You are on page 1of 12

Dalihan Natolu System Demokrasi Versi

Batak
Dalihan Natolu sebagai system kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang
tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan
Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. Sistem
kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan
hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa […]

The article starts below...

Written by elkana on July 10th, 2006 with no comments.


Read more articles on Serba-serbi Adat batak.

Dalihan Natolu sebagai system kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang
tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan
Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. Sistem
kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan
hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau
TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai
“tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang
sama, ‘3 POSISI PENTING’ dalam kekerabatan orang Batak yang terdiri dari :

1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di
atas”, yaitu keluarga marga pihak istri. Relasinya disebut SOMBA SOMBA
MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri. “Hula-
Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-
hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang
dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya
seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. Dasar utama dari filosofi
ini adalah bahwa dari fihak marga istri lah seseorang memperoleh “berkat” yang
sangat didominasi oleh peran seorang istri dalam keluarga. Berkat hagabeon
berupa garis keturunan, hamoraon karena kemampuan dan kemauan istri dalam
mengelola keuangan bahkan tidak jarang lebih ulet dari suaminya, dan dalam
hasangapon pun peran itu tidak kurang pentingnya. Somba marhulal-hula supaya
dapat berkat.
2. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara
perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Boru
adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru Hombing adalah anak
perempuan dari marga Sihombing. Prinsip hubungan nya adalah ELEK
MARBORU artinya harus dapat merangkul boru/sabar dan tanggap. Dalam
kesehariannya, Boru bertugas untuk mendukung/membantu bahkan merupakan
tangan kanan dari Hula-hula dalam melakukan suatu kegiatan. Sangat diingat oleh
filosofi ELEK MARBORU, bahwa kedudukan “di bawah” tidak merupakan garis
komando, tetapi harus dengan merangkul mengambil hati dari Boru - nya
3. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya
“sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga .Prinsip Hubungannya adalah MANAT
MARDONGAN TUBU, artinya HATI-HATI menjaga persaudaraan agar
terhindar dari perseteruan.

Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan
bermasyarakat.Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki
ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati
posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na Tolu,
adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status
seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring
atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah
realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan
Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya
mengandung nilai nilai yang universal.

Namun ada beberapa hal negatif dari budaya batak yang harus kita tinggalkan, misalnya
budaya banyak bicara sedikit bekerja. Memang orang batak terkenal pintar berbicara. Hal
ini terlihat dari banyaknya pengacara-pengacara batak yang sukses. Akan tetapi
kepintaran berbicara ini sering disalahgunakan untuk membolak-balikan fakta. Yang
hitam bisa jadi putih dan yang putih bisa jadi hitam ditangan pengacara batak (walaupun
tidak semua). Hal lain yang negatif adalah budaya “HoTeL”. HoTeL adalah singkatan
dari: Hosom yang artinya dendam. Konon orang batak suka mendendam sesama saudara.
Teal yang artinya sombong, yang dapat terlihat dari cara bicara, sikap hidup, dll. Late
yang artinya Iri Hati. Apakah HoTeL ini hanya ada pada orang Batak saja? Kita sebagai
generasi muda harus dapat mempertahankan budaya yang positif dan meninggalkan yang
negatif.

A. Keterangan pembuka:

1. Jambar, adalah sesuatu yang diterima atau diperoleh seseorang, berdasarkan


kedudukannya dalam adat Batak. Dapat dikatakan, “jambar” itu adalah hak
pribadi atau suatu kelompok, karena kedudukannya dalam hubungan
kekerabatan/adat.

Dalam kehidupan & budaya orang Batak, setidak-tidaknya dikenal lima jenis
jambar, yakni: jambar ulos; jambar juhut (daging); jambar hepeng (uang); jambar
hata; jambar pasahathon pasu-pasu (untuk memimpin doa dalam suatu acara
khusus, sesuai dengan agama/iman kepercayaan kelompok yang
menyelenggarakan acara).

2. Kalau ketiga jambar lain relatif tidak menuntut suatu kemampuan/keahlian


khusus dari diri seseorang, karena cukup hanya menerima saja (paling-paling
hanya perlu mengucapkan terimakasih), dua di antara jambar itu menuntut
kemampuan atau kepandaian berbicara di hadapan umum, yakni jambar hata dan
penyampaian doa pasu-pasu. Umumnya “jambar hata” dibagikan kepada orang-
perseorangan, atau beberapa orang dalam satu kelompok (menurut “horong”:
misalnya “horong” hula-hula; boru/bere; ale-ale & dongan sahuta; pemimpin
lingkungan; dan menurut “kelompok Ompu,” di kalangan yang berkakak-adik
(dongan tubu; kerabat semarga); dsb.

3. Pada dasarnya, penerima jambar hata selalu terdiri dari beberapa orang dalam
kelompoknya. Sehingga mereka dapat memilih/menghormati salah satu di antara
mereka untuk menyampaikannya (biasanya yang tertua, baik menurut umur
maupun menurut kedudukan dalam “tarombo”; kalau memang mampu. Kalau
tidak, jambar akan digeserkan kepada yang lebih muda, dsb).

Ada kalanya kelak, orang-orang tua atau yang dituakan dalam kelompok, sudah
menjadi sangat langka, atau tidak punya kemampuan menerima kehormatan
“jambar hata.” Karena itu, generasi yang lebih muda harus mempelajari atau
mempersiapkan diri untuk itu, kalau mereka sadar bahwa adat Batak perlu
dilestarikan.

4. Dalam buku ini, kami tidak bermaksud memberikan contoh-contoh bentuk


kata-kata (sambutan) yang akan disampaikan oleh seseorang dalam hal memenuhi
haknya menerima jambar hata dalam bentuk “prosa”. Hendaknyalah setiap orang
mempelajarinya sendiri melalui nalarnya mengamati setiap jenis acara adat yang
pernah diikutinya

B. Peranan penyampaian umpama (umpasa):

Seperti suku-suku bangsa lainnya di kawasan Nusantara, setidak-tidaknya


kalangan suku-suku Melayu, semua sub-etnik dalam suku Batak juga
menggunakan pepatah-petitih dalam hal setiap perhelatan adat; bahkan dalam
occasion (peristiwa) lain, seperti misalnya kematian, kecelakaan, martandang
(menemui dan berbicara dengan gadis-gadis yang diharapkan dapat dipinang),
atau hanya untuk sekedar penyampaian nasehat, dlsb.

Karena jambar hata (dalam occasion apapun) seringkali menuntut, atau lebih baik
ditutup atau disimpulkan melalui pengucapan umpama (umpasa), maka ada
baiknya kami sajikan beberapa di antaranya untuk dikaji/dipelajari oleh generasi
muda.

Yang disajikan di bawah hanyalah umpama (umpasa) yang kami anggap


sederhana atau paling dasar, merupakan standar yang tidak terlalu sulit digunakan
secara umum, dalam berbagai acara (occasion) itu. Kami menyajikan menurut
kelompok penggunaannya.

1. Umpama dan tanya-jawab pembuka dalam hal menerima/penyampaian

makanan adat:

Dimulai dengan kata basa-basi (prosa) pembuka dari si penanya, maka perlu
disambung dengan:

Asa, danggur-dangur barat ma tongon tu duhut-duhut

Nunga butong hita mangan, mahap marlompan juhut,

Ba haroan ni ulaonta on, dipaboa amanta suhut.

Atau: Ba, dia ma langkatna, dia unokna

Dia ma hatana, dia nidokna,

Haroan ni ulaonta on,

Tung tangkas ma dipaboa amanta suhut

Respons si-pemberi (pembawa) makanan:

Kata basa-basi pembukan (prosa), dan disambung:

Asa bagot na marhalto ma na tubu di robean

Ba horas ma hamu na manganhon, tu gandana ma di hami na mangalean

Ekstra:

Taringot di sipanganon na hupasahat hami rajanami

Molo tung na mangholit hami, sai ganda ma na hinolit tu joloansa on

Dan ditutup dengan:

Anggo sintuhu ni sipanganon masak na hupasahat hami

Ba, panggabean, parhorasan do rajanami (tu hula-hula); tu hamu raja ni haha-


anggi

(bila makanan itu untuk kawula yang berkakak-adik)


Sambungan sapaan-pertanyaan dari si penerima makanan:

Dimulai lagi dengan kata basi-basi, dan disambung dengan:

Antong raja ni ……….; Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola

Asa tangkas hita maduma, tangkasan hita mamora.

Jadi, asa songon hata ni natua-tua do dohonon:

Siangkup ninna, songon na hundul, jala siudur songon na mardalan

Ba, angkup ni angka na uli na denggan, tung tungkas ma dipaboa amanta suhut,

Asa adong sibegeon ni pinggol, sipeopon ni roha.

Jawaban penutup:

I ma tutu rajanami, nunga apala dipadua hali raja i manungkun

Ba saonari, tung tangkas ma antong paboaonnami:

Anggo siangkupna dohot sidonganna rajanami, ima:……..

(dia ceritakan secara singkat dalam bentuk prosa, maksud tujuan acara adat itu)

2. Umpama dalam berbagai perhelatan, yang memintakan berkat:

a. Perkawinan (kepada penganten)— Biasanya umpama ini harus disampaikan


dengan jumlah ganjil; mis: satu, tiga, lima, tujuh dsb. Di zaman modern ini di
perantauan (karena soal faktor keterbatasan waktu), terutama bagi generasi muda,
boleh saja mengucapkan hanya satu saja. Kalau mampu menghafalnya, boleh
sampai tiga umpama:

Contoh:

1) Bintang na rimiris ma, tu ombun na sumorop Asa anak pe antong di hamu riris,
boru pe antong torop

2) Tubuan laklak ma, tubuan sikkoru di dolok ni Purbatua Sai tubuan anak,
tubuan boru ma hamu, donganmu sarimatua

3) Pir ma pongki, bahul-bahul pansalongan Sai pir ma tondimuna, jala tongtong


hamu masihaholongan

4) Pinantik hujur tu jolo ni tapian


Tusi hamu mangalangka, tusi ma dapot parsaulian

5) Pangkat-hotang.Tu dia hamu mangalangka, tusi ma dapot pangomoan

6) Tangki jala hualang, garinggang jala garege

Tubuan anak ma hamu, partahi jala ulubalang

Tubuan boru par-mas jala pareme.

7) Tubu ma hariara, di tonga-tonga ni huta

Sai tubu ma anak dohot borumu

Na mora jala na martua

Kalau “umpama” diucapkan (disampaikan) hanya satu (single) di antara umpama


di atas, tak tak perlu ada umpama penutup. Tapi kalau menyampaikan dua atau
empat, atau bahkan enam, sebaiknya ditutup dengan umpama pembuat jumlah-
ganjil berikut:

Asa, sahat-sahat ni solu ma, sahat tu bontean

Sai sahat ma hita on sude mangolu,

Sahat ma tu parhorasan, sahat tu panggabean.

Bila kita harus menyampaikan ulos pansamot (kepada orangtua penganten laki-
laki) atau kepada besan kita: beberapa umpama yang relevan antara lain adalah:

1) Andor halukka ma patogu-togu lombu

Saur ma hamu matua, patogu-togu pahompu

2) Eme sitamba-tua ma parlinggoman ni siborok

Tuhanta Debata do silehon tua, sude ma hita on diparorot

3) Tubu ma dingin-dingin di tonga-tonga ni huta

Saur ma hita madingin, tumangkas hita mamora

4) Sitorop ma dangkana, sitorop rantingna

Sitorop ma nang bulungna


Sai torop ma hahana, torop anggina

Torop ma nang boruna

Umpama di atas, dapat pula dipakai untuk memberikan kata berkat/pasu-pasu


kepada pihak lain, termasuk dalam bentuk acara “selamatan” lain-lain; dan tentu
saja sebaiknya ditutup dengan ”Sahat-sahat ni solu……dst.”.

b. Tuntunan dari pihak hula-hula kepada pihak boru, karena menerima permintaan
bimbingan (paniroion) terhadap pembicaraan pihak-suhut dengan pihak besan-
nya:

Lebih dahulu mengucapkan kata basa-basi tuntunan secara “prosa”, dan diakhiri
dengan puisi (umpama) berikut:

Asa balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan

Arimuna ma gabe, ai nunga hamu masipaolo-oloan

c. Mangampu (mengucapkan kata sambutan terimaksih) terhadap kata-kata


ucapan syukur dari pihak hula-hula, atau pihak lain untuk kita:

Setelah mengucapkan kata-kata mangampu secara “prosa”, maka diakahiri


dengan puisi (umpama) berikut:

1). Asa turtu ma ninna anduhur, tio ninna lote

Sude hata na denggan, hata nauli na pinasahatmuna i

Sai unang ma muba, unang ma mose.

2). Tingko ma inggir-inggir, bulungna i rata-rata

Di angka pasu-pasu na nipinasahatmuna, pasauthon ma Tuhanta Debata

3). Asa naung sampulu pitu ma, jumadi sampulu-alu

Sude hata na uli na pinsahatmunai, ampuonnami ma i martonga ni jabu.

d. Umpama oleh Raja-parhata dari pihak parboru dalam hal mengucapkan dan
akan membagi uang “ingot-ingot” (setelah menerima porsi dari pihak paranak
untuk digabungkan):

Nunga jumpang tali-aksa ihot ni ogung oloan


Nunga sidung sude hata, ala tangkas do hita masipaolo-oloan

Bulung ni losa ma tu bulung ni indot

Bulung motung mardua rupa,

Sude na tahatai i ingkon taingot

Asa unang adong hita na lupa ….; Ingot-ingot; ingot-ingot; ingot-ingot.

e. Umpana dalam waktu menutup pembicaraan dalam pesta-kawin: dengan cara


membagi uang “Olop-olop,” oleh Raja-parhata fihak parboru, setelah menerima
porsi uang olop-olop dari fihak paranak untuk digabungkan:

Asa binanga ni Sihombing ma binongkak ni Tarabunga

Tu sanggar ma amporik, to lombang ma satua

Sinur ma na pinahan, jala gabe na niula

Simbur magodang angka dakdanak songon ulluson pura-pura

Hipas angka na magodang tu pengpengna laho matua

Horas pardalan-dalan, mangomo nang partiga-tiga

Manumpak ma Tuhanta dihorasi hita saluhutna,…

Asa aek siuruk-uruk, ma tu silanlan aek Toba

Na metmet soadong marungut-ungut, na magodang sude marlas ni roha…

Olop-olop; olop-olop; olop-olop.

f. Dukacita: Hanya dalam keadaan duka-cita yang mendalam, karena kematian di


luar bentuk “saur-matua” (terkadang juga di luar “sarimatua”):

Setelah mengucapkan kata-kata penghiburan dalam bentuk prosa; maka ditutup


dengan puisi (umpama):

Asa songon hata ni umpama ma dohononku:

Bagot na madungdung ma, tu pilo-pilo na marajar

Sai salpu ma angka na lungun, sai ro ma angka na jagar.


Atau: Hotang binebebe, hotang pinulos-pulos

Unang hamu mandele, ai godang do tudos-tudos.

g. Nasehat: untuk yang tak mungkin menikmati/memperoleh lagi sesuatu seperti


di masa lalu:

Ndang tardanggur be na gaung di dolok ni Sipakpahi

Ndang haulahan be na dung, songon sibokka siapari.

komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil
yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena
penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru.

Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi
atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta
disebut horja.

Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan
duniawi. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion.

Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion

Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang kita
terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib.
Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada
kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur
masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya.

Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial
kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk
pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan.

Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap
memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa
memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga.

Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-
buahan diantaranya adalah:

* Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yang dimasak dan dipotong sesuai
potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian
atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang.
Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere,
bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua
bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika
hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.

* Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi
tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian
dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu
cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng,
merica, buah pala dan jintan.
Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan
ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran
sedang.

* Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai
potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung,
rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci
dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh.

Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini
nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.

* Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang
sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai
matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.

* Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan
dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi
semangat.

* Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula
merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani
hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-
mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.

* Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa
digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan
menggunakan jari/genggaman.

* Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan
terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas,
serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan.
Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang
diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
* Anggir pangurason yakni air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan
dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.

* Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang
dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.

* Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti
pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.

* Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai terbesar
Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai perlambang kunci
persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan di atas meja persembahan
bersama bahan sajen lainnya.

* Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara
penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan
jeruk purut dan bunga raya merah.

* Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan
tembakau.

* Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat
Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai
pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju.

Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial.
Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu
tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah
satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na
Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah
yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata
Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.

* Perlengkapan lainnya adalah “Dupa” tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang
diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan
dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan
menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.

* Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong


(gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal
(Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune.

Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang
dilakukan nenek moyang kita BatakToba yang terdahulu dan disamping itu mereka
hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik
wisatawan kedaerah Batak.

You might also like