Professional Documents
Culture Documents
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakekat Matematika
7
8
Muslim pada masa kejayaan Islam sesuai dengan keyakinan mereka (Adi Setia,
2008: 5).
Pernyataan matematika tidak bebas nilai di atas sesuai dengan pendapat
Kirby dalam Adi Setia (2008: 6) berikut ini.
Pendapat lain yang sesuai yaitu pendapat Martin dalam Adi Setia (2008:
7) berikut ini. “Konsep Platonik bahwa matematika adalah bebas nilai
sesungguhnya merupakan konsep yang di dalam dirinya sendiri sarat nilai karena
bertujuan untuk menyembunyikan dari sebagian besar orang hubungan yang
sangat erat antara matematika dan sistem kepercayaan yang dianut oleh
praktisinya.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika
secara epistemologi berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang
tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan sistem deduktif serta
konsisten dalam sistemnya. Akan tetapi dalam proses terjadinya matematika pada
diri seseorang, penalaran induktif tetap diperlukan.
Anggapan lain yang keliru adalah bahwa matematika bebas nilai. Padahal
secara filsafat ilmu ontologi dan aksiologi, matematika tidaklah bebas nilai karena
tergantung pada ideologi praktisinya.
satu ilmu dasar, baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai
peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Matematika
perlu dikuasai dalam penerapan dan pola pikirnya.
Oleh sebab itu matematika dipelajari di sekolah-sekolah baik dari mulai
tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Selama ini matematika
sudah berkembang sedemikian pesatnya, sehingga terlalu sulit untuk dipelajari
seluruhnya oleh peserta didik-peserta didik di sekolah. Matematika yang dipelajari
di jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas disebut matematika sekolah. Matematika sekolah menurut Soedjadi dalam
Endang Sriningsih (2009: 14) adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari
matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan
kependidikan dan perkembangan IPTEK.
Dari pengertian matematika sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika sekolah tidak sama dengan matematika sebagai ‘ilmu’. Menurut
Sumardyono (2004: 43), yang membedakan matematika sekolah dan matematika
sebagai ‘ilmu’ adalah dalam hal penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan
tingkat keabstrakan.
Dalam hal penyajian, matematika sekolah perlu diusahakan sesuai
dengan perkembangan kognitif peserta didik, sehingga tidak harus diawali dengan
teorema atau definisi. Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika
untuk matematika sekolah dengan memperhatikan aspek pendidikan,
maka terjadi penyederhanaan dari konsep matematika yang kompleks.
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir induktif
maupun deduktif. Hal ini disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat
pemahaman peserta didik. Secara umum, pada tingkat SD, matematika didekati
secara induktif terlebih dahulu karena hal ini lebih memungkinkan peserta didik
menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola
pikir deduktif harus semakin ditekankan.
Pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan, namun mungkin sekali
dipersempit. Selanjutnya semakin meningkat usia peserta didik, yang berarti
11
3. Sekolah Islam
Sekolah Islam merupakan salah satu dari tiga jenis lembaga pendidikan
Islam di Indonesia. Dua yang lain yaitu pesantren dan madrasah adalah jenis
lembaga pendidikan Islam yang berkembang lebih awal.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
dan sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Kata ‘pesantren’
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren,
sedangkan kata ‘santri’ diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti
“melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti
gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren setidaknya
memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama (pondok) (Hamidah dalam
Arief Efendi, 2008: 3).
Madrasah adalah perkembangan dari pesantren. Madrasah mengalami
perubahan tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pendidikan
Islam pesantren. Karena madrasah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum
dan metode yang digunakan tidak lagi dengan metode sorogan atau bandongan,
melainkan mengikuti sistem pendidikan modern dengan model klasikal. Dengan
13
dari guru ke peserta didik hanya terjadi jika ada interaksi yang intens pada saat
pembelajaran berlangsung maupun di luar itu. Khususnya pada saat pembelajaran
berlangsung, guru tidak sekedar memberi contoh penerapan matematika pada
permasalahan matematis. Akan tetapi juga memberi contoh penerapan matematika
dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Islam.
Sejarah matematika Islam menjadi contoh yang bagus bagi guru untuk
diterapkan dalam metode dan atau pendekatan pembelajaran tersebut. Sejarah
matematika tidak saja ada karena suatu keniscayaan, tetapi ia juga penting karena
dapat memberi pengaruh pada perkembangan matematika dan pembelajaran
matematika (Sumardyono, 2004: 9). Melihat bagaimana matematika diciptakan
oleh matematikawan Muslim dahulu dapat memberi motivasi spiritual kepada
peserta didik serta memberi penggambaran bagaimana matematika diterapkan
untuk memecahkan dalam keseharian. Selain itu, sejarah matematika menekankan
pada pola pikir rasional. Peserta didik dibolehkan menggunakan bahasa dan
lambang matematikanya sendiri. Menurut Sumardyono (2004: 10), paradigma
semacam ini kini menjadi tren dalam pembelajaran matematika realistik atau
konstruktivis. Perkembangan matematika dalam diri individu (ontogeny) mungkin
saja mengikuti cara yang sama dengan perkembangan matematika itu sendiri
(phylogeny).
a. Prinsip Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam
proses pengembangan seluruh perangkat pembelajaran yang diberikan dan
wawasan matematika sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan situasi
masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut
dan mengembangkan secara bertahap algoritma, misalnya cara mengalikan dan
membagi berdasarkan cara kerja nonformal.
b. Prinsip Nyata
Matematika realistik harus memungkinkan peserta didik dapat
menerapkan pemahaman matematika dan perangkat pembelajaran
matematikanya untuk memecahkan masalah. Peserta didik harus mempelajari
25
istilah realistik yang berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang
berarti “membayangkan”.
c. Prinsip Bertahap
Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahap
pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang
berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan
langsung dan pembuatan bagan; yang selanjutnya pada perolehan wawasan
tentang prinsip-prinsip yang mendasari dan kearifan untuk memperluas
hubungan tersebut.
Hal diatas berkaitan dengan penggunaan model-model (matematisasi).
Istilah model itu sendiri berarti model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh peserta didik sendiri (self developed models). Peran self
developed models merupakan jembatan bagi peserta didik dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya
peserta didik membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama
adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata peserta didik.
Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of
masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser
menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model
matematika formal. Kondisi untuk sampai tahap berikutnya tercermin pada
kemampuan yang ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Refleksi ini dapat
ditunjukkan melalui interaksi.
Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat membimbing pertumbuhan
pemahaman matematika peserta didik dan mengarahkan hubungan longitudinal
dalam kurikulum matematika.
d. Prinsip Interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematik dipandang sebagai
kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para
peserta didik untuk saling berbagi strategi dan penemuan mereka. Dengan
27
mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini,
peserta didik mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya. Lagi pula
interaksi dapat menghasilkan refleksi yang memungkinkan peserta didik
meraih tahap pemahaman yang lebih tinggi.
C. Kerangka Berpikir
Ontologi
Aksiologi
PMR
IQ
Peserta EQ
Didik
PMR
Berbasis SQ
SQ (PMRS)
Uji Coba
Valid
Praktis
Efektif