You are on page 1of 2

Penataan Perangkat Daerah

  Oleh: W. Riawan Tjandra, SH., M. Hum

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2007 tentang organisasi Perangkat Daerah
membuat banyak pihak,khususnya para administrator di daerah, terkesima. Belum tuntas PP No.
8/2003 dilaksanakan, sudah digantikan dengan PP No. 41/2007.

Hal ini nyaris mengulang pergantian (replacing) PP No. 84/2000 dengan PP No. 8/2003, padahal
PP No. 84/2000 belum genap berumur tiga tahun. Begitu cepatnya bongkar pasang regulasi
mengenai organisasi perangkat daerah dilakukan, tampaknya dipengaruhi oleh sekurang-
kurangnya empat faktor.

Pertama, belum tuntasnya persoalan tarik-ulur kewenangan Pusat- Daerah selama ini. Kedua,
pengaruh dinamika politik lokal yang dipengaruhi oleh situasi transisi demokrasi. Ketiga,
meningkatnya kesadaran kritis dan tuntutan rakyat lokal terhadap kualitas pelayanan publik di
daerah. Dan, keempat, keterbatasan anggaran pemerintah untuk mendukung sistem kelembagaan
daerah.

Hasil penelitian PSKK UGM (2003) pernah menyajikan temuan bahwa penilaian masyarakat
terhadap kualitas pelayanan publik setelah dilaksanakannya otonomi daerah memerlihatkan tidak
adanya perbedaan dengan sebelum dilaksanakannya otonomi daerah.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten


(menurut LSM dan media) meliputi: tender proyek (51%),retribusi (40%), penyusunan APBD
(30%) dan penyusunan Perda (29%). Sedangkan temuan di kota memerlihatkan: tender proyek
(65%), retribusi (52%), penyusunan APBD (45%), dan penyusunan Perda (32%).

Realitas tersebut memerlihatkan bahwa pelaksanaan Otda tidak serta merta mampu memperbaiki
kualitas pelayanan publik di daerah, sekalipun selama dilaksanakannya Otda sejak 1999, regulasi
mengenai organisasi perangkat daerah dilakukan perubahan secara cepat. Perteori, pemerintah
pada hakikatnya menjalankan fungsi pembangunan (development), pemberdayaan
(empowering), dan pelayanan publik (public service).

Di antara fungsi-fungsi itu,yang utama adalah fungsi pelayanan publik yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah. Di sisi lain, pemerintah harus mengetahui saat yang tepat kapan harus
berfungsi sebagai steering, dan kapan sebagai rowing. Hal ini penting, agar pemerintah tidak
berkedudukan sebagai agen tunggal dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan.

Sehubungan dengan dikeluarkannya PP No. 41/2007, jika dibandingkan dengan PP No. 8/2003
sebelumnya, tidak terlihat adanya perbedaan secara prinsipiil menyangkut susunan/struktur
organisasi, eselonisasi jabatan perangkat daerah maupun sistem rentang kendali (span of control)
organisasi. Bahkan, sebenarnya tidak ada paradigma dalam desain organisasi perangkat daerah
yang berubah.

PP No.8/2003 sebenarnya justru telah mengatur secara lebih mendetail kriteria penataan
organisasi perangkat daerah, dibandingkan penetapan variabel besaran organisasi perangkat
daerah yang diatur dalam PP No.41/2007.Dalam PP No.41/2007 perumpunan urusan yang
diwadahi dalam bentuk dinas, badan, kantor, inspektorat dan rumah sakit memang sudah diatur
secara lebih spesifik.
Dalam teori organisasi publik, hal itu diperlukan untuk memperjelas fungsi, tugas dan
kewenangan struktur kelembagaan masing-masing satuan organisasi perangkat daerah.Namun,
model seperti itu mudah menimbulkan penilaian mengenai dimulainya kembali era resentralisasi
dalam desain kelembagaan daerah.

Sekalipun demikian, PP No. 41/2007 memang lebih terbuka dalam merespons keberagaman
kebutuhan kelembagaan organisasi perangkat daerah dikaitkan kondisi masing-masing daerah.
Hal itu terlihat dengan desain yang lebih cermat dalam pengaturan besaran organisasi perangkat
daerah yang dikaitkan dengan nilai berdasarkan kelas interval masing-masing variabel yang
terdiri dari: jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD.

Hal yang menarik dari substansi PP No. 41/2007 antara lain adalah penguatan fungsi dan
kewenangan Sekretaris Daerah dalam melaksanakan pembinaan perangkat daerah di bawahnya
seperti Kepala Dinas, Sekretaris DPRD dan Kepala Badan/Kantor/Direktur RSUD.

Fenomena tersebut bisa menimbulkan penilaian bahwa ada upaya pergeseran dari model
manajemen berbasis politik yang semula sangat diwarnai oleh faktor peranan kepala daerah dan
wakilnya yang dipilih melalui proses politik Pilkada, menjadi model manajemen teknokrasi yang
ditandai dengan dikuatkannya fungsi dan kewenangan Sekretaris Daerah dalam mekanisme
pertanggungjawaban administratif satuan perangkat-perangkat di daerah.

Hal tersebut tentu tidak diharapkan mengarah pada reduksi peranan dan pengaruh dari kepala
daerah, yang selama ini diharapkan mampu menjembatani aspirasi rakyat lokal yang telah
memilih kepala daerah dan wakilnya melalui Pilkada, dengan kehendak para
administrator/birokrat daerah.

Apalagi sampai menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan dalam sistem birokrasi daerah.
PP No. 41/2007 diinginkan mampu mengefektifkan fungsi yang harus dilaksanakan masing-
masing satuan pemerintahan daerah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota) dalam melaksanakan
kewenangannya masing-masing yang telah dilakukan pembagian urusan melalui PP No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda
Kabupaten/Kota.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut,PP No. 41/2007 harus mampu mendorong agar masing-
masing organisasi perangkat daerah berani mengambil inisiatif dalam menyelenggarakan
fungsinya masing-masing, tanpa harus selalu menunggu instruksi dari satuan organisasi
pemerintahan yang lebih tinggi. Hakekat otonomi daerah sebenarnya adalah kemampuan
pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik seluas-luasnya kepada rakyat
dan kemauan pemda untuk melibatkan masyarakat lokal dalam penentuan serta pelaksanaan
kebijakan pemerintahan yang bermuara pada pemenuhan kebutuhan rakyat lokal.

Hal itu, berarti penataan organisasi perangkat daerah lebih dari sekedar persoalan efektivitas dan
efisiensi fungsi kelembagaan pemerintah daerah, tetapi merupakan persoalan reformasi mindset
para administrator/ birokrat daerah agar lebih berorientasi melayani rakyat sesuai dengan
hakekat makna dari administrasi, yang dalam bahasa latin disebut administrare, artinya
melayani.(*

You might also like