You are on page 1of 7

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM

PEREKONOMIAN INDONESIA

Peran pertanian dalam pembangunan dapat dikelompokan menjadi 3 kegiatan pokok,antara lain :
1. Menyumbang produk domestic bruto nasional
2. Memberikan kesempatan kerja
3. Sebagai sumber penerimaan devisa hasil ekspor komoditi

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki daratan yang sangat luas sehingga
mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pada sektor pertanian. Pertanian dapat dilihat
sebagai suatu yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi nasional yaitu sebagai berikut:

- ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di
bidang pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran sebagai sumber bahan
baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur dan
perdagangan.

- Pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi
produk-produk dari sektor-sektor lainnya.

- Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya.

- Sebagai sumber penting bagi surplus perdagangan (sumber devisa).

Kontibusi terhadap kesempatan kerja

Di suatu Negara besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih di
dominasi oleh ekonomi pedesaan sebagian besar dari jumlah penduduknya atau jumlah tenaga
kerjanya bekerja di pertanian. Di Indonesia daya serap sektor tersebut pada tahun 2000 mencapai
40,7 juta lebih. Jauh lebih besar dari sector manufaktur. Ini berarti sektor pertanian merupakan
sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Kalau dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan industri manufaktur,
pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama menunjukkan suatu pertumbuhan tren yang
menurun, sedangkan di sektor kedua meningkat. Perubahan struktur kesempatan kerja ini sesuai
dengan yang di prediksi oleh teori mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi dari suatu
proses pembangunan ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa semakin tinggi pendapatan per
kapita, semakin kecil peran dari sektor primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin
besar peran dari sektor sekunder, seperti manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang ekonomi.
Namun semakin besar peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok bahan
baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Kontribusi devisa

Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap peningkatan devisa, yaitu
lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap
impor atas komoditi pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi mulai
dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah.

Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya dalam
bentuk kontribusi produk. Kontribusi produk dari sector pertanian terhadap pasar dan industri
domestic bisa tidak besar karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian besar
kebutuhan pasar dan industri domestic disuplai oleh produk-produk impor. Artinya peningkatan
ekspor pertanian bisa berakibat negative terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya
usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu factor penghambat bagi
pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu
menambah kapasitas produksi dan meningkatkan daya saing produknya. Namun bagi banyak
Negara agraris, termasuk Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah terutama
karena keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.

Kontribusi terhadap produktivitas

Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang
tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan-lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian
semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok),
seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh
dua hal: karena volume produksi yang rendah ( yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya),
sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat
distribusi yang tidak merata ke sluruh dunia.

Mungkin sudah merupakan evolusi alamiah seiring dnegan proses industrialisasi dimana
pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun, sedangkan dari industri manufaktur
dan sektor-sektor skunder lainnya, dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi
seperti ini juga terjadi di Indonesia. Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap
pembentukan PDB bukan berarti bahwa volume produksi berkurang (pertumbuhan negatif).
Tetapi laju pertumbuhan outputnya lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output di
sektor-sektor lain.

Bukan hanya dialami oleh Indinesia tetapi secara umum ketergantungan negara agraris
terhadap impor pangan semakin besar, jika dibandingkan dengan 10 atau 20 tahun yang lalu,
misalnya dalam hal beras. Setiap tahun Indonesia harus mengimpor beras lebih dari 2 juta ton.
Argumen yang sering digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan M-nya adalah
bahwa M beras merupakan suatu kewajiban pemerintah yang tak bisa dihindari, karena ini bukan
semata-mata hanya menyangkut pemberian makanan bagi penduduk, tapi juga menyangkut
stabilitas nasional (ekonomi, politik, dan sosial).
Kemampuan Indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk swasembada dalam
penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak faktor eksternal maupun internal. Satu-
satunya faktor eksternal yang tidak bisa dipengaruhi oleh manusia adalah iklim, walaupun
dengan kemajuan teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap produksi
pertanian bisa diminimalisir. Dalam penelitian empiris, factor iklim biasanya dilihat dalam
bentuk banyaknya curah hujan (millimeter). Curah hujan mempengaruhi pola produksi, pola
panen, dan proses pertumbuhan tanaman. Sedangkan factor-faktor internal, dalam arti bisa
dipengaruhi oleh manusia, di antaranya yang penting adalah lusa lahan, bibit, berbagai macam
pupuk (seperti urea, TSP, dan KCL), pestisida, ketersediaan dan kualitas infrastruktur, termasuk
irigasi, jumlah dan kualitas tenaga kerja (SDM), K, dan T. kombinasi dari faktor-faktor tersebut
dalam tingkat keterkaitan yang optimal akan menentukan tingkat produktivitas lahan (jumlah
produksi per hektar) maupun manusia (jumlah produk per L/petani). Saat ini Indonesia, terutama
pada sektor pertanian (beras) belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ini berarti Indonesia
harus meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi untuk menigkatkan produktivitas
pertanian.

Sejak menurunya peranan minyak bumi dan gas, perhatian dan harapan banyak diarahkan
kepada agribisnis untuk melanjutkan kegiatan pembangunan nasional. Harapan yang diberikan
kepada agribisnin ditentukan oleh kondisi yang ada itu sendiri (intern) dan kondisi luar
(ekstern).Salah satu factor intern yang mempengaruhi perkembangan pertanian di Indonesia
adalah kurangnya tenaga kerja yang mempunyai tingkat keahlian yang selanjutnya akan
mempengaruhi produktivitas dan kualitas komoditas yang dihasilkan.

Faktor ekstern agribisnis yang sangat penting adalah kemampuan pasar untuk
menampung hasil-hasil agribisins lewat sisi permintaan dan kebijaksanaan pemerintah yang
dapat menunjang pengembangan agribisnis itu sendiri. Misalnya,penyederhanaan izin
ekspor.penghapusan pungutan-pungutan ,kemudahan kredit,peningkatan ketrampilan ,dan
kelancaran pengangkutan barang.

Sejauh mana kebijakan tersebut dapat benar-benar efektif,masih sangat tergantung pada
pelaksanaanya di lapangan .Oleh karenai itu,diperlukan adanya penguasaan,dan penghayatan
terhadap kebijaksanaan yang dirumuskan ,khusus untuk bidang pengawasan perlu mendapat
perhatian.

Proses industrialisasi dilaksanakan dengan perbedaan yang amat prinsip, yaitu bahwa
sektor industri manufaktur (modern) dijalankan dengan prinsip maksimisasi keuntungan biasa;
sedangkan sektor pertanian (tradisional) dijalankan dengan norma-norma konvensional, bukan
prinsip-prinsip produksi marjinal. Jadi, apabila konsep kelebihan tenaga kerja memang diartikan
sebagai tingkat produktivitas marjinal yang mendekati nol, maka tingkat alokasi produksi dalam
sektor perrtanian hampir tidak mungkin untuk mengikuti prinsip-prinsip persaingan pasar
sempurna.

Artinya, tingkat upah buruh di sektor pertanian terlalu kecil untuk sekadar bertahan hidup,
sehingga suatu norma tertentu terkadang dijadikan basis pengambilan keputusan alokasi
produksi. Proses industria1isasi yang dicirikan oleh karakter dualistik tersebut umumnya
menghadapi kondisi asimetri produksi dan asimetri organisasi. Asimetri produksi maksudnya
adalah bahwa penggunaan faktor produksi modal tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor
pertanian dan lahan tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor industri. Sedang asimetri
organisasi maksudnya tingkat penerimaan upah di kedua sektor tersebut tidak akan mencapai
keseimbangan karena perbedaan produktivitas marjinal tenaga kerja.

Prinsip yang diperjuangkan para ekonom pertanian ini cukup sederhana, namun
menyentuh sendi-sendi kehidupan perekonomian, misalnya bahwa laju penyediaan bahan pangan
minimal harus sama atau lebih besar dari laju permintaan pangan, yang sangat ditentukan oleh
tingkat pertumbuhan penduduk, pendapatan serta elastisitas atau persentase pendapatan untuk
konsumsi pangan. John Mellor terus konsisten memperjuangkan fungsi strategis sektor pertanian
sebagai pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja, yang sekaligus sangat
menentukan proses perubahan teknologi dan industrialisasi baik di negara berkembang, maupun
di negara maju.

Ketika ekonomi pertanian semakin memperoleh tempat di tengah masyarakat, maka


perubahan teknologi berikut ini menandai kehidupan dunia pertanian dan peradaban manusia
umumnya. Di antaranya adalah penemuan varietas unggul baru dalam komoditas pangan biji-
bijian, penambahan zat hara tanah dalam bentuk pupuk buatan, penanggulangan hama dan
penyakit tumbuhan dengan bahan kimia, pengaturan populasi tanaman, serta manajemen
pengaturan air irigasi dan drainase, dan sebagainya. Era perubahan teknologi yang sangat pesat
itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau, karena memang ditujukan untuk
meningkatkan produksi pertanian terutama bahan pangan, sebagai jawaban para ilmuwan lain
terhadap ancaman kekurangan pangan dan kelaparan yang begitu mudah dijumpai di banyak
tempat.

Revolusi Hijau telah mampu menyelamatkan manusia dan jenis peradabannya dari
kepunahan atau kematian karena kelaparan, yang sekaligus memupus keraguan aliran pemikiran
pesimisme ala Thomas Malthus dan pengikutnya. Lonjakan produksi pangan dan biji-bijian yang
dihasilkan oleh teknologi baru dalam hal benih dan varietas unggul baru serta bahan kimia yang
menjadi pupuk dan pestisida tercatat sampai pangan 4-5 kali lipat dari sebelumnya, sesuatu yang
tidak pemah terbayangkan sebelumnya.

Para ekonom pertanian sering menyebutnya dengan teknologi biologis-kimiawi, yang


sangat diandalkan pada lahan sempit dengan penduduk yang padat, sekaligus untuk
membedakannya dengan teknologi mekanis yang mengandalkan mesin dan alat pertanian yang
sangat memadai untuk areal luas dengan tenaga kerja yang terbatas.

Dalam hal teknologi mekanis, ekonomi pertanian melihatnya sebagai suatu respons
rasional karena kecilnya rasio lahan terhadap tenaga kerja, sebagaimana yang diadopsi di negara-
negara dengan areal lahan sangat luas, seperti di Amerika Serikat, Eropa Barat, Rusia dan lain-
lain. Aplikasi teknologi mekanis sering juga dianggap sebagai varian dari Revolusi Industri, yang
telah berlangsung sejak abad 19, walaupun para ekonom pertanian belum terlalu sepakat tentang
keterkaitannya dengan Revolusi Hijau atau revolusi di dunia pertanian tersebut.

Maksudnya, revolusi pertanian bukan sekadar penerapan atau adopsi metode-medote


industrialisasi kepada proses produksi pertanian. Jika di industri proses mekanisasi merangsang
terspesialisasinya tenaga kerja, di pertanian proses mekanisasi mengandung dimensi ruang dan
waktu yang amat rumit. Keterpautan waktu antara pengolahan lahan, tanam, penanggulangan
gulma, hama dan penyakit, panen dan sebagainya itu memang memerlukan mesin pertanian
spesialis khusus. Pada sistem pertanian yang sangat mekanis, mobilitas dan spesialisasi
seringkali mengakibatkan biaya investasi per tenaga kerja yang lebih tinggi dari pada di sektor
industri. Hal itu berarti bahwa teradopsinya mekanisasi dalam bidang pertanian adalah untuk
meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian itu sendiri. Singkatnya, perkembangan
proses mekanisasi pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi per tenaga kerja atau
dalam hal ini untuk memperluas lahan produktif melalui proses ekstensifikasi pertanian.

Persoalan menjadi sedikit lebih rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah proses
perubahan teknologi itu merupakan faktor eksogen dalam suatu sistem ekonomi --di sini berarti
pengembangan kedua jenis teknologi merupakan produk atau hasil kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi-- ataukah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor endogen suatu sistem
ekonomi. Dalam suatu sistem perekonomian yang dinamis, perubahan harga permintaan produk
dan harga penawaran faktor produksi tidaklah dapat dipisahkan. Misalnya, ketika permintaan
terhadap bahan makanan naik karena naiknya jumlah penduduk atau meningkatnya pendapatan
per kapita, permintaan terhadap faktor produksi tersebut ikut naik secara proporsional.

Artinya, kenaikan permintaan tersebut mengakibatkan berubahnya harga relatif faktor-


faktor produksi. Akibat berikutnya adalah bahwa tingkat pendapatan --termasuk distribusinya di
kalangan para pemilik faktor produksi-- berubah sehingga hal tersebut kembali mempengaruhi
permintaan secara keseluruhan.

Prinsip-prinsip inilah yang menjadi cikal-bakal konsep keseimbangan umum dalam


ekonomi, yang kelak berkembang sangat pesat sebagai salah satu analisis lebih komprehensif
terhadap berbagai fenomena kehidupan manusia.

Sektor pertanian merupakan sektor yang tetap memiliki peranan yang penting dalam
struktur perekonomian nasional. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pertanian di
Indonesia:
(1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam,
(2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar,
(3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, yaitu 50%
jumlah penduduk (Nainggolan, 2005), dan
(4) menjadi basis pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Selain itu, pertanian tropika yang
merupakan sektor yang menjanjikan, melihat pontensi sumberdaya alam Indonesia yang
begitu besar.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pembangunan pertanian merupakan hal mutlak


yang perlu dipikirkan setiap pihak, baik kalangan masyarakat, swasta dan pemerintah. Namun, di
satu sisi motivasi generasi muda untuk menggeluti bidang pertanian terlihat memprihantinkan.
Sebagai contoh, berdasarkan informasi Departemen Pendidikan Nasional, selama kurun waktu
2005 sampai Juni 2006 saja, sebanyak 40 fakultas pertanian sudah ditutup.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengemukakan gagasan konsep strategis
pengembangan karakter unggulan SDM pertanian dalam upaya meningkatkan peran pertanian
tropika masa depan. Adapun manfaat yang ingin diharapkan adalah dapat memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai pentingnya karakter unggulan kaitannya dengan upaya
peningkatan peran pertanian tropika masa depan, serta dapat memberikan masukan kepada
instansi terkait dan pemerintah sebagai acuan untuk merumuskan grand design kebijakan
berkaitan dengan strategi pembentukan SDM pertanian yang unggul dalam mengembangkan
pertanian tropika. Secara sistematis, metode yang digunakan dalam penulisan ini dilakunan
melalui beberapa tahapan, antara lain: penggailian ide, pengumpulan data dan informasi,
pengolahan data dan informasi, analisis dan sintesis, serta perumusan kesimpulan dan saran.

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM


PEREKONOMIAN INDONESIA
Oleh

Nama : Adhytya Cahya Darmawan


NIM : 0910480004
Mata Kuliah : Pengantar Ekonomi Pertanian
Kelas : Agroekoteknologi A

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010

You might also like