You are on page 1of 9

Makalah

KONSEP SUKSESI NEGARA


MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Internasional

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
ZAINI YAZID
220708417

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


PERBANDINGAN HUKUM DAN MAZHAB
SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Suksesi Negara
(Succession of State)

1. PENGERTIAN
Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of Stat
e) berarti “penggantian atau pergantian negara”. Namun istilah penggantian atau per
gantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas per
soalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state succession itu. Memang sul
it untuk membuat suatu definisi yang mampu menggambarkan keseluruhan persoalan s
uksesi negara. Tetapi untuk memberikan gambaran sederhana, suksesi negara adala
h suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suat
u negara sehingga terjadi semacam “pergantian negara” yang membawa akibat-akibat huk
um yang sangat kompleks. Negara yang lama atau negara yang “digantikan” disebut deng
an istilah Predecessor State, sedangkan negara yang “menggantikan” disebut Successor
State. Contohnya : sebuah wilayah yang tadinya merupakan wilayah jajahan dari
suatu negara kemudian memerdekakan diri. Predecessor state-nya adalah negara ya
ng menguasai atau menjajah wilayah tersebut, sedangkan successor state-nya adala
h negara yang baru merdeka itu. Contoh lain, suatu negara terpecah-pecah menjad
i beberapa negara baru, sedangkan negara yang lama lenyap. Predecessor state-ny
a adalah negara yang hilang atau lenyap itu, sedangkan successor state-nya adala
h negara-negara baru hasil pecahan itu.
Yang menjadi masalah utama dalam pembahasan mengenai suksesi negara adalah : apa
kah dengan terjadinya suksesi negara itu keseluruhan hak dan kewajiban negara ya
ng lama atau negara yang digantikan (predecessor state) otomatis beralih kepada
negara yang baru atau negara yang menggantikan (sucessor state)? Sebagaimana ya
ng dikatakan oleh Starke,
“... dalam masalah suksesi negara, yang dimasalahkan terutama adalah mengenai pemi
ndahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang telah berubah atau kehil
angan identitasnya kepada negara atau satuan lainnya yang menggantikannya. Peru
bahan atau hilangnya identitas itu disebabkan oleh perubahan seluruh atau sebagi
an dari kedaulatan negara itu”.
Dalam hukum internasional positif, masalah suksesi negara ini diatur dalam Konve
nsi Wina 1978, yaitu Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam Hubungan dengan
Perjanjian Internasional (Vienna Convention on Succession of State in respect o
f Treaties).
Ada dua kelompok masalah penting yang menjadi fokus bahasan dalam persoalan suks
esi negara, yaitu :
• Factual State Succession, yakni yang berkenaan dengan pertanyaan fakta-fakta ata
u peristiwa-peristiwa apa sajakah yang menunjukkan telah terjadi suksesi negara?
• Legal State Succession, yakni yang berbicara tentang apa akibat-akibat hukumnya
jika terjadi suksesi negara.
Dalam hubungannya dengan substansi yang disebut terdahulu (Factual State Success
ion), kita akan melihat pendapat para sarjana dan pengaturan dalam Konvensi Wina
1978 yang telah disebutkan di atas.
Dalam pandangan para sarjana, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang di
pandang sebagai suksesi negara, yang bisa juga dikatakan sebagai bentuk-bentuk s
uksesi negara adalah:
1. Penyerapan (absorption), yaitu suatu negara diserap oleh negara lain. J
adi di sini terjadi penggabungan dua subjek hukum internasional. Contohnya, peny
erapan Korea oleh Jepang tahun 1910.
2. Pemecahan (dismemberment), yaitu suatu negara terpecah-pecah menjadi beb
erapa negara yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam hal ini bisa terjadi, ne
gara yang lama lenyap sama sekali (contohnya, lenyapnya Uni Soviet yang kini men
jadi negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri) atau negara yang lama mas
ih ada tetapi wilayahnya berubah karena sebagian wilayahnya terpecah-pecah menja
di sejumlah negara yang berdiri sendiri (contohnya, Yugoslavia).
3. Kombinasi dari pemecahan dan penyerapan, yaitu satu negara pecah menjadi
beberapa bagian dan kemudian bagian-bagian itu lalu diserap oleh negara atau ne
gara-negara lain. Contohnya, pecahnya Polandia tahun 1795 yang beberapa pecahan
nya masing-masing diserap oleh Rusia, Austria, dan Prusia.
4. Negara merdeka baru (newly independent states). Maksudnya adalah beberap
a wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah negara lain atau berada
di bawah jajahan kemudian memerdekakan diri menjadi negara-negara yang berdaulat
.
5. Bentuk-bentuk lainnya yang pada dasarnya merupakan penggabungan dua atau
lebih subjek hukum internasional (dalam arti negara) atau pemecahan satu subjek
hukum internasional (dalam arti negara) menjadi beberapa negara.
Sementara itu, dalam perkembangannya, dalam Konvensi Wina 1978 memerinci adanya
lima bentuk suksesi negara, yaitu :
1. Suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasiona
l menjadi tanggung jawab negara itu kemudian berubah menjadi bagian dari wilayah
negara itu (Pasal 15).
2. Negara merdeka baru (newly independent state), yaitu bila negara penggan
ti yang beberapa waktu sebelum terjadinya suksesi negara merupakan wilayah yang
tidak bebas yang dalam hubungan internasional berada di bawah tanggung jawab neg
ara negara yang digantikan (Pasal 2 Ayat 1f).
3. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah
atau lebih menjadi satu negara merdeka.
4. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah
atau lebih menjadi menjadi suatu negara serikat (Pasal 30 Ayat 1).
5. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat terpecah-pecahnya suatu negar
a negara menjadi beberapa negara baru (Pasal 34 ayat 1).
Sementara itu, untuk persoalan legal state succession, sebagaimana telah disebut
kan tadi adalah berbicara tentang akibat hukum yang ditimbulkan oleh terjadinya
suksesi negara. Dalam hubungan ini ada dua teori, yaitu teori yang dikenal sebag
ai Common Doctrine dan teori tabula rasa (Clean State).
Menurut common doctrine, dalam hal terjadinya suksesi negara, maka segala hak da
n kewajiban negara yang lama lenyap bersama dengan lenyapnya negara itu (predece
ssor state) dan kemudian beralih kepada negara yang menggantikan (successor stat
e). Sedangkan mereka yang berpegang pada teori tabula rasa (clean state) menyat
akan bahwa suatu negara yang baru lahir (successor state) akan memulai hidupnya
dengan hak-hak dan kewajiban yang sama sekali baru. Dengan kata lain, tidak ada
peralihan hak dan kewajiban dari negara yang digantikan (predecessor state).
Sesungguhnya kedua pendirian ini sama tidak realistisnya. Sebab praktik menunju
kkan ada hal-hal yang dianggap dapat beralih dari predecessor state kepada succe
ssor state. Sebaliknya, ada hal-hal yang memang tidak beralih, sebagaimana ditun
jukkan oleh praktik negara-negara selama ini. Dengan kata lain, tidak mungkin d
ibuat kriteria yang bersifat general dalam hubungan ini melainkan harus dilihat
kasus per kasus.
Kasus-kasus yang dimaksud, antara lain :
Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap kekayaan negara (public proper
ty)?
Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan kontrak-kontrak kon
sesional (concessionary contracts) yang ada?
Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan hak-hak privat (pri
vate rights)?
Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara dalam hubungan dengan tuntutan-tuntutan
terhadap perbuatan melawan hukum (claims in tort or delict)?
Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap pengakuan (recognition)?
Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan utang-utang negara
(public debts)?
Suksesi negara dan kekayaan negara.
Dengan melihat praktik negara-negara yang ada, para ahli pada umumnya sependapat
bahwa, jika terjadi suksesi negara, kekayaan negara, yang meliputi gedung-gedun
g dan tanah-tanah milik negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank, ala
t-alat transportasi milik negara, pelabuhan-pelabuhan, dan sejenisnya, beralih k
epada negara pengganti (successor state).
Suksesi negara dan kontrak-kontrak konsesional.
Yang menjadi persoalan dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti (succes
sor state) mempunyai kewajiban untuk melanjutkan kontrak-kontrak konsesional yan
g dibuat oleh negara yang digantikan (predecessor state) ataukah konrak-kontrak
itu otomatis berakhir dengan terjadinya suksesi negara. Studi terhadap sejumlah
kasus yang berkaitan dengan persoalan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya negar
a pengganti (successor state) dianggap berkewajiban untuk menghormati kontrak-ko
ntrak semacam itu yang dibuat oleh negara yang digantikan (predecessor state) de
ngan pihak pemegang konsesi (konsesionaris). Artinya, kontrak-kontrak tersebut
seharusnya dilanjutkan oleh negara pengganti (successor state). Namun, bilamana
demi kepentingan kesejahteraan negara kontrak-kontrak tersebut dipandang perlu
untuk diakhiri maka pemegang konsesi harus diberikan hak untuk menuntut kompensa
si atau ganti kerugian.
Suksesi negara dan hak-hak privat.
Yang menjadi persoalan di sini adalah, bagaimanakah keberadaan hak-hak privat ya
ng diperoleh berdasarkan hukum negara yang digantikan (predecessor state) bilama
na terjadi suksesi negara? Dalam hal ini, para sarjana berpendapat bahwa :
Pada prinsipnya, successor state berkewajiban untuk menghormati hak-hak privat y
ang dipperoleh berdasarkan hukum predecessor state.
Kelanjutan dari hak-hak privat itu berlaku selama perundang-undangan baru dari s
uccessor state tidak menyatakan lain (misalnya mengubah atau menghapusnya).
Pengubahan atau penghapusan terhadap hak-hak privat yang diperoleh berdasarkan h
ukum predecessor state itu tidak boleh bertentangan dengan atau melanggar kewaji
ban-kewajiban internasional dari successor state, terutama mengenai perlindungan
diplomatik.
Berhubung hak-hak privat itu jenisnya bermacam-macam, maka prinsip-prinsip dasar
sebagaimana disebutkan di atas perlu dirumuskan secara sendiri-sendiri. Dengan
kata lain, pemecahannya bersifat kasuistis.
Suksesi negara dan tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum.
Persoalan utama dalam hubungan ini adalah, apakah successor state wajib menerima
tanggung jawab yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh p
redecessor state? Dalam kaitan ini para sarjana sependapat bahwa successor stat
e tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab yang timbul akibat perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh predecessor state.
Suksesi negara dan pengakuan.
Dalam hubungannya dengan pengakuan, yang menjadi masalah adalah, apakah dalam ha
l terjadi suksesi negara pengakuan yang pernah diberikan oleh suatu negara kepad
a negara yang mengalami suksesi itu juga berakhir? Dalam hal ini, yang menentuk
an adalah sifat atau jenis suksesi negara tersebut (lihat uraian di bawah). Bil
amana suksesi negara itu bersifat universal, yang berarti hilangnya identitas in
ternasional dari negara yang bersangkutan, maka pengakuan itu otomatis gugur. Se
dangkan bila suksesi itu bersifat parsial, yang berarti negara yang lama (predec
essor state) tidak kehilangan identitas internasionalnya, maka dalam hal ini ber
laku “asas kontinyuitas negara” (continuity of state principle). Artinya, pengakuan
yang pernah diberikan itu tetap berlaku. Namun, bilamana negara yang memberikan
pengakuan tadi tidak lagi memandang negara yang pernah diberi pengakuan itu mem
enuhi syarat negara menurut hukum internasional, maka pengakuan itu dapat ditari
k kembali. Pada umumnya, jika itu terjadi, penarikan kembali pengakuan itu tida
k dilakukan secara tegas.
Suksesi negara dan utang-utang negara.
Yang menjadi masalah dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti (successo
r state) berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang negara yang
ditinggalkan oleh negara yang digantikan (predecessor state). Dalam hubungan i
ni tidak terdapat kesamaan pendapat di kalangan para sarjana maupun praktik nega
ra-negara dan sifatnya sangat kasuistis. Pedomannya adalah sebagai berikut :
o Jika utang-utang tersebut dipergunakan untuk kepentingan atau kemanfaata
n wilayah yang digantikannya, maka successor state dipandang berkewajiban untuk
menerima tanggung jawab atas utang-utang tersebut. Sebaliknya, jika manfaat uta
ng-utang tersebut ternyata hanya dinikmati oleh golongan-golongan masyarakat ter
tentu yang memegang kekuasaan pada saat itu maka successor state tidak dianggap
berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang tersebut.
o Successor state juga dipandang tidak bertanggung jawab atas utang-utang
predecessor state yang digunakan untuk membiayai perang melawan successor state
atau maksud-maksud yang bermusuhan dengan successor state sebelum terjadinya suk
sesi negara.
o Dalam hal suksesi negara itu berupa terpecah-pecahnya satu negara menjad
i beberapa bagian yang kemudian bagian-bagian itu masing-masing menjadi negara y
ang berdiri sendiri, successor states dipandang berkewajiban untuk bertanggung j
awab atas utang-utang itu secara proporsional menurut suatu metode distribusi ya
ng adil.
o Dalam hal suksesi negara itu bersifat parsial, maka successor state yang
menggantikan wilayah yang terlepas itu dipandang berkewajiban untuk menanggung
utang-utang lokal atas wilayah yang bersangkutan.
Cara Terjadinya Suksesi Negara
Ada dua cara terjadinya suksesi negara, yakni :
1. Tanpa kekerasan. Dalam hal ini yang terjadi adalah perubahan wilayah se
cara damai. Misalnya beberapa negara secara sukarela menyatakan bergabung denga
n suatu negara lain dan menjadi bagian daripadanya. Atau sebaliknya, suatu nega
ra tanpa melalui kekerasan (misalnya perang saudara) secara sukarela memecah dir
inya menjadi beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri.
2. Dengan kekerasan. Cara terjadinya suksesi negara yang melalui kekerasan
dapat berupa perang ataupun revolusi.
Jenis-jenis Suksesi Negara
Ada dua macam atau jenis suksesi negara, yaitu :
Suksesi universal; dan
Suksesi parsial.
Perbedaan dari kedua jenis suksesi negara ini terletak pada bagian wilayah dari
suatu negara yang digantikan kedaulatannya. Bilamana suksesi itu terjadi terhad
ap seluruh wilayah suatu negara (berarti negara yang lama atau predecessor state
lenyap) maka suksesi yang demikian dinamakan suksesi universal. Sedangkan bila
mana suksesi negara itu hanya meliputi bagian tertentu saja dari wilayah suatu n
egara (berarti predecessor state masih ada hanya wilayahnya saja yang berubah),
maka suksesi yang demikian dinamakan suksesi parsial.
Dengan demikian, pada suksesi universal, identitas internasional dari suatu nega
ra lenyap sebagai akibat lenyapnya seluruh wilayah negara itu. Di sini, “kepribad
ian hukum internasional” (international legal personality) dari negara itu hilang.
Sedangkan pada suksesi parsial, identitas internasional dari negara itu tidak h
ilang melainkan hanya luas wilayahnya saja yang berubah. Dalam hubungan ini, neg
ara itu tidak kehilangan kepribadian hukum internasionalnya.
Negara Sebagai Salah Satu Subjek Hukum Internasional
A. Negara Sebagai Subjek Utama Hukum Internasional
Banyak ahli hukum internasional yang memberikan definisi mengenai negara. Sepert
i C. Humphrey Wadlock yang memberikan pengertian negara sebagai suatu lembaga (i
nstitution), atau suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Fenwich mendefinisikan negara sebagai suatu
masyarakat politik yang diorganisasikan secara tetap, menduduki suatu daerah ter
tentu dan hidup dalam batas-batas daerah-daerah tersebut, bebas dari negara lain
, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi. Sedangkan me
nurut J.G. Starke negara adalah satru lembaga yang meruapakan satu sistem yang m
engatur hubungan-hungungan yang ditetapkan oleh dan diantara manusia itu sendiri
, sebagai satu alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang paling Penting diantaranya
seperti satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-k
egiatannya. Dari sekian banyak definisi negara yang diberikan oleh para ahli, ad
a satu patokan standar dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) The Convention On
Rights and Duties of State of 1933. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Negara sebagai subjek hukum internasional harus memilki penduduk yang tetap, wil
ayah tertentu, pemerintahan dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain.
Dari definisi Pasal 1 Montevideo diatas disebutkan mengenai unsure-unsur konstit
utif negara, yaitu
(1) Penduduk yang tetap,
(2) Wilayah tertentu,
(3) Pemerintah dan
(4) Kedaulatan. Berikut penjelasan mengenai unsur-unsur konstitutif negara.
1. Penduduk yang tetap
Penduduk atau rakyat suatu negara adalah sekelompok orang yang secara tetap atau
permanen mendiami atau bermukim dalam suatu wilayah yang juga sudah pasti luasn
ya. Sedangkan menurut Boer Mauna penduduk adalah kumpulan individu-individu yang
terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa , agama dan kebudayaan, y
ang hidup dalam suatu masyarakat dan terikat dalam suatu negara melalui hubungan
yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan.
Dalam hukum internsional tidak ada pembatasan tentang jumlah penduduk untuk dapa
t mendirikan suatu negara. Contohnya negara Brunei dengan 344.000 orang dan Liec
hstenstein dengan 33.000 orang.
2. Wilayah tertentu
Tidak ada negara tanpa wilayah, karena itu adanya wilayah adalah hal yang mutlak
adanya bagi dinyatakannya sebuah entitas sebagai negara. Wilayah yang tetap ada
lah wilayah yang dimukimi oleh penduduk atau rakyat dari negara itu. Agar wilaya
h dapat dikatakan tetap, maka harus ada batas-batasnya. Luas wilayah negara tida
k menjadi masalah dalam hukum internasional. Seperti Singapura dengan luas wilay
ah 278 km2 dan Cina dengan 9.596.961 km2.
Perubahan-perubahan tapal batas , baik yang mengakibatkan bertambah atau berkura
ngnya wilayah suatu negara tidak akan mengubah identitas negara tersebut. Bertam
bah luasnya laut Indonesia sebagai akibat penerapan Konsepsi Wawasan Nusantara t
idak mengubah identitas Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Namun tentunya batas
-batas suatu negara harus jelas, untuk menghindari sengketa dengan negara-negara
tetangga. Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan dan udara. Koferens
i PBB mengenai hukum laut telah mengelompokkan sebagaian besar negara di dunia a
tas 3 kelompok, yaitu kelompok negara-negara pantai (the coastal states group) y
aitu 152 negara seperti Indonesia, Phillipina, Australia, Mesir, Meksiko, Kanada
. Negara-negara yang tidak berpantai (the land-locked states group) terdiri atas
42, seperti Afghanistan, Laos, Austria, Swiss, Paraguay. Negara-negara secara g
eografis tidak menguntungkan (the geographically disadvantaged states group) sep
erti Singapura, Iraq, Kuwait, Belgia, Sudan, Syria, Swedia.
3. Pemerintahan
Sebagai suatu person yuridik, negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili da
n menyalurakan kehendaknya atau sebagai pemimpin . Sebagai tempat kekuasaan, neg
ara hanya dapat melaksanakan kekuasaan tersebut melalui organ-organ yang terdiri
dari individu-individu. Individu-individu pemimpin yang terorgansisasi inilah y
ang kemudian dinamakan pemerintah.
Yang disebut pemerintah, biasanya badan eksekutif dalam suatu negara yang dibent
uk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegaitan-kegiatan yang
ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat yang d
iinginkan hukum internasional adalah bahwa pemerintah tersebut mempunyai kekuasa
an yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Efektif maksudnya a
dalah pemerintah tersebut memiliki kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungs
i kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan tata tertib dalam negeri dan pel
aksanaan komitmen di luar negeri.
Hukum internasional tidak mencampuri bagaimana bentuk pemerintahan suatu negara
karena hal itu merupakan wewenang hukum nasional dari masing-masing negara.
Disamping itu perlu dicatat bahwa suatu negara tidak langsung berakhir jika tida
k lagi mempunyai pemerintahan yang efektif karena perang saudara atau diduduki o
leh kekuataan asing. Yang terpenting adalah, pemerintah tersebut harus memilki k
ontrol atau kemampuan untuk menguasai secara penuh atas semua luas wilayah yang
berada dibawah kekuasaannya dan terhadap semua warga yang berada diwilayahnya. I
nilah salah satu alasan utama Palestina terhambat untuk dinyatakan sebagai suatu
negara.
Contoh negara yang pemerintahanya bubar karena Perang saudara dan pendudukan ole
h kekuatan asing, namun tetap bersatus Negara, yaitu Somalia, ketika Presidenya
Mohamad Said Barre digulingkan oleh Jenderal Farah Aideed tahun 1991 masih tetap
bersatus negara dan tetap anggota oleh PBB. Kuwait yang diduduki oleh Irak tahu
n 1990, unsur status negara tidak berubah walaupun diduduki oleh kekuataan asing
. Jadi yang dituntut disini Menurut Martin Dixon adalah ‘selama pemerintahan terse
but mampu menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam maupun hubungan luar neger
i sebagaimana layaknya sebuah negara dilingkungan komunitas internasional.

4. Kedaulatan
Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban Nega
ra menyebutkan unsur konstitutif ke-4 bagi pembentukan negara adalah capacity to
enter into relations with other sites. Unsur tersebut memiliki persamaan dengan
‘Kemerdekaan’, maksudnya suatu negara tidak memilki kemampuan untuk melakukan hubun
gan luar negeri maka bisa dikatakan bahwa negara tersebut tidak merdeka. Ketentu
an ini dinyatakan secara eksplisit sebagai bagian dari prinsip-prinsip hubungan
internasional dalam piagam PBB.
Suatu negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa negara te
rsebut mempunyai kedaulatan. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki
oleh suatu untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya
asal kepentingan tersebut tidak bertentanag dengan hukum internasional. Kedaula
tan memiliki 3 aspek utama, yaitu:
Aspek ekstern keadaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menen
tukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekan
gan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
Aspek intern kedaulatan adalah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk me
nentukan bentuk lembaga-lembagnya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak u
ntuk membuat undang-undang yang diingnkannya serta tindakan-tindakan untuk memat
uhi. Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif ytang di
miliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilay
ah tersebut.
B. Berbagai macam bentuk negara
1. Negara Kesatuan
Undang-undang Dasar negara kesatuan memberikan kekuasaan penuh pada pemerintahan
pusat untuk melaksanakan kegiatan hubungan luar negeri. Contoh Perancis dan Ind
onesia yang menganut bentuk negara ini dan biasanya tidak menimbulkan kesulitan
dalam hukum internasional. Bentuk negara kesatuan jumlahnya sekitar separuh dise
luruh dunia.
2. Negara Federal
Negara federal adalah gabungan sejumlah negara yang dinamakan negara-negara bagi
an yang diatur oleh suatu undang-undang dasar yang membagi wewenang antara pemer
intah federal dan negara-negara bagiannya.Walaupun negara-negara bagian mempunya
i konstitusi dan pemerintahan masing-masing, negara federal inilah yang merupaka
n subjek hukum internasional. Hanya pemerintah federal yang mempunyai wewenang u
ntuk menyatakan perang, membuat perdamian, membuat perjanjian politik dan milite
r. Tidak satupun dari negara bagian dapat ikut dalam kegaitan-kegiatan tersebut.
Wewenang luar negeri yang dimiliki oleh negara federal bukan ditentukan oleh hu
kum internasional, tetapi oleh konstitusi negara federal.
Walupun masalah-masalah luar negeri merupakan wewenang eksklusif pemerintah fede
ral, ada beberapa negara yang UUD federalnya memberikan wewenang terbatas kepada
negara bagian. Misalnya, Swiss melalui UUD mengizinkan negara-negara bagianya u
ntuk membuat peraturan lalu lintas darat, sungai dan udara dengan negara-negara
tetangga. Negara-negara yang menganut sistem federal adalah AS, Kanada, Australi
a, Argentina, Meksiko, Brazil dan Afrika Selatan.
3. Gabungan Negara-Negara Merdeka
a. Uni Riil
Maksudnya adalah penggabungan dua negara atau lebih melalui suatu perjanjian int
ernasional dan berada dibawah kepala negara yang sama dan melakukan kegiatan int
ernasional sebagai satu kesatuan. Contoh negara Austria dan Hongaria, namun buba
r sesaat sebelum berakhirnya
PD 2 (1918), Denmark dan Iceland dari 1918-1944.
b. Uni Personil
Terbentuk bila dua negara berdaulat menggabungkan diri karena mempunyai raja yan
g sama. Contoh Belanda dan Luxemburg 1815-1890, Belgia dan Kongo 1855-1908, Brit
ish Commonwealth of Nations yang mengakui Ratu Elizabeth II sebagai Kepala Negar
a, seperti Kanada dan Australia
4. Konfederasi
Merupakan gabungan dari sejumlah negara melalui suatu perjanjian internasional y
ang memberikan wewenang tertentu kepada konfederasi. Contoh Swiss yang menamakan
dirinya negara konfederasi tapi sejak tahun 1848 pada hakekatnya lebih bersifat
federal dimana wewenang luar negeri berada di tangan pemerintah federal.
5. Negara-Negara Netral
Adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai
sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini terbagai at
as dua, yaitu netralitas tetap dan netarlitas sewaktu-waktu, politik netral atau
netralisme positif.
Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dilindungi oleh perjanjian int
ernasional seperti Swiss dan Austria. Netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netr
al yang hanya berasal dari kehendak negara itu sendiric (self-imposed) yang sewa
ktu-waktu dapat ditinggalkannya seperti Swedia. Politik netral atau Netralisme p
ositif adalah kebijaksanaan yang dianut oleh negara-negara Non-Blok.
6. Negara yang Terpecah
Sebagai akibat dari PD 2 dimana suatu negara diduduki oleh negara-negara besar y
ang menang perang. Perang Dingin sebagai akibat pertentangan ideology dan politi
k antara Blok Barat dan Blok Timur telah menyebabkan negara yang diduduki pecah
menjadi dua yang mempunyai ideology dan sistem pemerintahan yang saling berbeda
dan menjurus pada sikap saling mencurigai. Contoh negara yang terpecah-pecah ada
lah Cina, Jerman, Korea, Vietnam dan Cyprus.
7. Negara-Negara Kecil
Adalah negara yang mempunyai wilayah sangat kecil dengan penduduk yang sangat se
dikit pula. Negara ini mempunyai semua unsur konstitutif seperti yang dipersyara
tkan oleh hukum internasional bagi pembentukan suatu negara. Dari 191 negara ang
gota PBB, 41 negara berpenduduk kurang dari 1 juta dan 15 negara berpenduduk kur
ang dari 100.000 orang. Walupun merupakan negara merdeka dan berdaulat serta ter
masuk subjek hukum internasional tidak semua negara-negara ini sanggup melaksana
kan kedaulatan keluarnya, seperti mempunyai perwakilan diplomatik dan konsuler a
tau menjadi anggota organisasi internasional. Pertimbangan utamanya karena mahal
nya biaya pembukaan misi perwakilan tetap diluar negeri. Kekurangan personlia da
n beratnya beban pembayaran kontribusi wajib pada organisasi internasional.
8. Protektorat
Merupakan rejim konvensional antara dua negara yang secara tidak sama membagi pe
laksanaan berbagai wewenang. Dalam sistem ini, negara kolonial memperoleh sejuml
ah wewenang atas negara yang dilindunginya, sehingga negara yang berada dibawah
kekuasaan negara kolonial mempunyai kapasitas yang terbatas dalam hubungan luar
negeri dan pertahanan. Dan pada prakteknya negara pelindung mencampuri masalah i
ntern negara yang dilindungi terutama dibidang ekonomi dan politik. Contonhnya n
egara Tunisia, Maroko, Kamboja, Laos dan Vietnam yang dulunya merupakan protekto
rat Perancis. Namun sekarang tidak ada lagi negara yang berada di bawah sistem p
rotektorat.
C. Suksesi Negara
Istilah suksesi mengimplikasikan akan adanya suatu perpindahan kekuasaan dari ke
lompok yang pertama kepada yang kedua. Kontroversi yang kerap muncul adalah apak
ah dalam hal terjadi suksesi akan berlaku sebagaimana layaknya hukum waris, dima
na ada pandangan bahwa pewaris menerima konsekuensinya yang berupa menanggung se
gala hak dan kewajiban yang dibebankan kepada pihak pertama, ada pula yang meman
dang bahwa pihak pewaris harus diperlakukan sebagaimana layaknya entitas baru ya
ng benar-benar tidak terbebani oleh tindakan-tindakan dari pendahulunya. Namun m
enurut O’Connell kedua pemahaman diatas tidak benar dan akan selalu muncul dalam p
embahasan mengenai suksesi.
Menurut Konvensi 1978, mengenai Suksesi terhadap Traktat Pasal 2 (b) dinyatakan ‘s
uksesi negara berarti perpindahan tanggung jawab dari suatu negara kepada negara
lain dalam kaitannya dalam praktek hubungan internsional dari wilayah tersebut’.
Pemahaman diatas menyebutkan terjadinya ‘perubahan kedaulatan atas suatu wilayah’ ya
ng menunjukkan pada luasnya peristiwa pada kategori suksesi. Sehingga suksesi me
liputi penggabungan, pemisahan ataupun pembentukkan sebuah negara atau hal-hal l
ain yang memiliki konsekuensi terjadinya perubahan kedaulatan.
Sementara itu menurut Shearer mengaitkan suksesi sebagai ‘penggantian satu negara
oleh negara lain dalam hubungannya dengan hubungan internasional dari wilayah te
rsebut’. Selanjutnya Shearer menegaskan bahwa penjelasan mengenai suksesi jauh mem
bingungkan, yang kemudian dikaitkannya dengan peralihan kekuasaan atas wilayah H
ongkong dimana Inggris sebagai negara penyewa (leasee). Disamping itu, penggunaa
n kata suksesi sebenarnya tidak tepat karena menunjukkan analogi dengan hukum pe
rdata nasional yang terkait dengan Hukum Waris. Sedangkan dalam hal suksesi nega
ra, persoalan yang utama hanyalah perubahan kedaulatan dari suatu wilayah. Sedan
gkan suatu negara baru (successor state) kemudian menjadi subjek hukum internasi
onal tidak disebabkan oleh hal lain, kecuali karena sebagai negara. Dalam bebera
pa hal suksesi akan diputuskan melalui perjanjian internasional. Suksesi mengamb
il bentuk sebagaimana halnya perjanjian yang dibuat antara penguasa koloni dan w
ilayah koloninya yang dinyatakan melalui perjanjian bilateral, yang tentunya tid
ak mengikat pihak ketiga.
Dalam praktek perubahan terhadap kedaulatan dari suatu wilayah ada dalam berbaga
i cara. Menurut O’Brien suksesi negara dapat terjadi sebagai berikut:
a. Bagian dari negara A bergabung dengan negara B atau menjadi tergabung dalam b
eberapa negara X,Y dan Z
b. Bagian dari negara A menjadi satu negara baru
c. Seluruh wilayah dari negara X menjadi bagian dari negara Y
d. Seluruh wilayah negara A terbagi menjadi beberapa negara baru X, Y dan Z
e. Keseluruhan bagian dari negara X membentuk dasar bagi beberapa negara baru ya
ng berdaulat.
Pengaturan mengenai permasalahan suksesi dalam instrumen internasional terdapat
dalam The Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties 1978 d
an The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State Property, Ar
chives and Debts 1983. Konvensi-konvensi tersebut belum berlaku efektif. Namun k
ebanyakan ketentuan yang terkandung didalamnya mencerminkan hukum internasional
yang berlaku saat ini.

You might also like