Professional Documents
Culture Documents
Batak
Dalihan Natolu sebagai system kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang
tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan
Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. Sistem
kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan
hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa […]
Dalihan Natolu sebagai system kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang
tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan
Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. Sistem
kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan
hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau
TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai
“tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang
sama, ‘3 POSISI PENTING’ dalam kekerabatan orang Batak yang terdiri dari :
1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di
atas”, yaitu keluarga marga pihak istri. Relasinya disebut SOMBA SOMBA
MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri. “Hula-
Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-
hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang
dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya
seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. Dasar utama dari filosofi
ini adalah bahwa dari fihak marga istri lah seseorang memperoleh “berkat” yang
sangat didominasi oleh peran seorang istri dalam keluarga. Berkat hagabeon
berupa garis keturunan, hamoraon karena kemampuan dan kemauan istri dalam
mengelola keuangan bahkan tidak jarang lebih ulet dari suaminya, dan dalam
hasangapon pun peran itu tidak kurang pentingnya. Somba marhulal-hula supaya
dapat berkat.
2. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara
perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Boru
adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru Hombing adalah anak
perempuan dari marga Sihombing. Prinsip hubungan nya adalah ELEK
MARBORU artinya harus dapat merangkul boru/sabar dan tanggap. Dalam
kesehariannya, Boru bertugas untuk mendukung/membantu bahkan merupakan
tangan kanan dari Hula-hula dalam melakukan suatu kegiatan. Sangat diingat oleh
filosofi ELEK MARBORU, bahwa kedudukan “di bawah” tidak merupakan garis
komando, tetapi harus dengan merangkul mengambil hati dari Boru - nya
3. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya
“sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga .Prinsip Hubungannya adalah MANAT
MARDONGAN TUBU, artinya HATI-HATI menjaga persaudaraan agar
terhindar dari perseteruan.
Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan
bermasyarakat.Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki
ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati
posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na Tolu,
adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status
seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring
atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah
realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan
Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya
mengandung nilai nilai yang universal.
Namun ada beberapa hal negatif dari budaya batak yang harus kita tinggalkan, misalnya
budaya banyak bicara sedikit bekerja. Memang orang batak terkenal pintar berbicara. Hal
ini terlihat dari banyaknya pengacara-pengacara batak yang sukses. Akan tetapi
kepintaran berbicara ini sering disalahgunakan untuk membolak-balikan fakta. Yang
hitam bisa jadi putih dan yang putih bisa jadi hitam ditangan pengacara batak (walaupun
tidak semua). Hal lain yang negatif adalah budaya “HoTeL”. HoTeL adalah singkatan
dari: Hosom yang artinya dendam. Konon orang batak suka mendendam sesama saudara.
Teal yang artinya sombong, yang dapat terlihat dari cara bicara, sikap hidup, dll. Late
yang artinya Iri Hati. Apakah HoTeL ini hanya ada pada orang Batak saja? Kita sebagai
generasi muda harus dapat mempertahankan budaya yang positif dan meninggalkan yang
negatif.
A. Keterangan pembuka:
Dalam kehidupan & budaya orang Batak, setidak-tidaknya dikenal lima jenis
jambar, yakni: jambar ulos; jambar juhut (daging); jambar hepeng (uang); jambar
hata; jambar pasahathon pasu-pasu (untuk memimpin doa dalam suatu acara
khusus, sesuai dengan agama/iman kepercayaan kelompok yang
menyelenggarakan acara).
3. Pada dasarnya, penerima jambar hata selalu terdiri dari beberapa orang dalam
kelompoknya. Sehingga mereka dapat memilih/menghormati salah satu di antara
mereka untuk menyampaikannya (biasanya yang tertua, baik menurut umur
maupun menurut kedudukan dalam “tarombo”; kalau memang mampu. Kalau
tidak, jambar akan digeserkan kepada yang lebih muda, dsb).
Ada kalanya kelak, orang-orang tua atau yang dituakan dalam kelompok, sudah
menjadi sangat langka, atau tidak punya kemampuan menerima kehormatan
“jambar hata.” Karena itu, generasi yang lebih muda harus mempelajari atau
mempersiapkan diri untuk itu, kalau mereka sadar bahwa adat Batak perlu
dilestarikan.
Karena jambar hata (dalam occasion apapun) seringkali menuntut, atau lebih baik
ditutup atau disimpulkan melalui pengucapan umpama (umpasa), maka ada
baiknya kami sajikan beberapa di antaranya untuk dikaji/dipelajari oleh generasi
muda.
makanan adat:
Dimulai dengan kata basa-basi (prosa) pembuka dari si penanya, maka perlu
disambung dengan:
Ekstra:
Antong raja ni ……….; Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola
Ba, angkup ni angka na uli na denggan, tung tungkas ma dipaboa amanta suhut,
Jawaban penutup:
(dia ceritakan secara singkat dalam bentuk prosa, maksud tujuan acara adat itu)
Contoh:
1) Bintang na rimiris ma, tu ombun na sumorop Asa anak pe antong di hamu riris,
boru pe antong torop
2) Tubuan laklak ma, tubuan sikkoru di dolok ni Purbatua Sai tubuan anak,
tubuan boru ma hamu, donganmu sarimatua
Bila kita harus menyampaikan ulos pansamot (kepada orangtua penganten laki-
laki) atau kepada besan kita: beberapa umpama yang relevan antara lain adalah:
b. Tuntunan dari pihak hula-hula kepada pihak boru, karena menerima permintaan
bimbingan (paniroion) terhadap pembicaraan pihak-suhut dengan pihak besan-
nya:
Lebih dahulu mengucapkan kata basa-basi tuntunan secara “prosa”, dan diakhiri
dengan puisi (umpama) berikut:
d. Umpama oleh Raja-parhata dari pihak parboru dalam hal mengucapkan dan
akan membagi uang “ingot-ingot” (setelah menerima porsi dari pihak paranak
untuk digabungkan):
komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil
yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena
penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru.
Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi
atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta
disebut horja.
Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan
duniawi. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion.
Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang kita
terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib.
Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada
kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur
masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya.
Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial
kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk
pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan.
Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap
memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa
memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga.
Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-
buahan diantaranya adalah:
* Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yang dimasak dan dipotong sesuai
potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian
atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang.
Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere,
bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua
bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika
hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.
* Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi
tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian
dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu
cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng,
merica, buah pala dan jintan.
Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan
ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran
sedang.
* Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai
potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung,
rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci
dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh.
Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini
nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
* Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang
sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai
matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.
* Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan
dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi
semangat.
* Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula
merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani
hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-
mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
* Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa
digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan
menggunakan jari/genggaman.
* Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan
terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas,
serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan.
Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang
diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
* Anggir pangurason yakni air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan
dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.
* Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang
dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
* Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti
pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
* Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai terbesar
Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai perlambang kunci
persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan di atas meja persembahan
bersama bahan sajen lainnya.
* Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara
penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan
jeruk purut dan bunga raya merah.
* Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan
tembakau.
* Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat
Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai
pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju.
Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial.
Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu
tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah
satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na
Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah
yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata
Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
* Perlengkapan lainnya adalah “Dupa” tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang
diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan
dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan
menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.
Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang
dilakukan nenek moyang kita BatakToba yang terdahulu dan disamping itu mereka
hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik
wisatawan kedaerah Batak.