You are on page 1of 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakekat Matematika

Kata ‘matematika’ berasal dari bahasa Latin manthanein atau mathema


yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda
disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran
(Depdiknas 2003: 5). Sedangkan definisi atau ungkapan pengertian matematika
sangat banyak dijumpai, bahkan mungkin sebanyak tokoh yang mendefinisikan
matematika tersebut. Ada tokoh yang tertarik dengan perilaku bilangan, maka ia
melihat matematika dari sudut bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan perhatian
pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur
itu. Dengan kata lain tidak terdapat satu definisi tentang matematika yang tunggal
dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.
Namun demikian, menurut Sumardyono (2004: 30) di dalam setiap
pandangan terhadap matematika terdapat beberapa ciri matematika yang umum
disepakati bersama. Di antaranya adalah: memiliki objek kajian yang abstrak
(yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip), bertumpu pada kesepakatan,
berpola pikir deduktif, konsisten dalam sistemnya, memiliki simbol yang kosong
dari arti (sehingga bersifat universal), dan memperhatikan semesta pembicaraan.
Sedangkan proses terjadinya matematisasi pada diri para matematikawan
disimpulkan oleh Fadjar Shadiq (2004: 10) berikut ini.

1. Pada awalnya, proses matematisasi yang dilakukan dan dihasilkan para


matematikawan adalah proses induksi atau penalaran induktif. Dimulai
dari kasus-kasus khusus yang lalu digeneralisasi menjadi pernyataan
umum (general).
2. Proses berikutnya adalah proses formalisasi pengetahuan matematika
dengan terlebih dahulu menetapkan sifat pangkal (aksioma) dan

7
8

pengertian pangkal, yang akan menjadi pondasi pengetahuan matematika


berikutnya yang harus dibuktikan secara deduktif.

Berkaitan dengan penalaran induktif dan deduktif, Polya dalam Fadjar


Shadiq (2004: 10) berpendapat sebagai berikut.

Ya, matematika mempunyai dua wajah; matematika adalah sains eksak


Euclid, tapi juga sekaligus yang lain. Matematika yang ditampilkan
dengan cara Euclid adalah sains yang sistemik dan deduktif; akan tetapi
matematika adalah sains yang induktif jika ditampilkan sebagai suatu
eksperimen.

Pendapat Polya di atas menghapus anggapan bahwa matematika semata-mata


dibangun oleh penalaran deduktif.
Matematika juga tak lepas dari filsafat ilmu, yaitu kelompok ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal
(dalam hal ini matematika) perlu dipelajari atau diteliti. Epistemologi menyangkut
metode suatu ilmu dipelajari, sedangkan aksiologi menyangkut bagaimana suatu
ilmu diterapkan.
Dari ketiga kelompok tersebut, muncullah 3 bagian besar matematika
yang dinyatakan dalam The New Encyclopedia Britannica, yakni: 1) Sejarah dan
Landasan Matematika, 2) Cabang-cabang Matematika yang terdiri dari 6 cabang
besar, 3) Terapan-terapan Matematika yang terdiri dari 7 cabang besar (The Liang
Gie dalam Sumardyono, 2004: 7).
Pembagian di atas salah satunya adalah sebagai akibat bahwa meskipun
bersifat universal dalam semesta pembicaraannya, matematika tidak serta merta
bebas nilai. Sebagai contoh, Sejarah Matematika sebagai sebuah disiplin ilmu
terbagi menjadi dua kubu utama. Yang pertama, kubu eurocentric yang
berpendapat bahwa yang pertama kali menemukan matematika adalah orang
Yunani. Kubu kedua adalah humanocentric dan ethnomathematic yang
beranggapan bahwa matematika ditemukan oleh manusia jauh sebelum zaman
Yunani Kuno. Humanocentric adalah yang dianut oleh para matematikawan
9

Muslim pada masa kejayaan Islam sesuai dengan keyakinan mereka (Adi Setia,
2008: 5).
Pernyataan matematika tidak bebas nilai di atas sesuai dengan pendapat
Kirby dalam Adi Setia (2008: 6) berikut ini.

Matematika di masa mendatang, sebagaimana di masa lalu, tidak dapat


bebas nilai. Matematika selalu menjadi sebuah aktivitas manusia.
Matematika memenuhi kebutuhan manusia. Matematika bisa jadi akurat,
akan tetapi keobjektifannya adalah subjek dari nilai-nilai manusia, termasuk
penafsiran ‘objektivitas’ suatu ideologi. Matematika juga merupakan area
yang bebas dari kreativitas manusia, sebagaimana yang terlihat dalam
cabang matematika seperti analisis vektor, topologi, kalkulus, teori
himpunan, dan cabang-cabang yang lain.  

 Pendapat lain yang sesuai yaitu pendapat Martin dalam Adi Setia (2008:
7) berikut ini. “Konsep Platonik bahwa matematika adalah bebas nilai
sesungguhnya merupakan konsep yang di dalam dirinya sendiri sarat nilai karena
bertujuan untuk menyembunyikan dari sebagian besar orang hubungan yang
sangat erat antara matematika dan sistem kepercayaan yang dianut oleh
praktisinya.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika
secara epistemologi berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang
tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan sistem deduktif serta
konsisten dalam sistemnya. Akan tetapi dalam proses terjadinya matematika pada
diri seseorang, penalaran induktif tetap diperlukan.
Anggapan lain yang keliru adalah bahwa matematika bebas nilai. Padahal
secara filsafat ilmu ontologi dan aksiologi, matematika tidaklah bebas nilai karena
tergantung pada ideologi praktisinya.

2. Pembelajaran Matematika Sekolah

Satu-satunya wadah kegiatan yang dipandang dan sebaiknya berfungsi


untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah pendidikan, melalui
pendidikan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah. Matematika sebagai salah
10

satu ilmu dasar, baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai
peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Matematika
perlu dikuasai dalam penerapan dan pola pikirnya.
Oleh sebab itu matematika dipelajari di sekolah-sekolah baik dari mulai
tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Selama ini matematika
sudah berkembang sedemikian pesatnya, sehingga terlalu sulit untuk dipelajari
seluruhnya oleh peserta didik-peserta didik di sekolah. Matematika yang dipelajari
di jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas disebut matematika sekolah. Matematika sekolah menurut Soedjadi dalam
Endang Sriningsih (2009: 14) adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari
matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan
kependidikan dan perkembangan IPTEK.
Dari pengertian matematika sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika sekolah tidak sama dengan matematika sebagai ‘ilmu’. Menurut
Sumardyono (2004: 43), yang membedakan matematika sekolah dan matematika
sebagai ‘ilmu’ adalah dalam hal penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan
tingkat keabstrakan.
Dalam hal penyajian, matematika sekolah perlu diusahakan sesuai
dengan perkembangan kognitif peserta didik, sehingga tidak harus diawali dengan
teorema atau definisi. Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika
untuk matematika sekolah dengan memperhatikan aspek pendidikan,
maka terjadi penyederhanaan dari konsep matematika yang kompleks.
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir induktif
maupun deduktif. Hal ini disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat
pemahaman peserta didik. Secara umum, pada tingkat SD, matematika didekati
secara induktif terlebih dahulu karena hal ini lebih memungkinkan peserta didik
menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola
pikir deduktif harus semakin ditekankan.
Pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan, namun mungkin sekali
dipersempit. Selanjutnya semakin meningkat usia peserta didik, yang berarti
11

meningkat pula tahap perkembangannya, maka semesta itu berangsur-angsur


diperluas.
Sesuai dengan pola pikir yang dipakai, tingkat keabstrakan matematika
sekolah juga harus bertahap. Di SD, penjumlahan bilangan dapat ‘dikongkretkan’
dengan menghadirkan benda nyata, seperti lidi, untuk dijumlahkan. Namun
semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan bilangan sebagai objek
matematika semakin diperjelas.
Pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan
dan pengertian tentang matematika, baik dalam kehidupan sehari-hari, untuk
bekal melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan sebagai penunjang
mempelajari pelajaran-pelajaran yang lain.
Matematika sebagai bidang ilmu atau sebagai mata pelajaran yang
dipelajari di setiap jenjang pendidikan, bahkan tanpa disadari matematika
diperlukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Di tingkat pendidikan dasar, mata
pelajaran matematika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman
penalaran sehingga dapat membantu memecahkan masalah matematika maupun
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di SD ditekankan agar
peserta didik mengenal, memahami serta mahir menggunakan bilangan dalam
kaitannya dengan kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di SMP, pada
peserta didik ditekankan proses abstraksi kuantitatif dalam bentuk aljabar dan
geometri sederhana. Sedangkan di SMA ditekankan menggunakan perbandingan,
fungsi, persamaan dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah sehari-
hari (Depdiknas, 2003: 9).
Oleh karena itu pembelajaran matematika sekolah haruslah dapat
membuat peserta didik dapat menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-
hari. Jadi matematika sekolah haruslah aplikatif. Mengikut pendapat Polya pada
sub bab sebelumnya, pengembangan matematika dengan penalaran induktif atau
dimulai dengan hal konkrit adalah diperlukan. Pembelajaran matematika yang
dimulai dengan deduktif aksiomatis menurut Fadjar Shadiq (2004: 10)
sesungguhnya telah mengingkari proses bertumbuh dan berkembangnya
12

matematika. Matematika sekolah seharusnya mengikuti proses didapatkannya


matematika oleh para matematikawan. Peserta didik dituntun atau difasilitasi
untuk belajar sehingga dapat menemukan kembali (reinvent) atau mengkonstruksi
kembali (reconstruct) pengetahuannya. Selain itu, menurut Shultz dalam Lisa
(2007: 5), pembelajaran ide dan konsep matematika berdasarkan kehidupan
sehari-hari dapat merangsang keingintahuan intelektual peserta didik.
Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak berarti pembelajaran matematika
direduksi hanya sebatas soal cerita, menafsirkan soal cerita tersebut, kemudian
memodelkannya, sehingga dapat disebut ‘matematika konteks nyata’. Haruslah
tetap ada keseimbangan antar ‘ide’ matematika sebagai pemecah masalah
(masalah di luar matematika) dan sebagai ilmu deduktif yang mempunyai hukum
dan aturannya sendiri (Humenberger, 2000: 1-2).

3. Sekolah Islam

Sekolah Islam merupakan salah satu dari tiga jenis lembaga pendidikan
Islam di Indonesia. Dua yang lain yaitu pesantren dan madrasah adalah jenis
lembaga pendidikan Islam yang berkembang lebih awal.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
dan sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Kata ‘pesantren’
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren,
sedangkan kata ‘santri’ diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti
“melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti
gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren setidaknya
memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama (pondok) (Hamidah dalam
Arief Efendi, 2008: 3).
Madrasah adalah perkembangan dari pesantren. Madrasah mengalami
perubahan tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pendidikan
Islam pesantren. Karena madrasah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum
dan metode yang digunakan tidak lagi dengan metode sorogan atau bandongan,
melainkan mengikuti sistem pendidikan modern dengan model klasikal. Dengan
13

demikian, madrasah merupakan sub sistem pendidikan pesantren, semisal yang


dilakukan di Tebu Ireng. Pembaharuan sistem tersebut menyebar ke beberapa
pesantren semisal di Kediri, Demak, Kudus, Cirebon dan Banten. (Muhaimin
dalam Arief Efendi, 2008: 6).
Perkembangan pendidikan Islam yang mencolok terjadi pada tahun 1990-
an. Yaitu dengan munculnya sekolah-sekolah Islam. Sekolah-sekolah itu mulai
menyatakan diri secara formal dan diakui oleh kalangan Muslim sebagai “sekolah
unggulan” atau sekolah Islam unggulan. Sekolah Islam unggulan tersebut seakan
menjawab tuntutan modernisasi sistem pendidikan Islam (Zoher dalam Arief
Efendi. 2008: 8).
Sedangkan pengertian sekolah Islam, termasuk sekolah Islam terpadu, itu
sendiri menurut Alaydroes dalam Arief Efendi (2008: 8) yaitu sekolah yang
memasukkan nilai-nilai Islam dari berbagai saluran. Baik saluran formal dalam
arti pembelajaran agama, dan semua mata pelajaran bernuansa Islami, apakah itu
IPA, Matematika, Geografi, PMP, itu semua harus dikaitkan dengan nilai-nilai
spritual, nilai-nilai Illahiah. Kemudian yang kedua, merekrut guru-guru yang
punya visi dan ideologi yang sama, mereka tidak diperkenankan merokok,
berakhlak karimah, dan bisa menjadi teladan. Selain itu, perilaku ibadah anak-
anak juga dibentuk, lewat sholatnya atau doa-doanya dan diupayakan untuk
mengikuti sunnah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika tidak dipelajari
di pesantren, akan tetapi dipelajari di madrasah dan sekolah Islam sebagaimana di
sekolah umum. Bedanya bahwa pembelajaran matematika di sekolah umum tidak
memperhatikan nilai-nilai Islam. Sedangkan pembelajaran matematika di
madrasah hanya sedikit diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam dan sistem
pembelajarannya lebih konvensional dibandingkan dengan pembelajaran
matematika di sekolah Islam. Jadi pembelajaran matematika di sekolah Islam
harus mengikuti prinsip-prinsip pembelajaran matematika sekolah, ditambah
mengikuti prinsip-prinsip Islam, serta mengacu pada teori pembelajaran terkini.
14

4. Islamisasi Pembelajaran Matematika Sekolah di Sekolah Islam

Islam sebagai mabda (prinsip ideologis) yang mengatur seluruh aspek


kehidupan (Taqiyyuddin an-Nabhani, 2006: 106) tidak hanya mengatur masalah
ibadah spiritual, tetapi juga mengatur hubungan-hubungan yang terjadi dalam
masyarakat, termasuk pendidikan dan sains.
Karena nilai-nilai Islam yang menyeluruh tersebut sudah tertanam pada
seluruh aspek kehidupan kaum Muslim sejak lama dan semuanya sama di hadapan
agama, maka Taqiyyuddin an-Nabhani (2006: 106) berpendapat bahwa Islam
tidak membedakan istilah rohaniawan ataupun teknokrat. Islam juga tidak
membedakan istilah-istilah keilmuan dengan embel-embel Islam karena ilmu yang
bersifat netral otomatis diislamisasi dalam diri individu kaum Muslimin sendiri.
Karenanya, istilah-istilah seperti sains Islam, islamisasi matematika, dan
matematika Islam baru muncul dewasa ini untuk membedakannya dengan sains
dan matematika yang tidak berdasarkan Islam dan atau sains dan matematika yang
tidak hidup di masa kejayaan Islam.
Istilah sains Islam menurut Osman Bakar (2008) pertama kali
dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, dalam tesis doktoralnya dalam bidang
kosmologi Islam Departemen Sejarah Sains, Universitas Harvard, pada tahun
1958. Tesis tersebut dipublikasikan oleh Harvard University Press pada tahun
1960. Nasr menggunakan istilah “Islamic science” (sains Islam) untuk merujuk
pada sains pada masa peradaban Islam. Akan tetapi dia tidak memahaminya hanya
sebagai salah satu sains di masa lalu, suatu realitas dalam sejarah Islam.
Sains Islam menurut Nasr adalah sebuah tradisi yang hidup dan bertahan
dari gempuran sains dan teknologi modern dalam hal pembelajaran dan
praktiknya. Sains Islam ini memiliki aspek sejarah, meliputi pengaruhnya yang
kuat bagi Islam dan Barat. Akan tetapi tidak hanya itu, Sains Islam juga
mempunyai prinsip yang langgeng yang dapat digunakan dalam perkembangan
sains di setiap masa. Dengan kata lain, pada prinsipnya, sangatlah mungkin untuk
menciptakan sains Islam yang baru baik sekarang atau di masa depan (Osman
Bakar: 2008).
15

Dengan semangat serupa, Adi Setia (2008: 8) mendefinisikan istilah


Islamisasi matematika seperti berikut ini.

Islamisasi matematika adalah sebuah “simbiosis” antara matematika dan


sistem peraturan dalam Islam. Matematika sebagai suatu hasil yang objektif
dan kuantitatif membentuk nilai-nilai kognitif dan etik matematikawan
Muslim yang sangat peduli untuk memahamkan dan menghidupkan visi
Islam tentang kebenaran dan realitas baik dalam kehidupan pribadi maupun
professional mereka.

Sedangkan istilah matematika Islam sendiri telah banyak diartikan


berbeda, akan tetapi sebagian besar merujuk pada matematika yang berkembang
di masa kejayaan Islam. Di dalam artikel yang dikeluarkan oleh Center for South
Asian and Middle Eastern Studies, University of Illinois at Urbana-Champaign
disebutkan bahwa matematika Islam adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada matematika yang ada di dunia Islam pada abad 8 hingga abad 13
(http://www.csames.illinois.edu/documents/outreach/Islamic_Mathematics.pdf).
Di dalam Wikipedia, The Free Encyclopedia, matematika Islam adalah
matematika yang berkembang dan tersebar pada masa peradaban Islam.
Agar tidak rancu, pada penelitian ini, yang dimaksud dengan Islamisasi
pembelajaran matematika sekolah adalah integrasi antara nilai-nilai Islam, sebagai
landasan berpikir dan beraktivitas, dengan pembelajaran matematika sekolah,
sedemikian sehingga di dalam proses pembelajaran tersebut tidak ada lagi nilai-
nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Matematika Islam di sini diambil
sebagai bagian dari sejarah matematika dan merupakan salah satu dari banyak
cara dalam rangka Islamisasi pembelajaran matematika sekolah.
Nilai-nilai Islam yang dimaksud dalam rangka Islamisasi pembelajaran
matematika sekolah salah satunya adalah pemberian sejumlah motivasi dan
guideline oleh Islam dalam pencarian ilmu. Islam memberikan motivasi pencarian
ilmu yakni dengan hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas
muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang
lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, dan sebagainya.
16

Sesuai dengan pembagian dalam filsafat ilmu secara umum (ontologi,


epistemologi, aksiologi) menurut Fahmi Amhar (2006), guideline Islam meliputi
yang dijelaskan berikut ini.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau
diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya
untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta
diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (TQS. al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak
heran ilmuwan Muslim menemukan teori-teori trigonometri bidang datar, sferis,
dan analitis yang dapat diaplikasikan ke bidang astronomi.
Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang
mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib
pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum Muslimin melihat
bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan
angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari
teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu, dan
sebagainya.
Dengan ontologi syariah ini, kaum Muslim di masa lalu berhasil
mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai
dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-
haram) dari perbuatannya.
Epistemologi menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi
Islam menekankan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum
Islam pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan
Islam, misalnya kloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu
seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah
dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran,
fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena
setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu
digunakan.
17

Sedang aksiologi menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu


atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada
peradaban manusia / masyarakat yang menggunakannya. Pada masyarakat muslim
penggunaan teknologi dibatasi hukum Islam. Teknologi hanya akan digunakan
untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya.
Nilai-nilai Islam yang lain yaitu pengaturan tentang perkembangan sains
dan matematika serta pendidikan dan pembelajarannya.
Perkembangan sains dan matematika pada umat Islam tak lepas dari
dorongan Islam agar manusia berpikir secara rasional tentang manusia, alam
semesta, dan kehidupan, sehingga tidak menjadi penganut buta dari generasi-
generasi sebelumnya (Al-Khilafah Publications, 2002: 14). Metode berpikir
rasional sangat berpotensi untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran orisinal
karena identik dengan fakta akal itu sendiri, dan tidak akan keluar dari fakta ini
sedikitpun. Karenanya berpikir dengan metode rasional telah menjadi landasan
berpikir menurut Islam, dan bukan metode ilmiah yang tidak dapat menumbuhkan
pemikiran-pemikiran yang tercipta baru (orisinal) (Taqiyyuddin an-Nabhani,
2003: 37).
Sedangkan akal itu sendiri adalah penafsiran fakta dengan sudut pandang
tertentu. Caranya adalah dengan memindahkan penginderaan terhadap fakta
melalui panca indera ke dalam otak yang diserta dengan adanya informasi-
informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut
(Taqiyyuddin an-Nabhani, 2003: 25).
Artinya, unsur-unsur yang harus ada dalam aktivitas berpikir adalah
fakta, indera, informasi awal, serta otak. Sedangkan fakta yang dihukumi itu
sendiri ada dua. Pertama: fakta yang bersifat inderawi, dengan wujud dan materi
yang bisa diindera. Kedua: fakta non-inderawi; wujudnya ada, tetapi secara
materi tidak bisa diindera. Terhadap fakta yang pertama, akal manusia memang
bisa langsung menghukuminya, karena keempat komponen akal yang dibutuhkan
dalam berpikir secara simultan bisa dihadirkan (Mohammad Maghfur Wachid
dalam Majalah al-Wa’ie, Februari 2004).
18

Sedangkan untuk pengaturan pendidikan, pendidikan Islam menurut


Taqiyyuddin an-Nabhani (2006: 189) harus memenuhi prinsip:
a. Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan Islam. Mata pelajaran serta
metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya
penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut.
b. Pengaturan pendidikan adalah untuk membentuk pola pikir dan pola jiwa
Islami. Seluruh mata pelajaran disusun berdasarkan dasar strategi tersebut.
c. Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam serta
membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan
dengan kehidupan. Metode penyampaian pelajaran dirancang untuk
menunjang tercapainya tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak
berorientasi pada tujuan tersebut dilarang.
Dari uraian di atas, dengan semakin berkembangnya teori pendidikan,
maka guru pada sekolah Islam perlu memilih metode dan atau pendekatan
pembelajaran matematika yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran
matematika sekolah, Islam, dan pendidikan Islam. Yaitu pertama, bahwa metode
dan atau pendekatan pembelajaran matematika haruslah menitikberatkan pada
metode berpikir rasional (penggabungan antara metode deduktif dan induktif)
yang dibutuhkan untuk menciptakan pemikiran orisinal matematika. Metode dan
atau pendekatan pembelajaran tersebut haruslah mengoptimalisasi proses berpikir
peserta didik melalui pengoptimalan penggunaan unsur-unsur dalam berpikir.
Artinya, metode atau pendekatan tersebut dapat mengoptimalkan fungsi otak
(dengan memberi asupan otak yang cukup, baik materiil maupun non-materiil),
merangsang semua panca indera, cukup informasi awal, dan menghadirkan fakta
yang benar-benar dirasakan oleh peserta didik, baik inderawi maupun non-
inderawi. Selain itu, metode atau pendekatan tersebut dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mengkaitkan informasi awal dengan fakta.
Kedua, metode atau pendekatan tersebut tidak hanya mengembangkan
kemampuan kognitif peserta didik, tetapi juga afektif (jika memungkinkan
psikomotorik) sehingga memungkinkan guru untuk membentuk pola pikir dan
pola sikap Islami mereka. Transfer kepribadian (pola pikir dan pola sikap) Islami
19

dari guru ke peserta didik hanya terjadi jika ada interaksi yang intens pada saat
pembelajaran berlangsung maupun di luar itu. Khususnya pada saat pembelajaran
berlangsung, guru tidak sekedar memberi contoh penerapan matematika pada
permasalahan matematis. Akan tetapi juga memberi contoh penerapan matematika
dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Islam.
Sejarah matematika Islam menjadi contoh yang bagus bagi guru untuk
diterapkan dalam metode dan atau pendekatan pembelajaran tersebut. Sejarah
matematika tidak saja ada karena suatu keniscayaan, tetapi ia juga penting karena
dapat memberi pengaruh pada perkembangan matematika dan pembelajaran
matematika (Sumardyono, 2004: 9). Melihat bagaimana matematika diciptakan
oleh matematikawan Muslim dahulu dapat memberi motivasi spiritual kepada
peserta didik serta memberi penggambaran bagaimana matematika diterapkan
untuk memecahkan dalam keseharian. Selain itu, sejarah matematika menekankan
pada pola pikir rasional. Peserta didik dibolehkan menggunakan bahasa dan
lambang matematikanya sendiri. Menurut Sumardyono (2004: 10), paradigma
semacam ini kini menjadi tren dalam pembelajaran matematika realistik atau
konstruktivis. Perkembangan matematika dalam diri individu (ontogeny) mungkin
saja mengikuti cara yang sama dengan perkembangan matematika itu sendiri
(phylogeny).

5. Pendekatan Pembelajaran Matematika

Ruseffendi dalam Joko Bekti Haryono (2005: 19) mendefinisikan bahwa


pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan atau cara yang ditempuh oleh guru
atau peserta didik dalam pencapaian tujuan pembelajaran itu dikelola. Sama
dengan definisi sebelumnya, definisi pendekatan pembelajaran menurut Suherman
dalam Endang Sriningsih (2009: 20) adalah cara yang ditempuh guru dalam
pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan
peserta didik.
Berdasarkan definisi di atas, pendekatan pembelajaran matematika boleh
jadi bermacam-macam. Yenni B. Widjaja dan Heck (2003: 5) serta Treffers dalam
20

Üzel dan Mert Uyangör (2006: 1954) membedakan jenis pendekatan


pembelajaran matematika berdasarkan hadir atau tidaknya komponen
matematisasi horizontal dan vertikal, sebagaimana digambarkan pada Tabel 2.1
yang bersumber dari Freudenthal dalam Yenni B. Widjaja dan Heck (2003: 5)
serta Treffers dalam Üzel dan Mert Uyangör (2006: 1954) dan penjelasannya
sebagai berikut.

Tabel 2.1 Empat Tipe Pendekatan Pembelajaran Matematika

Keterangan: tanda – berarti bahwa tipe pendekatan tersebut tidak memperhatikan


matematisasi yang dimaksud, sedangkan tanda  berarti bahwa tipe
pendekatan tersebut memperhatikan matematisasi yang dimaksud.

a. Pendekatan mekanistik yaitu pendekatan tradisional yang didasarkan pada


apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke
yang lebih kompleks). Pendekatan ini lebih menekankan hafalan
pengetahuan. Pendekatan ini tidak memberi perhatian pada proses tetapi
pada produk. Peserta didik dalam pendekatan ini dianggap sebagai mesin
sehingga dapat diprogramkan untuk mengerjakan hitungan atau algoritma
tertentu dalam menampilkan aljabar, membedakan dengan mengenali pola-
pola dan proses yang berulang-ulang. Akibatnya peserta didik cenderung
menghafalkan pengetahuan dan menggunakan rumus tanpa mengerti
bagaimana rumus itu diperoleh, mengapa rumus itu dapat dipakai untuk
memperoleh solusi suatu masalah. Pada pendekatan ini baik matematisasi
horizontal maupun vertikal tidak diperhatikan.
b. Pendekatan empiris yaitu suatu pendekatan dimana pada saat pembelajaran
peserta didik tidak diberikan konsep-konsep matematika. Mereka disediakan
berbagai material yang sesuai dengan kehidupan nyata, sehingga
21

memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang berguna.


Peserta didik diberi kesempatan melakukan perhitungan dengan
menggunakan benda seperti lidi atau biji-bijian atau membuat diagram atau
skema. Peserta didik diberi suatu soal cerita dan dilatih mengubahnya
menjadi suatu soal matematis dan peserta didik mengerjakan secara empiris.
Pada pendekatan ini matematisasi horizontal dominan digunakan, tetapi
matematisasi vertikal (yaitu dengan mensistemasikan dan merasionalkan
pengalaman yang telah didapat) tidak atau kurang diperhatikan.
c. Pendekatan strukturalistik yaitu pendekatan yang mulai dengan
mengenalkan keteraturan dan membuat struktur. Peserta didik tidak diberi
ruang untuk mulai dengan pendekatan informal dan umumnya pembelajaran
dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik sesegera mungkin
menggunakan struktur. Pada pendekatan ini matematisasi vertikal dominan
digunakan, tetapi matematisasi horizontal tidak diperhatikan.
d. Pendekatan realistik yaitu pendekatan yang dimulai dengan memberikan
kepada peserta didik masalah kontekstual atau realistik ( masalah dari dunia
nyata peserta didik atau yang dialami peserta didik atau dapat dibayangkan
peserta didik) yang disajikan dalam bentuk soal cerita atau gambar atau
dalam bahasa matematika. Peserta didik diberi kebebasan untuk menemukan
strategi sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pada pendekatan ini peserta
didik dibimbing mengkonstruksi (menemukan) atau merekonstruksi
(menemukan kembali) pengetahuan matematika. Pada pendekatan ini baik
matematisasi horizontal maupun vertikal diperhatikan dan diterapkan.
Dari paparan di atas tampak bahwa pada matematisasi horizontal peserta
didik diberi perangkat pembelajaran matematika yang dapat menolongnya
menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Contoh
matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi
masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real
ke masalah matematika. 
Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam
sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar
22

konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut.


Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam
rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model
yang berbeda, dan penggeneralisasian. 
Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah
simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Meskipun
pengertian kedua jenis matematisasi tersebut tidak ambigu, akan tetapi
Freudenthal dalam Van den Heuvel-Panhuizen (2000: 4) menyatakan bahwa
perbedaan keduanya tidaklah begitu jelas dan dapat terjadi di semua tingkat
pemahaman yang berbeda-beda.
Kedua bentuk matematisasi ini seharusnya mendapat perhatian seimbang,
karena keduanya sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya
(Freudenthal dalam Van den Heuvel-Panhuizen, 2000: 4). Hal ini disebabkan oleh
pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang
artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan
“membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari
dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu (Van den Heuvel-
Panhuizen, 2000: 4, 2005: 2).
Dengan demikian, dalam tulisan ini, pendekatan pembelajaran
matematika adalah suatu cara yang ditempuh oleh guru dalam pelaksanaan
pembelajaran matematika agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan
peserta didik, dengan menggunakan pendekatan realistik.

6. Pembelajaran Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik atau realistic mathematics education


(RME) merupakan suatu pendekatan yang jarang diterapkan dalam bidang
pendidikan matematika khususnya di Indonesia. Secara operasional pendidikan
matematika realistik ditekankan pada pembelajarannya, sehingga RME tersebut
lebih dikenal sebagai pembelajaran matematika realistik (PMR) (Endang
Sriningsih, 2009: 24). Bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar
23

ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Menurutnya


matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak
dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai
kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer,
Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan.
Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
“dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya.
Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai
kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus
pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Van den Heuvel-Panhuizen,
2000: 3).
Proses pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah
kontekstual (contextual problems) sebagai titik awal dalam belajar matematika,
sebagai ganti dari pengenalan konsep dengan cara abstrak. Dengan demikian
proses pengembangan konsep-konsep dan gagasan-gagasan matematika bermula
dari dunia nyata. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata,
namun juga termasuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak.
Dalam pembelajaran matematika realistik, peserta didik belajar membuat
model matematika dari masalah-masalah kontekstual. Proses ini disebut
matematisasi horizontal. Pada mulanya peserta didik memecahkan masalah secara
informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Tetapi setelah beberapa waktu,
setelah peserta didik akrab dengan proses-proses pemecahan yang serupa (melalui
simplifikasi dan formalisasi), mereka akan menggunakan bahasa yang lebih
formal dan diakhir proses peserta didik akan menemukan suatu algoritma disebut
matematisasi vertikal.
Berdasarkan proses matematisasi, proses pengembangan konsep-konsep
dan ide-ide matematika berawal dari dunia nyata, dan pada akhirnya kita juga
perlu untuk merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali
ke alam nyata.
24

Gambar 2.1 Penemuan dan Pengkonstruksian Konsep


(IGP Suharta, 2005: 5)

Dari uraian di atas, karakteristik RME dapat dijabarkan dalam enam


prinsip yang dikemukakan oleh Van den Heuvel-Panhuizen (2000: 5-9) yaitu
sebagai berikut.

a. Prinsip Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam
proses pengembangan seluruh perangkat pembelajaran yang diberikan dan
wawasan matematika sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan situasi
masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut
dan mengembangkan secara bertahap algoritma, misalnya cara mengalikan dan
membagi berdasarkan cara kerja nonformal.

b. Prinsip Nyata
Matematika realistik harus memungkinkan peserta didik dapat
menerapkan pemahaman matematika dan perangkat pembelajaran
matematikanya untuk memecahkan masalah. Peserta didik harus mempelajari
25

matematika sedemikian hingga bermanfaat dan dapat diterapkan untuk


memecahkan masalah sesungguhnya dalam kehidupan. Hanya dalam konteks
pemecahan masalah peserta didik dapat mengembangkan perangkat
pembelajaran matematika dan pemahaman matematika.
Gambar 2.2 berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang
berupa siklus di mana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi,
tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. 

Gambar 2.2   Konsep Matematisasi


(De Lange dalam IGP Suharta, 2005: 2)

Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual


(“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman
sebelumnya secara langsung.  Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai
dari situasi nyata dinyatakan oleh de Lange dalam IGP Suharta (2005) sebagai
matematisasi konseptual.  Melalui abstraksi dan formalisasi peserta didik akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit.  Kemudian, peserta didik dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata
(applied mathematization). 
Perlu dicatat bahwa meski secara umum istilah “konteks” berkenaan
dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi ini tidak berlaku
untuk RME. Dalam RME, “realistik” berarti bahwa konteks dalam masalah
yang diajukan adalah dapat dibayangkan oleh peserta didik (Van den Heuvel-
Panhuizen, 2005: 2). Hal ini karena, sebagaimana telah disebutkan di atas,
26

istilah realistik yang berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang
berarti “membayangkan”.

c. Prinsip Bertahap
Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahap
pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang
berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan
langsung dan pembuatan bagan; yang selanjutnya pada perolehan wawasan
tentang prinsip-prinsip yang mendasari dan kearifan untuk memperluas
hubungan tersebut.
Hal diatas berkaitan dengan penggunaan model-model (matematisasi).
Istilah model itu sendiri berarti model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh peserta didik sendiri (self developed models).  Peran self
developed models merupakan jembatan bagi peserta didik dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.  Artinya
peserta didik membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.  Pertama
adalah model  situasi yang dekat dengan dunia nyata peserta didik. 
Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan  berubah menjadi model-of
masalah tersebut.  Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser
menjadi model-for masalah yang sejenis.  Pada akhirnya, akan menjadi model 
matematika formal. Kondisi untuk sampai tahap berikutnya tercermin pada
kemampuan yang ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Refleksi ini dapat
ditunjukkan melalui interaksi.
Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat membimbing pertumbuhan
pemahaman matematika peserta didik dan mengarahkan hubungan longitudinal
dalam kurikulum matematika.

d. Prinsip Interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematik dipandang sebagai
kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para
peserta didik untuk saling berbagi strategi dan penemuan mereka. Dengan
27

mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini,
peserta didik mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya. Lagi pula
interaksi dapat menghasilkan refleksi yang memungkinkan peserta didik
meraih tahap pemahaman yang lebih tinggi.

e. Prinsip Saling Menjalin


Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial.
Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang
lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.  Prinsip saling
menjalin ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik-
topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmatika, perkiraan (estimasi),
dan algoritma. Lebih jauh, dalam mengaplikasikan matematika, biasanya
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika,
aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain (hingga di luar matematika).    
  
f. Prinsip Bimbingan
Guru maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting
dalam mengarahkan peserta didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka
mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang
harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui proses
hafalan. Peserta didik memerlukan kesempatan untuk membentuk wawasan
dan perangkat pembelajaran matematikanya sendiri, karena itu guru harus
memberikan lingkungan pembelajaran yang mendukung berlangsungnya
proses tersebut. Artinya mereka harus dapat meramalkan bila dan bagaimana
mereka dapat mengantisipasi pemahaman dan keterampilan peserta didik
untuk mengarahkannya mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam hal ini perbedaan kemampuan peserta didik harus diperhatikan,
sehingga setiap peserta didik mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
pengetahuannya dengan cara yang paling cocok untuk mereka masing-masing.
28

Dari enam prinsip di atas, terlihat bahwa kompetensi yang dimiliki


peserta didik melalui matematika realistik, selain dari kompetensi disiplin ilmu,
juga kompetensi memproduksi, merefleksikan dan berinteraksi. Hal ini sesuai
dengan tiga pilar pendidikan matematika yaitu refleksi, konstruksi dan narasi.
Melalui bidang ilmunya kompetensi yang dibangun peserta didik matematika
realistik adalah berpikir formal, sedangkan melalui proses belajarnya kompetensi
yang dicapai adalah memproduksi, merefleksi dan berinteraksi. Melalui
pemecahan masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari peserta didik diberi
kesempatan untuk memproduksi sendiri pemahaman dan perangkat pembelajaran
matematikanya. Selanjutnya melalui presentasi temuannya di antara peserta didik
dalam dan antar kelompok, semua peserta didik dapat berbagi pengalaman. Setiap
orang yang berdiskusi dalam kelompok tersebut dapat merefleksikan temuannya
sendiri. Sekaligus dalam diskusi juga dikembangkan kemampuan berinteraksi di
antara sesama peserta didik, sehingga kemampuan-kemampuan sosial dapat
dikembangkan.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan


dilaksanakan adalah:
1. Penelitian Agus Budi Hartono (2009) berjudul: “Pengembangan Skenario
Pembelajaran Matematika yang Menumbuhkan Kecerdasan Emosional dan
Kecerdasan Spiritual Peserta Didik”. Penelitian kualitatif ini telah berhasil
merancang skenario pembelajaran matematika yang menumbuhkan kecerdasan
emosional dan spiritual yang feasible, berjalan dengan baik, dan diterima baik
oleh peserta didik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan
dilaksanakan adalah sama-sama mengembangkan pembelajaran yang dapat
menumbuhkan kecerdasan spiritual. Perbedaannya yaitu metode pembelajaran
yang digunakan pada penelitian tersebut adalah kombinasi pembelajaran
kooperatif tipe TPS, model PQ4R, metode Quantum Teaching, dan flow.
29

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan


pembelajaran matematika realistik.
2. Penelitian Dian Armanto (2002) yang berjudul: “Teaching Multiplication and
Division Realistically in Indonesian Primary Schools: A Prototype of Local
Instructional Theory”. Penelitian ini menghasilkan perangkat pembelajaran
yang valid, praktis, dapat diterapkan, dan efektif. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sama-sama mengembangan
pembelajaran matematika realistik. Sedangkan perbedaannya adalah
pengembangan pembelajarannya tidak berbasis SQ.

C. Kerangka Berpikir

Dari kajian teori dan penelitian yang relevan didapatkan bahwa


matematika merupakan buah pikir rasional manusia, sehingga mempunyai segi
ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Artinya, meski secara epistemologi
matematika berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun
secara hierarkis dan penalarannya menggunakan sistem deduktif serta konsisten
dalam sistemnya, akan tetapi dalam proses terjadinya matematika pada diri
seseorang, penalaran induktif tetap diperlukan. Selain itu, matematika secara
epistemologi adalah bebas nilai karena simbol-simbolnya yang kosong dari arti.
Akan tetapi, secara filsafat ilmu ontologi dan aksiologi, matematika tidaklah
bebas nilai karena tergantung pada ideologi praktisinya.
Di sisi lain, dalam pendidikan, guru dituntut untuk mengembangkan
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual,
emosional, sosial, dan spritual peserta didik. Artinya, guru harus mengoptimalkan
potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir, yakni EQ, IQ, dan SQ.
Karenanya, matematika sekolah seharusnya dipelajari tidak hanya dari
segi epistemologinya (yang notabene mengasah fisik dan intelektual), akan tetapi
juga dari segi ontologi dan aksiologi (yang notabene mengasah perkembangan
emosi, sosial, dan spiritual). Yaitu bahwa pembelajaran matematika sekolah
haruslah dapat mengungkap mengapa suatu materi harus dipelajari agar dapat
30

memotivasi peserta didik untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan materi


tersebut. Akibatnya, peserta didik tahu bagaimana menerapkan materi yang telah
dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disadari ada pada
pendekatan pembelajaran matematika realistik.
Pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR) dengan prinsip
nyata, bertahap, dan saling menjalin disadari merupakan usaha untuk mengasah
perkembangan intelektual peserta didik. Sedangkan prinsip kegiatan, interaksi,
dan bimbingan yang ada pada PMR diharapkan dapat mengasah perkembangan
emosi dan sosial peserta didik. Akan tetapi PMR belum dapat mengasah
perkembangan spiritual (SQ) peserta didik. Padahal SQ sangat penting untuk
landasan pencapaian IQ dan EQ yang lebih baik.
Pendidikan dan pembelajaran berbasis SQ (dalam hal ini Islam), yang
diterapkan oleh sekolah Islam, menyediakan panduan sesuai dengan filsafat ilmu.
Secara ontologi, Islam memberi motivasi untuk menuntut ilmu, termasuk
matematika. Islam juga memberi motivasi untuk mengembangkan matematika
dengan menjadikan metode rasional sebagai landasan berpikir. Hal ini sesuai
dengan proses terjadinya matematika dan menjadi paradigma pembelajaran
realistik. Secara epistemologi, Islam menekankan pembelajaran matematika untuk
diterapkan, sehingga bagaimana penerapan matematika (aksiologi) juga telah
diberikan panduan. Penerapan matematika ini juga menjadi dasar paradigma
PMR.
Dari uraian di atas, disadari bahwa menjadikan SQ sebagai landasan
dalam pelaksanaan PMR tidak akan menjadikan penghalang bagi pelaksanaan
PMR itu sendiri. Sebaliknya, potensi SQ peserta didik yang semula tidak dicakup
dalam PMR akan semakin terasah.
PMR berkonteks sekolah Islam (yang selanjutnya disebut PMR berbasis
SQ atau disingkat PMRS) ini kemudian diuji coba untuk dianalisis apakah
pengembangan PMR tersebut valid, praktis, dan efektif. Model yang digunakan
dalam mengembangkan PMR, mengujicoba, serta menganalisisnya adalah model
Plomp.
Kerangka berpikir di atas digambarkan seperti Gambar 2.3 di bawah ini.
31

Ontologi

Metode Epistemologi Matematika


Rasional

Aksiologi

PMR

IQ

Peserta EQ
Didik
PMR
Berbasis SQ
SQ (PMRS)

Uji Coba

Valid

Praktis

Efektif

Optimalisasi IQ, EQ, dan SQ Peserta Didik

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Pengembangan PMRS

You might also like