You are on page 1of 55

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi terbaik dengan


keanekaragaman, keunikan, kekhasan dan keindahan flora/fauna endemik, langka
dan dilindungi, termasuk keindahan dan keajaiban fenomena alam. Taman
nasional mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pelestarian
keanekaragaman hayati sehingga penunjukan dan penetapannya diupayakan
sedapat mungkin mencakup perwakilan semua tipe ekosistem yang berada dalam
tujuh wilayah biogeografi pulau di Indonesia.

Bioregion Wallacea merupakan kawasan yang secara biogeografi berbeda


dengan kawasan lainnya di dunia. Ekspedisi pertama dengan hasil yang
mengagumkan telah dilakukan oleh A.R. Wallace pada tahun 1854-1862, yang
menunjukkan adanya perbedaan nyata antara keanekaragaman hayati bagian barat
dan bagian timur. Garis yang memisahkan kedua bagian ini kemudian di kenal
dengan garis Wallace.

Pulau Sulawesi sebagai “Jantung Wallacea” terbentuk dari campuran


berbagai bagian benua yang aslinya berasal dari Asia bagian barat dan Australia
bagian timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea dan secara
geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran Oriental
dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik.
Contohnya, dari delapan jenis primata yang ditemukan di Sulawesi, seluruhnya
adalah jenis endemik (Supriatna & Wahyono 2000 dalam Comalasari 2006).

Taman Nasional Bantimurung bulusaraung (TN Babul) merupakan taman


nasional yang penunjukkannya dilakukan oleh Menteri Kehutanan melalui SK
Nomor 398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Taman Nasional
Bantimurung bulusaraung dengan luas + 43.750 ha, merupakan gabungan dari
Cagar Alam (CA) Karaenta, CA Bantimurung, CA Bulusaraung, Taman Wisata
Alam (TWA) Bantimurung dan TWA Pattunuang. Saat ini, TN Babul merupakan
habitat yang baik bagi flora fauna maskot Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu julang
sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan lontar (Borassus flabelliber). Keistimewaan
lainnya, bahwa Bantimurung dijuluki ”Kingdom of Butterfly” oleh A.R. Wallace.

1
Tercatat setidaknya 103 jenis kupu-kupu pada tahun 1977 walaupun menurun
menjadi 80 jenis pada tahun 1995, tetapi pada kawasan ini dijumpai Papilio
satapses yang endemik Bantimurung.

Keanekaragaman hayati yang tinggi serta berbagai jenis khas dan endemik
di kawasan TN Babul, menjadikan kawasan ini menjadi penting untuk dikelola
secara intensif, agar kelestariannya dapat terjaga serta dapat memberikan manfaat
yang besar bagi kawasan tersebut. Oleh karena itu diperlukan data yang akurat
dan terbaru mengenai potensi yang ada di TN Babul agar dapat dibuat rencana
pengelolaan yang paling tepat, sehingga perlu dilakukan inventarisasi terhadap
potensi yang ada. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan data
terbaru tersebut yaitu dengan melakukan praktek kerja lapang profesi.

Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) bagi mahasiswa Departemen


Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) merupakan praktek
lapang yang dikembangkan dalam mencapai visi, misi, dan tujuan yang telah
dicanangkan oleh DKSHE. Kegiatan ini dilakukan agar mahasiswa memahami
pengetahuan yang telah diperoleh dalam perkuliahan dan menambah wawasan
lapang serta mengimplementasikannya dalam kegiatan pengelolaan kawasan
konservasi berupa Taman Nasional, sedangkan bagi mahasiswa DKSHE, kegiatan
praktek ini akan lebih mempererat kerjasama di bidang konservasi dengan instansi
Taman Nasional yang selama ini sudah dilaksanakan. Dengan praktek kerja
lapangan ini diharapkan dapat menghasilkan data yang dapat digunakan untuk
dasar perencanaan pengelolaan kawasan selanjutnya dan dapat memberikan
masukan yang positif.
1.2 Tujuan
Praktek Kerja Lapang Profesi mahasiswa DKSHE dimaksudkan untuk
menambah wawasan serta memenuhi kompetensinya dalam rangka meningkatkan
kemampuan praktek kerja lapang di bidang konservasi. Tujuan khusus
pelaksanaan kegiatan ini adalah :
1. Mengetahui pengelolaan dan struktur kelembagaan kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung
2. Pengelolaan jenis kupu-kupu, burung dan mamalia di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.

2
3. Identifikasi potensi tumbuhan sebagai pakan dan habitat kupu-kupu.
4. Identifikasi pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar oleh masyarakat
sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
5. Pemanfaatn jasa lingkungan (Hidrologi), dikawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung
6. Pengembangan objek wisata di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
1.2 Manfaat
Manfaat dari kegiatan Praktikum Kerja Lapang Profesi mahasiswa
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang akan dilakukan
di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Propinsi Sulawesi Selatan adalah :
1. Dapat menghasilkan data dan informasi mengenai potensi sumberdaya
alam hayati dan non-hayati di kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sehingga dapat digunakan untuk dasar pengelolaan yang
lestari.
2. Memberikan rekomendasi pengelolaan pariwisata kupu-kupu berdasarkan
data potensi dan kesesuaian habitat TN Bantimurung Bulusaraung.
3. Menjadi media untuk mempererat kerjasama DKSHE di bidang
konservasi dengan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

II. KONDISI UMUM LOKASI


2.1 Sejarah Kawasan

3
Salah satu diantara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah
Republik Indonesia, yaitu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha yang terletak di wilayah
administratif Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004.
Sebelum berubah fungsi menjadi taman nasional, kawasan ini berfungsi
sebagai cagar alam seluas ± 10.282,65 Ha, taman wisata alam seluas ± 1.624,25
Ha, hutan lindung seluas ± 21.343,10 Ha, hutan produksi tetap seluas ± 10.355 Ha
serta hutan produksi terbatas seluas ± 145 Ha. Alih fungsi kawasan-kawasan
tersebut menjadi taman nasional didasarkan atas pertimbangan bahwa kawasan
tersebut merupakan ekosistem karst yang memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi dengan jenis-jenis flora dan fauna endemik, unik dan langka, keunikan
fenomena alam yang khas dan indah serta ditujukan untuk perlindungan sistem
tata air.
2.2 Letak Kawasan
TN Babul adalah kawasan konservasi alam di daerah Makassar yang terletak
di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, yang
memiliki luas ± 43.750 ha dengan letak geografis 4033’-5002’ Lintang Selatan dan
119038’-119057’ Bujur Timur. TN Babul termasuk dalam wilayah kerja seksi
konservasi wilayah II tepatnya di Kabupaten Maros pada BKSDA Sulsel I,
wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Maros-Pangkep.
TN Babul terletak di wilayah Kabupaten Maros-Pangkep dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut :
• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barru dan Bone
• Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bone
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros
• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Pangkep

2.3 Kondisi Fisik


Keadaan bentuk/topografi lapangan pada kawasan TN Babul adalah mulai
daratan, perbukitan dan pegunungan. Daerah daratan dicirikan oleh bentuk
topografi datar, relief rendah dan tekstur topografi halus. Daerah perbukitan dapat

4
dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan sediment dan perbukitan
karst. Daerah pegunungan terletak di bagian utara, tengah dengan puncak tertinggi
adalah Gunung Bulusaraung setinggi 1.300 mdpl.
Kawasan TN Babul tersusun atas beberapa geologi. Formasi yang
didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi batuan tersebut antara lain adalah
Formasi Balang Baru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa dan Formasi Camba.
Pada bukit kapur Maros-Pangkep terdapat dua jenis tanah yang kaya akan kalsium
dan Magnesium, yaitu Rendolis dan Eutripepts.
Berdasarkan data iklim yang tercatat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika
Stasiun Klimatologi Kelas I Panakukang, Maros-Sulawesi Selatan (2006), iklim
Bantimurung termasuk tipe iklim C (Schmidth-Ferguson), dengan iklim basah
berlangsung selama delapan bulan yaitu Oktober-Mei, bulan kering selama tiga
bulan yaitu Juli-September dan bulan lembap berlangsung pada bulan Juni. Suhu
udara rata-rata berkisar 26,50C-27,80C dan kelembapan udara berkisar 66%-87%
(Mustari 2007). Kecepatan angin rata-rata 3 knot dan maksimum 20 knot.
2.4 Kondisi Biologi
Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung
merupakan ekosistem karst Maros – Pangkep. Kawasan ini memiliki berbagai
jenis flora, antara lain bintangur (Calophyllum sp.), beringin (Ficus sp.), nyatoh
(Palaquium obtusifolium), lontar (Borassus flabelliber) dan flora endemik
Sulawesi yaitu kayu hitam (Diospyros celebica).
Berbagai jenis satwaliar yang khas dan endemik Sulawesi dapat ditemukan
di TN BaBul. Diantaranya yaitu monyet hitam (Macaca maura), kuskus sulawesi
(Phalanger celebencis) dan musang sulawesi (Macrogolidia musschenbroecki).
Jenis mamalia lain diantaranya yaitu rusa timor (Cervus timorensis) serta berbagai
jenis kelelawar buah maupun kelelawar goa.
Diantara jenis burung yang ada yaitu julang sulawesi (Rhyticeros cassidix),
kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), kakatua jambul-kuning (Cactua
sulphurea), kakatua hijau danga (Tanycnatus sumatranus), punai (Treron sp.),
serta ayam hutan (Gallus gallus). Berbagai jenis reptili yang ada yaitu ular sanca
(Phyton reticulatus), ular daun, biawak (Varanus salvator) dan kadal terbang.
Selain itu, terdapat berbagai jenis kupu-kupu. Diantara jenis yang terkenal adalah
Papilio blumei, Papilio satapses, Troides halipton, Troides Helena dan Graphium
androcles.

5
2.5 Potensi Wisata
Kawasan TN Babul memiliki obyek wisata yang dapat dikembangkan untuk
dilestarikan oleh masyarakat antara lain air terjun, keindahan pemandangan bukit
karst, keindahan jenis flora dan fauna serta potensi goa.
2.7 Keadaan Sosial - Ekonomi dan Budaya
Masyarakat sekitar kawasan TN Babul didominasi oleh etnis Bugis dan
Makassar. Dalam komunikasi sehari-hari mereka menggunakan bahasa Bugis dan
Makassar, akan tetapi keduanya dapat saling berkomunikasi dan saling mengerti
kedua jenis bahasa tersebut. Adat istiadat yang mereka laksanakan dalam
kehidupan sehari-hari pun sangat dipengaruhi oleh kedua etnis tersebut. Mayoritas
masyarakat kawasan ini menganut agama Islam.
2.8 Aksesibilitas
TN Babul terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep merupakan
kawasan konservasi yang memiliki aksesibilitas cukup mudah. Rute perjalanan
dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat kendaraan beroda dua
ataupun beroda empat yang berjarak 30 km dari Makassar (Comalasari 2006)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktek Kerja Lapang ini akan dilaksanakan dari tanggal 21 Februari s.d. 21
Maret 2011 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros-
Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan ini difokuskan di tiga tempat.
Lokasi Pertama yaitu di Dusun Panaikang, Desa Kallabirang, Resort
Bantimurung. Lokasi Kedua di Dusun Kampoang dan Dusun Bulu-bulu, Desa

6
Tompobulu, Resort Balocci serta lokasi ketiga dilakukan di daerah wisata air
terjun bantimurung.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang akan digunakan dalam praktek ini diantaranya adalah:

1. Alat tulis 8. Pita ukur


2. Kalkulator 9. Meteran gulung
3. Kamera 10. Thermometer
4. Kompas 11. Jaring kupu-kupu
5. Golok 12. GPS
6. Tali rafia 13. Binokuler
7. Tali tambang

7
Bahan yang akan digunakan adalah sumberdaya alam yang ada di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung termasuk flora dan faunanya.Selanjutnya
digunakan pula alkohol dan fieldguide mengenai burung, mamalia, kupu-kupu
serta tumbuhan.
3.3 Jenis Data dan Metode Pengambilan Data
Pengambilan data difokuskan kepada enam aspek yaitu :
1. Pengelolaan dan struktur kelembagaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
2. Pengelolaan jenis kupu-kupu, burung dan mamalia di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
3. Identifikasi potensi tumbuhan sebagai pakan dan habitat kupu-kupu.
4. Identifikasi pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar oleh masyarakat
sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
5. Pemanfaatan jasa lingkungan (Hidrologi), dikawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung
6. Pengembangan objek wisata di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

8
Tabel 1 Pengambilan Data Aspek Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional

No Jenis Data Metode Uraian

1 Mandat pengelolaan • Penelusuran dokumen TN a) Mempelajari mandat pengelolaan taman nasional berdasarkan surat keputusan
• Wawancara dengan pihak TN penunjukan atau penetapannya dan pelaksanaan program-program yang
terkait dengan mandat tersebut
b) Mempelajari mandate pengelolaan global yang ada pada taman nasional
c) Menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan organisasi
taman nasional
2 Organisasi • Penelusuran dokumen TN a) Mempelajari bentuk organisasi pengelola taman nasional dan dasar atau kriteria
• Wawancara dengan pihak TN penetapan organisasi tersebut
b) Mempelajari struktur organisasi yang meliputi tugas dan wewenang bagian dari
struktur organisasi
c) Menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan organisasi taman
nasional
3 Sumberdaya manusia • Penelusuran dokumen TN a) Mempelajari kebutuhan dan kecukupan sumberdaya manusia pengelola taman
• Wawancara dengan pihak TN nasional
b) Menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan sumberdaya
manusia taman nasional
4 Mitra kerja • Penelusuran dokumen TN a) Menginventarisir mitra kerja dan program-program mitra kerja taman nasional
• Wawancara dengan pihak TN b) Menganalisis manfaat kerjasama dan dampak tehadap pengelolaan taman nasional
5 Program rutin dan • Penelusuran dokumen TN Menginventarisir program rutin dan keproyekan dalam 5 tahun terakhir
keproyekan • Wawancara dengan pihak TN

Tabel 2 Inventarisasi Jenis Kupu-kupu dan Satwaliar Lain


No Jenis Jenis Data Metode Uraian
Satwa
1 Kupu-kupu Manajemen populasi • metode time- a) menginventarisasi jenis kupu-kupu dalam satuan waktu yang telah ditentukan,
search tidak ada batasan jarak dan luas pada setiap plot pengamatan

9
Manajemen habitat • metode time- a) Mengetahui komponen habitat yang paling penting bagi kehidupan kupu-
search kupu (cahaya, udara dan air sebagai materi yang dibutuhkan untuk
kelembaban lingkungan dimana kupu-kupu tersebut hidup dan berkembang
biak)
b) Mengetahui vegetasi yang disukai kupu-kupu
2 Burung Populasi • Pengamatan Perhitungan populasi burung menggunakan metode Indeks Point of Abundance
• Wawancara (IPA).
• Studi pustaka
Keanekargaman jenis • Pengamatan Keanekaragaman jenis burung dilakukan dengan metode indeks keragaman
• Wawancara shanon wienner.
• Studi pustaka
Identifikasi jenis • Wawancara Identifikasi jenis satwa target, status populasi, dilindungi/tidak dilindungi,
• Studi pustaka pentingnya satwa.
• Pengamatan
langsung.
3 Mamalia Inventarsisasi jenis • Pengamatan Inventarisasi mamalia dilakukan dengan menggunakan metode strip transect dan
• Wawancara Rapid assesment. Metode ini mencatat data jenis mamalia yang ditemukan selama
• Studi pustaka berada di lokasi pengamatan
Identifikasi jenis • Wawancara Identifikasi jenis satwa target, status populasi, dilindungi/tidak dilindungi,
• Studi pustaka pentingnya satwa.
• Pengamatan
langsung.

Tabel 3 Identifikasi Potensi Tumbuhan sebagai Pakan dan Habitat Kupu-kupu


No Jenis Data Metode Uraian
1 Tipe-tipe ekosistem • Penelusuran dokumen Analisis deskriptif mengenai tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan
• Wawancara pihak pengelola Taman Nasional.
• Verifikasi data di lapangan
2 Kondisi masing-masing • Penelusuran dokumen Analisis deskriptif tentang kondisi tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan
ekosistem di berbagai zona • Wawancara pihak pengelola Taman Nasional.

10
• Verifikasi data di lapangan
3 Bentuk gangguan terhadap • Penelusuran dokumen Analisis mengenai gangguan terhadap masing-masing tipe ekosistem pada
ekosisitem • Wawancara pihak pengelola berbagai zona di kawasan Taman Nasional
• Verifikasi data di lapangan
4 Identifikasi potensi • Penelusuran dokumen Mengidentifikasi potensi tumbuhan yang berada di dalama kawasan Taman
tumbuhan • Wawancara pihak pengelola Nasional yang dapat berfungsi sebagai habitat dan pakan kupu-kupu.
• Verifikasi data di lapangan

Tabel 4 Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar In situ


No Jenis Data Metode Uraian
1 Pelaku pemanfaatan jenis • Studi pustaka a) Menganalisis pelaku-pelaku yang memanfaatkan jenis flora dan fauna,
• Wawancara dengan pihak- meliputi :
pihak terkait • Latar belakang pelaku yang memanfaatkan
• Observasi lapang • Tujuan pemanfaatan jenis oleh pelaku
a) Sosial budaya pelaku yang memanfaatkan
2 Bentuk atau cara • Studi pustaka a) Identifikasi bentuk pemanfaatan jenis yang pernah/sedang dan yang akan
pemanfaatan • Wawancara dengan pihak- dilakukan
pihak terkait b) Mengetahui jumlah, musim/waktu, penggunaan dan harga jenis yang
• Observasi lapang dimanfaatkan
c) Identifikasi kebijakan perizinan pemanfaatan jenis
3 Jenis-jenis yang • Studi pustaka a) Identifikasi jenis-jenis yang sering dimanfaatkan
dimanfaatkan • Wawancara dengan pihak- b) Kebijakan terkait kuota pemanfaatan
pihak terkait
• Observasi lapang

Tabel 5 Penyedia Jasa Lingkungan Hutan


No Jenis Data Data yang diambil Metode
1 Data hidrologi • Volume Obeservasi lapang dan pengambilan data sekunder.
• Kecerahan
• Debit

11
• Erosi

Tabel 6 Pengambilan Data Aspek Manajemen Ekowisata


No Jenis Data Metode Uraian
1 Manajemen pengunjung • Wawancara Sistem informasi pada pengunjung
Observasi lapang Penyebaran pengunjung
Penelusuran dokumen TN Interpretasi pada pengunjung
Keselamatan pengunjung
2 Manajemen sumberdaya • Wawancara Pengelolaan Ekosistem wisata
• Observasi lapang Pengelolaan obyek-obyek ekowisata yang ada
Penelusuran dokumen TN Pengelolaan jalur ekowisata yang ada
• Pengelolaan tapak ekowisata yang ada
3. Manajemen pelayanan • Wawancara Perencanaan kawasan dan tapak
ekowisata • Observasi lapang Pengelolaan bahaya dan dampak
Penelusuran dokumen TN Kerjasama dengan para pihak
• Kompetensi Sumberdaya Manusia
Sarana dan Prasarana Pendukung ekowisata

12
13
3.4 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan sesuai dengan aspek data yang diambil, antara lain:
3.4.1 Kelembagaan dan pengelolaan Taman Nasional
Data tentang kelembagaan dan pengelolaan Taman Nasional yang didapatkan dari
wawancara dan studi pustaka diolah dan ditelaah secara deskriptif.
3.4.2 Manajemen satwaliar in-situ
• Indeks keanekaragaman jenis (H’)
Ludwig dan Reynold (1998) dalam Irianto (2004) menyatakan bahwa
keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon–Wiener dengan rumus :

H’= -∑pi ln pi; dimana pi =


Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-
Wiener
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
pi = Kelimpahan setiap jenis
Untuk menentukan keanekaragaman jenis kupu-kupu, maka digunakan klasifikasi
nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners seperti tabel I berikut:
Tabel 7 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
Nilai indeks
Kategori
Shanon-Wiener

>3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies


tinggi dan kestabilan komunitas tinggi

1–3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies


sedang dan kestabilan komunitas sedang

<1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies


rendah dan kestabilan komunitas rendah
• Kemerataan Jenis
Indeks kemerataan jenis (evenness) digunakan untuk mengetahui gejala dominansi
diantara spesies dalam suatu komunitas. Persamaan yang digunakan adalah:

keterangan:

14
E = Indeks kemerataan jenis (0 – 1)
H’ = Indeks Shannon
S = Jumlah jenis
Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa apabila setiap jenis memiliki jumlah
individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai evenness
maximal. Sebaliknya apabila nilai evenness tersebut kecil maka dalam komunitas
tersebut terdapat jenis dominan, sub dominan dan jenis tidak dominan.
• Indeks Kekayaan Jenis
Kekayaan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan metode Margalef
(Ludwig & Reynolds, 1998). Persamaan untuk menemukan jumlah kekayaan jenis
adalah :
Dmg=S-1ln(N)
Keterangan : Dmg = Indeks Margalef
N = Jumlah Individu seluruh jenis
S = Jumlah jenis mamalia
• Kelimpahan jenis relatif
Untuk mengetahui kelimpahan jenis relatif, digunakan persamaan Persentase
Kelimpahan Relatif (Brower & Zar, 1997):
Psi= ni/N x 100%
keterangan :
Psi = Nilai persen kelimpahan jenis ke-i
n = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu total
3.4.1 Pemanfaatan spesies satwaliar in-situ.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara, studi pustaka, dan observasi
langsung ke lapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif.

3.4.4 Manajemen jasa lingkungan hutan.


Data yang diperoleh dari hasil wawancara, studi pustaka, dan observasi langsung
ke lapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif.

15
• Analisis Hidrologi
Data yang diambil dari aspek air meliputi jenis sumber air (alami, buatan, asal
sumber air), karakteristik air (debit volume, kejernihan dan kondisi secara umum)
dan pengelolaan air. Data tersebut diperoleh melalui kegiatan pengukuran
langsung maupun tidak langsung (wawancara pengelola). Pengukuran kecapatan
air dilakukan dalam 3 kali ulangan menurut masing-masing sumber air.
Analisis data aspek air dilakukan secara kuantitatif dan deskriptif. Analisis data
secara kuantitatif dihitung secara terpisah menurut sumber air. Rumus yang
digunakan, yaitu:
a. Menghitung kecepatan (v) air adalah :
Kecepatan air (v)= Panjang lintasan air (meter)Waktu (sekon)
b. Total kecepatan air = ∑ kecepatan air masing-masing sumber air (meter).
c. Rataan kecepatan diperoleh melalui rumus:
Rataan v= Total kecepatan air air (meter)Rataan waktu (sekon)
d. Persentase kecepatan air masing-masing sumber air diperoleh melalui
rumus:
%v=Rataaan Kecepatan satu jenis sumber air (ms) Total rataan
sumber air x 100%
e. Lebar sumber air diperoleh melalui rumus:
lb = ∑ lb satu jenis sumber air (meter)
f. Rataan lebar (lb) sumber air diperoleh melalui rumus:
Rataan lb= Total lebar satu jenis sumber air air (meter)Jumlah satu
jenis sumber air
g. Persentase lebar masing-masing sumber air diperoleh melalui rumus:
% lb=Rataaan lebar satu jenis sumber air (meter) Total lebar satu
jenis sumber air x 100%
h. Kedalaman (dl) sumber air diperoleh melalui rumus:
dl = ∑ dl satu jenis sumber air (meter)
i. Rataan kedalaman sumber air diperoleh melalui rumus:
Rataan dl= Total kedalaman satu jenis sumber air air (meter)Jumlah
satu jenis kedalaman sumber air
j. Persentase kedalaman masing-masing sumber air diperoleh melalui rumus:

16
% lb=Rataaan kedalaman satu jenis sumber air Total kedalaman
satu jenis sumber air x 100%
k. Luas penampang air (ls) diperoleh melalui rumus:
Ls= lb (meter) x dl (meter)
l. Total luas penampang
Total ls= ∑ luas penampang masing-masing sumber air (m2).
m. Rataan luas penampang (ls)
Rataan ls = Total ls masing-masing sumber air (m2)Jumlah satu
jenis ls sumber air
n. Persentase ls masing-masing sumber air
% ls=Rataaan ls satu jenis sumber air Total ls satu jenis sumber air
x 100%
o. Debit air (Q) masing-masing sumber air
Q (m3/s) = v (m/s) x ls (m2)
p. Total debit air (Q)
Total Q=∑ Q masing-masing sumber air (m3/s).
q. Rataan debit air (Q)
Rataan Q = Total Q masing-masing sumber air (m3/s)Jumlah satu
jenis Q sumber air
r. Persentase Q masing-masing sumber air
% Q=Rataaan Q satu jenis sumber air Total Q satu jenis sumber air
x 100%
s. Persentase kondisi sumber air
% kondisi=jumlah sumber air yang baik atau rusak atau
terganggaujumlah seluruh sumber air yang diamati x100%
Analisis secara deskriptif dilakukan dengan untukmenggambarkan kondisi
masing-masing sumber air dan hasil wawancara mengenai pengelolaan yang
mencakup aspek air.
3.4.5 Potensi Wisata Alam di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Data yang diperoleh mengenai potensi wisata alam di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis
dengan dua metode, yakni:
1. Metode skoring

17
Metode skoring yang digunakan dalam praktek ini merupakan modifikasi dari
penilaian potensi-potensi wisata yang dianalisis dengan menggunakan

Pedoman Analisa Daerah Operasi dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-
ODTWA) tahun 2003 dari Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Setiap lokasi objek wisata yang
teridentifikasi diberikan nilai untuk setiap unsur kriteria penilaian yang
kemudian dijumlahkan untuk setiap kriteria penilaian, yang terdiri dari daya
tarik, aksesibilitas, sarana, kondisi sekitar kawasan, hubungan dengan objek
wisata lain di sekitar Taman Nasional, keamanan, daya dukung kawasan, dan
pengaturan pengunjung. Jumlah nilai-nilai unsur pada kriteria penilaian
kemudian dikalikan dengan bobot nilainya untuk mendapatkan skor setiap
lokasi objek wisata (Dirjen PHKA 2003):

S=NxB

Keterangan :
S = Skor atau nilai
N = Jumlah nilai unsur-unsur pada kriteria penilaian
B = Bobot nilai

Setelah itu, untuk setiap lokasi objek wisata dilakukan penilaian kelayakan
pengembangan wisatanya yang dikelompokkan ke dalam kategori-kategori kurang
potensial, potensial, dan sangat potensial dengan menggunakan persamaan (Dirjen
PHKA 2003):
Keterangan:
Selang =
S maks – S min
K

Selang = Nilai selang dalam penetapan selang klasifikasi


S maks = Nilai skor tertinggi
S min = Nilai skor terendah
K = Banyaknya klasifikasi penilaian
2. Metode Deskriptif

18
Metode deskriptif merupakan gambaran mengenai potensi wisata di Taman
Nasional Sebangau (Kelurahan Kereng Bangkirai) sehingga diperoleh
identifikasi potensi wisata yang dapat digunakan sebagai gambaran
pengembangan jenis wisata di lokasi tersebut.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung
4.1.1. Kelembagaan
Setelah penunjukan kawasan, pemangkuan dan pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk sementara dilaksanakan oleh Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan I berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor :
SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004. Pada tahun 2006, Menteri
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia menyetujui usulan
pembentukan unit kerja pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan
kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan membentuk Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung beserta 15 balai taman nasional baru
lainnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional.
Pada tanggal 1 Februari 2007, Menteri Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang kemudian
menjadi dasar pengelolaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat
ini. Walaupun telah ditetapkan pengelolanya dan diserahterimakan
pengelolaannya sejak November 2006, Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung secara efektif baru beroperasional melaksanakan tugas-tugas
kepemerintahan dan pembangunan sejak April 2007 karena personil dan sarana
prasarana pendukungnya baru tersedia pada saat itu. Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman

19
nasional setingkat Eselon III pada Kementerian Kehutanan yang berada di bawah
dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bertugas melakukan
penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan
pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :
1. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan
evaluasi pengelolaan kawaan taman nasional.
2. Pengelolaan kawasan taman nasional.
3. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional.
4. Pengendalian kebakaran hutan.
5. Promosi dan informasi konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
6. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.
7. Kerja sama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya serta pengembangan kemitraan.
8. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional.
9. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam.
10. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
4.1.1.1 Visi, Misi dan Tujuan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Pada awal pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung menetapkan visi pengelolaan yang difokuskan pada
pemantapan prakondisi pengelolaan kawasan yang didukung oleh kelembagaan
yang mantap menuju keseimbangan dan keserasian. Visi yang dituangkan dalam
Rencana Strategis 2007-2009 ini dapat direalisasikan dengan cukup baik,
meskipun masih ada beberapa sasaran yang belum tercapai secara optimal.
Melanjutkan capaian kinerja pengelolaan hingga tahun 2009 dan dengan
mempertimbangkan peluang, kekuatan, hambatan dan kelemahan yang ada, maka

20
ditetapkan visi Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung periode 2010-
2014, yaitu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai sarana rekreasi
dan edukasi masyarakat yang dikelola secara profesional, mandiri dan akuntabel
untuk menjamin kelestarian produksi dan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Dalam langkahnya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan,
diperlukan misi sebagai bentuk nyata implementasinya yang dilaksanakan
secara berjenjang sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan. Dengan
demikian, ditetapkan misi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sebagai berikut :
1. Memantapkan status hukum kawasan dan pengelolaan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
2. Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum.
3. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian.
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka
pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
Tujuan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara
umum dari tahun ke tahun adalah melakukan pengelolaan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
4.1.1.2 Organisasi
Struktur organisasi yang terdapat di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung dengan No. SK. 01/BTNBABUL-1/2011 tentang
struktur organisasi dan penempatan personil Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Pelaksanaan tugas dan wewenang serta permasalahan yang ada terkait
pengorganisasian dapat berjalan lancar walaupun dengan kuantitas yang minim
(75 orang sudah termasuk pegawai kontrak). Sehingga masih adanya peran ganda
dalam pelaksanaan tugas dan wewenang. Namun, hal tersebut dapat diantisipasi
dengan peningkatan kualitas para pengelola melalui manajemen SDM (Sumber

21
Daya Manusia) yang baik, yaitu mekanisme pengaliran tugas sesuai tugas pokok
dan fungsi (Tupoksi).
Jumlah yang minim tidak menjadi hambatan apabila etos kerja terus
ditingkatkan. Personil di lapangan lebih banyak dibutuhkan daripada di kantor,
mengingat kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang luas serta
merupakan Taman Nasional baru yang masih banyak diperlukan data potensi
kawasan dan data dasar lainnya.
Pengetahuan secara personal pada setiap pengelola Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung terkait konservasi, taman nasional, potensi dan tata
batas kawasan, dapat dikatakan cukup baik. Melalui pengadaan literatur serta
pendelegasian pada beberapa kegiatan seputar keanekaragaman hayati.
4.1.2 Pengelolaan
Program utama pengelolaan taman nasional yaitu konservasi dan
perlindungan keanekaragaman hayati. Sejak penetapan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, pengembangan yang ada dapat dikategorikan cukup
baik. Mengingat baru 4 (empat) tahun silam taman nasional ini efektif
beroperasional. Semua program yang direncanakan dapat terealisasi walaupun
output yang dihasilkan tidak semuanya mencapai 100% karena hambatan yang
ada. Dalam melakukan perencanaan pengelolaan kawasan agar terlaksana dengan
baik, biasanya dilakukan dengan melihat hasil evaluasi capaian kerja terakhir dan
saran yang telah ada sebelumnya.
4.1.2.1 Tata Batas dan Zonasi Kawasan
Proses pengukuhan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
belum terselesaikan hingga penetapan kawasan. Di dalam kawasan ini terdapat 3
areal enclave, yaitu Enclave Pattanyamang, Enclave Bonto Marannu dan Enclave
Minggi. Ketiga kawasan enclave tersebut telah ditata batas hingga temu gelang.
Sebagian besar batas luar dan batas enclave kawasan meupakan hasil pelaksanaan
tata batas pada tahun 1980-an. Batas-batas tersebut sudah banyak yang rusak,
sehingga di masa yang akan datang, direncanakan untuk melaksanakan
pemeliharaan batas agar status hukum kawasan dan bukti-bukti fisiknya di
lapangan dapat tetap terjaga.

22
Rekonstruksi tata batas dilaksanakan pada tahun 2007 s.d. 2009. Pada
tahun 2009, telah dilakukan pemancangan batas sementara pada sisa panjang batas
yang belum ditata batas yaitu sepanjang batas yang belum ditata batas yaitu
sepanjang 45,70 km. Penataan batas luar/batas fungsi kawasan yang direncanakan
selesai/temu gelang pada tahun 2010 ini, ternyata belum bisa terealisasikan hingga
100%. Pemancangan batas definitif yang telah dilengkapi dengan Berita Acara
Tata Batas baru sepanjang 432,52 km atau 90,44 % dari keseluruhan panjang
batas sepanjang 478,22 km.
Dari hasil rekonstruksi tata batas, kemudian dirancang zonasi kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Rancangan zonasi yang telah dibuat
telah disosialisasakan kepada publik sampai tingkat kecamatan. Pada tahun 2011
rencananya akan sampai pada tingkat kabupaten dan propinsi. Zona yang
direncanakan berupa zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainnya
(tradisional, religi, khusus dan rehabilitasi). Permasalahan terkait zonasi yang
masih belum diselesaikan adalah di Desa Tallasa. Masyarakat di desa tersebut
tidak bersedia apabila lahan tempat tinggal mereka dijadikan zona khusus, karena
tidak adanya hak milik.
Pengakuan kawasan oleh para pihak lainnya yang berada jauh dari lokasi
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum sepenuhnya mengetahui akan
keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Oleh karenanya masih
diadakan sosialisasi.
4.1.2.2 Pengembangan Sarana dan Prasarana
Untuk kepentingan efektifitas pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan setidaknya 1 (satu) unit kantor balai taman
nasional berukuran 600 m2 dan 2 (dua) unit kantor seksi pengelolaan taman
nasional wilayah yang berukuran 400 m2. Karena pengelolaan kawasan taman
nasional dilakukan hingga kepada unit-unit terkecil maka telah dibentuk 7 (tujuh)
resort taman nasional yang keseluruhan juga membutuhkan pondok kerja masing-
masing berukuran 70 m2. Dalam rangka peningkatan efektifitas perlindungan dan
pengamanan kawasan, dibutuhkan pula pos-pos jaga pengamanan hutan di
sekeliling kawasan. Untuk kebutuhan tersebut, pada kawasan Taman Nasional

23
Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan sedikitnya 10 (sepuluh) unit pos jaga
pengamanan hutan.
4.1.2.3 Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Salah satu upaya preventif lain yang dilakukan dalam rangka perlindungan
dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah
patroli di dalam dan sekitar kawasan serta penjagaan pada tempat-tempat strategis.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh seluruh personil yang tersedia dan tersebar sampai
ke resort pengelolaan. Untuk kepentingan ini pula, maka penguatan sumber daya
perlu dilakukan sampai ke tingkat resort, bahkan apabila memungkinkan dapat
dijadikan prioritas.
Personil yang tersedia untuk keperluan perlindungan dan pengamanan
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung masih sangat terbatas apabila
dibandingkan dengan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan. Mengatasi
keterbatasan tersebut, upaya pengamanan dan perlindungan kawasan dibantu oleh
empat orang Tenaga Pegawai Tidak Tetap (TPHL) yang masing-masing berada di
SPTN Wilayah I dan II serta direkrut dari masyarakat sekitar kawasan. Untuk
keperluan perlindungan dan pengamanan kawasan, Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung secara bertahap berupaya untuk memenuhi kebutuhan
sarana dan prasarana perlindungan hutan tersebut.
4.1.2.4 Kerja Sama
Partisipasi masyarakat sejauh ini terkait diinisiasikannya zonasi yang
belum ditetapkan adalah ikut melaksanakan aturan setiap zona dan memberi
usulan yang membangun bagi kelestarian zona tersebut. Selain itu pula, ada
beberapa desa binaan, yang telah berhasil dibina, yaitu Desa Samanggi dan Desa
Pattanyamang. Setiap tahunnya pengelola mengadakan binaan pada lokasi desa
yang berbeda. Pengelolaan lainnya terangkum dalam wadah kerja sama tapi belum
berjalan efektif. Pengelola bersama-sama dengan masyarakat ikut berupaya
menuju desa konservasi.
Pendidikan konservasi bagi masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai
wadah. Upaya untuk menjadikan pendidikan konservasi sebagai muatan lokal
pada program pendidikan dasar dan menengah adalah suatu hal yang penting
untuk dilakukan. Dengan demikian, maka upaya konservasi tidak hanya

24
dilaksanakan oleh pengelola kawasan konservasi melainkan juga menjadi bagian
yang terintegrasi di dunia pendidikan.
Metode lain yang dapat ditempuh untuk memasyarakatkan upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah dengan membentuk
kader-kader penggerak upaya konservasi di kalangan masyarakat. Untuk itulah
kemudian diperlukan upaya pembentukan kader konservasi serta pembinaan
kalangan pecinta alam. Kader-kader konservasi dan pecinta alam ini akan turut
menyuarakan pentingnya konservasi secara mandiri, dan dengan demikian maka
pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya
menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah.
Pengelolaan kolaboratif dengan Pemerintah Daerah (Pemda)
menguntungkan dari segi penambahan kuantitas, namun dari segi kualitas daya
dukung dapat dikatakan menjadi kurang baik. Dalam hal ini pengelolaan Taman
Wisata Alam (TWA) Bantimurung yang dikelola Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengalami kepadatan
pengunjung, dimana sirkulasi pengunjung di tempat wisata tersebut tidak diatur
dan dikelola dengan baik sesuai daya dukung yang ada.
Pengembangan kerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi
juga perlu dirintis dengan baik agar kontinuitas kegiatan penelitian dan
pengembangan di dalam kawasan dapat berjalan dengan baik. Pendidikan
konservasi bagi masyarakat lokal menjadi esensial peranannya dan perlu
diupayakan terus-menerus. Jika memungkinkan, pendidikan konservasi bagi
masyarakat ini dilakukan sejak usia dini sehingga kesadaran konservasi dan
pentingnya pengelolaan lingkungan yang baik sudah menjadi bagian dari hidup
generasi bangsa ini.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga melakukan penelitian
keanekaragaman hayati. Penelitian yang akan dilakukan sebagai program yang
telah direncanakan, sebelumnya harus dibuat Rencana Pelaksanaan Kegiatan
(RPK) yang membahas metode, tim pelaksana kegiatan dan data yang akan
diambil beserta rencana anggaran biaya yang diperlukan. Hasil penelitian yang
telah dilaksanakan diserahkan kepada perpustakaan sebanyak 1 (satu) rangkap
sebagai media publikasi dan dokumentasi. Selain itu dilakukan presentasi hasil

25
kegiatan, dimasukkan ke dalam website dan ditulis untuk media publikasi berupa
jurnal.

4.2 Manajemen Satwaliar In-situ


4.2.1 Kondisi habitat
Secara umum kegiatan inventarisasi keanekaragaman satwaliar di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) dibagi atas dua jalur pengamatan.
Setiap jalur pengamatan merupakan perwakilan dari tipe habitat berbeda dengan
ciri khas berdasarkan komposisi floranya. Kedua tipe habitat tersebut adalah:
4.2.1.1 Hutan Riparian
Habitat riparian di Panaikang memiliki komposisi vegetasi yang umumnya
terdiri atas semak-semak dan pepohonan dengan tajuk agak terbuka. Habitat ini
berada di pinggiran sungai berpasir dengan aliran air yang cukup deras dan jernih
berasal dari hutan yang masih tertutup rapat di sekitarnya. Kondisi riparian adalah
daerah terbuka hasil sedimentasi yang membentuk daratan dengan struktur batuan
sungai di bagian pinggir, kemudian berupa pasir dan hutan pada daerah tertutup.
Beberapa jenis tumbuhan yang ditemukan diantaranya adalah tempuyung
(Sonchus arvensis), asam (Tamarindus indica) dan bingkuru (Morinda
brancteae).

Gambar 2 Jalur pengamatan pada habitat riparian.

26
4.2.1.2 Hutan Sekunder
Topografi hutan sekunder relatif bervariasi dari datar hingga curam dengan
kondisi tutupan vegetasi rapat. Hutan sekunder yang dimaksud adalah hutan yang
pernah mengalami gangguan disebabkan perambahan. Ketinggian lokasi
pengamatan 200-250 mdpl. Didominasi oleh pohon tinggi hasil suksesi sehingga
sinar matahari sulit menembus hingga tanah menyebabkan lantai hutan bersih.
Habitus lainnya yang ditemukan selain pohon berupa liana dan perdu. Beberapa
spesies tumbuhan diantaranya adalah sirih hutan (Piper sp), jambu biji (Psidium
guajava), jeruk bali (Cytrus maxima) dan Mangga hutan (Mangifera sp).

Gambar 3 Jalur pengamatan di hutan sekunder.


4.2.2 Mamalia
4.2.2.1 Keanekaragamn Jenis Mamalia
Berdasarkan hasil inventarisasi mamalia yang dilakukan di Dusun
Panaikang Desa Kalabbirang, Resort Bantimurung Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (TNBB) diperoleh 4 jenis mamalia. Beberapa jenis mamalia tersebut
diperolah pada tipe habitat reparian skunder. Jenis-jenis mamalia yang
diindentifikasi pada jalur pengamatan yakni monyet sulawesi (Macaca maura)
dan babi sulawesi (Sus celebensisi) yang diidentifikasi melalui jejak kaki serta
kubangan. Selain dari hasil pengamatan, beberapa mamalia juga diidentifikasi
berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk yang tinggal di sekitar kawasan
kawasan TNBB adalah Tarsius spectrum dan kuskus sulawesi (Strigocuscus
celebensis). Jenis mamalia yang ditemukan di tempat ini relatif sedikit karena

27
dapat dipengaruhioleh aktivitas manusia. Menurut Alikodra (2010) ancaman
terhadap satwa dikarenakan jumlah manusia yang semakin bertambah dalam
pemanfaatan lahan. Sedangkan dari hasil wawancara cukup banyak diidentifikasi
karena pada umumnya masyarakat sekitar mengenal kondisi kawasan lebih
banyak, sehingga pengetahuan mengenai keberadaan satwa lebih banyak pula.

Tabel 8 Jenis Mamalia di Dusun Panaikang Desa Kalabbirang


No. Jenis Mamalia Nama Latin Jenis Identifikasi

Famili Phalangeridae

Kuskus sulawesi Strigocuscus celebensis Wawancara

Famili Suidae

Babi hutan sulawesi Sus celebensis Jejak

Famili Tarsiidae

Tarsius Tarsius spectrum Wawancara

Famili Cerchopitechidae

Monyet dare Macaca maura Langsung

Sedangkan identifikasi yang dilakukan di Dusun Kampoang Desa


Tompobulu, Resort Balocci dapat diidentifikasi sebanyak enam jenis mamalia.
Dari enam jenis mamalia tersebut terdapat empat jenis mamalia yang ditemukan
di dalam jalur pengamatan, tiga diantaranya temukan secara langsung yakni bajing
tiga warna (Callosciurus prevosti pluto), tenggalung malaya (Viverra tengalunga),
dan monyet sulawesi (Macaca maura). Sedangkan terdapat satu spesies
diidentifikasi melalui jejak yakni babi sulawesi (Sus celebensis). Selain itu
terdapat dua jenis mamalia yang diidentifikasi melalui wawancara yakni rusa
timor (Cervus timorensis) dan Tarsius tarsier.
Tabel `9 Jenis Mamalia di Dusun Kampoang Desa Tompobulu

28
No. Jenis Mamalia Nama Latin Jenis Identifikasi

Famili Sciuridae

1. Bajing tiga warna Callosciurus prevostii pluto Langsung

Famili Viverridae

2. Tenggalung Malaya Viverra tangalunga Langsung & Jejak

Famili Cervidae

3. Rusa timor Cervus timorensis Wawancara

Famili Suidae

4. Babi hutan sulawesi Sus celebensis Jejak

Famili Tarsiidae

5. Tarsius Tarsius spectrum Wawancara

Famili Cerchopitechidae

6. Monyet dare Macaca maura Langsung

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian di atas dan data dari
beberapa sumber yang telah ada yakni RPTN Bantimurung Bulusaraung (2007)
dan Himakova (2007), keanekaragaman mamalia di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung terdapat dua belas jenis mamalia.

Tabel 10. Jenis Mamalia di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


No Famili Jenis Mamalia Nama Latin
.

1. Soricidae Munggis rumah Suncus murinus

2. Sciuridae Bajing Kelapa Callosciurus notatus

3. Bajing tiga warna Callosciurus prevostii pluto

4. Viverridae Tenggalung Malaya Viverra tangalunga

5. Musang Luwak Paradoxurus hermaphroditus

6. Musang sulawesi Macrogalidia


musschenbroekii

29
7. Phalangeridae Kuskus sulawesi Strigocuscus celebensis

8. Phalangeridae Kuskus beruang Ailurops ursinus

9. Cervidae Rusa timor Cervus timorensis

10. Suidae Babi hutan sulawesi Sus celebensis

11. Tarsiidae Tarsius Tarsius spectrum

12. Cerchopitechidae Monyet sulawesi /Dare Macaca maura

4.2.1.1 Dominansi, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan


Jenis Mamalia
Keanekaragaman jenis mamalia di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung perlu dipertahankan. karena memiliki indeks keanekaragaman
sedang namun memiliki jenis yang endemik sub Sulawesi, diantaranya adalah
musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii), kuskus sulawesi (Strigocuscus
celebensis), babi sulawesi (Sus celebensis), Tarsius spectrum, dan monyet
sulawesi (Macaca maura). Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik
tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan
untuk menyatakan struktur komunitas (Soegianto, 1994). Dari hasil penelitian
yang dilakukan indeks keanekaragaman di Dusun Panaikang dan Dusun
Kampoang mencapai nilai 1,33 dan 1,02. Berdasakan Shanon-Wiener yang
menyatakan nilai indeks >1 dan <3 merupakan keanekaragaman jenis sedang.
Hal ini, akan mencipkan ekosistem yang stabil (Ludwig dan Reynold 1998), yakni
keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan
kestabilan komunitas sedang. Keanekaragaman jenis mamalia tergolong sedang
ini dikarena dengan kondisi habitat yang dipengarungi oleh kawasan kars, yang
dipengarungi oleh tajuk kurang rapat serta banyak didominasi oleh vegersi yang
dominan. Nanum, dalam hal ini habitat masih cenderung stabil karena tidak
terdapat gangguan habitat secara signifikan. Keadaan stabil dapat dipengarungi
oleh transfer energi dan materi dapat berjalan dengan lancar. Namun, tidak semua
ekosistem ditentukan oleh adanya keanekaragaman hayati yang tinggi, karena
terdapat beberapa ekosistem yang memiliki keanekaragaman jenis yang rendah
namun berada pada kondisi yang stabil. Untuk itu, perlu adanya pengelolaan

30
habitat yang lestari untuk menjaga kestabilan lingkungan. Menurut Alikodra
(2010) pengelolaan habitat dapat dilakukan dengan mengatur produktivitas
makanan, sumber-sumber air, sumber-sumber garam mineral, tempat-tempat
berlindung satwa, mencegah terjadinya pencemaran, serta mencegah kerusakan
yang diakibatkan faktor lain.

Gambar 10. Index keanekaragaman dan index kemerataan mamalia di Dusun


Panaikang dan Dusun Kampoang.
Selain nilai kekayaan dan keanekaragaman jenis, nilai kemerataan juga
perlu diperhitungkan. Nilai indeks kemeratan merupakan ukuran keseimbangan
kearah suatu komunitas satu dengan yang lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh
jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas ( Ludwig and Reynolds, 1988).
Semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis di suatu habitat, maka keseimbangan
komunitasnya juga akan semakin tinggi. Nilai kemerataan menunjukan besarnya
kemerataan suatu jenis mamalia di suatu area. Dari hasi penelitian yang dilakukan
di lokasi, diketahui bahwa nilai kemerataan di Dusun Panaikang dan Dusun
Kampoang bernialai 0,96 dan 0,57. Hal ini, menunjukkan bahwa kemerataan jenis
mamalia di Dusun Panaikang tergolong tinggi, sedangkan di Dusun Kampoang
tergolong sedang. Kondisi kemerataan di dua lokasi tersebut masih tergolong
baik. Karena dari ketersedian habitat masih cukup baik. Seperti tersedianya air
yang cukup melimpah, pakan masih stabil, serta kondisi cover yang masih baik.
Kondisi baik ini karena masih minim adanya gangguan oleh manusia. Gangguan
tempat berlindung merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan
mamalia. Mamalia yang dikenal sensitif terhadap gangguan, akan menghindar jika
ganguan dari luar, seperti aktivitas manusia di dalam kawasan (Alikodra 2002).
Gangguan dari aktivitas manusia lama kelamaan dapat menimbulkan
hilangnya keanekaragaman hayati. Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya
berdampak pada punahnya salah satu jenis saja. Apabila populasi tumbuhan dan
hewan di suatu tempat sudah habis, maka keanekaragaman genetika yang terdapat
dalam setiap jenis yang memberi kemampuan bagi jenis tersebut untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya juga hilang. Oleh karena itu, setiap jenis

31
perlu dijaga kelestariannya agar tidak terjadi kepunahan misal terhadap makhluk
hidup.
4.2.1.2 Status Perlindungan dan endemisitas jenis Mamalia
Dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati, Indonesia telah
meratifikasi lima konvensi terkait keanekaragaman hayati. Kelima konvensi
tersebut antara lain Konvensi RAMSAR, CITES, Konvensi Keanekaragaman
Hayati, Protocol Kyoto, dan Konvensi Bio-safety (Noerdjito et al 2005).
Disamping itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa aturan
perundang-undangan dalam mendukung upaya konservasi sumberdaya alam dan
kehutanan. Aturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut;
1. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
2. Undang-undang RI No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan
3. Peraturan pemerintah RI No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan
satwa.
Keanekaragaman jenis mamalia di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung terdapat 12 jenis mamalia, terdiri dari 9 Famili dan 7 Ordo. Dari 12
jenis tersebut terdapat 4 Spesies dilindungi PP No. 7 Tahun 1999, 3 Jenis
termasuk dalam Appendix II CITES. Selain itu menurut status IUCN versi 3.1
tahun 2011 terdapat 5 Spesies Konsentrasi rendah (Least concern=LC), 5 Spesies
Rawan (vulnerable = VU), 1 Spesies Mendekati terancam (Near threatened = NT)
, dan 1 Spesies Genting (endangered = EN).
Tabel 11. Status perlindungan mamalia di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
NO. Jenis Mamalia Nama Latin Status Perlindungan

IUCN CITES PP
No.7/99

Famili Soricidae

1. Munggis rumah Suncus murinus LC - -

Famili Sciuridae

2. Bajing Kelapa Callosiciurus notatus LC - -

32
3. Bajing tiga warna Callosciurus prevostii pluto LC - -

Famili Viverridae

4. Tenggalung Malaya Vivera tangalunga LC - -

5. Musang Luwak Paradoxurus LC - -


hermaphrodites

6. Musang sulawesi Macrogalidia Vu - √


musschenbroekii

Famili Phalangeridae

7. Kuskus sulawesi Strigocuscus celebensis Vu - -

Famili Phalangeridae

8. Kuskus beruang Ailurops ursinus Vu - -

Famili Cervidae

9. Rusa timor Cervus timorensis Vu - √

Famili Suidae

1 Babi hutan sulawesi Sus celebensis NT APP -


0. II

Famili Tarsiidae

1 Tarsius Tarsius spectrum Vu APP √


1. II

Famili Cerchopitechidae

1 Monyet dare Macaca maura En APP √


2. II

Keterangan : Keterangan :
NT = Near Threatened, LC = Least Concern, DD = Data Deficien,
VU = Vulnerable, EN = Endangered, App= Appendix

4.2.1 Burung
4.2.1.1 Keanekaragaman jenis burung
Berdasarkan hasil pengamatan selama 17 hari di kedua lokasi yaitu
Dusun Panaikang Desa Kalabirang Kecamatan Bantimurung, Maros pada tanggal
23 Februari- 3 Maret 2011 tercatat 34 jenis burung dari 24 suku dan Dusun

33
Kampoang Desa Tompobulu Kecamatan Balocci, Pangkep pada tanggal 7-14
Maret 2011 tercatat 41 jenis burung dari 24 suku (Tabel 10).
Tabel 12. Penemuan jenis burung di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

34
Lokasi Status
No Nama Ilmiah Nama Jenis
1 2
Ardeidae
1 Egretta garzetta (Linnaeus, 1766) Kuntul Kecil √ AB
2 Bubulcus ibis (Linnaeus, 1758) Kuntul Kerbau √ AB
3 Ardeola speciosa (Horsfield, 1821) Blekok Sawah √ B
Ciconidae
4 Ciconia episcopus (Boddaert, 1783) Bangau Sandang-lawe √ AB
Accipitridae
5 Spilornis rufipectus Gould, 1858 Elangular Sulawesi √ √ II,AB
6 Ictinaetus malayensis (Temminck, Elang Hitam II,AB

1822)
7 Spizaetus lanceolatus Temminck & Elang Sulawesi II,AB

Schlegel, 1844
Falconidae
8 Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) Alapalap Sapi √ II,AB
Turnicidae
9 Turnix suscitator (Gmelin, 1789) Gemak Loreng √
Rallidae
10 Amaurornis isabellina (Schlegel, Kareo Sulawesi

1865)
11 Amaurornis phoenicurus (Pennant, Kareo Padi

1769)
Columbidae
12 Ptilinopus melanospila (Salvadori, Walik Kembang

1875)
13 Macropygia amboinensis (Linnaeus, Uncal Ambon

1766)
14 Streptopelia chinensis (Scopoli, Tekukur Biasa

1786)
15 Chalcophaps indica (Linnaeus, Delimukan Zamrud

1758)
16 Chalcophaps stephani Pucheran, Delimukan Timur

1853
Psittacidae
17 Loriculus stigmatus (S. Müller, Serindit Sulawesi II

1843)
Cuculidae
18 Rhamphococcyx calyorhynchus Kadalan Sulawesi
√ √
Temminck, 1825
19 Centropus celebensis Quoy & Bubut Sulawesi

Gaimard, 1830
Tytonidae
20 Tyto alba Scopoli, 1769 Serak Jawa √ II
Strigidae
21 Otus manadensis Quoy & Celepuk sulawesi II,A

Gaimard,1830
Caprimulgidae
22 Eurostopodus macrotis Vigors, 1831 Taktarau Besar √
Apodidae
23 Collocalia infuscatus Salvadori, Walet Maluku

35
Keterangan :
A. Dilindungi menurut PP No. 5/1990
B. Dillindungi menurut PP No.7/1999
II. Appendix II
NT. Near Threatened

`Hasil pengamatan menunjukkan penemuan jenis burung banyak tercatat


di lokasi kedua yaitu Dusun Kampoang. Jika dilihat dari tutupan vegetasi, pada
lokasi kedua memiliki tipe habitat hutan sekunder dengan tingkat kerapatan dan
komposisi jenis yang lebih tinggi, berbeda dengan lokasi pertama yaitu Dusun
Panaikang memiliki tipe habitat hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan
hutan tanaman jati yang mendominasi sehingga komposisi vegetasi menjadi
kurang beragam. Hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat keanekaragaman
satwa, karena sutau lokasi yang memiliki tingkat keanekaragaman tumbuhan yang
tinggi akan menyediakan daya dukung habitat yang lebih tinggi pula dan menjadi
habitat yang digemari banyak satwa (Ewusie 1990).
Terdapat perbedaan jenis burung yang ditemukan pada kedua lokasi yang
diamati. Perbedaan tingkat keanekaragaman jenis burung tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor seperti ketersediaan pakan, waktu aktivitas, dan tipe habitat.
Faktor-faktor tersebut juga akan berpengaruh pada komposisi jenis burung yang
dapat ditemukan pada suatu lokasi. Menurut Odum (1994), menyatakan bahwa
keanekaragaman spesies hewan termasuk burung dipengaruhi oleh tingkat
ketersediaan makanan. Sehingga akan ada perbedaan keanekaragaman jenis
burung yang disebabkan tingkat ketersediaan makanan bagi burung. Bahkan
beberapa kelompok burung dapat hidup lestari hingga saat ini disebabkan telah
berhasil menciptakan relung yang khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi
kompetisi atas kebutuhan sumber daya dan sebagai bentuk adaptasi terhadap
kondisi lingkungan.
Perbedaan pola dan cara memperoleh mangsa ini diduga mampu
menciptakan kebersamaan antara beberapa jenis burung untuk dapat hidup dan
mencari mangsa bersama-sama pada waktu dan lokasi yang sama. Kerusakan
hutan juga dapat mempengaruhi kehidupan burung liar atau dapat memaksa
burung-burung tersebut untuk keluar dari relung ekologinya, baik untuk mencari
tempat berbiak atau mencari makanan. Pada umumnya habitat dapat mengalami
perubahan kondisi musiman dalam sturktur dan ketersediaan pakan. Kerusakan

36
habitat atau perubahannya merupakan faktor utama perpindahan burung ke habitat
lainnya (Baral dan Ramji 2002)
Jenis burung yang banyak ditemui secara keseluruhan pada lokasi
pengamatan yaitu dari suku Columbidae. Secara umum, kurva penemuan jenis
burung berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan peningkatan yang cukup
curam (Gambar 9). Kecuraman tersebut menggambarkan kekayaan jenis dan
menentukan kemungkinan penemuan terhadap jenis burung yang belum tercatat
(MacKinnon et al. 1998).

Gambar 9 Kurva penemuan jenis dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon.


4.2.1.1 Dominansi, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan
Jenis Burung
Jenis burung yang dominan merupakan jenis yang sering tercatat pada
saat pengamatan dan dapat menunjukkan bahwa jenis burung tersebut mudah atau
umum dijumpai pada tipe habitat tertentu. Penentuan dominansi jenis burung
menggunakan rumus menurut van Helvoort (1981). Jenis yang dominan memiliki
nilai dominansi ≥ 5. Terdapat beberapa jenis dominan yang sama di dua lokasi
pengamatan (Tabel 13).
Tabel 13. Rekapitulasi dominansi jenis burung.

Lokasi Jenis Dominan

Panaikang Collocalia linchi, Pycnonotus aurigaster, Oriolus chinensis.


Kampoang Collocalia linchi, Scissirostrum dubium, Dicrurus
hottentotus, Oriolus chinensis, Pycnonotus aurigaster,
Loriculus sigmatus, Streptocitta albicollis, Leptocoma
sericea.

Jenis-jenis dominan ini dianggap sebagai jenis umum pada habitat


tersebut, dan habitat tempat ditemukan jenis dominan tersebut merupakan habitat
yang tepat bagi jenis burung tersebut. Dalam hal ini, habitat yang tepat mencakup
ketersediaan pakan dan cover (tempat berlindung termasuk tempat bersarang).

37
Indeks keanekaragaman menurut Margalef (1972) dalam Maguran (1988)
berkisar antara 1.50 sampai 3.50. Di Dusun Panaikang nilai indeks
keanekaragamannya 1,47 sedangkan di dusun Kampoang nilai indeks
keanekaragamannya adalah 2.76. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis
burung dipengaruhi oleh pengambilan sampel saat pengamatan, makin banyak
sampel yang diambil maka nilai indeks keanekaragaman jenis burung akan
cenderung lebih tinggi (Rahayuningsih 2009).
Indeks kemerataan jenis burung menunjukkan sebaran individu dari
setiap jenis burung pada suatu habitat tertentu. Nilai indeks kemerataan jenis
burung yang tercatat di dua lokasi pengamatan berkisar antara 0.54 sampai 0.82
(Tabel 11). Suatu komposisi jenis burung dikatakan merata, jika nilai indeks
kemerataan jenis burung tersebut makin mendekati satu , sebaliknya jika nilai
indeks kemerataan jenis burung mendekati angka nol maka semakin tidak merata.
Semakin merata suatu komposisi jenis burung, maka dapat dikatakan hanya
sedikit jenis yang mendominasi.
Tabel 14. Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (E’) jenis
burung
Lokasi H' E'
Panaikang 1,47 0,59
Kampoang 2,76 0,82

4.2.1.2 Status Perlindungan dan endemisitas jenis burung


Beradasarkan jenis-jenis yang ditemukan selama pengamatan,
diantaranya terdapat berbagai jenis yang dilindungi. Secara keseluruhan tercatat
18 jenis burung yang dilindungi berdsarkan UU No. 5 tahun 1990, dan PP No. 7
tahun 1999. Tercatat 1 jenis termasuk dalam kategori Near Threatned (IUCN), 9
jenis termasuk dalam Appendix II CITES (Tabel 10).
Dari jenis-jenis yang dilindungi tersebut terdapat jenis yang merupakan
suatu indikator bagi keutuhan hutan yaitu dari suku Bucerotidae (Koop dalam
Priatna 2002). Selain itu, terdapat beberapa jenis burung yang memiliki wilayah
penyebaran yang terbatas hanya terdapat di sub-kawasan Sulawesi, antara lain

38
Spilornis rufipectus, Spizaetus lanceolatus, Amaurornis isabellina, Loriculus
stigmatus, Rhamphococcyx calyorhynchus, Centropus celebensis, Otus
manadensis, Ceyx fallax, Penelopides exhartus, Aceros cassidix, Mulleripicus
fulvus, Dendrocopus temminckii, Lalage leucopygialis, Dicrurus montanus,
Trichastoma celebense, Basilornis celebensis, Streptocitta albicollis,
Scissirostrum dubium, dan Myza celebensis.
Secara keseluruhan, hasil inventarisasi di dua lokasi berhasil mencatat 57
jenis burung, 51 genus dari 32 suku. Berdasarkan nilai Indeks Keanekaragaman
Jenis burung pada keseluruhan lokasi, tingkat keanekaragaman jenis burungnya
tergolong sedang, dan hanya pada satu lokasi yang memiliki tingkat
keanekaragamn yang tinggi. Jenis-jenis burung yang ditemukan secara
keseluruhan tersebar secara merata.

4.2.2 Kupu-kupu

4.2.2.1 Kondisi habitat kupu-kupu


Keberadaan kupu-kupu pada suatu habitat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain ketinggian tempat, iklim, vegetasi dan waktu harian (Suantara
2000). Dalam suatu habitat memungkinkan hidup beberapa jenis kupu-kupu, ada
yang memiliki anggota yang sangat besar dan ada pula yang terdiri dari beberapa
individu saja. Semua individu-individu jenis di dalam habitat tersebut membentuk
suatu populasi untuk mempertahankan hidupnya.
Jumlah individu kupu-kupu pada jalur sungai (riparian) yang berada di lokasi
Panaikang. Sungai-sungai yang terdapat pada jalur pengamatan ini umumnya
cukup lebar dengan aliran air yang tidak terlalu. Habitat riparian ini sangat
mendukung untuk kehadiran kupu-kupu karena memiliki semua komponen habitat
yang dibutuhkan oleh kupu-kupu seperti sumber mineral, sinar matahari yang
cukup dan di sekitar pinggiran sungai banyak ditumbuhi vegetasi pakan
kupu-kupu diantaranya bingkuru (Morinda brancteae) yang menjadi
pakan kupu-kupu dari famili Hesperiidae. Jumlah kupu-kupu yang dapat
ditemukan pada habitat ini sebanyak 75 individu yang terdiri dari 40 spesies.
Jalur kedua merupakan jalur hutan sekunder yang berada di lokasi
Kampoang. Banyaknya kupu-kupu yang berhasil diamati pada jalur ini karena

39
terdapat banyak pohon dan tumbuhan berbunga yang menjadi pakan kupu-kupu
berada di sepanjang jalur pengamatan. Beberapa vegetasi dominan pakan kupu-
kupu dari famili Papilionidae diantaranya adalah sirih hutan (Piper sp), kayu putih
(Melaleuca leucadendra) dan jambu biji (Psidium guajava). Terdapat juga
tumbuhan ketepeng (Cassia alata) dan mangga hutan (Mangifera sp) sebagai
pakan kupu-kupu dari famili Nymphalidae Jumlah kupu-kupu yang ditemukan
pada habitat ini sebanyak 241 individu yang terdiri dari 65 spesies.
4.2.2.2 Keanekaragaman jenis kupu-kupu
Jenis kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN
Babul) yang ditemukan pada dua lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 2.
Jumlah total kupu-kupu yang teramati sebanyak 80 spesies (316 individu) yang
terbagi dalam 6 famili, yaitu: Papilionidae 17 spesies (58 individu), Pieridae 10
spesies (54 individu), Nymphalidae 34 spesies (140 individu), Danaidae 10
spesies (51 individu), Lycaenidae 6 spesies (9 individu) dan Hesperiidae 3 spesies
(3 individu). Berikut data jenis kupu-kupu yang ditemukan disajikan pada Tabel
Tabel 15. Jenis kupu-kupu yang ditemukan
No Nama ilmiah Panaikang Kampoang Jumlah
Papilionidae
1 Graphium agamemnon 0 5 5
2 Graphium androcles 0 1 1
3 Graphium codrus 0 1 1
4 Graphium dorcus 0 1 1
5 Graphium meyeri 4 1 5
6 Graphium milon 7 3 10
7 Graphium sarpedon 0 1 1
8 Lamproptera meges 3 0 3
9 Pachliopta polyphontes 0 1 1
10 Papilio ascalapus 1 4 5
11 Papilio blumei 1 0 1
12 Papilio fuscus 0 2 2
13 Papilio gigon 2 15 17
14 Papilio peranthus 1 1 2
15 Troides haliphron * 0 1 1
16 Troides helena* 1 1 2
17 Troides hypolitus* 0 1 1
Pieridae
18 Appias zarinda 1 1 2
19 Catopsilia pomona 5 10 15
20 Cepora fora 0 2 2
21 Cepora celebensis 1 4 5
22 Eurema alitha 0 1 1
23 Eurema celebensis 0 2 2
24 Eurema tominia 1 5 6
25 Gandaca butyrosa 0 1 1
26 Hebomoia glaucippe 3 7 10

40
No Nama ilmiah Panaikang Kampoang Jumlah
27 Pareronia tritaea 2 8 10
Nymphalidae
28 Aoa affinis 1 0 1
29 Bletogona mycalesis 1 0 1
30 Cethosia biblis 0 6 6
31 Cethosia myrina * 1 1 2
32 Charaxes affinis 0 1 1
33 Charaxes solon 0 1 1
34 Chersonesia rahria 1 0 1
35 Cupha maeonides 0 1 1
36 Cyrestis strigata 1 6 7
37 Cyrestis thyonneus 0 1 1
38 Euthalia aconthea 1 0 1
39 Faunis menado 6 16 22
40 Hypolimnas diomea 1 2 3
41 Junonia atlites 2 0 2
42 Junonia hedonia 4 8 12
43 Lamasia lyncides 0 1 1
44 Lasippa neriphus 3 3 6
45 Lexias aeetes 0 5 5
46 Lohora decipiens 0 8 8
47 Melanitis leda 2 6 8
48 Moduza libnites 1 2 3
49 Moduza lymire 1 1 2
50 Mycalesis janardana 0 1 1
51 Neptis ida 2 8 10
52 Phalanta alcippe 0 7 7
53 Rhinopalpa polynice 0 1 1
54 Rohana macar 0 1 1
55 Tarattia lysanias 0 2 2
56 Tirumala choaspes 0 3 3
57 Tirumala hamata 0 1 1
58 Vindula dejone 3 12 15
59 Vindula erota 1 0 1
60 [Sp 3] 0 1 1
61 [Sp 4] 0 2 2
Danaidae
62 Euploea algea 0 10 10
63 Euploea configurata 0 4 4
64 Euploea eleusina 1 0 1
65 Euploea hewitsonii 0 9 9
66 Euploea phaenareta 1 0 1
67 Euploea westwoodi 1 12 13
68 Idea blanchardi ^ 1 0 1
69 Ideopsis juventa 1 3 4
70 Ideopsis vitrea 0 7 7
71 Parantica cleona 1
0 1
Lycaenidae
72 Arhopala argentea 0 1 1
73 Caleta caleta 0 1 1
74 Euchrysops cnejus 2 0 2
75 Ionolyce helicon 0 3 3
76 [Sp 2] 1 0 1
77 [Sp 5] 1
0 1
Hesperiidae
78 Pelopidas mathias 1 0 1
79 Pseudocoladenia dan eacus 0 1 1
80 [Sp 1] 1 0 1

41
No Nama ilmiah Panaikang Kampoang Jumlah
Jumlah jenis 40 65 80
Jumlah individu 75 241 316

Keterangan : [Sp] = jenis kupu-kupu yang belum teridentifikasi


* = jenis kupu-kupu yang dilindungi (Appendix II CITES)

Ukuran keanekaragaman jenis merupakan salah satu ukuran dalam menilai


kekayaan alam hayati pada kawasan tertentu. Dalam kegiatan observasi
keanekaragaman jenis kupu-kupu di TN Babul ini digunakan ukuran keragaman
jenis dengan indeks Shannon-Wienner yang sesuai untuk pengukuran metode
time-search yang merupakan salah satu inventarisasi pengambilan sample secara
acak (random).
Index Shannon-Wienner merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa
besar ketidaktentuan (uncertainty) spesies-spesies yang terkandung dalam suatu
lokasi. Sehingga semakin besar indeks, semakin banyak spesies yang mungkin
dapat ditemukan. Sebaliknya, nilai nol (0) mengindikasikan bahwa spesies yang
akan ditemukan sudah dapat dipastikan, dengan kata lain hanya akan ada 1 spesies
pada lokasi tersebut. Hasil perhitungan tingkat keanekaragaman kupu-kupu di TN
Babul dapat dilihat pada tabel 3.
Nilai Evenness merupakan nilai kemerataan dengan nilai minimal nol (0)
yang mengindikasikan bahwa setiap jenis yang ditemukan pada lokasi tersebut
memiliki jumlah individu yang berbeda banyaknya (tidak pernah sama
jumlahnya), sedangkan nilai maksimal satu (1) mengindikasikan bahwa setiap
jenis yang ditemukan pada lokasi tersebut memiliki jumlah individu yang sama
banyaknya. Hasil perhitungan tingkat kemerataan kupu-kupu TN Babul dapat
dilihat pada tabel 9 di bawah.
Tabel 16 Kekayaan Jenis Kupu-kupu di TN. Babul
sLokasi Shannon-Wienner Evenness
Hutan riparian 3,45 0,94
Hutan sekunder 3,75 0,90

Nilai indeks keanekaragaman yang didapatkan yaitu sebesar 3.45 untuk


hutan riparian dan 3.75 untuk hutan sekunder, yang artinya keanekaragaman
kupu-kupu di jalur hutan riparian dan hutan sekunder tergolong tinggi dengan

42
penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas kupu-
kupu tinggi. Perbedaan tingkat keanekaragam di setiap jalur pengamatan dapat
dilihat pada gambar 5.
Dari hasil perhitungan indeks kemerataan (Evenness) diketahui bahwa
kedua tipe habitat yakni hutan riparian dan hutan sekunder memiliki nilai
kemerataan yang tinggi yaitu 0.94 dan 0.90, artinya jumlah individu per jenis
yang ditemukan pada lokasi tersebut cukup merata. Perbedaan tingkat kemerataan
di setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Diagram nilai keanekaragaman dan kemerataan.


Jalur pengamatan di lokasi pertama merupakan habitat riparian. Habitat
riparian memiliki potensi tinggi sebagai tempat hidup kupu-kupu, hal ini
disebabkan tersedianya sumber air, vegetasi yang terbuka dan intensitas sinar
matahari yang tinggi. Kupu-kupu yang banyak dijumpai berasal dari famili
Nymphalidae dan Papilionidae. Famili Nymphalidae diantaranya jenis Faunis
menado, Junonia hedonia dan Vindula dejone.. Sedangkan famili Papilionidae
yang dominan diantaranya jenis Graphium milon dan Graphium meyeri.
Pada daerah riparian tepatnya di bagian pinggir sungai dijumpai kupu-
kupu mati pada tumpukan pasir di atas bebatuan. Di sepanjang jalur pengamatan
banyak ditemukan letak tumpukan pasir dengan adanya bekas urine manusia yang
terdapat bangkai kupu-kupu. Bangkai kupu-kupu tersebut terdiri dari beberapa
jenis dengan jumlah sekitar 10 individu setiap tumpukan pasir. Kupu-kupu mati di
bebatuan pada daerah pinggiran sungai dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6 Sekumpulan kupu-kupu mati di bebatuan.

43
Kegiatan pengamatan di lokasi kedua yakni pada habitat hutan sekunder
dimulai pada pukul 09.00 WITA setelah cahaya matahari dapat menembus lantai
hutan. Jalur pengamatan dibuat menyusuri hutan dengan kondisi vegetasi rapat
dan berkanopi tertutup. Lokasi ini merupakan jalur terbanyak ditemukannya kupu-
kupu karena terdapat banyak vegetasi pakan kupu-kupu. Jumlah kupu-kupu yang
berhasil diamati sebanyak 241 individu terdiri dari 65 spesies. Jenis-jenis yang
mendominasi diantaranya adalah Papilio gigon dari famili Papilionidae,
Catopsilia Pomona dari famili Pieridae, Cethosia biblis dari famili Nymphalidae
dan Euploea westwoodi dari famili Danaidae .
Secara keseluruhan ada beberapa jenis kupu-kupu yang mendominasi
disetiap habitatnya, antara lain pada tipe habitat hutan riparian adalah jenis Faunis
menado dan Vindula dejone. Sedangkan pada habitat sekunder adalah Papilio
gigon dan Euploea westwoodi. Secara keseluruhan nilai dominansi setiap kupu-
kupu dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7 Tingkat dominansi setiap jenis kupu-kupu.


4.2.2.3 Aktivitas kupu-kupu
Kehidupan kupu-kupu dipengaruhi oleh temperatur lingkungannya. Sinar
matahari pagi diperlukan kupu-kupu untuk mengeringkan sayapnya yang lembab
sehingga sayap dapat digunakan untuk terbang (Novak 1999). Sedangkan menurut
Sihombing (1999) pada cuaca dingin kupu-kupu meningkatkan pembukaan
sayapnya untuk mendapatkan cahaya matahari dan meningkatkan temperatur
tubuh dengan cara terus berjemur. Pada saat inilah kupu-kupu senantiasa
merentangkan sayapnya agar kering sehingga dapat terbang dengan ringan dan
mudah. Bila temperatur tubuh meningkat kupu-kupu akan mencari tempat
berteduh.

44
Gambar 4. kupu-kupu yang sedang berjemur.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kedua tipe habitat, kupu-kupu di TN
Babul secara umum memulai aktivitasnya pada pagi hari hingga mendekati siang
yakni sekitar pukul 09.00-12.00 WITA. Pada pagi hari kupu-kupu hinggap di
permukaan daun dan di pucuk-pucuk tumbuhan yang terkena sinar matahari pada
pagi hari. Pada saat inilah kupu-kupu berjemur dengan merentangkan sayapnya
agar kering sehingga dapat terbang dengan ringan dan mudah. Ketika pengamatan
pada pagi hari dijumpai pula kupu-kupu yang sedang melakukan perkawinan, hal
ini diketahui karena pada saat pengidentifikasian kupu-kupu yang telah ditangkap
tersebut ternyata berjenis kelamin berbeda.
Saat siang kupu-kupu hinggap di batu-batuan atau di atas daun-daunan
pada tumbuhan dengan sayap terlipat yang mungkin bertujuan untuk mengurangi
penguapan akibat sinar matahari yang terik. Kupu-kupu akan menghentikan
aktivitasnya pada malam hari dengan beristirahat dibalik daun atau ranting pohon
dan ditempat-tempat yang sulit dijangkau oleh pemangsa.
4.2.2.4 Jenis kupu-kupu dilindungi
Habitat hutan sekunder dengan vegetasi pakan kupu-kupu yang cukup
banyak memberikan potensi besar untuk kehadiran kupu-kupu sayap burung.
Kupu-kupu sayap burung atau yang lebih dikenal dengan nama Birdwing (famili
Papilionidae) umumnya adalah golongan kupu-kupu dilindungi. Di Indonesia
terdapat beberapa aturan perlindungan kupu-kupu yang berlaku, diantaranya
adalah CITES dan PP No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis satwa dan
tumbuhan.

45
Pada jalur pengamatan hutan sekunder ditemukan jenis kupu-kupu yang
termasuk jenis kupu dilindungi dalam daftar Appendix II CITES, yaitu Cethosia
myrina, Troides haliphron, Troides hypolitus dan Troides helena (Gambar 8).

Gambar 8 Troides helena.


Troides helena merupakan spesies umum yang dapat dijumpai hingga
ketinggian 1.000 mdpl. Kupu-kupu ini dapat terbang tinggi namun seringkali
turun dan hinggap pada bunga pohon yang rendah dan semak-semak (Soehartono
& Mardiastuti 2003). Jenis Helena Birdwing ini ditemukan sedang hinggap pada
tumbuhan sirih hutan. Troides helena memiliki ukuran panjang sayap 70 mm,
sayap depan berwarna coklat tua kehitaman, terdapat sisik-sisik halus berwarna
kuning yang tersusun membentuk garis. Pada jantan bagian ujung sayap depan
bewarna hitam dan pada bagian sayap bawah terdapat titik hitam yang terpisah.
Sayap belakang berwarna kuning emas dengan vena berwarna hitam.

4.3 Tumbuhan Insitu


4.3.1 Tipe Ekosistem
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki tipe ekosistem yang unik
dengan bentang alam berupa kawasan karst yang menjulang tinggi dan berjajar
membentuk tower karst yang telah dikenal dunia Internasional sebelum perang
Dunia II sebagai “The Spectacular Tower Karst” ( RPTN Babul 2008). Bentuk
susunan ekosistem TN Babul dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Arief
(1994) faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap susunan
ekosistem hutan dikelompokkan menjadi dua formasi, yaitu formasi klimatis dan
formasi edafis.

46
Formasi klimatis merupakan formasi hutan yang dalam pembentukannya
dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, misalnya temperatur, kelembaban udara,
intensitas cahaya dan angin (Indriyanto 2006). Iklim di TN Babul memiliki 3 tipe,
yaitu Iklim tipe D, C dan B. Iklim D terletak di wilayah Bengo-bengo,
karaenta,Biseang, Labboro, Tonasa. Iklim C terletak di wilayah te’ne. Iklim B
terletak di wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa (RPTN Babul 2008). Kondisi
curah hujan di TN Babul dibagi menjadi 4 zona, yaitu curah hujan 2.250 mm,
2.750 mm, 3.250 mm dan 3.750 mm.
Formasi edafis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat
dipengaruhi oleh keadaan tanah, misalnya sifat-sifat fisika, sifat kimia dan sifat
biologi tanah (Indriyanto 2006). Jenis tanah di TN Babul dibagi menjadi dua,
yaitu tanah yang kaya akan kalium dan tanah yang kaya akan magnesium (RPTN
babul 2008). Pembentukan jenis tanah ini juga di pengaruhi oleh formasi geologi
yang mendominasi pembentukan ekosistem TN Babul. Formasi geologi tersebut,
meliputi formasi balang baru, batuan gunung api terpropilitkan, formasi Mallawa,
formasi Tonasa, formasi Camba, batuan Gunung Api Formasi Camba, batuan
Gunung Api Baturape-Cindako, batuan Terobosan dan batuan aluvium.
Faktor lingkungan tersebut mempengaruhi tipe ekosistem TN Babul, 75%
kawasan TN Babul berupa kawasan karst dan 25% berupa ekosistem hutan non
karst yang berupa ekosistem hutan, seperti di Panaikang, Pattunuang dan
Bantimurung yang berupa hutan riparian dan di Bulusaraung berupa hutan
pegunungan.
A. Kondisi Tipe Ekosistem berdasarkan sistem Zonasi
Sistem zonasi TN Babul 75% didominasi oleh zona inti yang tersusun atas
bentang alam karst, sedangkan 25% terdiri dari zona rimba, zona penyangga dan
zona pemanfaatan. Ekosistem hutan disetiap zonasi memiliki tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi. Kondisi ini mempengaruhi keanekaragaman
hayati disetiap ekosistem yang ada di TN Babul, seperti ekosistem yang ada di
hutan riparian maupun hutan pegunungan.
Hutan riparian di sekitar kawasan Panaikang, Pattunuang dan Bulusaraung
memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora maupun
faunanya. Di daerah Panaikang jenis fauna yang dominan adalah kupu-kupu,
burung dan babi hutan sulawesi (Sus celebensis), sedangkan flora yang sering

47
ditemukan adalah jati (Tectona grandis) dan kopi (Coffea robusta) sebagai hutan
tanaman yang dikelola oleh warga Panaikang. Wilayah hutan di Panaikang sering
dijadikan sebagai wilayah pengembalaan sapi bali (Bos sondaicus) yang ditandai
dengan adanya padang pengembalaan yang berada di tepi riparian.

Gambar 9. Penggembalan sapi bali secara liar di hutan Panaikang


Kawasan hutan di wilayah Pattunuang berada di tepian areal riparian sungai
Pattunuang. Di sebelah kanan maupun kiri areal riparian di batasi oleh tebing-
tebing karst yang menjulang tinggi. Ekosistem hutan di sepanjang jalan kawasan
riparian Pattunuang di dominasi oleh pohon-pohon yang tinggi dan
beranekaragam jenisnya, satwa yang sering dijumpai adalah soa-soa
(Hydrosaurus amboinensis). Kawasan hutan riparian ini telah digunakan sebagai
jalan penghubung antara jalan raya Patunuang dan desa Pattunuang yang terletak
di dalam hutan.
Kawasan hutan riparian Bantimurung terletak di sekitar area ekowisata
Bantimurung. Pemanfatan sebagian kawasan sebagai area ekowisata telah
mengkibatkan hilangnya keanekaragaman flora fauna khas yang dulunya sering
ditemukan. Jenis flora yang ditemukan di daerah ini adalah jenis liana, epifit dan
jenis-jenis pohon yang tinggi. Jenis fauna endemik yang ditemukan adalah burung
rangkong (Aceros cassidix) yang hanya dapat dijumpai pada sore hari di atas
tebing.
Hutan pegunungan dapat ditemukan di sekitar dusun Kampoang Desa
Tompobulu Kecamatan Bulusaraung Kabupaten Pangkajene Kepulauan
(Pangkep). Ekosistem hutan Kampoang termasuk ekosistem hutan pegunungan

48
yang memiliki tingkat biodiversitas flora dan fauna yang tinggi. Jenis flora yang
sering dijumpai di Kampoang, meliputi kemiri (Aleurites moluccana), Aren
(Arenga pinnata), ketepeng (Cassia alata), mangga hutan (Mangivera sp),
barunganga (Leea sp.), dan kayu putih (Melaleuca leucadendra). Jenis fauna
beraneka ragam, meliputi Dare (Macaca maura), kupu-kupu dan burung. Area
hutan ini merupakan area hutan sekunder, akan tetapi semakin tinggi ketinggian
semakin mendekati area hutan primer yang ditandai dengan tingginya tingkat
pohon-pohon yang rindang, tinggi dan berdiamer besar dan semakin sedikitnya
tingkat tumbuhan bawah.

B. Gangguan Ekosistem
Gangguan terhadap ekosistem sering diakibatkan oleh gangguan dari manusia
yang menyebabkan penyempitan habitat dari flora mapun fauna sekitar. Gangguan
itu berupa penebangan liar. Akibat dari berkurangnya habitat ini, Macaca maura
yang sering masuk ke areal perkebunan maupun pertanian warga Tompobulu.
Selain itu, keanekaman hayati dan keindahan kupu-kupu telah diganggu oleh
aktifitas penangkapan liar kupu-kupu oleh warga sekitar yang mayortas dilakukan
oleh kaum anak muda. Hal ini mempengaruhi tingkat keanekaragaman hayati di
ekosistem hutan TN babul menjadi semakin berkurang.

Gambar . Penangkapan kupu-kupu melalui jebakan air kencing diatas pasir

C. Identifikasi Potensi tumbuhan


Jenis tumbuhan di kawasan TN Babul berpotensi sebagai area berlindung dan
sumber pakan bagi kupu-kupu. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan di dua
lokasi yaitu di Panaikang dan Kampoang.

49
Berdasarkan hasil praktek lapang telah ditemukan 24 jenis tumbuhan di
kawasan hutan Panaikang. Potensi tumbuhan sebagai pakan kupu-kupu terdapat
11 jenis.

Tabel 17. Potensi pakan kupu-kupu di kawasan hutan Panaikang

Famili kupu-kupu Famili Tumbuhan Nama latin Nama lokal


Papilionidae Asteraceae Sonchus arvensis Tempuyung
Piperaceae Piper sp Sirih hutan
Rutaceae Cytrus hystris Jeruk purut
Troides Piperaceae Piper sp Sirih hutan
Capparaceae Cleome speciosa Maman
Fabaceae Tamarindus indica Asam
Nympalidae Caesalpiniaceae Cassia siamea Johar
Hesperidae Rubiaceae Coffea robusta Kopi-kopi
Morinda sp Bakang
Morinda brancteae Bingkuru
Fabaceae Tamarindus indica asam

Habitat di sekitar hutan Panaikang cocok untuk pertumbuhan famili


Piperaceae, Asteraceae, Rutaceae sebagai pakan Papilionidae dan Capparaceae,
Fabaceae, dan Piperaceae sebagai pakan Troides. Untuk jenis Nympalidae dan
Hesperidae memiliki kelimpahan jenis yang tidak melimpah. Berdasarkan
tingkatan spesies, potensi pakan Hesperidae yang mendominasi, yaitu 37%.
Sedangkan potesi pakan Troides dan Papilionidae seimbang, yaitu 27%. Hal ini
mempengaruhi tingkatan keanekaragaman kupu-kupu di daerah Panaikang.

Gambar 11. Jumlah pakan kupu-kupu berdasarkan spesies.

Kawasan hutan Kampoang yang terletak di desa Tompobulu memiliki


keanekaragaman jenis tumbuhan sebagai potensi pakan kupu-kupu yang lebih
banyak daripada Panaikang. Dai 63 jenis tumbuhan antara yang telah
teridentifikasi dan yang belum teridentifikasi terdapat 18 jenis tumbuhan yang
berpotensi sebagai pakan kupu-kupu.

Tabel 18. Jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pakan kupu-kupu

50
Famili Kupu-
Famili Spesies Nama lokal
kupu
Papilionidae Myristicaceae Knema cinerea Jileng-jileng
Piperaceae Piper sp sirih hutan
Macropiper sp Eppoh
Piper sp mrica-mrica
Melaleuca
Myrtaceae leucadendra kayu putih
Psidium guajava jambu biji
Rutaceae Cytrus maxima Jeruk bali
Cytrus sinensis Jeruk buah
Troides sp Piperaceae Piper sp Sirih hutan
Macropiper sp Eppoh
Piper sp Mrica-mrica
Satirydae Poaceae Rumput tulang
Caesalpiniacea
Cassia alata
Nymphaliydae e Ketepeng
Anacardiaceae Mangifera sp. Mangga hutan
Moraceae Ficus fistulosa buah batu
Ficus hispida Lambere
Ficus virgata
Ficus annulata Kajuara

Dari 18 jenis tumbuhan potensi pakan terbesar adalah potensi pakan bagi
Papilionidae yang mencapai 45%. Famili jenis pakan tersebuut meliputi famili
Myristicaceae, myrtaceae, rutaceae dan piperaceae. Jenis ini sering ditemukan di
habitat hutan pegunungan daerah Kampoang dan di sekitar jalan menuju desa
Tompobulu, serta di sekitar area riparian aliran sungai Kampoang.

Berdasarkan tingkatan spesies, jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai


pakan kupu-kupu adalah pakan Papilionidae sebanyak 44% diikuti jenis pakan
Nympalidae. Jenis papilionidae merupakan jenis kupu-kupu yang indah dan
banyak diminati pengunjung sebagai souvenir ofset kupu-kupu. Dan di kampoang
terdapat banyak jenis Papilionidae beserta potensi pakan dan habitat yang
mendukung. Hal ini didukung oleh tidak adanya kegiatan penangkapan kupu-kupu
yang mampu mengurangi keanekaragaman jenis kupu-kupu dan pola kebudayaan
sekitar masyarakat yang masih menjaga kearifan tradisional dalam menjaga
ekosistem flora fauna daerah sekitar Tompobulu, Kampoang dan sekitarnya.

51
Gambar 12. Jumlah pakan kupu-kupu berdasarkan spesies tumbuhan

4.4 Jasa Lingkungan


4.4.1 Debit Air Sungai
Debit air sungai adalah tinggi permukaan air sungai yang terukur oleh alat
ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan
pengertian yang lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk
volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu.
Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per
detik (m3/dt). Perlu diingat bahwa distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak
sama arah horisontal maupun arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran
pada tepi alur tidak sama dengan tengah alur, dan kecepatan aliran dekat
permukaan air tidak sama dengan kecepatan pada Dasar alur.
Salah satu kegiatan pengamatan jasa lingkungan yang dilakukan adalah
pengukuran debit air sungai, namun pengukuran ini hanya dilakukan pada lokasi
pengamatan dua yaitu Dusun Kampoang Kecamatan Balochi. Hal ini diakibatkan
kondisi lapang yang tidak memungkinkan. Curah hujan yang tinggi di Dusun
Panaikang mengakibatkan volume air sungai meningkat sangat tinggi dan sangat
berbahaya jika dipaksakan untuk mengukur debit air.
Debit air sungai Kampoang diukur dengan menggunakan Velocity
method. Prinsip metode ini yaitu dengan mengukur luas penampang sungai dan
mengukur kecepatan arus sungai Kampoang. Pada prinsipnya, pengukuran
dilakukan terhadap luas penampang basah dan kecepatan aliran. Penampang basah
(A) diperoleh dengan pengukuran lebar permukaan air dan pengukuran kedalaman
dengan tongkat pengukur atau kabel pengukur. Sedangkan untuk mengukur
kecepatan aliran sungai dengan menggunakan metode apung.
Formula untuk menghitung Debit air dengan Velocity method yaitu :

Q = V.A Dimana : Q = Debit Air (m3/s)


V = Kecepatan aliran sungai (m/s)
A = Luas Penampang sungai (m2)

52
Debit air yang merupakan komponen penting dalam pengeloaan Daerah Aliran
Sungai (DAS), oleh karena itu perhitungan debit aliran sungai harus dilakukan
seteliti mungkin.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dapat diketahui bahwa
debit air rata-rata sungai Kampoang adalah 0,162523 m3/sekon atau sekitar
585,0824 m3/jam, 14041,9776 m3/hari dan 5055112,1 m3/tahun. Jumlah tersebut
dapat diartikan bahwa terdapat 0,162523 m3 air yang mengalir dalam setiap
detiknya atau mencapai 5055112,1 m3 dalam satu tahun . Angka ini dapat
dikatakan cukup kecil. Kecilnya jumlah debit air yang terukur disebabkan karena
kondisi sungai yang memang merupakan sungai berbatu dan memiliki luas yang
tidak terlalu besar. Selain itu, kondisi sungai yang berbatu juga mempengaruhi
kecepatan laju air dalam tiap sekonnya. Berdasarkan rumus yang dipakai, maka
dapat diketahui bahwa beberapa hal yang dapat mempengaruhi besar kecilnya
debit air sungai adalah lebar sugai, kedalaman sungai, dan kecepatan laju bola
atau waktu tempuh. Selain faktor tersebut, curah hujan kawasan juga merupakan
hal yang dapat mempengaruhi jumlah debit air yang ada. Profil sungai yang tidak
terlalu lebar bahkan cenderung sempit dan kedalaman yang rendah serta kondisi
berbatu dan ditambah dengan crah hujan yang tidak terlalu rendah mengakibatkan
debit air sungai Kampoang tidak terlalu besar.
4.4.2 Potensial Hidrogen (pH)
Parameter lain yang juga diukur dalam aspek jasa lingkungan adalah pH
(potensial hidrogen) air sungai. Ph air sungai merupakan salah satu parameter
kimia yang dapat diukur untuk mengetahui kualitas air. Hal ini sesuai dengan
yang dijelaskan dalam PP RI No.82 tahun 2001 dalam Subchan (2008) bahwa
parameter kualitas air dapat meliputi parameter fisika seperti suhu, kekeruhan,
padatan terlarut, dan sebagainya ; parameter kimia yang meliputi pH, oksigen
terlarut, BOD5, kadar logam dan lain-lain; serta paramater mikrobiologi yang
meliputi keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya.
pH merupakan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam suatu cairan
(Subchan 2008). PH atau potensial hidrogen dapat dipengaruhi oleh beberapa
parameter antara lain aktifitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-
ion. Aktifitas biologi yang menghasilkan gas CO2 akan membentuk ion buffer

53
atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod
1978 dalam Azwir 2001). Menurut Brook et al (1989) dalam Fakhry (2000)
menyebutkan bahwa perairan sudah dianggap tercemar apabila memiliki nilai pH
dengan kisaran pH<4,8 dan >9,2. Sedangkan menurut Sastrawijaya (1991) jika pH
air < 7 dan >8,5 kemungkinan pencemaran sudah terjadi pada sungai tersebut.
Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada Dusun Kampoang Kecamatan
Balochi didapatkan data bahwa pH sumber mata air yang digunakan oleh warga
sekitar memilki nilai pH 6,2. Hal ini berarti kondisi sumber mata air sungai Dusun
Kampoang masih tergolong baik jika menggunakan patokan yang dibuat oleh
Brook et al namun sudah termasuk tercemar jika menggunakan ukuran skala yang
digunakan oleh Sastrawijaya. Jika dilihat dari tingkat kecerahan yang masih tinggi
dan banyaknya vegetasi yang hidup di pinggiran sungai maka dapat dikatakan
bahwa sungai kampoang masih dalam keadaan baik. Selain itu, dalam pustaka
yang lain juga menyebutkan bahwa nilai pH 6,5 – 7,5 masih merupakan nilai pH
untuk air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan fithria (2010). Dengan
nilai pH 6,2 maka sumber air sungai yang berada di dusun Kampoang masih
aman untuk digunakan sebagai air minum baik bagi satwa maupunbagi
masyarakat sekitar. Keadaan sungai yang masih baik ini memberikan dampak
yang positif bagi kehidupan satwa yang ada baik kupu-kupu, mamalia mauoun
burung. Hal ini dikarenakan dengan adanya sumber air yang baik, maka vegetasi
yang menjadi sumber pakan bagi satwa-satwa tersebut dapat tumbuh dengan baik.
4.4.2 Suhu Udara
Suhu udara diukur di dua lokasi yaitu Dusun Panaikang dan Kampoang
dengan dua kali pengulangan yaitu berkisar pada pukul 10.00 WITA-10.30 WITA
dan pada sore harinya pada pukul 15.00 WITA-15.30 WITA.
Suhu udara rata-rata pada lokasi pertama adalah 250C pada pagi hari dan
26,30C pada sore hari. Suhu ini termasuk normal bahkan relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan suhu udara kota Makassar yang mencapai 340C salah satu
faktor yang mempengaruhinya adalah curah hujan yang cukup tinggi. Hujan yang
turun setiap hari menyebabkan suhu udara menjadi rendah dan kelembaban naik.
Selain faktor hujan, suhu lingkungan juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

54
yang lainnya seperti letak lintang, ketinggian tempat serta kondisi lingkungan
(Kastolani 2007).
Lokasi pengamatan yang diambil memiliki ketinggian sekitar ..??? dan dengan
tutupan vegetasi yang cukup rapat sehingga suhu udaranya menjadu cukup
rendah. Kelembaban udara tempat tersebut adalah 81,667%. Angka ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kelembaban udara pada lokasi pengamatan yang
kedua yang hanya 77,2%.

55

You might also like