You are on page 1of 12

Tugas Individu Koralogi

Pengaruh Pemanasan Global Terhadap


Terumbu Karang

Nama : Krisye

NIM : L 111 07 057

Kelompok : I

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN


JURUSAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
A. Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata
atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18
°C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun
terakhir. Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyimpulkan
bahwa, "sebagian besar peningkatan
temperatur rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan
besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat
aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Temperatur rata-rata global 1850 sampai 2006
Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan relatif terhadap 1961–1990

oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains
nasional dari negara-negara G8.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara
tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda
mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa
mendatang, serta model-model sensitivitas
iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar
penelitian terfokus pada periode hingga 2100,
pemanasan dan kenaikan muka air laut
diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih
dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas Anomali temperatur permukaan rata-rata
rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan selama periode 1995 sampai 2004 dengan
dibandingkan pada temperatur rata-rata dari
besarnya kapasitas panas dari lautan. 1940 sampai 1980

B. Penyebab Pemanasan Global


1. Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari.
Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia
berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke
angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi
akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida,
dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini
menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi
dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut
terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus
meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca.
Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin
banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk
hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin
(mencapai -180 C) sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan
tetapi, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan
global menjadi akibatnya.

Grafik 1. Variasi karbon dioksida selama 500 tahun terakhir

2. Efek Umpan Balik


Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh
berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada
penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah
kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih
banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan
gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air
di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek
rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas
CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di
udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun
karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan
secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek
penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra
merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan.
Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari
dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan.
Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa
detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini
sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil
bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model
iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada
pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap
positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam
Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di
dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan
melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan
maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila
dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak
lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya
tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap
pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH 4 yang juga
menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton
yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
3. Variasi Matahari
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan
kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi
dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan
akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan
memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan
stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak
tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor
utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek
pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an).
Fenomena variasi matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi
mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa praindustri hingga tahun
1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi
matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari
Duke University mengestimasikan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi
terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-
2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya
mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat
estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan
pengaruh matahari, mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari
debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun
demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan
sensitivitas iklim terhadap pengaruh matahari sekalipun, sebagian besar
pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-
gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan
Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat
"keterangan" dari matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus matahari hanya
memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama
32 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemanasan
global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak
ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi matahari sejak tahun
1985, baik melalui variasi dari output matahari maupun variasi dalam sinar
kosmis.
Grafik 2. Variasi matahari selama 30 tahun
C. Pengaruh Negatif Pemanasan Global Bagi Kehidupan Terumbu
Karang
Seperti telah kita ketahui bersama dari penjelasan pada bab sebelumnya
bahwa kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
• Suhu
• Salinitas
• Cahaya
• Sedimentasi
• Arus dan Gelombang
Sedangkan apabila pemanasan global ini terus berlangsung, maka akan
menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah perubahan tinggi
permukaan lautan sebagaimana telah disebutkan di atas.
Hal ini berarti akan mengubah formasi lautan beserta seluruh biota laut
yang hidup di dalamnya. Dengan demikian, secara tidak langsung pemanasan
global akan memengaruhi proses kehidupan terumbu karang. Dan dapat
dipastikan bahwa hal tersebut menimbulkan akibat yang buruk bagi
kelangsungan hidup terumbu karang.
Pemanasan global yang mengubah tinggi permukaan laut (menjadi
semakin naik/tinggi) akan memengaruhi segala faktor yang merupakan pembatas
kehidupan ekosistem terumbu karang. Adapaun penjelasan mengenai pengaruh-
pengaruh tersebut adalah sebagai berikut.
1. Suhu
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan
menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Sementara itu, suhu yang optimum bagi terumbu karang untuk
dapat melangsungkan hidupnya berkisar antara 25°C-30°C. Dengan naiknya
suhu air maka akan mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan sebagian
besar terumbu karang untuk memeroleh makanan.
Di sisi lain, pemanasan global diperkirakan akan mengakibatkan
mencairnya es yang berada di kutub, terutama di daerah Greenland. Bila hal ini
terjadi, maka volume laut pun akan bertambah dan bisa mendinginkan air laut di
daerah sekitarnya. Peristiwa ini pun akan memengaruhi kehidupan ekosistem
terumbu karang di daerah tersebut. Ini disebabkan terumbu karang akan
kehilangan kemampuan menangkap makanan bila suhu lautan berada pada
angka kurang dari 16°C.
Perkiraan di atas didasarkan pada suatu penelitian yang menyebutkan
bahwa perubahan suhu alami, baik yang ekstrim (maksimum dan minimum)
maupun secara mendadak, di bawah atau di atas suhu optimumnya dapat
mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya.
2. Salinitas
Dengan adanya pemanasan global, lapisan permukaan lautan akan
menjadi hangat, sealin itu es yang berada di kutub, terutama bagian utara
(Greenland) akan mencair, sehingga volume air di lautan akan meningkat
(bertambah).
Dengan bertambahnya volume air laut, maka tentunya akan terjadi
perubahan salinitas (kadar garam) di laut tersebut. Perubahan yang terjadi yaitu
menurunnya salinitas lautan karena volume airnya yang besar sedangkan
volume senyawa penyususn garam yang terlarut dalam air laut tersebut tidak
mengalami penambahan, khususnya di daerah perairan dangkal yang
merupakan habitat bagi sebagian besar ekosistem terumbu karang. Adanya
penurunan salinitas tersebut akan mengakibatkan terumbu karang (yang hidup
subur pada salinitas 340/oo-360/oo) mengalami kesulitan dalam proses
pertumbuhannya sehingga dalam jangka waktu tertentu terumbu karang tersebut
akan mati.
3. Cahaya
Bertambahnya volume dan meningkatnya tinggi permukaan air laut akan
memengaruhi kedalaman penetrasi cahaya matahari menjadi semakin
berkurang. Cahaya diperlukan oelh alga simbiotik zooxanthallae dalam proses
fotosintesis guna memenuhi kebutuhan oksigen terumbu karang.
Dengan berkurangnya kedalaman penetrasi cahaya, maka laju
fotosintesis akan menurun dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium
karbonat pembentuk terumbu akan menurun pula. Sehingga ekosistem terumbu
karang (pada kedalaman 10 meter atau lebih) akan mengalami penurunan
produktifitas dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian.
4. Arus dan Gelombang
Pada dasarnya pertumbuhan terumbu karang yang berada di daerah
berarus akan lebih baik apabila dibandingkan dengan pertumbuhan terumbu
karang yang hidup di perairan tenang. Ini disebabkan selain gelombang air laut
dapat memberikan pasokan oksigen yang banyak, gelombang juga membawa
plankton yang baru untuk koloni karang, serta dapat menghalangi pengendapan
pada koloni karang.
Namun apabila pemanasan global terus berlanjut, keadaan yang
menguntungkan tersebut akan berbalik 180 derajat menjadi kerugian yang
sangat besar bagi ekosistem terumbu karang. Sebab dengan bertambahnya
volume lautan, akan mengakibatkan air laut meluap sehingga terjadilah
gelombang pasang yang sangat dahsyat.
Selain itu potensi untuk terjadinya badai akan semakin meningkat. Badai
berkekuatan tinggi ditambah dengan faktor lainnya yang dapat timbul akibat
pemanasan global (semisal pergeseran lempeng bumi) akan mengakibatkan
terjadinya tsunami dengan kekuatan penghancur yang tak dapat dibayangkan.
Munculnya gelombang pasang maupun tsunami akan merusak kondisi
fisik terumbu karang, bahkan bukan tidak mungkin terumbu karang tersebut akan
hancur dan ikut terseret gelombang. Dengan adanya peristiwa tersebut, sudah
tentu ekosistem terumbu karang akan semakin berkurang bahkan musnah.
5. Sedimentasi
Gelombang pasang ataupun tsunami yang diakibatkan oleh pemanasan
global tentu akan mengakibatkan terangkutnya sedimen dari lautan ke daratan.
Peristiwa ini nampaknya membawa sedikit keuntungan bagi terumbu karang
yang masih mampu bertahan hidup setelah diterpa oleh gelombang dahsyat
tersebut.
Namun hal terssebut tak akan berlangsung lama sebab gelombang
gelombang pasang tersebut dalam beberapa waktu kemudian akan kembali
ditarik ke laut. Dan kekuatan gelombang yang dahsyat tersebut akan membawa
berbagai macam materi dari daratan bersamanya. Sehingga pada saat kembali
ke laut, sebagian materi-materi dari daratan tersebut ada yang terhenti di daerah
pesisir dan lautan dangkal, yang kemudian meningkatkan jumlah sedimen di
daerah tersebut.
Jumlah sedimen yang sangat banyak tersebut akan mengakibatkan
tertutupnya polip karang yang masih hidup sehingga tidak dapat melakukan
fotosintesis ataupun menghasilkan kalsium karbonat sebagai pembentuk
terumbu. Dalam jangka waktu tertentu, ekosistem terumbu karang di daerah
tersebut pun akan segera musnah.
Dari kelima penjelasan mengenai pengaruh pemanasan global terhadap
ekosistem terumbu karang di atas, kita dapat melihat adanya hubungan antara
setiap kemungkinan yang bisa terjadi. Dengan demikian, apabila terumbu karang
tersebut dapat terhindar dari bahaya yang pertama, masih ada bahaya-bahaya
atau kemungkinan-kemungkinan buruk lain yang mengancam kelangsungan
hidupnya.
Dan secara umum, pemanasan global dapat mengakibatkan bleaching
(pemutihan) pada terumbu karang, yang berarti karang tersebut kehilangan
kemampuan untuk menangkap makanan dan melakukan fotosintesis. Dengan
kata lain terumbu karang tersebut telah mati.

Terumbu karang yang mengalami pemutihan


D. Upaya Mengurangi Kerusakan Terumbu Karang Akibat Pemanasan
Global
Saat ini upaya yang paling tepat untuk mengurangi dampak negatif dari
pemanasan global terhadap kelangsungan hidup terumbu karang ialah dengan
melakukan tindakan-tendakan preventif guna memperkecil intensitas terjadinya
pemanasan global itu sendiri.
Banyak upaya yang tengah dilakukan untuk memperkecil dampak
terjadinya pemanasan global bagi segala aspek kehidupan di bumi. Bahkan PBB
telah membentuk suatu tim khusus yaitu UNFCCC yang bertugas untuk
merundingkan dan melaksanakan upaya pencegahan pemanasan global
berkelanjutan bersama-sama negara-negara yang ada di dunia ini.
Ada berbagai macam cara yang saat ini tengah diupayakan oleh berbagai
negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon yang merupakan penyebab
terjadinya pemanasan global. Upaya-upaya tersebut di antaranya sebagai
berikut.
1. Penghijauan Hutan
Hutan merupakan habitat bagi berbagai jenis tumbuhan. Tumbuhan
merupakan salah satu organisme yang mampu menyerap karbondioksida guna
memenuhi kebutuhannya untuk melakukan fotosintesis. Dengan kemampuannya
itu, tumbuhan dapat mengurangi emisi karbon yang bebas di udara.
Namun, saat ini banyak hutan di berbagai belahan dunia yang mengalami
kerusakan bahkan menjadi gundul, baik akibat ulah manusia maupun bencana
alam. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan penghijauan sesegera mungkin
terhadap ekosistem hutan yang telah mengalami kerusakan, karena betapa
besarnya manfaat hutan untuk mengurangi dampak pemanasan global.
2. Perawatan dan Pemanfaatan Biota Laut
Beberapa biota laut seperti ganggang (algae), terumbu karang, padang
lamun, spora, rumput laut, hutan bakau (mangrove), dan plankton dapat
membantu menurunkan gas rumah kaca.
Berdasarkan hasil penelitian, ganggang memiliki kelebihan menyerap
karbon, begitu pula dengan terumbu karang maupun plankton. Ini berarri negara-
negara yang memiliki lautan luas, misalnya Indonesia, berpotensi besar dalam
upaya mengurangi emisi karbon. Namun kondisi ekosistem hutan bakau maupun
terumbu karang di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kurang baik. Oleh
karena itu, Indonesia dan negara-negara lainnya harus mengupayakan
perawatan terhadap ekosistem-ekosistem tersebut sedini mungkin.
3. Mekanisme Penjualan Karbon
Secara sederhana, pengertian dari mekanisme penjualan karbon ialah
kegiatan menjual kemampuan pohon untuk menyerap sejumlah karbon yang
dikandung di atmosfer agar disimpan dalam biomassa pohon, dalam waktu yang
ditentukan (Media Indonesia, 8 Desember 2007). Ini merupakan upaya lanjutan
dari penghijauan hutan. Bahkan dari aspek kelautan pun diusulkan agar biota
laut ikut dimasukkan dalam mekanisme penjualan karbon ini.
Namun mekanisme penjualan karbon ini sangatlah rumit. Aturan jual beli
karbon harus dirundingkan dalam konferensi internasional dengan melibatkan
banyak pihak.
4. Pengolahan Limbah
Penumpukan sampah yang tidak diolah akan mengakibatkan gas metana
yang ada di dalam sampah bisa berpotensi menyumbang gas rumah kaca.
Metana merupakan salah satu zat kimia yang dapat meningkatkan emisi gas
rumah kaca. Selain metana, ada beberapa zat kimia lainnya yang bisa
menambah emisi karbon, yakni karbondioksida, nitrogen oksida, hidrogen flour,
nitrogen flour, dan SF6.
Dari kajian penelitian, metana dapat diolah menjadi energi biomassa yang
bisa dimanfaatkan untuk energi listrik. Dengan pengolahan gas metana menjadi
energi biomassa, maka akan sangat membantu dalam upaya mengurangi emisi
gas rumah kaca.
5. Carbon Capture and Storage (CCS)
Carbon Capture and Storage (CCS) adalah suatu metode pengurangan
emisi karbon yang dilakukan dengan cara menyuntikkan karbondioksida (CO 2) ke
perut bumi (Media Indonesia, 10 Desember 2007). Teknologi CCS ini telah
dipraktikkan oleh beberapa negara maju seperti Inggris, Australia, dan Amerika
Serikat. Namun teknologi CCS tergolong mahal dan tidak semua negara bisa
melakukan transfer teknologi tersebut.
Kelima cara yang tengah diupayakan oleh sejumlah negara di dunia
tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca guna mengurangi dampak dari pemanasan
global. Hingga saat ini UNFCCC bersama puluhan negara maju dan berkembang
masih terus mencari solusi terbaik guna menurunkan emisi gas rumah kaca
tersebut.
Upaya untuk mengurangi emisi karbon tidak harus dilakukan dengan
metode-metode yang rumit dan luas seperti di atas. Masyarakat pun bisa turut
andil dalam hal ini, di antarany dengan menghemat pemakaian listrik maupun
sarana dan prasarana lainnya yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/24004638/PENGARUH-NEGATIF-PEMANASAN-
GLOBAL-BAGI-KELANGSUNGAN-HIDUP-EKOSISTEM-TERUMBU-
KARANG (Diakses tanggal 27 Desember 2010)

http://www.scribd.com/doc/25463854/Pemanasan-Global (Diakses tanggal 27


Desember 2010)

You might also like