarakat
maritim itu di identikkan dengan nelayan, yang di maknai pengertiannya tidak lebih hanya
diartikan sebagai orang yang mencari ikan di laut. Batasan ini memberi paradigma bahwa nelayan
adalah tidak lebih berfungsi hanya sebagai tenaga kerja, bukan dalam kontek bagian dari system
nilai-nilai kemasyarakatan maritim. Masyarakat maritim yang dimaksudkan pada uraian tulisan
ini lebih menitik beratkan pada pendekatan system nilai-nilai kemasyarakatan maritim yang
sumber penghidupannya berbasiskan kemaritiman, sehingga masyarakat yang terbentuk adalah
masyarakat yang berbudaya dan bersosial berbasis perairan, yang berekonomi, yang berhukum,
yang berteknologi dan yang berpengetahuan spesifik mengikuti kaedah-kaedah ekologi
kemaritiman. Dengan demikian nelayan dapat dipahami adalah sebutan orang yang kehidupannya
sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan perairan, sehingga nelayan adalah orang yang
mengerti kemaritiman, keilmuan maritim, keteknologian maritim, kebudayaan dan kesosialan
maritim, hukum-hukum kemaritiman dan ekonomi kemaritiman. Oleh karena itu nelayan yang
dimaksudkan adalah sub kelompok masyarakat maritim yang bekerja menangkap atau
membudidayakan ikan, sedangkan sub-sub kelompok masyarakat nelayan lainnya dapat di lihat
sebagai pengolah hasil tangkapan, dan pembuat sarana kemaritiman tetapi harus lebih luas
seperti; pengangkut barang dan orang dengan perahu atau kapal, pemandu wisata bahari,
penyelam atau perenang, pekerja tambang bawah laut, seniman, pemangku adat dan lain-lainnya..

DAFTAR PUSTAKA

Foster, George M. & Barbara G. Anderson, 1986. Antropologi Kesehatan (terjemahan), Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Hunter, David E., Philip Whitten, 1976. Encyclopedia of Anthropology, New York: Harper &
Row, Publishers, Inc.

Kalangie, Nico S, 1986. Kerangka Konseptual Sistem Perawatan Kesehatan, dalam Berita
Antropologi, No. 44 Thn XII, Jakarta: Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.

Spradley, James P. (Ed), 1972. Foundation of Cultural Knowledge, dalam James P. Spradley
(Ed), Culture and Cognation: Rules, Maps, dan Plans, San Francisco: Chandler
Publishing Company.

Suparlan, Parsudi (Ed.), 1984. Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan
Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi (Ed.), 1986. Kebudayaan dan Pembangunan, dalam Terbitan Berkala Media
IKA, No. 11, Thn XIV, Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, hlm. 106-135.

Suyono, Aryono, 1985. Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Prasindo.


BAB II

MASYARAKAT MARITIM PASURUAN

PENDAHULUAN
Masyarakat maritim yang berdiam di wilayah Kabupaten Pasuruan, daerah Propinsi Jawa
Timur, telah sejak lama memanfaatkan sumberdaya maritim yang berada disekitar wilayahnya
sebagai tempat hidup dan mencari kehidupan. Kehidupan sosial budaya masyarakat maritim di
Pasuruan secara umum pada dasarnya memiliki hubungan resiprokal dengan sumberdaya alam
dan lingkungan disekitarnya. Disamping itu dalam masalah pembangunan, kehidupan sosial
budaya masyarakat maritim tidak pula dapat dipisahkan dari kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu pemerintah daerah dan propinsi, bahkan pemerintah Pusat.
Persoalan yang sering menjadi kendala adalah proses mempertemukan peranan pemerintah dan
masyarakat secara egaliter sehingga menjadi pendorong kemajuan dan mutlak diperlukan di
dalam konsep pemberdayaan. Berdasarkan pada pemahaman ini maka kondisi sosial budaya
masyarakat maritim yang terkait dengan permasalahan pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari
aspek-aspek sosiologi dan antropologi (Wiradi, Gunawan. 1997). Pemahaman terhadap kedua
aspek ini menjadi penting karena fenomena makro sosial budaya masyarakat dari sistem sosial di
dalam masyarakat dan fenomena mikro sosial budaya masyarakat dari individu atau sistem sosial
dalam keluarga adalah sesuartu yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman atas fenomena sosial
budaya secara menyeluruh tersebut penting di lakukan mengingat manusia sebagai ”individu”
memiliki karakter tersendiri pada saat tidak melakukan atau terjadi interaksi dengan manusia lain.
Namun saat terjadi interaksi dengan individu lain di dalam suatu masyarakat, kejadian yang
umumnya muncul adalah karakter masyarakat. Khusus masyarakat maritim di Pasuruan, maka
karakter yang muncul dalam kehidupan sosial (kearifan lokal), ekonomi, politik dan kelembagaan
adalah karakter masyarakat maritim Pasuruan. Fenomina ini dapat diketahui dari pola kehidupan,
mereka membentuk dan menyesuaikan diri dengan sistem ekologi yang berlaku di wilayahnya
(Taryoto, Andin. 1999).
Menurut Dahuri (2000), secara parsial pembangunan sektor kelautan dan perikanan belum
berdasarkan kondisi masyarakat nelayan yang masih termarjinalkan tersebut, maka pemberdayaan
sosial ekonomi masyarakat merupakan paradigma yang penting dalam pelaksanaan pembangunan
sektor kelautan dan maritim saat ini. Paradigma pemberdayaan bukan saja berupa tuntutan atas
pembagian secara adil aset ekonomi tetapi juga merupakan semangat untuk meruntuhkan
dominasi birokrasi dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat (Hikmat,
2001). Hal ini mengingat dua elemen terpenting di dalam konsep pemberdayaan adalah
mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi
sosial (social capital)-nya serta pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan
memberikan corak warna terhadap sumberdaya dan pengelolaannya. Hal inilah yang akan
menjadi fokus terpenting di dalam penentuan konsep pemberdayaan. Lebih lanjut, (Pranadji, T,
2003) mengartikan bahwa pemberdayaan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol
individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut peraturan
perundangan yang ada. Selain itu disebutkan juga bahwa pemberdayaan merupakan sebuah
upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Atau dengan kata
lain, pemberdayaan diletakkan pada kekuasaan tingkat individu dan sosial (Hikmat, 2001). Dalam
wacana pembangunan masyarakat, konsep ini sangat terkait dengan konsep mandiri, partisipasi,
jaringan kerja dan keadilan. Sehingga keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat dalam
konteks pembangunan antara lain bermakna bahwa suatu masyarakat tersebut menjadi bagian dari
pelaku pembangunan itu sendiri.
Sifat sumberdaya maritim yang ”common property” dan ”open access” membentuk
kondisi sosial budaya masyarakat nelayan yang khas dan relatif berbeda dengan masyarakat
pedesaan lainnya (terrestrial villagers). Hal ini seringkali diabaikan di dalam perumusan
kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan yang masih lebih banyak mengadopsi hasil kajian
sosial budaya masyarakat daratan (terrestrial). Oleh karena itu, sosial budaya masyarakat
maritim dapat difungsikan juga dalam upaya mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat
baik di perairan pesisir, pulau-pulau kecil serta perairan pedalaman (Dahuri, R. 2003). Dengan
adanya pengetahuan mengenai potensi dan kendala, diharapkan program pemberdayaan
masyarakat maritim, khususnya di Pasuruan dapat dicapai secara lebih baik dan sempurna.

KEARIFAN LOKAL.
Kearifan lokal yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat kearifan tentang;
eksistensi tata-nilai, sikap masyarakat maritim masyarakat terhadap tata-nilai, serta mekanisme
pengelolaan sumberdaya maritim (internal dan eksternal). Tulisan ini lebih banyak didasarkan
pada pengamatan fenomena yang terjadi dalam masyarakat maritim, sehingga bahasannyapun
cenderung berpihak pada pengamatan indra yang terjadi di masyarakat maritim pada umumnya.
Wilayah pengamatan fenomena kehidupan masyarakat maritim, untuk memberikan sedikit
gambaran didasarkan pada masyarakat maritim yang ada di Pasuruan.

1. Eksistensi Tata-Nilai.
Dari hasil wawancara dan diskusi dengan penduduk setempat yang pekerjaannya sebagai
nelayan, dapat disimak bahwa mereka pada umumnya cenderung menjalankan dan
mempertahankan tata-nilai yang di pandang positif bagi masyarakat pada umumnya. Tata-nilai
yang positif bagi masyarakat maritim Pasuruan antara lain adanya pengakuan terhadap norma-
norma adat yang bersifat kesederhanaan yaitu masyarakat yang berpegang teguh hanya pada satu
nilai dalam menghadapi suatu permasalahan hidupnya. Kecenderungan ini dapat di lihat dari
adanya rasa malu dan harga diri yang tinggi dari masyarakatnya serta sangat rentan dan
reaksioner terhadap setiap informasi dan permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan untuk
menghindari berbuat yang bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku setempat dibuktikan
oleh masyarakatnya dengan tidak banyak yang melakukan kegiatan penangkapan lebih dari satu
hari atau melakukan andon ketempat lainnya. Mereka menghindari kebiasaan yang telah berlaku
sejak lama ini dengan melanggarnya, seperti melakukan kegiatan penangkapan dengan perahu
yang lebih besar dan bermalam di tempat fishing ground yang bukan fishing ground milik
masyarakat mereka.
Kondisi masyarakat dalam budaya kesederhanaan cenderung membelenggu, dan akan
membangun patron klien yang sempit serta ketundukkan yang mutlak dan emosional terhadap elit
yang memiliki pengaruh, baik pengaruh sumberdaya ekonomi, kekuasaan, maupun agama
(Koentjaraningrat, 1979). Dengan kondisi ini, masyarakat menghadapi inovasi menjadi sangat
lamban, keadaan ini dapat di lihat dari perkembangan fisik peralatan penangkapannya (perahu)
yang ukurannya relatif tetap dan jumlah power mesin juga relatif tetap, sehingga pengoperasian
perahu cukup di lakukan oleh 2 (dua) atau 3 (tiga) orang saja.
Dari pengamatan dan informasi yang ditemukan melalui tokoh masyarakatnya diketahui
masih sederhananya kemampuan untuk memanfaatkan dan mengubah (rekayasa) hasil temuan
baru dari luar maupun dalam yang berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha kegiatan
masyarakat maritim setempat. Belum antusiasnya penerimaan masyarakat maritim terhadap
inovasi teknologi ini, karena masyarakatnya yang kental patron clien masih cenderung menutup
diri, mereka masih mengidentifikasikan dirinya dan tergantung dengan sikap kelompok elit
masyarakatnya ( tokoh masyarakat).
Dari sisi kompetisi atau prestasi kerja, masyarakat maritim Pasuruan masih tergolong
sederhana, hal ini dapat diketahui dari sifat rutinitas kerjanya yang one day fishing, artinya
kegiatan penangkapan hanya di lakukan dalam waktu pendek dan tidak mengejar volume
penangkapan yang berlebihan. Hasil tangkapan apabila telah dapat menutup biaya operasional
dan sedikit memberikan keuntungan di pandang oleh masyarakat telah berhasil baik untuk hari
itu.

2. Sikap Masyarakat Maritim Terhadap Tata-nilai


masyarakat maritim masyarakat dengan menyikapi nilai seperti ini mengandung nilai-nilai
positif yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yaitu tidak mengejar pendapatan sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan lingkungan alamnya. Jadi dengan sifat budaya kesederhanaan
yang mereka miliki, wajarlah kalau mereka mempunyai rasa harga diri yang kuat secara kolektif,
bilamana daerah fishing ground mereka disatroni oleh nelayan datangan lainnya. Jadi upaya
mempertahankan diri telah mengubah sikap pembelaan berlebihan yang cenderung agressif pula,
dan bagi pihak lain dianggap melawan hukum negara.
Pandangan masyarakat terhadap tata-nilai yang mereka miliki merupakan kebanggaan
kelompok, karena itu ikatan kerjasama kelompok masyarakat maritim Pasuruan sangat kuat.
Kekuatan ini dibuktikan oleh sikap kuat mempertahankan diri yang secara kolektif melakukan
penyerangan balik kepada setiap nelayan pendatang yang mengganggu wilayah penangkapan
mereka, yang mana secara tradisional telah menjadi milik mereka menjadi terganggu atau
diganggu. Dari sikap yang dimiliki inilah maka bagi nelayan luaran Pasuruan sering dianggap
menjalankan tradisi kepemimpinan keras, opini ini berlaku karena sikap agresif dari masyarakat
maritim Pasuruan mempertahankan wilayah penghidupannya yaitu laut yang telah diakui sebagai
tempat penangkapan ikan yang berlaku hanya bagi masyarakat maritim penduduk Pasuruan
menurut pandangan mereka sendiri.
Masyarakat maritim yang sederhana ini di lihat dari keterbukaannya terhadap IPTEK,
kalau di lihat secara fhisik dapat dikatakan belum, hal ini diketahui oleh lambannya IPTEK itu
sendiri diterima sebagai masukan baru bagi masyarakatnya, untuk melakukan perbaikan dan
perubahan mutu atau kualitas teknik penangkapan (palka insulasi atau perpanjangan waktu
operasi penangkapan) yang hampir belum terjadi. Apabila ditinjau dari keterbukaan terhadap
pendidikan, masyarakat maritim Pasuruan telah cukup maju, hal ini ditunjukkan oleh adanya
beberapa anggota keluarga masyarakat maritim yang telah mampu menyelesaikan pendidikannya
setara Sarjana. Dari sisi pendidikan, jadi ada keinginan kearah kemajuan. IPTEK bagi masyarakat
maritim baru di pandang sebagai informasi, belum menjadi bagian langsung penggerak kemajuan
dan menjadi innovator perubahan sosial di dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Maritim


Keberadaan sumberdaya maritim yang terletak di wilayah pantai Utara Jawa, berada
dibagian Barat Kabupaten Pasuruan. Perairan ini sifat penangkapannya open access, artinya
setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat melakukan penangkapan ikan di
daerah fishing ground yang sama. Di lihat dari pertambahan armada penangkapannya, dari tahun
ke tahun cenderung sesuai dengan laju pertambahan penduduknya. Penduduk masyarakat maritim
Pasuruan cenderung menetap, maka wilayah penangkapan menjadi kewajiban bersama untuk
menjaganya dari kegiatan penangkapan yang di lakukan oleh nelayan datangan. Keberadaan
mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim
penangkapan dan fishing right di lakukan secara bersama-sama, dan hal ini tercerminkan dari
acara petik laut. Upacara tersebut biasanya diikuti oleh semua lapisan masyarakat maritim. Hak
kepemilikan fishing ground adalah dimiliki bersama, tidak ada hak kepemilikan perorangan,
dengan demikian musim penangkapan sangat tergantung dari keberadaan musim ikan dan udang
(shrimp). Musim penangkapan umumnya di lakukan pada bulan-bulan Mei hingga Nopember
untuk musim banyak ikan, dan bulan-bulan berikutnya hasil tangkapannya menjadi menurun,
tetapi tidak pernah mengalami paceklik total.
Pelanggaran terhadap fishing ground dan alat tangkap biasanya diselesaikan melalui delik
pengaduan kepada pemuka masyarakat (tokoh agama). Dengan telah adanya lembaga Dewan
Perwakilan Desa, maka sekarang pengaduannya dapat pula disalurkan melalui DPD, kemudian
apabila tidak dapat juga diselesaikan, baru kemudian diajukan ke Kepala Desa untuk diselesaikan
secara musyawarah di lembaga Desa. Bentuk dan mekanisme sanksi atas pelanggaran hukum adat
yang berlaku di masyarakat maritim menjadikan peranan kepala Desa dan tokoh masyarakat
mempunyai posisi dan menjadi sangat penting dan strategis dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang muncul di dalam masyarakat maritim.
Keberadaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran hukum adat harus didukung oleh
kepemimpinan yang kuat dari kepala Desa, ini dapat terjadi apabila kepala Desa didukung oleh
semua komponen yang ada di dalam masyarakat maritim. Untuk masyarakat maritim di Pasuruan
persyaratan dukungan cukup besar, karena pemimpin buat mereka adalah panutan atau contoh
keteladanan. Persyaratan keteladanan akan menjamin keamanan terkendali dengan baik.

EKONOMI.
Ekonomi yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang ditinjau dari;
aktifitas ekonomi, status dan peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem
bagi hasil, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya.

1. Aktifitas Ekonomi
Berdasarkan curahan energi fisik masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya maritim
per-satuan waktu, dan ketekunannya dalam memanfaatkan waktu, sehingga keberadaan aktifitas
ekonomi di sektor maritim ini dapat dikenali hingga sampai sekarang. Masyarakat maritim di
Pasuruan, mata pencaharian utamanya dari kegiatan menangkap ikan dan mengambil biota laut
lainnya. Pekerjaan ini secera rutin di lakukan oleh hampir semua orang yang berdiam di desa-
desa maritim yang terletak di wilayah pesisir tersebut. Waktu kerja yang telah menjadi bagian
kehidupan bersama yaitu dimulai sejak sebelum sembahyang subuh hingga selesai sembahyang
subuh. Penduduk Pasuruan yang sebagian terbesar adalah muslim, maka pedoman bekerjanyapun
lebih di dasarkan pada hukum-hukum agama Islam. Keadaan tersebut dapat di lihat dari curahan
tenaga kerjanya yang telah banyak disesuaikan dengan waktu-waktu yang berhubungan dengan
hukum Islam. Sebagai contoh; mereka mulai bekerja pergi ke laut sekitar jam 4.30 pagi dan
pulang kembali mendarat sekitar jam 16.00 sore harinya. Ikan hasil tangkapan langsung dibawa
pulang dan ibu rumah tangga akan melakukan pekerjaan pengolahan ikan, atau dijual ke
penampung ikan atau udang. Siklus kerja seperti ini berlangsung terus setiap hari, tetapi pada hari
Jum'at, semua nelayan tidak pergi ke laut dan begitu juga kalau ada anggota keluarga yang
menemui keseripahan (kemalangan). Jadi rasa solidaridas sosial masyarakatnya sangat tinggi,
sehingga aktifitas ekonomi dapat ditunda sejenak, dan hal ini diwujutkan dengan tidak ada yang
pergi ke laut.
Kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaan untuk investasi salah satunya dapat di lihat
dari pembangunan sarana perumahan yang telah cukup baik, keadaan tersebut dapat di lihat dari
banyak juga ditemukan rumah-rumah permanen dengan lingkungan yang asri, termasuk
bangunan tempat ibadah (Masjid) yang besar-besar dan terawat rapi. Kesemua hal yang tersebut
tadi memberikan indikasi bahwa masyarakat maritim Pasuruan telah mampu mengatur kehidupan
sosialnya dengan baik, dalam artian mampu melakukan hidup yang lebih hemat. Kalau ditinjau
dari investasi sarana ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan
(perahu, jaring dan mesin), tampaknya tidak banyak melakukan investasi secara besar-besaran
kepada peralatan penangkapan, hal ini terlihat dengan ukuran, dan volume perahu yang
cenderung tidak banyak mengalami perubahan (5-8 ton) saja. Dengan ukuran armada
penangkapan yang relatif kecil, memberikan gambaran pula, masyarakat maritim Pasuruan
cenderung hanya memanfaatkan sumberdaya yang tersedia hanya di lingkungan dan wilayah
mereka sendiri, tidak banyak melakukan eksploitasi maritim ke tempat-tempat lainnya. Kalaupun
ada, sifatnya hanya temporal.

2. Status dan Peranan Masyarakat.


Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat maritim telah terdeferensiasi menurut sifat
pekerjaannya. Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan
ditengah laut, sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan
dan perbaikan jaring. Jenis-jenis pekerjaan yang berdasarkan spesialisasi (keahlian) ini yang di
lakukan secara turun temurun, telah menciptakan kondisi kerja yang saling tergantung secara
harmoni. Sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak di perairan di lakukan oleh laki-laki adalah;
berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin, memperbaiki perahu, memasang
jaring dan menentukan arus dan musim ikan. Adapun sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak
di lakukan di darat, umumnya adalah pekerjaan perempuan ialah; mendagangkan ikan atau udang,
melakukan pengolahan pengawetan ikan, mengatur rumah tangga selama kaum laki-lakinya ke
laut serta pekerjaan sosial lainnya.
Bentuk hubungan positif antara spesialisasi dan reward and punishment dapat di lihat dari
sharing system, dalam prakteknya hal ini dapat di lihat dan diketahui secara jelas. Setiap
pekerjaan spesialis mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu
yang berbeda dengan bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Dari hasil tangkapan
setiap kali mendarat, langsung di lakukan pembagian hasil berdasarkan sistem bagi hasil yang
telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap anggota masyarakat maritim di Pasuruan.
Pembagian bagi hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu
setengah) bagian dan anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian. Jadi kisaran total bagian
adalah antara 4 (empat) bagian hingga 5 (lima) bagian.
Kemampuan membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu
diantara anggota masyarakat maritim telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan
sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di dalam perahu, pembagian pekerjaan telah sangat jelas dan
harus di lakukan secara bersama-sama, sehingga setiap orang yang ada diatas perahu
kemampuannya menbangun kerjasama sangat besar, karena nasib mereka secara bersamaan
tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama diatas perahu, selama
pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum merupakan kerjasama
mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan untuk
membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan secara bersama-
sama.
Jaringan kerja sama kolektif telah menjadikan hubungan yang mampu saling memberi
antara lain dapat di lihat dari: 1) jaminan subsistensi terhadap buruh nelayan yang paling bawah
dan 2) interdependensi antar elemen yang membentuk jaringan kerjasama kolektif yang bersifat
simetris (Pranadji, T. 2003). Adapun yang dimaksud dengan jaminan subsistensi, adalah
memberikan kesempatan kepada semua anggota masyarakat maritim yang ingin bekerja di laut
dengan cara mengikuti pelayaran pada perahu-perahu yang akan pergi menangkap ikan, statusnya
adalah anak buah perahu (ABK), dan atas jasanya itu maka diberikan bagian hasil. Kemudian
kalau di lihat dari interdependensi antar elemen, ternyata antar nelayan saling meberikan
informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi fishing
ground yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan
ikan atau biota laut lainnya Udang (shrimp), kepiting (mud crubs), dll. Ditinjau dari sini, maka
ada hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara nelayan penangkap, para bakul
(pedagang) ikan/udang (shrimp)/kepiting (mud crubs) dan juga ibu rumah tangga yang berfungsi
menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan olahan.

3. Akses Terhadap Sumberdaya Ekonomi.


Berdasarkan pendekatan struktur, struktur yang baik adalah apabila dapat terjadi
interdependensi yang simetris (bargaining position/power sharing) terhadap akses ke sumberdaya
ekonomi. Interdependensi yang simetris secara ideal agak sulit dikenali tanpa adanya riset yang
mendalam mengenai ekonomi maritim. Interdependensi masih dapat dikenali secara umum
melalui struktur kegiatan ekonomi yang di lakukan oleh masyarakat maritim, yaitu mulai dari
pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan
umumnya oleh sebagian besar masyarakat maritim.
Setiap anggota masyarakat maritim yang ada di Pasuruan mempunyai kesempatan yang
sama untuk melakukan kegiatan penangkapan di laut setiap saat, faktor pembatasnya hanyalah
terletak pada peralatan tangkap yang mereka miliki saja. Dari sisi kesempatan untuk berusaha
melakukan penangkapan tidak ada deskriminasi yang diakibatkan karena hak kepemilikan,
sumberdaya maritim adalah menjadi hak milik bersama. Untuk menjaga agar tidak terjadi
eksploitasi berlebihan, maka alat tangkap yang dianggap merusak habitat ikan seperti, mini trowl
atau modifikasinya, di lakukan pelarangan dan ditaati bersama. Pelanggaran oleh seseorang
terhadap komitmen bersama inilah yang sebenarnya menjadi penyebab adanya konflik ditengah
laut, dan akibatnya kadang-kadang yang terjadi adalah kerusakan materi atau kehilangan jiwa.
Adapun pemasaran hasil tangkapan, umumnya di lakukan oleh pedagang yang ada di
tempat atau di Pasuruan, dan selanjutnya dipasarkan kepada pihak lainnya yang ada diluar
Pasuruan. Nelayan penangkap, ada kecenderungan bebas melakukan penjualan hasil
tangkapannya kepada siapa saja yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena
perjanjian (tertulis atau tidak tertulis) yang diakibatkan karena adanya pinjaman lebih dahulu
kepada juragan sebelum melakukan penangkapan di laut. Untuk menjaga keseimbangan
hubungan sosial akibat kegiatan ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang dipakai sebagai sarana
ekonomi masyarakat maritim dalam melakukan kegiatan usaha penangkapannya di laut.
Keterampilan fungsional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, khususnya
masyarakat maritim adalah keterampilan yang terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan
penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan, pemasaran dan pembiayaan.
Kegiatan penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya dimiliki
oleh kaum laki-laki, sehingga pergi ke laut untuk melakukan penangkapan merupakan bagian
utama pekerjaan mereka. Pengolahan produk hasil tangkapan umumnya banyak di lakukan oleh
kaum perempuan, sehingga kelompok keterampilan ini seolah-olah menjadi bagian kehidupan
perempuan. Produk olahan yang mereka buat umumnya masih terbatas pada produk olahan
tradisional, seperti ikan asin, pengasapan, pemindangan atau pembuatan ebi.
Adapun kelompok fungsional pembuatan peralatan penangkapan, untuk pembuatan perahu
umumnya di lakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring atau bubu kadang-kadang di
lakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil
tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar Pasuruan banyak di lakukan oleh
perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar umumnya telah di lakukan oleh laki-
laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan;
keterampilan pemasaran ditingkat pengecer di lakukan oleh perempuan dan sedangkan pemasaran
ditingkat pengumpul telah di lakukan oleh laki-laki. Dari sisi pengelolaan pembiayaan usaha
sering di lakukan oleh perempuan, khususnya pada skala usaha kecil (pengecer, persiapan biaya
eksploitasi), tetapi pada tingkatan skala yang lebih besar maka pengelolaan pembiayaan di
lakukan oleh laki-laki, termasuk meminjamkan pada pihak ketiga (nelayan penangkap, dan
nelayan pengecer).
Persepsi terhadap sumberdaya alam yang terkait konsepsi hak kepemilikan (sea tenure)
menjadi bagian penting bagi seluruh anggota masyarakat maritim di Pasuruan. Sumberdaya alam
yang dipersepsikan oleh masyarakat maritim adalah merupakan hak milik Allah, karena itu wajib
dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama. Dalam merealisasikan persepsi ini
ada juga sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan di laut itu tidak akan habis, karena itu
boleh saja melakukan usaha kegiatan penangkapan kapanpun seseorang itu mau selagi dia
mampu. Dari persepsi yang mengatakan sumberdaya alam dapat dieksploitasi sepanjang waktu,
telah menyebabkan terjadinya pertambahan alat tangkap. Konsekkwensi dari pertambahan alat
tangkap, karena daerah fishing ground yang dimiliki bersama terbatas, telah menyebabkan
terjadinya keluhan bahwa mulai ada penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan oleh
sebagian besar anggota masyarakat maritim Pasuruan penyebab utamanya ada yang menduga
dikarenakan oleh nelayan pendatang yang melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka
dengan menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl.
Dugaan seperti ini memerlukan pembuktian ilmiah, karena itu sangatlah penting peranan riset
maritim dapat ditingkatkan, sehingga mampu mengimbangi informasi yang kebenarannya belum
teruji. Masyarakat akan menjadi tentram, kepastian usahapun akan berpihak pada masyarakat
maritim. Reaksi masyarakat akan menjadi lebih bijasana dan terkendali, sehingga kemungkinan
terjadinya konflik sosial secara frontal dapat dihindari bersama, masyarakat dan pemerintah.

4. Sistem Bagi Hasil.


Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha
kegiatan penangkapan antara pemilik modal (perahu (board), jaring dan mesin) dengan tenaga
kerja yang melakukan penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK).
Mempelajari sistem bagi hasil yang telah diterapkan tampaknya masih mengundang pertanyaan
yaitu "Apakah pembagian insentif yang ada telah menggambarkan sebaran kontribusi dari
masing2 pelaku kegiatan". Susunan pembagian hasil tangkapan umumnya yang banyak
dilakukan adalah untuk bagian kasko 1 bagian, jaring 1 bagian, mesin 1 bagian, eksploitasi 1
bagian dan anak buah perahu 1 bagian, sehingga total bagian adalah 5 bagian. Dari besaran
pembagian ini tampaknya sebaran kontribusi dari masing-masing pelaku kegiatan sudah
terpenuhi, karena masing-masing pelaku mendapatkan bagiannya. Akan tetapi apabila dicermati
lebih dalam di lihat dari prinsip keadilannya, tampaknya sering belum tercapai, karena yang
membiayai permodalan untuk pembelian kasko, jaring dan mesin hanya dibiayai oleh juragan
atau pemilik modal yang bertindak sebagai supplier. Dari fenomena di lapangan tampak seperti
ada keterkaitan langsung atau tidak langsung akibat dari kepemilikan tersebut terhadap setiap kali
menjualkan hasil tangkapannya yaitu kecenderungan harus kepada pemberi modal kerja sebagai
juragan atau suppliernya.
Pembagian insentif melalui sistem bagi hasil yang telah ada, dapat dikatakan, apabila
usaha kegiatan penangkapan tidak tergantung pada juragan sebagai pemilik modal atau supplier
sebagai pemberi pinjaman modal kerja, sebenarnya telah dapat memberikan peluang
kesejahteraan kepada nelayan di Pasuruan. Juragan menjadi semakin penting karena peranannya
di dalam menjalankan kehidupan ekonomi masyarakat maritim adalah berkedudukan strategis,
bukan saja dari sisi ekonomi, tetapi peranannya dari aspek social dan kepemimpinan. Peranan
tersebut secara social diakui oleh masyarakat sampai saat ini, hal tersebut terjadi dikarenakan
banyak anggota masyarakat maritim yang permodalan kerjanya terbatas, sehingga menyebabkan
mereka tidak dapat pergi ke laut apabila tidak meminjam modal kerja ke juragannya.

5. Tingkat Ketergantungan Terhadap Sumberdaya.


Masyarakat maritim di Pasuruan menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian
utamanya dalam menggantungkan hidup. Dengan demikian sumberdaya laut dapat dikatakan
mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan kehidupan mereka.
Dalam kata lain, mungkin dapat juga dikatan sumberdaya maritim ikut menentukan hidup
matinya masyarakat mereka, maka ditinjau dari pandangan ini sangatlah beralasan mereka sangat
tergantung pada sumberdaya maritim yang berada disekitar kampung mereka dan selalu siap
untuk memanfaatkannya dan menjaganya bersama-sama.
Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah
terkait erat dengan hasil sumberdaya maritimnya, baik dari usaha penangkapan atau dari usaha
pembudidayaan. Kemudian mata pencaharian alternatif ini, apabila dicoba untuk melihatnya dari
struktur diversifikasi kegiatan usaha seperti; penangkapan, pengolahan, perdagangan, pembuatan
peralatan penangkapan, tampaknya masih terbatas. Dihubungkan dengan pertanyaan "seberapa
jauh tersedia dan mau menjalankan mata pencaharian alternatif di dalam maupun diluar sektor
maritim)"?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu membutuhkan keseriusan pengamatan dari
berbagai aspek yang mendukung kehidupan masyarakat maritim. Dan pertanyaan ini masih sulit
dijawab, karena dengan sifat masyarakatnya yang menetap dan usaha kegiatannya ada yang
cenderung perkembangannya terbatas, terutama di lihat dari aspek ekonominya, yaitu yang
dicirikan perahunya masih kecil-kecil, jarak penangkapannya ke fishing ground terbatas, lama
penangkapan lebih banyak one day fishing, serta jenis ikan yang tertangkap juga terbatas dengan
volume tangkapannya masih sedikit, tidak terselektif, jadi diversifikasi mata pencahariannya
belum ikut berkembang. Kemudian, ada daerah lain yang menunjukkan perkembangan armada
penangkapan, dengan ditandai oleh adanya perubahan ukuran kasko kapal, alat penangkapan,
juga jumlah ABK, tetapi tidak menjadi pemicu ikut berubahnya jumlah mata pencaharian
alternatif. Hal ini berhubungan dengan sifat kegiatan yang tercipta dari sumber daya maritim itu
sendiri. Secara umum tampak yang terjadi di masyarakat maritim, walaupun ada beberapa daerah
yang telah merubah perahu kecilnya menjadi perahu yang lebih besar, hal ini tidak selalu diikuti
dengan perubahan secara proporsional pada kegiatan usaha penangkapan lainnya. Oleh karena itu
keadaan masyarakat maritim belum banyak berubah dan mempunyai pengaruh terhadap
perubahan dinamika ekonomi masyarakat maritim pada umumnya. Untukmasyarakat maritim di
Pasuruan, terlihat agak lamban menerima perubahan dan pengembangan dari luar secara cepat,
hal ini terjadi, karena sikap masyarakat yang cenderung tetap mempertahankan keadaan yang
telah ada selama ini. Jadi mata pencaharian alternatif, terutama yang berasal dari luar komunitas
masyarakatnya akan diseksi secara social, ekonomi dan teknik, karena dampak negatif yang
mungkin tidak mereka inginkan, akan mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat, jadi
resiko yang mungkin timbul sedapat mungkin dikecilkan secara bersama-sama.

POLITIK.
Politik yang dimaksudkan adalah berkaitan dan berkenaan dengan sifat-sifat dari; prinsip-
prinsip kepemimpinan, konflik dan manajemen konflik, akses aturan representasi publik, sikap
masyarakat terhadap keputusan yang diambil, dan prinsip-prinsip hubungan pemegang kekuasaan
lokal dengan luar.

1. Prinsip-prinsip Kepemimpinan.
Prinsip kepemimpinan yang dimaksudkan adalah mencakup dan mengenai visi, integritas,
daya empati, sistematik atau terorganisir, komunikatif dan rasionalitas, dan Inspiring and
directing yang telah ada dan dipraktekkan di dalam masyarakat maritim Pasuruan.
Kepemimpinan formal yang dikehendaki oleh masyarakat maritim, sesuai dengan resiko yang
ditimbulkan oleh lingkungan pekerjaannya di laut, ternyata ada yang ikut mempengaruhi sikap
bertindak, adalah diantaranya dicirikan bersikap tegas. Untuk mewujutkan itu maka pemimpin
yang umumnya muncul adalah yang berasal dari tokoh masyarakat, pilihan tersebut terjadi karena
mempunyai kaitan dengan sejarah keturunan seseorang, sehingga kebaikan kepemimpinannya
ikut diingat dan dipuji, sehingga bagi masyarakat menjadi kroteria calon pemimpin mereka yang
akan terpilih. Berkenaan dengan visi adalah menyangkut seberapa jauh pemimpin yang ada
memiliki visi yang jelas dan meyakinkan. Sejauh mana visi tersebut dapat dipahami, menjadi
bagian pengetahuan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dimasa datang. Visi yang
dimiliki pemimpin masyarakat tergantung darimana dia berasal, untuk kriteria pertama umumnya
memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kedamaian masyarakat
maritimnya. Kedua umumnya mempunyai visi lebih menekankan kepada penciptaan
keharmonian pada kepemimpinannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan yang
didapat dengan cara-cara yang baik dan menurut aqidah agama (Islam), dan kedamaian yang
dicapai melalui kegiatan keagamaan atau kegiatan sosial yang syarat dengan pesan moral
kebaikan yang ditandai oleh tidak bohong, angkuh, atau mau menang sendiri. Untuk
keharmonisan biasanya dapat di lihat dari rasa tentram yang dimiliki oleh anggota
masyarakatnya, ketentraman dicirikan dengan adanya kewibawaan, keengganan dan dan rasa
terlindungi dari pemimpinnya.
Berkaitan dengan integritas adalah seberapa jauh anggota masyarakat setempat
memberikan penilaian terhadap tokoh/pemimpinnya di lihat dari aspek kejujuran, mengemban
kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan emosional. Pada
umumnya integritas pemimpin yang dikehendaki adalah pemimpin yang sepenuhnya
mencurahkan perhatiannya untuk mengayomi masyarakatnya sehingga masyarakatnya memiliki
kebanggaan atas kepemimpinannya, masyarakat merasa punya orang yang mampu mengangkat
harkat pribadinya dihadapan masyarakat kelompok lainnya. Pemimpin dalam masyuarakat saat
ini adalah yang mempunyai empati tinggi karena memiliki daya menyangkut kemampuan
memahami dan menempatkan diri pada kondisi persepsi pihak lain yaitu anggota masyarakat
untuk mendapatkan manfaat bersama apabila ada permasalahan. Prinsip ini juga dapat di lihat
dari seringnya kepala desa dengan aparatnya yang lain ikut terjun langsung menyelesaikan setiap
permasalahan yang muncul dari masyarakat maritimnya, baik berkenaan dengan sesama
masyarakat maritim atau dengan masyarakat maritim desa lainnya. Pengorbanan yang diberikan
adalah seringnya tidak kenal pamrih dalam setiap kali melaksanakan tugas-tugas desanya
sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya semakin besar. Dari kepercayaan
yang diperoleh tersebut ternyata mampu dan telah dapat digunakan untuk menggerakkan
kemajuan ekonomi masyarakat maritim setempat lebih cepat dan terarah.
Dari sisi pengorganisasian dalam menjalankan setiap rencana kerja, tampaknya pemimpin
dari tokoh masyarakatnya telah mampu untuk saling mengisi kerjasama yaitu antara DPD dengan
Kepala Desa dan Tokoh masyarakat lainnya, hal ini tercemin dari adanya kemampuan memahami
tentang pentingnya melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur yang di lakukan
secara bersama-sama, sehingga kesalahan paham dan kesalahan tafsir terhadap berbagai
informasi yang dating, akan dengan cepat sekali dapat diluruskan secara bersama-sama.
Komunikatif dan rasionalitas yang dimiliki oleh seseorang pemimpin, adalah berhubungan
dengan kepemimpinan yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anggota
masyarakat yang dipimpinnya. Dimana saja pemimpin desanya berada senantiasa disambut
dengan empati, dan ini menunjukkan bahwa pemimpin desa dan tokoh masyarakat adalah
kebanggaan mereka yang patut dibanggakan, apalagi terhadap tamu yang datang dari luaran,
jarang ada nada miring yang diperdengarkan. Hal ini adalah hasil dari kekentalan berkomunikasi
dan komunikasi yang disampaikan ternyata dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya dengan
mengindahkan segala petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh aparat desanya dan hasilnya
kemudian tokoh masyarakatnya ikut berperan aktif sebagai penjelas masyarakat lebih lanjut.

2. Konflik dan Manajemen Konflik.


Sejauhmana pemimpin memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik yang terjadi di
masyarakat dan menggalang kebersamaan secara sukarela untuk mencapai win-win solution.
Konflik yang terjadi antar komunitas, akar permasalahannya tidak disebabkan oleh faktor
tunggal, tetapi muncul dari berbagai faktor multidimensional yang melibatkan persoalan yang
terkait dengan status dan harga diri, kekuasaan serta perebutan sumberdaya yang langkah. Yang
terkait dengan status dan harga diri lebih banyak terkait dengan dimensi politik yang diikuti oleh
berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Perselisihan yang diakibatkan olehnya melalui
kepemimpinan yang bijaksana dapat meredam ketegangan konflik antar masyarakat maritimnya.
Tokoh yang mewakili masyarakat yang ada di DPD telah mampu memfungsikan dirinya
sebagai perwakilan masyarakat pendukungnya, sehingga pemecahan konflik dapat diredam dan
tidak menyebar. Contoh sebuah peristiwa, peristiwa perselisihan antar kampung maritim
senantiasa dapat diredam dan diselesaikan dengan baik oleh kedua belah pihak dan begitu juga
terhadap peristiwa perselisihan lainnya juga ikut dapat dipulihkan seperti sediakala. Ini
merupakan bentuk kepemimpinan dalam masyarakat yang taat kepada pemimpinnya. Adapun
ekses negatif dari kegiatan pemilu-pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah baik di tingkat
nasional ataupun local tidak berkelanjutan meruncing, kesadaran masyarakat dapat difasilitasi
oleh tokohnya masing-masing dan kebersamaan dalam masyarakat mampu diwujutkan, dan hal
ini dapat dibuktikan dengan kondusifnya kehidupan bermasyarakat, semua orang merasa aman
dan dapat melaksanakan kegiatan sosial dan ekonominya masing-masing. Faktor lain yang
berpotensi dapat memicu konflik antar warga masyarakat maritim, adalah umumnya karena
terbatasnya sumberdaya maritim di perairan pantai laut Jawa dan Kabupaten Pasuruan khususnya.
Masyarakat maritim di Pasuruan dengan kepemimpinan yang dipimpin oleh lurah desa yang
diterima oleh semua anggota warganya yang menerapkan azas kebersamaan dan lembut telah
mampu mengajak masyarakat untuk kembali ke norma-norma kehidupan kampung yang harmoni
dan rukun. Kepemimpinan ini diterima karena lurahnya dapat dan empati mengakomodir semua
keluhan dan informasi masyarakatnya dengan sempatik dan serius.
Sejauhmana pemimpin memiliki kemampuan mengajarkan penggunaan rasionalitas yang
tinggi pada setiap pengambilan keputusan. Penggunaan pendekatan rasionalitas dapat diwujutkan
karena kepemimpinan pemimpin masyarakat maritim di Pasuruan yang berwawasan dan banyak
yang berpengalaman dan intelektualitas. Dengan adanya kemampuan intelektualitas ditambah
dengan wawasan dan kemampuan kepemimpinan, yang ditopang juga oleh kesejarahan cikal
bakal seseorang pemimpin yang baik keadaan tersebut, telah menjadikannya sebagai pemimpin
yang dapat diterima oleh semua orang. Atas dasar kekuatan tersebutlah maka keputusan-
keputusan yang dibuat oleh aparat desa di masyarakat maritim dapat diterima dan dipahami,
karena keputusan yang dibuat umumnya senantiasa telah mempertimbangkan berbagai dampak
negatif dan positifnya yang mungkin terjadi di dalam masyarakat.
3. Akses Aturan Representasi Publik.
Azas transfaransi yang dijadikan bahan sebagai dasar pengambilan keputusan adalah
menyangkut sejauhmana faktor2 yang dijadikan dasar pengambilan keputusan boleh diketahui
secara luas oleh anggota dan mencerminkan sesuatu yang memang penting sesuai permasalahan
yang dihadapi bersama secara rasional.
Sebagai contoh, dari hasil perbincangan pertemuan dengan Lurah Desa Kalirejo yang
memaparkan program kerja kelurahan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat maritim
yang ada di desa kelurahannya. Dari pemaparan yang telah diberikan, dapat diketahui bahwa
kelurahan sangat berupaya untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui pendidikan, baik
mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga ke jenjang Perguruan tinggi. Disadari pula pendidikan
yang mampu diikuti masih terbatas, karena pada umumnya masih di tingkatan SD, sedangkan
yang mampu melanjutkan ke SMP, SMA dan perguruan tinggi masih sedikit sekali.
Program kelurahan dalam bidang peningkatan sumber daya manusia ini diikuti pula
dengan program-program pemberdayaan masyarakat maritim, termasuk di dalamnya adalah
penataan kelembagaan masyarakat, manajemen pemerintahan, prosedur pemilihan kepemimpinan
di kelurahan serta penyelenggaraan pemerintahan desa semakin ditingkatkan. Untuk desa
Kalirejo, prinsip-prinsip demokrasi dan transfaransi selalu dikedepankan dalam menanggulangi
berbagai macam persoalan di desa, seperti proses pengusulan calon lurah, pembuatan rencana
pembangunan desa melalui musyawarah, meningkatkan kerjasama yang lebih erat dengan Dewan
Perwakilan Desa (DPD), sehingga keinginan-keinginan masyarakat dapat ditampung dan
disalurkan dengan benar. Hasil yang dicapai hingga saat ini adalah terciptanya keamanan
kampung, karena sebelumnya ada terjadi berbagai benturan dan sekarang telah menghilang,
kehidupan masyarakat lebih rukun dan punya saling pengertian, pencurian juga berkurang.
Terhadap program pemerintah, kepercayaan masyarakat juga mulai tumbuh dengan kesadaran
berpartisipasi aktif, seperti keikut sertaan dalam program PEMP, dan ternyata bagi masyarakat
program ini dianggap dapat membantu ekonomi masyarakat.

4. Sikap Masyarakat Terhadap Keputusan Yang Diambil.


Untuk desa masyarakat maritim, factor-faktor yang dinilai penting, yang mencerminkan
alur pemikiran yang dapat diterima secara kolektif, adalah memakai prinsip-prinsip demokrasi
dan transfaran, yang harus selalu dikedepankan dalam menanggulangi berbagai macam persoalan
di desa, seperti proses pengusulan calon lurah, pembuatan rencana pembangunan desa melalui
musyawarah, meningkatkan kerjasama yang lebih erat dengan Dewan Perwakilan Desa (DPD),
dengan demikian sehingga keinginan-keinginan masyarakat dapat ditampung dan disalurkan
dengan benar. Masyarakat yang diberi kebebasan untuk melakukan komunikasi langsung kepada
lurahnya, baik secara perorangan maupun dengan kelompok untuk menyampaikan berbagai saran
atau usulan demi kebaikan kampungnya. Cara seperti ini memberikan dampak positif tersendiri
kepada percepatan pembangunan daerah yang mempunyai anggota masyarakat maritim.
Demikian pula masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan penilaian dan pengawasan
terhadap kelemahan pada penerapan azas rasionalitas dan akuntabilitas, sehingga keputusan yang
telah diambil dapat dikaji kembali secara transfaran dan bersama-sama secara adil, dan apabila
perlu membuat keputusan baru lagi. Keterbukaan adalah keinginan bersama yang didambakan
banyak pihak yang saling berkepentingan.

5. Prinsip-prinsip Hubungan Lokal Dengan Luar.


Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar di lihat dari Conflict of interest hal ini
ada kaitannya dengan benturan kepentingan. Benturan kepentingan umumnya tidaklah
diakibatkan oleh faktor tunggal tetapi seringkali terjadi karena tatanan yang multi dimensional,
termasuk di dalamnya kadang-kadang karena konflik yang terpendam yang tidak terselesaikan.
Sehingga, ada juga disaat tertentu terjadi upaya instabilitas internal kampung. Apabila kondisi
memungkinkan maka goncangan dapat timbul dengan tiba-tiba. Untuk mengurangi dan
menghindarinya maka perlu ada. Pertama alam demokrasi perlu ditumbuhkan secara perlahan
dengan tidak mengenyampingkan ketokohan tradisional, kedua ada upaya perbaikan kondisi
ekonomi yang memadai, ketiga peningkatan intelektualitas dan keempat yaitu terhadap moral
masyarakat. Apabila keempat faktor ini dapat ditumbuh kembangkan dalam budaya masyarakat,
maka pola hubungan kekuasaan lokal dengan luar akan berjalan lebih transfaran dan harmonis,
saling menghargai dan bermartabat.

KELEMBAGAAN.
Untuk aspek lembaga, ini berkenaan dengan sifat-sifat yang terkait dengan kelembagaan;
eksistensi kelembagaan, peranan kelembagaan, akses masyarakat terhadap kelembagaan dan
reposisi.

1. Eksistensi Kelembagaan.
Eksistensi yang dimaksudkan adalah tentang fungsi penyaluran kelembagaan yaitu
keberadaan lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat kedalam penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat Kabupaten atau Kota. Di dalam lembaga formal pemerintahan di tingkat
desa telah dibentuk lembaga-lembaga yang dibutuhkan yang disesuaikan dengan peraturan
pemerintah yang berlaku. Lembaga yang ada di dalam pemerintahan setingkat kelurahan ialah
Dewan Perwakilan Desa (DPD) dan Lurah.
Selain dari itu lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya melaksanakan program
kerjanya ditingkat desa di lakukan secara fungsional dengan berkoordinasi ke Kecamatan, seperti
kesehatan, pendidikan, agama, keamanan dan lain-lainnya. Kelembagaan formal di tingkat desa
ini ini secara organisatoris mempunyai hirarki langsung ke organisasi yang lebih tinggi yaitu
Kecamatan dan selanjutnya ke Bupati. Aspirasi masyarakat maritim, baik bersifat perorangan
ataupun kelompok yang ingin disalurkan, kelembagaan yang berwenang menampung dan
menyalurkan aspirasi tersebut yaitu DPD, karena anggota DPD dipilih langsung oleh masyarakat
maritimnya. Aspirasi yang bersifat kelompok umumnya dibawa dan diajukan oleh tokoh
masyarakat informal yang kepemimpinannya diakui oleh masyarakat. Pemimpin informal ini
dikenal sebagai Kiay, atau Tokoh yang disegani seperti nakhoda, atau juragan adalah
kepemimpinan yang mempunyai kekuatan riil di dalam masyarakat. Apalagi masyarakat maritim
umumnya masih sebagian besar menganut kepemimpinan tradisional, yaitu kepemimpinan yang
dicirikan dengan kekerabatan atau kesamaan etnis dan suku, dalam kehidupan masyarakat
maritim masih terasa sangat kental.

2. Peranan Kelembagaan
Dari hasil pengamatan terhadap fenomena lembaga-lembaga yang ada di dalam
masyarakat maritim, dan hal ini di kaitkan dengan pola kerja berbasiskan gender, juga informasi
dari beberapa pemuka masyarakat didapat kesan bahwa peranan kelembagaan informal dan
formal masih berfungsi. Sebagai contoh kelembagaan formal DPD sebagai representasi dari
masyarakat maritim, mereka mampu menjalin kerjasama yang harmonis yang ditunjukkan oleh
dedikasi anggota DPD yang tinggi dan transfaran. Aspirasi masyarakat dapat juga mempengaruhi
atau digunakan untuk pengambilan keputusan. Aspirasi masyarakat nelayan yang datang dapat
melalui kelompok atau perorangan. Untuk aspirasi yang datang dari kelompok, dan kelompok ini
tampaknya mendapat dukungan dan legalitas pemimpin informalnya, umumnya akan
mendapatkan perhatian yang sunguh-sungguh, seperti dari DPD dan kelembagaan kelurahan yang
berkepentingan seperti lurah, dan pihak keamanan. Oleh sebab itu peranan kelembagaan DPD
akan menjadi nyata apabila mampu menjalin kerjasama yang erat dengan berbagai kalangan
masyarakat, karena keberadaannya memang dibutuhkan. Apabila aspirasi tersebut di pandang
perlu untuk ditindak lanjuti ke lembaga yang lebih tinggi lagi, maka Kepala desa akan
menyalurkannya ke Kecamatan untuk dicarikan jalan keluarnya, yaitu dapat berupa program-
program kebijakan.

3. Akses Masyarakat Terhadap Kelembagaan.


Akses masyarakat untuk dapat menjadi pemimpin di suatu lembaga banyak dipengaruhi
oleh asal usul atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Kemampuan sering
dihubungkan dan erat kaitannya dengan kepemimpinan seseorang. Besarnya kekuatan dan saluran
yang efektif bagi masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan keputusan sangat dipengaruhi oleh
sifat kepemimpinan yang tumbuh dan berkembang di daerah, hal dapat terlihat dari dua ciri
utama. Pertama kepemimpinan yang dicirikan datang dari masyarakat yang menggunakan
keberanian dan kekuatan, dan Kedua, kepemimpinan yang datang dari masyarakat yang disegani
karena kebaikannya secara moral dan keluarga terpandang. Kelembagaan yang terbentuk dari
lembaga formal (Kelurahan) kadangkala diisi oleh kedua lapisan kepemimpinan ini yang datang
silih berganti. Dari pengamatan di lapangan kedua cirri ini ada juga ditemukan, sehingga kesan
yang diberikan oleh anggota warganya, ada sifat kepemimpinan yang dirasakan di dalam
masyarakat yaitu agak menekan atau memaksakan, sedangkan sifat kepemimpinan lainnya
dikesankan sebagai pemimpin yang mengayomi. Akibat dari pola kedua kepemimpinan ini
manfaatnya bagi masyarakat sudah dapat dirasakan dan dinilai bersama. Dengan adanya
kelembagaan DPD, maka kedua kepentingan dalam masyarakat nelayan yang tercermin melalui
pemimpin yang dipilihnya tersebut mulai dapat terakomodir bersama. Masing-masing kelompok
masyarakat aspirasinya dapat tertampung, sehingga mereka merasa mampu melaksanakan
pengontrolan terhadap keputusan kebijakan yang dibuat oleh Lurah atau instansi resmi lainnya
yang dianggap merugikan kepentingan kelompok masyarakatnya.

4. Reposisi Nelayan.
Pengontrolan pelaksanaan suatu keputusan yang di lakukan di berbagai tingkatan,
kebiasaan yang masih berlaku umumnya masih bersandarkan pada pemimpin kelompoknya
masing-masing. Masyarakat yang kental kepemimpinannya dibawah pembinaan seorang Kiay,
maka Kiaylah yang dianggap mampu mewakili mereka dan karena itu informasi apapun yang
disampaikan oleh Kiaynya akan dianggap benar dan cukup dimengerti untuk ditaati. Jadi pola
kepemimpinan patron client di masyarakat maritim masih sangat kental, karenanya ketokohan
seseorang sangat terkait dengan asal usul dari tokoh itu sendiri. Kekuatan dan saluran yang efektif
bagi masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan keputusan yang ada sampai saat ini masih belum
terlalu jelas dan tegas bagi semua orang. Masyarakat nelayan telah diberi kekuatan dan saluran
melalui lembaga formal, seperti DPD, untuk turut memperbaiki kebijakan yang dirasakan tidak
sesuai oleh lembaga yang berwenang, akan tetapi lembaga formal seperti DPD, sekarang ini
masih dianggap belum optimal, karena masih baru sehingga pelaksanaannya kadang-kadang
masih mengalami berbagai hambatan yang bersifat dilematis. Pada satu sisi ingin berfungsi tegas,
lugas dan sesuai aturan yang berlaku, tetapi masyarakat merasa bukan kulturnya seperti itu dan
pada sisi lain bertindak dan bersikap sesuai dengan irama keinginan masyarakat, tetapi
kadangkala dianggap DPD tidak mampu tegas mendukung dan memperjuangkan aspirasi
masyarakatnya. Reposisi nelayan adalah cara memberikan kekuatan melalui saluran formal dan
informal terhadap proses mempertemukan bottom-up ke top-down dari proses perancangan
kepentingan umum sampai ke pelaksanaan sebuah kegiatan yang terkait langsung dan tidak
langsung dengan hajat kehidupan masyarakat maritim. Wadah yang ideal adalah demokratisasi
pemilihan anggota DPD dan Lurah secara terbuka dan trasfaran bagi semua masyarakat maritim
yang ada di Pasuruan.
PENUTUP

Sifat sumberdaya maritim yang ”common property” dan ”open access” membentuk
kondisi sosial budaya masyarakat maritim yang khas dan relatif berbeda dengan masyarakat
pedesaan lainnya (terrestrial villagers). Hal ini seringkali diabaikan di dalam perumusan
kebijakan pemberdayaan masyarakat maritim yang masih lebih banyak mengadopsi hasil kajian
sosial budaya masyarakat daratan (terrestrial). Oleh karena itu, sosial budaya masyarakat
maritim dapat difungsikan juga dalam upaya mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat
baik di perairan pesisir, pulau-pulau kecil serta perairan pedalaman (Dahuri, R. 2003). Dengan
adanya pengetahuan mengenai potensi dan kendala, diharapkan program pemberdayaan
masyarakat maritim, akan dapat dicapai secara lebih baik dan sempurna. Untuk itu perlu juga
dikenali makna dari kearifan lokal, kearifan adalah berkenaan dengan sifat-sifat tentang;
eksistensi tata-nilai, sikap masyarakat maritim terhadap tata-nilai, serta mekanisme pengelolaan
sumberdaya maritim (internal dan eksternal). Tulisan ini lebih banyak mendasarkan pada
pengamatan fenomena yang terjadi dalam masyarakat maritim, sehingga bahasannyapun
cenderung berpihak pada pengamatan indra yang terjadi di masyarakat maritim pada umumnya.
Wilayah pengamatan fenomena kehidupan masyarakat maritim agar dapat memberikan sedikit
gambaran, maka fenomenanya didasarkan pada masyarakat maritim yang ada di Pasuruan. Dari
pandangan fenomena tersebut dapat juga diketahui bahwa masyarakat maritim Pasuruan juga
telah mengenal dan mempraktekkan ekonomi maritim. Yang dimaksudkan dengan ekonomi
maritim ditinjau dari pemaknaan fenomena, maka yang dimaksudkan adalah sifat-sifat yang
terlihat aktifitas ekonomi, status dan peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi,
sistem bagi hasil, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya. Kesemua sifat-sifat tersebut
menampakkan pengaplikasiannya yang spesifik maritim, sehingga menjadi satu kesatuan
pembentuk kehidupan bermasyarakat. Kehidupan masyarakat maritim juga telah mengenal
kaedah-kaedah moral yang dapat mempersatukan masyarakat maritim secara harmoni dan
berdaya guna. Untuk itu pengenalan terhadap praktek politik di dalam masyarakat maritim perlu
juga dipahami. Pemahaman politik yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan sifat-sifat dari
prinsip-prinsip kepemimpinan, konflik dan manajemen konflik, akses aturan representasi publik,
sikap masyarakat terhadap keputusan yang diambil, dan prinsip-prinsip hubungan pemegang
kekuasaan lokal dengan luar. Di dalam masyarakat maritim kesemua sifat-sifat tersebut secara
fenomial dapat dikenali sebagai sistem kehidupan. Kemudian dalam prakteknya dapat dikenali
juga telah ada kelembagaan yang ekses di dalam masyarakat maritim. Untuk itu aspek lembaga
yang berkenaan dengan sifat-sifat yang terkait dengan eksistensi kelembagaan, peranan
kelembagaan, dan akses masyarakat terhadap kelembagaan ternyata juga dapat ditemukan di
berbagai daerah dari masyarakat maritim yang ada di nusantara.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga


Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, LISPI, Jakarta. 146 p.
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indoensia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru
Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Perikanan Bogor. Bogor. 233 p.
Hikmat, R. Harry., 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.
Cetakan Pertama. 260 p.
Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Perikanan dan
Pedesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan
Departemen Perikanan. Bogor. 175p.
Taryoto, Andin. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses Industrialisasi
Perikanan. dalam I.W.Rusastra dkk (Eds.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan Perikanan. Hal. 7575-582. Pusat Penelitian Sosek Perikanan. Badan
Litbang Perikanan. Departemen Perikanan. Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi Perikanan.
dalam T. Sudaryanto dkk (Penyunting). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial
dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Perikanan. Hal.63-70. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan. Departemen
Perikanan. Jakarta.
Koentjaraningrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
BAB III

III.MASYARAKAT MARITIM RIAU KEPULAUAN

I.PENDAHULUAN

Tulisan ini didasarkan pada informasi yang didapat sebelum Propinsi Riau terbagi
menjadi dua Propinsi, yaitu Propinsi Riau Kepulauan. Masyarakat maritim yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah masyarakat yang sumber penghidupannya dari perairan, sehingga arah
pengungkapan akan lebih di tekankan pada hasil-hasil komoditi perikanan. Komoditi perikanan
inilah yang menjadi dasar-dasar pembahasan terhadap masyarakat maritim yang ada di Riau
kepulauan. Riau Kepulauan terdiri dari banyak gugusan pulau-pulau kecil. Wilayah kepulauan
riau di batasi; sebelah Utara dengan Kabupaten Natuna dan Malaysia Timur, sedang ke Selatan
dengan Propinsi Sumatra Selatan dan Propinsi Jambi, sebelah Barat dengan Kabupaten Karimun
Kota Batang, kemudian ke arah Timur dengan Propinsi Kalimantan Barat. Luas perairan lautnya
96.474,40 Km2 (95,73%) dan daratannya 4.303, 35 Km2 (4, 27%) yang membentuk gugusan
pulau-pulau yaitu: 1. Bintan, 2. Singkep, 3. Lingga, 4. Senayang 5. Tambelan serta ratusan pulau-
pulau kecil lainnya dengan total luas wilayah 3.010,13 Km2 atau 3, 18% dari luas Propinsi Riau
yang 329.867,65 Km2. Penduduknya sebagian terbesar penghidupannya tergantung pada
perairan laut. Riau kepulauan adalah penghasil produksi maritim terbesar, pada tahun 2000
produksi ikannya mencapai 165.897,7 Ton (53,7%) dari total produksi di Propinsi Riau yang
sebesar 308.808,8 Ton. Produksi terbesar adalah ikan, yaitu mencapai 93,4% dari produksi laut,
dan sisanya 6,7 % berasal dari perairan umum, tambak dan kolam. Nilai produksi maritim pada
tahun 1999 mencapai Rp1.021,92 miliar dan di tahun 2000 terjadi peningkatan menjadi Rp
1.163,59 miliar. Dari informasi ini berarti di sektor maritim mempunyai prospek yang cukup
baik dalam menopang pertumbuhan ekonomi daerah, dan hal tersebut ditandai oleh banyaknya
bidang usaha yang bergerak di sector produksi kemaritiman, pengolahan, perdagangan,
transportasi dan warung makanan. Sebagai contoh, saat ini ada tercatat kelompok usaha bersama
(KUB) sebanyak 20 buah. Bentuk usaha tersebut adalah berbentuk “ Koperasi/KUD” sebanyak 5
buah, sedangkan yang bergerak di bidang “ lokasi Pantai di sektor maritim” tercatat 30 unit.
Bidang usaha yang ada berupa: Pengumpul atau Expor ikan segar, teri kering, ikan kerapu hidup,
dan napoleon, ikan hidup, udang (shrimp) segar, ikan Rasbora, ikan beku, pengolahan sarimi
beku, tepung ikan. Usaha yang telah mempunyai badan hokum untuk usaha berupa KUD (4
buah), CV (5 buah), PT (18 buah), Primkopal Lanal (1 buah), Puskopal (1 buah), dan perorangan
(1 buah) atau (Dinas Perikanan Propinsi Riau, 2001). Dengan banyaknya bidang usaha yang
telah tumbuh di sektor maritim, maka Riau kepulauan pertumbuhan ekonominya sangat terkait
erat dengan kegiatan masyarakat maritim yang ada di kepulauan tersebut.
Pelaksanaan Otonomi Daerah khususnya menyangkut kebijakan perancangan
pembangunan menyebabkan beberapa masalah yang muncul, permasalah itu antara lain
berkenaan dengan kewenangan yang cenderung masih di multitafsirkan. Sebagai contoh,
menurut kewenangan, Kabupaten atau Kota seharusnya mempunyai kebijakan yang menyangkut
operasional didaerahnya, sedangkan di Propinsi memfasilitasi kegiatan operasional kabupaten
atau kota. Untuk menghindari kesalahan cara pandang berfikir dalam membuat perencanaan
pembangunan, maka pengertian otonomi hendaknya diartikan pemberian sebagian kewenangan
dari daerah Propinsi ke Kabupaten atau Kota, jadi seharusnyalah ada dokumen perencanaan
pembangunan daerah yang terdiri dari “Pola Dasar” (Poldas), Pola Pembangunan Daerah
(Propeda) dan Rencana Strategis Pembangunan Daerah (Renstrada). Dengan demikian
pelaksanaan kebijakan khususnya di bidang Fiskal tidak akan tumpang tindih baik secara
kebijakan (Policy) maupun dalam teknis Operasional.
1.Keadaan Lingkungan Ekologi
Riau Kepulauan setelah dimekarkan pada pertengahan tahun 2000 menjadi 3 (tiga)
kabupaten, yakni Kabupaten Natuna, Kabupaten Karimun, dan Riau Kepulauan berdasarkan
Undang-Undang No.13 Tahun 2000, maka Riau Kepulauan luas wilayahnya menjadi 100.777,75
Km2 dengan perbandingan luas daratan 4.303, 35 Km2 (4,27%) dan luas lautannya 96.474,40
Km2 (95,23%). Daratannya sendiri memiliki 513 buah pulau besar dan kecil yang tersebar di
Daerah Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Adapun sungai- sungai yang mengalir di Riau
kepulauan umumnya adalah sungai- sungai kecil dan dangkal, tidak cukup untuk pelayaran.
Kemudian di daerah Kecamatan Singkep, Kundur dan Karimun banyak ditemukan bekas galian
Timah dan masyarakat menyebutnya sebagai kolong, yang mempunyai luas antara 1 Ha s/d 3 Ha.
Kolong-kolong ini mulai dimanfaatkan untuk pemeliharaan ikan air tawar, tetapi hasilnya belum
memuaskan. Kedalaman air disekitar Riau kepulauan sekitar 40 m dengan salinitas 28 %, untuk
lepas pantai 35 %. Kecepatan arus dan perbedaan pasang surut tidak sebesar di Selat Malaka, arus
disini dicirikan dengan cara bergantian karena di pengaruhi oleh masa air yang datang dari Laut
Cina Selatan dan Laut Jawa.
Iklim yang terjadi adalah iklim tropis basah, dimana setiap setengah tahun berubah
antara musim kemarau dan musim hujan dan berdasarkan mata angin yang berlaku ada musim
Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Musim- musim ini sangat mempengaruhi aktivitas usaha
maritim, yaitu baik usaha penagkapan maupun usaha budi daya ikan. Penduduk yang ada sampai
tahun 2000 adalah 318.566 jiwa dengan perbandingan 159.721 jiwa laki-laki dan 158.845 jiwa
perempuan, sedangkan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan atau petani ikan sekitar
48.372 jiwa atau 17,4 %. Sarana Transportasi yang digunakan umumnya adalah transportasi laut,
sehingga telah menjadi urat nadi kegiatan di berbagai bidang usaha. Untuk mendukung
transportasi tersebut pihak swasta banyak yang bergerak di sektor usaha ini, pemerintah telah
membangun 2 (dua) Pelabuhan Nusantara yaitu Pelabuhan Sri Payung di Tanjung Pinang dan
Pelabuhan Sri Bay Intan di Kijang yang dapat disandari kapal ukuran besar.

2.Gambaran Umum
Kebijakan di bidang ekonomi, pemerintah daerah melalui strategi pembangunan sektor
maritim, Riau Kepulauan Tahun 2000 kebijakannya masih mengacu kepada kebijakan
Pembangunan Maritim Nasional dengan menitik beratkan pada tujuan pembangunan, yaitu
meningkatkan dan merangsang Investasi pada sektor maritim, terutama pada usaha skala kecil
dan menengah. Dari krisis Moneter yang terjadi sejak tahun 1997 yang ditandai oleh tingkat
Inflasi yang tinggi mencapai 80% pada tahun 1998, telah menyebabkan kegiatan usaha di
berbagai sektor mengalami kegagalan sehingga memunculkan banyak pengangguran. Untuk
sektor maritim di Riau kepulauan justru aktivitas usaha mengalami sebaliknya, yaitu adanya
peningkatan pendapatan bagi masyarakat maritim karena hasil-hasil maritim yang bernilai ekspor
dijual dengan berpedoman pada tingkat kenaikan kurs US$ terhadap rupiah. Tetapi pernyataan
ini hanya diberikan oleh beberapa pengusaha sector maritim, akan tetapi kejadian ini ini secara
resmi belum tercatat di dalam statistik BPS kabupaten baik volume maupun nilainya. Dari
kekuatan pasar yang terbentuk, dan posisi strategis geografis yang di miliki Riau kepulauan,
telah menguntungkan usaha maritim penangkapan, budidaya dan pengolahan produk, sebab hasil
produksinya di nilai dan dihargai sesuai dengan kurs yang berlaku, ini berarti sangat
menguntungkan nelayan.
Di sektor maritim pada saat terjadinya krisis moneter, di Riau kepulauan, belum terjadi
pengurangan lapangan pekerjaan, justru ada penambahan bidang usaha, seperti meningkatnya
jumlah rumah tangga maritim (RTP), alat produksi, perizinan penangkapan. Perubahan ini dapat
menjadi indikator bahwa gejolak krisis moneter secara nasional tidak berpengaruh negatif
terhadap sektor maritim sebagaimana tergambarkan dalam perkembangan indicator maritim di
Propinsi Riau Tahun 2000 pada (Tabel 1) dan (Tabel 2). Akan tetapi saat ini kebijakan
pendukung ekonomi di sektor maritim belum juga terbentuk, walaupun krisis ekonomi itu tidak
mampu menerpa ketahanan sector maritim, tetapi sampai sekarang hampir belum juga ada
lembaga keuangan yang secara pasti ikut menjamin sektor maritim, seperti kebijakan bunga bank,
kebijakan penjaminan bank, perkreditan khusus dan lain-lain kebijakan ekonomi yang mampu
mendorong perkembangan ekonomi di sektor maritim Riau kepulauan. Kebijakan pembangunan
di sektor maritim Riau kepulauan telah menghasilkan berbagai dampak yang dapat di lihat dari
perkembangan indikator maritimnya. Dampak secara keseluruhan dapatlah disebut juga sebagai
hasil dari kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah daerah yang mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Gambaran makro tentang keberhasilan perkembangan
ekonomi di sektor maritim di Riau Kepulauan terbaca dalam (Tabel 2) berikut dengan indikator
perubahannya.

Tabel. 1. Perkembangan Indikator Maritim Di Propinsi Riau, Tahun 2000


NO Komoditi 1999 2000 %
1. Jumlah Ikan total (Ton) 284,595 308,808
Harga Ikan Total (Rp1000) 1.162.340 1.324.733 2,85
Harga rata-rata (Rp/Kg) 4.084 4.200 116
2. Ikan Laut (Ton) 263,475 286,290
Harga Ikan (Rp1000) 1.021.924 1.163.593 5857
Harga Rata-rata (Rp/Kg) 9.921 4.064 59,03
3. Ikan Budidaya Laut (Ton) 2,368 2,182
Harga Ikan (Rp1000) 50.447 57.935 +5236
Harga Rata-rata (Rp/Kg) 21.304 26.540 24,58

NO Komoditi 1999 2000 %


4. Ikan Perairan Umum (Ton) 12,558 13,285
Harga Ikan (Rp1000) 52,289 61.597 +471
Harga Rata-rata (Rp/Kg) 4.165 4.636 11,31
5. Ikan Tambak (Ton) 0,297 0,617
Harga Ikan (Rp1000) 5.437 5.269 6173
Harga Rata-rata (Rp/Kg) 2.367 8.540 260
6. Ikan Kolam (Ton) 3,224 5,827
Harga Ikan (Rp1000) 30.092 34.033 191
Harga Rata-rata (Rp/Kg) 5.471 5.662 3,49
7. Ikan Keramba (Ton) 0,395 0,422
Harga Ikan (Rp1000) 2.150 2.306 20
Harga Rata-rata (Rp/Kg) 5.442 5.462 0,36
Sumber: Dinas Perikanan di Propinsi Riau, 2001

Di dalam laporan buku tahunan statistik maritim di Propinsi Riau tahun 2000,
Pemerintah di Propinsi Riau melalui Dinas Perikanan ada menerakan rata-rata harga ikan, yaitu
antara tahun 1999-2000 per kgramnya. Untuk ikan laut ternyata mengalami penurunan 59,03%,
ikan perairan umum naik 11,31% , ikan tambak naik 260%, ikan kolam naik 3,49% dan ikan
keramba mengalami kenaikan 0,36%, sedangkan rata-rata total kenaikanya adalah 2,86%. Kalau
di hubungkan dengan pergeseran atau fluktuasi harga per komoditi maritim, informasi yang
didapat adalah bahwa ada kecenderungan harga ikan meningkat selama periode 1999-2000, tetapi
gerakannya sangatlah kecil. Faktor penyebab kecenderungan perubahan yang kecil tersebut
karena fluktuatif harga kurs dollar Amerika tidak terlalu tajam dan juga ditandai dengan ada
kecenderungan yang semakin menurun juga, kisaran penurunan antara antara U$ 1=Rp 9000-
Rp12000, dan pada tahun 2002 justru telah mencapai di bawah Rp 9000. (Dinas Perikanan,
2001)
Indikator ekonomi berdasarkan rata-rata harga ikan memberikan gambaran umum,
bahwa yang terjadi di daerah Riau kepulauan dan sekitarnya menunjukkan pembentukan harga
ikan melalui mekanisme pasar tampak tidak terlalu berjalan normal, hal tersebut terindikasi dari
penurunan harga yang terjadi di sektor penangkapan. Kegiatan penangkapan yang selama ini
dikenal dengan banyak ketergantungannya kepada pihak luar. Pihak luar ini yang mengendalikan
pasar dan mereka adalah pemilik modal (Tauke), karena yang paling mudah terkena perubahan
harga, sehingga mereka kurang mampu membuat posisi tawar yang lebih kuat, dengan demikian
perubahan ekonomi justru berdampak langsung terhadap tingkat pendapatan yang mereka terima.
Tetapi secara umum, pengaruh gejolak ekonomi tidak terlalu berpengaruh di sektor penangkapan
dan maritim lainnya, hal tersebut dapat di lihat dari jumlah rumah tangga maritim dari 1998-2000
yang menunjukan kenaikan yang signifikan (RTP tahun 2000 sebesar 12.093) dibandingkan
dengan jumlah kapal maritim yang mencapai 8.864 unit, ini berarti perbandingannya adalah 1 :
0,73 unit di tahun 2000 atau dengan kata lain setiap RTP memiliki kurang dari satu kapal.
Perbandingan total jumlah jiwa dengan jumlah jiwa masyarakat maritim yang bidang usahanya
penangkapan adalah 318.566 : 684.65 atau 4,6 : 1, dan kalau di asumsikan setiap RTP terdiri dari
8 jiwa, maka jadilah sektor penangkapan masih cukup besar perannya dalam sektor ekonomi atau
menjadi sumber usaha masyarakat.
Di lihat dari rumah tangga maritim berdasarkan perkembangan yang terjadi, maka sejak
dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2000, perkembangannya dapat tergambarkan sebagai
berikut; untuk kegiatan masyarakat maritim di usaha penangkapan mengalami kenaikan 42,75%,
untuk usaha budidaya laut mengalami kenaikan 67,47%, dan kemudian usaha budi daya air tawar
juga ikut mengalami kenaikan sebesar 86,36%. Jadi dari indikator RTP, dapat dikatakan semua
kegiatan masyarakat maritim dalam pengusahaann penangkapan dan pembudidayaan
menunjukkan ada peningkatan. Angka peningkatan ini mengindikasikan bahwa masyarakat
maritim yang kegiatan usahanya pada sektor penangkapan dan pembudidayaan tetap menjadi
tumpuan sumber penghidupan mereka. Di lihat dari variasi kegiatan usaha juga mengalami
pertumbuhan, hal ini yang ditunjukan dari usaha pembudidayaan ikan mencapai 0,16%.
Walaupun terlihat kecil, tapi mengingat luasnya wilayah, ini adalah prospek bagi masyarakat
maritim.

I. FAKTOR PRODUKSI
Faktor produksi yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan upaya yang diperlukan
untuk dapat menghasilkan produksi baik dalam bentuk volume ataupun nilai. Maka kisaran uraian
hanya terbatas pada aspek-aspek perizinan, alat produksi, produksi, dan nilai produksi saja.

1.Perizinan
Untuk mengatur usaha di sector maritim, pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan, yaitu berupa perizinan. Perizinan bentuk dan macamnya dapat di lihat dari jenis-jenis
perizinan yang dibuat dan dikeluarkan sesuai dengan bidang usaha yaitu: 1) Penangkapan ikan, 2)
Pengumpul atau pengangkut dan 3) TGKP. Adapun dasar penerbitan izin adalah perda tahun. I
Riau No.9 /89/ Tanggal 15 September 1863 berupa “Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat
Izin Kapal Perikanan (SIKP) yang terbit tahun 2000. Karena perizinan ini penting maka
diharapkan partisipasi masyarakat maritim dan peranan pelayanan pemerintah ikut menentukan
keberhasilan ditaatinya perizinan tersebut. Sampai saat ini pelaksanaan perizinan belum optimal,
karena masih banyak kendala yang dihadapi, yaitu seperti keterbatasan aparat pengawas dan
kesadaran masyarakat penggunanya.

2.Alat Produksi
Alat produksi yang dimaksudkan adalah peralatan yang digunakan oleh masyarakat
maritim untuk memanfaatkan sumber daya maritimnya. Peralatan tersebut dapat berupa perahu,
jaring, jala, pancing, keramba, dan lain-lainnya. Jumlah secara total peralatan ini telah mencapai
19.488 pada tahun 2000. Apabila jumlah peralatan dibandingkan dengan dengan jumlah RTP
yang sebanyak 12.700 perbandingannya adalah 1 : 1,5 dan angka ini menunjukkan bahwa setiap
RTP tidak hanya mempunyai satu peralatan produksi untuk usaha, tetapi peralatannya lebih dari
satu. Dengan jumlah peralatan lebih banyak disbanding RTP, maka tampak bahwa gambaran
usahanya telah bervariasi dan masyarakat maritim Riau kepulauan dalam berusaha telah
mengenal rasionalisasi sehingga tidak merugi dan mereka tidak hanya menggantungkan untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya pada satu alat produksi saja.
Apabila di lihat dari pertumbuhan per-alat produksi, dapat tergambarkan juga yang
menunjukkan kemajuan yang cukup berarti bila membandingkannya antara tahun 1998 dengan
tahun 2000. Per-alat tangkap pertumbuhannya dapat terlihat sebagai berikut, untuk penangkapan
ikan perubahanya 65,40 %, kemudian kapal motor perubahanya 95,49%, sedangkan motor
tempel perubahanya justru mengalami minus 51,11%, dan untuk perahu tanpa motor
perubahanya berubah menjadi 22,05%, yang selanjutnya diikuti juga oleh perubahan keramba
yang mengalami 63,28%. Di lihat dari perubahan yang terjadi, ini menunjukkan arah yang
proporsional dan signifikan, karena besarnya prosentase angka perubahan yang terjadi. Dari
perubahan-perubahan ini, justru perubahan yang menarik adalah terjadinya pergeseran alat
produksi motor tempel yang turun ( 51,11%) dengan sebaliknya terjadinya penigkatan kapal
motor yang mencapai 95,49%. Berarti di dalam masyarakat maritim memberikan juga gambaran,
ada kecenderungan untuk lebih mengefisienkan alat produksi mereka ke arah yang mampu
memberikan pendapatan yang lebih besar, hal ini tercermin dari pergeseran peralatan produksi
yang mereka gunakan. Untuk kegiatan usaha keramba budidaya maritim disekitar Riau kepulauan
ikut menunjukan perkembangan yang cukup berarti, dari 1.054 kantong tahun 1998 telah menjadi
1.721 kantong atau mengalami peningkatan sebanyak 63,28%. Jadi alat produksi di masyarakat
maritim Riau kepulauan, setelah krisis moneter, justru terdorong kearah perkembangan baru.
Fenomena ini cukup menggembirakan bagi masyarakat maritim, karena komoditi maritim
ternyata mempunyai kekuatan pasar tersendiri, maka usaha di sector maritim membuktikan ikut
mempunyai prospek yang baik.

3.Produksi
Kegiatan masyarakat maritim di lihat dari di lihat dari produksi ikan yang dapat dihasilkan
dari usaha penangkapan dan budidaya laut, dan budidaya air tawar, tampak dengan jelas
mengindikasikan ada perubahan yang positif bila membandingkan angka produksi th 1998
dengan tahun 2000. Besaran perubahan apabila di lihat secara presentase, gambarannya adalah
sebagai berikut; untuk usaha penangkapan mengalami perubahan 76,08%, sedangkan untuk
budidaya laut perubahanya 203,74%, dan kemudian bagi budidaya air tawar ternyata mengalami
perubahan sekitar 40,62%. Dari perobahan secara poresentase tersebut, dapat di ketahui dan
tergambarkan dengan jelas bahwa usaha masyarakat maritim di Riau kepulauan memberikan
prospek yang cukup baik, yaitu ditandai dengan perubahan-perubahan yang bernilai positif.
Usaha kegiatan penangkapan mengalami peningkatan hasil produksi cukup signifikan (76,08%),
keadaan tersebut terjadi salah satu penyebabnya karena wilayah ini berdekatan dengan Pusat
kegiatan ekonomi yang transaksi ekonominya cukup tinggi. Akibat dari transaksi ekonomi yang
tinggi tersebut telah ikut mendorong terciptanya pasar-pasar sekunder dan terseir di sector usaha
maritim, dan juga mempunyai ampak positif pada sektor usaha penagkapan. Pada tahun 1998
rata-rata harga ikan Tongkol (Eastern little tunas) Rp 5.958, Kembung (Indian mackerels) Rp
8625, Selar (Trevalies) Rp9.625, Tenggiri (Narrow barred king mackerels) Rp 18.717 dan
Udang besar segar (Giant tiger shrimp) Rp 52.083 dan Udang kecil (Small shrimp) Rp 21.583.
Keadaan ini bila dibandingkan dengan tahuna tahun 2000 ternyata mengalami banyak perubahan
juga, seperti adanya kenaikan presentase harga ikan, masing-masing untuk Tongkol 37,05%,
Kembung 68,11%, Selar 54,10%, Tenggiri 36,55% dan Udang besar 24,80% dan Udang kecil
38,99%. (BPS Kabupaten Kepulauan Riau, 2000). Penggambaran perubahan yang tercatat di
dalam statistik, ikut memberikan kejelasan penggambaran tentang gerakan ekonomi yang berasal
dari komoditi maritim, yang ternyata sangat memberikan prospek kesejahteraan bagi kehidupan
masyarakat maritim. Untuk selanjutnya dengan informasi perubahan harga ikan dan udang
(shrimp) yang positip terhadap gejolak pasar, sehingga dimasa datang tentulah diharapkan secara
signifikan akan ikut mempengaruhi aktivitas usaha untuk berproduksi bagi pelaku usaha maritim.

Tabel 2. Perkembangan Indikator Maritim Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 1998-2000

Tahun
Indikator Satuan
1998 1999 2000
Rumah Tangga
Perikanan
1.Penangkapan RTP 8.471 8.740 12.093
2.Budidaya Laut RTP 329 367 551
3.Budidaya Air Payau RTP - - -
4.Budidaya Air Tawar RTP 30 56 56
Alat Produksi
1. Penangkapan Ikan Unit 7.849 9.233 12.983
2. Kapal Motor Unit 2.219 3.904 4.338
3. Motor Tempel Unit 135 149 66
4. Perahu Tanpa Motor Unit 3.654 4.347 4.460
5. Keramba Kantong 1.054 1.202 1.721

Produksi
1. Penangkapan Ton 20.334,9 25.766,0 35.806,8
2. Budidaya Laut Ton 18,1 428,3 449,853
3. Budidaya Air Payau Ton - - -
4. Budidaya Air Tawar Ton 4,800 5,500 6,750

Nilai Produksi
1. Penangkapan Rp. 1000 110.151.600,00 142.381.864,90 212.813.228,00
2. Budidaya Laut Rp. 1000 9.274.800,00 21.767.300,00 21.184.470,00
3. Budidaya Air Payau Rp. 1000 - - -
4. Budidaya Air Tawar Rp. 1000 57.600,00 62.000 6,750

Volume Pemasaran
1. Ekspor Ton 3.239,25 4.419,03 5.674,23
2. Antar Pulau Ton 226,62 421,12 3.810,94
3. Lokal Ton 16.428,02 19.942,98 27.532,36

Nilai Pemasaran
1. Ekspor Rp. 1000 8.831.452,50 14.765.520,00 26.281.028,00
2. Antar Pulau Rp. 1000 1.219.210,00 1.757.342,50 24.169.946,00
3. Lokal Rp. 1000 92.299.302,00 115.582.283,50 160.287.772,00

Pendapatan RTP
1. Penangkapan Laut Rp. 1000 9.102,36 11.171,07 12.318,64
2. Budidaya Laut Rp. 1000 19.733,19 41.518,01 34.878,21
3. Budidaya Air Payau Rp. 1000 - - -
4. Budidaya Air Tawar Rp. 1000 1.344,00 1.510,00 1.742,00

Konsumsi Kg - - 70,53
Tabel 2. Perkembangan Indikator Maritim Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 1998-2000

Indikator Satuan Tahun


Perizinan
1. Penangkapan Ikan Buah 295/108 295/109 304/106
2. Pengumpul atau Buah 71/8 59/10 62/12
Pengangkut
3. TDKP Buah - 378 150

Kelembagaan Nelayan
1. Jumlah Kelompok Klp 121 129 140
2. Jumlah Anggota Orang 1.278 1.359 1.459
3. Jumlah KUD Buah 9 12 14
4. Jumlah Anggota KUD Orang 4.778 4.838 5.001

Sarana Penunjang
1. Pabrik Es Buah 13 17 17
2. Kapasitas Pabrik Es Ton/HariI - - 86
3. Gold Storage Buah 2 2 2
4. TPI Atau PPI Buah 1 1 1
5. Pelabuhan Maritim Buah - - -
Sumber: Dinas Kelautan Riau Kepulauan,2001

4.Nilai Produksi
Dari produksi yang telah dihasilkan masyarakat maritim dari kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan, ternyata sector maritim ikut mampu menyumbangkan nilai devisa yang
cukup berarti. Nilai produksi hasil maritim adalah indikator yang dapat memberikan gambaran
tentang besaran volume ekonomi dari sektor maritim. Di lihat dari besaran perubahan presentase
nilai produksi yang terjadi selama kurun waktu antara 1998-2000, untuk berbagai kegiatan usaha
adalah sebagai berikut; kegiatan usaha penangkapan mencapai 93,20%, sedangkan budidaya
Laut (Mariculture) ada sebanyak 128,41%, dan kemudian dari budidaya Air Tawar (Freshwater
pond) 32,04%. Maka sumbangan pertumbuhan yang memberikan kontribusi terbesar ada di
sektor budidaya laut, karena berdasarkan besaran pertumbuhanya yang cukup tinggi
dibandingkan dengan kegiatan usaha lainnya, seperti penangkapan dan budidaya air tawar. Dari
angka presentase, tampaknya budidaya laut berprospek cukup baik di wilayah maritim Riau
kepulauan. Prospek tersebut dipicu dengan makin membaiknya permintaan ikan hidup baik
dipasaran lokal maupun pasar Internasional, seperti Singapura, Hongkong, Thailand, dan
Malaysia serta lain-lain. Angka ekspor ikan hidup memang masih sulit ditentukan, tetapi dari
hasil wawancara dan peninjauan di lapangan memberikan indikasi, budidaya laut semakin
diminati masyarakat. Produksi hasil budidaya laut pasarnya tetap terbuka dan lancar. Pasar ini
tetap baik karena pasar ikan hidup mempunyai karakteristik sendiri, dimana kapal pengangkut
ikan hidup secara rutin datang ke pembudidaya untuk membeli ikan-ikan yang dibesarkan oleh
pembudidaya ikan laut di dalam keramba jaring apung disekitar kepulauan Riau.

III.PENGUSAHAAN MARITIM
Pengusahaan maritim yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan kegiatan yang
dilakukan masyarakat maritim dalam upaya pengusahaan sumber daya maritim. Pengusahaan
tersebut adalah melalui kegiatan usaha. Usaha yang dilakukan adalah berkaitan dengan
kemaritiman, dan untuk tulisan ini hanya dibatasi pada kegiatan usaha penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan dan pengolahan ikan serta pengaruhnya terhadap pengeluaran pendapatan
masyarakat maritim. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi atau wilayah secara agregat, dari
informasi Bappeda Riau kepulauan tahun 2000 ada gambaran yang memberikan tentang
pertumbuhan yang terjadi. Pertumbuhan rata-rata tahun 2000 adalah sebesar 5,63%, angka ini
lebih tinggi dibandingkan dari tahun 1999 yang hanya 4,20%. Pertumbuhan sebesar tersebut,
adalah merupakan kontribusi dari berbagai sector. Untuk sektor maritim yang diwakili oleh
perikanan menyumbang pertumbuhan 4,43%. Riau kepulauan yang luas lautnya, lebih luas dari
daratan, maka kontribusi sektor maritim terhadap perikanan cukup besar atau lebih dari
kesetaraan 3,8 ribu Ton (Dinas Perikanan Kepri, Tahun 2000). Daerah Kecamatan yang paling
banyak menangkap atau berproduksi adalah di daerah Senayang sebanyak 7.556,5 Ton, Bintan
Timur 6.773,4 Ton, sedangkan produksi dari Kecamatan lainnya dibawah 5.000 Ton (BPS Kepri,
2000). Adapun daerah ini di lihat dari pendapatan perkapita, baik berdasarkan dari harga yang
berlaku maupun atas dasar harga konstan, telah mengalami kenaikan yang cukup berarti. Sebagai
gambaran, pada tahun 1999 “Pendapatan Perkapita” adalah 4,78 Juta Rupiah dan pada tahun 2000
meningkat menjadi 5,20 Juta Rupiah, ini berarti ada kenaikan 7,45%. Bila di lihat dari
Pendapatan Perkapita atas dasar harga konstan 1993, pada tahun 2000 mengalami kenaikan
1,98%, yaitu dari 2.17 Juta Rupiah di tahun 1999 menjadi 2.22 Juta Rupiah pada tahun 2000.
Maka jelas sektor maritim ikut memegang peranan penting dalam mengundang pertumbuhan
ekonomi daerah Riau kepulauan.

1.Pengeluaran Pendapatan Penduduk


Krisis moneter ternyata telah ikut menyebabkan terjadinya pergeseran komposisi
pengeluaran pendapatan dari penduduk yang berdiam di Riau kepulauan. Tendensi adanya
pergeseran pengeluaran dapat diketahui dari, tadinya pada tahun 1995 samapi 1998 pengeluaran
bukan hanya untuk pangan, tetapi sejak tahun 1998, walaupun terjadi juga pertumbuhan ekonomi,
pengeluaran ternyata lebih terkonsentrasi hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dari
angka presentase pengeluaran dapat diketahui, perbandingan komposisi pengeluaran, di tahun
1998 pengeluaran untuk makanan mencapai 68,37%, sedangkan di tahun 1995 pengeluaran untuk
makanan hanya sebesar 63,11%, jadi di lihat dari pengeluaran non pangannya poerbandingannya
adalah 31,68% dan 39,67%. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pergeseran pengeluaran
yang cukup besar terjadi setelah krisis moneter, masyarakat lebih mengutamakan untuk makanan
dibandingkan pengeluaran lainya. (BPS Kepri, 2000). Implikasi dari pergeseran pengeluaran ini
tampak pada tahun 2000, adanya stagnasi pembangunan Fisik dan juga banyak pencari kerja
yang tidak mampu disalurkan. Pada tahun 2000 perbandingan antara pencari kerja dengan
angkatan kerja yaitu 1:15 yang artinya, dalam setiap 15 orang angkatan kerja terdapat seorang,
dari mereka yang mencari lapangan pekerjaan. Perubahan pergeseran pengeluaran perkapita
tersebut jelas memberikan indikator adanya pertumbuhan ekonomi yang belum mampu banyak
mendorong kesejahteraan, yang ditandai dengan besarnya perbedaan antara penawaran dan
permintaan tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja sering lebih besar dari permintaan, sehingga
tenaga kerja yang dapat di tempatkan jauh lebih sedikit dari pencari kerja. Keadaan ini jelas
masih menjadi beban pembangunan, sehingga harus ada upaya prioritas pengeluaran pendapatan
penduduk bergeser kearah investasi barang dan jasa, sehingga penciptaan lapangan pekerjaan
baru dapat terjadi.

2.Penangkapan Ikan.
Usaha kegiatan penangkapan ikan dalam kenyataanya merupakan bagian kegiatan
masyarakat maritim dalam upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penangkapan
ikan memerlukan kelengkapan teknologi yang harus sesuai dengan karakteristik perairan dimana
ikan atau biota laut itu berada. Pada daerah tertentu, penangkapan ikan sering di kaitkan secara
langsung dengan alat produksi yang merupakan peralatan penangkapan yang mereka gunakan
seperti: Penangkap ikan dengan jarring (Nets), pancing (Hook and line), bagan (Raft net) , tangkul
atau Serok (Scoop net), bubu (Portable traps) atau lainnya. Di Riau kepulauan masyarakat
maritimnya sering pula mengelompokkan orang (nelayan) sesuai dengan alat tangkap yang
mereka gunakan itu. Pada tahun 2000 secara total peralatan produksi ada sebanyak 12.983 buah.
Disamping dengan peralatan produksi, pengelompokan juga sering dengan pendekatan armada
maritim yang digunakan, yaitu yang didasarkan pada besar kecilnya armada, atau kapal atau
perahu yang digunakan. Dari pengelompokan ini tahun 2000 total armada maritim tercatat 8.864
unit yang terdiri dari; dengan pembagian kelompok untuk kapal motor sebanyak 4.338 unit
48,93%, dan kapal motor tempel sebanyak 66 unit 0,74%, serta perahu tanpa motor sebanyak
4.460 unit 50,31%. (Dinas Perikanan, 2001).
Dari hasil beberapa informasi, untuk setiap unit penangkapan, kebutuhan biaya
investasinya per unit usaha yang siap di pakai operasi penangkapan untuk kegiatan usaha skala
kecil pada tahun 2000, gambaran umumnya adalah sebagai berikut.

1) Nelayan jaring dengan Kapal motor 7 PK (8 Th).

a. Kasko Rp.3.000.000
b. Mesin 7 PK Rp.1.000.000
c. Jaring 10 Pis Rp.1.500.000
d. Peralatan Lainnya Rp. 750.000
e. Perizinan Rp. 150.000
--------------------
Total Modal Rp.6.400.000
f. Modal Operasi Kerja Rp. 500.000
--------------------
g. Total Kebutuhan Modal Rp.6.900.000

2). Nelayan Pancing Dengan Perahu Tanpa Motor (10 Th)

a. Kasko Rp. 2.000.000


b. Pancing 500 mata Rp. 750.000
c. Peralatan Lainnya Rp. 250.000
d. Perizinan Rp. 75.000
e. --------------------
Total Modal Rp. 3.075.000
f. Modal Opersi Kerja Rp. 300.000
--------------------
g. Total Kebutuhan Modal Rp. 3.375.000
3). Nelayan Bagan. (7 Th).
Nelayan bagan adalah yang menggunakan bagan tancap yang berada disekitar kepulauan
Bintan.

a. Kayu untuk Bagan Rp. 5.000.000


b. Paku dan Tali pengikat Rp. 500.000
c. Tenaga kerja pemasangan Rp. 750.000
d. Jaring Bagan Rp. 1.000.000
e. Perahu tanpa motor Rp. 1.500.000
f. Peralatan lainnya (lampu) Rp. 500.000
g. Perizinan Rp. 100.000
--------------------
Total modal Rp. 9.350.000
h. Modal operasi kerja Rp. 250.000
--------------------
i. Total kebutuhan Modal Rp. 9.600.000

4). Nelayan Tangkul (Serok). (15 Th).


Untuk dapat menangkap ikan dengan tangkul dibutuhkan perlengkapan sebagai berikut.

a. Kayu untuk Tangkul Rp. 1.500.000


b. Paku dan Tali pengikat Rp. 200.000
c. Tenaga kerja pemasangan Rp. 250.000
d. Jaring Tangkul Rp. 500.000
e. Perahu tanpa motor Rp. 750.000
f. Peralatan lainnya (lampu) Rp. 150.000
g. Perizinan Rp. 50.000
--------------------
Total modal Rp. 3.400.000
h. Modal operasi kerja Rp. 100.000
--------------------
i. Total kebutuhan Modal Rp. 3.500.000

5). Nelayan Bubu (5 Th)


Nelayan bubu adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap utamanya adalah bubu. Pada
sekitar tahun 1990 nelayan masih menggunakan bahan dasar bubu dari bambu dan rotan, tetapi
sekarang dengan kawat baja yang dijalin berbentuk kassa, dan ukuran rata-rata per bubu adalah
40 x 60 x 40 m.
a. Bubu siap jadi 10 x Rp.150.000 Rp. 1.500.000
b. Perahu Tanpa Motor Rp. 2.500.000
c. Tali dan Pemberat atau Timah Rp. 500.000
d. Peralatan Lain Rp. 250.000
e. Perizinan Rp. 50.000

Total modal Rp. 4.300.000


f. Modal kerja Rp. 500.000

g. Total Kebutuhan modal Rp. 4.800.000


3. Pembudidayaan Ikan Laut
Pembudidayaan ikan laut di lapangan dapat ditemukan dari kelompok masyarakat
nelayan yang mengusahakan pembudidayaan ikan di air laut (Mari Culture), sekarang ini banyak
menggunakan teknik jaring apung. Bahan peralatan jarring apung adalah terdiri dari: jaring, kayu,
tali pengikat, drum kosong (dari plastik atau seng) dan dilengkapi perahu (board), serta pondok
pekerjaan.

Untuk setiap unit usaha, rata-rata kotak jaring apungnya berukuran 3 x4 x 2 m memiliki 3
keramba, dan ikan yang di budidayakan umumnya terdiri dari ikan Kerapu, Napoleon, Kakap
merah. Pada tahun 2000, jumlah unit usaha budidaya ikan di laut (Keramba) berjumlah 1.721
unit, jumlah tersebut dimiliki oleh 551 RTP, dengan demikian ini berarti setiap RTP memiliki 3
unit yang setiap unitnya mempunyai rata-rata 3 keramba. Di lihat dari total produksi, ternyata
pembudidaya keramba di laut telah mampu menghasilkan 449,891 Ton, dan nilai yang
dihasilkannya sebesar Rp. 21.184.470.000. Adapun menurut catatatn Dinas Kelautan, pendapatan
pembudidayaan ikan laut dengan teknik keramba ini ternyata sebesar Rp. 34.878.210,- (Dinas
Perikanan Riau Kepulauan, 2001). Jadi kegiatan usaha pembudidayaan ikan di laut memberikan
prospek yang mampu pada akhirnya mendorong kesejahteraan masyarakat.

4.Pengolahan Ikan
Sebagai gambaran tentang kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat maritim setelah
hasil sumber daya maritim dapat diambil dari habitatnya, missal ikan ikan yang berhasil
ditangkap dari penggunaan peralatan produksi, atau dari pembudidayaan ikan. Hasil tangkapan
atau pembudidayaan, sebagian ada yang dijual segar, tetapi ada juga yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut, berupa pengolahan. Produk olahan yang diolah oleh masyarakat
maritim pada tahun 2000, baik berupa dalam bentuk segar, dikeringkan dengan penggaraman,
menurut (Dinas Perikanan Riau Kepulauan, tahun 2001) hasil masing-masing adalah: segar
sebanyak 20.976,3 Ton, kering/garam ada 13.551,1 Ton dan jumlah produksi ikan olahan Kepri
sebanyak 35.806,8 Ton. Kemudian dari jenis-jenis ikan yang diolah mencapai 31 jenis,
diantaranya adalah ikan parang ( 2.198,1 Ton ( 6,13 %), selar 2.059,3 Ton ( 5,75 %), Teri
(Anchovies) 2.482,3 Ton ( 6,93 %), Tembang (Fringescale Sardinella) 2.085,3 Ton ( 5,82 %),
Kembung (Indian Mackerels) 1.404,9 Ton ( 3,92 %), Tenggiri (Narrow barred king mackerels)
2.523,5 Ton ( 7,04 %), Tongkol (Eastern little tunas) 3.493,2 Ton ( 9,75 %), Udang (Shrimp)
1.283,3 Ton ( 3,58 %), Ekor Kuning (Yelow tails) 3.649,9 Ton ( 10,19 %) dan bawal (Pomfret)
1.216,8 Ton ( 3,39 %) dan Jenis ikan lainnya rata-rata dibawah satu Ton. Jadi masyarakat
maritim secara budaya mempunyai juga teknologi pemrosesan ikan agar menjadi lebih awet dan
mempunyai nilai ekonomi. Ini adalah pengetahuan spesifik yang dimiliki masyarakat maririm,
dan pengetahuan inilah yang menjamin keberlangsungan masyarakat maritim tetap hidup.
Kalau di lihat dari tingkatan teknologi yang digunakan, maka tampak bahwa usaha
pengolahan umumnya masih di golongkan pada usaha tradisional, karena proses teknologinya
masih sederhana dan di lakukan dengan sederhana pula. Alat Bantu pengawetan yang umumnya
digunakan yaitu garam untuk pengolahan kering/garam, dan es untuk mempertahankan kesegaran
ikan segar. Kegiatan pengusahaan dapat digolongkan masih dalam skala kecil atau usaha kecil
dan menengah, dan hasil produksinya dijual ke pasar local. Ada sebagian pedagang menjadi
pengumpul yang disebut sebagai pedagang besar, produk dari masyarakat maritim ini kemudian
sebagian di ekspor ke singapura, Malaysia atau Hongkong.

IV.EKONOMI MASYARAKAT MARITIM


Sektor maritim di Riau kepulauan, sesuai dengan kondisi geografis wilayah yang
perairanya lebih luas dari daratannya, dan terdiri dari pulau-pulau kecil yang tersebar dikawasan
dengan total luas 3.000,13 Km2 mempunyai prospek usaha kegiatan kemaritiman yang cukup
menjanjikan. Masyarakat maritim di Riau kepulauan banyak aktivitas usahanya terkait secara
langsung dengan perairan laut yang mengelilingi pulau-pulau tempat tinggal mereka, maka sektor
maritim adalah salah satu unsur penting yang memberikan kontribusi ekonomi. Pemerintah
Daerah telah menjadikan sektor maritim sebagai landasan kuat bagi pertumbuhan ekonominya,
sehingga peran sector maritim menjadi andalan sebagai pemicu utama pembangunan wilayah ini.
Dalam jangka panjang diharapkan dengan adanya kemajuan di sektor maritim, maka
pertumbuhan ekonomi dapat terjadi, sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
Dalam upaya mensejahterakan masyarakat, pendekatan pengaturan sector maririm
didekati dengan mengeluarkan kebijakan fiscal. Tujuan kebijakan yang dibuat karena ada
keinginan agar sumberdaya maritim dapat dimanfaatkan dan mensejahterakan masyarakat melalui
perencanaan yang baik. Ketahanan sektor maritim di Riau kepulauan secara kuantitatif
indikatornya menunjukan nilai positif, yang berarti ada pertumbuhan kegiatan ekonomi di sektor
maritim. Dari Indikator-indikator Rumah Tangga Perikanan, Alat Produksi, Produksi, Nilai
Produksi, Volume Pemasaran, Nilai Pemasaran dan Pendapatan RTP dari sub sektor kegiatan
usaha penangkapan, budidaya laut, budidaya air tawar, cukup baik. Angka ini didapat dari
perbandingan antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2000, kesemuanya menunjukan angka yang
meningkat. Maka jelaslah bahwa dari indikator maritim, dapat memberikan prospek bahwa sektor
maritim mampu diandalkan untuk masa depan sebagai penyumbang PAD daerah, apalagi
kelebihan sector maritim karena sifatnya yang dapat diperbaharui.
Di lihat dari perhitungan PDRB tahun 2000 Riau kepulauan mengalami pertumbuhan
ekonomi sebesar 5,63% dibanding tahun 1999 yang hanya 4,43%, apabila didasarkan pada harga
konstan 1993. Dari pertumbuhan tersebut maka pendapatan perkapita atas dasar harga yang
berlaku dan konstan, juga ikut naik yaitu dari 4,76 Juta menjadi 5,20 Juta, atau mengalami
kenaikan 7,45%. Sumbangan pendapatan ini juga berasal dari sektor maritim, dan jelas peranan
sektor maritim bagi Riau kepulauan makin menjadi penting dan strategis. Secara umum,
walaupun Riau kepulauan mengalami ada perbaikan ekonomi, tetapi kalau ditinjau dari komposisi
pengeluaran pendapatan, maka terlihat jelas prioritas pengeluaran masyarakat masih untuk
memenuhi kebutuhan makanan sebesar (68,37%), (Badan Pusat Statistik, 2000). Prosentase
pengeluaran ini menggambarkan juga berarti pertumbuhan belum mampu dalam waktu yang
singkat ikut memulihkan kesejateraan masyarakat, sehingga belanja barang dan jasa belum
menjadi menonjol, dengan demikian investasi dibeberapa sector juga ikut masih tersendat.
Gambaran sektor rill maritim yang di lakukan oleh masyarakat maritim melalui kegiatan
usaha penangkapan, pembudidayaan ikan dan pengolahan produk ikan dapat ditunjukan oleh dan
dari alat usaha penangkapan yang tercatat sebanyak 12.983 buah dan total armada penangkapan
8.864 buah. Maka sebenarnya keberadaan sektor maritim, sumber dayanya telah mampu
mendukung aktivitas usaha sektor rill maritim melalui berbagi upaya pengusahaan ekonomi,
utamanya usaha sektor penangkapan. Adapun usaha sektor pembudidayaan yang berkembang
adalah keramba jaring apung, pada tahun 2000 usaha ini telah mencapai 1.721 unit, dan dimiliki
oleh 551 RTP, dan dari nilai produksinya rata-ratanya/RTP mencapai Rp 34.878.210. Sektor
pengolahan produk juga ikut berkembang, khususnya dari hasil kegiatan usaha penangkapan, dan
total produksi olahan baik segar ataupun pengeringan/garam mencapai 35.806,8 Ton. Sektor
maritim ternyata memberikan sumbangan ekonomi yang cukup signifikan dalam perekonomian
Riau kepulauan. Masyarakat nelayan sebagai pelaku utama usaha kegiatan di sektor maritim
menanggapi dengan positif kebijakan pemerintah di bidang ekonomi sepanjang diterapkan secara
adil dan terbuka, mereka menyadari kemajuan Riau kepulauan juga menjadi bagian tanggung
jawab mereka sebagai bagian dari penduduk yang berdiam dan hidup di daerah ini.
Upaya pengoptimalan implementasi program pemanfaatan sumberdaya maritim yang
secara pengelolaan terbagi oleh tiga legalitas, yaitu di tingkat Nasional, di Propinsi dan
Kabupaten, di lapangan masih menemui berbagai hambatan teknis. Hambatan yang terjadi karena
kewenangan di Propinsi dan Kabupten ada juga terjadi tumpang tindih. Untuk itu perlu ada
kesamaan paradigma pelaksanaan program pembangunan sesuai dengan kewenangan masing-
masing sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya melalui kebijakan ekonomi tidak
membahayakan kelestarian sumberdaya itu sendiri dan akhirnya mampu mensejahterakan
masyarakat.

V. PENUTUP
Riau kepulauan adalah wilayah yang bercirikan kepulauan dan luas daratannya lebih
sedikit dibanding perairan lautnya, daerah ini mempunyai sumberdaya maritim yang secara
pontensial dapat diandalkan untuk menopang kesejateraan masyarakat maritim dan masyarakat
pada umumnya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya maritim harus didasari oleh prundang-
undangan dan peraturan yang jelas, terutama dalam hal kebijakan ekonomi, sehingga kehilangan
pendapatan dari sektor maritim yang dapat berkelanjutan mampu dihindari, karena kebijakan
didukung oleh masyarakat penggunanya (Stakeholder). Pengaruh krisis moneter di sektor maritim
tidak tampak menghambat pertumbuhan ekonomi usaha kegiatan masyarakat nelayan, hal ini
tercermin dengan masih adanya kecenderungan peningkatan kegiatan usaha penangkapan,
pembudidayaan dan pengolahan produk. Nilai kurs Dollar yang berfluktuasi meningkat, justru
memberikan nilai tambah tersendiri pada komoditi maritim, harga udang (shrimp) dan kerapu
hidup naik mengikuti kenaikan kurs Dollar di pasar Internasional. Perkembangan indikator
maritim dari RTP, alat produksi, produksi, nilai produksi, volume pemasaran, nilai pemasaran,
pendapatan RTP, perizinan dan kelembagaan kesemuanya dari tahun 1998 sampai dengan tahun
2000 menunjukan trend yang meningkat, maka dapat dikatakan performance ekonomi maritim,
berdasarkan indikator yang ada, tetap memberikan prospek yang cerah dan dapat diandalkan
sebagai pendukung utama kesejahteraan. Berdasarkan PDRB, pendapatan regional dan
pengeluaran pendapatan penduduk pertumbuhan ekonomi rata-rata pada tahun 2000 sebesar
5,63% lebih tinggi dibandigkan tahun 1999 atas dasar harga konstan tahun 1993. Gambaran
dilapangan tentang performance kegiatan usaha maritim dapat di lihat dari diversifikasi bidang
usaha yang terdiri dari penangkapan, budidaya ikan laut (keramba), pengolahan produksi hasil
tangkapan. Bidang-bidang usaha ini diketahui masyarakat maritim tetap bertahan, dan keberadaan
kegiatan usaha tersebut ditandai oleh kemampuannya menghasilkan produksi dan nilai produksi.
Jadi masyarakat maritim dalam praktek yang lebih luas terkait juga dengan system pemerintahan.
Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensip, maka perlu dipahami
dengan utuh batasan pengertian masyarakat maritim. Pengertian yang dianut selama ini, tersirat
makna bahwa masyarakat maritim itu di identikkan dengan nelayan, yang di maknai
pengertiannya tidak lebih hanya sebagai orang yang mencari ikan di laut atau biota lainnya.
Batasan ini memberi paradigma bahwa nelayan adalah tidak lebih hanya sebagai tenaga kerja,
bukan dalam kontek bagian dari sistem kemasyarakatan maritim. Masyarakat maritim sebenarnya
lebih menitik beratkan pada pengertian pendekatan sistem kemasyarakatan maritim yang sumber
penghidupannya berbasiskan kemaritiman, sehingga masyarakat yang terbentuk adalah
masyarakat yang berbudaya dan bersosial berbasis perairan, yang berekonomi, yang berhukum,
yang berteknologi dan yang berpengetahuan spesifik mengikuti hukum-hukum kemaritiman.
Nelayan adalah sebutan orang yang kehidupannya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh
lingkungan perairan, sehingga nelayan adalah orang yang mengerti kemaritiman, keilmuan
maritim, keteknologian maritim, kebudayaan dan kesosialan maritim, hukum-hukum kemaritiman
dan ekonomi kemaritiman. Oleh karena itu nelayan yang dimaksudkan adalah sub kelompok
masyarakat maritim yang bekerja menangkap atau membudidayakan ikan, sedangkan sub-sub
kelompok masyarakat nelayan lainnya dapat di lihat sebagai pengolah hasil tangkapan, dan
pembuat sarana kemaritiman, pengangkut barang dan orang dengan perahu atau kapal, pemandu
wisata bahari, penyelam atau perenang, pekerja tambang bawah laut, seniman, pemangku adat
dan lain-lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perikanan Propinsi Riau, 2001. Laporan Pelaksanaan Tugas Sub Dinas Pengolahan Dan
Pemasaran Hasil, Pekanbaru.

Badan Pusat Statistik, 2000. Riau Dalam Angka, di Propinsi Riau.

Badan Pusat Statistik, 2000. Kepulauan Riau Dalam Angka. Kerjasama Bappeda dan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Kepulauan Riau.

Dinas Perikanan , 2001. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Riau, Tanjung
Pinang.
BAB IV
MASYARAKAT MARITIM BENGKULU SELATAN

I. PENDAHULUAN
Sebagai konsekuensi logis berlakunya undang-undang No. 22/1999 dan Undang- undang
No. 25/1999 serta PP. No. 25/2000, maka Kabupaten Bengkulu Selatan mengubah paradigma
pembangunannya ke arah paradigma pembangunan baru. Arah perubahan adalah mendasarkan
dan mengandung semangat desentralisasi, berpola pendekatan wilayah, serta berorientasi pada
pengembangan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Kebijakan pembangunan
pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan berpedoman pada pernyataan kehendak masyarakat, hal
ini menunjukkan pembaharuan disegala bidang, terutama sektor ekonomi, politik, hukum serta
agama dan sosial budaya sebagai upaya penanggulangan krisis. Oleh karena itu strategi
pembangunannya adalah; penyelamatan pembangunan ekonomi kerakyatan, mengatasi
kemiskinan, menciptakan lapangan kerja baru dan perluasan lapangan kerja serta menjaga
hubungan harmonis terhadap tugas-tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Adapun untuk
meningkatkan pendapatan daerah yaitu melalui kebijakan fiskal, berupa penarikan pajak dan
retribusi yang dibuat melalui Peraturan Daerah. Kebijakan ini menjadi sangat penting, karena itu
harus juga mempertimbangkan azas keadilan, dan akhirnya diharapkan mampu melakukan
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penjaminan pembagian pendapatan secara merata.
Pembangunan daerah Kabupaten merupakan bagian integral dari pembangunan nasional
dan pembangunan Propinsi, yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan, sehingga dicapai suatu kehidupan masyarakat yang adil dan
makmur. Sektor maritim adalah bagian integral pembangunan daerah yang sangat penting, karena
itu pemerintah Kabupaten bersama-sama masyarakat maritim mendorong perekonomian daerah
untuk menjadi menjadi lebih baik. Peran pemerintah menyediakan dan mengembangkan sarana
dan prasarana pembangunan, seperti dermaga, pelabuhan, jalan, listrik. Adapun peran masyarakat
sebagai partisipasi pada kegiatan pembanguna sektor maritim, hal ini dicerminkan dari
kontribusinya pada pembentukan pendapatan asli daerah melalui kebijakan fiskal daerah.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka tulisan ini akan meninjau hal-hal yang berkenaan
dengan; faktor produksi maritim yang meliputi penangkapan, pembudidayaan dan pengolahan,
serta pengusahaan maritim dan ekonomi masyarakat maritim. Dan kemudian diharapkan tulisan
ini sedikit memberikan gambaran terhadap kegiatan masyarakat maritim yang ada di Kabupaten
bengkulu Selatan.

Keadaan Umum.
Kabupaten Bengkulu Selatan adalah bagian dari wilayah Propinsi Bengkulu yang secara
administrasi dibatasi oleh : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kodya Bengkulu, Sebelah Timur
dengan Propinsi Sumatera Selatan, sebelah selatan dengan Propinsi Lampung dan sebelah barat
dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan adalah 594.914 Ha.
(5.949.14 Km2) yang diairi + 60 sungai besar dan kecil yang hulunya berada disisi Bukit Barisan
dan mengalir ke Barat Samudera Indonesia dan beriklim tropis yang dipengaruhi angin pesat
dengan kecepatan rata-rata 10 km/jam dan bersuhu rata-rata antara 250C dengan maksimum 31.40
C s/d 32.50C, serta kelembabannya rata-rata 80%. Penduduk yang berdiam di Kabupaten
Bengkulu Selatan pada tahun 1999 tercatat 366.094 jiwa, penduduk laki-laki 183.709 jiwa
sedangkan perempuan 182.385 jiwa, adapun kepadatan jiwa/km2 adalah 62.62 orang.
Sumberdaya manusia dapat di lihat dari struktur umur penduduk dimana proporsi penduduk usia
produktif semakin meningkat dan gambaran angkatan kerja tyang mencari kerja menurut
kelompok pendidikan pada tahun 1999 adalah SLTP 25 orang, SLTA 150 orang, Sarmud/DPL
82 orang dan Sarjana 186 orang. Dari peraturan Daerah Bengkulu Selatan No. 6 Tahun 1996,
tanggal 26 Agustus 1996, Tentang Rencana Umum Tata Ruang, penggunaan, pemanfaatan ruang
dibagi dua kawasan, yaitu budi daya dan non budi daya dengan pembagian untuk: a.). Kawasan
Budidaya 421.414 Ha. yang terdiri dari; 1.Perkebunan 146.687,50 Ha. 2. Lahan Basah 85.250 Ha.
3. Lahan Kering 173.477,50 Ha, dan 4. Maritim laut/tambak 15.999 Ha. Dan untuk b). Adalah
kawasan Non Budidaya seluas 173.500 Ha. (Bappeda, 2000).
Wilayah pembangunan perikanan darat ada di satuan wilayah pembangunan (SWP II)
yang berpusat di kota Tais (Kecamatan Seluma, Kecamatan Mas Mambang, dan Kecamatan
Talo). Sedangkan di SWP III yang berPusat di kota Bintuhan, pembangunan maritim menjadi
titik berat pembangunannya. Untuk merealisasikan pembangunan di wilayah masing-masing
daerah sangat ditentukan oleh factor iklim, fisik wilayah, dan sosial budaya. Permasalahan
pembangunan yang banyak dihadapi di sektor maritim, ketiga faktor tersebut diatas masih sangat
berperan, sehingga perkembangannya sangat lamban. Kegiatan ekonomi yang berbasiskan
maritim ternyata belum menjadi andalan, walaupun potensi kemaritiman begitu besar, pilihan
kegiatan masyarakat masih lebih mengutamakan berbasiskan daratan. Tampaknya pilihan tersebut
sangat beralasan, karena luas daerah di lihat dari ketinggiannya antara 0 – 25 m hanya 68.868 km2
(11.58%) kalau dibandingkan dengan dengan total luasan 594.10 km2. Sebagai gambaran dapat
di lihat pada Tabel. 1 yang menyajikan data luas daerah menurut ketinggian berdasarkan
Kecamatan.

Tabel 1. Tabel Luas Daerah Menurut Ketinggian Per Kecamatan di Kabupaten Bengkulu
Selatan Tahun 2000 (Km2)
Kecamatan 0 – 25 m 25-100 m 100-500 m 500-1000 1000 m+ Jumlah
1. Kaur Selatan 1.675 6.210 6.479 227 519 15.110
2. Nasal 775 8.450 12.800 17.600 16.000 55.625
3. Maje 2.075 5.000 11.200 14.400 8.000 40.675
4. Kaur Tengah 650 6.950 14.000 12.800 6.400 40.800
5. Kinal 250 3.350 11.380 4.800 0 19.780
6. Kaur Utara 0 19.675 12.710 9.400 18.600 60.385
7. Tj. Kemuning 2.400 1.525 0 0 0 3.925
8. Manna 1.862 4.264 0 0 0 6.126
9. Kota Manna 2.250 6.132 0 0 0 8.382
10. Kedurang 0 8.900 9.890 4.800 7.000 30.590
11. Seginim 0 8.992 9.250 2.800 200 21.242
12. Pino 0 4.800 17.600 1.600 0 24.000
13. Pino Raya 3.280 19.920 4.630 400 0 28.230
14. Talo 14.400 17.152 14.500 9.450 3.700 59.202
15. S. Alas 1.200 22.938 14.929 10.150 3.500 52.717
16. S. Alas Maras 6.065 240 0 0 0 6.305
17. Seluma 9.584 24.010 15.025 13.200 500 62.319
18. Sukaraja 22.400 14.400 12.800 9.600 300 59.500
Jumlah 68.866 182.908 167.193 111.227 64.719 549.913
0.115758 0.307453 0.2810377 0.186963 0.108787335 1
Persentase 11.57581 30.745434 28.103773 18.69635 10.87873353 100

Dari data dalam tabel, ternyata daerah potensial yang berhadapan langsung dengan
maritim adalah Kecamatan Tolo, Semidang Alas Maras, Seluma dan Sukaraja. Untuk
pengembangan kawasan maritim dapat dilakukan di Kecamatan Talo dan Sukaraja. Kecamatan
ini mempunyai rata-rata jumlah anggota rumah tangga untuk wilayah Kecamatan; Talo (4.3 = 51
jiwa per km. 2), Semidang Alas Maras (4.4 = 71 jiwa per km. 2), Seluma (4.1 = 64 jiwa per km2),
dan Sukaraja (4.0 = 77 jiwa per km2), yang kesemuanya masih sangat jarang. Dari kenyataan
yang ada maka sektor maritim masih menghadapi berbagai kendala untuk dapat
mengembangkannya.
II. FAKTOR PRODUKSI
Faktor produksi yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah faktor-faktor yang ikut
mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat maritim yang terbatas pada kegiatan penangkapan
perikanan dalam upaya mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor produksi tersebut meliputi
sarana dan peralatan penangkapan ikan di laut, peralatan pembudidayaan ikan dan proses
pengolahan produk maritim.

1.SaranaTangkap
Sarana tangkap adlah perangkat keras yang membantu atau memfasilitasi kegiatan
penangkapan ikan sejak dari persiapan di darat hingga mendaratkan kembali hasil tangkapan
ikannya. Kalau memperhatikan kesungguhan program pembangunan di sector maritim, yang
terealisasi sampai dengan tahun 2000, ternyata jumlah tempat pelelangan ikan (TPI) yang telah
menjadi binaan Dinas Kelautan dan Perikanan ada sebanyak 16 unit. TPI tersebut tersebar di
berbagai Kecamatan yang ada kegiatan maritimnya, khususnya disekitar kegiatan maritim
tangkap. Kalau mempelajari data yang diterbitkan oleh Bengkulu Selatan dalam angka tahun
2000, ternyata dapat diketahui, Pusat-Pusat kegiatan maritim yang banyak aktifitasnya ada di;
Kecamatan Kaur Selatan 3 (tiga) TPI, juga di Semidang Alas Maras dengan 2 (dua) TPI,
sedangkan di Kecamatan lainnya hanya satu TPI.

Tabel 2: Nama-Nama Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Berdasarkan


Kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan, Tahun 2000
Kecamatan TPI Desa/Kelurahan
1. Kaur Selatan W. Hawang W. Hawang
Pasar Lama Pasar Lama
Sekunyit Sekunyit

2. Nasal Merpas Merpas


3. Maje Linau Linau
4. Kaur Tengah Tj. Padan Padang Baru
5. Kinal Mentiring Mentiring
6. Kaur Utara
7. Tanjung Kemuning Tanjung Bulan Tj. Bulan
8. Manna
9. Kota Manna Pasar Bawah Ps. Bawah
10. Kedurang Sulau Air Sulau
11. Seginim
12. Pino
13. Pino Raya Pasar Pino Pasar Pino
14. Talo Pasar Talo Pasar Talo
15. Semidang Alas
16. Semidang Alas Maras Maras-maras Talang Alai
Padang Bakung Padang Bakung
17. Seluma Pasar Seluma Pasar Seluma
18. Sukaraja Pasar Ngalam Pasar Ngalam
Jumlah 16 TPI

Dengan banyaknya TPI yang ingin dikembangkan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan, sebenarnya tertumpu harapan bagi daerah bahwa sektor maritim dapat menjadi
andalan ekonomi daerah. Permasalahan yang dihadapi bagi daerah dan dianggap cukup berat,
adalah kenyataan sarana dan prasarana yang telah dibangun tidak tahan lama. Ketidak tahanan
tersebut disebabkan oleh topografi daerah yang labil dan bersamaan dengan itu juga karena
besarnya arus dan gelombang pantai barat. Gelombang besar ini terjadi karena berhadapan
langsung dengan samudera Indonesia, dan akibat lebih lanjut menyebabkan beban biaya
pemeliharaan dan pembangunan menjadi sangat besar dan berat. Berdasarkan kenyataan di
lapangan, pada beberapa tahun terakhir, ada beberapa TPI tidak dapat difungsikan lagi karena
tergusur oleh gelombang atau kadang-kadang posisi tempat pendaratan terpaksa berpindah tempat
karena adanya perobahan pola arus air laut.

2.Armada Penangkapan
Luas daratan pantai Kabupaten Bengkulu Selatan adalah 68.866 km2 dengan rata-rata
kepadatan armada penangkapan per-km2 untuk setiap 1 unit armada penangkapan di setiap
Kecamatan antara 9 – 2,489 km2. Maka tampak jelas tentang ketidak merataan jumlah armada
pada setiap Kecamatan yang ada di Bengkulu Selatan, keadaan seperti itu dengan demikian
merupakan kendala tersendiri bagi pemberdayaan daerah maritim. Kepadatan armada
penangkapan yang sangat jarang ini kalau juga dibandingkan dengan rata-ratanya luasan pantai,
maka ternyata setiap 1 unit armada memiliki 91 km2. Dari perbandingan ini, maka dapat
dikatakan bahwa Kabupaten Bengkulu Selatan masih memberikan peluang untuk menambah
armada penangkapannya, apalagi setiap armada hanya mampu menampung volume 23.134 kg
saja. Hal ini juga mengandung arti produktivitas kapasitas armada terpasang dibandingkan
dengan luasan pantainya masih sangat rendah untuk setiap km-nya.

Tabel 3: Tabel Banyaknya Perahu/Kapal Penangkap Ikan Per Rataan Luas Pantai
di Kabupaten Bengkulu Selatan Th. 2000
Kecamatan Perahu/Kpl Motor Kapal Jumlah Luas Rata2/
Tidak Tempel Motor Pantai Luas
Bermotor (km2)
1. Kaur Selatan 50 118 7 175 1.675 10
2. Nasal 8 22 0 30 775 26
3. Maje 14 27 0 41 2.075 51
4. Kaur Tengah 25 18 0 43 650 15
5. Kinal 16 13 0 29 250 9
6. Kaur Utara 0 0 0 0 0 0
7. T. Kemuning 34 12 0 46 2.400 52
8. Manna 0 200 0 0 1.862 9
9. Kota Manna 2 116 0 118 2.250 19
10. Kedurang 3 4 0 7 0 0
11. Seginim 0 0 0 0 0 0
12. Pino 0 0 0 0 0 0
13. Pino Raya 18 16 0 34 3.280 96
14. Talo 73 40 0 113 14.400 127
15. Semidang Alas 0 0 150 0 1.200 8
16. S. Alas Maras 25 39 0 64 6.065 95
17. Seluma 10 9 0 19 9.584 504
18. Sukaraja 9 0 0 9 22.400 2.489
Jumlah 287 434 7 728 66.416 91
Rata2 kapasitas/Kg. 1.500 2.000 3.000 7.000 23.134
Total Kapasitas 430.500 1.085.000 21.000 1.536.500
*) Angka yang diolah

Berdasarkan informasi yang tersedia, jumlah total kapasitas terpasang sebanyak


1.536.500 kg atau rata-rata kapasitas 7000 kg saja. Apabila di lihat per armada, untuk yang tidak
bermotor 430.500 kg atau rata-rata kapasitas 1.500 kg, motor Tempel (Out board motor)
1.085.000 kg atau rata-rata kapasitasnya 2.000kg dan kapal Motor (In board motor) hanya
21.000 kg dengan rata-rata kapasitas 3.000 kg. dan apabila total kapasitas terpasang dibandingkan
dengan luasan pantainya, maka ternyata setiap km2 potensi eksploitasinya baru 23.134 kg.
Memperhatikan sifat maritim yang dapat diperharui, sebenarnya realisasi produksi yang dapat
dihasilkan dengan mengekploitasi sumber daya alam yang masih tersedia amatlah menjanjikan
untuk dimasa yang akan datang, tetapi perlu keseriusan prencanaan yang rasional dan terintegrasi.
Dari perkembangan armada periode tahun 1996 – 2000 ternyata tidak mengalami lonjakan yang
berarti, dimana pada tahun 1996 (620), 1997 (679), 1998 (570), 1999 (693), dan 2000 (728),
maka deretan angka tersebut menggambarkan armada penangkapan di Bengkulu Selatan
perkembangannya relatif lambat. Perkembangan yang lambat tersebut banyak disebabkan karena
pantainya curam dan bergelombang besar, lautnya adalah laut lepas, sehingga tempat pendaratan
ikan sulit dikembangkan, hal tersebut menyebabkan resiko penangkapan nelayan menjadi besar,
dan faktor tersebut mengakibatkan masyarakat maritim enggan mengembangkan dirinya.

3. Perikanan Budidaya
Perikanan budidaya di Bengkulu Selatan kegiatan usahanya adalah terbagi pada pada
perairan umum (Inland open freshwater) 4.505 Ha, Kolam (Freshwater pond) 856 Ha, Sawah
(Paddy field) 352 Ha, sedangkan Tambak (Brackis water) Baru 5 Ha, sedangkan Keramba (
Inponding net culture) belum ada. Sebagaimana dalam Tabel 4. dapat terlihat luasan usaha
perikanan daratnya sebagai berikut.

Tabel 4: Luas Usaha Perikanan Darat Berdasarkan Kecamatan


di Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2000
Kecamatan Perairan Kolam Sawah (Ha) Tambak Keramba Jumlah
Umum (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1. Kaur Selatan 91 3 2 0 0 96
2. Nasal 59.6 2 1 0 0 63
3. Maje 76 2 2 0 0 80
4. Kaur Tengah 217.6 7 3 0 0 228
5. Kinal 183 5 1 0 0 189
6. Kaur Utara 213.1 8 2 0 0 223
7. T. Kemuning 138 13 4 0 0 155
8. Manna 116 26 19 0 0 161
9. Kota Manna 82 32 18 0 0 132
10. Kedurang 373 129 137 0 0 639
11. Seginim 515 193 129 0 0 827
12. Pino 175 216 12 0 0 403
13. Pino Raya 162 121 8 0 0 291
14. Talo 137 19 3 0 0 159
15. Semidang Alas 179 14 4 0 0 197
16. Semidang Alas Maras 120 12 2 0 0 134
17. Seluma 1.226 59 66.05.0 0 0 1.285
18. Sukaraja 440 5 5 5 0 455
Jumlah 4.505 856 352 5 0 5.718
2000 4.504.50 856.4 41803 5 0
1999 4.496.00 553 415.1 0 0
1998 4.542.00 532 421 0 0
1997 4.698.00 535 296.6 0 0
1996 4.483.00 535 409.6 0 0

Luas usaha perikanan budidaya sebanyak 5.718 Ha, dan dibandingkan dengan luas
daratannya yang 594.913 km2 adalah sangat kecil, yaitu hanya 0.000961 % saja, jadi sangatlah
kecil sumber daya yang diusahakan tersebut. Daerah yang mempunyai kegiatan usaha perikanan
darat yang potensial adalah Kecamatan Kaur Tengah (217.6 Ha), Kaur Utara (213.1 ha),
Kedurang (373 Ha), Seginim (515 Ha), Seluma (1.226 Ha) dan Sukaraja (440 Ha). Maka tampak
dengan jelas kegiatan usaha perikanan pembudidayaan, masyarakat maritim di daerah ini masih
tergolong ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya. Jadi masyarakat perlu pendorongan
tentang potensi ekonomi yang tersedia dari sector pembudidayaan. Apabila potensi ini
termanfaatkan dengan baik, yaitu dari teknik budidaya, social kemasyarakatan, pemasaran dan
pengaruh dari aspek budaya, maka realisasi potensi tersebut dapat ikut mensejahterkan
masyarakatnya.
4. Pengolahan Produk
Kegiatan usaha masyarakat maritim yang ada di kawasan pesisir dan dekat sungai di
daerah Kabupaten Bengkulu Selatan belum banyak di lakukan. Kegiatan usaha pengolahan
produk dari ikan dan biota laut lainnya, baik melalui hasil tangkapan yang di lakukan masyarakat
maritim, di daerah ini belum menjadi kegiatan usaha utama sebagai sumber penghidupan
keluarga, karena itu usaha industri produk maritim pada skala rumah tangga maupun skala
menengah belum ada. Indikasi bahwa kegiatan usaha ini belum menjadi kegiatan usaha utama
dapat diketahui di dalam statistik Bengkulu Selatan Dalam Angka 2000, yaitu belum ditemukan
adanya data-datanya. Pengolahan produk dari hasil maritim untuk wilayah pesisir di Bengkulu
Selatan akan dapat dikembangkan, apabila hasil penangkapan dapat ditingkatkan lagi. Tetapi
peningkatan tersebut mengalami kesulitan, termasuk juga diversifikasi produknya.
Memperhatikan luasan kawasan dengan panjangnya garis pantai yang dimiliki dan lautan yang
langsung ke ZEE, sebenarnya daerah ini memiliki potensi besar untuk usaha sektor penangkapan.
Kalau potensi itu termanfaatkan dengan baik, maka usaha pengolahan produk hasil maritim juga
dapat didorong, karena ketersediaan hasil tangkapan ikan laut yang secara terus menerus dapat
diadakan. Dari kenyataan-kenyataan yang ada, terlihat dengan gambling bahwa usaha
penangkapan skala menengah ke atas yang sesuai untuk di kembangkan. Agar perkembangan itu
dapat terwujut, tentulah perlu ada dorongan intensif kebijakan spesifik yang mampu membuat
pengusaha penangkapan ikan di laut dapat bersaing dan menguntungkan.

III.PENGUSAHAAN MARITIM
Pengusahaan maritim yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah hanya memberikan
penggambaran tentang kegiatan masyarakat maritim dalam upaya mereka memenuhi kebutuhan
hidupnya melalui kegiatan usaha di sub kegiatan perikanan. Adapun cakupan ulasan yang
dikemukakan hanya terbatas pada kegiatan usaha maritim, perikanan laut, perikanan darat dan
pengolahan produk maritim. Dari penggambaran yang ada, diharapkan ada pemahaman bahwa
sektor maritim tidak hanya diartikan sebagai orang yang berkecimpung di air, tetapi maritim
memberikan kehidupan bagi manusia, karena itu sumber daya maritim akan termanfaatkan bagi
kehidupan manusia apabila dimengerti dengan baik tentang kharakterisitk kemaritiman tersebut.
Dengan demikian ilmu yang diperlukan haruslah mencakup berbagai bidang yang berbasiskan
kemaritiman, seperti teknologi yang berbasiskan maritim atau perairan, sifat-sifat produk yang
dihasilkan, aspek-aspek ekonomi yang sesuai dengan kemaritiman, aspek sosial dan budaya yang
berlaku bagi masyarakat maritim. Jadi pengusahaan maritim merupakan upaya penggabungan
dari berbagai bidang yang diperlukan yang terkait dengan kemaritiman.

1. Kegiatan Usaha Maritim


Usaha maritim adalah kegiatan ekonomi yang berbasiskan kemaritiman. Dalam hal ini
kegiatan usaha tersebut dibatasi pada penangkapan ikan yang dilakukan oleh anggota masyarakat
maritim. Usaha kegiatan penangkapan ikan di laut di Bengkulu Selatan tergolong masih belum
berkembang, keadaan ini dapat di lihat dari teknologi yang dipakai yaitu masih tradisional. Ciri
ketradisionalan yaitu armada penangkapannya yang kebanyakan masih berupa perahu tidak
bermotor lebih banyak, sedangkan yang bermotor berukuran kecil jumlahnya mendominasi. Alat
tangkap yang digunakan berupa jaring, di lihat dari ukurannya juga tidak terlalu besar, dan jenis
jaring yang banyak digunakan adalah gill net, pancing dan jaring udang (shrimp). Di lihat dari
kapasitas rata-rata untuk perahu/kapal tidak bermotor baru 1.500 kg, dan motor tempel 2000 kg,
sedangkan untuk kapal motor 3000 kg. Jadi dari gambaran kemampuan yang ada, maka upaya
yang di lakukan masyarakat maritim masih minim sekali. Kalau membandingkan dengan usaha
perikanan budidaya, juga menunjukkan usahanya masih terbatas, keterbatasannya dapat di lihat
dari skala usaha yang masih setingkat rumah tangga. Adapun untuk usaha industri pengolahan
yang bahan bakunya berupa ikan dari hasil tangkapan di laut, menampakkan juga belum
berkembang optimal.

2. Perikanan Laut
Usaha penangkapan dengan perahu/kapal yang tidak bermotor dan kapal di Bengkulu
Selatan gambaran pengusahaannya adalah sebagai berikut. Untuk dapat berusaha di kegiatan
penangkapan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah: 1) ada investasi terhadap sarana
penangkapan, 2) biaya operasi penangkapan, 3) administrasi izin usaha perahu motor/kapal
maritim (Perda No. 16 Tahun 2001), 4) melakukan pelelangan hasil penangkapan di tempat
Pelelangan Ikan (TPI) berdasarkan (Perda No. 15 Tahun 2001) dan membayar retribusi di TPI.
Kegiatan usaha penangkapan dapat dikelompokkan menurut jenis armadanya.
Berdasarkan data yang tersedia dari hasil wawancara bulan April 2002, didapat informasi, untuk
setiap unit penangkapan biaya investasi per unit usaha armada penangkapan adalah di dalam
Tabel. 5 sebagai berikut:

Tabel. 5. Biaya Investasi Armada Penangkapan Tradisional Per-Unit


di Bengkulu Selatan, Tahun 2000
Investasi
Armada Penangkapan
P/KTM (Rp) MT (Rp) KM (Rp)
A. Investasi
a. Kasko 2.500.000 3.500.000 8.000.000
b. Mesin - 1.000.000 4.000.000
c. Jaring 1.250.000 2.000.000 3.000.000
d. Pancing 500.000 500.000 500.000
e. Perizinan - 40.000 100.000
f. Modal operasi 250.000 300.000 1.000.000
g. Lain-lain 50.000 75.000 150.000
Total 4.550.000 7.415.000 16.750.000
B. Biaya Operasional
a. Oli/Bensin - 17.500 50.000
b. Rokok 15.000 15.000 20.000
c. Ransum 15.000 15.000 25.000
d. Cadangan 5.000 10.000 25.000
Total 35.000 57.500 120.000
Total Kebutuhan Biaya 4.585.000 7.472.500 16.870.000

Melihat jumlah total biaya investasi per unit usaha berdasarkan jenis armada
penangkapannya, maka usaha penangkapan membutuhkan investasi yang cukup besar, terutama
bagi masyarakat maritim yang tingkat pendapatannya masih rendah, biaya ini masih dianggap
sangat memberatkan. Dengan kondisi lingkungan ekologi laut yang berombak besar dan
berhadapan langsung dengan laut lepas, jelas kegiatan usaha penangkapan di daerah pantai Barat
sangat sulit berkembang atau dikembangkan. Agar masyarakat maritim mampu mengembangkan
diri diusaha penangkapan, jelaslah bantuan peranan pemerintah menjadi penting, dan juga sangat
perlu mempunyai program bantuan berbasiskan kebutuhan masyarakat penangkap ikan. Seperti
perkreditan khusus nelayan, sarana penunjang tempat pendaratan, jalan dan pasar ikan yang
dilengkapi air bersih, es dan sarana transportasi khusus ikan dan hasil perairan.
3. Perikanan Darat
Usaha perikanan darat, terutama yang di lakukan di perairan umum, kolam, sawah dan
tambak masih sangat terbatas. Usaha yang ada belum berkembang dengan baik, umumnya berada
di perairan umum dan kolam. Sampai saat ini, daerah yang banyak mengusahakan perikanan
perairan umum terdapat di daerah Kecamatan Kaur Tengah (217.6 Ha), Kaur Utara (213.1 Ha),
Kedurang (373 Ha), Seginim (515 Ha), Seluma (1.226 Ha) dan Sukaraja (440 Ha). Adapun
pengusahaan di kolam (Freshwater pond) masih tergolong sedikit, yang cukup maju hanyalah di
Kedurang (129 Ha), Seginim (183 Ha) dan Pino (121 Ha). Kalau usaha perikanan ini di lihat dari
kemampuan berproduksi, kelihatannya masih rendah, karena pengushaannya masih sangat
tradisional, belum banyak peran teknologi, masih sangat mengandalkan alam. Kenyataan tersebut
dapat di lihat dari perbandingan antara luasan lahan ( Ha ) dengan produksinya, dari angka lima
tahun terakhir ini memberikan penggambaran sebagai berikut:

Tabel. 6. Produktivitas Perikanan Darat Berdasarkan


Perbandingan Luasan Lahan, Di Bengkulu Selatan.
Tahun Perairan Kolam Jumlah Produksi Produktivitas
Umum/ha (Ha) (Ha) (Ton) (Kg)
1996 4.483 535 5018 1.228 244.719
1997 4.698 535 5233 1.042 199.121
1998 4.542 532 5074 1.082 213.244
1999 4.496 553 5049 1.414 280.05
2000 4.504 856 5360 1.192 222.59
Sumber : Bengkulu Selatan dalam angka 2000

Gambaran lima tahun terakhir jelas menunjukan produktivitas produksi perikanan darat
masih sangat rendah produksi per Kolam hanya sekitar 200 kg saja. Jadi campur tangan teknologi
secara umum dapat dikatakan di daerah Bengkulu Selatan masih sangat sedikit, pengetahuan
masyarakat tampaknya hanya berbasiskan cerita keluarga secara turun temurun. Dengan potensi
wilayah yang besar, maka peran pemerintah untuk mampu mendongkrak pertumbuhan perikanan
di darat ini peranannya masih sangat besar. Praktek pembudidayaan ikan mas dan ikan lainnya
masih sangat dipengaruhi oleh peran keluarga dan adat istiadat daerah setempat, yaitu
berdasarkan kebiasaan yang berlaku di daerah Kecamatan masing-masing. Dengan demikian
dapat disimpulkan, daerah ini dalam upaya pengusahaan kolam ikan belum intensif dan masih
menggantungkan dengan alam, jadi belum banyak perubahan cara dengan memanfaatkan
teknologi mutakhir.

4. Pengolahan Produk Maritim


Usaha dalam bentuk industri rumah tangga atau berbentuk badan usaha yang menjadikan
produk maritim sebagai industri pengolahan belum banyak di lakukan masyarakat. Pengolahan
produk hasil maritim masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam bentuk
sayur mayur, belum menjadi industri usaha. Karena itu produk ikan olahan seperti ikan asin, ikan
asap, apa lagi produk ikan olahan seperti nuget, sosis dan lain-lain hampir tidak dikenal, dan tidak
dapat ditemukan dengan mudah. Bentuk usaha yang di lakukan baru terbatas pada hasil
tangkapan nelayan, atau hasil kolam langsung di jual ke pasar dalam bentuk segar atau hidup
tanpa perlakuan tertentu seperti pengepakan. Untuk hasil tangkapan udang (shrimp),
pemasarannya melalui agen-agen khusus dan umumnya di jual ke luar daerah dari Bengkulu
Selatan.

III. EKONOMI MASYARAKAT MARITIM


Kabupaten Bengkulu Selatan secara geografis daratannya lebih luas dari perairan laut,
sungai, dan danaunya, maka peranan sektor maritim dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya
belumlah signifikan dalam membentuk pertumbuhan ekonominya. Dari prospek ke depan, sektor
maritim diharapkan dapat berkembang apabila sarana, prasarana dan sektor finansial dapat
mendukung. Untuk membangun dan mempersiapkan prasarana dan sarana dengan kondisi
topografi pantai yang curam dengan gelombang besar membutuhkan banyak pembiayaan.
Apabila dicermati lebih lanjut, kendala lainnya bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik,
seperti sumber daya manusia masyarakat maritimnya. Tofografi wilayah yang berbukit-bukit,
pantainya berhadapan langsung pada lautan samudera dengan arus dan gelombang yang kuat,
tentulah kegiatan usaha di sektor kemaritiman harus sesuai dengan kondisi kemaritimannya
tersebut. Tampaknya usaha kemaritiman yang sesuai adalah armada yang besar dengan padat
modal dan tenaga nelayan yang terampil. Keadaan seperti tersebut sulit di lakukan oleh nelayan
yang ada sekarang ini, karena keterbatasan berbagai faktor diluar jangkauan mereka.
Pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan setelah otonomi daerah di terapkan, program
pertama berupaya memberdayakan sumber daya maritim yang mereka miliki, salah satunya
adalah membuat beberapa kebijakan fiskal. Perda yang mengandung fiskal dan termasuk retribusi
di dalamnya adalah Perda No. 16 Tahun 2001 dan No. 15 Tahun 2001. Dari Perda ini diharapkan
akan dapat mendorong kegiatan usaha sektor maritim, meningkatkan kesejahteraan, membuka
lapangan kerja dan meningkatkan PAD. Berdasarkan kenyataan di lapangan yang masih memiliki
berbagai keterbatasan, maka pelaksanaan Perda-perda tersebut belum dapat di lakukan optimal.
Memperhatikan keadaan tersebut, kebijakan yang diambil, untuk sementara belum dilaksanakan
secara ketat, tetapi masih bertujuan untuk mensosialisasikan pentingnya Perda dalam mendukung
roda pemerintahan dari sektor maritim, sekaligus penginventarisasian permasalahan yang
sesungguhnya dihadapi oleh nelayan.
Ketahanan sektor maritim di Bengkulu Selatan dapat di lihat dari indikator maritim,
meliputi armada penangkapan, budidaya dan pengolahan produk. Adapun untuk kegiatan usaha
penangkapan, kegiatannya lebih ke arah penangkapan ikan di laut dan di perairan umum. Potensi
wilayah dibandingkan dengan armada ternyata setiap armada memiliki 91 km2 wilayah jelajah,
jadi masih sangat jarang, tetapi belum didukung oleh kemampuan produksi, secara rata-rata per-
unit armada penangkapan baru mencapai 23.13 Kg. Dari sub kegiatan pembudidayaan, Bengkulu
Selatan masih membutuhkan pengusaha yang mampu memanfaatkan potensi sumber daya lahan
budidaya yang tersedia, peluangnya masih terbuka, dimana lahan yang diusahakan baru mencapai
0.000961% dari 594.913 m2. Menilik dari angka ini maka realisasi sumber daya budidaya
sangatlah kecil dibanding dengan potensinya. Kalaupun di lihat dari tingkat produktivitasnya,
juga masih rendah, yaitu baru 222 Kg/Ha. Hal ini mencerminkan juga, ternyata usaha budidaya
ikan masih belum berkembang dan menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Bengkulu
Selatan. Untuk pengolahan produk dari hasil maritim, sampai saat ini belum ada yang
mengusahakannya menjadi industri rumah tangga, apalagi yang berbentuk perusahaan. Maka sub
sektor pengolahan belumlah menjadi prospek ekonomi Bengkulu Selatan. Industri pengolahan
memang erat kaitannya dengan tingkat pemanfaatan dan pengusahaan sumber dayanya.
Kegiatan usaha maritim memberikan gambaran, bahwa sektor ini tingkat kegiatannya
masih rendah, dan sebagai contoh tentang rendahnya kegiatan tersebut salah satunya dari
besaran modal investasi usaha. Untuk armada penangkapan per-unitnya antara Rp. 4.550.000 –
Rp. 16.750.000 yang relatif kecil, tapi mahal bagi masyarakat maritim. Biaya investasi yang
dirasakan mahal ini juga berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan masyarakat maritim
berinvestasi. Pengaruhnya adalah aktivitas penangkapan masih sederhana, dan usaha
penangkapan belum berkembang. Untuk usaha perikanan darat, masih berupa usaha sambilan
ditingkat keluarga yang ada hubungannya dengan kegiatan budaya atau adat istiadat. Jadi belum
bersifat komersial. Adapun sub sektor pengolahan juga masih belum berkembang.

V. PENUTUP
Berdasarkan indikator maritim; yaitu maritim tangkap, armada penangkapan, budi daya
dan pengolahan produk maritim yang memberikan indikasi tingkat kegiatannya masih sederhana
yaitu sejak tahun 1996 – 2000, maka dapat diinformasikan bahwa performance activitas
pemanfaatan sumber daya sektor maritim masih belum berkembang dengan baik. Untuk
meningkatkan kemampuan usaha maritim baik di sektor penangkapan, budi daya maupun
pengolahan memerlukan program-program yang berpihak kepada masyarakat, seperti pembinaan,
zonasi wilayah, sistem perbankan dan Co. Manajemen.
Dari gambaran indikator ekonomi maritim, pertumbuhan ekonomi Bengkulu Selatan,
memberikan gambaran, pemerintah daerah telah berupaya untuk memacu pertumbuhan dengan
membuat berbagai program, khususnya di sektor maritim. Peranan sektor maritim di tahun-tahun
yang akan datang diharapkan akan semakin menjadi penting. Berdasarkan gambaran di lapangan
dapat diketahui, kegiatan-kegiatan usaha maritim masih sederhana, hal ini tercermin dengan
skala usaha dan diversifikasi usaha kegiatan masih terbatas. Kegiatan usaha penangkapan masih
skala kecil dengan alat tangkap dan armadanya tradisional, begitu juga budidaya ikan belum
berkembang ke arah intensifikasi, serta bidang kegiatan pengolahan produk belum mengarah
pada usaha yang bersifat industri. Dari gambaran ini maka secara umum kegiatan maritim pada
tatanan yang belum berkembang. Untuk mendorong berkembangnya usaha sektor maritim, maka
perlu pendorongan dari semua pihak yaitu masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan
pemerintah, yang menjadikan sektor maritim sebagai aset pertumbuhan riil daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda, 2000, Data Pokok Perencanaan Pembangunan Kabupaten Bengkulu Selatan,


Pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Pemda Bengkulu Selatan, 2000, Bengkulu Selatan Dalam Rangka Kerja sama Pemerintah Daerah
Bengkulu Selatan Dengan Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bengkulu Selatan.
Perda, 2001, Peraturan daerah No. 15 Tahun 2001 Tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan
(TPI), Lembaran Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan.
Perda, 2001, Peraturan daerah No. 16 Tahun 2001 Tentang Retribusi izin Usaha Maritim dan Izin
Perahu Motor/Kapal MaritimLembaran Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan.
BAB V

V.MASYARAKAT MARITIM LAMPUNG BARAT

I. PENDAHULUAN.
Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Barat (Lambar) tidak dapat dipisahkan
dengan pembangunan Provinsi, yaitu bertujuan meningkatkan kesejateraan masyarakat secara
berkelanjutan, sehingga dicapai suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Kegiatan
pembangunan yang di lakukan oleh pemerintah kabupaten membutuhkan dana yang bersumber
dari PAD dan dari pendapatan bukan PAD (non – PAD). Menurut UU No. 22 Tahun 1999,
sumber PAD Kabupaten adalah: 1.) Hasil Pajak Daerah, 2.) Hasil Retribusi Daerah, 3). Hasil
Perusahaan Milik Daerah, 4). Lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Sedangkan sumber non-
PAD adalah dari: 1). Dana Perimbangan, 2). Pinjaman Daerah, dan 3). Lain-lain pendapatan
daerah yang sah. Dengan telah berlakunya UU No. 22/1999, UU No. 25/1999 dan PP No.
25/2000, maka kabupaten Lampung Barat yang merupakan bagian kesatuan wilayah Indonesia
harus mengubah paradigma pembangunannya dengan yang baru, yaitu melakukan perubahan
mendasar dan mengandung semangat desentralisasi, berpola pendekatan wilayah, serta
berorientasi pada pengembangan keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif.
Salah satu komponen penting dalam pembangunan Daerah Kabupaten adalah peran
Pemerintah bersama-sama masyarakat mendorong perekonomian regional menjadi semakin maju.
Kebijakan Ekonomi adalah instrumen legalitas yang dapat membantu pencapaian pembangunan,
pemerintah melakukan fungsi pelayanan umum dan masyarakat sebagai partisipan dalam kegiatan
pembangunan yang di cerminkan oleh kontribusi mereka dalam pembentukan pendapatan PAD.
Kabupaten Lambar terletak pada 40 47’ 16”- 50 56’ 42” LS dan 1030 35’ 8’’- 1040 33’ 51”
BT dengan luas Daerah 4.950,40 km² (4.950,40Ha) atau 13,99% dari luas provinsi lampung.
Batas wilayah adalah dengan; Sebelah Utara dengan: Kabupaten Bengkulu Selatan dan Ogan
Komering Ulu, Sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, Sebelah Barat dengan Samudra
Indonesia, Sebelah Timur dengan Kabupaten Tanggamus, Lampung Utara dan Lampung Tengah.
Lambar terletak pada ketinggian 0-1200 m dpl yang dibagi menjadi wilayah daratan berbukit
(500-1000 m dpl) dan wilayah pesisir (0-500 m dpl). Disamping itu tanahnya di dominasi oleh
endapan gunung berapi dengan jenis Andisol, Ultisol, dan Inseptisol. Tanahnya relatif subur dan
juga mengandung mineral tipe galian C. Musimnya adalah Barat dan Barat Laut pada bulan
November- Maret dan Timur dan Tenggara bulan Juli- Agustus dengan temperatur antara 330C-
220C yang beriklim tropis. Penduduk yang berdiam di daerah Lambar pada tahun 2000 sebanyak
365,999 jiwa yang tersebar di 6 (enam) Kecamatan dengan rata-rata kepadatan per Km2 sama
dengan 74 jiwa/Km2. Sumber maritim yang ada, yaitu di lihat dari batas kewenangan
pengelolaan wilayah laut pembagian untuk pemerintah daerah se tingkat Kabupaten/Kota.

II. GAMBARAN PEMBANGUNAN.

1. Kebijakan Pembangunan
Pada pasal 1 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Otonomi
Daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ini memberikan pungutan bahwa daerah harus mampu:
a). Berinisiatif sendiri (menyusun kebijakan daerah dan rencana pelaksanaannya). b). Memiliki
alat pelaksanaan sendiri yang berkualitas. c). Membuat peraturan sendiri (dengan Perda). d).
Menggali sumber-sumber keuangan sendiri menetapkan pajak (Fiscal), retribusi dan lain-lain
usaha yang sah sesuai dengan perda yang berlaku.

Tabel 1. Indikator Perikanan Kabupaten Lampung Barat, Tahun 2000


Tahun
Indikator Satuan
1996 1997 1998 1999 2000
I. RTP.
1. Penangkapan. RTP 3.330 3.643 3.650 3.743 3.850
2. Perairan Umum. RTP 819 845 867 895 897
3. Budidaya Kolam. RTP 631 643 698 764 798
4. Mina padi. RTP 951 1.003 1.032 1.045 1.070
5. Keramba/Jarpun RTP 54 59 66 69 76
6. Pedagang Ikan. RTP 52 59 68 79 88
II. Alat Produksi.
1. Perahu Tanpa Motor. Unit 417 432 487 492 497
2. Motor Tempel. Unit 111 123 124 126 129
3. Kapal Motor. Unit 13 8 8 18 28
4. Alat Tangkap. Unit 1412 2.967 2043 2.977 2045
III. Produksi.
1. Penangkapan di Laut. Ton 6.298 6.373,2 6.702,1 6.737,3 6.773,6
2. Perairan Umum. Ton 330,9 321,3 323,7 324 459,6
3. Keramba/Jarpun Ton 11,4 12,5 13,5 9,4 11,6
4. Tambak. Ton 294,5 262,3
5. Kolam. Ton 306,9 296 302
6. Mina Padi. Ton 233,3 224,4 230,6 252,7 262,3
VIII. Konsumsi Kg/Kap/Th 17,50 17,90 19,81 19,90 20
IX. Perizinan
1. Penangkapan 4 4 4 6 9
2. Pengumpul 4 4 4 4 5
X. Kelembagaan Nelayan
1. Kelompok Buah 713 723 733 735 763
2. KUD Buah 19 19 19 19 19
3. TPI Buah 2 2 2 2 2
4. Pengusaha Buah 17 17 17 19 21

Otonomi daerah pada daerah kabupaten meletakkan dasar semakin banyak urusan-urusan,
baik jumlah maupun jenisnya, dari pemerintah Pusat dan atau pemerintah daerah propinsi yang
diserahkan kepada pemerintah kabupaten, termasuk fiskal. Bagi daerah otonomi setingkat
Kabupaten, terbuka peluang memanfaatkan sumberdayanya, temasuk sektor kelautan dan
perikanan bagi kepentingan peningkatan PAD. Sesuai pasal 79 Undang-undang No.22/1999 dan
pasal 3 Undang-undang No. 25/1999 tentang perimbangan antara Pusat dan Daerah, disebutkan
PAD terdiri atas; a). Hasil Pajak Daerah. b).Hasil Retribusi Daerah. c). Hasil Perusahaan Milik
Daerah, d).Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan. e). Lain-Lain Pendapatan
Daerah Yang Sah. Adapun PAD yang berasal dari pajak daerah dan hasil retribusi daerah, besar
atau kecil penerimaannya dapat dipengaruhi oleh: a).Besar atau Kecil obyek pajak atau retribusi.
b). Kemampuan Aparatur Pemungut. c). Tingkat Kesadaran Hukum Wajib Pajak Retribusi.
Dengan demikian betapa pentingnya penerimaan pajak dan retribusi daerah bagi
pengembangan ekonomi suatu daerah. Pajak daerah adalah iuran wajib yang di lakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Retribusi daerah adalah
pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Dengan adanya Undang-undang No. 18/1997 tentang Pajak dan Rertibusi Daerah, telah
terjadi pembatasan jumlah pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh Pemda. Menurut
ketentuan, terdapat 6 jenis pajak daerah, 3 (tiga) golongan retribusi daerah, dimana sebelumnya
terdapat lebih dari 40 jenis pajak retribusi daerah.
a). 6 Jenis pajak daerah: 1).Pajak Hotel Dan Restoran. 2).Pajak Hiburan. 3).Pajak Reklame. 4).
Pajak Penerangan Jalan. 5). Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C.
6). Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
b). Sedangkan 3 (tiga) Golongan Retribusi Daerah ialah: 1). Retribusi Jasa Umum. 2). Retribusi
jasa Usaha. 4). Retribusi Untuk Perizinan Tertentu.

Di sektor Maritim, retribusi (Retribution)sangat populer diterapkan sebelum tahun 1997,


maka dengan adanya UU No.18/1997, di dalamnya ada penjelasan pasal 2 tentang batasan pajak
dan retribusi, pemda menjadi jelas ruang lingkupnya dalam menciptakan perda di daerahnya.
Agar sektor maritim dapat memberikan kontribusi pada PAD, upaya pembuatan Perda di sektor
maritim, Lambar sedang mengusahakan pembuatan rancangannya, yaitu berkenaan dengan
retribusi ke tiga golongan tersebut yang akan diterapkan di maritim. Mengingat potensi maritim;
laut, darat dan pengolahan yang cukup menjanjikan, maka diharapkan sektor pontensial
penyumbang pendapatan asli daerah secara bertahap dapat digali dan di penuhi oleh sektor
maritim Lambar. Untuk saat ini, kontribusi tersebut masih sangat minim, dan perda khusus di
sektor maritim tentang retribusi belum terwujud. Masyarakat maritim sebagai pemanfaat
sumberdaya masih bebas melakukan usahanya tanpa ada kewajiban yang di atur perda untuk
membayar pajak atau retribusi daerah. Mereka baru dikenai dengan perda No.02/1999 tentang
Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan yang objeknya di TPI Krui dan TPI Biha.

2. Pertumbuhan Ekonomi Maritim.


Pertumbuhan ekonomi maritim tidak dapat terpisah dari pertumbuhan ekonomi Lampung
Barat. Pada tahun 1998 ada pertumbuhan 5,20%, dan pada tahun 1997 pertumbuhan tersebut
masih mengalami minus, yaitu –1,42%. Tingkat pertumbuhan mulai mengalami perbaikan,
walaupun masih relatif sederhana, di mana pada tahun 1999 pertumbuhan terjadi 6,92%, dan di
tahun 2000 justru mengalami penurunan menjadi 5,64%, tetapi angka ini masih menunjukan
pertumbuhan yang positif. Dalam 4 (empat) tahun terakhir, secara makro regional, tanda
perbaikan ekonomi menunjukan cenderung ke arah pertumbuhan. Ketahanan ekonomi ditopang
oleh pertumbuhan yang selalu positif, dari lapangan usaha listrik dan air bersih serta
pengangkutan dan komunikasi, adapun sektor usaha lainya pernah mengalami pertumbuhan
negatip. Untuk sektor perikanan masih menunjukan kekuatan pemulihan yang tinggi, yaitu pada
periode tiga (3) tahun terakhir yang selalu positif dengan angka pertumbuhan relatif baik.
Ketahanan tersebut tidak lepas dari kontribusi sektor maritim sejak tahun 1993 – 2000 yang tidak
pernah mengalami pertumbuhan negatip.

Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1997 - 2000


No Lapangan Usaha 1997 1998 1999 2000
1 Perikanan 9,12 27,80 2,33 3,99
2 Pertambangan & Penggalian 9,21 -38,95 -3,82 11,98
3 Industri Pengolahan 13,79 -2,33 11,73 2,91
4 Listrik dan Air Bersih 27,77 5,78 18,58 2,88
5 Bangunan 8,95 -38,03 -1,08 12,99
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 3,85 -15,05 20,16 11,92
7 Pengangkutan & Komunikasi 9,90 20,68 17,17 8,84
8 Keuangan & Perawatan 2,84 -7,91 -16,16 4,99
9 Jasa – Jasa 1,06 -5,20 19,46 1,67
PDRB -1,49 5,20 5,92 5,64

Sektor usaha perikanan termasuk maritim yang ikut membentuk PDRB, dilihat dari
peranan sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya (tanaman bahan makanan, tanaman
perkebunan, peternakan dan hasil – hasilnya, kehutanan dan maritim) masih yang terbesar.
Perkembangannya dari tahun 1997 sebesar 55,65%, dan tahun 1998 meningkat menjadi 72,41%,
tahun 1999 turun menjadi 67,12% dan pada tahun 2000 menjadi 69,70%. Dari deretan angka
presentase ini, jelas terlihat kontribusi perikanan dalam menggerakan ekonomi Lambar sangatlah
dominan. Perikanan yang merupakan sub sektor maritim, kontribusinya terhadap PDRB
gambarannya di lapangan usaha perikanannya seperti berikut.

Tabel 3. Kontribusi Perikanan Atas Dasar Harga Yang Berlaku Terhadap


Perikanan Dan PDRB Lampung Barat 1993-2000/ juta Rupiah.
Angka Absolut Kontribusi
Tahun
Perikanan Perikanan PDRB
1993 5.948 6,17 3,34
1994 7.134 5,12 2,90
1995 9.870 6,14 3,33
1996 12.774 6,68 3,77
1997 16.846 8,00 4,52
1998 24.719 4,16 3,51
1999 43.200 6,65 4,47
2000 44.772 6,17 4,30

Dari kontribusi presentase terhadap PDRB, jelas memperlihatkan tendensi yang bersifat
positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari angka ini terbaca ada kecenderungan investasi usaha
terjadi pada pembangunan ekonomi sektor maritim, yaitu ada konsistensinya antara kontribusi
maritim terhadap perikanan dan PDRB yang semakin meningkat (Tabel 3). Dari sisi moneter
memperlihatkan pada ketahanannya terhadap gejala fluktuasi moneter yang ditandai dengan kurs
rupiah terhadap US $ yang semakin melemah, justru berdampak positip terhadap sektor maritim,
karena masih mengalami pertumbuhan positip. Potensi maritim sebagaimana tercantum dalam
laporan-laporan dinas Perikanan dan Kelautan (2001), jelas apabila dapat ditingkatkan
realisasinya, maka akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Sampai
periode tahun 2000 sub sektor perikanan dalam berperan mendorong pembangunan ekonomi
telah dapat melakukan dan menghasilkan kebijakan program yaitu:

1. produksi mencapai 7.819,4 Ton atau mengalami kenaikan sebesar 2,65% dibanding tahun
1999. Produksi penangkapan di laut adalah sumber produksi paling besar yaitu mencapai
6.773,6 Ton atau sebesar 83,16% dari total produksi.
2. Pendapatan petani ikan dan nelayan mengalami penigkatan yaitu untuk nelayan 4,52% dan
pertani ikan sebesar 11,67%
3. Konsumsi ikan mengalami penigkatan 1,75% atau mencapai 21,46 Kg/ kapita/Tahun.
4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sub sektor maritim menigkat 62,15% dari Rp 9.405.000
menjadi Rp 15.250.000.
5. Armada penangkapan ikan berkembang 1,78% dan jumlah alat tangkap ikut meningkat
0,77% dari tahun sebelumnya.

Untuk meningkatkan jumlah produk dan tumbuhnya usaha dibidang pengolahan, upaya
pemukiman di lakukan dengan cara membuat kelompok kerja di 6 lokasi dengan total jiwa 120
orang. Daerah pemasaran ikan segar atau olahan dari Lambar ke Telukbetung, Batu Raja, Muara
Dua, Palembang, dan Jakarta di upayakan terus meningkat. Di tahun 2000 ini ada peningkatan
pemasaran ikan, hal ini terjadi karena ada dukungan sarana dan prasarana transportasi serta
peranan koperasi mina. Maka jelaslah peran serta sektor maritim masih dapat ditingkatkan, tetapi
faktor-faktor penghambat teknis seperti Geografi wilayah yang tidak dapat diabaikan dan non
Teknis tentang ketepatan perencanaan dan pelaksanaan program, masih memerlukan perbaikan
dan peningkatan, baik SDM-nya maupun anggarannya.

III. PENGUSAHAAN MARITIM


Pengusahaan maritim yang dimaksudkan dalam uraian tulisan ini hanya terbatas pada
pengusahaan perikanan, yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya, termasuk
pengolahannya dan masyarakat maritim. Pengusahaan di sektor maritim sebenarnya mencakup
bukan saja pengusahaan perikanan, tetapi juga banyak bidang kegiatan usaha-usaha yang ada
kaitannya dengan sumber daya maritim, seperti; wisata maritim, transportasi maritim,
pertambangan bawah laut, jasa kemaritiman dan lain-lainnya.

1. Perikanan Tangkap
Luas wilayah administrasi pengelolaan pemanfaatan perairan Laut, masing-masing
memiliki potensi sumber daya maritim dalam Ton/Tahunnya. Untuk pemda kabupaten Lambar
yang memiliki 4 mil Laut sumber daya maritimnya sebesar 16.500 Ton/Tahun, pemda provinsi
lampung memiliki 8 mil laut sumber daya maritimnya sebesar 33.000 Ton/Tahun, dan pemerintah
Pusat memiliki 200 mil laut sumber daya maritimnya sebesar 90.000 Ton/Tahun. Produksi
tongkol pada tahun 2000 telah mencapai 6.737,6 Ton dan tahun 1999 sebesar 6.737,3 ton, dan
tahun 1998 sebanyak 6.702,1 Ton. Jadi ada kencenderungan meningkat dari tahun ketahun dan
rata-rata peningkatannya sebesar 0,26%. Ini memberikan gambaran nelayan di lampung barat
berusaha di sektor penangkapan mulai melihat bidang usaha maritim dapat memberikan prospek
ekonomi kehidupan. Untuk melihat kencenderungan tersebut tercermin dari perkembangan
armada penangkapannya, di di pesisir tengah (312 unit), pesisir Utara (140 unit) dan pesisir
selatan (178 unit). Armada penangkapan ini juga didukung alat tangkap sebanyak 2.092 unit, dan
sejak tahun 1998 sampai sekarang mengalami kenaikan juga. Gambaran kegiatan usaha tangkap
yang ada saat ini masih di dominasi oleh perahu tanpa motor (500 unit) atau 79,37% nya dari total
armada penangkapan. Jumlah armada yang tercatat untuk motor tempel sebanyak (122 Unit) atau
19,36% sedangkan kapal motor hanya 8 buah atau 1,26% saja, jadi komposisi armadanya masih
sangat timpang. Di lihat dari alat tangkap yang digunakan ternyata Rawai Hanyut (Drift long line)
600 unit atau jaring Insang 630 Unit atau sedangkan armadanya masih perahu tanpa motor yang
mendominasi, maka kegiatan usaha penangkapan ini jelas dalam bentuk sederhana, skala kecil
dan beraktivitas di tepi pantai yang terseleksi. Di lihat dari rata-ratanya, setiap armada
mengoperasikan lebih dari satu alat tangkap, yaitu (2097: 630 = 3,3).
Untuk dapat melakukan kegiatan usaha penangkapan perlu memiliki modal Investasi,
untuk setiap unit perahu skala kecil, biaya investasi minimal yang perlu disediakan seperti terlihat
pada Tabel 4. berikut ini;

Tabel 4. Investasi Usaha Penangkapan Ikan Laut di Lampung Barat, Tahun 2002
Keterangan PTM MT KM
I. Investasi
1. Kasko 1.000.000 2.500.000 2.000.000
2. Mesin - 1.250.000 2.500.000
3. Alat tangkap;
-Rawai Hanyut (Drift long line) 500.000 750.000 1.500.000
-Jaring Insang (Gill nets) 500.000 1.250.000 1.250.000
-Pancing Tangan (Hook and line) 300.000 - -
- Pancing Tanda (Troll line) 400.000 750.000 750.000
4. Alat Bantu
-Jangkar 75.000 75.000 100.000
-Tali Temali 58.000 75.000 100.000
- Surat Izin - - -
5. Modal Kerja 150.000 250.000 580.000
Total Investasi 2.975.000 6.900.000 11.000.000
Jumlah Armada 500 122 8
Jumlah Alat Tangkap 2097 Buah.
Sumber: Data lapangan diolah, 2002.
PTM = Perahu Tanpa Motor ;MT = Motor Tempel ;KM= Kapal Motor
Dari Tabel 4, kegiatan usaha penangkapan, minimal baru dapat di lakukan bila mampu
berinvestasi sebesar Rp. 2.975.000 dan untuk usaha yang lebih besar lagi membutuhkan biaya
investasi yang lebih banyak. Armada penangkapan yang digunakan tergolong Tradisional dan
lautan yang dihadapi adalah lautan lepas atau samudra, maka tampak sekali kemampuan
masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya laut seperti Ikan, biota laut Lainya, sangatlah
terbatas. Upaya pemberdayaan maritim laut dalam waktu pendek sangat sukar ditingkatkan,
mengingat kondisi alamnya yang menuntut investasi besar, kalau dapat dilakukan maka baru
mampu mendapatkan hasil yang lebih baik, armada penangkapan akan mampu menambah
kemampuan jelajah dan jua peningkatan keterampilan teknis dan Non Teknis termasuk
manajemen usaha.

2. Perikanan Budidaya
Peluang usaha budidaya laut yang dapat dikembangkan adalah teknik pembudidayaan
dengan jaring keramba apung. Ikan yang dapat di budidayakan adalah teripang, kakap (Giant sea
perch), kerapu dan baronang, tetapi sayang, peluang usaha pembudidayaan ini belum banyak
dapat dilakukan, karena sarana pasar sebagai pendukung belum tersedia. Adapun kegiatan usaha
yang di lakukan masyarakat baru terbatas pada skala kecil. Berdasarkan potensi lahan untuk air
payau, lahan yang tersedia ada 6.500 Ha, dan yang teletak di Kecamatan Pesisir Selatan dan
Kecamatan Bengkunat 5.000 Ha sedangkan Kecamatan Pesisir Utara 1.500 Ha, akan tetapi
potensi yang tersedia ini belum diusahakan secara komersial. Dari potensi lahan air tawar,
Lambar memiliki cukup banyak yaitu 944 Ha, dan pemanfaatannya baru mencapai 258,9 Ha atau
sekitar (27,43%). Kemudian jenis-jenis ikan yang di budidayakan adalah; ikan mas (Common
carp), mujair (Mozammbique tilapia), tawes (Java barb) , nila (Nile tilapia), lele (Cat fishes),
patin, dan bawal. Adapun dari sifat usaha, kegiatannya masih tradisional, sehingga
produktivitasnya tergolong masih sederhana. Padahal kalau dilihat peluang usaha, untuk usaha
skala besar, wilayahnya memberikan dukungan, sebab jenis perairan yang dimiliki sangat
beragam dan luas. Berdasarkan lokasi, pemerintah mengarahkan di wilayah Kecamatan Belalau,
yaitu seluas 2117 Ha serta Balik Bukit, dan Sukau seluas 4.084 Ha.
Dari luas lahan air tawar yang ada 10.234 Ha, dan lahan ini baru dapat dimanfaatkan
seluas 1.600 Ha, inipun tingkat produktifitasnya masih rendah. Sebagian masyarakat
membudidayakan ikannya dengan cara memanfaatkan lahan perairan umum yang di tanami padi,
teknik pembudidayaan ini dikenal dengan mina padi (Paddy field culture), dan baru meliputi
58,68% dari luas seluruh lahan persawahan teknis dan tradisional. Kegiatan usaha di perikanan
darat dapat dibagi menjadi 3 (tiga) upaya usaha pemanfaatan, yaitu melalui budidaya ikan di
kolam, perairan umum dan pemanfaatan mina padi. Kegiatan usaha budidaya ini masih
dilaksanakan secara tradisional, belum dengan skala bisnis usaha besar. Modal usaha yang
dibutuhkan masih sederhana, karena itu skala usaha yang di lakukan petani ikan di Lambar
belum dapat berkembang pesat dan menghasilkan produksi yang mampu memasok daerah
lainnya. Pemanfaatan lahan pembudidayaan di Kecamatan Balik Bukit, dan Sukau yang
memanfaatkan jenis perairan Danau dan Sungai dengan luas perairan yang tersedia 4.084 Ha
dengan potensi budidaya 1.633 Ha, baru dimanfaatkan oleh 22 Unit keramba jaring apung dengan
produksi 150 Kg per unitnya/musim dengan waktu tanam selama 6 bulan.
Pemanfaatan usaha pembudidayaan dengan sistem mina padi di lahan sawah tradisional
seluas 2.772,6 Ha, sampai saat ini rata-rata produksi per Ha-nya baru mencapai 100 Kg/Hanya.
Kegiatan usaha pembudidayaan dengan KJA, biaya investasi yang dibutuhkan per-unit adalah Rp
500.000, biaya ini belum termasuk biaya operasi dan tenaga kerja. Sedangkan mina padi yang
dilakukan masyarakat masih berbentuk sambilan, setiap musim tanam, bibit ikan yang dibutuhkan
300 ekor, dan harga per ekornya Rp 150 sehingga biaya bibit = Rp.45.000. Adapun hasil
pemanenan rata-rata keberhasilannya baru sebanyak 100 Kg, dan harga rata-rata per Kg-nya laku
dijual seharga Rp 7.500 . Maka tambahan pendapatan kotornya menjadi sebesar Rp 750.000/tons.
3. Pengolahan Produksi Maritim
Dari produksi ikan tahun 2000 tercatat sebesar 7.819,4 Ton diolah dalam bentuk: 1).
Segar 6.705,7 Ton, dari ikan laut 5.825,1 Ton dan Air Tawar 880,5 Ton, dan 2). Dalam bentuk
olahan menghasilkan produk jadi 712,75 Ton atau setara dengan 1.113,7 Ton berat ikan basah
dengan rendemen pengolahan 64%. Kegiatan usaha pengolahan adalah sebagian ekonomi
maritim, karena itu ada hubungan langsung antara sumberdaya-penangkapan/ pembudidayaan-
pengolahan- dan pemasaran- baru sampai pada konsumsi yaitu bahan baku industri maritim atau
konsumsi langsung. Produk olahan yang dihasilkan industri skala kecil (traditional) hanya berupa
pengasinan dan pemanggangan atau pengasapan.
Untuk meningkatkan jumlah produk dan tumbuhnya usaha dibidang pengolahan, upaya
di lakukan dengan cara membuat kelompok kerja di 6 lokasi dengan total jiwa 120 orang. Daerah
pemasaran ikan dari Lambar dalam bentuk segar atau olahan ditujukan ke Telukbetung, Batu
Raja, Muara Dua, Palembang, dan Jakarta. Di tahun 2000 ini ada peningkatan pemasaran ikan,
hal ini terjadi karena ada dukungan sarana dan prasarana transportasi serta peranan koperasi
Mina. Usaha yang mengembangkan hasil olahan ikan baik dari hasil tangkap di laut, perairan
umum atau Mina Padi belum menjadi bidang usaha yang di tekuni masyarakat sebagai sumber
penghidupan utama, tetapi masih sambilan. Dari data wawancara di lapangan belum didapatkan
secara sempurna masyarakat yang menjadikan kegiatan pengolahan menjadi sebuah usaha bisnis
tersendiri.

4. Masyarakat Maritim
Unsur penting dalam pembangunan masyarakat maritim, adalah peranan pemerintah
bersama-sama dengan masyarakat mendorong perekonomian regional menjadi semakin maju.
Kabupaten Lampung Barat secara geografis memiliki daerah yang subur, baik tanahnya maupun
perairannya, dan sektor maritim dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap pendapatan
regional, karena besarnya potensi sumberdaya yang tersedia. Dengan jumlah penduduk sebanyak
365.999 jiwa, yang mendiami kawasan seluas 4.950,40 Km2 atau setara dengan 13,99% dari luas
Provinsi Lampung, sangat pontensial bagi kemajuan Lambar. Partisipasi bersama masyarakat
maritim agar optimal dalam mendorong ekonomi kearah berkembang yang lebih baik, perlu
diatur di dalam kebijakan Daerah. Dasar legalitas kebijakan seperti berkenaan dengan fiskal,
telah sangat jelas di dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan legalitas itu
juga didukung oleh UU No 25/1999 tentang perimbangan antara Pusat dan Daerah, dengan
demikian, telah ada hak sebagai kewenangan pemda mendapatkan pendapatan dari daerahnya.
Pemda kabupaten Lambar sampai tahun 2002, belum memiliki perda di sektor maritim, sehingga
pelaksanaan fiskal belum optimal dan untuk obyek retribusi, tarif atau iuran dari sektor maritim
Laut (Marine), Perairan Umum (Inland open water) dan Pengolahan (Processing) masih
menggunakan perda yang dibuat Provinsi Lampung.
Potensi maritim yang berkontribusi pada PDRB Lampung berdasarkan lapangan usaha
cukup berarti, itu dapat ditandai oleh presentase pertumbuhan perikanan yang positif pada 3 (tiga)
tahun terakhir1998,1999, 2000. Sumbangan ke PDRB untuk masing-masing tahun tersebut
tercatat sebesar 27,80%, 2,33% dan 3,99%. Sub sektor maritim secara presentase atas dasar harga
yang berlaku sejak tahun 1993 ssampai dengan tahun 2000 menyumbang secara positif dengan
angka presentase antara 2,90% hingga 4,52%. Di lihat dari presentase dan nilai absolut maritim
antara Rp. 5. 948.000 – Rp 8.000.000 yang dibandingkan dengan potensi sumberdaya yang ada
(Laut 16.500 Ton/Th, air payau 6.500 Ha, air tawar 944 Ha), adalah masih sangat jauh dengan
realisasi kemampuan saat ini. Apabila upaya kemampuan ditingkatkan 2½ % saja, maka
kontribusi ekonomi sektor maritim akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak
lagi. Adapun dilihat dari dukungan sarana dan prasarana yang tersedia, yang terprogramkan
menunjukkan adanya keinginan kemajuan yang berarti. Dari pembinaan program Dinas
Perikanan dan Kelautan dapat ditunjukan oleh: 1). Program ketahanan pangan nasional
(budidaya ikan keramba, motorisasi perahu nelayan, pembinaan gizi anak sekolah, peningkatan
produksi benih ikan air tawar, re-stoaking), 2). Pengembangan agribisnis maritim, 3).
Pengembangan sarana atau prasarana maritim. Di lihat dari indikator maritim, maka daya dukung
yang tersedia (RTP, Alat Produksi, Produksi, Nilai Produksi, Pemasaran, Pendapatan RTP,
Perizinan dan Kelembagaan) masih bisa ditingkatkan lagi, yaitu dengan cara mengefektifkan
kebijakan fiskal sektor maritim, penganggaran dan sumberdaya manusia maritim.
Kegiatan usaha maritim yang di lakukan langsung oleh pelaku maritim seperti Nelayan
Penangkap Ikan, Pembudidaya dan Pengolahan ikan, menunjukkan indikator usaha yang masih
bersifat tradisional, keadaan tersebut ditandai oleh adanya keterbatasan kemampuan fisik dan Non
Fisik. Dari ukuran fisik, armada penangkapan dan alat tangkap yang tersedia, yang digunakan
oleh masyarakat nelayan, masih sangat lemah dibandingkan dengan karateristik laut yang ganas
dan bersifat samudra. Dengan kemampuan peralatan yang mereka miliki untuk mengekspoitasi
hasil sumberdaya ikan atau biota laut di dalamnya maka sangatlah lemah. Untuk mengatasi
kendala kelemahan ini, maka program pemerintah untuk sektor laut haruslah dibuat yang sesuai
dengan sifat pengusahaan dan kemampuan masyarakat maritim yang ada. Program yang
bersesuaian tersebut dilihat oleh masyarakat maritim sebagai peluang perbaikan kehidupan
melalui upaya bersama-sama. Pendekatan manajemen yang dapat dikembangkan yaitu
menjadikan masyarakat maritim sebagai pelaku kegiatan usaha di sektornya. Kenyataan yang ada
saat ini, dimana keikut sertaan masyarakat maritim yang masih di dominasi oleh armada
penangkapan Tanpa Motor (29,37%) sebagai kendala perluasan, karena itu kemampuan sumber
daya manusia maritim perlu juga ditingkatkan, karena merekalah sebagai basis yang menjadi
pendukung utama perkembangan maritim laut.
Untuk perikanan budidaya, sumber dayanya secara pontensial selalu dapat diperbaharui
dan dengan lahan 10.234 Ha, adalah prospek yang cukup baik. Prospek ini dapat terwujut apabila
pendekatannya dapat tepat lokasi, kebudayaan, dan kegiatan usaha yang ditumbuhkan dari
bottom-up. Pendekatan berbasis bottom-up akan mengurangi ketidak sinkronisasian program
pemerintahan dengan daya dukung pelaku masyarakat maritim. Lapangan usaha pengolahan
produk hasil maritim masih sedikit ditekuni masyarakat, dan memperhatikan sumberdaya yang
ada, maka untuk memberikan peluang tumbuh kembangnya industri pengolahan hasil sektor
maritim, pendekatanya lebih di titik beratkan pada pengolahan segar, dan untuk jangka panjang
adalah pemanfaatan hasil laut dalam bentuk olahan yang di diversifikasikan untuk ekspor ikan-
ikan laut segar, lobster, udang (shrimp), kerapu (Giant sea perch), beronang dan ikan laut yang
memiliki nilai komersial tinggi lainnya. Sarana pendukungnya harus terintegrasi, mulai dari
rancangan kasko, penanganan di atas kapal, penanganan selama transportasi, penanganan selama
proses pengolahan, penanganan pemasaran dan hingga konsumen.

IV.PENUTUP
Kabupaten Lampung Barat yang merupakan bagian kesatuan wilayah Indonesia
mengubah paradigma pembangunannya dengan melakukan perubahan yang mengandung
semangat desentralisasi, berpola pendekatan wilayah, serta berorientasi pada pengembangan
keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif. Salah satu komponen penting dalam
pembangunan Daerah Kabupaten adalah peran Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat
ikut mendorong perekonomian regional menjadi semakin maju. Kebijakan ekonomi dilandasi
instrumen legalitas yang dapat membantu pencapaian pembangunan, pemerintah melakukan
fungsi pelayanan umum dan masyarakat sebagai partisipan dalam kegiatan pembangunan yang di
cerminkan oleh kontribusi mereka dalam pembentukan pendapatan PAD. Kebijakan
pembangunan di sektor maritim yang diterapkan oleh Pemda Kabupaten Lampung Barat
berupa upaya pembuatan perda meliputi retribusi jasa umum, jasa usaha dan perizinan.
Pelaksanaan fiskal masih mengacu pada perda yang dikeluarkan Provinsi yang terkait
dengan sektor maritim. Potensi maritim cukup besar dan sumberdaya pendukung lainya juga
mulai digalakkan, sehingga sektor maritim dimasa depan diharapkan sebagai penyumbang PAD,
dan melalui kebijakan fiskal yang tepat dan layak bagi masyarakat pengguna sumberdaya maritim
seperti; laut, perairan umum dan pengolahan agar mampu kontribusinya dapat ditingkatkan. Dari
indikator ekonomi maritim, pertumbuhan ekonomi Lambar masih memperlihatkan keterbatasan
dan juga masih perlu banyak upaya-upaya kearah perbaikan yang lebih baik. Keterbatasan yang
terjadi bukan karena semata- mata faktor internal, tetapi juga dipengaruhi faktor eksternal, yaitu
dana pembangunan, investasi yang rendah, sumber daya manusia yang menyandarkan usaha
ekonominya di sektor maritim masih terbatas, serta partisipasi masyarakat yang masih
memerlukan motivasi dan dorongan agar ikut memajukan maritim. Kontribusi sektor maritim
terhadap PDRB pada beberapa tahun terakhir selalu menunjukan posisi positip, tetapi
presentasenya masih rendah. Dengan angka kontribusi yang positip dari sektor maritim, hal ini
menunjukan bahwa sektor maritim tetap tahan terhadap goncangan krisis ekonomi, dan walaupun
kurs US $ terhadap rupiah makin menguat, berarti rupiah semakin lemah, tetapi kegiatan usaha di
sektor maritim Kabupaten Lambar tetap mampu bertahan. Jadi prospek ekonomi sektor maritim
pondasinya cukup kuat, maka perlu mendapat prioritas pembangunan. Kondisi geografis yang
berbukit-bukit, dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah masih sedikit yang mendiami
wilayah Kabupaten begitu luas, maka keadaan tersebut menjadi penghambat utama pemacuan
kemajuan sektor maritim diberbagai bidang dan lapangan, temasuk pengolahan produk dan
pemasaran hasil-hasil maritim. Alternatip pemacuan pembangunan adalah dengan pendekatan
agroindustri yang terintegratif antara sumberdaya, industri pengolahan, pariwisata dan sarana
transportasi perairan dan daratan yang saling menunjang atau melengkapi. Untuk
mewujudkannya perlu riset yang mendalam dengan kepastian dukungan administrasi dan legalitas
pemerintah dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

PDRB, 2000. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lampung Barat. Kerja Sama Badan
Pusat Statistik Dan Bappeda Kabupaten Lampung Barat, Liwa.
Laporan Tahunan, 2001. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung
Barat, Liwa.
Laporan Tahunan, 2002. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung
Barat, Liwa.
Laporan Tahunan, 2000. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung
Barat, Liwa.
Laporan Tahunan, 1999. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung
Barat, Liwa.
Laporan Tahunan, 1998. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung
Barat, Liwa.
Pendapatan Asli Daerah, 2001. Inventarisasi Dan Penggalian Sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Lampung Barat Tahun Anggaran 2001. Kerjasama Bappeda
Kabupaten Lampung Barat Dengan Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2001.

BAB VI

VI.MASYARAKAT MARITIM BANTEN BARAT

I. LATAR BELAKANG
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat, pada dasarnya memiliki hubungan resiprokal
dengan sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya. Sementara dalam wacana masalah
pembangunan, kehidupan sosial budaya masyarakat, juga tidak dapat dipisahkan oleh kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian berdasarkan pada pemahaman ini, maka
kondisi sosial budaya masyarakat maritim adalah ada kaitannya dengan masalah-masalah
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan peran hidup mereka
dalam ikut mensejahterakan mereka, untuk mewujutkannya dapat dilakukan melalui rekayasa
sosial. Oleh karena itu pemahaman yang menyeluruh terhadap fenomena masyarakat maritim
menjadi sangat penting, dengan adanya pemahaman yang utuh maka inti permasalahan yang
terjadi di sebuah masyarakat dapat ditemui dan dikenali secara gamblang dan jelas. Praktek
pemberdayaan, akhirnya dapat di lakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pertama
secara sosiologi dan kedua secara antropologi. Keduanya digunakan untuk mengkaji fenomena
makro sosial budaya masyarakat maritim (sistem sosial dalam masyarakat) dan fenomena mikro
sosial budaya masyarakat (individu atau sistem sosial dalam keluarga). Fenomena makro dan
mikro sama pentingnya di dalam struktur sosial budaya masyarakat maritim. Sebagai contoh,
kedudukan sosial budaya masyarakat ”individu”, mereka memiliki karakter tersendiri pada saat
sebelum terjadi interaksi, namun saat interaksi terjadi yaitu dengan individu lain di dalam suatu
masyarakat, maka yang muncul adalah karakter masyarakat itu sendiri. Keterkaitan kedua
fenomena tersebut, merupakan poin terpenting di dalam upaya melihat potensi-potensi yang ada,
sehingga akan didapatkan gambaran potensi dari masyarakat atau individu, mana yang menjadi
penghambat ataupun pendorong dalam upaya pemberdayaan.
Adapun deskripsi kerangka pemikiran tersebut diatas disajikan dalam Gambar 1 sebagai
berikut:

Masyarakat Sumberdaya Pemerintah

Antropologi
Sosiologi
Sosial Budaya
Masyarakat Maritim
Keadilan - Pengetahuan lokal
Partisipasi - Sistem Religi
Kemandirian - Ekonomi
Jaringan kerja - Kelembagaan
- Politik

Masyarakat Maritim

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sosio dan Antropologi Masyarakat Maritim

Di dalam konsep pemberdayaan, mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat


secara egaliter merupakan hal yang mutlak diperlukan. Masyarakat dengan potensi sosial (social
capital)-nya serta pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan memberikan
corak warna terhadap sumberdaya dan pengelolaannya. Hal inilah yang perlu diketahui dan yang
bersumber dari masyarakat maritim, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, salah
satunya melalui penelaahan fenomena yang terjadi di lapangan. Kondisi sosial budaya yang di
lihat berdasarkan fenomena yang terjadi 1mencakup kearifan lokal, sistem religi, ekonomi,
politik dan kelembagaan. Kondisi sosial budaya tersebut di pandang sebagai cerminan beberapa
faktor utama yang diharapkan menjadi potensi pemberdayaan masyarakat. Karena untuk dapat
melakukan pemberdayaan yang pada intinya adalah cara mengaktualisasikan potensi masyarakat
itu sendiri perlu kedekatan pemahaman mendasar tentang karakteristik proses kehidupan
masyarakat. Pemahaman terhadap proses dapat juga melalui pendekatan sosiologi maupun
antropologi, dan kemudian di integrasikan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja
dan keadilan yang selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasikan kondisi-kondisi sosial
budaya tersebut. Dari pendekatan konsep ini, sehingga pada akhirnya di dapatkan potensi maupun
kendala atau hambatan pada tingkat unit individu atau keluarga dan juga pada tingkat komunitas
atau masyarakat dalam upaya pengenalan masyarakat maritim.
Desa masyarakat maritim Banten Barat yang tercermin di desa Labuhan Teluk, desa Carita
dan desa Pasauran, lokasi desa-desa tersebut secara geografis di lihat dari tofografinya hampir
sama, yaitu terletak di pantai Barat yang berhadapan langsung dengan lautan Samudera Hindia.
Pantai Barat ini mempunyai ciri yaitu memiliki daerah pantai yang sempit dan curam dengan
gelombang lautnya besar. Kemudian daerah ini juga sedikit memiliki pantai yang berpasir luas
dengan gelombang yang tenang, tempat-tempat tersebut sangat terbatas, dan hal ini telah
menyebabkan jumlah konsentrasi masyarakat maritim relatif kecil dan terpencar-pencar.
Masyarakat maritim yang hidup dan mencari penghidupan di daerah ini, di lihat dari asal-usul
sukunya adalah berbeda-beda. Suku-suku tersebut adalah dari sunda, cirebon dan bugis. Masing-
masing suku mempunyai kebiasaan menggunakan alat tangkap tertentu, karena itu dari cara
melakukan penangkapan ikan atau memanfaatkan sumberdaya ke lautan dapat di lihat dari
peralatan penangkapan ciri kesukuan tersebut, seperti bagan tancap dan bagan apung, dominan
dari suku bugis, sedangkan payang dan pancing banyak di lakukan oleh masyarakat nelayan
sunda, kemudian untuk jaring arad dan purse-seine oleh masyarakat nelayan dari Cirebon. Dilihat
dari pola kehidupan, masyarakat nelayan didaerah ini ada yang menetap, dan ada juga yang tidak
menetap. Masyarakat maritim yang suka menetap terutama dari masyarakat nelayan yang berasal
dari Pandeglang dan Serang, dan juga dari suku Bugis. Sedangkan masyarakat maritim dari
Cirebon dan Rembang melakukan perpindahan secara teratur mengikuti waktu musim ikan. Dari
peralatan penangkapan, seperti perahu, jaring dan mesin serta peralatan lainnya cukup bervariasi.
Adapun volume hasil tangkapan dan tempat penangkapannya dipengaruhi oleh alat tangkapnya.
Jaring purse-seine menggunakan ukuran perahu yang lebih besar dengan GT mencapai 20 - 30
ton, bermesin in-board dan jaring ukuran panjangnya mencapai 150 meter. Untuk perahu dengan
kapasitas 3 - 5 ton, bermesin motor tempel biasanya menggunakan jaring payang dengan panjang
sekitar 25 meter, juga pancing dan arad. Kegiatan penangkapan umumnya di lakukan hanya satu
hari melaut (one day fishing) dengan lokasi sekitar 4 - 5 mil laut dari pantai. Untuk penangkapan
ikan yang menggunakan bagan, perahu (board) yang dipakai adalah ukuran kecil dan bagannya di
tempatkan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.

II. Dinamika Masyarakat Maritim

PENGETAHUAN LOKAL.
Batasan pengetahuan lokal bagi masyarakat maritim yang dimaksudkan dalam uraian ini,
adalah hanya berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan, konservasi, dan penegakan
peraturan.

1. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Maritim.


Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya maritim akan di lihat dari persepsi yang
tumbuh di dalam masyarakat maritim tentang sistem dan mekanisme pengelolaan dan
pemanfaatan. Persepsi masyarakat maritim lebih ditekankan kepada konsepsi hak kepemilikan
dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya maritim. Persepsi terhadap
sumberdaya alam yang terkait konsepsi hak kepemilikan (sea tenure) menjadi bagian penting
bagi seluruh anggota masyarakat maritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan
desa Pasauran. Sumberdaya alam yang dipersepsikan oleh masyarakat maritim merupakan hak
milik Yang Maha Kuasa (Allah), karena itu wajib dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan
bersama-sama. Dalam merealisasikan persepsi ini, paling tidak ada dua pandangan sistem
pengelolaan dan pemanfaatan yang terjadi; Pertama, ada sebagian masyarakatnya memandang
bahwa ikan di laut itu tidak akan habis, karena itu boleh saja melakukan usaha kegiatan
penangkapan, kapanpun seseorang itu mau selagi dia mampu. Kedua, sumberdaya laut apabila
tidak dikendalikan dengan baik, ikan yang ada di dalamnya akan berkurang.
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan berdasarkan persepsi pertama menghasilkan
pandangan, bahwa sumberdaya laut dapat dieksploitasi sepanjang waktu, karena bersifat open
acceses. Property right, system yang menyangkut fishing ground karena sifatnya milik bersama,
pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat penangkap sendiri tanpa ada pembatasan yang
tegas. Dalam upaya pemanfaatan, maka setiap anggota masyarakat bebas melakukan usaha
penangkapan di daerah tersebut tanpa ada aturan yang tegas dan ketat. Adapun yang berkenaan
dengan pengaturan alat tangkap dan musim penangkapan, masyarakat nelayan hingga sampai
sekarang, belum mempunyai tatacara pengaturan penangkapan yang berasal dari dan oleh
masyarakat nelayan sendiri. Karena belum ada pengaturan yang tegas tadi, telah menyebabkan
terjadinya pertambahan alat tangkap, tetapi karena daerah fishing ground yang dimiliki bersama
terbatas, hal tersebut telah menyebabkan terjadinya keluhan terhadap penurunan hasil tangkapan.
Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Maritim dari internal dan eksternal. Keberadaan
sumberdaya maritim tangkap terletak di wilayah pantai Barat Pulau Jawa, berada dibagian Lautan
Hindia. Perairan ini sifat penangkapannya open access, artinya setiap orang dari penduduk desa
Teluk, desa Carita dan desa Pasauran mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat melakukan
penangkapan ikan di daerah fishing ground yang sama. Pertambahan armada penangkapannya
dari tahun ke tahun cenderung sesuai dengan laju pertambahan penduduknya yang tidak terlalu
tinggi. Penduduk masyarakat maritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa
Pasauran sifatnya menetap, maka penjagaan wilayah penangkapan menjadi kewajiban bersama,
untuk menjaganya dari kegiatan penangkapan yang di lakukan oleh nelayan datangan.
Keberadaan mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap,
musim penangkapan dan fishing right di lakukan secara bersama-sama. Hak kepemilikan fishing
ground adalah dimiliki bersama, tidak ada hak kepemilikan perorangan, dengan demikian musim
penangkapan sangat tergantung dari keberadaan musim ikan dan udang (shrimp). Musim
penangkapan umumnya di lakukan pada bulan-bulan April hingga Desember dan tiga bulan
sisanya dianggap musim paceklik. Akibat kurangnya kemampuan mengendalikan daerah fishing
ground, sebagian besar anggota masyarakatmaritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa
Carita dan desa Pasauran dalam upaya melakukan penjagaan fishing ground yang mereka miliki,
telah melakukan reaksi penentangan terhadap nelayan pendatang. Masyarakat maritim, pada
umumnya menyatakan penyebab utama hasil penangkapan mereka berkurang, karena adanya
nelayan pendatang yang melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka, mereka datang
menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl atau arad.

2. Konservasi Sumberdaya Maritim


Konsepsi upaya konservasi sumberdaya maritim, di runut dari kesejarahan, ternyata
masyarakat maritim di sekitar pantai Barat Kabupaten Pandeglang dan Serang telah mengenal
konservasi. Konservasi yang mereka maksudkan adalah adalah upaya melindungi dari kerusakan
di lokasi-lokasi tertentu secara bersama Bentuk perlindungan adalah berupa memberikan
pemberitaan bahwa di daerah tertentu tersebut memiliki bahaya tertentu yang dapat
mengakibatkan celaka bagi pelanggarnya (Koentjaraningrat, 1994). Berita kecelakaan biasanya
membuat orang berhati-hati pada saat berada di daerah karang yang dilindungi. Dengan cara
penuturan yang sakral, maka kepatuhan nelayan untuk tidak menghampiri atau melakukan
kegiatan penangkapan di daerah tersebut membantu dapat terjaganya daerah tersebut dengan baik
dalam waktu yang cukup lama. Adapun upaya konservasi yang dikenalkan secara formal oleh
institusi pemerintah, masyarakat maritim belum mengenalnya secara luas. Terhambatnya
pengenalan tersebut, karena konsep konservasi yang dimaksudkan, belum menjadi bagian
kehidupan bersama, disamping itu konservasi yang dimaksudkan kadang kala artinya berbeda
dengan daerah larangan yang dimaksudkan oleh masyarakat.
Mekanisme penerapan upaya konservasi sumberdaya maritim, sesuai dengan konsepsi
yang dianut oleh masyarakat, yaitu daerah larangan bersama yang terlindungi karena
kesakralannya. Maka penerapan konservasi melalui nilai-nilai kesakralan, caranya penghormatan
perlindungan di lakukan melalui upacara-upacara keagamaan tertentu berdasarkan keyakinan,
yang telah diturunkan secara turun temurun. Prakteknya dalam masyarakat maritim dapat berupa
sedekah laut atau nadran yang dilakukan pada bulan Maulud. Upacara ini biasanya dilakukan
beramai-ramai menandai adanya rasa syukur. Kemudian kehidupan masyarakat dapat dapat
berjalan lebih baik, sumber daya maritim memberikan hasilnya lebih banyak, karena itulah ada
timbal balik untuk saling menghormati. Sebagai contoh yang lain, untuk perahu (board) yang
baru selesai dibuat dan siap pertama kali diturunkan ke laut, dalam bahasa keseharian masyarakat
maritim disebut temurunan, perlu juga dilakukan upacara tolak bala. Upacara tolak bala terkait
juga sebenarnya dengan konservasi daerah maritim. Untuk itu yang mengikuti upacara
pembacaan doa atau tolak bala, biasanya mengawalinya dengan melakukan upacara ritual. Agar
upacara ini dianggap sempurna, maka perlu memenuhi berbagai macam persyaratan, seperti
adanya kembang-kembangan, buah-buahan, kemenyan, nasi kuning atau tumpengan dan lain-
lainnya. Persyaratan tersebut disesuaikan dengan kebiasaan setempat. Maksud dari upacara
adalah agar pemilik dan pemakai kapal senantiasa mentaati kesakralan di daerah maritim,
dimanapun mereka melakukan kegiatan penangkapan ikan supaya tidak ikut membahayakan
masyarakat maritm secara keseluruhannya dan mereka tetap selamat.

3. Penegakan Peraturan
Mekanisme penegakan peraturan tentang pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi
sumberdaya maritim, dan di lihat dari sanksi atas pelanggaran peraturan. Mekanisme sanksi atas
pelanggaran pemanfaatan sumber daya maritim yang di lakukan oleh masyarakat maritim Banten
Barat di Desa nelayan Labuhan Teluk, dan desa Carita Kabupaten Pandeglang dan di desa
Pasauran Kabupaten Serang untuk menegakkan peraturan biasanya dilakukan melalui beberapa
tahapan. Pertama apabila terjadi pelanggaran, masyarakat menyerahkannya kepada tokoh
masyarakat atau pemuka agama (Kiay), agar diberi sanksi sesuai dengan hukum kebiasaan yang
telah berlaku menurut adat istiadat setempat, hal ini berlaku kalau pelanggarnya dari penduduk
setempat. Kedua, apabila permasalah pelanggaran tidak dapat juga diselesaikan, langkah
selanjutnya masyarakat mengadukannya kepada aparat yang berwenang, yaitu Dinas Perikanan
dan Kelautan, Polisi Air atau aparat hukum lainnya. Maksud pengaduan ini agar dapat diproses
lebih lanjut untuk dapat ditetapkan sanksinya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
negara yang berlaku.
Adapun mekanisme sanksi atas pelanggaran pengelolaan proses tahapannya sama dengan
pelanggaran pemanfaatan, tetapi penekanannya kepada masyarakat mengajak supaya ikut
berpartisipasi bersama. Pertama, pelanggar diberitahukan kepada tokoh masyarakat atau pemuka
agama (Kiay) telah terjadi pelanggaran pengelolaan, seperti pengambilan batu karang seenaknya.
Pemuka masyarakat akan mengingatkan pentingnya ikut berpartisipasi mengelola sumberdaya
maritim, karena itu adalah sumber penghidupan mereka. Pembangkangan terhadap hukum
kebiasaan yang telah berlaku menurut adat istiadat setempat adlah berupa sanksi sosial. Kalau
akibat yang disebabkannya merusak kepentingan umum masyarakat, maka dilanjutkan dengan
proses pengaduan ke lembaga formal. Kedua, aparat yang berwenang dari Dinas Perikanan dan
Kelautan, juga Polisi Air atau aparat hukum lainnya, menindak lanjutinya dengan memberikan
informasi sanksi-sanksi terhadap pengelola yang mengabaikan peraturan dan perundang-
undangan negara yang berlaku. Kalau masalah pelanggarannya bersifat perdata, maka
penyelesaiannya melalui hukum perdata.
Mekanisme dan bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan sumberdaya maritim dari
masyarakat datangan, terutama berkenaan dengan penegakan peraturan yang pelaksanaannya
secara efektif,. Untuk mengetahuinya, hal ini memerlukan banyak informasi dan data yang
terpercaya yang ada di dalam masyarakat maritim. Berdasarkan pengamatan fenomena di
lapangan, masyarakat nelayan pendatang dengan masyarakat maritim Banten Barat asli di desa
Labuhan Teluk, dan desa Carita dapat bersosialisasi dengan erat, mereka saling membutuhkan.
Dapat diketahui, banyak masyarakat nelayan pendatang yang melakukan kegiatan penangkapan
secara regulir di daerah pantai Barat Banten. Pendatang tersebut umumnya berasal dari daerah
Cirebon, dan daerah Rembang, masyarakat dari kedua daerah tersebut ternyata dapat
melaksanakan kegiatan penangkapannya dengan tidak mengalamai hambatan dan gangguan dari
masyarakat tempatan. Bentuk-bentuk sanksi yang diberlakukan dapat dijalankan dan dipatuhi
dengan baik, khususnya terhadap masyarakat maritim yang mematuhi hukum kebiasaan yang
berlaku di tempat yang mereka datangi. Bukti kepatuhan, ternyata masing-masing nelayan dapat
melakukan kerjasama penangkapan di lokasi yang sama walaupun berbeda asal usulnya, dengan
tanpa menimbulkan kerusuhan atau ketegangan social.

SISTEM RELIGI.
Sistem religi yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan agama yang dianut, hubungan
antara agama dengan kegiatan ekonomi dan peranan agama dalam kegiatan sosial politik
masyarakat.

1. Agama.
Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat maritim di pantai Barat Propinsi
Banten adalah agama Islam, jumlah pemeluknya lebih dari 99,00%, dan mereka telah
menjadikannya sebagai dasar pandangan kehidupan. Agama yang yang diyakini oleh masyarakat
maritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran adalah Islam, maka
kehidupan bermasyarakatnya didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam.
Berdasarkan fenomena di lapangan melalui pengamatan kehidupan masyarakat, maka di lihat dari
tempat ibadah dan kegiatan keagamaan yang ada, sarana pendukungnya banyak ditemukan,
seperti mushollah, masjid, pendidikan yang bernafaskan Islam dan juga pengajian-pengajian atau
majelis taklim. Dari sarana pendukung dan bentuk-bentuk kegiatan yang ada tersebut, maka telah
mencerminkan bahwa masyarakat maritim di daerah ini terhadap Agamanya ada kepatuhan.
Apalagi, apabila kita berbicara tentang nilai-nilai kehidupan, maka sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi akan banyak diargumentasikan dan di
dasarkan pada nilai-nilai agama.
Dalam menjalin hubungan kehidupan, masyarakat telah memadukan hubungan mereka
secara vertikal terhadap Allah swt, dan hubungan horizontal terhadap manusia dan alam
sekitarnya. Jalinan hubungan yang bersifat horizontal syarat dan di isi dengan nilai-nilai ajaran
agama Islam. Karena itu apabila ada perselisihan antar kehidupan yang berkenaan dengan
kemanusiaan, alternatif jalan penyelesaiannya, lebih didasarkan pada ajaran agama untuk di
selesaikan secara kekeluargaan dan ridho serta ikhlas kepadaNya. Penyadaran seperti ini, maka di
masyarakat maritim seolah-olah telah mendarah dagiing, sehingga telah mampu menciptakan
hubungan sosial dan ekonomi yang harmonis, saling menjaga nilai-nilai yang baik bagi semua
golongan yang ada di masyarakat. Adapun hubungan mereka sebagai manusia terhadap alam,
sesuai dengan ajaran agama yang mereka terima dan amalkan, bahwa alam beserta segala isinya
adalah ciptaan Allah dan milik Allah, sedangkan kita hanya diberi kesempatan untuk
memanfaatkannya, oleh sebab itu setiap orang telah dituntut untuk ikut menjaga alam sekitarnya,
djangan ada nafsu berlebihan untuk merusaknya.
2. Hubungan Agama Dengan Kegiatan Ekonomi.
Pandangan dan kepercayaan tentang hubungan antara agama dengan kegiatan ekonomi
masyarakat tampak cukup erat. Sumberdaya alam yang telah dipersepsikan oleh masyarakat
maritim, adalah merupakan hak milik Yang Maha Kuasa (Allah), karena itu wajib dipelihara
bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama pula. Hubungan antara agama dengan
ekonomi dapat di lihat dalam pembentukan nilai-nilai baik dan bijak, seperti semua orang tidak
boleh berbuat curang, setiap tindakan hendaknya didasari oleh niat ibadah, dalam hal
melaksanakan pembagian hasil tangkapan harus di lakukan secara adil, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalam laut tidak boleh dieksploitasi sewenang-wenang dan merusak, kekayaan laut
yang ada di dalamnya harus dijaga bersama, supaya terpupuk kesadaran tidak akan
menghancurkan sumber kehidupan anak cucu dimasa depan. Jadi nilai-nilai dari ajaran-ajaran
agama telah ikut mempengaruhi kegiatan ekonomi, terutama dalam hal cara-cara
pemanfaatannya. Di dalam upaya memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu kegiatan melakukan
penangkapan ikan atau pengambilan biota di laut, sebagian besar masyarakat sebelum
melakukannya masih tidak lupa memanjatkan permohon melalui doa kepada Yang Maha Kuasa.
Permohonan doa ini dapat dilakukan melalui upacara kenduri (selamatan), yaitu mengumpulkan
sebagian warga anggota masyarakat maritim menghadiri syukuran di suatu tempat tertentu atau di
salah satu rumah warga. Tujuan kenduri, dengan memunajatkan doa bersama kepada Khalik,
mudah-mudahan permohonannya Kabul, yaitu agar diberi kemudahan rezki yang banyak dan
keselamatan selama mencari rezki ditengah laut.

3. Peranan Agama Dalam Kegiatan Sosial Politik


Peranan agama dalam kegiatan sosial politik secara langsung dan tidak langsung ikut
berpengaruh. Pengaruh yang dimaksudkan oleh masyarakat maritim adalah pengaruh dalam
bersikap terhadap suatu keputusan politik tertentu yang kadangkala telah diterjemahkan dalam
bentuk program-program kebijakan. Indikasi bahwa sebuah kebijakan yang telah dibuat oleh
pemerintah untuk meningkatkan peran serta dalam pembangunan, yaitu dengan jalan ikut
berpartisipasi aktif memanfaatkan hasil pembangunan tersebut, pembangunannya kadangkala
dapat berbentuk bangunan fisik. Pemanfaatan dari suatu hasil pembangunan yang bersifat fisik,
kadangkala acapkali tidak dimanfaatkan optimal. Kenapa menjadi tidak optimal termanfaatkan,
rupanya banyak factor yang ikut mempengaruhinya, seperti peranan pemuka masyarakat sebagai
tokoh agama yang kurang di ikut sertakan dalam proses pembangunannya. Jadi peranan tokoh
agama dalam kegiatan social politik ikut menjadi penting, karena ada anggapan, rendahnya
partisipasi seorang tokoh dalam proses pembangunan, hal ini mengindikasikan bahwa
pembangunan tersebut tidak memberikan manfaat kemaslahatan lebih besar pada masyarakat.
Pengambilan keputusan dalam kegiatan sosial politik masyarakat kerapkali dipengaruhi
oleh tokoh-tokoh agama, hal ini dapat terjadi karena tokoh masyarakat khususnya para Kiay
adalah orang yang dapat dipercaya. Karena dia merupakan orang kepercayaan dalam masyarakat
yang bersangkutan. Contohnya adalah pada saat menentukan kesepakatan siapa yang sebaiknya
memimpin desa setingkat RT, RW atau Kepala Desa, masyarakat biasanya senantiasa melakukan
konsultasi sebelum menentukan pilihannya. Adapun terhadap pertanyaan yang terkait dengan
penggunaan konsepsi atau paham agama dalam mendukung atau menolak suatu program
pembangunan, hal ini memerlukan penelusuran jawaban yang harus hati-hati.
Konsepsi agama dalam mendukung program pembangunan pada dasarnya selalu tidak
bertentangan dengan tujuan baik pembangunan tersebut yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau oleh masyarakat sendiri. Permasalahan yang muncul, adalah seringkali berkenaan dengan
teknis pelaksanaan pembangunan itu sendiri, yaitu yang akan menyentuh kebutuhan langsung
masyarakat maritim sebagai penggunanya. Teknis pelaksanaan yang tidak melibatkan secara utuh
kehidupan masyarakat maritim, seperti aspek sosial, agama dan hukum menyebabkan tertolaknya
rencana pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Jadi dari sudut sosial politik masyarakat, peranan
agama ternyata ikut berperan dalam menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembangunan
di dalam masyarakat maritim. Karena itu peranan tokoh-tokoh agama dari sudut sosial politik
masyarakat, kenyataannya ikut memainkan peranan penting dan menjadi titik sentral keberhasilan
dan kegagalan sebuah proses pembangunan dalam jangka panjang.

EKONOMI.
Ekonomi yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang ditinjau dari;
orientasi kegiatan berproduksi, aktifitas produksi, tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya,
distribusi hasil kegiatan ekonomi dan tingkat konsumsi ikan.

1. Kegiatan Berproduksi.
Orientasi masyarakat maritim Banten Barat di sekitar Kabupaten Pandeglang dan Serang,
tujuan utamanya melakukan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan biota laut lainnya untuk
menyambung penghidupan, oleh karena itu setiap hasil tangkapan yang didapat dari kegiatan
penangkapan akan langsung di jual kepada pembeli. Maka jelaslah bahwa kegiatan penangkapan
ikan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tersedia di sektor maritim, dan melalui cara jual beli
ikan atau bentuk lainnya, maka cara-cara inilah yang telah menjamin sistem pasar jual beli ikan
dan biota laut lainnya di lingkungan masyarakat maritim terus menerus dapat berlanjut. Volume
hasil tangkapan yang dikhususkan untuk konsumsi rumah tangga, berdasarkan pengamatan
fenomena di lapangan, mereka umumnya mempunyai kecenderungan mengatakan sedikit sekali,
yaitu sekitar 15% saja. Kecilnya untuk konsumsi, dikarenakan ikan hasil tangkapan prioritas
utamanya untuk memenuhi pembiayaan keluarga. Padahal kalau diperhatikan, mereka hampir
setiap hari mendapatkan ikan, akan tetapi ternyata ikan-ikan tersebut dan biota laut lainnya lebih
diutamakan untuk dijual ke pasar. Pemasaran hasil tangkapan, umumnya secara tradisional telah
di lakukan oleh pedagang yang ada di tempat atau di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa
Pasauran, dan selanjutnya pedagang-pedagang inilah yang memasarkannya kepada pihak lainnya
yang ada diluar daerah mereka. Nelayan penangkap bebas melakukan penjualan hasil
tangkapannya kepada siapa saja yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena
perjanjian yang bersifat tertulis atau tidak tertulis, atau yang diakibatkan karena adanya pinjaman
lebih dahulu kepada juragan sebelum melakukan penangkapan ikan di laut. Untuk menjaga
keseimbangan hubungan sosial akibat dari kegiatan ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang
dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat maritim dalam melakukan kegiatan usaha
penangkapannya di laut.
Pandangan terhadap inovasi, adalah berkenaan dengan keadaan kemampuan masyarakat,
untuk dapat memanfaatkan atau merekayasa hasil temuan baru dari luar maupun dari dalam,
yang berimplipikasi terhadap perbaikan kinerja usaha maritim setempat (Nasution, Z., dkk, 2004
). Dari hasil pengamatan fenomena di lapangan, sejak tahun 1985 hingga tahun 2004, di lihat dari
peralatan kehidupan yang masyarakat maritim gunakan, seperti perahu, jaring dan mesin hampir
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Adapun kemampuan peralatan yang lebih baik bagi
penangkapan, hingga sekarang masih jarang ditemukan. Kebutuhan peralatan penangkapan
masyarakat maritim mengharapkan ada peralatan yang mampu menghasilkan hasil tangkapan
ikan lebih banyak dan efisein. Dari inovasi teknologi yang terjadi, tampaknya baru sebatas
penggunaan palka berinsulasi tempat ikan untuk kapal yang menggunakan jaring purse-sein,
sedangkan kapal/perahu lainnya masih menggunakan palka tanpa insulasi. Alat bantu penanganan
ikan diatas perahu yang di praktekkan oleh nelayan adalah baru sebatas termos es besar atau
kotak es yang terbuat dari busa plastik untuk sebagai tempat menempatkan ikan hasil tangkapan.
Dengan kenyataan bahwa teknologi penangkapan belum banyak berubah, maka kinerja
yang terbentuk selama ini mulai dari diatas kapal, setelah pendaratan, selama penjualan yang
meliputi pentransfortasian dan pelelangan, mereka masih menggunakan cara-cara tradisional.
Adapun pembagian pekerjaan, caranya masih berdasarkan pada fungsi-fungsi kepemilikan kapal,
juragan/pedagang besar yang juga merangkap sebagai pemilik modal, dan nelayan penangkap
yang sifatnya tetap saja, ternyata banyak yang tidak menguasai harga pasar ikan yang
dijualkannya tersebut. Peranan anak buah perahu/kapal masih diwakili oleh pemilik perahu/kapal
atau orang suruhan dari pemilik modal dan mereka masih berposisi sebagai penerima hasil
transaksi akhir. Cara berkomunikasi yang cepat berubah, hanyalah terjadi di tingkat pemilik
kapal/perahu saja, juragan yang sifat kerjanya sangat mobile, mereka telah mampu menggunakan
teknologi komunikasi yang lebih canggih. Pengaruh dari alat komunikasi ini, adalah penguasaan
informasi pasar yang tetap pengendaliannya berada lebih besar di tangan mereka. Nelayan
penangkap tetap saja berada dipihak yang lemah dan belum mengalami inovasi, yaitu mulai dari
teknik penangkapannya, kerjasamanya ataupun kemampuan memanfaatkan peluangnya yang
terjadi akibat bergesernya cara-cara berkomunikasi secara tradisonal kearah yang lebih maju.
Perubahan tersebut yang mampu memanfaatkannya hanyalah juragan dan pemilik kapal/perahu
saja.

2. Aktivitas Berproduksi.
Alat tangkap dominan yang digunakan mayarakat maritim di desa Labuhan Teluk, desa
Carita dan desa Pasauran dalam mendapatkan hasil sumber daya maritim, guna menunjang proses
produksi atau pemanenan adalah perahu kayu, mulai dari ukuran kecil hingga sedang, dan alat
tangkapnya berupa jaring purse-seine, payang, pancing yang dibantu dengan mesin penggerak
untuk mesin in-boat dan out-boat. Alat tangkap yang lainnya dapat berupa bagan tancap dan juga
bagan apung. Perahu yang dipakai masyarakat maritim adalah perahu kayu yang umumnya dibuat
oleh masyarakat sendiri, khusus untuk perahu-perahu ukuran kecil dibantu dengan mesin
penggerak motor tempel ber-merk Yamaha atau Donfeng. Perahu kayu ini belum dilengkapi
dengan palka berinsulasi yang baik untuk menahan es supaya tidak hilang meleleh. Nelayan yang
menggunakan peralatan tangkap seperti ini, umumnya adalah pemakai jaring payang, dan arad.
Daerah penangkapan mereka tidak terlalu jauh dari lepas pantai yaitu sekitar 2 - 4 mil laut dengan
lama kegiatan penangkapan hanya satu hari, yaitu dimulai dari jam 04.30 pagi dan mendarat
kembali sekitar jam 15.00 sore hari. Hasil tangkapan umumnya adalah ikan tembang, kembung
kecil dan tongkol kecil. Untuk kapal besar yang kaskonya masih terbuat dari kayu, telah membuat
yang baik, sebagian palkanya berinsulasi yaitu terdiri dari kayu, busa plastik, kayu dan kadang-
kadang dilapisi fiber-glass, sehingga ikan hasil tangkapan dapat ditangani dengan baik, mutunya
tidak cepat rusak. Kapal jenis ini menggunakan alat tangkap umumnya purse-seine dan payang
besar dengan jumlah ABK dari 15 sampai 20 orang, lama operasi bisa mencapai 2 (dua) dan 3
(tiga) hari dengan lokasi penangkapan mencapai sekitar Selat Sunda dan Ujung Kulon. Hasil
tangkapan dapat berupa cakalang (Skipjack Tuna), tongkol (Eastern Little Tunas), tembang
(Fringescale Sardinella), kembung (Indian Mackerels), tenggiri (Narrow Barred King
Mackerels), layur (Hardtail/Cutlas fishes) dan lain-lainnya.
Keterampilan fungsional yang dimilki masyarakat maritim yang terkait dengan
kehidupannya sehari-hari, sebagai pelaku ekonomi maritim adalah berupa keterampilan yang
terkait langsung dengan kegiatan usaha ekonomi, yaitu kegiatan usaha penangkapan, usaha
pengolahan, usaha pembuatan peralatan penangkapan, usaha pemasaran dan pembiayaan.
Kegiatan usaha penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya
hanya dimiliki oleh kaum laki-laki, sehingga pergi ke laut untuk melakukan penangkapan
merupakan bagian utama pekerjaan mereka. Usaha pengolahan produk hasil tangkapan,
umumnya banyak di lakukan oleh kaum perempuan, sehingga kelompok fungsional keterampilan
ini seolah-olah menjadi bagian kehidupan perempuan. Hasil produk olahan yang mereka buat,
umumnya masih terbatas pada produk olahan tradisional, seperti ikan asin, pengasapan,
pemindangan. Adapun kelompok fungsional pembuatan peralatan penangkapan, untuk pembuatan
perahu umumnya di lakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring kadang-kadang di
lakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil
tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa
Pasauran banyak di lakukan oleh perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar
umumnya telah di lakukan oleh laki-laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara
laki-laki dengan perempuan; keterampilan pemasaran ditingkat pengecer di lakukan oleh
perempuan dan sedangkan pemasaran ditingkat pengumpul telah di lakukan oleh laki-laki.
Pengelolaan pembiayaan usaha sering di lakukan oleh perempuan, khususnya pada skala usaha
kecil setingkat pengecer, atau mempersiapkan pembiayaan untuk eksploitasi, tetapi pada
tingkatan skala yang lebih besar, maka pengelolaan pembiayaan di telah lakukan oleh laki-laki,
termasuk meminjamkan pada pihak ketiga seperti nelayan penangkap, dan nelayan pengecer.
Kemampuan masyarakat maritim dalam membangun kerjasama secara nyata untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu yang memerlukan tenaga kerja lebih dari satu orang dalam
proses produksi telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial, kekerabatan dan
keagamaan. Di dalam perahu agar dapat menghasilkan produksi hasil tangkapan yang baik,
pembagian pekerjaannya telah sangat jelas dan harus di lakukan secara bersama-sama, sehingga
setiap orang yang ada diatas perahu, kemampuannya menbangun kerjasama yang didasarkan pada
fungsi kerja masing-masing telah mempunyai kemampuan sangat besar, karena, nasib mereka
secara bersamaan tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama
diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum
merupakan kerjasama mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang
diberlakukan untuk membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan
secara bersama-sama pula.

3. Tingkat Ketergantungan Pada Sumberdaya.


Masyarakat nelayan desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran kebanyakan telah
menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian utamanya dalam menggantungkan hidup.
Dengan demikian sumberdaya laut menjadi bagian penting di dalam mendukung kehidupan
masyarakat maritim, maka ditinjau dari pandangan ini, sangatlah beralasan mereka sangat
memperhatikan sumberdaya maritim yang berada disekitar kampung mereka, dan kalau mereka
anggap ada hal-hal yang akan bermanfaat dan mengganggu sumber penghidupannya, mereka
selalu siap untuk memanfaatkannya dan juga menjaganya bersama-sama. Dilihat dari tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya maritim, ternyata juga berkaitan langsung dengan
pembiayaan investasi untuk dapat memanfaatkan sumber daya tersebut. Sebagai contoh, dalam
upaya nelayan melakukan investasi pada usaha penangkapan ikan. Sesuai dengan keahlian yang
dimiliki oleh masing-masing nelayan, dari fenomena yang ada tampak secara perorangan di lihat
dari kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaannya untuk melakukan investasi ke sarana
ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan, yaitu perahu, jaring dan
mesin, mereka belum banyak melakukannya. Sebagai gambaran, investasi secara besar-besaran
kepada peralatan penangkapan belum terlihat nyata, hal ini diindikasikan dengan ukuran, dan
volume perahu yang cenderung tidak banyak mengalami perubahan. Kegiatan usaha penangkapan
yang menggunakan kapal pukat cincin (purse-sein board), bobotnya hanya antara 20 GT hingga
40 GT dengan kapasitas dari 10 ton hingga 20 ton saja. Dari nelayan skala kecil yang jarak
operasinya ke daerah penangkapan hanya 2 hingga 4 mil laut, juga tampak fenomena tentang
nyisihan hasil tangkapan untuk investasi, juga cenderung tidak banyak mengalami perkembangan,
bahkan ada lkecenderungan beberapa perahu tidak dapat lagi beroperasi karena biaya
operasionalnya tidak mampu ditutupi dengan nilai hasil tagkapannya.
Kemudian yang juga cukup menarik dari tiga desa masyarakat maritim, kelakuan apabila
di lihat dari kemampuan menyisihkan hasil pendapatan mereka dari kegiatan penangkapan untuk
investasi masa depan secara fenomial dapat diamati dalam bentuk pembangunan perumahan.
Pertama, untuk desa Labuhan Teluk rata-rata masyarakat maritim memiliki perumahan yang
masih sederhana dengan tipe-tipe; bangunan semi permanen, sebagian ada juga yang permanen.
Kalau keadaan ini dilihat dari fenomena perbandingan antara tahun 1985 dengan tahun 2004
memang menunjukkan adanya perubahan, tetapi perubahan yang terjadi tidaklah pesat. Kedua,
untuk desa Carita, nelayannya juga kurang mengalami kemajuan yang berarti, padahal disekitar
perkampungan mereka telah berdiri beragam hotel dan tempat rekreasi pantai yang cukup baik
dan terkenal serta selalu ramai pengunjung, tetapi dampaknya terhadap perekmbangan desa
masyarakat maritim disekitarnya belum begitu menggembirakan, kenapa hal ini ikut terjadi,
tampaknya masih memerlukan peninjauan tersendiri yang lebih mendalam lagi. Ketiga, di desa
Pasauran, perkampungan mereka masih sederhana dengan kehidupan ekonomi juga sederhana,
kesederhanaan terjadi karena peralatan penangkapan yang mereka gunakan umumnya dalam
bentuk skala kecil. Perkembangan yang terjadi apabila di kaitkan dengan diversifikasi mata
pencaharian alternatif. Diversivikasi mata pencaharian alternatif akan ikut dikembangkan oleh
masyarakat maritim, berdasarkan dari fenomena yang ada, sangat jelas terkait erat dengan hasil
sumberdaya maritimnya, baik dari maritim tangkap atau dari budidaya. Mata pencaharian
alternatif di lihat dari struktur diversifikasi kegiatan usaha seperti penangkapan, pengolahan,
perdagangan, pembuatan peralatan penangkapan tampaknya masih terbatas. Perkembangan alat
penangkapan yang terjadi di daerah lainnya yang telah menjadikan daerah mereka sebagai daerah
penangkapan baru yang di lakukan secara reguler yang datang dari Cirebon dan Rembang,
ternyata juga tidak merubah banyak perahu kecilnya menjadi perahu yang lebih besar, dan tidak
pula mempunyai pengaruh terhadap perubahan dinamika ekonomi masyarakat maritim di wilayah
pantai Barat Banten pada umumnya.
Untuk desa Labuhan Teluk, dari pengamatan sejak tahun 1980 hingga sekarang belum
terlalu banyak mengalami perubahan sarana maritim yang lebih baik dengan manajemen yang
juga baik. Dari beberapa pengamatan, kesulitan menerima pengembangan dari luar secara drastis
atau cepat, hal ini dapat terjadi, karena masyarakatnya ada kecenderungan tetap mempertahankan
keadaan yang telah ada selama ini. Jadi mata pencaharian alternatif, terutama yang berasal dari
luar masyarakatnya akan sulit diterima, mereka tidak ingin menambah resiko baru bagi kestabilan
kehidupan mereka. Sikap bertahan ini terjadi mungkin terkait dengan pantai Barat Pulau Jawa
yang bergelombang ganas dan pantainya sempit serta tidak terlindung, kondisi alam yang
sedemikian ganas dengan kemampuan yang sangat terbatas, telah menyulitkan mereka untuk
menerima hal-hal baru dari luar, alas an utamanya karena resiko keamanan yang akan mereka
dapatkan mungkin lebih besar lagi.

4. Distribusi Kegiatan Ekonomi.


Saling ketergantungan fungsional dalam kegiatan ekonomi sektor maritim adalah
keterkaitan antar sumberdaya, peralatan penangkapan, pasar dan manusia. Kegiatan ekonomi
adalah merupakan representasi dari adanya permintaan dan penawaran . Penawaran terjadi karena
adanya hasil produksi dari exploitasi sumberdaya, dan permintaan terjadi karena adanya pasar,
sedangkan teknologi penangkapan dan manusia merupakan sarana penggeraknya (Dahuri, R.
2003). Keterkaitan ini dapat ditinjau dari dua sisi, pertama, keterkaitan secara langsung dan
kedua, keterkaitan secara tidak langsung. Keterkaitan langsung adalah peran dari sumberdaya
ikan dan biota lainnya, dan kegiatan penangkapan yang menghasilkan produksi hasil tangkapan
dalam bentuk segar dan olahan, dan pasar menciptakan penawaran dan permintaannya, kemudian
keterkaitan ini dapat pula disebut sebagai hubungan positif. Keterkaitan yang tidak bersifat
langsung, yaitu peranan kegiatan yang di lakukan oleh para pemegang modal, pedagang kecil
dan besar, dan juga komisioner atau perantara. Peranan mereka menggerakkan kegiatan ekonomi
cukup besar, karena mekanisme pasar sebagian terbesar berada dibawah pengendalian mereka,
dab bentuk pengendalian seperti mempertemukan pembeli lokal dan pembeli dari luar, juga
termasuk norma-norma pasar yang berlaku di daerah yang menjadi pengendalian mereka. Apabila
memperhatikan pekerjaan spesialis, tampak dengan jelas setiap pekerjaan spesialis mendapat
pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan bagian
orang yang tidak mempunyai spesialisasi yang diatur dan tercermin secara jelas dalam sistem
bagi hasil. Peran dari sistem bagi hasil adalah mengatur mekanisme mulai dari persiapan
penangkapan, hasil tangkapan setiap kali mendarat, dan pelaksanaan pembagian hasil produksi
tangkapan berdasarkan sistem bagi hasil yang telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap
anggota masyarakat nelayan di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran. Pembagian
bagi hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu setengah) bagian
dan anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian, sedangkan pemberi pinjaman mendapat 10%
dari raman kotor setiap kali kapal/perahu mendarat dan menjual hasil tangkapannya. Potongan
10% tidak mengurangi jumlah modal pinjaman yang diberikan oleh peminjam, terkecuali kalau
seluruh modal pinjamannya di kembalikan secara kontan. Adapun kisaran jumlah total bagian
yang dibagikan adalah antara 4 (empat) bagian hingga 5 (lima) bagian untuk kapal ukuran antara
3 hingga 7 GT, sedangkan Kapal purse-sein bisa mencapai 25 bagian. Jadi jelas sekali peran
sistem bagi hasil dalam mewujutkan kegiatan ekonomi masyarakat maritim, dan sistem inilah
yang mengakar dalam kehidupan mereka, termasuk hubungan sosial dan moral yang hidup dalam
masyarakat, semuanya terkait dengan peranan sistem bagi hasil tersebut.
Distribusi kegiatan ekonomi kalau dilihat dari strukturnya, maka berdasarkan
keseimbangan pendistribusian terjadi interdependensi yang simetris, yaitu dimana berdasarkan
posisi tawar menawar atau pembagian kekuatan (bargaining position/power sharing) terhadap
akses ke sumberdaya ekonomi berada pada titik berimbang. Interdependensi yang simetris secara
ideal agak sulit dikenali tanpa adanya riset yang mendalam mengenai ekonomi maritim.
Interdependensi secara kasar masih dapat dikenali secara umum melalui struktur kegiatan
ekonomi yang di lakukan oleh masyarakat maritim melalui pembagian pekerjaannya, mulai dari
pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan, dan
masyarakat maritim mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apabila di
lihat dari interdependensi antar elemen, ternyata antar nelayan mempraktekkan saling
memberikan informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di
lokasi fishing ground yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil
tangkapan ikan atau biota laut lainnya, yaitu ikan, udang (shrimp), kepiting (mud crubs), dan
biota laut lainnya. Begitu juga hubungan timbal balik akibat dari kegiatan ekonomi, juga terjadi
antara kegiatan usaha yang dilakukan laki-laki, seperti penangkapan ikan dengan kegiatan usaha
yang dilakukan perempuan, seperti pedagang kecil di tingkat retailer atau kegiatan pengolahan
ikan. Ditinjau dari sini, maka ada hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara
nelayan penangkap, dengan kaum perempuan yang umumnya adalah para pelaku usaha pengecer
ikan/udang (shrimp)/kepiting (mud crubs) atau biota laut lainnya, dan juga ibu rumah tangga yang
merangkap sebagai yang menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan
olahan.
Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat maritim telah terdeferensiasi menghasilkan
struktur kerja menurut sifat pekerjaannya (Taryono, Andin. 1999). Di lihat dari gender, kaum
laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan ditengah laut, sedangkan kaum perempuan
melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan dan perbaikan jaring. Jenis-jenis pekerjaan
yang berdasarkan spesialisasi atau keahlian ini telah di lakukan secara turun temurun. Maka
pekerjaan di masyarakat maritim telah menciptakan kondisi kerja yang saling tergantung secara
harmoni. Keharmonian itu dapat dilihat, pekerjaan yang menuntut lebih banyak di perairan, di
lakukan oleh laki-laki seperti berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin,
memperbaiki perahu, memasang jaring dan menentukan arus dan musim ikan. Adapun pekerjaan
yang menuntut lebih banyak di lakukan di darat, umumnya telah menjadi pekerjaan perempuan,
seperti mendagangkan ikan, udang (shrimp), melakukan pengolahan pengawetan ikan, dan
mengatur rumah tangga selama suaminya dan kaum lelakinya ke laut.
Kemampuan membangun kerjasama secara nyata, untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu
diantara anggota masyarakat maritim telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan
sosial, kekerabatan dan keagamaan (Wahyono dkk, 2001) . Pembagian pekerjaan tersebut dengan
jelas sekali terlihat di dalam perahu atau kapal. Pembagian pekerjaan yang telah sangat jelas dan
harus di lakukan secara bersama-sama ini tujuannya adalah agar setiap orang yang ada diatas
perahu selamat. Kemampuan membangun kerjasama yang sangat besar tercipta karena didorong
supaya nasib mereka tidak celaka, kecelakaan itu dapat dihindari apabila secara bersamaan
mampu menciptakan keharmonisan kerja yang bertanggung jawab. Jadi budaya bekerja bersama-
sama diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu
kaum merupakan kerjasama mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan
yang diberlakukan untuk membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang
diutamakan secara bersama-sama.
Praktek sistem bagi hasil adalah cerminan kegiatan ekonomi, sosial dan hukum yang
berlaku di dalam masyarakat maritim (Kusnadi, 2000). Sistem bagi hasil merupakan alat bantu
ekonomi yang mengatur mekanisme usaha kegiatan usaha penangkapan antara pemilik modal
yang biasanya menjadi pemilik perahu, jaring dan mesin, sehingga tenaga kerja yang melakukan
penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK) terikat kepadanya. Jadi peran
sistem bagi hasil dalam mewujutkan kegiatan ekonomi masyarakat maritim adalah sangat
mengakar dalam kehidupan mereka, termasuk bentuk-bentuk hubungan sosial dan moral yang
hidup dalam masyarakat, semuanya terkait dengan peranan sistem bagi hasil tersebut. Untuk
contoh sebuah kasus di masyarakat maritim pantai Barat Banten, untuk usaha kegiatan
penangkapan susunannya adalah sebagai berikut;

a). produksi hasil tangkapan kotor yang dikalikan dengan harga ikan di pelelangan atau penjualan
langsung, yang disebut sebagai hasil penjualan kotor.
b). hasil penjualan kotor dipotong sebanyak 10% terlebih dahulu bagi yang menggunakan modal
pinjaman dan sisanya dipotong dengan biaya eksploitasi.
c). Sisa pendapatn setelah dipotong biaya eksploitasi, kemudian dibagi dua bagian, satu bagian
untuk pemilik dan satu bagian lagi untuk tenaga kerja.
d). hasil bagian dari tenaga kerja kemudian dibagi menurut spesialisasi pekerjaannya;
d.1. Nakhoda mendapat 1.5 bagian
d.2. Juru mesin mendapat 1,25 bagian
d.3. Juru batu mendapat 0,25 bagian
d.4. Tenaga kerja lainnya mendapat masing-masing 1 bagian.

Disisi lainnya, dalam menjalani kehidupan, masyarakat nmaritim ada juga yang melakukan
praktek pembagian hasil dengan susunan; pembagian untuk kasko 1 bagian, untuk jaring 1
bagian, untuk mesin 1 bagian, untuk biaya eksploitasi 1 bagian dan untuk anak buah perahu 1
bagian, sehingga total bagian adalah 5 bagian. Dari besaran pembagian ini, di dalam masyarakat
menampakkan sebaran kontribusi dari masing-masing pelaku kegiatan sesuai dengan
spesilisasinya sudah terpenuhi, tetapi dilihat dari prinsip-prinsip keadilannya tampaknya belum
tercapai. Ketidak adilan tersebut belum tercapai karena bagian kasko, bagian jaring dan bagian
mesin karena sering dibiayai oleh pemilik modal atau juragan dalam bahasa daerah. Kedudukan
kepemilikan menyebabkan juragan mempunyai kekuatan ikut mengatur penjualan ikan hasil
tangkapan nelayan. Ada keterkaitan langsung antara nelayan dengan juragan, dalam hal menjual
ikan hasil tangkapan, seperti ada kewajiban menjualkannya kepada pemilik modal, walaupun
melalui mekanisme pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pembagian insentif
melalui sistem bagi hasil belum dijalankan oleh semua orang, dapat dikatakan usaha kegiatan
penangkapan tergantung pada juragan yang bertindak sebagai supplier, sebagai pemberi pinjaman
modal kerja, dapat memberikan peluang kesejahteraan kepada masyarakat maritim (Pranadji, T.
2003). Dalam kenyataan social, secara fenomena peranan juragan menjadi semakin penting di
dalam menjalankan kehidupan ekonomi masyarakat, dikarenakan banyak anggota nelayan yang
permodalan kerjanya terbatas, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat pergi ke laut apabila
tidak meminjam modal kerja dari juragannya. Peran pemilik modal sebenarnya dapat di
revitalisasikan menjadi lembaga permodalan masyarakat maritim yang terkelola dengan baik
menurut peraturan, apabila ada paying hukumnya.

KELEMBAGAAN
Kelembagaan yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang ditinjau dari;
asal usul lembaga, fungsi lembaga,dan aturan main dalam lembaga.

1. Asal Usul Lembaga.


Sejarah terbentuknya suatu lembaga di dalam masyarakat maritim di Kabupaten
Pandeglang dan Serang, di lihat dari proses pembentukannya, ada dua tipe kelembagaan.
Pertama, kelembagaan yang bersifat formal, lembaga ini diprogramkan oleh pemerintah yang
diperuntukkan bagi masyarakat maritim, tipe kelembagaan adalah mewadahi kegiatan ekonomi,
untuk itu dibuatkan pula panduan AD/ARTnya, seperti Koperasi Mina. Adapun untuk HNSI,
kelembagaannya bersifat social, juga disiapkan pula AD/ARTnya, sedangkan untuk Tempat
Pelelangan Ikan (TPI), aturan kerjanya disiapkan oleh pemerintah. Kedua, kelembagaan yang
berasal dari masyarakat maritim, umumnya bersifat non-formal, tipe kelembagaan adalah
mewadahi kegiatan social, atau keagamaan, bentuknya biasanya berupa kelompok pengajian
(majelis taklim), asosiasi penjualan ikan dan lain-lainnya. Kemudian pada umumnya, jenis-jenis
kelembagaan yang murni swadaya masyarakat tidak banyak yang dilengkapai dengan AD/ART.

2. Fungsi Lembaga.
Keberadaan lembaga seperti Koperasi Mina, secara fenomial dapat dikatakan belum
optimal fungsinya dalam menjalankan aktivitasnya, tetapi untuk HNSI sejauh ini sedikit
banyaknya telah ikut dapat meredam atau menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat
Nelayan. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di daerah penangkapan ikan di Kabupaten
Pandeglang dan Serang, umumnya terpicu oleh nelayan datangan dari Pulau Sumatera. Nelayan
datangan yang ikut menangkap ikan dengan tanpa aturan yang baik menurut masyarakat maritim,
akan mengundang kecemburuna dan ke tidak adilan. Nelayan pendatang ini umumnya
menggunakan armada penangkapan dalam ukuran besar, yaitu diatas 40 GT. Nelayan pendatang
ini oleh masyarakat maritim telah dianggap merugikan, karena hasil tangkapan tangkapan mereka
ikut berkurang. Sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat maritim tempatan adalah melindungi
kepentingan mereka, dengan cara mengusir atau melakukan penangkapan terhadap nelayan
pendatang tersebut. Penyelesaian konflik yang pernah terjadi selalu diupayakan dengan jalan
musayawarah, begitu juga kalau terjadi dengan diantara sesama nelayan lokal. Peranan tokoh
masyarakat ikut mendamaikan cukup besar, hal ini biasanya dilakukan oleh masyarakat sendiri
melalui organisasi formal seperti HNSI. Adapun untuk penggalangan kebersamaan yang di
lakukan oleh lembaga formal seperti Koperasi Mina, HNSI, dalam hal ini masyarakat maritim
melihatnya masih kurang berperan, kekurangan tersebut disebabkan karena pengorganisasiannya
kurang menyentuh kebutuhan masyarakat, masyarakat cenderung menjadikannya hanya sebagai
organisasi yang terpisah dari kebutuhan langsung dalam kehidupan bermasyarakat mereka.

3. Aturan Main Lembaga.


Setiap lembaga, baik yang formal atau yang in-formal memiliki aturan mainnya sendiri-
sendiri dalam melakukan kegiatan kelembagaannya. Masyarakat nelayan sebagai anggota
masyarakat yang apabila ikut menjadi salah satu kegiatan atau menjadi anggota suatu
kelembagaan seperti koperasi, HNSI, kelompok pengajian, asosiasi perdagangan atau paguyuban
sosial tertentu, dan lain lainnya harus mengikuti aturan main tersebut. Dalam hal memiliki dan
mempunyai kemampuan penggunaan rasionalitas pada setiap pengambilan keputusan di dalam
lembaga tersebut, masyarakat masih cenderung menyerahkannya pada pemimpin mereka saja.
Dari fenomena di lapangan terhadap tanda-tanda organisasi formal atau in-formal, penandaannya
hanya sebagai simbolek saja tentang keberadaan mereka. Informasi yang didapatkan melalui
beberapa tokoh masyarakat, kelembagaan yang ada, baru sebatas Koperasi, HNSI dan Pengajian.
Mengenai aturan main yang ada di dalam kelembagaan tersebut, ternyata tidak semua anggota,
apalagi masyarakat mengetahuinya secara terbuka. Maka secara umum dapat dikatakan,
sementara ini masyarakat maritim belum mempunyai daya kemampuan menggunakan
rasionalitasnya untuk ikut berproses secara wajar dan terbuka ikut menentukan dan mengambil
berbagai keputusan dari lembaga-lembaga yang ada dan tersedia di masyarakat.
Kemampuan masyarakat maritim yang menjadi anggota suatu lembaga tertentu dalam
bersikap untuk menghindari berbuat yang bertentangan dengan kaidah umum sehingga eksistensi
norma-norma masyarakat yang berlaku setempat terhadap ketaatan terhadap hak dan kewajiban
sebagai anggota suatu lembaga agar masih tetap terjaga, secara fenomial kepatuhan itu dimiliki
oleh setiap anggota masyarakatnya, itu dibuktikan dengan kebersamaan yang kental. Masyarakat
maritim menunjukkan sikap koperatif, bilamana kegiatan usaha penangkapan, pengolahan,
perdagangan ikan dan biota lainnya dapat saling menguntungkan (Dahuri, R. 2000). Sikap
menentang akan terjadi apabila ada masyarakat datangan yang memaksakan kehendaknya,
sehingga anggota masyarakat maritim tempatan harus ikut pada kehendak cara-cara yang dibuat
dan ditentukan oleh pendatang. Jadi norma-norma kerjasama yang lembut dapat menjadi keras,
keadaan itu terpicu bila dianggap ada jagoan dari suku etnis tertentu sebagai pendatang telah
merugikan di lingkungan masyarakat. Norma umum yang berlaku supaya tetap hidup harmonis,
dapat menyimpang kepada kekerasan, seperti sikap mengusir atau meniadakan karena ada
penentangan dari jagoan pendatang tersebut.
Keberadaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku
atau diterapkan di dalam kehidupan social masyarakat maritim, kalau di lihat dari bentuk dan
mekanisme sanksi atas pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, aturan kebiasaan yang
dipakai adalah sebagai berikut; a). Terhadap pelanggaran norma-norma umum yang berlaku
dalam masyarakat, yaitu seperti mempermalukan, tidak mengindahkan kesepakatan perjanjian
yang telah diterima masyarakat, menganggap norma yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak
penting, dll, maka akan ditempuh dengan cara-cara musyawarah. Lembaga musyawarah yaitu
mempertemukan setiap orang atau kelompok yang berselisih dan kemudian dipimpin oleh tokoh
masyarakat atau orang yang dituakan, kemudian secara adil mencari kebenaran bersama untuk
menemukan akar perselisihan, atas kesepakatan kedua belah pihak, maka kata mufakatpun
diputuskan. Inti kesepakatan adalah mentaati bersama hasil musyawarah, dan kedua belah pihak
tidak melakukannya kembali. b).Terhadap pelanggaran berat yang bersifat kriminal atau perdata,
masyarakat mengadukannya kepada yang berwajib setelah bermusyawarah terlebih dahulu
dengan pemuka masyarakat yang ada di tempat kejadian, tujuannya agar dapat diselesaikan
menurut hukum dan peraturan yang berlaku. c).Terhadap orang yang sengaja mengabaikan semua
aturan yang berlaku yaitu norma-norma dan hukum formal, apabila tidak ada penyelesaian maka
masyarakat dapat bersikap tegas secara massal. Tindakan masyarakat secara massal biasanya
mengarah pada kekerasan, seperti adanya penangkapan kapal yang melanggar fishing ground
akan dirusak atau di usir dengan cara kekerasan.

POLITIK.
Yang dimaksudkan dengan politik lebih ditujukan kepada yang berkenaan dengan;
kepemimpinan, penilaian kepemimpinan oleh masyarakat, proses pengambilan keputusan publik,
dan hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar.

1. Kepemimpinan.
Berkenaan dengan pemimpin adalah yang berhubungan dengan sejauh mana
kepemimpinan dapat dipahami, yang kemudian menjadi bagian pengetahuan dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat dimasa datang (Haryanto, R. Harry, 2001). Kepemimpinan yang
dimiliki oleh seorang pemimpin masyarakat maritim ada kecenderungan dengan type dari
organisasi atau kelembagaan yang dia pimpin. Kepemimpinan ditingkat desa di dalam masyarakat
maritim, minimal mempunyai dua pola kepemimpinan; Pertama yaitu kepemimpinan
berdasarkan kelembagaan formal seperti kepala desa dan Kedua, kepemimpinan berdasarkan
kelembagaan in-formal seperti tokoh masyarakat. Untuk kriteria pertama, umumnya memiliki
tujuan ingin meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kedamaian masyarakat maritimnya
berdasarkan aturan-aturan yang telah berlaku. Kedua umumnya mempunyai keinginan yang lebih
menekankan kepada penciptaan keseganan pada kepemimpinannya untuk mencapai
kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan yang didapat dengan cara-cara
yang baik dan menurut aqidah ajaran-ajaran agama, terutama agama Islam, dan kedamaian
dicapai melalui kegiatan keagamaan atau kegiatan sosial yang syarat dengan pesan moral
kebaikan, seperti tidak bohong, angkuh, atau mau menang sendiri. Untuk keseganan biasanya
melalui pendekatan agak lebih keras, sehingga pemimpin mereka tersebut memang dianggap
berwibawa dengan ketegasannya tersebut.
Pemimpin in-formal di dalam masyuarakan maritim dihargai masyarakat karena mampu
menjembatani kepentingan nelayan yang ada di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa
Pasauran. Penilaian ini terjadi karena pemimpin mereka dianggap mampu memiliki daya, yaitu
menyangkut kemampuan memahami dan menempatkan diri pada kondisi dan persepsi pihak lain,
yaitu anggota masyarakat di dalam masyarakat maritim, atau di luar nelayan mendapatkan
manfaat bersama apabila ada permasalahan. Prinsip ini juga dinilai, baik oleh masyarakat nelayan
dari sisi daya kepemimpinan yang dicirikan mampu berkorban untuk memperoleh kepercayaan
masyarakat. Dimana, kepercayaan tersebutlah yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin
untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat maritim setempat secara lebih cepat dan
terarah. Dari kepemimpinan in-formal yang ada di masyarakat maritim ada terlihat fenomena
tentang daya empati, ini dapat di lihat dari seringnya tokoh masyarakat bersama dan berada di
lingkungan masyarakat, mereka menyatu ikut terjun langsung menyelesaikan setiap permasalahan
yang mucul dari masyarakat maritimnya, baik berkenaan dengan sesama masyarakat maritim
atau dengan masyarakat maritim desa lainnya. Pengorbanan yang diberikan, adalah seringnya
tidak kenal pamrih dalam setiap kali melaksanakan kegiatan sosial di dalam masyarakatnya,
sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya semakin besar. Dari kepercayaan
yang diperoleh tersebut, ternyata mampu dan telah dapat digunakan untuk menggerakkan
kemajuan ekonomi masyarakat nelayan setempat lebih cepat dan terarah.

Gambar: Tokoh informal masyarakat maritim.


Pemimpin yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anggota
masyarakat yang dipimpinnya, sehingga mengkomunikasikan keinginannya yang rasional dapat
ditangkap dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicaranya. Kemampuan berkomunikasi dari
seorang pemimpin dapat terdeteksi dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat, mereka
menginformasikan sebagian besar pemimpin di dalam masyarakat telah mampu menyerap
sebagian besar keinginan masyarakatnya. Hasil yang didapatkan adalah sedikitnya gejolak salah
pengertian atau ketidak puasan terhadap pemimpin yang datang dari anggota masyarakat. Dimana
saja pemimpin mereka berada, senantiasa disambut dengan empati, dan ini menunjukkan bahwa
pemimpin desa dan tokoh masyarakat adalah kebanggaan mereka yang patut dibanggakan. Berita
yang diberikan pada umumnya kepada tamu yang datang dari luaran, hampir tidak terdengar nada
miring yang diperdengarkan. Hal ini adalah hasil dari kekentalan berkomunikasi pemimpin, dan
komunikasi yang disampaikan, ternyata dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Bentuk
penghormatan adalah berupa mengindahkan segala petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh
pemimpin masyarakatnya, yaitu berupa ikut berperan aktif menyampaikan pesan-pesan yang
diberikan oleh pemimpinnya kepada berbagai pihak yang dianggap perlu. Adapun yang
berkenaan dengan kemampuan pemimpin memberi inspirasi, yang dimaksudkan adalah
menggerakkan masyarakat kearah pembangunan kesejahteraan yang lebih baik melalui kegiatan
usaha penangkapan ikan di laut. Menggerakkan kegiatan usaha yang dimaksudkan adalah
berusaha secara baik mengikuti norma-norma kebiasaan yang telah berlaku di dalam masyarakat
maritim. Usaha yang baik ini adalah usaha yang saling memberikan peluang untuk hidup lebih
baik, tidak melakukan penjegalan usaha pada pihak-pihak lain, sehingga mengakibatkan
kerugian, baik bersama-sama maupun perorangan. Adapun tindakan mengarahkan anggota
masyarakat yang dipimpinnya, adalah agar semua masyarakat tetap dapat menjaga kebersamaan,
ketertiban, keamanan, sehingga peluang usaha sebagai daerah pariwisata dapat terbuka dengan
lebih baik lagi. Pendatang yang berwisata merasa aman dan mau berlama-lama di daerah ini,
untuk itu pemimpinnya mengarahkan supaya masyarakat senantiasa dapat menjaga kesopanan
dan ketertiban serta keharmonisan pada semua golongan dan lapisan masyarakat.

2. Penilaian Kepemimpinan.
Penilaian kepemimpinan adalah berhubungan dengan seberapa jauh anggota masyarakat
setempat memberikan penilaian terhadap tokoh pemimpin di lihat dari aspek kejujuran,
mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan
emosional. Aspek kejujuran, mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta
memiliki kematangan emosional adalah aspek-aspek yang tidak bisa dilepaskan dengan integritas.
Integritas yang dimaksudkan oleh masyarakat dalam diskusi adalah seberapa jauh anggota
masyarakat setempat ikut memberikan penilaian terhadap pemimpinnya selama mereka menjadi
tokoh atau menjalankan kepemimpinan mereka di dalam masyarakat nelayan. Pada umumnya
integritas pemimpin yang dikehendaki adalah pemimpin yang sepenuhnya mencurahkan
perhatiannya untuk mengayomi masyarakatnya sehingga masyarakatnya memiliki kebanggaan
atas kepemimpinannya, dan masyarakat merasa punya orang yang mampu mengangkat harkat
pribadinya dihadapan masyarakat kelompok lainnya. Di daerah desa Labuhan Teluk, desa Carita
dan desa Pasauran, tipe kepemimpinan yang dimaksudkan masih banyak bertumpu kepada
pendekar atau Ustad. Pendekar disegani karena kewibawaannya, yang terpercaya dan disegani,
dan ustad karena merekalah yang dianggap masyarakat memiliki kejujuran, amanah, adil dan
berwajah teduh, jumlah orang yang memiliki criteria diatas tidak terlalu banyak.

3. Pengambilan Keputusan Publik.


Proses pengambilan keputusan adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan transparansi,
akuntabel, terbuka dan terhindar dari conflict of interest. Untuk transparansi, ini lebih banyak
menekankan pada faktor-faktor yang dijadikan dasar pengambilan keputusan yang boleh
diketahui secara luas oleh anggota masyarakat. Dari informasi tokoh masyarakat maritim melalui
diskusi, tergambarkan bahwa faktor-faktor yang biasa menjadi bahan pertimbangan untuk
membuat keputusan adalah menyangkut kepentingan masyarakat luas. Di dalam organisasi
formal, seperti Kepala Desa, proses pembuatan keputusannya sekarang ini melalui musyawarah
antara DPD dengan Lurahnya/Kepala Desanya terlebih dahulu. Masyarakat maritim dapat
menyalurkan aspirasinya melalui DPD yang telah dipilih secara langsung oleh masyarakatnya
untuk dapat memperjuangkan aspirasi mereka dan di perjuangkan dalam persidangan-persidangan
DPD agar menjadi program Lurah. Dari fenomena secara umum, proses ini belum sepenuhnya
terbuka, karena sebagian besar masyarakat maritim masih buta huruf, sehingga aturan-aturan
formal yang telah ada masih sulit dipahami oleh mereka tersebut. Adapun yang menjadi anggota
HNSI, proses pengambilan keputusan organisasinya didasarkan pada aturan-aturan HNSI, yang
ada di dalam AD dan ARTnya, dengan demikian setiap keputusan harus didasarkan pada aturan
yang telah ada tersebut. Tingkat transparansi yang terjadi belum dapat dengan jelas diberitakan,
untuk aspek ini masih perlu penggalian lebih lanjut. Adapun di lembaga-lembaga in-formal yang
tumbuh dan diadalkan oleh masyarakat, proses pengambilan keputusannya di tingkat pemimpin
lembaga masih banyak menggunakan pendekatan kepercayaan. Jadi proses keputusan hanya
berada di beberapa tangan saja, khususnya pimpinan teras.
Proses pengambilan keputusan dihubungkan dengan faktor-faktor yang dinilai penting
pada unsur kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, dan ini mencerminkan pemikiran yang
dapat diterima secara kolektif, sejauh ini ada benarnya. Kebenaran tersebut dapat di lihat dari
keberlangsungan kehidupan masyarakat maritim yang relatif harmoni sepanjang waktu, keadaan
ini tercipta dikarenakan adanya norma-norma kebiasaan berupa nilai-nilai budaya yang dipatuhi
bersama, sehingga mampu merakit dinamika kehidupan bersama secara baik. Nilai-nilai budaya
inilah yang mendasari proses pengambilan keputusan (Cernea, M.M., 1988), sehingga setiap hasil
keputusan yang diambil di berbagai level, senantiasa dapat diterima oleh masyarakat pada
umumnya, dipatuhi dan dijalankan. Adapun yang berkaitan dengan persinggungan sosial dan
budaya yang cenderung saling merugikan hampir-hampir tidak ada. Buktinya, menurut beberapa
tokoh masyarakat setempat, pariwisata dapat berjalan, kegiatan kebudayaan datangan dapat
diterima, begitu juga kegiatan sosial tidak menciptakan antagonisme nilai-nilai, dan aktivitas
ekonomi tetap berlangsung dengan normal. Di lihat dari aturan representasi publik, masyarakat
maritim diberi kebebasan untuk melakukan komunikasi langsung kepada pemimpin-
pemimpinnya, yaitu pemimpin formal seperti lurahnya, baik secara perorangan maupun dengan
kelompok untuk menyampaikan berbagai saran atau usulan demi kebaikan kampungnya.
Demikian pula masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan penilaian dan pengawasan
terhadap kelemahan pada penerapan azas rasionalitas dan akuntabilitas, sehingga keputusan yang
telah diambil dapat dikaji kembali secara transfaran dan bersama-sama secara adil, dan apabila
perlu membuat keputusan baru lagi melalui aturan-aturan yang telah ada.
Untuk pemimpin yang memimpin lembaga-lembaga informal, proses keterbukaan untuk
diaudit belum banyak di lakukan oleh masyarakat, karena aturan-aturannya masih banyak
menerapkan prinsip-prinsip kebiasaan saja, yang secara tradisional menjadi bagian kehidupan
bermasyarakat masyarakat maritim umumnya. Proses keterbukaan untuk diaudit belum dapat di
lakukan (Wiradi, Gunawan. 1997), alasan masyarakat pada umumnya karena tindakan itu di
pandang tidak sopan, kadang-kadang dianggap berlebihan, perlakuan itu justru dianggap tidak
tahu aturan, tidak layak atau kurang pada tempatnya. Misalnya mengemukakan pertanyaan yang
dilakukan dengan suara keras, suara terlalu tinggi, atau menggunakan kosa kata yang tidak lazim
bagi kesopanan, maka pertanyaan-pertanyaan itu disikapi kurang layak. Dari segi maksud dan
tujuan sebenarnya baik, tapi belum pada tempatnya diterapkan pada pemimpin informal, karena
mereka bekerja tanpa pamrih. Justru kalau dilakukan akan dianggap bertentangan dengan norma
lazim yang berlaku umum, walaupun tujuannya hanya sekedar untuk mendapat penjelasan dari
orang yang dianggap terhormat atau disegani dilingkungan masyarakatnya. Pada masyarakat
tradisional, proses pengambilan keputusan merupakan bagian sakral yang dimiliki oleh seorang
pemimpin, oleh sebab itu setiap keputusan yang telah diberitakan kepada masyarakatnya, kalau
ada peninjauan ulang akan dianggap sebagai tindakan yang tidak terhormat dan patut dicela.

4. Hubungan Lokal dengan Luar.


Hubungan lokal dengan luar, di lihat dari kepentingan yang saling berlawanan, sebenarnya
merupakan hubungan timbal balik terhadap satu kepentingan bersama. Kalau berdasarkan
Undang-Undang No. 22/1999 Tentang Otonomi Daerah, bahwa wilayah perairan laut daerah
setingkat Kabupaten diberi kewenangan pengelolaan sejauh 4 mil laut. Dengan demikian
Kabupaten Pandeglang dan Serang secara administratif memiliki hak pengelolaan terhadap
perairan lautnya. Perairan laut ini mempunyai sumberdaya ikan yang banyak, hal ini kerapkali
juga menarik perhatian nelayan penangkap ikan dari daerah lain untuk ikut menangkap ikan
diwilayah perairan yang menjadi bagian pemanfaatan masyarakat maritim Kabupaten Pandeglang
dan Serang. Hubungan saling kepentingan ini menjadi tidak harmonis tatkala terjadi ketidak
seimbangan peralatan penangkapan yang digunakan, hal tersebut kerapkali di pandang sebagai
penyebab masyarakat maritim tempatan merasa dirugikan. Pada titik inilah mulai terjadi benturan
kepentingan (Kusnadi, 2002). Benturan kepentingan umumnya tidaklah diakibatkan oleh faktor
tunggal semata, tetapi seringkali terjadi karena adanya tatanan pengeksploitasian yang berlebihan,
demi mendapatkan nilai ekonomi yang lebih tinggi, sehingga mengabaikan norma-norma dan
nilai-nilai masyarakat setempat. Perasaan ketakberdayaan, terhina dan diacuhkan dapat
membangkitkan perselisihan sosial yang tajam. Apabila pengabaian nilai-nilai kebudayaan
masyarakat maritim tempatan telah dianggap berlebihan, maka kondisi sosial yang rawan akan
membesar. Kemudian tatkala kondisi memungkinkan, maka goncangan dapat timbul dengan tiba-
tiba, dan untuk menghindari hal-hal tersebut, maka perlu ada saling pemahaman yang mendalam
terhadap inti pertentangan dari aspek sosial dan kebudayaan, karenanya perlu diperhatikan;
a). Pertama alam demokrasi perlu ditumbuhkan secara perlahan dengan tidak
mengenyampingkan ketokohan tradisional. b).Kedua ada upaya perbaikan kondisi ekonomi yang
memadai. c).Ketiga peningkatan intelektualitas, dan d).Keempat yaitu terhadap moral masyarakat.
Apabila keempat faktor ini dapat ditumbuh kembangkan dalam budaya masyarakat
maritim, maka pola hubungan kekuasaan lokal dengan luar akan berjalan lebih transfaran dan
harmonis, saling menghargai dan bermartabat dan dapat terjadi di wilayah perairan laut
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, Propinsi Banten.

PENUTUP
Masyarakat dengan potensi sosial (social capital)-nya serta pemerintah dengan
kebijakannya, secara bersama-sama akan memberikan corak warna terhadap sumberdaya dan
pengelolaannya. Hal inilah yang perlu diketahui dan yang bersumber dari masyarakat maritim,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung, salah satunya melalui penelaahan fenomena
yang terjadi di lapangan. Kondisi sosial budaya yang di lihat berdasarkan fenomena yang terjadi
mencakup kearifan local, religi, ekonomi, politik dan kelembagaan. Kondisi sosial budaya
tersebut di pandang sebagai cerminan beberapa faktor utama yang diharapkan menjadi potensi
pemberdayaan masyarakat. Karena untuk dapat melakukan pemberdayaan yang pada intinya
adalah cara mengaktualisasikan potensi masyarakat itu sendiri perlu kedekatan pemahaman
mendasar tentang karakteristik proses kehidupan masyarakat. Pemahaman terhadap proses dapat
juga melalui pendekatan sosiologi maupun antropologi, dan kemudian di integrasikan dengan
konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan yang selanjutnya digunakan untuk
mengidentifikasikan kondisi-kondisi sosial budaya tersebut. Dari pendekatan konsep ini, sehingga
pada akhirnya di dapatkan potensi maupun kendala atau hambatan pada tingkat unit individu atau
keluarga dan juga pada tingkat komunitas atau masyarakat dalam upaya pengenalan masyarakat
maritim.
Dari pandangan fenomena, dapat juga diketahui bahwa masyarakat maritim juga
telah mengenal dan mempraktekkan e konomi maritim. Yang dimaksudkan dengan ekonomi
maritim ditinjau dari pemaknaan fenomena, adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang terlihat dari
aktifitas ekonomi, status dan peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem
bagi hasil, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya. Kesemua sifat-sifat tersebut
menampakkan pengaplikasiannya yang spesifik maritim, sehingga menjadi satu kesatuan
pembentuk kehidupan bermasyarakat. Kehidupan masyarakat maritim juga telah mengenal
kaedah-kaedah moral yang dapat mempersatukan masyarakat maritim secara harmoni dan
berdaya guna. Untuk itu pengenalan terhadap praktek politik di dalam masyarakat maritim perlu
juga dipahami. Pemahaman politik yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan sifat-sifat dari
prinsip-prinsip kepemimpinan, konflik dan manajemen konflik, akses aturan representasi publik,
sikap masyarakat terhadap keputusan yang diambil, dan prinsip-prinsip hubungan pemegang
kekuasaan lokal dengan luar. Di dalam masyarakat maritim kesemua sifat-sifat tersebut secara
fenomial dapat dikenali sebagai sistem kehidupan. Kemudian dalam prakteknya dapat dikenali
juga telah ada kelembagaan yang ekses di dalam masyarakat maritim. Untuk itu aspek lembaga
yang berkenaan dengan sifat-sifat yang terkait dengan eksistensi kelembagaan, peranan
kelembagaan, dan akses masyarakat terhadap kelembagaan ternyata juga dapat ditemukan di
berbagai daerah dari masyarakat maritim yang ada di nusantara.
Desa masyarakat maritim Banten Barat yang tercermin di desa Labuhan Teluk, desa
Carita dan desa Pasauran, lokasi desa-desa tersebut secara geografis di lihat dari tofografinya
hampir sama, yaitu terletak di pantai Barat yang berhadapan langsung dengan lautan Samudera
Hindia. Pantai Barat ini mempunyai ciri yaitu memiliki daerah pantai yang sempit dan curam
dengan gelombang lautnya besar. Kemudian daerah ini juga sedikit memiliki pantai yang
berpasir luas dengan gelombang yang tenang, tempat-tempat tersebut sangat terbatas, dan hal ini
telah menyebabkan jumlah konsentrasi masyarakat maritim relatif kecil dan terpencar-pencar.
Masyarakat maritim yang hidup dan mencari penghidupan di daerah ini, di lihat dari asal-usul
sukunya adalah berbeda-beda. Suku-suku tersebut adalah dari Sunda, Cirebon dan Bugis. Masing-
masing suku mempunyai kebiasaan menggunakan alat tangkap tertentu, karena itu dari cara
melakukan penangkapan ikan atau memanfaatkan sumberdaya kelautan dapat di lihat dari
peralatan penangkapan ciri kesukuan tersebut, seperti bagan tancap dan bagan apung. Alat
tangkap bagan dominan berasal dari suku Bugis, sedangkan payang dan pancing banyak di
lakukan oleh masyarakat maritim yang dikerjakan oleh nelayan sunda, kemudian untuk jaring
arad dan purse-seine oleh masyarakat maritim yang berasal dari nelayan Cirebon. Dilihat dari
pola kehidupan, masyarakat maritim didaerah ini ada yang menetap, dan ada juga yang tidak
menetap. Masyarakat maritim yang suka menetap terutama dari nelayan yang berasal dari
Pandeglang dan Serang, dan juga dari suku Bugis. Sedangkan masyarakat maritim dari Cirebon
dan Rembang melakukan perpindahan secara teratur mengikuti waktu musim ikan.
Sifat sumberdaya maritim yang ”common property” dan ”open access” membentuk
kondisi sosial budaya masyarakat maritim yang khas dan relatif berbeda dengan masyarakat
pedesaan lainnya (terrestrial villagers). Hal ini seringkali diabaikan di dalam perumusan
kebijakan pemberdayaan masyarakat maritim, yang masih lebih banyak mengadopsi hasil kajian
sosial budaya masyarakat daratan (terrestrial). Oleh karena itu, sosial budaya masyarakat
maritim dapat difungsikan juga dalam upaya mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat
baik di perairan pesisir, pulau-pulau kecil serta perairan pedalaman (Dahuri, R. 2003). Dengan
adanya pengetahuan mengenai potensi dan kendala, diharapkan program pemberdayaan
masyarakat maritim, akan dapat dicapai secara lebih baik dan sempurna. Untuk itu perlu juga
dikenali makna dari kearifan local, religi, ekonomi, politik dan kelembagaan. Kearifan adalah
berkenaan dengan sifat-sifat tentang eksistensi tata-nilai, sikap masyarakat maritim terhadap tata-
nilai, serta mekanisme pengelolaan sumberdaya maritim (internal dan eksternal) yang dapat
mendorong dan mempererat pembangunan nusantara.
DAFTAR PUSTAKA

Cernea, M.M., 1988. Sosiologi Untuk Proyek-Proyek Pembangunan. dalam M.M. Cernea (Ed).
Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan; Variabel-Variabel Sosiologi di
dalam Pembangunan Pedesaan. pp. 3-26. Publikasi Bank Dunia. Penerjemah;
B.B.Teku. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, LISPI, Jakarta. 146 p.
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indoensia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru
Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Perikanan Bogor. Bogor. 233 p.
Haryanto, R. dan T. A. Tomagala, 1997. Indikator Keluarga Sejahtera: Instrumen Pemantau
Keberdayaan Keluarga Untuk Mengentaskan Kemiskinan. Jurnal Sosiologi
Indonesia. No. 2 September 1997. Diterbitkan Oleh: Ikatan Sosiologi Indonesia,
Jakarta.
Hikmat, R. Harry., 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.
Cetakan Pertama. 260 p.
Koentjaraningrat, 1994. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Kebudayaan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 149 p.
Kusnadi, 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press.
Bandung. 244 p.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Maritim.
Penerbit LkiS. Yogyakarta. 190 p.
Nasution, Z., dkk, 2004. Riset Sosio Antropologi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan, Laporan Teknis. Bagian Proyek Riset Pengolahan Produk dan Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan. PRPPSE, BRKP.
Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Perikanan dan
Pedesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan
Departemen Perikanan. Bogor. 175p.
Taryoto, Andin. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses Industrialisasi
Perikanan. dalam I.W.Rusastra dkk (Eds.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan Perikanan. Hal. 7575-582. Pusat Penelitian Sosek Perikanan. Badan
Litbang Perikanan. Departemen Perikanan. Jakarta.
Wahyono, Ari., I.G.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih, dan Sudiyono. 2001.
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Penerbit Media Pressindo bekerjasama
dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation. Cetakan Pertama. Jakarta.
226 p.
Wiradi, Gunawan. 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi Perikanan.
dalam T. Sudaryanto dkk (Penyunting). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial
dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Perikanan. Hal.63-70. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan. Departemen
Perikanan. Jakarta.

BAB VII

MASYARAKAT MARITIM LOMBOK TIMUR


I. PENDAHULUAN
Propinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai panjang pantai 2.000 km, adalah merupakan
potensi besar yang dapat diandalkan oleh daerah ini sebagai sumber pendapatan yang dapat
diperbaharui. Sektor maritim di daerah Kabupaten Lotim terdiri dari perikanan laut dan perikanan
budidaya, yang didukung oleh RTP untuk perusahaan (41.183) buah, Perahu/Kapal (14.813) dan
luas perikanan budidayanya (11.137,ha) (Statistik Perikanan NTB, 2000). Sektor maritimnya
tersebar diberbagai Kabupaten, yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa,
Dompu, Bima dan Kodya Mataram. Untuk Kabupaten Lombok Timur, sektor maritimnya cukup
besar dan berkembang dengan baik. Kegiatan usaha di NTB untuk sektor penangkapan begitu
ragamnya sesuai dengan alat penangkapan yang juga begitu beragam sesuai dengan alat
penangkapnya, jumlahnya mencapai lebih dari 16 jenis. Disamping itu terdapat juga perikanan
budidaya rumput laut, mutiara, kerapu, lobster, teripang dan kerang-kerangan. Untuk melakukan
semua kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sumberdaya manusia, terutama nelayan yang berdiam
di desa-desa pantai, yang jumlahnya mencapai 21 desa/kelurahan. Penduduk yang mendiami
desa-desa tersebut mencapai 194.460 dari luas wilayah 578,61 km . Dilihat dari kepadatan
penduduk rata-rata per km2nya adalah 336 orang. Penduduk yang mengkhususkan pekerjaannya
sebagai nelayan ada sebanyak 16.597 jiwa.

Keadaan Umum Lombok Timur


Kabupaten Lombok Timur di lihat dari letak dan keadaan alamnya adalah sebagai berikut;
Lotim terletak pada 116o - 117o BT, 8o - 9o LS, dan batas wilayahnya pada sebelah Barat
Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, sebelah Timur pada Selat Alas, sebelah Utara
Laut jawa dan sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia. Adapun luas wilayahnya adalah
160.555 ha, yang dibagi untuk lahan sawah 45.336 ha, dan lahan kering 115.219 ha. Berdasarkan
tofografinya, daerah ini terletak di kaki gunung Rinjani, dengan dataran sedang dan tinggi, cocok
untuk persawahan, pantainya di kelilingi laut yang potensial dikembangkan pula, sehingga
banyak didiami penduduk. Iklim di Lotim tergolong beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin
dari Utara dan Selatan, serta perubahan tekanan udara pada garis khatulistiwa. Rata-rata hujannya
relatif tinggi, tetapi bervariasi yang terjadi antara bulan-bulan Nopember, Desember, Januari,
Pebruari, Maret dan April. Wilayah administrasi pemerintahan sejak era otonomi daerah, dari 10
Kecamatan telah dapat dikembangkan menjadi 20 buah dan rata-rata jumlah desa per-Kecamatan
sebanyak 4 - 7 desa. Untuk memimpin daerah ini perlu kualitas pendidikan yang memadai. Lotim
memiliki kepala desa yang berpendidikan setingkat SLTA sebanyak 75%, ditambah juga rata-rata
berpengalaman yang memadai. Program ditingkat legislatif, produk hukum yang dapat dihasilkan
berupa Peraturan Daerah, sampai dengan tahun 2001 telah mencapai 98 buah. Rinciannya adalah
terdiri dari; berupa Keputusan Dewan 19 buah, Perda 22 buah, dan Statemen/Pernyataan
berjumlah 57 buah. Jadi Lotim telah berupaya membuat kepastian hukum yang memayungi
masyarakatnya, dan diharapkan dapat memacu kemajuan dan kepastian program-program yang
akan dilaksanakan pada masa-masa yang akan datang.
Dari sisi kependudukan, Lotim termasuk mengalami pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi, dimana pada tahun 1971 baru ada 371 jiwa/km2 dan telah meningkat menjadi 452
jiwa/km2 di tahun 1980, selanjutnya di tahun 1990 telah mencapai 539 jiwa/km2 dan pada tahun
2000 menjadi 606 jiwa/km2, (BPS, 2001. Lombok Timur Dalam Angka). Konsekwensi logis dari
pertambahan yang pesat ini adalah timbulnya perubahan di sektor perikanan, berupa pengurangan
lahan untuk perumahan, termasuk kualitas lingkungan, seperti kelestarian hutan, eksploitasi
berlebihan terhadap sumberdaya air alam. Dari tinjauan sex ratio, Lotim memiliki tendensi
dependency ratio/angka beban tanggungan yang semakin mengecil dan famili size juga menurun,
yaitu dari 4,5 tahun 1980, dan 4,3 tahun 1990 dan 3,7 tahun 2000, penyebabnya adalah karena
angka kelahiran juga menurun, adanya mobilitas penduduk laki-laki lebih tingi dibanding
perempuan, sehingga proporsi penduduk usia produktif meningkat. Ketenaga kerjaan berdasarkan
hasil sensus penduduk (SP) tahun 2000 TPAK mencapai angka 75,85 (Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja) dengan basis perhitungan penduduk berusia 15 tahun keatas. Dari persentase
penduduk menurut jenis kegiatan, ada gambaran yang bekerja di sektor jasa-jasa 10,95%, industri
4,80%, perikanan 65,92% dan lain-lain 8,47%. Proporsi penyerapan tenaga kerja menggambarkan
struktur perekonomian dengan sharing pembentukan PDRB di tahun 2000 mencapai 41,26%.
Ditinjau dari kualitas partisipasi, ternyata, persentase penduduk yang bekerja menurut status
pekerjaan sebagai buruh karyawan 35,45%, pekerja keluarga 21,43%, berusaha sendiri 21,13%,
berusaha dibantu pekerja tidak tetap 20,18% dan berusaha dibantu buruh tetap sebanyak 1,13%.
Maka di lihat dari kualitas partisipasi yang direpresentasikan oleh status pekerjaan, kondisinya
dapat dikatakan belum memadai, karena 21,43% masih berstatus sebagai pekerja keluarga/pekerja
tak dibayar (pengangguran terselubung) dan sebagai buruh/karyawan 35%. Jadi tenaga kerja yang
benar-benar produktif masih terbatas.

III. GAMBARAN PEMBANGUNAN

1. Indikator Maritim Kabupaten Lotim


Indikator maritim menunjukkan tingkat kegiatan yang ada di sektor maritim berdasarkan
sumberdaya alamnya yang dimanfaatkan. Untuk sub-sektor perikanan tangkap, yang khususnya
di lakukan di perairan laut, dapat di lihat dari aspek jumlah kapal penangkap ikan, jumlah alat
tangkap dan produksi hasil tangkapan. Adapun untuk sub-sektor perikanan budidaya
dicerminkan oleh luas areal budidaya, potensi areal dan produksi, serta jumlah nelayan dan
penduduk desa/kelurahan pantai. Sektor maritim atau sumberdaya pesisir dan laut, lambat laun
akan menjadi tumpuan kegiatan ekonomi dimasa depan, dengan alasan, makin terbatasnya
sumberdaya spasial di daratan dan luasnya wilayah pantai dan laut, berikut kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Kabupaten Lotim yang wilayahnya sebagian besar berbatasan dengan
wilayah pesisir dan pantai, maka program kearah pengoptimalan usaha maritim serta eksploitasi
sumberdaya laut lainnya, menjadi sangat rasional bagi kesinambungan pertumbuhan peningkatan
skala ekonomi daerah, guna peningkatan kesejahteraan.

Tabel. 1. Indikator Maritim Kabupaten Lombok Timur, Tahun 1996 – 2001.


No Keterangan Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001
1. Jum Nelayan/Penduduk Desa
a. Jumlah Nelayan 16.005 16.097 16.195 16.490 16.597 16.798
b. Jumlah Penduduk 194.460 194.560 194.670 194.890 194.960 195.460
c. Luas (Km2) 578.61 578.61 578.61 578.61 578.61 578.61
d. Kepadatan 336 336 336 336 336 336
2. Maritim Laut
a. Kapal Penangkap
a.1. Jukung&Sampan 2.366 1.898 1.928 3.000 3.982 2.282
a.2. Perahu Motor 1.465 2.120 1.905 1.951 1.972 1.976
a.3. Kapal Motor 158 183 165 189 189 189
a.4. Jumlah 3.989 4.111 3.998 5.140 5.143 4.447
b. Alat Penangkap - - - -
b.1. Jala Oras 251 355 459 551 551 659
b.2. Jala Rompo 32 42 42 52 55 59
b.3. Jala Buang 0 0 0 0 0 0
b.4. Purse-seine 66 75 85 98 106 109
b.5. Jaring Insang Hanyut 105 225 235 242 251 275
b.6. Jaring Insang Tetap 468 567 568 668 678 692
b.7. Jaring lingkar apung 25 25 25 25 25 30
b.8. Jaring klitik 731 731 731 731 731 740
b.9. Bagan tancap 67 67 67 67 67 67
b.10. Bagan sampan 0 0 0 0 0 0
b.11. Pancing rawai 327 437 567 627 677 750
b.12. Pancing biasa 1.5 13 1.413 1.613 1.821 1.830 1.850
b.13. Pancing tonda 101 121 119 131 143 120
b.14. Sero/balot 0 0 0 0 0 0
b.15. Bubu 70 70 70 70 70 75
b.16. Lain-lain 75 75 75 75 75 79
c.Produksi Penangkapan
c.1. Laut (ton) 8.588 13.890 13.713 18.357 18.272 15.499
c.2. Perairan Umum (ton) 385 249 210 182 221 213
JUMLAH 8.974 14.139 13.924 18.540 18.540 15.712
3. Maritim Budidaya
a. Rumput Laut
a.1. Luas areal (Ha) 126 136 461 200 400 405
a.2. Produksi Basah (Ton) 7.612 8.331 5.737 7.579 7.769 7.865
Sumber; Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Lombok Timur Dalam Angka

2. Penduduk Desa Maritim


Kabupaten Lotim memiliki luas daerah pantai yang telah didiami oleh penduduk berupa
desa pantai mencapai 578,61 km2. Desa pantai ini tersebar di sepanjang wilayah pesisir dan
berhadapan langsung dengan laut kearah pantai dan ke daerah daratan. Dari hasil sensus
penduduk pada tahun 2000, jumlah penduduk yang berdiam di desa pantai mencapai 194.460
jiwa, dimana sumber penghidupan utamanya sangat besar dipengaruhi oleh hasil perairan yang
ada disekitarnya. Di lihat dari tenaga kerja yang mengkhususkan pekerjaan utamanya sebagai
nelayan ada sebanyak 16.597 (BPS, 2001. Lombok Timur Dalam Angka). Jadi nelayan yang
dimaksudkan disini adalah masyarakat maritim dimana mereka menggunakan berbagai peralatan
produksi yang sesuai dengan lingkungan pekerjaannya di perairan. Menarik untuk diamati,
jumlah penduduk yang berdiam di pantai menggantungkan penghidupannya dari kegiatan
berbagai bidang usaha kegiatan maritim yang menghasilkan produksi dari laut. Hasil produksi
dari laut tersebut yaitu mulai dari hasil tangkapan ikan dan biota laut lainnya, termasuk juga
kegiatan usaha produk lanjutannya dan jasa. Dari kegiatan usaha masyarakat maritim mempunyai
peran besar terhadap pemenuhan kebutuhan sebagian kehidupan manusia. Masyarakat maritim
berdasarkan perbandingan prosentase terhadap jumlah penduduk lainnya masih relatif kecil yaitu
8,54% saja, tetapi mereka tidak dapat diabaikan dan digantikan dengan masyarakat lainnya.
Dalam kenyataan social masyarakat maritim ini masih sering dikategorikan bukan bagian
integral dari desa, sehingga masyarkat maritim masih sering di pandang bukan inti dari
pembentuk masyarakat desa pantai. Dari paradigma pencitraan yang ada, kadangkala telah
menciptakan berbagai fenomena kerancuan dalam pembuatan program pembangunan. Tujuan
program untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan masyarakat maritim yang berdiam di desa
pantai kadangkala tidak mencapai sasaran. Untuk Lotim, maka perlu pencitraan menekankan
pada program yang menitik beratkan pada orientasi bahwa nelayan adalah masyarkat maritim
tersendiri yang dicirikan oleh karakteristik sosiologis, ekonomi, teknologi dan adat kebiasaan
hidup yang dimilikinya tersendiri. Dengan pemahaman inilah maka program pemberdayaan
mereka akan sesuai dengan sumber penghidupannya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh
ekologi perairan. Jadi pengakuan terhadap karakteristik masyarakat maritim yang utuh, maka
penduduk yang berdiam di desa pantai adalah inti penggerak dan pembinaan yang akan di
lakukan oleh siapapun menjadi tetap berada di pusatnya masyarakat maritim.

3. Kebijakan Fiskal Maritim


Pemerintah daerah Kabupaten Lotim, dalam hal pembuatan kebijakan telah membuat
rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Tentang retribusi Izin Usaha Perikanan
tahun 2001 (Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor……Tahun 2001
Tentang Retribusi izin Usaha Perikanan). Rancangan perda tersebut telah diserahkan kepada
DPRD untuk dibahas dan disahkan sebagai perda yang dapat diberlakukan di daerah. Pendekatan
fiskal berupa retribusi yang dikenakan kepada usaha maritim yang di lakukan oleh perorangan
dan badan hukum. Karena itu objek fiskalnya berupa komoditi hasil perikanan yang dikenakan
retribusi atas jasa-jasa TPI dan retribusi Izin Usaha perikanan. Usaha perikanan untuk budidaya
dan tarif retribusi usahanya didasarkan pada tingkatan usaha tradisional, semi intensif dan intensif
atas dasar luasan (Ha atau Are). Usaha maritim untuk usaha kegiatan penangkapan adalah atas
dasar besar armada, daya mesin dan alat tangkap yang digunakan. Untuk usaha pengolahan atau
pemasaran, pengenaan tarifnya atas dasar besar investasi. Kemudian untuk Pengiriman Hasil
Perikanan dan Surat Pemeriksaan Ikan Olahan/Hidup didasarkan pada tariff sampel dan jam
pemeriksaan. Memperhatikan cakupan objek fiskal yang akan dikenakan pada sektor maritim,
tampak begitu jelas ragamnya, yaitu jenis retribusi yang akan dilaksanakan, dan apabila kondisi
ekonomi tumbuh dengan baik, dan pelaksanaan retribusi dapat efektif dijalankan, maka
sumbangan PAD dari sektor maritim untuk pembangunan daerah akan mempunyai arti yang
sangat besar.
Dari diskusi dengan masyarakat maritim, tersirat optimisme bahwa, terkait dengan sektor
maritim, ada beberapa harapan yang dapat disumbangkan oleh sektor maritim, hasil dari
pemberdayaan sektor maritim, baik melalui penangkapan, budidaya maupun pengolahan terhadap
kontribusinya dalam mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat. Melihat kenyataan yang
ada, akibat dari dihapuskannya retribusi pelelangan ikan di tahun 1997, dan sejak itu tidak ada
pungutan retribusi resmi dari pemerintah, ternyata memperlemah pembinaan yang dapat di
lakukan oleh instansi terkait, seperti Dinas Perikanan dan Kelautan. Oleh karena itu, kondisi fisik
dan manajemen di tempat-tempat pelelangan tampak kurang terurus, dan dana pungutan hasil
maritim kurang jelas, serta tidak dapat dipertanggung jawabkan. Rancangan perda yang sedang
diusulkan adalah jalan keluar terbaik setelah otonomi daerah diberlakukan, karena akan ada
payung hukum yang jelas untuk melaksanakan kebijkan fiskal melalui retribusi di sektor
maritim. Hasil dari retribusi jelas akan memberikan dampak positip bagi pembangunan sektor
maritim, apabila didukung oleh semua pihak. Untuk mampu meningkatkan daya dukung tersebut,
melalui partisipasi aktif dari masyarakat pengguna sektor maritim, maka perlu ada perbaikan dan
peningkatan pelayanan, dan penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakaat, khususnya
masyarakat maritim.

4. Pertumbuhan Ekonomi
Untuk melihat pertumbuhan ekonomi, dapat didekati dengan informasi statistik yang
bersifat lintas sektoral, khususnya di bidang ekonomi. Statistik Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), adalah alat yang banyak dipakai untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan,
sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan, perumusan kebijakan, sekaligus bahan
evaluasi pembangunan diberbagai sektor di tingkat regional. PDRB adalah salah satu indikator
makro yang dapat menunjukkan kondisi perekonomian ditingkat regional setiap tahunnya. Dari
sebab itu, PDRB akan dapat membantu mengetahui tentang; 1). Kemampuan sumberdaya
ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah 2). Struktur perekonomian dan peranan sektor
ekonomi dalam suatu daerah 3). Tingkat laju perekonomian secara keseluruhan atau setiap sektor
dari tahun ke tahun 4). Tingkat kemakmuran suatu daerah 5). Perkembangan harga komoditi
secara keseluruhan. Pengukuran tingkat pertumbuhan ekonomi Lotim menggunakan PDRB atas
harga dasar konstan. Alasan pemilihan harga konstan karena pertumbuhan ekonomi semata-mata
hanya dicerminkan oleh pertumbuhan riil barang dan jasa yang dihasilkan pada periode tertntu,
tanpa dipengaruhi oleh perubahan harga. Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh PDRBnya
dari periode tahun 1997 – 2000, pencapaian tertinggi adalah 5,52%, yaitu dicapai pada tahun
1997, kemudian akibat krisis ekonomi, turun drastis menjadi angka minus -2,81% pada tahun
1998. Kemudian pada dua tahun terakhir, yakni tahun 1999 dan 2000 telah mulai membaik,
dengan pertumbuhan positip yaitu sebesar 2,33% menjadi 2,44% (Tabel, 2).
Dari masing-masing sektor, dapat diketahui bahwa kontribusi terbesar berasal dari
perikanan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 1,45%, selama kurun waktu tahun 1997 –2000.
Pertumbuhan yang rendah ini masih lebih baik dibandingkan dengan sub sektor tanaman pangan
yang tumbuh – 0,57% saja, sedangkan sektor lainnya, yaitu perkebunan, peternakan, kehutanan
dan maritim mencapai pertumbuhan rata-rata positip, namun karena kontribusinya tidak terlalu
dominan, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap pertumbuhan rata-rata sub sektor.
Sub sektor yang mempunyai peranan cukup besar dengan pertumbuhan diatas rata-rata adalah
sektor perdagangan, hotel dan restoran, sedangkan yang lainnya seperti jasa-jasa masih berada
dibawah rata-rata yaitu 1,41%.

Tabel. 2. Laju Pertumbuhan Persentase PDRB Kabupaten Lotim Menurut Lapangan


Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993. Tahun 1997 – 2000.
No. Lapangan Usaha 1997 1998 1999 2000 Rata-
Rata
1 Perikanan 3,03 - 1,54 3,00 1,30 1,45
2 Pertabangan dan Penggalian 7,04 - 16,72 4,99 4,53 - 0,04
3 Industri Pengolahan 9,12 - 4,14 5,91 5,97 2,22
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 11,67 - 0,22 14,71 6,00 8,04
5 Bangunan 9,24 - 14,71 3,14 5,62 0,82
6 Perdagangan Hotel dan Restoran 8,82 - 3,40 1,84 4,25 2,88
7 Pengngkutan dan Komunikasi 9,32 -, 3,42 4,16 4,44 5,34
8 Bank, Usaha Persewaan &Jasa Perusahaan 11,21 - 6,99 - 15,71 2,69 - 2,20
9 Jasa-Jasa 3,42 - 1,71 0,58 - 0,07 1,41
PDRB 5,52 - 2,81 2,33 2,44 1,87
Sumber: PDRB Kab. Lotim Tahun 2000.

6. Pertumbuhan Ekonomi Maritim


Ekonomi maritim dimaksudkan adalah kontribusi sektor maritim yang dapat disumbangkan
terhadap pertumbuhan regional ekonomi daerah. Dari sektor maritim, ingin diketahui besaran
peranannya terhadap sumbangan pertumbuhan, khususnya di sektor maritim. Untuk mengetahui
besaran pertumbuhan, maka di lakukan perbandingan antar sub sektor dalam kelompok usaha
perikanan atas dasar distribusi persentase dan laju pertumbuhan PDRB. Dari distribusi persentase,
terlihat perkembangan rata-rata antar sub sektor dalam empat (4) tahun terakhir adalah 38,88
persen, dan sektor maritim hanya menyumbang sebesar 2,82% saja. Untuk sektor maritim yang
diwakili oleh sub sector perikanan, ditinjau dari perkembangan antar tahun, ternyata tidak terlalu
berfluktuasi, walaupun ada kecenderungan menurun, hal ini menunjukkan bahwa sektor maritim
pertumbuhan ekonominya cenderung stagnan, artinya tidak banyak mengalami perubahan.
Ditinjau dari laju pertumbuhan, dari PDRB tahunan 1977 – 2000, (BPS, 2001, Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) ternyata memperlihatkan fluktuasi yang cukup tajam. Pada tahun 1998
telah terjadi penurunan yang sangat tajam angkanya menjadi 1,54, naik lagi di tahun 1999
menjadi 3,00 dan turun lagi pada tahun 2000 yaitu 1,30. Dari gambaran fluktusi ini menandakan
pertumbuhan sektor ekonomi dari sub sektor perikanan masih sangat labil, hanya sub sektor
perkebunan yang cukup kuat, diikuti kehutanan dan peternakan, sedangkan maritim relatif
rendah 0,92. Sektor maritim, laju pertumbuhannya sangat fluktuatif. Pada tahun 1997 mencapai
pertumbuhan tertinggi 5,4% dan pada tahun 1998 turun sangat tajam menjadi pada angka -4,94.
Hal ini disebabkan oleh resisi ekonomi, dimana banyak investor yang menarik kegiatannya dari
NTB, termasuk di Lotim, sehingga sektor maritim ikut juga terganggu. Pemulihan pertumbuhan,
mulai terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,16 masih cukup rendah, dan di tahun 2000 terjadi
penurunan kembali 1,01. Adapun rata-rata pertumbuhan pada empat tahun terakhir, yaitu hanya
0,92% (Tabel 3), jadi kontribusi sektor maritim terhadap laju pertumbuhan regional masih kecil
sekali. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan pada sektor maritim, tampak jelas membutuhkan
usaha yang ekstra besar, mengingat sederhananya laju yang dimiliki oleh sub sektor ini.

Tabel. 3. Distribusi Persentase Dan Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lotim Atas
Dasar Harga Konstan 1993 Sektor Usaha Perikanan, Peternakan, Kehutanan dan
Maritim Tahun 1997 – 2000.
No. Keterangan Pertanian Peternakan Perkebunan Kehutanan Perikanan PDRB
I Distribusi Prsentase
1997 20,43 4,36 6,29 0,02 2,87 39,72
1998 25,73 4,46 7,47 0,02 2,81 40,49
1999 26,07 4,30 7,56 0,02 2,81 40,76
2000 24,73 4,41 8,38 0,02 2,77 40,30
PDRB 24,24 4,38 7,42 0,02 2,82 38,88
II Laju Prtmbhan
1997 2,77 3,63 2,58 12,36 5,44 3,03
1998 - 5,38 - 0,58 15,47 1,48 - 4,94 - 1,54
1999 3,65 - 1,21 3,58 1,25 2,16 3,00
2000 - 2,73 5,04 13,53 - 1,03 1,04 1,30
PDRB - 0,43 1,72 8,79 3,52 0,92 2,20
Sumber: PDRB Kab. Lotim Tahun 1997 – 2000.

IV. PENGUSAHAAN MARITIM

A. Perikanan Penangkapan
Pengusahaan maritim di lapangan yang dimaksudkan adalah kegiatan riil yang
dilaksanakan oleh pelaku usaha sektor maritim, khususnya di kegiatan perikanan penangkapan.
Berdasarkan (Tabel 1), misalnya dilihat dari tipe armada, skala usaha, produksi dari sub-sektor
penangkapan dan sub-sektor budidaya masih tergolong tradisonal. Ciri-ciri tradisionalnya dapat
diketahui dari; kapasitas perahu, peralatan teknologi yang digunakan, jarak tempat lokasi
penangkapan, yang kesemuanya menunjukkan pada skala kecil dan menengah. Dengan kondisi
sarana dan prasarana yang tersedia yang dimiliki oleh masyarakat maritim, maka upaya yang
mampu di lakukan terhadap sumberdaya laut dan air tawar (budidaya) masih terbatas. Jadi
manfaat yang dapat di lakukan baru sebatas upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
saja, belum sampai pada ekspansi usaha secara besar-besaran. Dengan luas wilayah 160.555 Ha
yang dibatasi oleh Selat Alas, Laut Jawa dan Samudera Indonesia menunjukkan Kabupaten Lotim
hampir di kelilingi oleh perairan air laut. Pantai yang mengelilingi Lotim mempunyai ciri-ciri
tidak rata, tetapi banyak yang berbentuk teluk dan tanjung yang berarti memiliki karakteristik
ekologi pantai yang berbeda-beda. Dengan banyaknya teluk dan pantai yang landai akan
memberikan banyak peluang bagi pemanfaatannya dan bentuk pemanfaatannya dapat berupa
kegiatan usaha penangkapn atau kegiatan usaha budidaya laut. Di daerah Lotim, bidang usaha
yang kegiatannya berbasis penangkapan dan budidaya laut yang telah banyak di lakukan oleh
masyarakatnya, karena penduduk yang berdiam di desa pantai menjadikan laut sebagai tempat
mencari penghidupannya.

1. Armada Penangkapan
Kegiatan usaha maritim melalui penangkapan ikan dan pengambilan biota laut lainnya,
adalah kegiatan usaha yang teknologi pendukung dan manajemennya berdasarkan perburuan.
Produk yang dihasilkan melalui perburuan tersebut berupa berbagai jenis ikan, atau biota laut
lainnya seperti teripang, kerang mutiara, kerang yola. Untuk jenis-jenis ikan dan biota laut
tertentu pengambilannya dilakukan dengan cara penyelaman, komoditi yang didapatkan
umumnya bernilai ekonomi yang lebih baik. Untuk kegiatan usaha maritim melalui penangkapan
ikan, sarana pendukung utama yang diperlukan adalah perahu atau kapal dan alat penangkap.
Perahu dan Kapal perkembangannya berfluktuatif, dapat dilihat sejak dari tahun 1996, baik yang
bermotor atau tidak, dapat tergambarkan yaitu dari 3.989 unit telah mengalami peningkatan
menjadi 4.111 unit di tahun 1997, kemudian terjadi penurunan lagi pada tahun 1998 yaitu
menjadi 3.998 unit, lantas naik lagi hingga 5.140 unit di tahun 1999 dan tahun 2000 adalah 5.133
unit, yang berarti di tahun 2000 ternyata mengalami penurunan kembali. Fluktuasi ini
mencerminkan betapa dinamisnya perkembangan usaha ekonomi penangkapan antar waktu yang
terjadi di Lotim. Sebagai catatan, peristiwa krisis moneter juga ikut mempengaruhi kegiatan
usaha penangkapan ikan di laut, hal ini tercermin juga di armada penangkapan kapal motor yang
menggunakan bahan bakar solar dimana faktor biaya operasi yang mahal membuat sebagian
nelayan cenderung menggunakan kembali perahu tanpa motor.
Armada penangkapan meningkat kembali pada tahun 1999, ini karena harga komoditi dari
kegiatan usaha maritim tetap baik, yaitu kurs dolar US ikut meningkat, sehingga kembali usaha
maritim tangkap menjadi tumpuan usaha banyak orang, yang berlanjut hingga tahun-tahun
berikutnya. Kegiatan usaha maritim masih didominasi oleh penangkapan menggunakan perahu
jukung dan sampan. Dilihat dari persentasenya armada tersebut mencapai 77,42 persennya dari
total armada, dan persentase ini dari tahun ke tahun belum banyak mengalami perubahan. Maka
dapat dikatakan usaha penangkapan masih tradisional, skala kecil, lama operasi harian, fishing
ground dibawah 4 mil laut, biaya operasi sederhana dan jumlah tenaga kisarannya antara 2 - 3
orang deagan volume hasil tangkapan yang masih terbatas. Armada yang telah lebih maju hanya
22,68% saja, itupun berupa perahu motor masih lebih banyak dibandingkan kapal motor. Jelas
terlihat daya kemampuan pengeksploitasian sumberdaya laut melalui kegiatan usaha
penangkapan yang mampu di lakukan masyarakat maritim Lotim masih sangat terbatas.

2. Alat Penangkapan di Laut


Alat tangkap yang dipakai oleh masyarakat maritim lebih dari 16 jenis, ini menunjukkan
bahwa masyarakat sangat mengenal lingkungn ekologi laut daerahnya, sehingga untuk dapat
menangkap ikan sesuai dengan ekologinya dibuatkan alat tangkap yang berbeda-beda. Di lihat
dari jumlah kepemilikan, alat-alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah; jala oras 451
unit, jaring insang 873 unit, pancing rawai 727 unit, pancing biasa 1.813 unit dan pancing tonda
111 unit dan jaring klitik 731 unit. Adapun alat tangkap yang juga tergolong banyak, tetapi tidak
dominan adalah purse-seine 96 unit, bagan tancap 67 unit dan bubu 70 unit. Kalau
dikelompokkan lagi, maka alat tangkap yang dipakai umumnya bersifat pasip dan semi aktip.
Dengan sifat alat tangkap yang biasanya di lakukan masyarakat maritim ini, jelaslah tidak bersifat
destruktip atau merusak lingkungan dan pada jangka panjang tidak akan merusak lingkungan.
Kebijakan pengembangan armada penangkapan guna meningkatkan eksploitasi penangkapan
dengan tetap mempertahankan alat tangkap yang telah biasa dioperasikan di daerah ini, maka
sumberdaya maritim tidak akan mengalami tekanan lingkungan yang terlalu berat. Sumberdaya
alam akan mampu memulihkan dirinya lagi, dan kelestarian tetap terkendali dan terjaga dengan
baik, sementara manfaat ekonomi dapat terus dinikmati oleh daerah dan masyarakat maritim.
Pemerintah, sebagai pemegang kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan ekonomi sumberdaya
alam daerahnya, khususnya maritim, pada setiap pembuatan kebijakan dan
pengimplementasiannya berupa program-program kerja, haruslah bersifaat rasional dan
terintegrasi dengan berbagai sektor lainnya yang terkait, dengan menempatkan masyarakat
maritim sebagai pelaku dan berfungsi sebagai partnership pemerintah dalam melaksanakan
pengawasannya.

3. Investasi di Maritim
Untuk dapat melakukan kegiatan usaha di daerah maritim Kabupaten Lombok Timur, saat
ini pemerintah sangat mendorongnya, sehingga peraturan yang dibuat mengarah kepada
memberikan kemudahan berusaha bagi seseorang atau badan hukum yang ingin melakukan
penangkapan ikan di laut. Adapun persyaratan umum yang perlu dimiliki agar praktek usaha
penangkapan ikan di laut dapat dilakukan adalah: a).Biaya pembuatan perahu/kapal. b).Biaya
perlatan penangkapan. c). Membayar biaya izin usaha penangkapan. dan d). Membayar biaya
pelelangan hasil penangkapan.
Dari uraian (Tabel 4), agar dapat melakukan aktivitas penangkapan harus ada pembiayaan
investasi atau biaya tetap dan biaya variabel (tidak tetap). Jadi usaha ini sangat tergantung pada
kedua jenis pembiayaan tersebut sebelum kegiatan dapat dilangsungkan. Pengusahaan
penangkapan ikan di Lombok Timur di lakukan oleh nelayan yang mempunyai armada
penangkapan ukuran kecil, sedang dan menengah. Gambaran tentang armada tersebut seperti
tertera di dalam Tabel yang mencerminkan besarnya investasi yang dibutuhkan oleh setiap usaha
kegiatan penangkapan ikan. Ada tiga tipe armada penangkapan yang ada di Lotim, yaitu jenis
perahu jukung, perahu motor dan kapal motor. Adapun biaya investasi yang dibutuhkan dari
setiap jenis besarannya berbeda. Untuk usaha penangkapan yang menggunakan armada perahu
jukung, kebutuhan dana investasinya sampai dapat beroperasi minimal satu kali, adalah Rp.
2.790.000,- dan Rp. 75.000,- adalah biaya untuk sekali pergi menangkap ikan. Jadi total dana
yang dibutuhkan untuk dapat berusaha di sektor penangkapan dengan armada jukung adalah Rp.
2.865.000,.

Tabel 4. Biaya investasi dan operasi kegiatan penangkapan


Armada Penangkapan Investasi
Jukung Perahu Motor Kapal Motor
(Rp.) (Rp.) (Rp.)
A. Investasi
1. Kasko 1.500.000 3.000.000 14.000.000
2. Mesin 0 2.400.000 70.000.000
3. Jaring 1.250.000 2.750.000 40.000.000
4. Perizinan 25.000 75.000 250.000
5. Modal operasi 15.000 500.000 1.500.000
6. Lain-lain 0 500.000 5.000.000
Total 2.790.000 9.225.000 130.750.000
B. Biaya operasi/trip
1. Es dan garam 50.000 60.000 325.000
2. Ransum 25.000 100.000 500.000
3. Oli, Solar, M. tanah 0 142.500 630.000
4. Cadangan 0 25.000 250.000

Total 75.000 3.275.000 1.705.000

Total Kebutuhan Biaya 2.865.000 12.500.000 132.455.000


Sumber: Data Lapangan yang diolah, 2002.

Adapun jenis perahu motor, biaya investasinya Rp. 9.225.000,- dan biaya operasionalnya
Rp. 3.275.000,- maka total dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 12.500.000,- Kemudian
usaha kapal motor dana yang harus ada dan disiapkan adalah untuk biaya investasi Rp.
130.750.000,- dan biaya operasional sebesar Rp. 1.705.000,-. Dengan demikian total dana yang
diperlukan agar dapat melakukan penangkapan sebesar Rp. 132.455.000,-(Tabel. 4).
Memperhatikan kebutuhan dasar dana yang harus ada bagi setiap orang yang ingin berusaha pada
sektor penangkapan, jelas besar dana tersebut sangat terkait dengan besarnya armada yang akan
digunakan. Di Lombok Timur, armada yang menggunakan perahu jukung jumlahnya 51,31%
atau lebih dari separuhnya masyarakat maritim masih mempunyai daya yang rendah untuk dapat
meningkatkan kemampuan usaha penangkapannya ke arah yang lebih berdaya tangkap tinggi.
Dengan kondisi ini dimana hanya 4,25% saja yang mampu menggunakan armada penangkapan
dengan ukuran besar, berarti kesempatan berusaha masih terbuka lebar, hanya saja peran
pemerintah harus mampu memfasilitasinya dengan program-program yang lebih memihak pada
sektor maritim.

4. Produksi Penangkapan di Laut


Ikan hasil tangkapan yang dapat didaratkan oleh nelayan sejak dari tahun 1996 sampai
dengan tahun 2001, cenderung berfluktuasi. Kegiatan sektor maritim, gambarn umumnya dapat
di lihat dari statistik produksi selama 5 (lima) tahun terakhir, dimana hasil penangkapan tampak
menurun pada tahun 2001 sekitar 15,17% dibandingkan tahun 2000. Penurunan hasil tangkapan
yang terjadi, perlu dicermati secara holistik, karena aktivitas usaha penangkapan ikan, disamping
dipengaruhi oleh faktor alam, juga ada faktor eksternal yang secara tidak langsung ikut
berpengaruh, seperti harga ikan, input produksi yang meningkat solar, mesin dan juga faktor
keamanan. Adapun jenis-jenis ikan yang dihasilkan dari penangkapan, ada lebih dari 19 jenis,
sedangkan jenis-jenis ikan yang tertangkap pertahunnya lebih dari 100 ton ada sebanyak 18 jenis.
Untuk jenis ikan yang bernilai ekonomi, baik di pasar lokal dan internasional dapat disebutkan,
antara lain Kerapu, Kakap, Tuna dan Cakalang, tetapi produktivitasnya masih tergolong rendah.
Bagi kegiatan penangkapan oleh nelayan, jenis-jenis ikan ini menjadi target penangkapan,
khususnya Kerapu dan Kakap, karena harganya di pasar cukup tinggi. Ikan ini dapat dijual dalam
bentuk hidup, atau telah di pelet, yang laku keras di pasar-pasar ekspor dengan tujuan Hongkong
atau Jepang. Mencermati perubahan yang terjadi pada hasil tangkapan ikan, yang secara
fenomena senantiasa berubah-ubah sepanjang waktu, keadaan tersebut perlu dijadikan bahan
masukan pada setiap pembuatan kebijakan dan program operasional yang ditujukan kepada
masyarakat nelayan. Tujuan kecermatan dilakukan adalah agar disaat tingkat produksi mengalami
paceklik, ada program bamper (penyanggah) yang memfasilitasi usaha masyarakat desa pantai,
dengan demikian diharapkan kegiatan ekonominya tetap bisa tumbuh dan berkembang, dan
masyarakat nelayan tidak terpuruk pada kondisi tergadai secara ekonomi pada kelompok tertentu,
baik secara sosial ataupun secara ekonomi.

B. Perikanan Budidaya Laut


Perikanan budidaya yang berkembang di Lotim lebih diarahkan pada budidaya di laut
(mary culture), yaitu berupa budidaya rumput laut, mutiara, ikan kerapu, udang lobster dan
teripang serta kekerangan. Usaha pembudidayaan yang telah di lakukan baru sebatas pada
budidaya rumput laut yang berlokasi di teluk Ekas, teluk Serewe, teluk Sembung, Batu Nampor
dan Batu Dagong, begitu juga sesuai untuk pembudidayaan ikan kerapu dan lobster, sedangkan
daerah yang lainnya masih dalam bentuk potensi wilayah.

1. Budidaya Laut
Budidaya laut meliputi pembudidayaan ikan, lobster, kekerangan dan teripang. Budidaya
komoditi ini akan mempunyai prospek pasar yang baik, karena komoditinya bernilai ekonomi
tinggi di pasaran lokal dan internasional. Budidaya mutiara yang berpusat di teluk Ekas, telah
menunjukkan aktivitas kearah perkembangannya. Pengusahaan pembudidayaan ada yang di
lakukan oleh pengusaha yang mespesialisasikan pada budidaya mutiara dan ada juga yang di
lakukan oleh masyarakat melalui kelompok usaha yang dibina oleh instansi pemerintah (PEMP-
DKP). Potensi wilayah yang tersedia, ada seluas 2.295 Ha, dan yang dimanfaatkan baru seluas
735 Ha. Produksi hasil budidaya di dalam statistik maritim daerah belum tertera, tetapi menurut
aparat Dinas Perikanan dan Kelautan Lotim, telah mulai mampu berproduksi. Produksi yang
dihasilkan belum optimal, karena bidang usaha ini di Lotim sedang dikembangkan. Budidaya
lobster, secara parsial telah banyak di lakukan masyarakat, produksi yang dihasilkan masih
tergolong rendah, seperti pada tahun 2001 baru mencapai 0,72 ton, padahal lahan budidaya yang
dimiliki potensinya ada 522 Ha. Pasar lobster tidak hanya disekitar Lombok, tetapi telah meluas
ke Bali dan bahkan sebagian di ekspor, maka jelas budidaya lobster adalah bidang usaha yang
cukup menjanjikan. Pembudidayaan yang di lakukan baru sebatas pembesaran dan bibitnya
kebanyakan bersumber dari alam. Budidaya teripang dan kekerangan belum di lakukan, tetapi
potensi lahan perairan untuk budidaya cukup luas, yaitu masing-masing 692 Ha dan 152 Ha.
Kondisi lingkungan menurut masyarakat maritim adalah daerah yang sangat layak untuk usaha
pembudidayaan laut tersebut.

2. Perikanan Budidaya
Perikanan budidaya di Lombok Timur berdasarkan data statistik belum tercatat,
pencatatannya baru dilakukan sehingga penggambaran budidaya di laut kurang jelas, padahal
masyarakat maritim sejak lama telah mempraktekkan budidaya maritim. Di beberapa daerah,
seperti di Teluk Ekas, Batu Nampar, dan Batu Dagong, telah ada kegiatan pembudidayaan di
lakukan, yaitu berupa pembesaran lobster, pembesaran kerapu, termasuk rumput laut, tetapi
skalanya masih kecil-kecil. Budidaya yang sedang digalakkan saat ini adalah budidaya kerang
Mutiara, pembudidayaannya lebih banyak di lakukan oleh pengusaha yang sebelumnya telah
pernah melakukan pembudidayaan kerang mutiara di tempat-tempat lain, tetapi hasilnya belum
banyak. Kegiatan budidaya rumput laut yang telah berproduksi ada di teluk Ekas, teluk Serewe,
Sembung, batu Nampor dan batu Dagong, dimana perairan lautnya sesuai untuk budidaya ini,
daerah lainnyapun sebenarnya cukup baik juga. Perkembangan budidaya telah ada sejak tahun
1996, dimana arealnya pada saat itu baru 126 Ha, dan setiap tahun selalu beertambah dan pada
tahun 2001 telah mencapai 405 Ha. Di lihat dari produksinya, budidaya ini baru mencapai antara
7-8 ribu ton basah. Pada tahun 2001 pembudidaya rumput laut menambah usahanya ke sector
kgiatan usaha lainnya yaitu ikan kerapu, sehingga mengalami perbaikan produksi. Budidaya
kerapu dimasa datang dengan menggandengan budidaya rumput laut dapat menjadi saling
melengkapi usaha pembudidayaan laut, sebab akan memberikan prospek yang lebih baik.

Tabel 5. Biaya investasi Budidaya Rumput Laut, 2002.


No. Keterangan Luasan (m)
3X3m 4X4m
I Investasi (Rp) (Rp)
1. Bambu 50.000 75.000
2. Tali 75.000 100.000
3. Tenaga Kerja 100.000 150.000
4. Perahu Kecil 250.000 250.000
TOTAL BIAYA 475.000 575.0000
II Biaya Operasi
1. Bibit 75.000 100.000
2. Penanaman 25.000 25.000
3. Pemeliharaan 4.000 4.000
4. Pemanenan 2.500 2.500
5. Pengeringan 1.500 1.750
TOTAL BIAYA 112.000 133.250
TOTAL KEBUTUHAN BIAYA 587.000 708.250
Sumber: Data lapangan yang diolah, 2002.

Pengusahaan pembudidayaan rumput laut membutuhkan biaya investasi untuk setiap petak
bambunya adalah antara Rp. 475.000,- - Rp. 575.000,- (Tabel. 5), jadi kegiatan usaha budidaya
baru dapat di lakukan apabila tersedia dana untuk membuat sarana budidayanya. Dalam
pengoperasian selanjutnya, dibutuhkan juga biaya operasional, kebutuhan biaya operasional
untuk setiap kali penanaman bibit sampai dengan pemanenannya kisarannya adalah Rp. 112.000,-
- Rp. 133.250,- jadi apabila ingin melakukan usaha pembudidayaan rumput laut, minimal tersedia
dana untuk pembuatan sarana dan modal kerja adalah sebesar Rp. 587.000,- - Rp. 708.250,-
Pengusahaan rumput laut menurut informasi dari pelaku usaha budidaya, tingkat keberhasilannya
sangat tergantung pada kesuburan lokasi, musim dan harga dari rumput laut itu sendiri. Maka
jelas pengusahaan rumput laut di tingkat lokal sangat ditentukan oleh pembeli dan harga
ekspornya. Tapi pada jangka panjang, usaha pembudidayaan ini masih dapat menguntungkan
pembudidaya.

4. Pengolahan Hasil
Kegiatan usaha di sector maritim menghasilkan produksi sebagai bahan baku industri atau
untuk langsung di konsumsi, bahan baku industri yang bersumber dari hasil maritim dapat berasal
dari Kegiatan usaha penangkapan ikan atau pengambilan biota laut lainnya atau pembudidayaan.
Kabupaten Lombok Timur sebagai daerah yang mempunyai perairan, juga menghasilkan
berbagai produk maritim. Produk maritim yang telah mengalami proses pengolahan antara lain;
minyak ikan, pengasinan, pemindangan, ikan segar dan mutiara. Dalam statistik perikanan, usaha
industri pengolahan ini belum dianggap cukup signifikan di dalam kegiatan ekonomi masyarakat
maritim yang mengkhususkan kegiatan pada bidang usaha pengolahan atau sebagai mata
pencaharian dari usaha industri pengolahan yang berasal dari maritim. Jadi industri pengolahan
belum berkembang dengan baik sebagai bidang usaha, tetapi teknologi pengolahan, bagi
masyarakat maritim telah mengetahuinya dengan baik. Sehingga ada yang telah
mengusahakannya, walaupun masih pada bentuk skala kecil dan sederhana.

Tabel. 6. Pengolahan Produk Pindang Cumi-Cumi, Kabupaten Lombok Timur,


Tahun 2002.
No. Keterangan Pindang Cumi
dengan Sewa/100 Kg
I Investasi
1. Modal Usaha 2.500.000
2. Izin Tempat 125.000
3. Peralatan Pemindangan 250.000
4. Lain-lain 100.000
Total Biaya Investasi 2.975.000
II Biaya Operasi
1. Cumi-Cumi 1.650.000
2. G a r am 3.750
3. Minyak Tanah 13.500
4. Tenaga Kerja 22.500
5. B a s k o m 12.500
6. Daun Pisang 12.500
Total Biaya 1.714.750
Total Kebutuhan Biaya 4.689.750
Catatan : 100 kg menjadi 5 lubang a 20 kg
Sumber; Data lapangan yang diolah, 2002.

Dapat dicontohkan, pengolahan pindang dan cumi-cumi, masyarakat maritim di sekitar


Tanjung Luar, mereka telah ada yang berusaha di sektor industri pengolahan ini yang
menjadikannya sebagai kegiatan usaha. Untuk dapat berusaha, kebutuhan dana yang diperlukan
agar bisa memulai usaha industri pengolahan pada skala usaha rumah tangga, masyarakat maritim
harus memiliki modal minimal. Modal ini diperuntukkan sebagai biaya investasi dan operasional.
Untuk mengolah produk pindang cumi-cumi per 100 kg atau dengan pemasakan 5 lubang tungku
sekaligus dibutuhkan modal dasar untuk biaya investasi sarana Rp. 2.975.000,- ditambah biaya
operasi pengolahan Rp. 1.714.750,- maka kebutuhan dana bagi yang melakukan usaha
pemindangan cumi-cumi adalah sebesar Rp. 4.689.750,-(Tabel. 6). Biaya ini dapat menjadi
bahan informasi bagi pengusaha yang baru, mereka akan mengalami banyak kesulitan apabila
tidak hati-hati, kesulitan itu muncul mengingat kemungkinan ketidakpastian penjualan
produknya. Untuk menghindari kesulitan maka dianjurkan bagi pemula perlu ada penjenjangan
skala usaha yang harus di lakukan terlebih dulu, sehingga dapat menghindari terjadinya kerugian
yang lebih besar.
Upaya yang di lakukan masyarakat maritim, seperti di Tanjung Luar, hasil tangkapan ikan
di olah menjadi produk pindang. Ada dua cara pengolahannya; Pertama, diolah dengan cara
perebusan di dalam air garam setengah tawar. Produknya berupa pindang ikan cumi-cumi dan
ikan pelagis kecil. Kedua, diolah dengan cara perebusan dengan garam peril, perbandingannya
antara 1 : 0,5, dan produk yang dihasilkan agak asin, berupa pindang asin, dari jenis ikan yang
agak besar, seperti tongkol, dan daging ikan cucut. Ketiga, pengolahan minyak ikan cucut,
terutama jenis ikan cucut taji yang di lakukan dalam bentuk home industri, dengan cara teknik
ekstraksi yang dimurnikan. Hasil produksinya adalah kemasan minyak ikan cucut botolan yang
siap untuk dipasarkan. Keempat, adalah penanganan ikan segar dengan cara pengesan, yaitu dari
jenis-jenis ikan laut yang bernilai ekonomi tinggi, yang dijual pada pelanggan tertentu. Jenis-jenis
ikannya adalah kerapu, kakap merah dan lain-lainnya. Jadi pengolahan produk yang ada di
Kabupaten Lotim, jenis dan macam produk yang dihasilkan masih sangat terbatas, termasuk sub
sektor budidaya, namun di lihat dari prospektif, daerah ini mempunyai peluang cukup besar dan
menjanjikan, karena kondisi alam yang dimiliki cukup mendukung perkembangan kearah
tersebut, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah yang maju. Dan pemerintah daerah dalam upaya
memberdayakan sektor maritim supaya mampu tumbuh dan berkembang dengan baik dalam
mengisi pembangunan, di sektor maritim daerah perlu memasukkan program khusus yang
disesuaikan dengan karakteristik ekologi maritim. Tujuan program khusus tersebut adalah untuk
memudahkan pembinaan kepastian usaha ekonomi yang akan di lakukan oleh masyarakat mulai
dari perbankan, industri, tenaga kerja, transportasi dan pemasaran.

PENUTUP
Kabupaten Lombok Timur (Lotim) terletak di Pulau Lombok, yang di kelilingi oleh laut
dengan tanahnya yang bergunung (Gunung Rinjani) dan berbukit-bukit. Penghidupan masyarakat
di daerah ini lebih banyak mengandalkan perikanan, disamping sektor-sektor lainnya, seperti
pertambangan, industri, perdagangan, perhotelan dan restoran, transportasi, perbankan dan jasa-
jasa lainnya. Sektor perikanan rata-rata PDRBnya pada empat tahun terakhir ini sebesar 38,88
persen, berarti masih cukup signifikan terhadap sektor-sektor lainnya. Perikanan masih berada di
dalam sektor maritim, maka jelas sektor maritim ikut memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan PDRB, namun di lihat dari kemajuan yang dicapai oleh sektor ini masih sangat
lamban. Di kaitkan dengan penduduk, kepadatannya telah mencapai 606 jiwa/km2 pada tahun
2000 (hasil sensus penduduk, 2000), konsekwensinya adalah tekanan terhadap lahan perikanan
yang berubah fungsi menjadi makin jelas. Lahan yang terbatas akan memaksa perubahan struktur
pendapatan masyarakat, maka pada jangka panjang sektor maritim (penangkapan dan budidaya)
akan menjadi alternatif bagi sebagian penduduk yang berdiam di Lotim. Pada tahun 2000, jumlah
penduduk yang terkait dengan maritim (tangkap) ada 194.460 jiwa dan yang terlibat langsung ada
sebanyak 16.597 jiwa.
Berdasarkan indikator maritim, strukturnya menunjukkan tingkat kegiatan-kegiatan yang
tercipta di sektor maritim. Elemen dasar adalah sumberdaya alam maritim yang tersedia dan ada
manusia yang hidup dengan sumber mata pencahariannya dari maritim. Kedua elemen dasar
tersebut menciptakan teknologi peralatan kehidupan berupa armada penangkapan (perahu/kapal)
yang diikuti derivasi teknologi pendukung lainnya, yaitu alat tangkap. Armada yang tersedia telah
mencapai 4.447 unit dengan alat tangkap sesuai dengan kebutuhan, saat ini telah mencapai 5.086
unit. Dari perbandingan antara armada dengan alat tangkap, ternyata alat tangkap lebih banyak,
berarti ragam alat tangkap sebagai teknologi derivatif dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi alam sekitar, dimana masyarakatnya hidup. Disamping teknologi armada, juga
dikembangkan teknologi pembudidayaan. Untuk budidaya laut, harus didukung oleh
perahu/kapal, karena lokasinya ditengah laut. Pembudidayaan maritim mulai berkembang di
Lotim, pembudidayaan itu ada di teluk Ekas, Batu Nampor dan Batu Dagong. Perkembangan
upaya pemanfaatan sumberdaya maritim melalui kegiatan usaha penangkapan, dapat diketahui
melalui armada perahu/kapal. Sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 armada perahu/kapal
mengalami fluktuasi. Fluktuasi jumlah armada ada kaitannya dengan resisi ekonomi, yang
dimulai oleh adanya krisis moneter. Sebelumnya ada usaha di sektor penangkapan yang
mengalami peningkatan, kemudian karena ada usaha penampung ikan dan pengolah ikan dalam
bentuk olahan segar mulai mengurangi usahanya, hal ini ikut berdampak negatif bagi nelayan,
yaitu pada tahun 2000 terjadi penurunan 4.447 yang tahun sebelumnya mencapai 5.143 unit usaha
penangkapan. Selain dari itu, faktor biaya eksploitasi dari BBM juga memicu perubahan kegiatan
dari kapal bermotor beralih pada kapal tanpa motor, dan ini juga ikut mempengaruhi tingkat
produktivitas nelayan. Dengan kapal yang lebih kecil, jelas ikut merubah alat tangkap yang
digunakan, dari ukuran yang lebih besar ke ukuran yang lebih kecil, karena fishing groundnya
juga ikut terbatas. Produksi hasil tangkapan juga ikut berfluktuasi, angka di tahun 2001
memberikan gambaran bahwa terjadi penurunan sebesar 15,17%. Faktor penyebab penurunan
disebabkan karena pengaruh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah seperti
permodalan usaha yang makin terbatas dan faktor eksternal seperti harga ikan, input produksi
yang dipengaruhi BBM. Maka untuk sektor maritim, dari usaha penangkapan terlihat jelas ada
perubahan-perubahan yang bertendensi ke arah penurunan, baik armada, alat tangkap dan
produksi. Dari perubahan ini maka sektor penangkapan perlu ada bantuan upaya pendorongan
melalui berbagai kegiatan kebijakan agar masyarakat maritim yang berdiam di daerah pantai
kesejahteraannya tidak menurun dan mempengaruhi kualitas kehidupan mereka.
Dari sub sektor maritim budidaya , Kabupaten Lotim belum menunjukkan perkembangan
yang cukup maju, dan ini ditandai oleh volume dan jenis pembudidayaan ikan di laut masih
terbatas. Adapun potensi wilayah cukup menjanjikan, dengan daerah potensial untuk
pembudidayaan yang cukup luas. Budidaya yang telah mulai ada, adalah rumput laut yang
produksinya mencapai 7 – 8 ribu ton basah, dan usaha ini cenderung bertambah luas. Pada tahun
2001, mulai ada pula usaha pembudidayaan lobster, kerapu dan kerang mutiara, tetapi
produksinya belum dapat diketahui dengan jelas. Dengan adanya usaha pembudidayaan yang
baru, dari komoditi maritim, selain rumput laut, ini memberikan informasi bahwa Lotim menarik
bagi pengusaha untuk menjadi tempat berusaha yang mempunyai prospek keuntungan. Industri
pengolahan produk maritim, baik dari hasil tangkapan, maupun dari budidaya, masih terbatas
pada pengolahan ikan segar untuk perdagangan segar. Pengolahan produk dalam bentuk ikan
asin, pindang, atau olahan lainnya (sosis, nuget) belum banyak dikenal dan di lakukan. Industri
pindang ikan yang ada di Selong, volume dan aktivitasnyapun masih terbatas, termasuk minyak
ekstraksi hati ikan hiu laut dalam. Berdasarkan indikator ekonomi, Kabupaten Lombok Timur
mengalami pertumbuhan yang lambat, dapat diketahui melalui PDRB-nya mulai dari tahun 1997-
2000 yang berfluktuatif. Pada tahun 1998 mengalami pertumbuhan negatif sebesar -2,81, hal ini
disebabkan karena terjadinya krisis moneter secara nasional, kemudian pada tahun-tahun
berikutnya ada pertumbuhan positif, tetapi cenderung meningkat dengan kisaran sederhana.
Rata-rata total pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha atas dasar harga konstan 1993 selama
empat tahun terakhir adalah 1,87, maka gerakan ekonomi daerah Lombok Timur masih
memberikan harapan berkembang dan dapat dikembangkan apabila pemerintah memberikan
kemudahan diberbagai sektor ekonomi.
Untuk sektor maritim distribusi persentase pertumbuhannya mengalami pertumbuhan
positif, tidak pernah negatif yaitu dengan kisaran 2,87 - 2,77. Ditinjau dari laju pertumbuhannya,
maka fluktuasinya cukup menajam, bahkan ada mengalami laju pertumbuhan negatif, yaitu pada
tahun 1998 sebesar -4,94, hal ini terjadi karena pengaruh langsung dari krisis moneter. Sektor
maritim mulai tahun 1999 mengalami pertumbuhan positif, tetapi masih sangat sederhana
(2,16%) dan menurun kembali menjadi (1,01%). Memperhatikan besaran angka pertumbuhan
berdasarkan laju pertumbuhan atas dasar harga konstan 1993, maka sub sektor usaha maritim
kontribusinya terhadap PDRB Lombok Timur masih sangat rendah. Dengan kontribusi yang
sangat rendah yang mampu diberikan oleh sektor maritim pada pertumbuhan ekonomi Lombok
Timur, jelas program pemacuan yang diprioritaskan pada sektor ini juga menjadi rendah, hal ini
tercantum dengan terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia untuk sektor maritim. Upaya
yang di lakukan pemda Lotim melalui Dinas Kelautan adalah membuat rancangan Perda tentang
Retribusi Izin Usaha Kelautan tahun 2001. Dengan perda ini diharapkan akan mampu melakukan
pembinaan dan sekaligus pemacuan pembangunan sektor maritim, dengan demikian peranan
sektor maritim dapat ditingkatkan dan kontribusi yang dihasilkan terhadap PDRB akan dapat
meningkat. Bersamaan dengan itu, sektor moneter dapat juga digerakkan, yaitu pengembangan
usaha melalui peningkatan permodalan kredit bergulir yang diprioritaskan pada nelayan
penangkap dan pembudidaya di laut. (Ikan dan Rumput Laut). Kegiatan usaha maritim
dilapangan masih tergolong pada skala kecil dan menengah, untuk kegiatan usaha maritim
penangkapan ikan masih di dominasi armada tanpa motor dengan biaya investasi untuk "perahu
jukung" sebesar Rp 2.790.000,-, kemudian Perahu Motor Kecil Rp 9.225.000,- dan Kapal Motor
Rp 130.750.000,-.
Nelayan laut masih sedikit yang menggunakan perahu motor, apalagi Kapal Motor,
sehingga usaha penangkapan di Lotim belum besar kemampuannya ikut memanfaatkan
sumberdaya maritim yang ada. Kegiatan usaha di sector maritim yang diusahakan baru sebatas
secara pembudidayaan, yang mampu di lakukan oleh masyarakat maritim. Untuk membuat satu
petak bambu pembudidayaan rumput laut misalnya yang ukurannya 3 X 3 m, dibutuhkan biaya
investasi Rp 475.000, untuk ukuran 4 X 4 m biaya investasinya 575.000. Total kebutuhan biaya
per unitnya adalah Rp 587.000 dan Rp 708.250. Di lihat dari perkembangan, tampaknya pada saat
ini masih menguntungkan, karena masih ada kecenderungan pertambahan pembudidayaan di laut.
Pengolahan komoditi hasil tangkapan nelayan (ikan dan biota laut lainnya) belum banyak yang
dapat dikembangkan oleh masyarakat. Dapat di lihat dari diversifikasi produk olahan yang
dihasilkan masih terbatas, yaitu asinan, pindang, minyak ikan dan dalam bentuk segar. Dari
sedikitnya jenis komoditi olahan yang dihasilkan, telah menggambarkan bahwa industri
pengolahan hasil laut, ternyata belum berkembang pesat, karena itu agar usaha ekonomi dari sub
sktor industri yang berbahan baku hasil laut dapat maju perlu kebijakan yang memudahkan yang
berpihak kepada sector maritim.

DAFTAR PUSTAKA

Statistik Perikanan NTB, 2000. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 2000

BPS, 2001, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Lombok Timur Tahun 1998 -
2000 Kerjasama Bappeda Kabupaten Lombok Timur Dengan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Lombok Timur. Katalog BPS : 9205.5203.

BPS, 2001. Lombok Timur Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur.

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor……Tahun 2001 Tentang


Retribusi izin Usaha Perikanan.

Daftar Riwayat Hidup

Drs. Sastrawidjaja kelahiran Tanjung Sakti, 1 Nopember 1951 adalah lulusan Fakultas
Ekonomi, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 1979. Pengalaman pekerjaan, sejak
tahun 1980 hingga sampai tahun 2000 sebagai peneliti social ekonomi perikanan di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. Kemudian sejak tahun 2001 menjadi sebagai peneliti social ekonomi
perikanan di Pusat Riset Pengembangan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan,
dan pada tahun 2005 sebagai peneliti di Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan hingga
sampai dengan sekarang. Penulis telah banyak menghasilkan tulisan ilmiah yang diterbitkan
di jurnal penelitian, proceeding dan juga buku yang selalu berkaitan dengan Kelautan dan
Perikanan. Hingga sampai saat ini tetap konsisten menggeluti permasalahan social ekonomi
Perikanan nusantara.

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

Tulisan ini menggambarkan sekelumit tentang keberadaan dan kegiatan masyarakat maritim yang
ada di sebagian daerah nusantara. Gambaran yang diberikan lebih menekankan pada
penggambaran informasi fenomena umum yang terjadi di masyarakat maritim, seperti kegiatan
ekonomi, social, kearifan local, kelembagaan, dan politik. Fenomena itu dituangkan dalam bentuk
uraian penggambaran kasar ditinjau dari pandangan penindaian pengamatan, baik melalui
penindaian di lapangan ataupun referensi laporan resmi pemerintah. Hasil penindaian
menginformasikan serba-serbi masyarakat maritim dari sisi pandangan formal dan dari sisi
pengamatan riset. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi nusantara sebagai
bangsa maritim yang keberadaannya telah resmi diakui oleh masyarakat dunia.

You might also like