Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Enung Nurhayati 20080010010
Ine Anggraeni 20080010006
Suhendra Atmaja 20080010009
PASCASARJANA KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2011
DAFTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ………………………….……………………………….
B.Tujuan Penulisan Makalah …………………….…………………………………….
BAB.III
A. Paparan Kasus & Konsep Tiga Gaya Kepemimpinan ………………………………….
BAB IV PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia
selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungannya. Manusia hidup berkelompok
baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan
yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan
hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan, menciptakan &
menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Sebagai mahluk Alloh yang menempati derajat tertinggi diantara mahluk lainnya,
Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah & memilih mana
yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola
lingkungan serta kehidupan sosialnya dengan baik. Untuk itu dibutuhkan sumber daya manusia
yang berkualitas dan berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri. Dengan
berjiwa pemimpin manusia diharapkan akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan
dengan baik.
Berkaitan dengan masalah apa sebenarnya kepemimpnan itu dan bagaimana gaya kepemimpinan
itu, maka yang menjadi pembahasan adalah hal-hal yang berkaitan dengan :
1. Apakah Makna Kepemimpinan itu?
2. Bagaimanakah Teori-Teori Kepemimpinan itu?
3. Bagaimanakah Tipe / gaya Kepemimpinan?
BAB II
Landasan Teoritis
A.Makna Kepemimpinan
Dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan
titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi.
Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123).1
Sedangkan menurut Robbins “Kepemimpian adalah kemampuan untuk mempengaruhi
suatu kelompok untuk mencapai tujuan”. 2 Sementara menurut Ngalim Purwanto
Kepemimpinan adalah ” sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian,
termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan
yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa”. 3
Dari pengertian diatas kepemimpinan mengandung beberapa unsur pokok antara lain:
1) Kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi tempat
pemimpin dan anggotanya berinteraksi.
2) Di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi bawahan
oleh pemimpin, dan
3) Adanya tujuan bersama yang harus dicapai.
Beberapa pendapat ahli mengenai Kepemimipinan :
1. Menurut John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan
mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.4
2. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui
proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu.5
1
Thoha, Perilaku Organisasi, CV. Rajawali, Jakarta 1983
2
Robbins, Stephen Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Remaja Rosdakarya, Bandung 2002
3
Purwanto, M. Ngalim. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung 1991.
4
Ahmadi, Psikologi Sosial. Rineka Cipta, 1999. Hal 124-125
5
Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24
3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan) pada
kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan.6
4. Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk
mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.7
5. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.8
6. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur
untuk mencapai adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui
proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu.9
7. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka
mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.10
8. Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian,
termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan
yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.11
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu
pada situasi tertentu. Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi
interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan
bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari
sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-
program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan
organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka
mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.
6
Jacobs & Jacques, 1990, 281
7
Slamet, 2002: 29
8
Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7
9
Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29
10
Thoha, 1983:123
11
Ngalim Purwanto ,1991:26
1. Pendayagunaan Pengaruh
2. Hubungan Antar Manusia
3. Proses Komunikasi, dan
4. Pencapaian Suatu Tujuan.
B.Teori-Teori Kepemimpinan
Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana
kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang
produktifitas organisasi secara keseluruhan. Seorang pemimpin harus mengerti tentang teori
kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi.
Dari sekian banyak model teori dan analisis, berikut ini adalah enam sistem popular yang
dapat menjelaskan gaya kepemimpinan12:
1. Teori Kisi Kepemimpinan (Blake dan Mouton, 1964)
Teori ini awalnya disebut sebagai kisi manajerial (managerial grid), kemudian sejak tahun
1991 disebut sebagai kisi kepemimpinan (leadership grid). Kisi ini berasal dari hal-hal yang
mendasari perhatian manajer; perhatiannya pada tugas atau pada hal-hal yang direncanakan
untuk diselesaikan oleh organisasi, dan perhatian pada orang-orang dan unsur-unsur
organisasi yang memengaruhi mereka. Kisi ini menggambarkan bagaimana perhatian
pemimpin pada tugas dan manusia berkelindan sehingga menciptakan gaya pengelolaan dan
kepemimpinan.
a. Gaya Pengalah (impoverished style) yang ditandai oleh kurangnya perhatian terhadap
produksi, ia cenderung menerima keputusan orang lain, serta menghindari sikap memihak.
b. Gaya Pemimpin Pertengahan (middle of the road style), ditandai dengan perhatian yang
seimbang antara terhadap produksi dan manusia. Bila terdapat perbedaan sikap dan
12
Pace&faules, Komunikasi Organisasi: 280-
gagasan ia berusaha untuk jujur tapi tegas dan mencari pemecahan yang tidak memihak. Ia
berusaha mempertahankan agar keadaan tetap baik dan stabil.
c. Gaya Tim (team style), gaya ini memberikan perhatian yang tinggi terhadap tugas dan
manusia. Ia menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian dan
kesepakatan anggota organisasi.
d. Gaya Santai (country club style), gaya ini ditandai oleh rendahnya perhatian terhadap
tugas tetapi tinggi terhadap manusia. Ia lebih suka mendengar pendapat, sikap, dan
gagasan dari orang lain daripada memaksakan kehendaknya. Ia lebih bersifat menolong
daripada memimpin.
e. Gaya Kerja (task style), gaya ini ditandai dengan perhatian yang tinggi terhadap
pelaksanaan tugas tetapi kurang memperhatikan manusianya. Pemimpin seperti ini sangat
menjunjung tinggi keputusan yang telah dibuat dengan perhatian utama adalah
pelaksanaan dan penyelesaian kerja secara efisien.
Kisi 3D menghasilkan delapan gaya kepemimpinan yang terbagi dalam dua jenis gaya
utama yakni lebih efektif dan kurang efektif. Manfaat gaya lebih efektif kurang lebih sama
tergantung pada situasi yang dihadapi. Ada saatnya seorang manajer menggunakan keempat
gaya secara bersamaan, tetapi di saat menjalankan tugas lain hanya menggunakan satu atau
dua gaya secara konsisten.
3. Teori Kepemimpinan Situasional (Hersey dan Blanchard, 1974, 1977)
Konsep kepemimpinan ini dikembangkan dari penelitian di Ohio State University
(Stogdill & Coons, 1957), penelitian ini menunjukkan banyak kemiripan dengan teori yang
dikemukakan Blake dan Mouton yaitu ada dua dimensi gaya kepemimpinan yakni struktur
pertimbangan dan pengawalan, kisi yang dihasilkan juga serupa.
Hersey dan Blanchard memperkenalkan kematangan sebagai variabel ketiga. Mereka
menyebut bahwa perbedaan antara gaya efektif dan tidak efektif seringkali bukan hanya
karena perilaku pemimpin yang sesungguhnya tetapi lebih pada masalah kecocokan antara
perilaku dengan situasi yang dihadapi. Faktor yang menentukan efektivitas dijelaskan
sebagai tingkat kesiapan anak buah yang meliputi kesediaan seseorang untuk bertanggung
jawab.
Dari penelitian tersebut disimpulkan ada empat gaya kepemimpinan situasional yaitu;
a. Memberitahu (Telling). Tugas berat hubungan lemah; ditandai hubungan komunikasi satu
arah, pemimpin menentukan peranan anak buah dan memberitahu apa, dimana, kapan, dan
bagaimana cara melaksakan berbagi macam tugas.
b. Mempromosikan (Selling). Tugas berat hubungan kuat; ditandai hubungan komunikasi
dua arah, meskipun semua pengaturan dilakukan pemimpin, ia menyediakan dukungan
sosioemosional supaya anak buah turut bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan.
c. Partisipasi (Partcipate). Hubungan kuat tugas berat. Ditandai pemimpin dan anak buah
sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan melalui komunikasi dua arah yang
sebenarnya. Pemimpin lebih banyak memberikan kemudahan karena anak buah memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
d. Mewakilkan (Delegating). Hubungan lemah tugas ringan. Ditandai dengan pemimpin
membiarkan anak buah bertanggung jawab atas keputusan mereka. Pemimpin
mendelegasikan kewenangannya karena anak buah mempunyai tingkat kesiapan yang
tinggi, bersedia dan mampu bertanggung jawab untuk mengatur perilaku mereka sendiri.
Berlawanan dengan teori Blake dam Mouton dan Reddin, Hersey dan Blanchard gaya ini
paling besar memberikan hasil terbaik karena didukung tingkat kesiapan anak buah.
4. Teori Empat Sistem (Likert, 1967)
Likert menemukan empat gaya kepemimpinan atau sistem manajerial yang berdasarkan pada
suatu analisis atas delapan variabel yaitu kepemimpinan, motivasi, komunikasi, interaksi,
pengambilan keputusan, penentuan tujuan, pengendalian, dan kinerja. Likert membagi gaya
kepemimpinan dengan kriteria sebagai berikut:
a. Penguasa mutlak (exploitive authoritative), gaya ini berdasarkan pada asumsi teori X
McGregor. Pemimpin memberikan bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada
pegawai dengan anggapan bahwa cara terbaik untuk memotivasi pegawai adalah dengan
cara memberikan rasa takut, ancaman, dan hukuman. Interaksi atasan bawahan amat
sedikit, semua keputusan berasal dari atas dan komunikasi ke bawah semata-mata berisi
instruksi atau perintah.
b. Penguasa semi mutlak (benevolent authoritative), gaya ini pada dasarnya bersifat
otoritarian tetapi mendorong komunikasi ke atas untuk ikut berpendapat maupun
mengemukakan keluhan bawahan tetapi interaksi di antara tingkatan dalam organisasi
dilakukan melalui jalur resmi. Komunikasi yang terjadi jarang bersifat bebas dan terus
terang.
c. Penasihat (consultative), gaya ini melibatkan interaksi yang cukup sering pada tingkat
pribadi sampai moderat antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Informasi berjalan
baik atas ke bawah maupun bawah ke atas dengan sedikit penekanan bahwa ide dan
gagasan berasal dari atas. Manajer menaruh kepercayaan besar meskipun tidak mutlak
dan adanya keyakinan pada pegawai.
d. Pengajakserta (participate), gaya ini amat sportif dengan tujuan agar organisasi berjalan
baik dengan adanya partisipasi pegawai. Informasi berjalan ke segala arah dan
pengendalian dilakukan di setiap tingkatan. Orang berkomunikasi secara bebas dan
terbuka tanpa ada rasa takut terhadap hukuman. Secara umum sistem komunikasi formal
dan informal identik dan menjamin integrasi tujuan pribadi dan tujuan organisasi yang
sebenarnya.
BAB III
ANALISIS GAYA KEPEMIMPINAN SBY
B. Paparan Kasus & Konsep Tiga Gaya Kepemimpinan
1. Gaya Otoriter
Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan yang menekankan pada perintah,
mengambil keputusan personal dan meminta bawahan untuk mematuhinya. Walaupun
kepemimipinan otoriter sedikit disenangi bawahannya namun kepemimpinan otoriter sangat
tepat digunakan saat krisis.(Macionis, 2008)
Dalam kepemimpinan ini, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota – anggota
kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Batasan
kekuasaan dari pemimpin otoriter hanya dibatasi oleh undang – undang. Bawahan hanya
bersifat sebagai pembantu, kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah
dan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia kepada
pemimpin secara mutlak.
KELEBIHAN:
a. Keputusan dapat diambil secara cepat dan efisien
b. Mudah dilakukan pengawasan (controling)
c. Sangat cocok digunakan pada saat kelompok mengalami krisis
KELEMAHAN:
a. Pemimpin tidak menghendaki rapat atau musyawarah.
13
Macionis, 2008
b.Setiap perbedaan di antara anggota kelompoknya diartikan sebagai kelicikan,
pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah
diberikan oleh pemimpin.
c. Inisiatif dan daya pikir anggota sangat dibatasi, sehingga tidak diberikan kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya.
d.Pengawasan bagi pemimpin yang otoriter hanyalah berarti mengontrol, apakah segala
perintah yang telah diberikan ditaati atau dijalankan dengan baik oleh anggotanya.
e.Mereka melaksanakan inspeksi, mencari kesalahan dan meneliti orang – orang yang
dianggap tidak taat kepada pemimpin, kemudian orang – orang tersebut diancam dengan
hukuman, dipecat, dsb. Sebaliknya, orang – orang yang berlaku taat dan menyenangkan
pribadinya, dijadikan anak emas dan bahkan diberi penghargaan.
f. Kekuasaan berlebih ini dapat menimbulkan sikap menyerah tanpa kritik dan kecenderungan
untuk mengabaikan perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan langsung
g. Dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat apatis.
2. Gaya Demokratik
Meskipun nampaknya kurang terorganisasi dengan baik, namun gaya ini dapat berjalan dalam
suasana yang rileks dan memiliki kecenderungan untuk menghasilkan produktivitas dan
kreativitas, karena gaya kepemimpinannya ini mampu memaksimalkan kemampuan yang
dimiliki para anggotanya.
Gaya ini tidak berdasarkan pada aturan-aturan. Seorang pemimpin yang menggunakan gaya
kepemimpinan ini menginginkan seluruh anggota kelompoknya berpartisipasi tanpa
memaksakan atau menuntut kewenangan yang dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin
ini cenderung berlaku sebagai seorang penghubung yang menghubungkan kontribusi atau
sumbangan pemikiran dari anggota kelompoknya. Jika tidak ada yang mengendalikannya,
kelompok yang memakai gaya ini akan menjadi tidak terorganisasi, tidak produktif dan
anggotanya akan apatis, sebab mereka merasa bahwa kelompoknya tidak memiliki maksud
dan tujuan yang hendak dicapai. Walau begitu, dalam situasi tertentu khususnya dalam
kelompok terapi, gaya kepemimpinan laissez-faire ini adalah yang paling layak dan efektif
dari gaya-gaya kepemimpinan terdahulu.
1. Otoriter
Menurut pendapat kami gaya kepemimpinan SBY apabila ditinjau dari gaya
kepemimpinan otoriter, seorang SBY merupakan sosok pemimpin negara yang sedikit menganut
gaya kepemimpinan otoriter, walaupun secara dominan menganut gaya kepemimpinan
demokrasi sesuai dengan asas demokrasi yang dianut oleh negara ini (Indonesia). Dari proses
pengambilan kebijakan, SBY tidak melakukannya sendiri namun melalui persetujuan pihak-
pihak yang berwenang dan terkait misalkan DPR, MPR, MA dan lain-lain.
Namun dalam kondisi negara krisis peran SBY untuk menganut gaya kepemimpinan
otoriter sangatlah diperlukan karena pada kondisi tersebut diperlukan tindakan yang cepat dan
tepat. Namun dalam proses kepemimpinannya banyak sekali masalah masalah yang timbul
terutama masalah korupsi di Indonesia yang sudah mendarah daging yang sulit diberantas dan
merupakan tugas wajib bagi seorang pemimpin untuk menyelesaikannya.
Menurut kelompok kami, SBY merupakan sosok yang kurang tegas, sikap kurang tegas
SBY sangat tampak terutama dalam proses penegakan hukum, dimana banyak pejabat-pejabat
yang bermasalah dengan hukum dan kemudian bersembunyi dan berlindung pada SBY (dengan
dalih koalisi ). Sikap tidak tegas SBY tentunya dipengaruhi oleh beberapa factor seperti halnya
kepentingan koalisi, mengingat kemenangan SBY dalam Pemilu selama 2 periode berturut-turut
lebih dikarenakan koalisi dari pada perolehan suara tunggal. Sehingga dalam perjalanan
pemerintahannya SBY dibebani dengan berbagai kepentingan Koalisi yang akhirnya
mempengaruhi gaya kepemimpinan SBY yang terkesan kurang tegas bahka tidak tegas.
Selain itu latar belakang budaya SBY yang berasal dari suku jawa, mungkin juga turut
mempengaruhi gaya kepemimpinannya. seperti pengadopsian filsafat Jawa yaitu rasa “pekewuh”
atau rasa sungkan yang menimbulkan perasaan tidak enak atau tidak etis apabila mengadili
teman sejawat. Rasa inilah yang harus dihilangkan oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus bisa
bersikap dan bertindak objektif dan tegas demi kepentingan publik.
Terlepas dari segala kekurangan dari kepemimpinan SBY, tentu ada sisi positif dari segi
kepemimpinan SBY dimana SBY adalah tipe pemimpin yang baik dalam mentransformasikan
gaya kepemimpina otoriter ke demokratis.
2. Laissez faire
Dari sini dapat disimpulkan ada beberapa kondisi dimana seorang pemimpin tidak harus
turun tangan memberikan instruksi yang harus dikerjakan kepada anggotanya dikarenakan
masalah memerlukan pemecahan dengan waktu yang singkat dan anggota yang sudah ahli di
bidang tersebut, dalam kasus ini yaitu bidang pertahanan.
3. Demokratis
\
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
C.N. Cooley dalam “ The Man Nature and the Social Order’
Ahmad Rusli dalam kertas kerjanya Pemimpin Dalam Kepimpinan Pendidikan (1999)
Tak berlebihan kita bertanya demikian. Presiden keenam kita memang terlihat begitu santun, sampai-sampai
nampak bagai seorang ‘penakut’, tak terlihat garang.
Ketakutan seorang penguasa, seperti ditunjukan oleh beberapa pemimpin di Timur Tengah adalah ketika hendak
kehilangan atau pun saat kekuasaannya diganggu. Bahkan demi mempertahankan kekuasaan, ada pemimpin yang
menjadi moster bagi rakyatnya, presiden Libia, Kadhafi.
Sebagian negara di Timur Tengah yang baru menikmati badai revolusi menunjukan kekuasaan itu nikmat. Sikap
penguasa yang menolak desakan mundur membuktikan bahwa adalah kebodohan kalau melepaskan kekuasaaan
secara suka rela. Untuk mempertahankan kekuasaan, mereka pun melakukan cara-cara picik. Akibatnya, rakyat
yang seharusnya mereka lindungi, pun ditembakinya.
Kerap kali, konflik antara rakyat dan pemimpin ditimbulkan oleh adanya rasa terancam. Para pemimpin bisa
berubah menjadi pembunuh dan garang kalau kekuasaan serta posisinya sedang mengalami guncangan. Pemimpin
yang dulunya nampak baik, terlihat begitu santun, dan menjadi pahlawan pada zamannya, pun suatu saat bisa
berubah menjadi penjahat.
Umumnya, perubahan sikap pemimpin itu disebabkan oleh upaya mempertahankan kekuasaan. Jarang terjadi
seorang pemimpin berubah menjadi garang hanya karena ingin menegakan hukum, ataupun karena ingin
melindungi rakyatnya dari ketidakadilan. Yang sering, mereka menjadi garang dan bersikap serius hanya karena
membela kepentingannya.
Bagaimana dengan penguasa Indonesia? Sejak memulai kiprah politiknya di tahun 2004, SBY cukup mencuri
perhatian publik. Gaya berkomunikasi yang (nampak) santun, berbahasa Indonesia baik dan benar, serta pernah
menjadi korban sikap politik (arogan) Megawati menjadi modal kuat yang membawanya ke tampuk kekuasaan.
SBY begitu diharapkan membawa perubahan menuju perbaikan kehidupan berbangsa. Reformasi birokrasi yang
dalam proses menuju perbaikan diharapkan maksimal di bawah kepemimpinannya. Penegakan hukum, serta
komitmen terhadap kebhinekaan dan kemajemukan dirasa memadai berada di tangan SBY. Kesantunan yang
terlihat dalam pencitraannya cukup memberi dampak positif di mata publik. Soal akting menjadi korban, SBY
adalah ahlinya.
Kehebatan itu membuat Sinar Harapan(SH) dalam Tajuk Rencana hari ini (15/03), memberi sapaan positif terhadap
penyataan SBY kaitan pemberitaan The Age dan The Sydney Morning Herald menyangkut surat kawat diplomat AS
yang dibocorkan Wikileaks. Kata SBY, “Percayalah, saya mempertanggungjawabkan apa yang saya lakukan. Saya,
insya Allah, akan tetap menjaga integritas karena itulah tugas saya sebagai pemimpin.” “Penyataan SBY Sangat
Positif”, demikian judul tajuk rencana SH.
Respon presiden muncul mengingat pemberitaan surat kawat itu cukup memberi guncangan baginya. Ini terlihat
dari sikap reaktif yang ditunjukan oleh banyaknya orang dalam istana yang mengeluarkan penyataan. Bahkan,
beredar kabar Ibu Ani Yudhoyono, istri SBY, sampai menangis mendengar kabar pemberitaan itu. Bagaimana tidak,
SBY dan kroninya dituding telah melakukan berbagai penyimpangan yang melanggar hukum (konstitusi) dalam
menjalankan kekuasaan. Tuduhan ini tentu serius, sebab besar kemungkinan hal itu menjatuhkan legitimasi
kepemimpinannya, SBY pun bisa dicopot dari jabatan.
Dari sisi tertentu, penyataan SBY itu adalah baik. Publik bisa melihat ada pertanggungjawaban serta komitmen dari
SBY dalam menyikapi persoalan ini. Namun, dari sisi lain, sikap dan penyataan SBY kian membuktikan bahwa
seorang pemimpin baru terlihat amat gelisah kalau kepentingan diri dan kekuasaannya mengalami guncangan.
Padahal, tidak semua guncangan pasti menimbulkan tsunami yang mengulingkannya.
Dalam catatan, SBY adalah salah satu pemimpin negeri yang kerap berkeluh kesah, bentuk lain kegarangannya. SBY
sering kali nampak garang, terlihat serius, dan suka mencari dukungan politik publik, saat dirinya mengalami
ancaman. Ambil contoh kasus foto wajah SBY yang dijadikan sasaran tembak latihan para teroris. Publik pun kaget
mendengar curahkan “penakut” itu.
Sikap tegas ala-SBY juga bisa ditunjukan saat merespon kebijakan membelot parpol anggota koalisinya (PKS dan
Golkar). SBY secara tegas menegur dan mengingatkan akan mengeluarkan mereka dari koalisi-otomatis akan ada
perombakan kabinet, mengurangi jatah menteri, dst. Ketegasan itu membuat SBY lupa, bahwa koalisi adalah
urusan internal Partai Demokrat dan dirinya, yang tidak mencakup kepentingan masyarakat luas. Maka, mestinya
polemik itu tak menjadi keharusan diwacanakan ke ruang publik. Hal itu cukup diselesaikan di ruang tertutup.
Apalagi, sejak pembentukannya, koalisi selalu sibuk dengan kepentingan transaksinya, yang jauh dari urusan
kepentingan publik. Tapi, kalau SBY ingin mencari simpatik publik, bahwa dirinya sedang menjadi korban sikap
curang PKS dan Golkar, maka hal itu bisa dimaklumi.
Lebih mencolok lagi saat sikap santun ditunjukan SBY dalam merespon arogansi Malaysia, yang menangkap
petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia. Publik Indonesia dibuat kecewa, sebab sikap (penyataan) tegas
yang diharapkan malah tak juga keluar dari mulut sang Jenderal. Bertempat di markas besar TNI respon
pemerintah dikeluarkan, tetapi kalau dibandingkan, sikap SBY masih lebih tegas ketika menyikapi sikap parpol
koalisi yang membelot. Jelas ini adalah hal yang membingungkan!
Kerap kali SBY tampil tegas dan cepat memberi respon, namun terbatas pada wacana-wacana yang terlampau
tidak penting. Kasus Ariel, misalkan, dibandingkan dengan respon terhadap kekerasan terhadap jemaat HKBP (yang
berlarut-larut sejak tahun 2010), kasus GKI Taman Yasmin, Bogor, dan tuntutan para orang tua mahasiswa korban
kekerasan 1998-setiap hari Kamis berdemo di depan istana-sangat berbeda jauh. Begitu juga dengan respon SBY
terhadap berbagai tindakan kekerasan ormas-ormas perusuh terhadap Ahmadiyah. Bahkan, sikap tegas untuk
membekukan mereka-yang juga datangnya sangat terlambat-sekedar wacana di depan microphone. Sikap tegas
dan garang ala-SBY tak juga datang kala sedang dinantikan dan mencakup kepentingan masyarakat luas.
Sejatinya, sebagai seorang pemimpin negeri, SBY lebih bersikap garang terhadap berbagai persoalan yang lebih
menyentuh kepentingan masyarakat luas. Komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum mafia pajak dan
hukum, inpres Gayus yang tak juga jelas, penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat, diskriminasi dan
kekerasan berlatar belakang agama yang masih menjadi momok, serta pendidikan gratis yang masih sekedar
mimpi, adalah sederet persoalan yang membutuhkan ketegasan, keseriusan dan bahkan sikap garang dari seorang
SBY.
Masyarakat sangat berharap bahwa sikap tegas dan garang itu tidak melulu ditunjukan SBY saat kepentingan
pribadi dan kekuasaaanya terancam. Sebagai penguasa dan penerima mandat konstitusi, SBY mestinya lebih
mengutamakan sikap tegas saat kepentingan masyarakat luas terancam dan terganggu. SBY harus lebih serius dan
tegas dalam menyikapi persoalan-persoalan mendasar di negeri ini. Dengan begitu, menjawab pertanyaan
pembuka di atas (judul artikel), publik tak akan segan untuk berkata: bukan hanya bisa, tetapi SBY adalah
pemimpin yang tegas.
JAKARTA, KOMPAS.com
Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali dipertanyakan kelompok pengkritisi
pemerintahan, Petisi 28. SBY dianggap anomali dalam menjalankan pemerintahan.
"Di satu sisi SBY seperti ingin dinilai menegakkan presidensil, tapi di sisi lain ia takut terhadap parlemen,"
ujar anggota Petisi 28, Ahmad Suryono, Minggu (13/6/2010), di Doekoen Cafe, Jakarta.
Menurutnya, bentuk anomali sikap SBY dapat dilihat dari pembentukan Setgab koalisi, pertemuan
lembaga negara di Bogor, hingga pencalonan tunggal Gubernur BI. "Selain itu, ia mengaktifkan koalisi
untuk membunuh musuh politiknya," ungkap Ahmad Suryono.
Dengan sikap seperti itu, SBY terkesan hanya mengambil keuntungan sendiri. Petisi 28 juga mengkritisi
pembentukan Satgas Mafia Hukum yang memiliki wewenang yang begitu besar hingga terlihat seperti
menggantikan fungsi lembaga hukum.
Selain itu, di bidang ekonomi, SBY dinilai telah memberlakukan liberalisme yang menyengsarakan rakyat.
Rakyat hanya dijadikan alat dalam demokrasi untuk menguntungkan para pemodal besar. "Yang ada
sekarang liberalisme justru bisa memecahkan kehancuran suatu bangsa. SBY tidak lagi punya panduan
kemana bangsa ini mau diarahkan karena GBHN sudah dianulir UUD 1945 yang diamandemen," ujar
anggota Petisi 28, Lalu Hilman, kepada para wartawan.
Pemerintah Lelet Sikapi Kasus Ahmadiyah
sumber: Jakartapress.com
Selasa, 15/02/2011 | 23:13 WIB
Jakarta – Ketua DPP Partai hati Nurani Rakyat (Hanura) Yuddy Chrisnandi menilai, pemerintah lelet
dalam menyikapi kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah yang menimbulkan insiden kerusuhan. Menurut
Yuddy, dalam menyikapi kontroversi aliran Ahmadiyah, pemerintah tidak cukup hanya memberikan
pertanyaan atau peringatan.
“Harus ada keputusan yang permanen terhadap kedudukan aliran Ahmadiyah. Secara persuasif,
pemerintah harus mengultimatum kepada pimpinan dan segenap pengikut aliran Ahmadiyah untuk
memilih membubarkan diri kembali ke ajaran yang benar, atau mendeklarasikan agama baru di luar
Islam. Selanjutnya diperlukan Keppres untuk mengesahkan agama baru yang menampung aliran ini,
yang dilindungi oleh UU sesuai prinsip HAM,” tegas Yuddy dalam pesan pendeknya kepada
jakartapress.com, Selasa (15/2) malam.
Menurut Yuddy, tuntutan umat Islam untuk membubarkan Ahmadiyah adalah hal yang wajar, namun
tidak boleh dilakukan dengan tindakan anarkis dan kekerasan. “Pemerintah bersama aparat keamanan,
wajib mencegah dan melindungi nyawa, harta benda warga negaranya tanpa membeda-bedakan SARA.
Kekerasan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan karena melanggar HAM. Hanya dengan ketegasan
dan keputusan pemerintah yang diperlukan sekarang,” tutur mantan anggota DPR RI ini.
Secara terpisah, pengamat Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Tubagus Januar Soemawinata menduga
rezim penguasa SBY sengaja memelihara kontroversial keberadaan Ahmadiyah untuk sewaktu-waktu
dipakai senjata mengalihkan isu apabila diperluikan. "Misalnya, begitu publik menyerang skandal
Century yang menyeret keterlibatan pihak Istana atau kasus Nunun Nurbaeti yang diduga melibatkan
petingghi negara ini, maka bentrokan Ahmadiyah dengan umat Islam digulirkan," duganya.
Januar menilai, sikap tidak tegas Presiden SBY ternyata diikuti oleh para pejabat bawahannya, termasuk
Kapolri yang baru Jenderal Pol Timur Pradopo. “Hingga kini, polisi tidak secara cepat menangkap dan
mengumumkan otak pelaku kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan pembakaran gereja
di Temanggung. Anehnya, polisi sangat cepat sigap menangkap tersangka teroris dan cepat
mengumumkannya,” papar mantan aktivis ini.
Demikian juga, lanjut Januar, aparat hukum seperti kehilangan tenaga alias loyo dalam menangani
kasus-kasus yang menyeret keterlibatan petinggi di negara ini, seperti skandal Bank Century, kasus mafia
hukum Gayus Tambunan, kasus kriminalisasi pimpinan KPK, pemeriksaan saksi kunci kasus ‘Miranda’
Nunun Nurbaeti, kasus rekening gendut sejumlah jenderal Polri dan lain sebagainya.
“Apa gunaya ada pergantian pejabat penegak hukum sepertti contohnya diangkatnya Jenderal Timur
Pradopo yang diharapkan bisa mengungkap kasus-kasus korupsi yang membuat kesengsaraan bangsa
ini. Bahkan, pemerintah gagal menjamin keselamatan negara dan rakyatnya. Kini kasus-kasus kerusuhan
SARA bisa mengarah terjadinya konflik horsontal yang membahayakan keberlangsungan NKRI,”
tuturnya.
Januar menduga, karut marut situasi dan amburadulnya hokum di negara ini adalah akibat kebobrokan
sistem pemerintahan rezim pemerintah SBY sekarang ini. “Dari awal memimpin sampai sekarang, SBY
menganut sistem demokrasi emosional dibungkus pencitraan semu. Ketidakmampuan ini nampak jelas
dengan terjadinya banyak penyimpangan dan penyelewengan di bidang hukum,” ungkap pakar
paranormal asal Banten ini.
Jakarta – Pernyataan Presiden SBY tidak tegas dalam menanggapi kontroversi pembangunan gedung
baru DPR. Seharusnya sebagai kepala negara, Ia meminta menghentikan pembangunan itu.
“Sikap SBY tidak pernah berubah, selalu ragu dalam mengambil keputusan. Padahal, ia bisa mengambil
momentum persoalan ini dengan meminta menghentikan pembangunan baru wakil rakyat,” kata
pengamat politik dari Unas Jakarta, Suhanto kepada itoday, Kamis (7/4).
Menurut Suhanto, jika dengan tegas menolak pembangunan gedung itu citra SBY akan naik.
“Kelihatannya SBY tidak mau mengambil resiko dengan bersikap tidak tegas menolak pembangunan
gedung baru DPR. Dengan sikap seperti itu, citra SBY di hadapan rakyat semakin turun.,” paparnya.
Kalangan DPR pun menafsiri pernyataan SBY dengan melanjutkan pembangunan gedung DPR. ”Kalau
saya baca di media, hampir seluruh fraksi menyetujui melanjutkan pembangunan gedung baru itu. Ini
artinya, pernyataan presiden tadi dianggap diperbolehkannya pembangunan gedung baru,” kata
Suhanto.