You are on page 1of 9

MAKALAH

Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tauhid


Yang Dibina Oleh
Drs. Ahmad Sukarna F, M.Pd.

Disusun oleh:
Hilman Fitry (1000135)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2011

Segala puji dan sanjungan kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang ber
judul “ ”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Selanjutnya kami haturkan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Drs.
Ahmad Sukarna Firdaus yang telah membimbing penulis sehingga Alhamdulillah makal
ah ini dapat diselesaikan, dan tidak lupa kepada teman-teman seperjuangan yang p
enulis tidak bisa disebutkan satu-persatu atas bantuannya selama proses pembuata
n makalah ini, semoga Allah membalas segala kebaikan semuanya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, segala sara
n dan kritik membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi peningkatan kua
litas selanjutnya. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin
Hanya kepada Allah jua kita berserah diri dan menyerahkan segala amal kita. Alla
h tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan hamba-Nya dan akan mengamp
uni semua dosa hamba-Nya.
Penyusun

Maret 2011

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tauhid merupakan pangkal dari keimanan seseorang. Seseorang dapat dikatakan ber
iman jikalau dia meyakini bahwa tiada yang wajib disembah kecuali Allah inilah y
ang disebut Tauhid Uluhiyah, dan dia juga meyakini bahwa yang menciptakan, memel
ihara, serta menguasai langit dan bumi beserta isinya hanyalah Allah semata ini
lah yang disebut Tauhid Rububiyyah, serta ia meyakini dia dapat hidup berdamping
an dengan manusia lain ataupun makhluk lainnya dengan sifat kasih saying, suka m
enolong, saling memperhatikan karena pemberian dari Allah semata inilah yang dis
ebut dengan Tauhid Asma Wa Sifat.
Ru’yatullah fil Akhirat merupakan sesuatu yang harus diyakini oleh setiap manusia
bahwa mereka akan bertemu dengan Allah. Akan tetapi, banyak dikalangan manusia
mengingkarinya bahwa merekadapat melihat Allah di akhirat nanti. Para ulama juga
ada yang berpendapat bahwa ru’yatullah fil akhirat sesuatu yang pasti dapat terja
di.
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al Bajali bahwa dia berkata : “Kami duduk-dud
uk bersama dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka dia melihat ke ara
h bulan pada tanggal empat belas. Maka dia berkata : “Sesungguhnya kalian akan mel
ihat Tuhan kalian dengan jelas, sebagaimana kalian melihat ini. kalian tidak dih
alangi dalam melihatnya”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Dari hadis ini bahwa melihat Allah tanpa hijab dapat terjadi akan tetapi masih b
anyak manusia mengingkari hal ini seperti golongan Mu’tazilah dan Jahmiyyah yang b
erpendapat bahwa melihat Allah dengan mata telanjang itu sesuatu yang mustahil.
Oleh karena kami ingin meneliti serta mengkaji mengenai hal ini dengan menyusun
makalah yang berjudul” “ untuk mendapatkan pengetahuan serta
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan ru’yatullah bil abshar fil akhirat?
2. Apa saja dalil-dalil yang berkenaan mengenai ru’yatullah bil abshar fil ak
hirat beserta pendapat ulama salafus shalih dan Ahlus sunnah wal jama’ah mengena
i hal tersebut?
3. Bagaimana tanggapan ulama mengenai melihat Allah di dalam mimpi?
C. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untu
k mengetahui dan menjelaskan;
1. Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat;
2. Dalil-dalil yang berkenaan mengenai ru’yatullah bil abshaar fil akhirat be
serta pendapat ulama Salafus Shalih dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai hal ters
ebut;
3. Melihat Allah di dalam mimpi
D. Metode pembahasan
Dalam penulisan karya tulis ini metode yang penulis gunakan adalah metode Deskri
ptif, yaitu metode penulisan karya tulis dengan melukiskan objek penelitian yang
sedang berlangsung saat sekarang ini.
Adapun teknik pembahasan penulis dalam menyusun paper ini adalah dengan Book Sur
vey yaitu menghimpun berbagai buku atau kitab – kitab dan tulisan – tulisan yang ber
hubungan dengan materi yang sedang penulis bahas, serta E-Learning yakni penggun
aan media elektronik (internet) dalam pencarian data-data atau informasi mengena
i permasalahan yang dibahas.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ru’yatullah Bil Abshar Fil Akhirat


Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat adalah melihat Allah dengan mata telanjang tan
pa hijab di akhirat kelak. Sebagaimana perkataan Anas r.a bahwa manusia akan mel
ihat Allah dengan mata kepala mereka.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama ah, melihat Allah di akhirat nanti adalah pasti ke
benarannya dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti kafir. Orang-orang mukmin
akan melihatNya pada hari kiamat dan ketika mereka berada di dalam jannah sebag
aimana dikehendaki oleh Allah. Keyakinan seperti ini berdasarkan ijma Ahlus Sun
nah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta ala. "Artinya : Wajah-wajah (o
rang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat RabbNya". (Al-Qiya
mah : 22-23)
Menurut Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, bahwa melihat Allah merupakan kenikmata
n yang tertinggi bagi penghuni jannah. Sedangkan dunia kita ini adalah bukan tem
pat kenikmatan, akan tetapi merupakan tempat bersusah payah, bersedih dan tempat
pemberian beban (taklif) atau tempat usaha. Jadi Allah tidak bisa dilihat di du
nia sekarang ini, akan tetapi di akhirat nanti orang-orang beriman akan melihat
Nya.( http://www.almanhaj.or.id/content/363/slash/0)
Oleh karena itu Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala se
ndiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah, kitab-kitabNya da
n rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari
yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada
malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
B. Dalil-Dalil Dan Pendapat Ulama Mengenai Ru’yatullah Bil Abshar Fil Akhirat
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia,
menjelaskan dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah: “Sebab Allah Subhanahu wa Ta a
la telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pul
a Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun telah memberitakannya dalam Sunna
hnya. Barangsiapa yang tidak mengimani kejadian ini, berarti ia mendustakan Alla
h, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah, kit
ab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang diberitakan
nya”.
Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahim
ahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah dalil dari al qur’an al karim;
Firman Allah Subhanahu wa Ta ala :
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya merek
a melihat.(Al Qiyamah : 22-23).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan maksudnya, yaitu mereka melihat Allah
dengan mata kepala mereka sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari d
alam kitab Shahih-nya yang akan diketengahkan di bawah nanti –Insya Allah.
Imam Ibnu Abi Al Izz rahimahullah mengatakan: “Ayat di atas termasuk salah satu da
lil yang paling nyata”. Selanjutnya, setelah beliau mengemukakan akibat rusaknya t
ahrif (ta’wil), beliau mengatakan: “Dihubungkannya kata-kata nazhar (nazhirah, meman
dang) dengan wajah (wujuh) yang merupakan letak pandangan. Ditambah dengan idiom
“ilaa” yang secara tegas menunjukkan pandangan mata, disamping tidak adanya qarinah
yang menunjukkan makna lain, maka jelas dengan ayat itu, Allah memaksudkannya s
ebagai pandangan mata yang ada di wajah manusia, memandang Allah Azza wa Jalla”.
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta ala :
Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. (Al Muthaffifin : 35).
Ibnu Katsir rahimahullah kembali menjelaskan arti memandang, yakni mereka meliha
t Allah Azza wa Jalla.
Selanjutnya firman Allah Subhanahu wa Ta ala :
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan
nya. (Yunus:26).
Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: ziyadah (tambahan dari pahala yang terbaik)
dalam ayat di atas, maksudnya ialah melihat Wajah Allah, sebagaimana tafsir yan
g dikemukakan oleh Rasulullah tentangnya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih
Muslim (haditsnya akan di ketengahkan di bawah, Insya Allah, Pen). Para Ulama Sa
laf juga menegaskan tafsir yang demikian itu.
Berikutnya firman Allah Subhanahu wa Ta ala:
Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi K
ami adalah tambahannya. (Qaf : 35)
Syaikh Shalih Al Fauzan juga menjelaskan makna tambahan pada ayat di atas, artin
ya ialah melihat Wajah Allah Azza wa Jalla [10]. Begitu juga Imam Ibnu Katsir
dalam tafsirnya mengatakan: Ayat ini, seperti firman Allah
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan
nya. (Yunus:26).
Yaitu seperti dalam riwayat Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud
ayat tersebut adalah melihat Wajah Allah Yang Mulia.
Demikianlah beberapa dalil dari Al Qur’an yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibn
u Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah tentang melihatnya kaum mu’m
inin pada wajah Allah.
Sementara itu, berkaitan dengan mafhum dari firman Allah:
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Rabb mereka. (Al Muthaffifin:15).
Imam Syafi’i rahimahullah, seperti dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam taf
sirnya menegaskan : “Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa kaum mu’minin akan meliha
t Rabb-nya pada hari (akhirat) itu”.
Di tempat lain (yaitu pada tafsir surat Al Qiyamah ayat 22-23), Ibnu Katsir menu
kil perkataan Imam Syafi’i lainnya berkenaan dengan surat Al Muthaffifin ayat 15.
Yaitu: “Orang kafir tidak tertutup pandangannya dari melihat Allah, kecuali karena
sudah difahami bahwa orang-orang abrar (kaum mu’minin) akan melihat Allah Azza wa
Jalla.”
Adapun dalil-dalil dari hadits nabi shalalllahu alaihi wa sallam. Sebenarnya, s
ebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dan lain lain, hadits yang menyatakan ba
hwa kaum mu’minin akan melihat Allah di akhirat secara nyata dan dengan mata kepal
a mereka, adalah merupakan hadits mutawatir. Bahkan Ibnu Katsir menyatakan, bahw
a kenyataan ini tidak mungkin dapat ditolak. Hanya saja, disini Syaikhul Islam I
bnu Taimiyah mencukupkan pemaparan satu hadits saja. Yaitu hadits yang muttafaq ‘a
laih.
Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan in
i (dalam permulaan hadits, diceritakan; waktu itu Nabi Shallallahu alaihi wa sa
llam sedang melihat bulan yang tengah purnama). Kalian tidak berdesak-desakan ke
tika melihatNya (ada yang membaca la tudhamuna tanpa tasydid dan di dhammah ta’nya
, artinya: kalian tidak akan ditimpa kesulitan dalam melihatNya). Oleh karena i
tu, jika kalian mampu, untuk tidak mengabaikan shalat sebelum terbit matahari (S
ubuh) dan shalat sebelum terbenam matahari (Ashar), maka kerjakanlah. (Shahih Bu
khari, Fathul Bari, XIII/419, hadits no. 7434, dan Muslim Syarah Nawawi, tahqiq
Khalil Ma’mun Syiha, V/135, hadits no. 1432, Bab Fadhli Shalati Ash Shubhi Wal ‘Ashr
i Wal Muhafazhah ‘Alaihima. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2551;
Shahih Sunan At Tirmidzi, III; Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibni Majah, I, no. 147/1
76, dll)
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menerangkan makna hadits di atas, (yaitu) kal
ian akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata kepala kalian. Dan hadi
ts-hadits tentang ini adalah mutawatir.( Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, hl
m. 121)
Begitu pula Imam Ibnu Hajar Al Asqalani serta Imam Nawawi, dalam mensyarah hadit
s-hadits yang dipaparkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menegaskan secara jel
as, bahwa kaum mu’minin di akhirat kelak akan melihat Allah semata-mata dengan pan
dangan mata.( Lihat Fathul Bari, XIII/419-433, dan Shahih Muslim Syarah Nawawi,
tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, V/134-137)
Bahkan dalam menafsirkan hadits:
Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian
akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. (HR Muslim).
Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ad
a keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halny
a kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam mel
ihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan
dengan bulan. (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137)
Di samping hadits muttafaq ‘alaih yang berasal dari hadits Jarir bin Abdillah sert
a hadits riwayat Muslim di atas, masih banyak hadits lainnya, antara lain:
Sabda Rasulullah n yang juga berasal dari Jarir bin Abdillah:
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan semata-mata. (HR Bukhari).
(Fathul Bari, XIII/419, no. 7435)
Diantaranya lagi hadits dari Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, Beliau bersabda:
: :
Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,”Apakah
kalian menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab,”Bukankah En
gkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih berseri? Bukankah Engkau telah mema
sukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Nabi bersabda,”Maka
disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang
lebih mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”
Dalam riwayat lain dari riwayat Abu Bakar bin Abi Syaibah, ada tambahan riwayat
: Kemudian Rasulullah membacakan ayat :
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan
nya. (Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, III/19-20, ha
dits no. 448 & 449, Bab Itsbat Ru’yatil Mu’minin Fil Akhirah Rabbahum Subhanahu Wa T
a’ala. Begitu juga Shahih Sunan Tirmidzi, kitab Shifatil Jannah, Bab Ma Ja’a fi Ru’yat
ir Rabbi Tabaraka Wa Ta’ala, jilid III, no. 2552 dan Shahih Ibnu Majah, I, no. 155
/186, hml. 80)
Jadi hadits tersebut jelas menunjukkan, bahwa maksud ziyadah (tambahan) pada ay
at di atas ialah melihat Allah Azza wa Jalla, seperti telah dipaparkan di muka.
Juga hadits Abu Hurairah berikut:
:
Sesungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami a
kan melihat Rabb kami pada hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa s
allam balik bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya (karena berdesak-desakan
) ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah
.” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan menga
lami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa diliput
i oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesungguh
nya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”…sampai akhir hadits. (Hadi
ts yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 7437; Fathul Bari, XII
I/419).
Demikianlah sebagian kecil hadits shahih diantara sekian banyak hadits shahih la
innya, yang semuanya menyatakan bahwa kaum mu’minin kelak akan melihat Allah denga
n mata kepala sendiri di akhirat. Sebelumnya, beberapa ayat Al Qur’anpun telah dip
aparkan untuk membuktikan hal itu. Sungguh suatu nikmat luar biasa yang dianuger
ahkan Allah kepada kaum mu’minin, sebagai tambahan nikmat kepada mereka.
Sebenarnya, masih banyak hadits-hadits lainnya, baik yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim di beberapa tempat dalam kitab shahih masing-masing, maupun
yang diriwayatkan oleh imam-imam lain, seperti Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad
dan lain-lain. Namun di sini cukuplah kiranya pemaparan beberapa dalil di atas.
Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’mini
n kepada Allah pada hari kiamat mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, waj
ib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasul
Nya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya d
engan mendustakan Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, sebagaimana dinyat
akan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan pada permulaan tulisan ini.(http://
almanhaj.or.id/content/2984/slash/0)
C. Melihat Allah Di Dalam Mimpi
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjawab soal ini dalam Fatawanya. Setelah be
liau menjelaskan permasalahan apakah Nabi melihat Allah ketika mi’raj, beliau meny
impulkan, “Kesimpulannya, bahwa semua hadits yang di dalamnya terdapat kalimat ‘bahw
a Nabi melihat Rabbnya dengan mata kepala di bumi’, ‘bahwa kebun-kebun surga termasu
k langkah-langkah kebenaran’, dan ‘bahwa beliau menginjak batu besar Baitul Maqdis”, s
emua ini adalah dusta menurut kesepakatan ulama kaum muslimin dari kalangan ahli
hadits dan selain mereka.
Demikian pula, setiap orang yang mengaku melihat Allah dengan mata kepalanya seb
elum mati, maka klaimnya batil menurut ahlus sunnah wal jamaah. Ahlus sunnah wal
jama’ah telah bersepakat bahwa orang mukmin mana pun tidak dapat melihat Rabbnya
dengan kedua mata kepalanya ketika dia hidup.
Hal tersebut telah dinyatakan dalam Shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an dari Nabi
, ketika beliau menyebut Dajjal, beliau berkata, ‘Ketahuilah oleh kalian, bahwa ti
dak seorang pun dari kalian yang dapat melihat Rabbnya sampai dia meninggal.’
Begitu pula, diriwayatkan dari Nabi, dengan redaksi lain, bahwa beliau mempering
atkan umatnya dari fitnah Dajjal, dan beliau menjelaskan bahwa tidak seorang pun
dari mereka yang akan melihat Rabbnya sampai mati. Maka, jangan ada seseorang y
ang menyangka bahwa Dajjal yang dilihatnya adalah Rabbnya.
Akan tetapi, peristiwa yang terjadi pada orang-orang yang memiliki keimanan yang
sejati, berupa keyakinan hati kepada Allah dan keyakinan hati, maka penyaksian
dan penampakan ma’rifat tersebut berada pada tingkatan yang berbeda-beda.
Ketika Nabi ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menajwab, “Ihsan adalah engk
au beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kadang-kadang pula, orang mukmin melihat Rabbnya dalam mimpi dalam bentuk yang b
erbeda-beda, sesuai dengan kadar keimanan dan keyakinannya. Bila imannya benar m
aka akan melihat dalam bentuk yang baik, dan jika imannya kurang maka akan melih
at sesuai dengan kadar imannya itu.
Melihat dalam mimpi tidak seperti melihat ketika sadar. Mimpi ini memiliki takwi
l dan takbir (pengungkapan) karena di dalamnya terdapat permisalan-permisalan da
ri kenyataan yang ada.
Kadangkala, sebagian orang yang tidak tidur mendapati penglihatan yang mirip d
engan mimpi orang yang tidur. Maka, dia akan melihat dengan isi hatinya semisal
apa yang dilihat dalam mimpi, dan kadang akan tampak padanya kebenaran-kebenara
n yang dia saksikan dengan hatinya. Ini semua terjadi di dunia.
Terkadang, seseorang dikuasai oleh penglihatan hati dan inderanya, lantas dia me
nyangka bahwa dia melihat Rabbnya dengan mata kepalanya. Sampai dia bangun dan t
ahu bahwa ternyata yang dilihatnya tadi adalah mimpi.
Terkadang pula, dia mengetahui dalam tidurnya bahwa dia bermimpi. Begitulah ha
l yang diperoleh orang-orang yang tekun beribadah, berupa musyahadah (penyaksia
n) hati yang menguasai dirinya sampai tidak merasakan rasa inderawi-nya. Dia m
enyangka bahwa itu penglihatan mata telanjang, tetapi ternyata dia salah. Semua
orang yang tekun beribadah, baik dari generasi awal atau akhir, yang berkata bah
wa dia melihat Rabbnya dengan mata kepalanya adalah orang yang tersalah menurut
kesepakatan ahli ilmi dan iman.
Benar bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah dengan mata telanjang di surga
. Hal ini juga dialami oleh manusia di pelataran hari kiamat, seperti telah bany
ak diriwayatkan hadits dari Nabi, yaitu sabda beliau (yang artinya),“Sesungguhnya
kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat matahari di tengah hari t
idak terhalangi oleh awan, dan seperti melihat bulan purnama di kala langit cera
h tanpa awan.’” (Majmu’ Fatawa: 3/389–390)
Syekh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan pula, “Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan selai
nnya telah menyebutkan bahwa seseorang dimungkinkan melihat Allah dalam mimpi. N
amun yang dilihatnya bukan hakikat Allah yang sebenarnya, karena tidak ada sesua
tu pun yang menyerupai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat.” (Qs.asy-Syura: 11)
Maka, tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Allah. Oleh karena itu, jika di
a dapat melihat Allah dalam mimpi, bahwa Allah berbicara kepadanya, maka bagaima
na pun bentuk yang dia lihat itu bukan wujud Allah ‘Azza wa Jalla, karena tidak ad
a sesuatu pun yang menyerupai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang serupa d
engan-Nya dan tidak ada pula yang setara.
Syekh Taqiyuddin menyebutkan hal ini, bahwa keadaan melihat Allah berbeda-beda s
esuai dengan keadaan orang yang melihat. Jika orang tersebut adalah orang yang
paling shalih dan paling dekat dengan kebaikan, maka penglihatannya lebih mendek
ati kebenaran dan kenyataan. Namun, wujud-Nya tidak dalam bentuk atau sifat yan
g dilihat oleh orang tersebut, karena pada hakikatnya tidak ada sesuatupun yang
menyerupai Allah.
Mungkin saja terdengar suara, ‘Begini dan lakukan ini!’, tetapi di sana tidak ada wu
jud yang terlihat yang serupa dengan makhluk, karena tidak ada yang serupa dan s
emisal dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau melihat Allah dalam mimpi. Dari hadits Mu’adz
bin Jabal, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabbnya. Pada beberapa ja
lan (sanad) dikatakan bahwa beliau melihat Rabbnya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
meletakkan tangan-Nya antara dua pundak Nabi, sehingga beliau merasakan rasa di
ngin di dada. Al-Hafidz Ibnu Rajab telah menulis kitab dalam masalah ini, yang d
inamakan ‘Ikhtiyarul Aula fi Syarhi Hadits Ikhtishamil Mala’il A’la’.
Ini menunjukkan bahwa para nabi kadang-kadang melihat Rabb mereka dalam mimpi. A
dapun melihat Allah di dunia dengan mata kepala adalah hal yang tidak mungkin. N
abi telah menginformasikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melihat Rabbny
a sampai dia mati. Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya. Ketika be
liau ditanya, ‘Apakah engkau melihat Rabbmu?’ Jawab beliau, ‘Aku melihat cahaya.’ Dalam
lafal lain, ‘Ada cahaya, bagaimana aku dapat melihatNya!’ Diriwayatkan oleh Muslim d
ari hadits Abu Dzar.
Aisyah telah ditanya tentang hal ini, lantas beliau menyatakan bahwa tidak ada s
eorang pun yang melihat-Nya di dunia, karena melihat Allah di akhirat nanti meru
pakan nikmat paling besar bagi orang mukmin. Ini tidak didapatkan, kecuali bagi
penduduk surga dan orang yang beriman di akhirat nanti. Demikian pula, ketika d
i pelataran kiamat.
Sedangkan dunia adalah kampung ujian dan cobaan dan kampung orang-orang yang jel
ek dan baik. Tempat bersama bagi orang-orang tersebut bukan tempat untuk melihat
, karena melihat merupakan nikmat terbesar bagi yang melihat. Maka nikmat ters
ebut disembunyikan oleh Allah bagi para hamba-Nya yang beriman di kampung yang
mulia dan di hari akhir.
Adapun melihat Allah yang diklaim banyak orang, maka berbeda-beda sesuai dengan
siapa orang yang melihat, seperti dikatakan oleh Syekhul Islam. Sesuai dengan ke
shalihan dan takwanya. Kadang orang itu terkhayal melihat Allah, padahal tidak
, karena setan kadang-kadang menampak pada mereka dan mereka menyangka itu ada
lah Rabb.
Seperti dikisahkan bahwa setan menampakkan dirinya kepada Abdul Qadir Jailani ba
hwa setan tersebut berada di atas Arsy yang berada di atas air. Setan itu berkat
a, ‘Aku Rabbmu, aku telah membebaskan kamu dari beban syariat.’ Maka, Syekh Abdul Qa
dir berkata, ‘Celaka engkau, wahai musuh Allah! Kamu bukan Rabbku, karena perintah
Rabbku tidak gugur terhadap orang-orang mukallaf,’ atau perkataan serupa.
Maksudnya, bahwa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika seseorang sedang tidak t
idur merupakan hal yang tidak diperoleh seorang pun selama di dunia, bahkan para
nabi sekalipun. Seperti telah berlalu penyampaiannya pada hadits Abu Dzar, dan
yang ditunjukkan pula oleh firman Allah kepada Musa ketika dia memohon untuk mel
ihat Allah, maka Allah menjawab,
“Engkau tidak dapat melihat-Ku.” (Qs. Al-A’raf: 143)
Akan tetapi, terkadang para nabi dan orang-orang shalih dapat melihat Allah dala
m mimpi, dalam bentuk yang tidak serupa dengan makhluk-Nya, seperti telah berlal
u penyampaiannya dalam hadits Abu Dzar. Maka, jika sosok yang dilihatnya dalam m
impi itu memerintahkan sesuatu yang menyelisihi syariat ini, maka itu adalah per
tanda bahwa dia tidak melihat Rabbnya, tetapi dia melihat setan.
Andaikan dia melihat, lantas yang dilihat berkata, ‘Kamu jangan shalat, aku telah
bebaskan kamu dari beban syariat!’, atau berkata, ‘Tidak wajib atasmu zakat, atau ti
dak wajib atasmu berpuasa Ramadhan, kamu tidak wajib berbakti kepada orangtua, a
tau tidak ada dosa jika kamu makan riba’. Semua ini dan yang semisalnya merupakan
tanda bahwa dia melihat setan, bukan Rabb.
Adapun berita bahwa Imam Ahmad melihat Rabbnya, maka berita itu tidak diketahui
kebenarannya. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa beliau melihat Rabbnya, na
mun pendapat tersebut tidak diketahui kebenarannya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Baz: 6/463–4
65). (Sumber: Majalah Al-Furqon, edisi 7, tahun ke-4, 1426 H)

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ru’yatullah bil abshaar fil akhirat adalah melihat Allah dengan mata telanjang ta
npa hijab di akhirat kelak. Sebagaimana perkataan Anas r.a bahwa manusia akan me
lihat Allah dengan mata kepala mereka.
Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahim
ahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah dalil dari al qur’an al karim;
Firman Allah Subhanahu wa Ta ala :
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya merek
a melihat.(Al Qiyamah : 22-23).
Kemudian firman Allah
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan
nya. (Yunus:26).
Yaitu seperti dalam riwayat Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud
ayat tersebut adalah melihat Wajah Allah Yang Mulia.
Juga hadits Abu Hurairah berikut:
:
Sesungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami a
kan melihat Rabb kami pada hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya (karena berdesak-desaka
n) ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasululla
h.” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan meng
alami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa dilipu
ti oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesunggu
hnya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”…sampai akhir hadits. (Had
its yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 7437; Fathul Bari, XI
II/419).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjawab soal ini dalam Fatawanya. Setelah be
liau menjelaskan permasalahan apakah Nabi melihat Allah ketika mi’raj, beliau meny
impulkan, “Kesimpulannya, bahwa semua hadits yang di dalamnya terdapat kalimat ‘bahw
a Nabi melihat Rabbnya dengan mata kepala di bumi’, ‘bahwa kebun-kebun surga termasu
k langkah-langkah kebenaran’, dan ‘bahwa beliau menginjak batu besar Baitul Maqdis”, s
emua ini adalah dusta menurut kesepakatan ulama kaum muslimin dari kalangan ahli
hadits dan selain mereka.
Hal tersebut telah dinyatakan dalam Shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an dari Nabi
, ketika beliau menyebut Dajjal, beliau berkata, ‘Ketahuilah oleh kalian, bahwa ti
dak seorang pun dari kalian yang dapat melihat Rabbnya sampai dia meninggal.’
Syekh Taqiyuddin menyebutkan hal ini, bahwa keadaan melihat Allah berbeda-beda s
esuai dengan keadaan orang yang melihat. Jika orang tersebut adalah orang yang
paling shalih dan paling dekat dengan kebaikan, maka penglihatannya lebih mendek
ati kebenaran dan kenyataan. Namun, wujud-Nya tidak dalam bentuk atau sifat yan
g dilihat oleh orang tersebut, karena pada hakikatnya tidak ada sesuatupun yang
menyerupai Allah.
B. S ARAN
Penyusun memberikan saran kepada;
1. Teman-teman se-angkatan untuk senantiasa muraqabah di setiap tingkah l
akunya atau di setiap apa yang kalian akan lakukan.
2. Para pembaca agar senantiasa meyakini bahwa pertemuan dengan Allah SWT d
i akhirat kelak adalah suatu kepastian yang pasti akan terjadi. Dan segala bentu
k keingkaran mengenai hal itu hanyalah sebuah kekufuran.

DAFTAR PUSTAKA
Abi Zakaria Yahya bin Syarf al- Nawawi. 1999. Syarah Shahih Muslim. Dar al-Kha
ir
Ahmas Faiz bin Asifuddin. 2011. Orang Mukmin Akan Melihat Allah Di Akhirat. [Onl
ine]. Tersedia: http://almanhaj.or.id/content/2984/slash/0. [18 Februari 2011]
Al-Quran Al-Karim. Majma’ al-Malik Fahad. 1418 H
Isma’il bin Umar bin Katsier. 1998. Tafsir al-Quran al-Azhim. (cet I). Dar al-Kut
ub al-Ilmiyyah: Beirut
Imam Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani. 2001. Fathu al-Bari, Syarh Sh
ahih al-Bukhari. Cet II
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari. Tt. Shahih al- Bukhari. Dar al-Fikr
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. 2004. Melihat Allah di Akhirat. [Online]. Ter
sedia: .http://www.almanhaj.or.id/content/363/slash/0. [ 3 Maret 2004]

You might also like