You are on page 1of 79

c

Ê Ê

   


 Ê  

Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabang

kebudayaan, yakni kesenian. Seperti hasil kesenian umumnya, karya

sastra mengandung unsur keindahan yang menimbukan rasa senang,

nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaan

penikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin

mengekspresikan pengalaman jiwan ya saja, melainkan secara implisit ia

bermaksud juga mendorong, memengaruhi pembaca agar ikut

memahami, menghayati, dan menyadari masalah serta ide yang

diungkapkan di dalam karyanya.

Pengalaman jiwa yang terdapat di dalam karya sastra dapat

memperkaya kehidupan batin pembaca sehingga pembaca menjadi lebih

sempurna keadaannya. Pengungkapan yang estetis dan artistik

menjadikan karya sastra lebih memesona daripada karya yang lain. Hal ini

membuat pembaca tidak segera menjadi bosan menikmati karya sastra

dan dapat menyelami maksud yang terkandung di dala mnya.

Karya sastra biasanya membicarakan manusia bermacam-macam

aspeknya sehingga karya sastra menjadi sesuatu yang penting untuk

mengenal secara sempurna manusia dan zamannya. Melalui karya sastra

dapat dibayangkan tingkat kemajuan kebudayaan, gambaran tradisi yan g


½

sedang berlaku, tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh masyarakat

pada suatu masa, dan sebagainya. Pada karya sastra tercermin masalah -

masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu masa serta usaha

pemecahannya sesuai dengan cita-cita mereka.

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil

imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala -gejala sosial di

sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran sastra merupakan bagian dari

kehidupan masyarakat pengarang sebagai objek individual mencoba

menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek

kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap

realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra yang

demikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumen

sosiobudaya (Pradopo, 2003: 59).

Novel merupakan bentuk karya sastra yang disebut fiksi. Novel

dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara

lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai

permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur

cerita yang membangun novel itu .

Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks unik,

dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal ini, antara lain,

yang menyebabkan sulitnya kita pembaca untuk menafsirkannya. Untuk

itu, diperlukan suatu upaya untuk menjelaskanya, dan biasanya, hal itu
u

disertai bukti-bukti hasil kerja analisis. Dengan demikian, tujuan utama

kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, atau pun yang lain adalah untuk

dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di

samping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang dapat

memahami karya itu.

Di negara yang berideologi Pancasila, sekitar tahun 1948, lahirlah

sebuah karya sastra yang berjudul Atheis, yang mempermasalahkan

perbenturan sikap hidup yang terlalu vertikal dengan sikap hidup yang

mengutamakan hubungan makhluk dengan penci ptanya saja. Sikap hidup

horizontal, yakni sikap hidup yang hanya memperhatikan hubungan

dengan sesama makhluk saja tanpa memperhatikan penciptanya.

Pengarang tidak hanya lan gsung mempertarungkan kedua belah pih ak itu

saja. Akan tetapi, pengarang juga me ngungkapkan kehidupan dan

penghidupan mayoritas bangsa Indonesia yang berkedudukan

mengungkapkan sebagai petani dengan kebiasaannya yang serba

sederhana. Di samping itu, diceritakan pula segolongan bangsa Indonesia

yang terpengaruh oleh kebudayaan modern. Den gan uraian yang luas,

dalam, dan seimbang itu pembaca memperoleh gambaran yang jelas

tentang keadaan dan cita-cita masyarakat dengan berbagai macam

masalah yang harus mereka hadapi.

Memahami novel Atheis melalui unsur-unsurnya, berarti berusaha

memahami secara mendalam dan meluas. Tujuan secara intrinsik

diutamakan agar dapat memperlakukan Atheis secara wajar, yakni


Ñ

menurut norma-norma literer. Secara ekstrinsik untuk mendapatkan

gambaran nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Sudah

barang tentu Atheis mengandu ng manfaat bagi pengembangan

kebudayaan pada masa mendatang, khususnya di bidang sastra. Oleh

karena itu, dalam mengembangkan dan membina apresiasi sastra Atheis

perlu dibahas secara khusus.

Ê
     

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah´

1. Bagaimanakah gambaran unsur intrinsk novel ³Atheis´ karya

Achdiat Karta Mihardja?

2. Bagaimanakah gambaran unsur ekstrisik novel ³Atheis´ karya

Achdiat Karta Mihardja?


    

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat digambarkan tujuan

penelitian, yaitu:

1. Untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja.

2. Untuk mendeskripsikan unsur ekstrinsik dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja.


     

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.


£

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan penerapan teori apres iasi

sastra Indonesia.

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan

pemahaman tentang analisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik terhadap

novel, pengembangan ilmu sastra khususnya pengajaran novel, dan

memberikan sumbangan pemikiran terhadap pencinta atau pemerhati

sastra.
‰

Ê Ê

      !  


     

"
 #$

Berbicara tentang sastra, tidak lepas dari ragam sastra yang ada di

dalamnya. Adapun yang tergolong ke dalam ragam sastra adalah puisi,

cerpen, novel, dan drama (Laelasari, 2007:22). Dalam penelitian ini yang

dibahas adalah masalah novel, maka ragam sastra lainnya tidaklah

dibahas.

Novel berasal dari bahasa Italia, novella yang berarti sebuah

barang baru yang kecil, kemudian novel didefin isikan sebagai sebuah

karya sastra yang berbentuk prosa yang mengisahkan secara

keseluruhan (utuh) atas problematika kehidupa n seseorang atau

beberapa tokoh (Laelasari, 2 007:30).

Novel dapat menyampaikan dialog yang mampu menggerakkan

hati masyarakat pembaca. Dengan kekayaan perasaan, kedalaman visi,

dan keluasan pandangan terhadap masalah -masalah hidup dan

kehidupan, dengan ditopang oleh hidupnya penggambaran tokoh -tokoh

cerita, novel merupakan sarana yang ampuh untuk menyentuh perasaan

dan keharuan pembaca, memengaruhi pikiran, dan membentuk opininya.

Lewat novel, pembaca dapat diajak melakukan eksplorasi dan penemuan

diri. Namun, hal itu tidak berarti bahwa tema kemanusiaan ya ng ingin
Î

didialogkan harus ditonjolkan sedemikian rupa sehingga ³mengalahkan´

unsur-unsur fiksi yang lain, melainkan haruslah tetap berada dalam

³proporsi´ yang semestinya sebagaimana halnya penulisan karya seni

yang menekankan tujuan estetik (Mangunwijaya dalam Nurgi yantoro,

2007:72).

Novel Atheis dikarang oleh Achdiat Karta Mihardja merupakan

salah satu karya sastra yang lahir pada angkatan 45. Karya sastra yang

lainnya, antara lain urat ingkat Tentang Esai karya Asrul Sani, Deru

Campur Debu karya Chairil Anwar, Kesusastraan Indonesia Modern

dalam Kritik dan Esai karya H.B. Jassin, urat Kertas karya Sitor

Situmorang, dan edih dan Gembira karya Usman Ismail (Laelasari,

2007:21).

Karya sastra pada angkatan 45 memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu

bebas, artinya tidak berhubungan dengan masalah adat istiadat, tidak

tertuju pada satu aturan, realistic, artinya menceritakan sesuatu yang

terjadi dalam kehidupan sehari -hari, futuristic, artinya karya sastra

menciptakan hal-hal baru dan berorientasi pada masa depan,

individualistic, artinya karya benar-benar menceritakan isi perasaan dan

pikiran pengarangnya (Laelasari, 2007:20).

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas. Sebagai sebuah

totalitas, novel memunyai bagian -bagian, unsur-unsur yang saling

berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.
è

Secara garis besar, pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur

intrinsik dan ekstrinsik.

½
  % &   '   


   

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur membangun karya sastra itu

sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai

karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang

membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur

yang secara langsung turu t serta membangun cerita. Kepaduan

antarberbagai unsur -unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel

berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur -unsur

cerita inilah yang akan dilihat atau dijumpai jika membaca sebuah novel.

Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristi wa

cerita plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa

atau gaya bahasa, dll. (Nurgiyantoro, 2007: 23).

"(  

Istilah tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 1995:91)

berasal dari bahasa Italia yang berarti ³tempat meletakkan suatu

perangkat´. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari

suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang

dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Oleh sebab itu,

penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan


º

pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema

cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif

penciptaan, sementara pembaca baru dapat memaha mi tema bila mereka

telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media

pemapar tema tersebut. Tema merupakan kaitan antara makna dengan

tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengara ng, maka untuk memahami

tema terlebih dahulu pembaca harus memah ami unsur-unsur signifikan

yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya,

serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan

pengarangnya.

Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan

dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih,

rindu, takut, maut, religious, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering

tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita (Laelasari,

2006:250). Pemilihan tema tertentu ke dalam sebuah karya, bersifat

subjektif. Masalah kehidupan yang dianggap menarik perhatian

pengarang sehinga merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke

dalam bentuk karya. Atau, pengarang menganggap masalah itu penting,

mengharukan, sehingga merasa perlu untuk mendialogkannya ke dalam

karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk merenu ngkannya.

Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan,

paling tidak pelukisan yang secara langsung atau khusus. Kehadiran tema

adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang


c

menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut.

Hal ini pulalah antara lain yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran

tema. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman cerita

secara keseluruhan. Namun, adakalanya da pat juga ditemukan adanya

kalimat-kalimat (atau alinea-alinea percakapan) tertentu yang dapat

ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengandung tema pokok (Nurgiyantoro,

2007:69).

Aminuddin (1995:67) menyatakan bahwa setting adalah latar

peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa,

serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Untuk membedakan

setting yang bersifat psikologis itu, dapat kita lihat contoh kutipan di bawah

ini.

Anak kecil itu masih duduk sendiri di atas gunduka n sampah yang
menjulang. Di tangannya tergenggam kertas -kertas bekas,
sementara di sebelah kanannya tumpuan kertas -kertas, kardus
pilihan yang dikumpulkannya. Matanya yang kecil dan m anis itu
melihat ke atas, memandanga fajar yang pelan -pelan
memancarkan sinar.
(³Burik´, N.K.. Hendrowinoto)

Setelah membaca kutipan di atas, setting cerita, yaitu 1) gundukan

sampah yng menjulang, 2) tumpukan kertas dan kardus pilihan, serta 3)

fajar yang perlahan memancarkan sinar. Dalam rangka membangun

logika Makassar.persitiwa dalam suatu cerita, ketiga setting itu memiliki

fungsi yang bersifat fisikal. Akan tetapi, pada sisi lain, setting itu juga

mampu mengimprentasikan makna tertetu, misalnya dengan melihat anak


cc

kecil yang pagi-pagi sudah duduk di gundukan sampah, dan bukannya

masih lelap tertidur di atas kasur , pembaca sudah dapat memastikan

bahwa anak kecil tersebut tentu anak seorang yang tidak mampu. Hal itu

diperjelas dengan adanya setting berupa tumpukan kertas dan kardus

pilihan si anak.

Akan tetapi, meskipun ia anak kecil dari golongan bawah, pada sisi

lain juga masih diberi setting berupa fajar yang mamancarkan sinar.

Pemberian setting itu dalam hal ini juga memberikan perbedaan makna

tertentu, mungkin ada harapan bahwa anak kecil tersebut suatu saat akan

menjumpai kehidupan yang lebih baik , atau mungkin juga pemberian

tanda bahwa meskipun sekarang nasib anak itu men derita, di depan

masih menunggu sejuta harapan. Selain itu, pemberian setting itu juga

akan mampu mengajak emosi pembaca, mungkin rasa iba atau sedih.

etting yang mampu menuansakan makna tertentu serta mampu

mangajak emosi pembaca demikian itulah yang disebut dengan setting

yang bersifat psikologis atau metaforis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan perbedaan antara

setting yang bersifat fisikal dengan setting yang bersifat psikologis, yaitu 1)

setting bersifat fisikal berhubungan dengan tempat dan benda -benda

dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa -apa,

sedangakan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan atau

benda-benda dalam ligkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu

makna serta mampumengajuk emosi pembaca, 2) etting fisikal hanya


terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis

dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan

masyarakat tertentu, 3) Untuk memahami setting yang bersifat fisikal,

pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman

terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya

penghayatan dan penafsiran, 4) Terdapat saling pengaruh dan

ketumpangtindihan antara setting fisikal dengan setting psikologis.

½(   # 

Alur adalah tahapan-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para

pelaku dalam suatu cerita, sehingga membentuk rangkaia n cerita yang

menarik (Laelasari, 2006:25).

Badrun (1983:86) menyatakan bahwa alur terbagi atas empat

bagian, yaitu alur lurus, alur sorot balik, alur gabungan, dan alur rapat dan

alur renggang.

Alur lurus (datar) adalah biasanya menceritakan rangkaian kejadian

secara kronologis, misalnya novel-novel pujangga baru. Alur sorot balik

(flash back) tidak mengemukakan rangkaian kejadian secara kronologis

tetapi mengemukakan persoalan akhir kemudian kembali kepersoalan

awal. Flash back sering juga sebagai jenis alur dan juga sebagai unsur

alur. Sebagai unsur alur terlihat pada khayalan tokoh tentang masa

lalunya. Hal ini dapat dilihat dalam novel Arus karya Asp ar. Sedangkan

flash back sebagai jenis alur terlihat dalam novel ³Atheis´ karya Achdiat
cu

Karta Mihardja. Alur gabungan maksudnya pengarang tidak hanya

memakai satu jenis alur tetapi kadang -kadang menggabungkan dua jenis

alur. Jenis alur ini terdapat dalam karya Mochtar Lubis yang berjudul

³Perempuan´. Alur rapat terlihat bahwa antara alur pokok dan alur

pembantu tidak dapat dise lipkan alur baru karena susuna nnya rapat.

Sedangkan alur renggang , antara alur pokok dan alur pembantu

hubungannya renggang sehing ga kemungkinan antara alur-alur tersebut

dapat diselipkan alur baru.

u( ## 

Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya

naratif. Istilah ³tokoh´ menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya

sebagai jawab terhadap perta nyaan ³siapakah tokoh utama novel itu?´,

atau ³Ada berapa orang jumlah pelaku dalam novel itu?´, dan sebagainya.

Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para

tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas

pribadi seorang tokoh. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas

tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam

Nurgiyantoro, 2007:165).

Tokoh cerita (character) menurut Abram (dalam Nurgiyantoro,

2007:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya

naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral

dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan


dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Untuk kasus kepribadi an seorang

tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata -kata (verbal) dan

tingkah laku lain (nonverbal). Pe rbedaan antara tokoh yang satu dengan

yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

Dengan demikian, istilah ³penokohan´ lebih luas pengertiannya

daripada ³tokoh´ dan ³perwatakan´ sebab ia sekaligus mencakup masalah

siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan , dan bagaimana penempatan

dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan

gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran

pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek : isi dan

bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu t idak penting benar

selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh -tokoh tersebut

atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh -tokoh itu sesuai

dengan logika cerita dan persepsinya (Jones dalam Nurgiyantoro,

2007:166).

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peran yang

berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu

cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki

peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi,

melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh

pembantu (Amunuddin, 1995: 80).


Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan

dalam suatu novel, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat

keseringan pemunculannya dalam suatu cerita. Selain memahami

peranan dan keseringan pemunculannya, dalam menentukan tokoh utama

serta tokoh tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan

oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang

sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, s edangkan

tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya. Selain itu, lewat judul

cerita, pembaca juga dapat menentukan siapa tokoh utamanya. MIsalnya

jika terdapat cerita berjudul Siti Nurbaya, Maling Kundang, dan lain -

lainnya, maka pembaca akan segera dapa t menentukan bahwa tokoh

yang namanya diangkat sebagai judul cerita merupakan tokoh utama,

sementara tokoh-tokoh lain yang memiliki hubungan penting dengan tokoh

itu juga dapat ditentukan sebagai tokoh utama (Aminuddin, 1995:80).

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan

sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu.

Sehubungan dengan watak ini, pelaku cerita yang memiliki watak yang

baik sehingga disenangi pembaca disebut pelaku yang protagonis,

sedangkan pelaku cerita yang tidak disenangi pembaca kadang memiliki

watak yang tidak sesuai dengan yang diidamkan oleh pembaca disebut

pelaku yang antagonis (Aminuddin, 1995:80).

Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat

menelusurinya lewat,1) tuturan pengarang terh adap karakteristik


pelakunya, 2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran

lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, 3) menunjukkan

bagaimana perilakunya, 4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang

dirinya sendiri, 5) memahami jalan pikirannya, 6) melihat bagaimana tokoh

lain berbicara tentangnya, 7) melihat bagaimana tokoh lain berbincang

dengannya, 8) melihat bagaimana tokoh -tokoh lain itu memberikan reaksi

terhadapnya, dan 9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh

yang lainnya.

Ñ( 

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,

menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams

dalam Nurgiyantoro, 2007:216).

Latar memberi pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini

penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptaka n

suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.

Pembaca merasa dipermudah untuk ³mengoperasikan´ daya imainasinya,

di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan

dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan

menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan

sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan

dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini

akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana tempat, warna lokal,

lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita (Nurgiyantoro, 2007:217).

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu

tempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 2007:227). Ketiga unsur itu walau

masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat

dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling

memengaruhi satu dengan yang lainnya.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,

mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan

dengan masalah ³kapan´ terjadinya peristiwa -peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi. Masalah ³kapan´ tersebut biasanya

dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat

dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal

yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu

tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2007:233).

Badrun (1983:89) menyatakan bahwa tempat kejadian cerita

merupakan salah satu faktor pembantu untuk memperjelas cerita yang

dikarang. Kejelasan setting akan memengaruhi nilai sebuah cerita. Oleh

sebab itu, pengertian setting meliputi latar belakang fisik, ruang dan

lingkungan tempat terjadinya cerita.dapat kita lihat contoh k utipan dibawah

ini.

Segera Ida dibawa ke kamar yang istimewa untuk ukuran rumah


sakit Jatiwangi itu. Tidak ada orang lain di sana. Ada dua tempat
tidur tapi yang satunya lagi kosong. Sebuah lemari dan di dekatnya
sebuah meja pembasuh muka.
(Ramadhon KH. : Keluarga Permana)

Dengan lukisan latar yang tetap, cerita akan menjadi lebih mantap.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi akan mudah diterima pembaca sebagai

sesuatu yang wajar. Di dalam menyusun suatu cerita, peristiwa-peristiwa

dan waktu terjadinya harus jaga benar -benar agar menjadi terang di

dalam pikiran pembaca. Iklim dan periode sejarah dapat pula membantu

memberikan kejelasan kepada pembaca. Iklim perang, damai, periode

revolusi fisik, periode pembangunan, dan sebagainya dapat mejadi latar

dari berbagai peristiwa, bahkan dapat menjelaskan watak pelaku. Jelaslah

sekarang bahwa di samping latar belakang fisik yang dapat dilihat, waktu,

iklim, atau suasana, dan periode sejarah juga merupakan bagian latar

(Kusdiratin, 1985:70).

Dapat disimpulkan bahwa latar pada dasarnya tempat yang

melingkungi pelaku atau tempat terjadinya peristiwa. Tempa t tersebut

berhubungan pula dengan hal -hal yang di sekitarnya termasuk alat-alat

atau benda-benda yang berhubungan denga n tempat terjadinya peristiwa

iklim atau suasana dan periode sejarah.


5) &  & 

Sudut padang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku

dalam cerita yang dipaparkannya. Sudut pandang atau biasa diistilahkan

dengan point of view atau titik kisah, meliputi 1) narrator omniscient, 2)

narrator observer, 3) narrator observer omniscient, dan 4) narrator the

third person omniscient (Aminuddin, 1995:90). Penjelasan lebih lanjut dari

sejumlah sudut pandang di atas adalah sebaai berikut.

Narrator omniscient adalah narator atau pengisah yang juga

berfungsi sebagai pelaku cerita. Karena pelaku juga adalah pengisah,

maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu

tentang apa yang ada dalam be nak pelaku utama maupun sejumlah

pelaku lainnya, baik secara fisikal, maupun psikologis. Dengan demikian,

apa yang terdapat dalam batin pelaku serta kemungkinan nasibnya,

pengisah atau narator, juga mampu memaparkannya meskipun itu hanya

berupa lamunan pelaku tersebut atau merupakan sesuatu yang belum

terjadi.

Narator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi seba gai

pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam

batas tertentu tentang perilaku bati niah para pelaku. Bila dalam narrator

omniscient, pengarang atau pengis ah menyebut pelaku utama dengan

nama pengarang sendiri, saya atau aku, maka dalam narrator observer
½

pengarang menyebutkan nama pelakuknya dengan dia, ia, nama-ama

lain, maupun mereka.

Berbaikan dengan narrator observer, dalam narrator omniscient

pengarang, meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu

juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu meskipun

pengisah masih juga menyebut nama pelaku dengan ia, mereka, dan dia.

Hal itu memang masih mungkin terjadi karena pengarang prosa fiksi

adalah juga pencipta dari para pelaku dalam prosa fiksi yang

dipaparkannya. Ibaratnya, pengarang adalah juga dalang. Dalam hal itu

memang pengarang bukan hanya tahu tentang ciri-ciri fisikal dan

psikologis pelaku secara menyeluruh, me lainkan juga sewajarnya atau

tentang nasib yang nantinya dialami para pelaku.

Dalam cerita fiksi, mungkin saja pengarang hadir di dalam cerita

yang diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini,

sebagai pelaku ketiga pengarang masih mungkin me nyebutkan namanya

sendiri, saya, atau aku. Sebagai pelaku ketiga yang tidak terlibat secara

langsung dalam keseluruhan satuan dan jalinan cerita, pengarang dalam

hal ini masih merupakan juga sebagai penu tur yang serba tahu tentang

ciri-ciri fisikal, psikologis, maupun kemungkinan kadar nasib yang nanti

dialami oleh para pelaku.


½c

‰( ! ' Ê   

Istilah gaya diangkat diangkat dari istilah style yang berasal dari

bahasa Latin, yaitu stilus dan mengandung arti leksikal µalat untuk

menulis¶. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara

seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan meng gunakan

media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan

makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi

pembaca. Sejalan dengan pengertian di atas, Scarbach (dalam

Aminuddin, 1995:72) menyebut gaya ³sebagai hiasan, sebagai sesuatu

yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta sebagai

perwujudan manusia itu sendiri´.

Pengarang dalam wacana dalam sastra menggunaka n pilihan kata

yang mengadung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif.

Selain itu, tatanan kalimat-kalimatnya juga menunjukkan adanya variasi

dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya

nuansa makna tertentu saja. Oleh sebab itulah masalah gaya dlam sastra

akhirnya juga berkaitan erat dengan masalah gaya dalam bahasa itu

sendiri.

Unsur gaya yan terdapat dalam suatu cipta karya sastra yang akan

melibatkan masalah, 1) unsur-unsur kebahasan berupa kata dan kalimat,

2) alat gaya yang melibatkan masalah kiasan, seperti, metaphor,

metonimia, simbolik, dan majas yang melibatkan masalah kata, seperti


½½

litotes, hiperbola maupun, eufimisme, majas, kalimat seperti asidenton,

klimaks, antiklimaks, paralelisme, dan lain-lain; dan majas pikiran, seperti

paradoks, antitese, maupun aksimoron; dan majas bunyi seperti

anaphora, epifora, pleona sme, dan lain-lain (Aminuddin, 1995:78).

Setiap pengarang selalu memiliki gaya sendiri -sendiri yang berbeda

antara yang satu dengan lainnya. Bahka n meskipun mereka berangkat

dari gagasan yang sama bentuk penyampaiannya senantiasa berbeda.

Hal demikian, dalam cipta sastra d iistilahkan dengan individuasi, yakni

keunikan dan kekhasan seorang pengarang dalam penciptaan yang tidak

pernah sama antara yang satu dengan lainnya.

Î(   

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dari

sebuah karya sastra. Adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral.

Amanat secara eksplisit merupakan seruan, saran peringatan, nasihat,

anjuran, larangan, dan sebagainya yang disampaikan pengarang di

tengah atau akhir cerita terutama mengenai hal -hal yang berkenaan

dengan gagasan yang mendasari cerita tersebut. Amanat secara implisit

merupakan solusi (jalan keluar) atau ajaran moral yang disiratkan mela lui

tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita (Laelasari, 2006:27).

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang hendak

disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Amanat

disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi


½u

cerita. Karena itu, untuk menemukan amanat, tidak cukup dengan

membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus membaca

keseluruhannya sampai tuntas (Supratman, 2004:89).

×
   

 Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya

sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau

sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus, sebagai unsur-

unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun

sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Wala upun demikian, unsur

ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang

dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap

dipandang sebagai sesuatu yang penting (Nurgiyantoro, 2007 : 24).

Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2007:24) menyatakan

bahwa unsur ekstrinsik adalah keadaan subjektivitas individu pengarang

yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya

itu akan memengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Pendek kata, unsur

biografi pengarang akan turut menentukan cor ak karya yang

dihasilkannya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik,

dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu

merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik, misalnya pandangan

suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.


½Ñ

"( Ê#  

 Untuk melengkapi bahasan sebuah karya sastra, perlu pula

dibicarakan pengarangnya. Seorang pengarang menulis dalam karyanya

apa yang terkandung di dalam batinnya. Sebagai seorang yang

berkecimpung dalam bidang sastra, pengarang adalah manusia merdeka,

yang tidak segan-segan mengajak orang lain memandang sesuatu seperti

ia memandangnya. Bagi pengarang, karya sastra merupakan media yang

melahirkan apa yang hidup dalam pribadinya. Hooykass (dalam

Kursdiratin, 1985:15) menyatakan, ³Ia melahirkan apa yang hidup di

dalam pribadinya, ia mencoba memberi bentuk pada hal itu, ia tidak begitu

memikirkan tantang bagus atau tidak bagus, berguna atau tidak ber guna´.

Pengarang memiliki perasaan yang sangat sensitif. Dengan

ketajaman perasaannya, ia mampu mengangkat masalah yang sangat

sederhana menjadi sesuatu yang bernilai. Sebelum mengangkat masalah

itu ia terlebih dahulu mengadakan penghayatan dan penafsiran secara

sungguh-sungguh. Penafsiran seseorang tentang sesuatu akan

dipengaruhi oleh pribadi dan alam sekitarnya. Menurut Hutagalung (dalam

Kusdiratin, 1985:15), ³Seorang seniman selalu mengadakan penafsiran

terhadap peristiwa yang akan dijadikan bahan ceri ta. Penafsiran itu

dipengaruhi oleh pribadi dan faktor sekeliling pengarang. Penafsiran dan

ide pengarang berhubungan erat dengan karyanya´. Dengan demikian,

untuk menunjang pembahasan novel Atheis perlulah dikenal dulu

penulisnya lewat biografinya.


½£

Achdiat Karta Mihardja lahir tanggal 6 Maret 1911 di Garut, Jawa

Barat. Ia adalah seorang sastrawan dan penerjemah. Pendi dikan yang

pernah dijalaninya adalah AMS -A di Surakarta dan Fakultas Sastra dan

Filsafat di Universitas Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai guru di

taman Siswa, kemudian menjadi redaktur sastra di Balai Pustaka.

Banyak hal yang menarik yang dimunculkan oleh Tinuk R.

Yampolski dalam film dokumenter, Suara dari Zaman Pergerakan. Film ini

menyajikan selintas perjalanan hidup Achdiat Karta Mihar a yang diputar

pertama kali di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki.

Bersamaan dengan itu, roman karya Achdiat Karta Miharja yang

berjudul Deru Cinta Berterbangan diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka.

Sebelumnya, karya yang oleh pengarangnya disebut sebagai Roman

Kaledioskop itu pernah diterbitkan pada 1973 di Singapura.

Dalam film yang bersetting ³negeri kanguru´ itu selain menyebut

sebagai Si Kabayan dan Politikus Gagal, Achdiat juga mengemukkan

dengan tegas pendiriannya yang anti -sekularisme. Pernyataan sikap ini

menyusul pandangan sebagai anti ±atheisme yan dikemukakan lewat

tokoh Hasan dalam roman pertamanya yang berjudul Atheis (1949).

Dibandingkan dengan rekan-rekannya sesama sastrawan angkatan

¶45, pria kelahiran Garut ini disebut kurang produktif. Sepanjan g hayatnya,

karya Achdiat yang berupa puisi, cerpen, novel hanya bisa dihitu ng

dengan jari, tetapi ia lebih banyak menulis esai. Achdat bersama istrinya
½‰

Suprapti hijrah ke Australia dan mengajar di Australia National University

(ANU) pada tahun 1961).

Dari semua karyanya, hanya ada tiga karya yang di anggap sebagai

karya sastra, yaitu roman Atheis, Debu Cinta Berterbangan , serta yang

terakhir yang diterbitkan oleh Mizan pada Januari 2005 adalah sebuah

kisah panjang berjudul Manifesto Khalifatullah . Karyanya ini disebut

kispan karena terlalu panjang untuk disebut cerpen dan terlalu pendek

untuk dikategorikan dalam sebuah no vel.

Selain tiga buah roman, dalam catatan sastrawan Ajip Rosidi,

Achdiat juga menghasilkan dua kumpulan cerpen dan satu naskah drama.

Tetapi dari semuanya, Atheis menorehkan catatan paling fenomental

karena sudah dicetak ulang sebanyak 26 kali oleh pener bitnya.

Meskipun jumlah karya sastra yang dihasil kan Achdiat tergolong

minim, tetapi dalam catatan keterlibatannya dalam organisasi politik,

penerbitan dan kesenian ia sangat berperan ba nyak. Kedudukan Achdiat

diusia produktifnya pernah menjadi Kepala Jawatan Kebudayaan

Perwakilan Jakarta, Ketua PEN Club Indonesia, Wakil Ketua Organisasi

Pengarang Indonesia (OPI), anggota partai Sosialis Indonesia (PSI),

redaktur majalah Balai Pustaka, serta redaktur maja lah Gelombang

Zaman, dan beberapa penerbit lainnya.

Pada tahun 1948, Achdiat yang alumnus Fakultas Sastra

Universitas Indonesia ini disebut sebagai salah satu pelopor berdir inya
½Î

Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra). Awalnya versi Lekra Achdiat, A.S

darta, Nyoto, dan lain-lain dibentuk sebagai reaksi kritis atas kedekatan

kelompok sastrawan angkatanl ¶45 (seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, dan

lainnya), dengan para politisi Belanda pada masa itu. Namun, ketika

akhirnya A.S. Darta dan kawan-kawannya mendeklarasikan Lekra sebagai

onderbouw PKI pada 17 Agustus 1950, Achdiat mengaku kaget dan

kecewa. Oleh karena itu, Achdiat ke mudian meninggakan Lekra dan

memutuskan untuk hijrah ke Australia.

Esai-esainya yang berisi konfrontasi pemikiran para budayawan

yang diawali di harian Suara Umum kemud ia disusun menjadi sebuah

buku bertajuk Polemik Kebudayaan, Achdiat sendiri menuliskan editorial

buku yang yang judulnya kemudia n dikenal sebagai salah satu momentum

sejarah yang sangat penting d alam wacana kebudayaan Indonesia.

Kiprah Achdiat sebagai org anisator bidang politik berangsur

menyurut pada awal 1960 -an. Seiring dengan kesempatan untuk

mengajar di ANU, rezim Soekarno mem-breidel eksistensi PSI.

Keberangkatannya ke Australia merupakan kebetulan yang tak diduga.

Achdiat tinggal di sebuah kawasan p erindustrian di pinggir kota Canberra,

Australia.

Panjangnya fase kehidupan Achdiat di Australia membuktikan

bahwa dirinya ternyata lebih berhasil dan akhirnya ia memilih untuk

menghabiskan sisa umurnya di Australia (Laelasari, 2007:57 -59).


½è

½( #$×   )&  % 

Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita

sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman

dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai menduduki tempat penting dalam

kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat. Nilai menjadi sesuatu

yang abstrak dapat dilacak dari tiga realitas, yakni pola tingkah laku, pola

berpikir, dan sikap (Ambroise dalam Kaswardi, 1993:20).

Menurut Alwi (2001:783) nilai adalah sebuah ata dasar berarti

µharga¶ dan dihubugkan dengan istilah nilai-nilai edukatif diartikan sebagai

sifat yng berguna bagi perkembangan kualitas hidup manusia yang dapat

menuntun manusia dalam mencapai kedewasaan dan kemata ngan

hidupnya. Dalam pengertian luas, nilai mengandung arti sebagai sesuatu

yang dapat digunakan dan dipandang dapat memengaruhi peril aku

manusia dan masyarakat yang dimilikiya.

Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia dengan hakikat

(Departemen Pendidikan Nasional, 2008:963).

Sebagaimana bentuk karya sastra yang lain, novel tentu saja

mengandung sejumlah nilai. Pengungkapan nilai -nilai dalam karya sastra

bukan saja akan memberi latar belakang sosial budaya pengarang,

melainkan dapat menerangkan ide -ide dalam menanggapi situasi yang

mengelilinginya. Hal ini dimungkinkan karena karya sastra merupakan


½º

ruangan kemampuan pengarang dalam mengekspresikan situasi yang

ada pada zamannya.

Sastra mencerminkan norma, yakni ukuran perilaku anggota

masyarakat diterima sebagai cara yang benar untuk bertindak dan

menyampaikan sesuatu. Sastra juga mencerminkan nilai -nilai yang secara

sadar diperluaskan oleh warganya dalam masyarakat.

(     

Tarigan (dalam Zulkifli, 2008:16) menyebutkan bahwa bila suatu

karya sastra memancarkan ajaran-ajaran agama yang sangkut pautnya

dengan moral, etika, akhlak, dan agama maka karya tersebut

mengandung nilai etis, moral, dan religius.

Nilai yang dimiliki seseorang itu akan memengaruhi perilakunya.

Ada dua konsekuensi perilaku dan nilai hidup seperti ini sebagaimana

dikemukakan oleh Koenjaraningrat (dalam Zulkifli, 2008:15). Pertama,

karena hidup itu baik, lalu orang yang memiliki nilai seperti itu cenderung

untuk lebih bersikap optimis dalam hidupnya. Pandangan yang melihat

hidup itu merupakan nilai hidup yang menunjang pada produktivitas yang

tinggi. Kedua, orang yang menganggap itu baik, dapat juga membuat

orang yang memiliki nilai yang seperti itu tidak berusaha untuk bekerja

lebih keras lagi. Untuk apa bekerja lebih keras, kalau hidup itu sudah baik.

Orang yang menganggap bahwa hidup ini sudah baik, tidak berusaha

melihat kemungkinan lain.


u

Istilah ³religius¶ membawa konotasi pada makna agama. R eligius

dan agama memang berkaitan, berdampingan, bahkan melebur dalam

satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang

berbeda (Nurgiyantoro, 2007:327).

Menurut pandangan Paul Tillich (dalam Budiman, 2007:49)

terdapat perbedaan antara agama dan religi. Religi memunyai pengertian

yang lebih luas dari agama. Seorang yang religius tidak selalu harus

menganut agama tertentu, seperti Islam, Kristen, Hindu atau Budha.

Seorang yang religius adalah mereka yang memahami arti hidup ini

secara lebih jauh daripada batas -batas yang lahiriah saja. Seorang yang

religius adalah orang yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal

dari kehidupan ini, dan dia berusaha mentransendir hidup ini. Dia bisa

memeluk suatu agama tertentu, tetapi tentu saja hal ini bukan suatu

keharusan, karena meskipun seseorang sudah menganut suatu agama

tertentu, dia bisa saja tetap tidak religius.

Meskipun pada dasarnya manusia adalah homo religius yang

menyembah Tuhan yang satu, Yang Maha Esa, tetapi adanya berma cam-

macam agama mengakibatkan konsep Tuhan di mata manusia tidak

sama. Bagi umat Islam, Tuhan adalah Allah Yang Mahakuasa; bagi umat

Kristen, Tuhan adalah Allah Bapa yang terwujud dalam trinitas; dan

sebagainya. Adanya bermacam-macam agama itu tidak menghalangi

upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai pusat

kekuasaan tertinggi (Alwi, 1993:6).


uc

Agama sebagai jalan kehidupan mengandung nilai-nilai spiritual

yang di dalamnya diletakkan adanya iman terhadap sumber kehidupan

Yang maha Besar, yaitu Tuhan yang menjadi sumber segala kehidupan.

Iman terhadap Tuhan Yang Maha Agung ini merup akan sumber bagi

manusia untuk memperoleh kekuatan dalam menjalani kehidupan agar

mencapai kehidupan yang sehat dan bahagia. Komitmen spiritual yang

berupa iman mrupakan esensi dari kehidupan manusia, sebab melalui

iman, maka manusia dapat memperoleh pemahaman yang benar tentang

kehidupan. Berdasarkan iman pula, maka manusia memperoleh kekuatan

untuk mengatasi permasalahan dan memperoleh kebahagiaan dalam

menjalankan tugas-tugas kehidupan.

×(  # 

Dalam sastra Indonesia, nilai-nilai moral/etika dapat ditemukan baik

dalam sastra tradisional (daerah) maupun sastra modern. Nilai -nilai

etika/moral yang dimaksudkan adalah ti ndakan manusia yang bernilai

³baik´ atau ³buruk´ dalam kehidupannya, baik sebagai individu, anggota

masyarakat, dan bahkan sebagai warga negara. Oleh karena itu, setiap

manusia akan mengimpikan kehidupan yang bernilai ³baik´ dan

menghindari kehidupan yang bernilai ³buruk´. Sejumlah fenomena

tersebut dapat pula terefleksikan melalui karya sastra.

Objek etika sebagai ilmu adalah manusia. Manusia dipandang dari

segi baik-buruk perilakunya, diukur dengan kriteria tertentu. Menurut


Suseno (1987:56), etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas,

dihasilkan secara langsung, bukan hanya berupa kebaikan, melai nkan

suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.

Konsep etika menurut pandangan Barat tidak sama dengan

pandangan Timur. Etika Barat bersifat antroposentrik (berpusat pada

manusia). Kebalikannya, etika Timur bersifat theosentrik (berpusat pada

Tuhan). Dalam etika Timur, terutama sudut pandang agama Islam, suatu

perbuatan selalu dihubungkan dengan amal saleh, pahala atau siksa,

surga dan neraka, dan lain -lain. Hal tersebut berbeda dengan e tika Barat.

Etika pada dasarnya adalah kemampuan menerobos teknik dan membuka

suatu dimensi transenden, dimensi harapan, evolusi kritis, dan tanggung

jawab.

Faktor penting yang memungkinkan tindakan manusia bersifat

susila sesuai dengan aturan formal yang berlaku ialah kesadaran moral.

Dengan berdasar pada faktor tersebut, perbuatan manusia seharusnya

selalu direalisasikan seperti yang seharusnya. Demikian pula, melalui nilai

etika dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan nilai-nilai filosofis ke dalam

pergaulan hidup sehari-hari. Sebab, di dalam nilai etika dijabarkan hal -hal

yang menuntut manusia agar bertingkah laku yang santun. Saling

menghormati, hidup bergotong -royong, dan lain-lain.

c) Nilai Sosial Budaya


uu

Walaupun karya sastra bukan buku sejarah, masalah sosial

menjadi bahan pembicaraan juga. Sebagai karya imajinatif,

pembicaraannya tidak berdasarkan fakta-fakta yang otentik atau berpijak

langsung pada kenyatan -kenyataan yang benar-benar terjadi. Keadaan

masyarakat di salah satu tempat pada sekitar masa penciptaan, secara

ilustratif akan tercermin di dalam karya sastra. Dengan memahami saat

penciptaan karya sastra berarti akan mengetahui pula keadaan sos ial

budaya masyarakat pada masa itu. Hookaas (dalam Kusdiratin, 1985:21)

berpendapat bahwa ³Suatu cerita itu dapat memberikan lukisan yang jelas

tentang tepat dalam suatu masa, semua tindakan manusia.´

Pembicaraan masalah sosial budaya merupakan satu pembicaraan

yang interpretatif. Satu pembahasan yang berdasarkan gambaran atau

lukisan yang terdapat di dalam novel Atheis. Kusdiratin (1985:22)

menyatakan bahwa membicarakan masalah sosial budaya sebenarnya

tidak dapat lepas dari pembicaraan tiga masalah utama, yaitu individu,

masyarakat, dan kebudayaan. Manusia sebagai m akhluk sosial jelas tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat tempat ia berada. Antara manusia ±

individu dengan masyarakat memang tidak dapat dipisahkan, keduanya

saling berkaitan. Masyarakat tanpa individu jelas tak mungkin ada.

Individu tanpa mayarakat satu hal yang mustahil. Dari tingkah laku individu

(kelompok individu) dalam pola jaringan hubungan antargolongn

masyarakat yang selalu berulang inilah kemudian lahir, apa yang

dinamakan kebudayaan.

Ê
    

Novel adalah sebuah karya sastra yang berbentu k prosa yang

mengisahkan secara keseluruhan atau problematika kehidupan seseorang

atau beberapa orang. Novel dapat menyampaikan dialog yang mampu

menggerakkan hati masyarakat pembaca.

Novel Atheis dikarang oleh Achdiat Karta Mihardja sekitar tahun

1948 yang mempermasalahkan perbenturan sikap hidup masyarakat pada

saat itu.

Memahami novel Atheis melalui unsur-unsurnya berarti berusaha

memahami secara mendalam dan meluas. Unsur intrinsik sebuah novel

adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita,

seperti tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, bahasa, dan amanat.

Unsur ekstrinsik sebuah novel adalah gambaran nilai -nilai yang

terkandung di dalam karya sastra tersebut. Dalam hal ini, penulis hanya

menganalisis nilai agama, nilai mor al, dan nilai sosial budaya. Oleh karena

itu, dalam mengembangkan apresiasi sastra, penelitian terhadap novel

Atheis perlu dianalisis secara mendalam untuk menemukan unsur-unsur

yang terkandung di dalamnya.


Ê !   !  

    

  


   


   
   

 ÿ     
      
 Y      
 ›    
   Y 
 ·    
  

   

ÿ

Ê Ê

*  


 +  ×&     

"
 +  ×  

Hadi (dalam Arikunto, 1992:89) menjelaskan bahwa variabel

merupakan gejala yang berpariasi. Gejala yang dimaksud adalah objek

penelitian, sehingga yang dijadikan sasaran perhatian dalam suatu

penelitian adalah variabel, baik yang bersifat kuantitatif maupun yang

bersifat kualitatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel adalah salah

satu syarat mutlak yang harus ada dalam suatu penelitian. Sehubungan

dengan hal tersebut, dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik dan

ekstrinsik dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja.

½
    

Menurut Nazir (1985:99) desain penelitian adalah semua proses

yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan p enelitian atau

proses realisasi penelitian.

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik artinya

menggambarkan objeknya sesuai apa adanya. Dalam hal ini, penulis

mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja. Adapun prosedur yang ditempuh ada lah tahap

pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penarikan

simpulan.

Ê
   

Untuk menghindari terjadinya salah penafsiran dalam penelitian ini,

dianggap perlu dikemukakan definisi istilah penelitian.

Karya sastra adalah bentuk komunikasi khas berupa bahasa yang

diabadikan pada fungsi estetik; gambaran atau cermin keadaan

masyarakat; bahkan merupakan cermin jiwa dan pribadi sastrawan

pencipta karya itu sendiri.

Novel Atheis adalah sebuah karya sastra yang dikarang oleh

Achdiat Karta Mihardja sekitar tahun 1948. Novel Atheis ini merupakan

salah satu karya sastra angkatan ¶45.

Penelitian unsur-unsur dalam novel Atheis adalah unsur intrinsik

dan unsur ekstrinsik. Unsur Intrinsik adalah unsur -unsur yang membangun

karya sastra itu sendiri, seperti tema, alur, penokohan, latar, sudut

pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur

yang berada di luar karya satra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung

memengaruhi bangunan atau sistem organism karya sastra, antara lain

biografi pengarang dan nilai -nilai yang terkandung dalam karya sastra

tersebut, seperti nilai agama, nilai moral, nilai politik, nilai sosial budaya,

dan nilai pendidikan.



  & ×  

Data dalam penelitian ini adalah kata konkret yang

mengungkapkan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Atheis karya

Achdiat Karta Mihardja.

Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Atheis karya Achdiat

Karta Mihardja, diterbitkan oleh PT Balai Pustaka, cetakan kedua puluh

delapan 2006. Novel ini terdiri atas XV bagian.

Pemilihan novel ini didasarkan pada pertimbangan bahwa novel

Atheis dikarang oleh penulis karya sastra ternama Indonesia yang telah

menggoreskan penanya pada era sebelum dan sesudah kemerdekaan

Republik Indonesia.


 ,  

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian, maka

digunakan teknik analisis teks atau dokumen secara objektif. Artinya,

pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis secara sistematis.

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu teknik

inventarisasi, baca-simak, dan pencatatan.

1. Teknik Inventarisasi

Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara mencari dan

mengumpulkan sejumlah data; dalam hal ini adalah novel yang menjadi

sumber data penelitian yang terdapat dalam novel Atheis.

2. Teknik Baca-Simak

Teknik baca-simak dilakukan secara saksama terhadap isi novel

yang menjadi objek penelitian. Teknik ini dilakukan dengan berulang -ulang

untuk memperoleh informasi yang akurat.

3. Teknik Catat

Setelah melakukan teknik baca -simak, hasil yang diperoleh dicatat

dalam kartu data. Pencatatan dilakukan mulai dari bagian-bagian dalam

dari tiap kalimat hingga ke bagian terbesar secara keseluruhan isi teks

novel.


    

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelit ian ini adalah

teknik analisis isi yang mencakup identifikasi, klasifikasi, analisis, dan

deskripsi.

1. Identifikasi

Setelah data terkumpul, penulis membaca secara kritis dengan

mengidentifikasi novel yang dijadikan data dalam penelitian.


Ñ

2. KLasifikasi

Setelah diidentifikasi, data novel diseleksi dan diklasifikasi sesuai

dengan hasil identifikasi, yaitu tahap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

3. Analisis

Selanjutnya, seluruh data dalam novel dianalisis dan ditafsirkan

maknanya secara keseluruhan.

4. Deskripsi

Akhirnya, hasil analisis data dalam novel disusun secara sistematis

sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan makna setiap unsur yang

terkandung dalam novel Atheis.


Ñc


ѽ


Ñu

Ê Ê

-     Ê   


ÑÑ

 Sebagaimana telah dipaparkan pada butir rumusan masalah dan

metode analisis data, pada bagian ini dideskripsikan tentang penyajian

hasil dan pembahasan yang diperoleh melalui kajian unsur intrinsik dan

ekstrinsik. Kedua hal ini dipaparkan secara berurutan berikut ini. 


 '   

"
 #,#$  ‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘ 

Hasan seorang putra pensiunan mantri guru yang bertempat tinggal

di kampung Panyeredan di lereng gunung Telaga Bodas. Ayah Hasan,

Raden Wiradikarta pernah berdinas di daerah Tasikmalaya, Ciamis,

Bogor, Tenggarong, dan beberapa tempat kecil yang lain. Ia terkenal

sebagai pemeluk agama Islam yang taat, saleh, dan alim.

Hasan, sejak kecil mendapat pend idikan agama secara mendalam.

Hasan tumbuh menjadi anak yang patuh pada orang tua dan taat kepada

agama. Salat dan berpuasa sering dijalankannya. Ketika dewa sa, Hasan

mengikuti jejak orang tuanya untuk memiliki ilmu sareat dan tarekat. Ia

berguru ke Banten. Semenjak menganut ajaran mistik, Hasan semakin

rajin melakukan ibadat. Akibatnya, pekerjaan kantornya sering

terbengkalai. Hasan mendapat julukan ³Pak Kiai ´ oleh teman-teman

sekantornya.

Hasan sebagai produk dari pendidikan lingkungan masyarakat

agama yang tertutup, fanatik, ia berkembang menjadi manusia fanatik,

sempit pandangan hidup , dan kurang memiliki pengalaman. Ia melihat


Ñ£

segala macam kehidupan dalam masyarakat dengan menggunakan

ukuran-ukuran kaca mata ajaran agama. Hal ini sangat membatasi gerak

dan wataknya sehingga ia kurang memahami masalah-masalah

kehidupan yang sebenarnya.

Pada suatu hari datanglah ke kantornya, Rusli, temannya di HIS ±

Tasik dahulu, dengan seorang sahabatnya, Kartini. Dengan kedatangan

mereka berdua, Hasan merasa lebih senang tinggal di Bandung. Taip -tiap

hari ia mendatangi Rusli ke rumahnya untuk bertukar pikiran.

Persahabatannya dengan Kartini makin erat pula yang diterusk an dengan

perkawinan. Sedangkan Rukmini tunangannya diti nggalkannya.

Hasutan Rusli sedikit demi sedikit berbekas pada jiwa Hasan, yang

mula-mula sangat mematuhi agamanya. Karena pengaruh Rusli, ahli

politik, modern, bebas, dan berdasarkan paham marxisme , akhirnya

Hasan menjadi seorang atheis. Apalagi ia mendapat seorang teman baru,

Anwar, seorang seniman anarkhis, yang tidak mau terikat oleh hukum

yang berlaku. Karena itu pulalah Hasan telah dibuang oleh keluarganya

yang hanya percaya pada apa yang dikatakan agamanya. Hasan sudah

berani mencela kepercayaan agama di muka orang tuanya.

Perkawinan Hasan dengan Kartini tidak membuahkan kebahagiaan

yang mereka dambakan. Kartini meneruskan kebiasaan hidup bebas,

pergi tanpa suaminya. Hasan selalu dihantui ole h larangan ayahnya untuk

tidak kawin dengan Kartini dan diharapkan kawin dengan Fatimah.


щ

Sejak terjadi pertengkaran Hasan dengan Kartini, Kartini

meninggalkan rumahnya. Ia pergi tanpa tujuan. Di jalan ia bertemu

dengan Anwar. Atas bujukan Anwar, Kartini m au diajak bermalam di suatu

hotel bersama-sama Anwar. Karena Anwar berusaha untuk

memperkosanya, Kartini lari dari penginapan itu dengan meneruskan

perjalannya ke Kebon Manggu.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Hasan akhirnya ingat kembali

pada ajaran agama yang pernah diberikan oleh orang tuanya. Dia

menyesal atas kelalaiannya selama ini, ia mengutuki teman -temannya

yang telah membawa ke jalan yang sesat, jalan yang menyimpang dari

agama.

Mendengar kabar bahwa ayahnya sedang sakit parah, Hasan

pulang menjenguknya. Dalam keadaan yang sangat kritis, ayahnya masih

sempat mengusir Hasan yang sedang menungguinya. Setelah Hasan

keluar dari tempat tidur, ayahnya meninggal dunia dengan tenang.

Ketika pulang ke Bandung, ke rumah Kartini, terjadilah kusukeiho .

Ia terpaksa harus mencari tempat berlindung. Di tempat perlindungan itu,

terngiang-ngiang suara ayahnya, menasihati, memarahi, mengutuk

perbuatan-perbuatannya yang telah menyimpang dari ajaran agama

Islam. Hasan kembali sadar. Sementara itu penyakit TBC -nya kambuh, ia

merasa tak kuat melanjutkan perjalanan dan mencari penginapan untuk

beristirahat.
ÑÎ

Dari daftar penginapan,ditemukan nama Kartini dan Anwar. Hasan

yakin bahwa Kartini telah berbuat serong dengan Anwar. Meledaklah

amarahnya, ia lari keluar pada malam gelap untuk membalas dendam.

Sementara itu, sirene mengaung -ngaung tanda ada bahaya. Semua

lampu dimatikan, setiap orang mencari perlindungan. Hasan sudah mata

gelap, lari terus. Pada waktu itu keadaan di luar sedang bahaya, bunyi

sirene tanda bahaya meraung-raung, namun Hasan tak peduli, dia terus

berjalan mencari Anwar. Sebelum bertemu yang dia cari, hasan tiba -tiba

merasa ada sesuatu yang menembus tubuhnya. Hasan terkapar di jalan

sambil berlumuran darah. Sebelum meninggal Hasan masih sempat

mengucapkan Allahu Akbar.

½
  

½
" 

Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan

dengan pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih rindu, takut,

maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema

disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.

Tema novel Atheis yaitu kegoncangan kepercayaan yang dialami

Hasan, seorang pemuda yang isi hatinya mendesak -desak dan terpecah-

pecah dalam kegugupan karena tidak bisa memilih pendirian yang benar.

Cara Rusli berbicara mengemukakan pendapatnya yang ramah, dn

simpatik memproleh sukses, mendapat tempat di hatti Hasan. Ia merasa


Ñè

menjadi manusia baru. Kare na imannyat telah goncang , ia tidak lagi

merasa sebagai teis yang tulen, tetapi lebih merasa sebaga i ateis

meskipun Rusli dan Anwar belum menganggapnya sebaga i ateis.

Bagaimanapun, kegoncangan perasaan dan kepercayaan ini tetap

menguasai Hasan meskipun secara fisik ia telah masuk sepenuhnya ke

dalam kelompok ateis.

Setelah memasuki dunia ateis kegonca ngan kepercayaan yang

dideritanya berkembang menjadi komplik kejiwaan. Konflik itu timbul

semenjak ia mulai kenal dengan kartini. Hasan yang tadinya berkeyakinan

mistik dengan pembatasan pergaulan laki-laki perempuan yang ketat,

merasa kaget denan kenyataan hidup modern, bebas lepas yang

diperihatkan kartini yang kemudian dikawininya dengan harapan bisa

mengembalikannya ke jalan yang benar. Harapan ini membuahkan hal

yang sebaliknya, ia sendiri tenggelam dalam ketidakbenaran. Gambaran

kebimbangan si Hasan tampak pada kutipan di bawah ini.

Sejak malam Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku seolah -olah
terombang-ambing di antara riang dan bimbang. Riang aku, apabila
terkenang-kenang kepada Kartini yang sejak malam itu makin
mengikat hatiku saja. Tapi bimbanglah aku, apabila aku teringat -
ingat kepada segala pemandangan dan pendirian Rusli, yang
sedikit banyaknya memengaruhi juga pikiran dan pendirianku (90).
Menghadap Rusli, ia sudah kalah mental. Kalau sebelumnya ia

bertekad mengislamkan kafir modern, kenya taannya ia menjadi korban

kekerdilannya. Ia adalah ³Islam mistik yang dikapirkan´, atau dengan kata

lain, hubungan vertikal yang dihorisontalkan.


Ѻ

½
½ 

Latar tidak hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu, latar

juga memuat pemikiran penghuninya, gaya hidup, samai karakteristik

daerahnya. Latar wilayah tertentu harus menggambarkan perwatakan

tokoh tertentu sampai tema tertentu. Jadi, latar hendaknya dapat menyatu

dalam unsur-unsur lain. Juwara (2005: 164) mengatakan bahwa

karakteristik latar menceritakan cerita yag ditulis. Contohnya latar yang

menggambarkan suasana di pedesaan satunya berbeda dengan suasana

perkotaan.

Latar pada novel Atheis meliputi berbagai hal, antara lain, tempat

termasuk benda-benda yang ada di lingkungan tempat itu, waktu, iklim

atau suasana, dan periode sejarah.

Pengarang melukiskan tempat tinggal orang tua Hasan di daerah

Priangan. Dilihat dari lingkungan tempat, tampaklah betapa sederhana

daerah kelahiran Hasan. Di daerah yang begitu sederhana,

menggambarkan kehidupan yang sederhana dan dihuni oleh orang -orang

yang sederhana pula, termasuk cara berpikirnya. Gambaran tentang

kesederhanaan tampak pada kutipan di bawah ini.

Di lereng Gunung Telaga Bodas di tengah -tengah Pegunungan


Priangan yang
indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon -
pohon jeruk
garut, yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa
yang nyaman
£

dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung ini terdiri


dari kurang
dua ratus umah besar kecil.
(hlm. 10)
Kehidupan Hasan dilatarbelakangi oleh agama Islam. Hal ini

ditandai dengan kehidupan orang tuanya penganut agama Islam yang

taat, yang dinyatakan dalam kutipan berikut.

Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat soleh dan alim.
Sudah sedari kecil
jalan hidup ditempuhnya dengan tasbeh dan mukena. Iman
Islamnya sangat
tebal. Tidak ada yang lebih nikmat dilihatnya, daripada orang yang
sedang
bersembahyang film daripada menonton film.
(hlm. 11)

Dengan didahului latar seperti di atas, dapatlah diterima sebagai

sesuatu yang logis tentang tentang tidakan-tindakan Hasan yang

menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sederhana cara berpikirnya. Ia

menerima dan menjalankan agama I slam serta hal-hal lainnya bukan

karena keyakinan yang kuat, tetapi hanya ikut-ikutan saja.

Pada saat-saat terakhir, peristiwa-peristiwa yang dialami Hasan

terjadi di Bandung seperti pada lukisan berikut ini.

Bandung sekarang seolah-olah sedang berkabung. Kini tak ada lagi


lampu-lampu yang terang-benderang itu. Tak ada lagi toko-toko
yang bermandi cahaya. Tak ada lagi kendaraan -kendaraan yang
bersimpang siur itu. Beberapa lampu yang jauh -jauh jaraknya yang
terpencil yang satu dari yang lain, seperti yang ragu -ragu agaknya
yang memberikan cahayanya, laksana putri Timur, yang ragu-ragu
pula menyinarkan chaya kecantikannya karena wajahnya ditutupi
dengan tudung±telingkup.
£c

Novel Atheis mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada

akhir penjajahan Belanda hingga akhir penjajahan Jepang. Hal ini kita

simpulkan dari keterangan-keterangan yang terdapat pada novel Atheis.

Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya singa yang
suka makan
daging. Kini telah menjadi daging yang hendak dimakan singa.
Mereka telah
hancur kekuasaannya oleh tentara Sekutu dan Rusia. (1).

Sebelum mengisahkan pertentangan antara Hasan -Kartini sebagai

suami istri, terlebih dahulu diambil suasana perang sebagai latarnya.

Sungguh banyak kejadian -kejadian di dalam tempo empat puluh


bulan itu. Juga kejadian -kejadian yang seolah-olah mau
menyesuaikan diri dengan kejadian -kejadian di dalam politik dunia,
yang makin hari makin hebat, maka genting dan pada akhirnya
memuncak pada mencetusnya api peperangan: Perang Dunia II.

Latar tersebut mengantar pada peristiwa yang menggembirakan

Hasan karena ia mendapat kesempatan berkunjung ke rumah Kartini

untuk yang pertama kali. Di dalam menyuguhkan kemesraan lukisan

latarnya sebagai berikut.

Bulan sangat indahnya. Hampir bulat benar. Jernih seperti piring


emas muda yang baru digosok. Awan kecil -kecil bertitik-titik di
bawahnya, bergerak-gerak. Membikin bulan hidup.
Sayang aku bukan penyair. Tak sanggup aku melukiskan
keindahan malam itu. Tapi biarpun begitu terasa besar olehku
pengaruh yang gaib menimpa jiwaku. Mungkin juga Kartini. Ia pun
terpukau juga agaknya oleh keindahan bulan itu. Ia duduk
bersilangkan tangan di atas dada, men engadah ke langit menatap
bulan.

Sungguh banyak kejadian -kejadian di dalam tempo empat puluh

bulan itu. Juga kejadian -kejadian yang seolah-olah mau menyesuaikan diri

dengan kejadian-kejadian di dalam politik dunia yang makin hari maki n


£½

hebat, maka genting dan pada akhirnya memuncak pada mencetusnya

api peperangan: Perang Dunia II.

Latar waktu di dalam Atheis erat sekali hubungannya dengan

periode sejarah, iklim, dan suasana. Atheis menceritakan kejadian-

kejadian yang berlangsung sejak akhir penjajahan Bel anda hingga akhir

penduduk Jepang. Suasananya diliputi oleh suasana pera ng, baik

peperangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Di mana-mana terjadi

perang. Pada waktu itu bangsa Indonesia terus berjuang menentang

penjajahan.

½
u## 

Peristiwa dalam prosa naratif seperti halnya peristiwa dalam

kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku cerita.

Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita mampu menjalin suatu

cerita diebut dengan tokoh. Adapun cara pengarang menampilkan tokoh

atau pelaku itu disebut dengan penokohan.

Untuk memahami watak pelaku dapat ditelusuri dengan cara (1)

tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang

yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan atau

pun cara berpakaian, (3) tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (4)

memahami bagaimana jalan pikirannya, (5) melihat bagaim ana tokoh lain

berbicara tentangnya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbincang

dengannya, (7) melihat bagaimana tokoh -tokoh yang lain itu memberikan
£u

reaksi terhadapnya, (8) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi

tokoh yang lainnya (Juhara, 2005: 166) .

Tokoh dan penokohan dalam novel Atheis dapat kita lihat berikut

ini.


   

Dalam novel Atheis, pengarang (Achdiat ) memperkenalkan

keadaan lahiriah pelaku yang mencerminkan kehidupan orang biasa yang

dirundung oleh kesulitan hidup, sedang yang lain mengilustrasikan

kehidupan orang intelek dan modern. Tampak pada kutipan berikut i ni.

Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa saja,
sederhana.
Hanya badannya kurus, dan karena kurus itulah maka nampaknya
seperti orang
yang tinggi. Mata dan pipinya cekung.
(hlm. 7)

Laki-laki itu kira-kira berumur dua puluh delapan tahun. Parasnya


tampan,
matanya menyinarkan intelek yang tajam. Kening di atas
hidungnya bergurat,
tanda banyak berpikir. Pakaiannya yang terdiri dari sebuah
pantaloon.flanel
kuning dan kemeja kreme, serta pantas dan bersih. Ia tidak
berbaju jas, tidak
berdasi.
(hlm. 26)

Pengarang menceritakan bahwa keadaan alam sekitar

berpengaruh besar terhadap diri pelaku utama, yaitu Hasan. Sebagai

warga kampung, Hasan biasa hidup dalam keadaan yang sederhana,


£Ñ

pengetahuan pun tidak luas. Corak kehidupan ini akan berpengaruh be sar

terhadap kehidupan Hasan selanjutnya, terhadap sikap dan tingkah laku.

Sejak kecil Hasan anak yang taat, pemeluk agama Islam yang

tekun. Setelah bergaul dengan Rusli, Kartini, Anwar, dan kawan -kawanya,

Hasan menjadi orang yang melalaikan ajaran agama. Hasan menjadi

berani menentang orang tuanya, imannya goyah, dan hanyut pada aliran

paham teman-temannya, yaitu Marxisme. Setelah keinginanannya hidup

berbahagia bersama Kartini tidak berhasil, Hasan menjadi sadar kembali

menyesali kelalaiannya.

Paham Marxis yang ditanamkan oleh Rusli ternyata menggoyahkan

iman Hasan. Dia sulit mencapai suasana khusyuk. Bermacam-macam

masalah yang didengar dari Rusli terus menggoda pikirannya. Dengan

demikian dengan cara lu kisan ini pembaca dapat menilai kemampuan

Rusli dalam menyebarluaskan paham Marxis.

Keras aku mengucapkan nama Tuhan itu pada tiap kali aku
berubah sikap. Keras-keras, supaya bisa mengatasi suara hati dan
pikiran. Keras-keraspula nama Tuhan itu kuucapkan dalam hati.
Tapi tak lama kemudian melantur-lantur lagi pikiran itu. Sekarang
malah makin simpang siur, makin kacau rasanya.

Kutipan di atas menggambarkan betapa lemahnya Hasan. Berlarut -

larut Hasan memikirkn apa yang telah diomongkan Rusli. Dengan

pengetahuan dan pengalaman yang masih dangkal ia berpendapat bahwa

dengan sering mengucapkan nama Tuhan dengan keras -keras ia akan

dapat mengatasi kekacauan pikirannya. Jalan pikiran Hasan yang

demikian ini, menimbulkan kesan bahwa Hasan belum memiliki cara


££

berpikir yang matang, kehidupan psikis yang belum dewasa, iman Hasan

tampaknya belum mantap.

2) Orang Tua Hasan

Orang tua Hasan adalah orang yang saleh dan alim, orang yang

sangat kuat pendirian. Hal ini tampak pada waktu Ayah Hasan (Raden

Wiradikarta) tidak mau melihat Hasan walaupun telah menjelang

meninggal karena diketahui Hasan sudah tidak patuh lagi pada ajaran -

ajaran agama Islam. Dengan ini tampak bahwa betapa kuat pendirian

ayah hasan. Dapat kita lihat pada kutipan berikut.

Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan alim.
Sudah sedari kecil
jalan hidup ditempuhnya dengan tasbeh dan mukena. Iman
Islamnya sangat
tebal tidak ada yang lebih nikmat dilihatnya dari pada orang yang
sedang
bersembahyang , seperti tidak ada pula yag lebih nikmat bagi
penggemar film
daripada menonton film.
(hlm. 11)
3) Rusli

Rusli adalah kawan Hasan ketika kecil dan banyak bersama -sama.

Rusli suka mengganggu Hasan kalau sembahya ng atau mengganggu

khatib tua yang tuli, atau memukul-mukul bedug. Lebih jelasnya dapat

dilihat pada kutipan di bawah ini.

Rusli itu adalah seorang kawanku ketika kecil. Agak karib juga kami
berteman, bukan saja oleh kare na satu kelas, tapi juga oleh karena
kami bertetangga.Kami banyak bersama«. Hanya dalam dua hal
kami tidak pernah bersama-sama, yaitu kalau Rusli berbuat nakal,
apabila bersembahyang. Orang tua ku melarang nakal, menyuruh
£‰

sembahyang. Orang tua Rusli tak peduli. Kalau kamu bersama-


sama pergi ke mesjid, maka aku untuk sembahyang, sedang Rusli
untuk mengganggu khatib tua yang tuli atau untuk memukul-mukul
bedug (29).

Rusli adalah seorang penganut Marxisme. Pengetahuannya yang

luas dan kemampuaannya menyampaikan pendapat, ia berhasil

memengaruhi teman-temannya terutama Hasan. Tampak pada kutipan

bahwa Hasan heran dengan sikap Rusli yang dulu orang yang beragama

sekarang tidak percaya adanya Tuhan.

³« Saya tadi hanya merasa agak heran, karena sesungguhnya


tidak masuk akal di hati saya, bagaimana mungkin orang seperti
Saudara, yang saya kenal dari kecil sebagai keturunan orang -orang
muslimin, sampai bisa menjadi seorang kafir yang tidak percaya
lagi kepada adanya Tuhan. Saya heran, sebab tidakkah itu suatu
penghianatan terhadap agama leluhur sendiri´ (69).
Kata yang diucapkan oleh Hasan itu dijawab oleh Rusli.
Rusli tersenyum. Katanya,´Ya; kafir! Atau dengan kata asing
disebut juga atheis. Memang banyak sekarang orang -orang atheis.
Tidak percaya lagi kepada Tuhan dan agama.(69).
Selain itu, diperjelas dalam kalimat di bawah ini bahwa Rusli tidak

mempercayai adanya Tuhan dan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada.

Selain itu, Rusli mengangap bahwa agama dan Tuhan adalah ciptaan

manusia itu sendiri.Tampak pada kutipan di bawah ini.

«Tuhan tidak ada, Saudara!´ (67).

Rusli menguraikan bahwa agama dan Tuhan itu adalah ciptaan


manusia itu sendiri, hasil atau akibat dari sesuatu keadaan
masyarakat dan susunan ekonomi pada suatu zaman.(73).
4) Kartini
£Î

Kartini adalah seorang wanita yang modern. Sebelum kawin

dengan Hasan, kebiasannya ialah bergaul be bas dengan laki-laki bukan

muhrimnya. Setelah kawin kebiasaan-kebiasaan itu masih dijalankannya

juga.

Angkah malangnya bagi Kartini, karena ia sebgai seorang gadis


remaja yang masih suka berplesiran dan belajar dalam suasana
bebas, sesudah kawin dengan Arab tua itu (notabene sebagai istri
keempat) seakan-akan dijebloskan ke dalam penjara, karena harus
hidup secara anita Arab dalam kurungan.
Maka tidak mengherankan, kalau kartini___ setelah ibinya
meninggaldunia ___ segera melarikan diri dari lingkungan s i Arab
tua itu.
Dan tidaklah mengherankan pula agakya, kalau ia yang sudah
mengicip-icip pelajaran dan didikan modern sedikit,dikit, kemuda
setelah ia lepas dari penjara timur kolot´ itu segera menempuh cara
hidup yang kebarat-baratan (35).

5) Anwar

Anwar adalah seorang yang anarkhis, sikapnya kasar, tidak pan dai

bergaul. Seperti Rusli, dia seorang Marxis. Anwar seorang yang optimis,

suka meniru orang lain.

6) Siti

Siti adalah pembantu orng tua Hasan. Dia seorang wanita yang

sabar dan penyayang.

½
u#    
£è

Plot merupakan sesuatu yang cukup penting di dalam karya prosa.

Berhasil tidaknya sebuah roman, novel, atau cerita pendek ditentukan

pula oleh plot di dalam karya tersebut. Plot adalah susunan peristiwa di

dalam cerita yang dirangkaikan secara wajar dalam hubungan sebab

akibat.

Pengertian alur/plot dalm cerpen atau dalam karya fiksi pada

umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap -tahap dalam

suatu cerita. Tahap peristiwa yang menjalin suatu cerit bisa berbentuk

dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Juhara, 2005: 165).

Pada novel Atheis, urutan peristiwa dirangkaikan secara rinci.

Tampak pada uraian berikut ini.

1. Bagian I

Bagian I tentang Pengarang dan Hasan. Hasan meninggal dunia.

Sambil menangis, Kartini meninggalkan gedung Ken Peitai didampingi

oleh Rusli dan saya (pengarang).

2. Bagian II

Bagian II berupa naskah yang ditulis Hasan yang menceritakan

pelaku Hasan,Kartini, Rusli, Anwar. Perkenalan diri Hasan diperjelas dan

watak pribadi Hasan.


£º

3. Bagian III

Melalui naskah Hasan yang bergaya aku, pengarang

memperkenalkan siapa dan dari mana tokoh utama Hasan. Hasan putra

seorang pensiunan mantri guru bernama Raden Wirad ikarta, yang

bertempat tinggal di kampung Panyeredan. Untuk menemani Hasan,

orang tuanya mengambil Fatimah menjadi anak pungut. Sejak berusia

lima tahun Hasan telah mendapat pendidikan agama secara intensif.

Setelah tamat dari Mulo, Hasan bekerja di kantor Kotapraja, jawatan

pengairan.

4. Bagian IV

Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak pada bagian ini.

Hasan berjumpa dengan sahabat lamanya, Rusli dan kawanya Kartini.

Hasan tertarik pada Kartini yang mirip dengan kekasihnya Rukmini.

Sampai di sini, pengarang menengok ke peristiwa putusnya hubungan

Hasan dengan Rukmini, yang mendorong Hasan memasuki aliran mistik.

5. Bagian V

Hubungan Hasan dengan Kartini dan Rusli makin hari makin akrab.

Makin hari makin bertambah teman Rusli yang dikenal Hasan antara lain

Anwar.

6. Bagian VI
‰

Peristiwa yang bersangkut paut dengan masalah pokok ini bergerak

sampai pada bagian ini. Hasan sudah tidak mampu lagi melupakan

Kartini.

7. Bagian VII dan VIII

Keadaan mulai memuncak (Ricing action). Terdorong oleh cint anya

kepada Kartini, Hasan membiarkan ajaran agamanya dinjak -injak oelh

teman-temannya. Sebaliknya Hasan mulai tertarik pada isi omongan Rusli

yang menguraikan ajaran marxisme. Makin banyak teman Rusli yang

dikenalnya yakni Bung Sumi, Bung Gondo, Bung Bakr i, Bung Parta.

Banyak tingkah laku dan sikap Kartini yang bertentangan dengan

ajaran agama Islam, Hasan tidak ma mpu lagi membendung cintanya

kepada Kartini. Hasan sudah meninggalkan solat, tidak berpuasa, bahkan

tidak segan-segan mengusir peminta-minta.

8. Bagian IX, X, XI, XII, dan XIII

Puncak tertinggi pertentangan (klimaks) di dalam novel Atheis mulai

terjadi pada bagian IX, dan dilanjutkan pada bagian X sampai denganXIII.

Pada bagian ini pertentangan mencapai intensifikasi tertinggi. Hasan

bersama Anwar pulang ke Panyeredan. Di hadapan orang tuanya, Hasan

menjalankan solat seperti biasanya. Setelah diejek oleh Anwar dan

khawatir kalau hal ini disampaikan kepada Kartini dan Rusli, dengan tegas

ia mengatakan kepada Anwar bahwa dia solat tadi hanya untuk

bersandiwara saja. Pada malam ketiga, terjadi perdebatan antara Hasan


‰c

dan ayahnya. Ayahnya mengetahui bahwa anaknya tidak patuh lagi

terhadap orang tua dan ajaran agama, lalu mengambil keputusan untuk

memutuskan hubunan dengan putra satu -satunya.

Pada salah satu bagian pengarang menceritakan terjadinya

perkawinan Hasan dengan Kartini, yang berakhir dengan pertengkaran

yang hebat. Perisriwa ini merupakan salahatu puncak yang tragis ditinjau

dari segi tema sebab hal ini menunjukkan adanya kehancuran akibat tidak

adanya keseimbangan sikap hidup yang dialami Hasan.

9. Bagian XIV, XV, dan I

Penyelesaian persoalan-persoalan ditampilkan pada bagia n isi.

Sejak terjadi pertengkaran, Kartini pergi meninggalkan rumah tanpa

setahu Hasan. Dalam perjalanan, atas buj ukan Anwar, Kartini bermaksud

bermalam di salah satu penginapan. Oleh karena akan diperkosa oleh

Anwar, Kartini lari meninggalkan penginapan dan pergi ke Kebun Mangga

Bagi Hasan perceraian itu mendorong Hasan kembali ke jalan

hidup yang pernah ditempuhnya. Ia ingat kembali kepada Tuhan.

Dikutuknya teman-temannya yang dianggap telah menyesatkan. Sampai

di sini pengarang meyelipkan penyelesaian bagi ayah Hasan yaitu

meninggal dunia.

Seminggu setelah kematian ayahnya, Hasan kembali ke Bandung.

Di tengah jalan, ia terpaksa harus menginap di salah satu penginapan.

Dari daftar nama tamu, ia tahu bahwa Kartini pernah berada di situ
‰½

bersama Anwar. Hasan lari meniggalkan penginapan itu sebab tak kuasa

mengendalikan rasa cemburu.dan amarahnya. Tanda bahaya udara tida k

diperhatikannya. Akhirnya, ia jatuh tersungkur berlumuran darah, pahanya

sebelah kiri tertembus peluru.

Pada bagian I diceritakan Hasan meninggal dunia. Mendengar

berita kematian Hasan, Kartini sangat sedih dan menyesal. Dengan

dibimbing oleh Rusli dan pengarang.

Dari uraian di atas, berdasarkan peristiwa -peristiwa pada novel

Atheis yang disusun tidak berurutan, maka dapat disimpulkan bahwa

novel Atheis berplot sorot balik atau flash back. Pada dasarnya Bab

pertama adalah bab penutup. Dapat kita lihat k ematian tokoh hasan

sebagai akibat penyiksaan polisis militer Jepang, sekaligus penyesala

Kartini yang telah menyia-nyiakan Hasan , suaminya, adalah kesimpulan

cerita secara keseluruhan. Di satu pihak, kematian Hasan secara tragis

berfungsi untuk menebus dosa-dosanya sebab telah meninggalkan jalan

Tuhan menempuh jalan Marxisme. Di pihak lain, penyesalan Kartini

berfungsi untuk menyadarkan dirinya telah menyia -nyiakan Hasan.

½
Ñ# #+.&  & (


Sudut pandang menyangkut bagaimana sebuah kis ah yang

diceritakan. Sudut pandang menyangkut sisi pengarang. Hal ini tentulah

berhubungan dengan gaya pengarang. Dengan demikian, sudut pandang

pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat secara ialah yang


‰u

secara sengaja dipilih pengarang untuk me ngemukakan gagasan dan

ceritanya (Nurgiantoro, 2007: 248).

Di dalam novel Atheis, selain menggunkan gaya aku, juga

menggunakan gaya dia. Dengan demikian, pusat pengisahan atau point of

view pada novel Atheis ialah multiple atau campuran antara gaya aku dan

gaya dia. Dengan gaya ini maksud yang terkandung di dalam Atheis

menjadi jelas. Walaupun banyak dan bermacam -macam masalah yang

ditampilkan, dengan gaya penuturan, semua persoalan dapat dimengerti

secara sistematis dan terperinci.

2.5! ' Ê   

Media yang paling efektif guna memproyeksikan kepribadian

sehingga karya ±karya memiliki cirri-ciri yang personal adala bahasa.

Kongkretnya adalah gaya bahasa. Gaya bahasa dikatakan efektif bila dpat

membangkitkan efek emosional serta intelektual. Gaya bahasa yang

digunakan Achdiat dalam novel Atheis adalah sebagai berikut.

1. Gaya bahasa Matafor,

³Maka nasi meja bundar! Kartini menyahut. Kami tertewa semua´

(hlm. 96)

2 Gaya bahasa Hiperbola

³Secara habis-ludis segala perasaan bahagiaku sekarang. Serasa


terpencil
sendiri aku hidup di dunia kini ³ (hlm. 177).
‰Ñ

3. Gaya bahasa Sinekdok

³Pada senja hari yang indah seperti itu, di jaman yang lalu kota itu
seolah-olah mulai berdendam.´ (hlm. 213).
3.Unsur Ekstrinsik

3.1 Biografi Pengarang 

Biasanya ciptaan sastra adalah rekaman dari perjalanan hidup

pengarang yang menciptakannya. Dengan demikian, untuk menunjang

pengkajian novel Atheis perlulah dikenal pula penulisnya lewat biografi

agar pembahasan dapat lebih tepat.

Achdiat Karta Miharja lahir pada tanggal 6 Maret 1911 di Grut,

Jawa Barat. Ia adalah seorang sastrawan dan penerjemah. Pendidikan

yang pernah dijalaninya adalah AMS -A di Surakarta dan fakultas Sastra

dan Filsafat di Universitas Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai guru di

Taman Siswa kemudian menjadi redaktur sastra di Balai Pust aka. Ia

pernah mempelajari mistik aliran Kadiriyah Naksabandiyah dari K.H.

Abdullah Mubaak.

Sejak dari sekolah rendah Achdiat sudah senang membaca buku -

buku sastra. Dari lemari ayahnya yang suka pada sastra, ia dapat

membaca buku-buku karangan Tolstoy, Multatuli, dan sebagainya. Ia

mengakui bahwa buku -buku itu berpengaruh besar terhadapnya dalam

menambah hasratnya untuk mengarang.


‰£

Dari semua karyanya, hanya ada tiga karya sastra yang dianggap

sebagai karya sastra, yaitu Atheis, Debu Cinta Beterbangan, se rta yang

terakhir yang diterbitkan oleh Mizan pada Januari 2005 adalah sebuah

kisah panjang (kispan) berjudul manifesto Khalifatullah. Karyanya ini

disebut kispan karena terlalu panjang untuk disebut cerpen dan terlalu

pendek untuk dikategorikan dalam sebu ah novel.

Atheis merupakan tuangan ide -ide Achdiat di dalam bergumul

pengalaman-penaglamannya. Atheis adalah ekspresi kesan -kesn

pengalaman yang diolah dengan kekuatan angannya, kemudian

dituangkan dalam bentuk novel. Atheis menampilkan persoalan -persoalan

yang bukan hanya dialami oleh seorang Indonesia atau orang Timur. Apa

yang terjadi atas diri Hasan (sebagai tokoh utama dalam novel Atheis)

merupakan kemungkinan-kemungkinan tingkah laku manusia yang hidup

di tengah-tengah manusia lainnya.

Selain tiga buah roman, dalam catatan.sastrawan Ajip Rosidi yang

dikutip oleh Lailasari ( 2007: 58), Achdiat juga menghasilkan dua

kumpulan cerpen dan satu naskah drama. Tetapi dari semuanya, Atheis

menorehkan catatan yang paling fonemental karena sudah di cetak ulang

sebanyak 28 kali oleh penerbitnya.

Meskipun jumlah karya sastra yang dihasilkan Achdiat tergolong

minim, tetapi dalam catatan keterlibatannya dalam organisasi politik,

penerbitan, dan kesenian ia sangat berperan banyak. Esei -eseinya yang


‰‰

berisi konfrontasi pemikiran para budayawan yang diawali di harian Suara

Umum kemudian disusun menjadi sebuah buku bertajuk Polemik

Kebudayaan. Achdiat sendiri menuliskan editorial buku yang judulnya

kemudian dikenal sebagai salah satu momentum sejarah ya ng sangat

penting dalam wacana kebudayaan Indonesia.

Panjangnya fase kehidupan Achdiat di Australia membuktikan

bahwa dirinya ternyata lebih berhasil dan akhirnya ia memiilih untuk

menghabiskan sisa umurnya di Australia.

Karya-krya Achdiat lainnya adalah sebagaiberikut.

1. Polemik kebudayaan (1948)

2. Terjemahan Religi Susila karya M>K> Gandhi

3. Bentrokan dalam Asrama (1952)

4. Kesan dan Kenangan (1960)

5. Debu Cinta Beterbangan (1973)

6. Pembunuh dan Anjing Hitam (1975)

7. Keretakan dan Ketegangan ( (1956)

u
½ Ê  # Ê& ' 
‰Î

Ditunjau dari sosial budaya pada novel Atheis menyuguhkan dua

macam anggota masyarakat yang memiliki latar belakang lingkungan

hidup yang berlainan. Kedua kelompok itu diidentikkan dengan kelompok

masyarakat tertutup dan kelompok masyarakat tebuka.

Tampak pada novel Atheis bahwa keluarga Raden Wiradikarta

khususnya Hasan menggambarkan kelompok masyarakat yang tertutup.

Gambaran lingkungan hidup mereka sebagai berikut.

Di lereng Gunung telaga Bodas di tengah -tengah pegunungan


Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di
balik hijau pohon-pohon jeruk garut, yang segar dan subur
tumbuhnya bertanah dan bahwa yang nyaman dan sejuk. Kampung
Panyeredan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua
ratus rumah kecil. Yang kecil, yang jauh lebih besar jumlahnya dari
yang besar, adalah kepunyaan buruh -buruh tani yang miskin dan
yang lebih besar adalah milik petani-petani ³kaya´ (artinya yang
mempunyai tanah kurang lebih 10 hektar) yang di samping bert ani,
bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk dari batu itu, ada
lagi beberapa rumah yang dibikin dari ³setengah batu´ artinya
lantainya dari tegel tapi dindingya hanya sampai kira -kira
seperempat tinggi dari batu,sedangkan atasnya dari dinding bamb u
biasa (hlm 10).

Corak kehidupan keluarga dan lingkungannya mewarnai

pendidikan yang diterima Hasan, sejak berumur lima tahun, Hasan

memperoleh pendidikan agama yang fanatik. Hasan menjadi orang yang

sempit pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Tingkah l aku Hasan pun

tertuju ke arah tercapainya kebutuhan hidup di alam baka, seperti

pengakuan Hasan.
‰è

Dulu tak ada paduka kegiatan untuk mencari kemajuan di lapangan


hidup di dunia yang fana ini. Segala langkah hidupku ditujukan
semata-mata hidup di dunia yan g baka, di alam akhirat (hlm. 129).

Dengan demikian, jelaslah keadaan sosial budaya yang

melatarbelakangi kehidupan keluarga Raden Wiradikarta, khususnya

Hasan, yaitu kehidupan sosial budaya tradisional religius. Sebagai

anggota kelompok masyarakat tertutup dengan latar belakanga sosial

budaya seperti itu, ternyata Hasan (keluarga Raden Wiradikarta) tidak

mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan arus modernisasi.

Kelompok masyarakat terbuka yaitu Rusli, Kartini, Anwar, dan

kawan-kawannya. Kita perhatikan riwayat hidup Rusli berikut ini.

Empat tahun Rusli hidup di Sungapura. Dan selama empa t tahun


itu ia banyak belajar tentang soal-soal politik. Bukan hanya dengan
jalan banyak membaca buku -buku politik saja, akan tetapi juga
banyak bergaul dengan orang -orang pergerakan internasional.
Pergaulan macam begitu mudah sekali dijalankan di suatu kota
³International´ seperti Singapura. Macam -macam aliran dan stelsel,
serta ideologi-ideologi politik dipelajarinya dengan sungguh -
sungguh terutama sekali ideologi Marxisme.´ (hlm.32).

Dari kutipan di atas dapat kita ketahui latar belakang sosial budaya

Rusli yang berada pada tingkat kebudayaan modern. Dia memilih politik

dan tidak ada kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan arus

modernisasi.

Dari kelompok masyarakt terbuka diceritakan pula oleh pengarang

(Achdiat) adanya individu yang salah sikap menerima pengaruh

kebudayaan modern. Salah satu contoh adalah penampilan diri Kartini.


‰º

Diceritakan bahwa pengaruh kebudayaan modern meresap jauh dalam

kehidupan Kartini. Kartini kehilangan pri badi sebagai orang -orang

Indonesia, orang Jawa. Pergaulan bebas tidak asing baginya. Tampak

pada kutipan berikut ini.

Aku tertegun sejenak. Timbul lagi perasaan heran dalam hatiku.


Sungguh perempuan aneh dia, pikirku, buk an saja bebas tapi
merokok pula (hlm. 40)

Karya sastra bersifat historis, artinya mengalami proses sejarah

yang dapat dirunut waktu penciptaannya, zaman yang digarapnya, dan

nama pengarangnya. Atheis dicetak pertama kali tahun 1949, tetapi

peristiwa-peristiwa yang dikemukakan terjadi pada zaman penjajahan

Jepang sampai dengan Jepang dikalahkan oleh tentara Sekutu.

Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya singa yang
suka makan daging. Kini telah menjadi daging yang hendak
dimakan singa. Mereka telah hancur kekuasaannya oleh t entara
Sekutu dan Rusia (hlm.1).

Keadaan sosial budaya pada masa peralihan di Indonesia

itulah yang melatarbelakangi novel Atheis. Masa peralihan dari

zaman penjajahan ke zaman kemerdekaan. Setelah

memperhatikan lingkup lingkungan hidup serta corak kehidupan

para pelaku, dapat disimpulkan bahwa keluarga Raden Wiradikarta

(khususnya Hasan) dalam cerita ini menggambarkan kelompok

masyarakat tertutup yang ada di lingkungan hidup modern. Dengan

pengetahuannya bermacam-macam aspek kehidupan yang


Î

berlandaskan ideologi Marxisme, Rusli tidak menga lami kesulitan

meghadapi segala macam warna kehidupan. Kartini

menggambarkan kelompok masyarakat terbuka yang tidak

memiliki pedoman hidup yang mantap. Dalam menghadapi

bermacam-macam pengaruh dia tidak dapat menetukan sikap,

tidak mampu mengadakan seleksi, akibatnya Kartini kehilangan

segala-galanya.

Dalam novel Atheis kita jumpai pelaku-pelaku Hasan, Rusli,

Kartini, Anwar, masing-masing membawakan realitas berpikir dan

berperilaku yang sepenuhnya menggambarkan kegoncangan -

kegoncangan dalam kehidupan golongan atheis. Kegoncangan di

dalam suatu masyarakat terjadi, betpapun kecilnya, kalau beberapa

watak yang berbeda bertemu dan satu sama lain ingin saling

mempengaruhi.

Ê
 ×   

Benturan Dua Dunia (2010:7) (oleh Puji Santosa, 2010. Benturan Dua

Dunia. Horison.Tahun XLIV, No. 4/2010, April 2010.Jakarta.

Novel ini sangat menarik dan berlatar belakang daerah Priangan,

Jawa Barat, pada masa perang dunia kedua. Di dalam menyusun cerita,

pengarang berusaha benar untuk menjaga latarnya. Satu contoh,

peristiwa yang romantis dilatarbelakagi suasana yang romantic pula,

terang bulan. Menjelang tertembaknya Hasan yang kacau pikirannya,


Îc

dilukiskan terlebih dahulu keadaan kota Bandung yang seolah -olah

sedang berkabung, dalam suasana peperangan.

Inti permasalah dalam novel ini menyajikan benturan dua dunia,

yaitu antara dunia lama´ dan ³dunia modern´. Dunia lama diwakili oleh

segolongan masyarakat yang masih menganut paham tradisional dengan

pola pikir kosmosentris, taat beribadah kepada Tuhan dan sangat relig ius.

Dunia lama diwakili oleh orang tua H asan. Dunia modern diwakili oleh

sekelompok masyarakat yang menganut paham kebudayaan modern

dengan pola pikir antriposentrs, agresif, dan atheis. Gologan ini diwakil i

oleh tokoh Anwar, Rusli, dan Kartini. Posisi tokoh utama, Hasan berada

dalam situasi terjepit antara dua dunia dengan perangkat nilai yang

berbeda.

Pada awalnya dunia yang dikenal oleh Hasan adalah dunia yang

statis, penuh kedamaian, dan jauh dari huru -hara keramaian dunia. Ia

terkenal sebagai anak yang saleh, alim, dan taat beribadah kepada Tuhan

sesuai dengan tuntutan agamanya. Sejak kecil Hasan taat mengaji,

bersembahyang, berpuasa, dan bahkan mengikuti aliran tarekat (sufi)

yang didatangkan dari guru tarekat di Banten. Akan tetapi setelah Hasan

berkenalan dengan Anwar, Rusli, dan Kartini, ia kemudian terseret pula ke

arus dunia modern yang dinamis dan pe nuh aroma petualangan. Mulanya

Hasan berkeinginan hendak meluruskan kehidupan teman -temannya yang

tidak beragama itu. Rusli dan K artini beberapa kali di beri nasihat dan

khotbah keagamaan oleh Hasan biar mereka sadar dan berja lan di jalan
ν

yang lurus dan benar. Na mun, kemudian justru terbalik, Hasan tidak

mampu mempertahankan dunia lama yang dibawanya dari lingkungan

desanya, Panyeredan. Ketidakmampuan Hasan menyesuaikan diri

dengan perubahan zaman yang penuh dinamika itu mencerminkan pula

ketidakmampuan Indonesia yang feo dal beradaptasi dengan dunia

modern yang anarkis.

Hasan adalah cerminan tokoh fenomenal yang tergilas oleh arus

zaman tanpa memiliki pertahanan mental yang kokoh. Dia tidak memiliki

mental yang kuat yang sekuat baja. Kepribadian Hasan sangat rapuh. Ia

mudah dipengaruhi orang lain, terutama oleh tokoh Anwar dan Rusli,

sehingga dirinya terombang-ambing antara dua dunia yang membantunya

secara keras. Hasan terseret oleh arus pemikiran material yang konkret

tanpa memperkokoh diri dunia batinnya. Hanya persoalan sepele,

masalah pilihan jodoh, Hasan berani menentang kehendak orangtuanya.

Padahal, orangtuanya bermaksud menjodohkannya de ngan gadis pilihan

yang seiman. Hasan menolak gadis pilihan orang tuanya itu karena terikat

oleh seorang janda uda, Kartini, yang kemudian menjerumuskan dirinya

ke lembah kesengsaraan hidup.

Rumah tangga Hasan dan Kartini tidak bahagia dan sekaligus tidak

berlangsung lama. Mereka sama -sama menjadi manusia modern yang

ingin bebas bergaul dengan siapa saja tanpa batas-batas norma

kesusilaan dan agama. Keretakan rumah tangga ya ng mereka bangun

dapat hancur karena tidak memiliki pegangan ke imanan kepada Tuhan.


Îu

Akibatnya, Hasan menjadi sadar akan dosa-dosa yang diperbuatnya, baik

terhadap Tuhan maupun terhadap orangtuanya . Ia memutuskan cerai

terhadap Kartini dan meninggalkan kawan-kawannya yang murtad dan

atheis. Hasan kembali kekampungnya dan memohon ampunan orang

tuanya. Namun, orang tuanya menolak permintaan maaf Hasan itu hingga

meninggal dunia.

Menghadapi kenyataan seperti itu, Hasan merasa hancur hatinya.

Pada saat-saat ayahnya hendak menghembuska nafasnya yang terakhir,

ayahnya tetap saja tidak memaafkan dosa-dosa Hasan. Ia merasa sedih,

kecewa, dan dongkol terhadap teman-temannya yang telah

menjerumuskan dirinya ke lembah dunia hitam. Kemudian, Hasan berpikir

bahwa Anwarlah penyebab dari segala malapeta ka bagi dirnya. Malam ini

juga Hasan dengan nafsu membara hendak membalas dendam mencari

Anwar. Keadaan bahaya tidak ia hiraukan lagi. Sebelum bertemu dengan

Anwar, beberapa butir peluru serdadu Jepang menembus tubuh Hasan.

Seketika itu pula Hasan terkapar di atas aspal jalanan sambil berlumuran

darah. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Hasan masih

sempat mengucapkan kalimat suci yag terakhir kalinya: ³Allahu Akbar´.

Ia bergegas terus. Dalam gelap-gulita«.


Tiba-tiba « tar! Tar! Aduh!
Hasan jatuh tersungkur. Darah menyebrot dari pahanya. Ia jatuh
pingsan. Peluru senapan menembus daging pahanya sebe lah kiri.
Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas betisnya. Badan yang
lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandi darah.
Kemudian dengan bibir bergegas kata Al lahu Akbar´, tak bergerak
lagi «. (1981:232).
ÎÑ

Novel karya Achdiat K. Mihardja ini memang berbi cara masalah

petualangan hidup Hasan yang menjadi atheis setelah mengenal dunia

modern. Kata ³atheis´ artinya tidak percaya akan adanya Tuhan. Mereka

lebih mempercayai benda atau materi yang bersifat konkret, dapat dilihat

oleh mata dan dapat diraba oleh pancaindra. Unsur ke pada Tuhan

dianggap oleh mereka sebagai belenggu yang mengekang gerak

kebebasannya. Kemerdekaan menjadi terbatas de ngan hadirnya unsur

ketuhanan dalam dirinya. Oleh karena itu, kaum atheis tidak mempercayai

keberadaan Tuhan. Mereka _ para atheis_ menganggap agama sebagai

belenggu dan racun dunia yang perlu dimusnahkan. Bahkan mereka

menganggap Tuhan telah mati. Dialog Anwar berikut membukti kan paham

atheism yang dipegang teguh oleh tokoh Anwar yag keras dan dipercayai

pula oleh Hasan.

³Dan tahu Bung, apa yang harus kita insafi seagai perintis jalan?
Tidak tahu? Ialah orang tua itu tidak selamanya benar«. Bukan
begitu? )matanya tajam mena tap ke dalam wajahku) Lihat saja
pada Marx, Lenin! Lihat juga pada Nietszche, Nietszche, Bakunin,
dan lain-lain. Mana bisa mereka menjadi peganjur dunia yang
begitu hebat, kalau mereka mau nongkrong saja tunduk kepad
kehendak orang tuanya (meggeliat dengan kedua belah tangannya
menjulur ke atas). Vooral Nietszche! Ya, ya, Nietszche! Heerlijk.
Der Uebermensch! Nietszche yang berani berkata kepada sang
Surya, Gij grot ester, wat zult gij betekenen zonder mij! (menepuk -
nepuk dada). Sesungguhnya, apa arti kamu , wahai bintang raya,
kalau aku tidak ada?! Begitulah mestinya kita semua!
Uebermensch! (membusugkan dada). Uebermensch yag berani
merombak, meentang, menghancurkan untuk kepentingan
kepribadian kita sebagai manusia yang harus maju, harus hidup,
harus berkembang!´

Karl Marx, Lenin, dan Nietszche adalah tokoh -tokoh dunia yang

berpandangan pada materialisme sebagai upaya menaklukkan dunia.


Σ

Pada decade tahun empat puluhan tersebut, bahkan sampai akhir

melenium kedua, peikiran mereka menjadi suatu kekuatan dahsyat yang

memengaruhi pola pandang kehidupan di dunia ini. Namun, beberapa

Negara yag menganut paham keras pemikiran Marx, Lenin, dan Ni etszche

itu kemudian satu persatu hancur, runtuh berkeping -keping , membuktikan

bahwa pahammereka hanya mampu bertaha sesaat. Dunia yang mereka

anggap modern dengan paham materialisme dan atheis itu tidak akan

abadi keberadaannya. Meskipun dunia lama yang mereka _ para pemikir

Barat _ anggap tradisional, kosmosentris, dan religious, tetap

membuktikan adanya keabadian yang tidak pernah lekang dihempas

badai hujan dan terik matahari sepanjang waktu. Keimanan kepada Tuhan

tetap membuka kecerahan hidup yang leb ih baik dan mulia (Santosa,

2010:8).
Ή

 Ê Ê+ 



Dalam kajian karya sastra khususnya novel yang bermutu

diperlukan teori dan metode yang dapat memperjelas unsur-unsur novel

yang merupakan satuan-satuan yang bermakna. Teori dan metode kajian

yang dipergunakan dalam menaganalisis novel Atheis karangan Achdiat

Karta Mihardja adalah pendekatan Strukturalisme ± Genetik.

Strukturalisme Genetik memiliki implikasi ya ng lebih luas dalam

kaitannya dengan perkembangan ilmu kemanusiaan pada

umumnya.Pendekatan strukturalisme genetic mempunyai segi-segi yang

bermanfaat apabila memperhatikan unsure -unsur intrinsic yang

membangun karya sastra, di samping memperhatikan factor-faktor social

budaya, serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu

kreativitas dengan memanfaatkan factor imajinasi.

Keadaan sosial budaya pada masa peralihan di Indonesia itulah

yang melatarbelakangai novel Atheis. Masa peralihan dari zaman

penjajahan ke zaman kemerdekaan.


ÎÎ

 /  

Alwi, Hasan. 1993. Citra Manusia dalam Puisi Indonesia Modern 1920 -
1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya astra. Bandung : Sinar


Baru.

Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian uatu Pendekatan Praktik .


Jakarta: Rineka Cipta.

Badrun, Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu astra. Surabaya : Usaha


Nasional.

Budiman, Arief. 2007. Chairil Anwar ebuah Pertemuan . Jakarta: Wacana


Bangsa.

Depertemen Pendidikan Nasiona. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Faruk. 2005. Pengantar osiologi astra . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kaswardi, EM.K., 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 . Jakarta :


Gramedia Widiasarana.

Kusdiratin. 1985. Memahami Novel Atheis. Jakarta : Pusat Pembinaan


dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Laelasari. 2006. Kamus Istilah astra. Bandung : Nuansa Aulia.

________. 2007. Tokoh astra Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia.

Mihardja, Achdiat Karta. 2006. Atheis. Jakarta : Balai Pustaka.

Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah


Mada University Press.

Pradopo. 2003. Metodologi Penelitian astra . Yogyakarta : PT Hanindita


Graha Widya.

Rani, Supratman Abdul. 1997. Ikhtisar Roman Indonesia. Bandung :


Îè

Pustaka Setia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Penelitian astra. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar.

Trisman. 2003. Esai astra Bandingan dalam astra Indonesia Modern .


Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Zaimar, Okke K.S. 2002. Pelatihan Kritik astra. Universitas Indonesia-


Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya .

Zulkifli. 2008. Analisis NIlai -nilai Religious dalam Novel Ayat -ayat Cinta
Karya Habiburahman El Shirazy. kripsi tidak diterbitkan.
Makassar: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Ê  # Ê& '

Sebagai karya imajinatif, tidak berdasarkan fakta -fakta yang otentik

atau berpijak langsung pada kenyataan -kenyataan yang benar-benar

terjadi. Keadaan masyarakat di suatu tempat pada sekitar masa

penciptaan, secara ilustratif akan tercermin di dalam karya sastra. Dengan

memahami saat penciptaan karya sastra berarti akan mengetahui pula

keadaan sosial budaya masyarakat pada masa itu.

Membicarakan masalah sosial budaya sebenarnya tidak dapat

lepas dari pembicaraan tiga masalah utama, yaitu individu, masyara kat,

dan kebudayaan. Manusia sebagai makhluk sosial jelas tidak dapat

dipisahkan dari masyarakat tempat ia berada. Antara manusia ± individu

dengan masyarakat memang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling

berkaitan. Masyarakat tanpa individu jelas tak mun gkin ada. Individu tanpa

masyarakat satu hal yang mustahil. Dari tingkah laku individu (kelompok
κ

individu) dalam pola jaringan hubungan antargolongan masyarakat selalu

berulang inilah kemudian lahir, apa yang disamakan kebudayaan

(Kusdiratin, 1985 : 23).

You might also like