Professional Documents
Culture Documents
BAB VII
JENIS LAYANAN DAN KEGIATAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
Oleh :
ST. MARDIAH
Nim. 0732006
Jurusan : Syariah
Tujuan
Setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan dapat memahami dan memiliki
wawasan tentang :
1. Pengertian, tujuan, pokok-pokok dan kemungkinan pelaksanaan layanan orientasi
dan informasi, penempatan dan penyaluran, bimbingan belajar, konseling
perorangan, serta bimbingan dan konseling kelompok.
2. Pengertian, tujuan, pokok-pokok dan kemungkinan pelaksanaan kegiatan penunjang
bimbingan dan konseling, yaitu pemakaian instrumen, penyelenggaraan himpunan
data, konferensi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan.
Konsep-konsep Pokok
Konsep-konsep pokok yang perlu dipahami dan didalami lebih lanjut yang
terdapat pada bab ini adalah :
• Layanan orientasi
• Layanan informasi :
- Informasi pendidikan
- Informasi jabatan/pekerjaan
- Informasi sosial-budaya
• Layanan penempatan dan penyaluran
- Penempatan dalam kelas
- Penempatan dalam kelompok belajar
- Penempatan dalam jurusan/program studi
- Penempatan dan penyaluran lulusan.
• Layanan bimbingan belajar
- Keterlambatan akademik
- Ketercepatan belajar
- Sangat lambat belajar kurang motivasi belajar
- Sikap dan kebiasaan belajar
- Tes hasil belajar
- Tes kemampuan dasar
- Tes diagnostik
- Analisis hasil belajar
- Pengajaran perbaikan
- Kegiatan pengayaan
• Layanan konseling perorangan :
- Konseling sebagai “jantung hati”
- Bimbingan
- Konseling sebagai layanan ”resmi”
- Keefektifan konseling
- Konseling direktif
- Konseling non-direktif
- Konseling elektik
• Layanan bimbingan kelompok
• Layanan konseling kelompok
• Instrumentasi bimbingan dan konseling
- Teknis tes
- Teknik non-tes
• Himpunan data
- Data pribadi
- Data umum
- Data kelompok
• Konferensi kasus
• Kunjungan rumah
• Alih tangan
A. Layanan Orientasi
Layanan orientasi adalah layanan bimbingan yang dilakukan untuk
memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap lingkungan yang baru
dimasukinya. Pemberian layanan ini bertolak dari anggapan bahwa memasuki
lingkungan baru bukanlah hal yang selalu dapat berlangsung dengan mudah dan
menyenangkan bagi setiap orang. Ibarat seseorang yang baru pertama kali datang ke
sebuah kota besar, maka ia berada dalam keadaan serba “buta”, buta tentang arah
yang hendak dituju, buta tentang jalan-jalan dan buta tentang itu dan ini. Akibat dari
kebutaannya itu, tidak jarang ada yang tersesat dab tidak mencapai apa yang hendak
ditujunya. Demikian juga bagi siswa baru di sekolah dan atau bagi orang-orang yang
baru memasuki suatu dunia kerja, mereka belum banyak mengenal tentang
lingkungan yang baru dimasukinya.
1. Layanan Orientasi di Sekolah
Allan & McKean (1984) menegaskan bahwa tanpa program-program
orientasi, periode penyesuaian untuk sebagian besar siswa berlangsung kira-kira
tiga atau empat bulan. Dalam kaitan itu, penelitian Allan & McKean
menunjukkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
a. Program orientasi yang efektif mempercepat proses adaptasi; dan
memberikan kemudahan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan
masalah.
b. Murid-murid yang mengalami masalah penyesuaian ternyata kurang berhasil
di sekolah.
c. Anak-anak dari kelas sosio-ekonomi yang rendah memerlukan waktu yang
lebih lama untuk menyesuaikan diri daripada anak-anak dari kelas sosio-
ekonomi yang lebih tinggi.
Untuk lingkungan sekolah misalnya, materi orientasi yang mendapat
penekanan adalah :
a. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada umumnya;
b. Kurikulum yang ada;
c. Penyelenggaraan pengajaran;
d. Kegiatan belajar siswa yang diharapkan;
e. Sistem penilaian, ujian dan kenaikan kelas;
f. Fasilitas dan sumber belajar yang ada (seperti ruang kelas,
laboratorium, perpustakaan, ruang praktek);
g. Fasilitas penunjang (sarana olahraga dan rekreasi, pelayanan
kesehatan, pelayanan bimbingan dan konseling, kafetaria, dan tata usaha);
h. Staf pengajar dan tata usaha;
i. Hak dan kewajiban siswa
j. Organisasi siswa;
k. Organisasi orang tua siswa;
l. Organisasi sekolah secara menyeluruh.
Waktu Frekuensi %
3-4 hari 45 28
1 minggu 50 31
2 minggu 26 16
3 minggu 15 9
Lebih satu bulan 27 16
Jumlah 163 100
B. Layanan Informasi
Secara umum, bersama dengan layanan orientasi bermaksud memberikan
pemahaman kepada individu-individu yang berkepentingan tentang berbagai hal
yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiatan atau untuk menentukan
arah suatu tujuan atau rencana yang dikehendaki. Dengan demikian, layanan
orientasi dan informasi itu pertama-tama merupakan perwujudan dari fungsi
pemahaman pelayanan bimbingan dan konseling. Lebih jauh, layanan orientasi dan
informasi akan dapat menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi bimbingan dan
konseling lainnya dalam kaitan antara bahan-bahan orientasi dan informasi itu
dengan permasalahan individu.
Ada tiga alasan utama mengapa pemberian informasi perlu diselenggarakan.
Pertama, membekali individu dengan berbagai pengetahuan tentang lingkungan
yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi berkenaan dengan
lingkungan sekitar, pendidikan, jabatan, maupun sosial-budaya. Dalam masyarakat
yang serba majemuk dan semakin kompleks, pengambilan keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagian besar terletak di tangan individu itu sendiri. Dalam
hal ini, layanan informasi berusaha merangsang individu untuk dapat secara kritis
mempelajari berbagai informasi berkaitan dengan hajat hidup dan perkembangannya.
Kedua, memungkinkan individu dapat menentukan arah hidupnya “ke mana dia
ingin pergi”. Syarat dasar untuk dapat menentukan arah hidup adalah apabila ia
mengetahui apa (informasi) yang harus dilakukan serta bagaimana bertindak secara
kreatif dan dinamis berdasarkan atas informasi-informasi yang ada itu. dengan kata
lain, berdasarkan atas informasi yang diberikan itu individu diharapkan dapat
membuat rencana-rencana dan keputusan tentang masa depannya serta bertanggung
jawab atas rencana dan keputusan yang dibuatnya itu. Dan ketiga setiap individu
adalah unik. Keunikan itu akan membawakan pola-pola pengambilan keputusan dan
bertindak yang berbeda-beda.
Dengan ketiga alasan itu, layanan informasi merupakan kebutuhan yang amat
tinggi tingkatannya. Lebih-lebih apabila diingat bahwa “masa depan adalah abad
informasi”, maka barang siapa tidak memperoleh informasi, maka ia akan tertinggal
dan akan tertinggal dan akan kehilangan masa depan.
1. Jenis-Jenis Informasi
a. Informasi Pendidikan
Dalam bidang pendidikan banyak individu yang berstatus siswa atau
calon siswa yang dihadapkan pada kemungkinan timbulnya masalah atau
kesulitan. Di antara masalah atau kesulitan tersebut berhubungan dengan (a)
pemilihan program studi, (b) pemilihan sekolah, fakultas dan jurusannya, (c)
penyesuaian diri dengan program studi, (d) penyesuaian diri terhadap suasana
belajar, dan (e) putus sekolah. Mereka membutuhkan adanya keterangan atau
informasi untuk dapat membuat pilihan dan keputusan secara bijaksana.
Jenis-jenis informasi pada setiap tingkat itu adalah sebagai berikut :
Pertama kali masuk sekolah :
1) Jam-jam belajar
2) Disiplin dan peraturan sekolah lainnya
3) Kegiatan belajar dan kegiatan anak lainnya di
sekolah
4) Buku-buku/alat pelajaran
5) Fasilitas, makanan, kesehatan, tempat bermain
6) Fasilitas transportasi (khususnya bagi mereka yang
rumahnya jauh dari sekolah).
7) Peraturan tentang kunjungan orang tua ke sekolah.
Memasuki SLTP :
1) Jadwal kegiatan sekolah
2) Mata pelajaran yang ada (berikut nama-nama gurunya)
3) Kegiatan ko-kurikuler
4) Fasilitas sumber belajar (seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel
kerja).
5) Sarana penunjang (seperti pelayanan kesehatan, bimbingan dan
konseling).
6) Peraturan sekolah, serta hak dan kewajiban siswa dan orang tua
7) Keadaan fisik sekolah (gedung-gedung, pekarangan sekolah, alamat)
8) Prosedur penerimaan.
Memasuki SLTA :
1) Mata pelajaran dan pembidangannya, seperti mata pelajaran umum,
persiapan ke perguruan tinggi, keterampilan.
2) Jurusan atau program-program yang disediakan.
3) Hubungan antara satu jurusan atau program dengan pekerjaan atau
kegiatan di masyarakat yang lebih luas.
4) Tersedianya latihan-latihan khusus, seperti mengetik, komputer,
perbengkelan, dan lain-lain.
5) Jadwal kegiatan belajar dan latihan
6) Kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang disediakan.
7) Tuntutan pengembangan sikap dan kebiasaan belajar
8) Peraturan sekolah, hak dan kewajiban siswa.
9) Fasilitas sumber belajar (seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel, dan
sebagainya).
10) Pelayanan bimbingan dan konseling
11) Fasilitas penunjang (pelayanan kesehatan, makanan, bursa buku/alat-alat
pelajaran, transportasi, sarana).
12) Kemungkinan bea siswa
13) Kemungkinan melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi
14) Keadaan fisik sekolah (gedung-gedung, pekarangan sekolah, alamat,
lingkungan sekolah).
15) Prosedur penerimaan
b. Informasi Jabatan
Informasi jabatan/pekerjaan yang baik sekurang-kurangnya memuat
hal-hal sebagai berikut :
1) Struktur dan kelompok-kelompok jabatan/pekerjaan utama
2) Uraian tugas masing-masing jabatan/pekerjaan
3) Kualifikasi tenaga yang diperlukan untuk masing-masing jabatan
4) Cara-cara atau prosedur penerimaan
5) Kondisi kerja
6) Kesempatan-kesempatan untuk pengembangan karier
7) Fasilitas penunjang untuk kesejahteraan pekerjaan, seperti kesehatan,
olahraga dan rekreasi, kesempatan pendidikan bagi anak-anak, dan
sebagainya.
Pemberian informasi kepada para siswa di sekolah sifatnya sangat
strategis, baik dipandang dari segi tahap-tahap perkembangan mereka
maupun keadaan masyarakat yang selalu berubah dan menuntut adanya
tenaga kerja yang dapat mendukung kesejahteraan warga masyarakat dan
perkembangan masyarakat itu sendiri. Di sinilah letaknya “tugas rangkap”
pendidikan yaitu memperkembangkan individu-individu secara optimal dan
menyiapkan mereka menjadi warga masyarakat yang bekerja dalam arti
seluas-luasnya.
Tingkat SD
Tingkat ini merupakan tingkatan yang paling awal dan mendasar.
Informasi yang diberikan pada tingkat ini bersifat umum dan tidak mengarah
pada jenis-jenis jabatan/pekerjaan tertentu. Pemberian untuk anak-anak SD
pada umumnya dimaksudkan untuk :
1. Mengembangkan sikap terhadap segala jenis pekerjaan. Guru/konselor
sekolah benar-benar berhati-hati. Jangan sampai melalui kata atau
tindakan, menunjukkan prasangka ataupun kecenderungan positif/negatif
terhadap jenis pekerjaan tertentu.
2. Membawa anak-anak untuk menyadari betapa luasnya dunia kerja yang
ada, terentang dari pekerjaan yang dijabat orang tua anak-anak itu sampai
ke segala macam pekerjaan di masyarakat luas.
3. Menjawab berbagai pertanyaan anak-anak tentang pekerjaan. Dorongan
ingin tahu anak-anak akan membawa mereka menanyakan segala sesuatu
tentang pekerjaan. Dalam hal ini jawaban atau informasi yang tepat dan
benar (tidak dibuat-buat atau disamarkan) harus segera diberikan kepada
anak setiap waktu mereka bertanya.
4. Menekankan jasa dari masing-masing jenis pekerjaan kepada
kesejahteraan hidup rumah tangga dan masyarakat (tidak hanya
mengemukakan gaji atau penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan
itu). Perlunya bakat atau kemampuan atau keterampilan khusus untuk
jenis-jenis pekerjaan tertentu, terutama yang bermanfaat bagi pemberian
bantuan kepada sesama manusia, perlu disampaikan dan ditonjolkan
kepada anak-anak.
5. Pekerjaan ada dimana-mana, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi, negara dan bahkan dunia. Pada tingkat perkembangan itu, anak-
anak mulai membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang ada di desa dan di
kota, di daerahnya sendiri dan di daerah lain, bahkan di negaranya sendiri
dan di negara lain. Anak dirangsang untuk mulai menyadari bahwa ada
seribu satu macam cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencari
penghidupan dan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui berbagai jenis
pekerjaan.
6. Saling ketergantungan antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya.
Pada anak-anak perlu dikembangkan bahwa untuk terlaksananya suatu
pekerjaan yang baik, para pekerja saling bekerja antara yang satu dengan
yang lainnya; oleh karena itu mereka harus saling membantu dan
bekerjasama.
7. Baik kemampuan khusus maupun ciri-ciri kepribadian tertentu,
diperlukan untuk keberhasilan (kesuksesan) bagi sebagian besar jenis
pekerjaan.
8. Untuk memilih suatu pekerjaan diperlukan informasi yang tepat (yaitu
tentang hakikat pekerjaan itu sendiri, latihan yang diperlukan, kondisi
kerja, dan sebagainya).
9. Ada berbagai masalah yang mungkin dihadapi oleh orang-orang yang
menginginkan pekerjaan tertentu (seperti peralatan yang diperlukan untuk
pekerjaan itu mahal, biaya untuk program pendidikan dan latihan mahal
dan waktunya lama, kondisi kerja dalam pekerjaan itu kurang
menyenangkan, dan sebagainya).
10. Untuk memilih pekerjaan atau karier di masa depan perlu kehati-hatian
dan pertimbangan yang matang.
Tingkat SLTP
Informasi jabatan/pekerjaan di SLTP menyajikan bahwa informasi
dengan tujuan agar para siswa mampu merencanakan secara umum masa
depannya dan tidak merencanakan pekerjaan tertentu secara khusus. Pada
tingkat ini diharapkan para siswa mulai :
1. Mempelajari bidang pekerjaan secara lebih luas seperti bidang
perdagangan, permesinan, administrasi, perkantoran, dan lain-lain.
2. Melihat hubungan antara bidang-bidang pekerjaan itu dengan mata-mata
pelajaran yang ada di sekolah. Pada kelas tertinggi SLTP siswa
hendaknya telah mendekati pilihan program pendidikan yang ingin
diikutinya sesuai dengan arah pengembangan kariernya. Di SLTA
nantinya anak-anak akan segera memasuki jurusan-jurusan tertentu yang
secara lebih khusus mengarahkan mereka ke karier yang mereka pilih.
3. Lebih mendalami informasi tentang pekerjaan tertentu. Pada tahap
perkembangan ini anak-anak sampai pada periode yang cukup
menentukan, yaitu sebagian di antara mereka melanjutkan pelajaran dan
sebagian lagi terpaksa berhenti sekolah. Bahkan diantara mereka
mungkin ada yang terpaksa sekolah sambil bekerja, baik dengan alasan
ingin “mencoba” pekerjaan itu atau mencari penghasilan untuk biaya
sekolah.
4. Memahami cara-cara memperoleh informasi yang tepat dan mutakhir
dengan jumlah yang cukup tentang dunia kerja. Cara-cara itu meliputi
studi kepustakaan, mempelajari dokumentasi tentang pekerjaan dan
mengikuti berbagai penyajian tentang informasi pekerjaan melalui
ceramah dan atau media cetak/elektronik. Mengamati langsung
beroperasinya pekerjaan yang dimaksud dan wawancara dengan para
pekerjanya oleh para siswa sendiri sangat dianjurkan.
5. Memahami pentingnya dan ruang lingkup perencanaan pekerjaan/karier.
Pada tahap ini para siswa hendaknya menyadari bahwa memilih suatu
pekerjaan pada dasarnya adalah memilih cara hidup tertentu.
6. Memahami bahwa dunia kerja itu tidak pernah dalam keadaan tetap
(statis), tetapi terus berubah dan berkembang. Para siswa hendaknya
menyadari bahwa ketika mereka menamatkan SLTA atau bahkan sesudah
itu, pekerjaan yang diinginkan semula pada waktu itu sudah tidak ada lagi
atau sudah berubah (tidak lagi seperti dibayangkan, diinformasikan
dahulu), sementara itu jenis-jenis pekerjaan baru muncul dan
keterampilan-keterampilan baru dituntut dari para pekerja.
Tingkat SLTA
Lebih jauh, informasi pekerjaan SLTA hendaklah meliputi, cakupan
yang memungkinkan siswa :
1. Mempergunakan berbagai cara untuk memperdalam dan memperluas
pemahaman tentang dunia kerja pada umumnya dan bidang pekerjaan
tertentu pada khususnya.
2. Mengembangkan rencana sementara pekerjaan yang akan menjadi
pegangan setamat SLTA.
3. Memiliki pengetahuan tentang ataupun mempunyai hubungan dengan
pekerjaan tertentu apabila siswa memang menghendaki untuk memegang
jabatan itu (baik ataupun sementara) setamat dari SLTA. Informasi dan
bantuan khusus untuk “mendekati” pekerjaan itu perlu diberikan kepada
siswa yang menghendakinya.
Pasca SLTA
Selepas SLTA para remaja/pemuda pada umumnya memasuki dunia
kerja atau melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi. Karena dunia kerja itu
selalu berubah, mereka memerlukan informasi tentang pekerjaan-pekerjaan
baru dengan berbagai kondisi dan syarat-syaratnya. Informasi baru tersebut
berguna bagi penyesuaian pilihan pekerjaan dan sekaligus pilihan program-
program pendidikan dan latihan yang relevan.
c. Informasi Sosial-Budaya
Masyarakat Indonesia dikatakan juga masyarakat yang majemuk,
karena berasal dari berbagai suku bangsa, agama dan adat-istiadat serta
kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini sering pula
membawa perbedaan dalam pola dan sikap hidup sehari-hari. Namun
demikian, perbedaan-perbedaan itu tetap dalam kesatuan sebagaimana tertera
dalam Lambang Negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Perbedaan-
perbedaan yang dimiliki itu hendaknya tidak mengakibatkan masyarakatnya
bercerai-berai, tetapi justru menjadi sumber inspirasi dalam hidup bernegara,
berbangsa dan bermasyarakat, yang dapat hidup berdampingan antara yang
satu dengan yang lain.
Untuk memungkinkan sikap warga negara Indonesia dapat hidup
seperti yang dimaksud di atas, sejak dini mereka perlu dibekali dengan
pengetahuan dan pemahaman isi informasi tentang keadaan sosial-budaya
berbagai daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui penyajian informasi sosial-
budaya yang meliputi :
1) Macam-macam suku bangsa
2) Adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
3) Agama dan kepercayaan-kepercayaan
4) Bahasa, terutama istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalah-
pahaman suku bangsa lainnya.
5) Potensi-potensi daerah
6) Kekhususan masyarakat atau daerah tertentu
Informasi itu perlu diperluas sampai menjangkau informasi tentang
bangsa-bangsa lain, khususnya untuk melihat kemajuan-kemajuan yang telah
dicapai oleh bangsa-bangsa lain itu. Dengan informasi seperti itu, diharapkan
masyarakat kita, terutama generasi mudanya, terangsang untuk maju lebih
cepat lagi mengejar budaya yang telah lebih maju itu, terutama dalam bidang
ilmu dan teknologinya.
Gambar 9
Kurva Hasil Belajar
Tes Diagnostik
Tes diagnostik merupakan instrumen untuk mengungkapkan adanya
kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu.
Misalnya untuk mata pelajaran berhitung/matematika apakah dijumpai
kesalahan-kesalahan dalam operasi berhitung, atau pemakaian rumus-rumus;
untuk pelajaran bahasa dijumpai kesalahan-kesalahan dalam penerapan tata
bahasa dan pemakaian ejaan. Untuk semua mata pelajaran diharapkan dapat
disusun dan dibuatkan tes diagnostiknya masing-masing.
Dengan tes diagnostik sebenarnya sekaligus dapat diketahui kekuatan dan
kelemahan siswa. Makin sedikit siswa membuat kesalahan pada tes diagnostik,
makin kuatlah siswa pada materi pelajaran yang bersangkutan; dan sebaliknya.
Siswa-siswa yang ternyata sudah cukup kuat dalam mata pelajaran yang
dimaksud dianjurkan untuk terus memupuk kekuatan mereka itu, sedangkan
siswa yang masih mengalami banyak kesalahan berarti memerlukan bantuan
khusus.
Individu
Diagram 2
Lima Tahap Keefektifan Konseling
b. Konseling Non-Direktif
Konseling non-direktif sering juga disebut “Client Centered
Therapy”. Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas
Wisconsin di Amerika Serikat. Konseling non-direktif merupakan upaya
bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan
ini, klien diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran-
pikirannya secara bebas. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang
yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu
mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi
dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana
mestinya. Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali
kemampuannya itu klien memerlukan bantuan. Bertitik tolak dari anggapan
dan pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan peranan utama
pemecahan masalah diletakkan di pundak klien sendiri. Sedangkan kewajiban
dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan
kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang
secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat
dan permisif. Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu
memecahkan sendiri masalahnya. Dalam suasana seperti itu konselor
merupakan “agen pembangun” yang mendorong terjadinya perubahan pada
diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung dalam
proses perubahan tersebut. Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung jawab
klien untuk membantu dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang penting dalam
konseling non-direktif adalah mengupayakan agar klien mencapai
kematangannya, produktif, merdeka dan dapat menyesuaikan diri dengan
baik.
c. Konseling Elektrik
Pendekatan dan teori-teori konseling itu telah ditempa dan
dikembangkan oleh pencetus dan ahlinya, dan telah dipelajari oleh berbagai
kalangan dalam bidang bimbingan dan konseling. Disadari bahwa setiap
pendekatan atau teori itu mengandung kekuatan dan kelemahan, namum
semuanya telah menyumbang secara positif pada dunia bimbingan dan
konseling, baik secara teoritis maupun secara praktis. Disadari pula bahwa
dalam kenyataan praktek konseling menunjukkan bahwa tidak semua
masalah dapat dientaskan secara baik hanya dengan satu pendekatan atau
teori saja. Ada masalah yang lebih cocok diatasi dengan pendekatan direktif,
dan ada pula yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan
teori khusus tertentu. Dengan pendekatan lain, tidaklah dapat ditetapkan
bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori
saja. Pendekatan atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan
oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan dan
kekompleksannya).
2) Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses konseling.
3) Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun keterampilan
dalam menggunakan masing-masing pendekatan atau teori konseling.
Mereka yang mempelajari pendekatan dan teori-teori itu mungkin ada
yang tertarik dan merasa dirinya lebih cocok untuk mendalami dan
mempraktekkan satu pendekatan atau teori konseling tertentu saja, dan
mungkin ada pula yang berusaha “menggabungkan” dan-tiga teori yang
berdekatan dalam wilayah garis kontinum yang dimaksudkan di atas.
Kebanyakan diantara mereka bersikap elektrik yang mengambil berbagai
kebaikan dari kedua pendekatan ataupun dari berbagai teori konseling
yang ada itu, mengembangkan dan menerapkannya dalam praktek sesuai
dengan permasalahan klien. Sikap elektrik ini telah ada sejak lama dan
bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau tujuan
bimbingan dan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu
pendekatan atau satu-dua teori tertentu saja (Tolbert, 1959; Hansen, dkk.,
1977; dan Brammer & Shostrom, 1982).
d. Konseling di Masyarakat
Dipandang dari segi masalah klien serta pendekatan dan teknik
konseling, layanan konseling di masyarakat (di luar satuan pendidikan
formal) tidak berbeda dari layanan di satuan pendidikan. Jika terdapat
perbedaan, maka hal itu terletak pada kondisi lembaga tempat konselor
bekerja. Layanan konseling dapat diselenggarakan di lembaga tertentu,
seperti lembaga kerja (perusahaan, kantor, pabrik), lembaga kemasyarakatan,
Lembaga Bantuan Hukum, Puskesmas, “Badan Penasihat Perkawinan”,
“Lembaga Kesehatan Masyarakat”, “Biro Konsultasi” dan berbagai lembaga
swadaya masyarakat lainnya. Tidak dilupakan, konselor yang membuka
“praktek pribadi”. Semua “lembaga” tempat konselor berpraktek layanan
konseling menerapkan nilai-nilai sendiri yang harus diikuti oleh konselor.
2. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan dalam
suasana kelompok. Gazda (1978) mengemukakan bahwa bimbingan kelompok di
sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk
membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Gazda juga
menyebutkan bahwa bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan
informasi yang bersifat personal, vokasional dan sosial. Telah lama dikenal
bahwa berbagai informasi berkenaan dengan orientasi siswa baru, pindah
program dan peta sosiometri siswa serta bagaimana mengembangkan hubungan
antar siswa dapat disampaikan dan dibahas dalam bimbingan kelompok
(McDaniel, 1956). Dengan demikian jelas bahwa kegiatan dalam bimbingan
kelompok ialah pemberian informasi untuk keperluan tertentu bagi para anggota
kelompok.
Dari gambaran di atas tampak adanya beberapa hal yang menunjukkan
homogenitas dalam kelompok. Pertama, bimbingan kelompok para anggota
kelompok homogen (yaitu siswa-siswa satu kelas atau satu tingkat kelas yang
sama). Kedua, “masalah” yang dialami oleh semua anggota kelompok adalah
sama, yaitu memerlukan informasi yang akan disajikan itu. Ketiga, Tindak lanjut
dari diterimanya informasi itu juga sama, yaitu untuk menyusun rencana dan
membuat keputusan. Dan keempat, reaksi atau kegiatan yang dilakukan oleh para
anggota dalam proses pemberian informasi (dan tindak lanjutnya) secara relatif
sama (seperti mendengarkan, mencatat, bertanya). Ciri homogenitas inilah yang
ikut menandai layanan bimbingan kelompok dan membedakannya dari konseling
kelompok.
3. Konseling Kelompok
Unsur-unsur konseling perorangan tampil secara nyata dalam konseling
kelompok. Kalau demikian adanya, apa yang membedakan konseling kelompok
dari konseling perorangan? Satu hal yang paling pokok ialah dinamika interaksi
sosial yang dapat berkembang dengan intensif dalam suasana kelompok, yang
justru tidak dapat dijumpai dalam konseling perorangan. Disitulah keunggulan
konseling kelompok. Melalui dinamika interaksi sosial yang terjadi diantara
anggota kelompok, masalah yang dialami oleh masing-masing individu anggota
kelompok dicoba untuk dientaskan. Peranan konselor sebagai “agen
pembangunan” dalam konseling perorangan diperkuat oleh peranan dinamika
interaksi sosial dalam suasana kelompok. Dengan demikian, proses pengentasan
masalah individu dalam konseling kelompok mendapatkan dimensi yang lebih
luas. Kalau dalam konseling perorangan klien hanya memetik manfaat dari
hubungannya dengan konselor saja, dalam konseling kelompok klien
memperoleh bahan-bahan bagi pengembangan diri dan pengentasan masalahnya
biak dari konselor maupun rekan-rekan anggota kelompok. Lebih dari itu lagi,
dinamika interaksi sosial yang secara intensif terjadi dalam suasana kelompok
akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial pada
umumnya, meningkatkan kemampuan pengendalian diri, tenggang rasa atau
teposaliro. Dalam kaitan itu suasana kelompok menjadi tempat penempaan sikap,
keterampilan dan keberanian sosial yang bertenggang rasa (Prayitno, 1985).
Mengenai kondisi homogenitas heterogenitas yang terdapat di dalam
konseling kelompok dapat dilihat bahwa anggota kelompok sedapat-dapatnya
homogen, dalam arti semua anggota kelompok diharapkan dapat
menyumbangkan sesuatu dalam pengembangan dinamik interaksi sosial yang
terjadi di dalam kelompok. Untuk itu dikehendaki kemampuan para anggota
yang seimbang. Dalam keadaan tertentu, konselor dapat menghadirkan seorang
(atau lebih) klien tertentu ke dalam suasana konseling kelompok. “Klien khusus”
ini dihadirkan di sana dengan tujuan untuk melibatkannya ke dalam interaksi
sosial yang terjadi dalam kelompok, dan dengan keterlibatan yang intensif yang
terjadi dalam kelompok, dan dengan keterlibatan yang intensif itu ia (atau
mereka) diharapkan dapat memetik berbagai hal berkenaan dengan masalah-
masalah yang ia atau mereka alami. “Tujuan khusus” untuk “klien khusus” itu
tidak perlu disampaikan kepada anggota kelompok lainnya. Hal ini dimaksudkan
agar dalam dinamika interaksi sosial “klien khusus” itu tidak diperlukan secara
khusus. Mereka justru diberi kesempatan untuk menjalani keterlibatan sosial
dalam kenyataan yang sebenarnya, tidak berpura-pura, dan tidak diatur secara
tersendiri.
Untuk memasuki konseling kelompok para anggota atau klien pada
awalnya tidak memerlukan persiapan tertentu. Dengan demikian masalah yang
akan mereka bawa masing-masing ke dalam kelompok besar kemungkinan
berbeda-beda; atau bahkan ada diatara mereka yang menurut kategori Bordin
“tidak bermasalah”. Masalah-masalah yang dibawa oleh masing-masing anggota
itu nantinya akan dikemukakan dalam kegiatan kelompok. Oleh karena itu akan
muncul sejumlah masalah yang berbeda-beda yang akan dibicarakan melalui
dinamika interaksi sosial dalam kelompok itu.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus, ialah sifat isi
pembicaraan dalam konseling kelompok. Sebagaimana dalam konseling
perorangan, konseling kelompok menghendaki agar para klien (para peserta)
dapat mengungkapkan dan mengemukakan keadaan diri masing-masing
sepenuh-penuhnya dan seterbuka mungkin. Dalam hal ini, asas kerahasiaan
menjadi menonjol. Masing-masing klien perlu mempercayai konselor dan rekan-
rekan mereka sesama anggota kelompok, bahwa kerahasiaan segenap apa yang
mereka kemukakan terjamin sepenuhnya. Meyer dan Smith pada tahun 1977
melalui penelitiannya membuktikan bahwa kurangnya kepercayaan para anggota
tentang terjaminnya kerahasiaan itu akan mengurangi sikap keterbukaan para
anggota (dalam Davis, 1980). Selanjutnya, Davis sendiri mengungkapkan,
berdasarkan hasil penelitiannya bahwa pernyataan konselor yang meyakinkan
dihadapan segenap anggota kelompok bahwa ia benar-benar akan menjaga
kerahasiaan seluruh anggota kelompok secara signifikan mempengaruhi
kehendak dan sikap para anggota itu mengemukakan apa yang ingin
dikemukakan di dalam kelompok itu. Lebih jauh, konselor juga harus membina
semua anggota kelompok agar mereka menyadari pentingnya menjaga rahasia
itu, dan agar mereka saling menjaga rahasia temannya, sehingga dengan
demikian mereka saling mempercayai. Sikap konselor dan para anggota serta
suasana yang sepenuhnya sejalan dengan asas kerahasiaan itu merupakan salah
satu aturan yang khas harus diikuti oleh seluruh warga kelompok, dan hal itu
merupakan ciri khusus pula dari konseling kelompok.
Dari gambaran tersebut tampak dengan jelas perbedaan antara bimbingan
kelompok dan konseling kelompok, yaitu sebagai berikut :
Matrik 4
Perbandingan Antara Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
6. a. a.
Suasana interaksi Menolong atau dialog Interaksi multiarah
terbatas. b.
b. Mendalam dengan
Dangkal melibatkan aspek
emosional.
7. Tidak rahasia Rahasia
Sifat isi
pembicaraan.
G. Kegiatan Penunjang
Pelaksanaan berbagai jenis layanan bimbingan dan konseling memerlukan
sejumlah kegiatan penunjang.
Agaknya memang benar apabila dikatakan bahwa alat dan kelengkapan yang
paling handal dimiliki oleh konselor untuk menjalankan tugas-tugas pelayanannya
ialah mulut dan berbagai keterampilan berkomunikasi, baik verbal maupun non-
verbal. Namun, mengingat apa yang menjadi isi komunikasi itu menjangkau
wawasan yang sedemikian luas dan “multi-dimensional”, serta harus sesuai dengan
data dan kenyataan yang berkenaan dengan objek-objek yang dibicarakan, maka
konselor perlu diperlengkapi dengan berbagai data, keterangan dan informasi ,
terutama tentang klien dan lingkungannya.
1. Instrumen Bimbingan dan Konseling
Ada beberapa pertimbangan yang perlu mendapat perhatian para konselor
dalam penerapan instrumental bimbingan dan konseling. Antara lain adalah :
a. Instrumen yang dipakai haruslah yang sahih dan terandalkan. Pemilihan
instrumen yang akan dipergunakan didasarkan atas ketepatan kegunaan dan
tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini Anastasi (1992) mengingatkan
bahwa keefektifan penggunaan instrumen dalam konseling tergantung pada
ketepatan pilihan instrumen yang akan dipakai berkenaan dengan individu
(yang akan mengikuti tes) dan permasalahan yang sedang ditangani.
Konselor dituntut memiliki wawasan yang memadai tentang kegunaan
berbagai instrumen dalam kaitannya dengan karakteristik individu dan
berbagai permasalahan.
b. Pemakai instrumen (dalam hal ini konselor) bertanggung jawab atas
pemilihan instrumen yang akan dipakai (misalnya tee), monitoring
pengadministrasiannya dan skoring, penginterpretasian skor dan
penggunaannya sebagai sumber informasi bagi pengambilan keputusan
tertentu (Anastasi, 1992). Adakalanya pemakai instrumen tidak mampu
mengambil seluruh tanggung jawab tersebut; maka ia memerlukan penyelia
ataupun konsultan. Dalam hal ini diingatkan oleh Anastasia bahwa instrumen
hanyalah alat; baik-buruknya instrumen itu sebagai alat tergantung pada
pemakaiannya.
c. Pemakaian instrumen, misalnya, harus dipersiapkan secara matang, bukan
hanya persiapan instrumennya saja, tetapi persiapan klien yang akan
mengambil tes itu. klien hendaknya memahami tujuan dan kegunaan tes itu
dan bagaimana kemungkinan hasilnya. Bagi klien-klien yang secara khusus
meminta tes, perlu diungkapkan mengapa ia merasa perlu di tes. Lebih jauh,
klien itu juga dipersiapkan untuk menerima hasil tes sebagaimana adanya.
Apabila hasil ternyata baik, bagaimana reaksi klien dan apa yang akan
dilakukannya? Sebaliknya, apabila hasilnya ternyata tidak sebaik yang
diharapkan, bagaimana pula reaksinya? Konselor perlu memperoleh
kejelasan tentang alasan klien, dan apakah alasan yang dikemukakan itu
dapat diterima. Konselor juga perlu membimbing klien agar nantinya dapat
menerima hasil tes secara positif dan dinamis. Kalau hasilnya baik klien tidak
menjadi sombong atau besar kepala, dan apabila hasilnya jelas tidak menjadi
kecewa atau putus asa. Hasil apa pun yang dicapai hendaknya diterima
sebagaimana adanya, dan menjadi pendorong bagi klien untuk berbuat dan
berusaha lebih baik lagi untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.
d. Perlu diingat bahwa tes atau instrumen apa pun hanya merupakan salah satu
sumber dalam rangka memahami individu secara lebih luas dan dalam. Oleh
karena itu pemahaman terhadap klien hendaknya tidak hanya didasarkan atas
data tunggal, yang dihasilkan oleh tes semata-mata, melainkan harus
dilengkapi dengan data lain dari sumber-sumber yang relevan sehingga
gambaran tentang klien lebih bersifat komprehensif dan bermakna. Dalam
kaitan ini, Mortensen & Schmuller (1976) mengingatkan bahwa kesalahan-
kesalahan yang sering dilakukan oleh para petugas bimbingan dan konseling
dimasa lampau adalah memaksakan pemahaman tingkah laku individu hanya
berdasarkan pada hasil tes tunggal semata-mata, tanpa memahami secara
menyeluruh keadaan individu itu dalam batas-batas perkembangan
individualnya.
e. Ada dan dipergunakannya berbagai instrumen lainnya bukanlah syarat
mutlak bagi pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. Tes dan
berbagai instrumen itu sekedar alat bantu. Seperti telah dikemukakan di atas
pemahaman tentang klien dan permasalahannya dapat dilaksanakan melalui
wawancara dan dialog mendalam. Oleh karena itu, kekurangan ataupun
ketiadaan instrumen hendaknya tidak merupakan penghambat bagi
pelaksanaan bimbingan dan konseling (lihat kembali “kesalahpahaman
tentang instrumentasi BK” pada Bab III).
1) Instrumen Tes
Secara umum kegunaan berbagai tes itu ialah membantu konselor
dalam :
a) Memperoleh dasar-dasar pertimbangan berkenaan dengan berbagai
masalah pada individu yang di tes, seperti masalah penyesuaian
dengan lingkungan, masalah prestasi atau hasil belajar, masalah
penempatan dan penyaluran;
b) Memahami sebab-sebab terjadinya masalah diri individu;
c) Mengenali individu (misalnya siswa di sekolah) yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi dan sangat rendah yang memerlukan
bantuan khusus;
d) Memperoleh gambaran tentang kecakapan, kemampuan, atau
keterampilan seseorang individu dalam bidang tertentu.
Berbagai hal yang diperoleh konselor dari hasil tes dipergunakan
konselor untuk menetapkan jenis layanan yang perlu diberikan kepada
individu yang dimaksudkan.
2) Instrumen Non-Tes
Instrumen non-tes meliputi berbagai prosedur, seperti
pengamatan, wawancara, catatan anekdot, angket, sosiometri, inventori
yang dibakukan. Agar diperoleh hasil yang terandalkan, pengamatan dan
wawancara dilakukan dengan mempergunakan pedoman pengamatan
atau pedoman wawancara. Catatan anekdot merupakan hasil pengamatan,
khususnya tentang tingkah laku yang tidak biasa atau khusus yang perlu
mendapatkan perhatian tersendiri. Angket dan daftar isian dipergunakan
untuk mengungkapkan berbagai hal, biasanya tentang diri individu, oleh
individu sendiri. Sosiometri untuk melihat dan memberikan gambaran
tentang pola hubungan sosial di antara individu-individu dalam
kelompok. Dengan sosiometri akan dapat dilihat individu-individu yang
populer, yang membentuk klik atau kelompok-kelompok tertentu, dan
mereka yang terpencil (terisolasi). Sedangkan melalui inventori yang
dibakukan akan dapat diungkapkan berbagai hal yang biasanya
merupakan pokok pembahasan dalam rangka pelayanan bimbingan dan
konseling secara lebih luas, seperti pengungkapan jenis-jenis masalah
yang dialami individu, sikap dan kebiasaan belajar siswa.
b. Kunjungan Rumah
Kegiatan kunjungan rumah, dan juga pemanggilan orang tua ke
sekolah, setidak-tidaknya memiliki tiga tujuan utama, yaitu :
1) Memperoleh data tambahan tentang permasalahan siswa, khususnya yang
bersangkut paut dengan keadaan rumah/orang tua,
2) Menyampaikan kepada orang tua tentang permasalahan anaknya,
3) Membangun komitmen orang tua terhadap penanganan masalah anaknya.
Ketiga tujuan itu sering kali tampil sekaligus pada waktu kunjungan
rumah atau pemanggilan orang tua ke sekolah; namun demikian, dapat pula
terjadi ketiganya direncanakan secara bertahap sesuai dengan tahap-tahap
penanganan masalah. Untuk menyampaikan tujuan yang mana pun, sebagian
atau bertahap, dalam kunjungan rumah konselor terlebih dahulu :
1) Menyampaikan perlunya kunjungan rumah kepada siswa yang
bersangkutan. Siswa perlu memahami perlunya dan kegunaan kunjungan
itu berkenaan dengan penanganan masalahnya. Kunjungan rumah tidak
dapat dilakukan sebelum siswa memahami kegunaannya itu, dan
mempersilahkannya.
2) Menyusun rencana dan agenda yang konkrit dan menyampaikannya
kepada orang tua yang akan dikunjungi itu. Kunjungan rumah tidak dapat
dilakukan sebelum orang tua mengizinkannya.
c. Alih Tangan
Kegiatan alih tangan meliputi dua jalur, yaitu jalur kepada konselor
dan jalur dari konselor. Jalur kepada konselor, dalam arti konselor menerima
“kiriman” klien dari pihak-pihak lain, seperti orang tua, kepala sekolah, guru,
pihak atau ahli lain (misalnya dokter, psikiater, psikolog, kepala suatu kantor
atau perusahaan). Sedangkan jalur dari konselor, dalam arti konselor
“mengirimkan” klien yang belum tuntas ditangani kepada ahli-ahli lain,
seperti konselor yang lebih senior, konselor yang membidangi spesialisasi
tertentu, ahli-ahli lain (misalnya guru bidang studi, psikolog, psikiater,
dokter). Konselor menerima klien dari pihak lain dengan harapan klien itu
dapat ditangani sesuai dengan permasalahan klien yang belum atau tidak
tuntas ditangani oleh pihak lain itu; atau permasalahan klien itu tidak sesuai
dengan bidang keahlian pihak yang mengirimkan klien itu. Di sisi lain,
konselor mengalihtangankan klien kepada pihak lain apabila masalah yang
dihadapi klien memang di luar kewenangan konselor untuk menanganinya,
atau setelah konselor berusaha sekuat tenaga memberikan bantuan, namun
permasalahan klien belum berhasil ditangani secara tuntas.
Dalam kaitan itu, Cornier & Bernard (1982) mengemukakan beberapa
praktek yang salah yang hendaknya tidak dilakukan konselor dalam kegiatan
alih tangan, yaitu :
1) Klien tidak diberi alternatif pilihan kepada ahli mana ia akan dialih-
tangankan.
2) Konselor mengalihtangankan klien kepada pihak yang keahliannya
diragukan, atau kepada ahli yang reputasinya kurang dikenal.
3) Konselor membicarakan permasalahan klien kepada calon ahli tempat
alih tangan tanpa persetujuan klien.
4) Konselor menyebutkan nama klien kepada calon ahli tempat alih tangan.
Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi berbagai layanan dan
kegiatan penunjang yang semua itu hendaknya dilakukan konselor,
khususnya konselor yang bekerja pada lembaga tertentu (misalnya sekolah)
dengan sejumlah warga lembaga yang menjadi tanggung jawab penuh
konselor sebagai sasaran layanan. Layanan orientasi mengacu pada
diperkenalkannya individu atau klien kepada lingkungan yang baru
dimasukinya. Dengan program orientasi itu proses penyesuaian diri individu
kepada lingkungan biasanya akan lebih cepat sehingga ia dapat menjalani
perkembangan dan kehidupannya di lingkungan yang baru itu secara optimal.
Layanan informasi amat dibutuhkan oleh individu-individu yang
perlu mempertimbangkan dan hendaknya mengambil keputusan tentang
sesuatu (misalnya pilihan sekolah lanjutan), tetapi belum memiliki
pemahaman yang cukup tentang berbagai hal berkenaan dengan apa yang
hendak diputuskan itu. secara garis besar diketahui adanya informasi
pendidikan, informasi jabatan/pekerjaan, dan informasi sosial-budaya.
Berbagai informasi itu diperlukan oleh individu-individu, baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Metode layanan informasi yang lazim dipakai ialah
ceramah, diskusi, karyawisata, buku panduan, dan konferensi karier.
Pada siswa yang mengalami masalah belajar, seperti keterlambatan
akademik, ketercepatan belajar, sangat lambat belajar, kurang motivasi
belajar, serta bersikap dan berkebiasaan belajar buruk dalam belajar
memerlukan bimbingan belajar. Masalah-masalah belajar itu dapat
diidentifikasi, melalui sejumlah cara, yaitu melalui pengadministrasian tes
hasil belajar, tes kemampuan dasar, tes diagnostik, analisis hasil belajar atau
karya, dan pengungkapan sikap dan kebiasaan belajar. Upaya penanganan
masalah belajar itu dilakukan melalui sejumlah layanan, antara lain
pengajaran perbaikan, kegiatan pengayaan, peningkatan motivasi, sikap dan
kebiasaan belajar. Semua layanan itu sangat memerlukan kerja sama antara
konselor, guru dan personel sekolah lainnya.
Konseling program merupakan layanan yang amat khas, yaitu
komunikasi langsung tatap muka antara klien dan konselor. Layanan khas ini
sering dianggap sebagai “jantung hatinya” pelayanan bimbingan dan
konseling secara keseluruhan. Apabila “jantung hati” itu telah dikuasai, maka
layanan-layanan lainnya akan mengikut. Layanan konseling perorangan juga
diberi sifat “resmi” dalam arti bahwa layanan itu merupakan usaha yang
disengaja dengan niat yang mantap, memiliki tujuan yang tidak bisa lain
kecuali untuk kepentingan dan kebahagiaan klien, dilaksanakan dalam format
tertentu, dengan mempergunakan metode yang terukur dan teruji, serta
hasilnya dievaluasi dan ditindaklanjuti. Dalam sifatnya yang “resmi” itu
layanan konseling berupa mengentaskan masalah klien melalui sejumlah
langkah umum, yaitu pengenalan/pemahaman masalah klien, analisis sebab-
sebab timbulnya masalah, aplikasi metode khusus pengentasan, evaluasi dan
tindak lanjut. Langkah-langkah umum tersebut diwarnai oleh lima tahap
keefektifan konseling. Para konselor yang menyelenggarakan layanan
konseling perorangan yang unik itu biasanya mendasarkan pelaksanaan
layanan pada pendekatan ataupun teori konseling tertentu. Secara garis besar
pada umumnya dikenal tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif,
non-direktif, dan elektrik. Konselor dapat menganut salah satu pendekatan
itu, namun agaknya pendekatan elektrik lebih banyak pengaruhnya. Layanan
konseling itu dapat diselenggarakan di segenap lingkungan kerja yang
berbeda, di sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi, dan di
masyarakat pada umumnya.
Layanan bimbingan dan konseling kelompok memberikan
kekhususan tersendiri terhadap pelayanan bimbingan dan konseling secara
keseluruhan. Layanan kelompok itu memiliki beberapa keunggulan, yang
paling pokok ialah bahwa ia lebih efisien, lebih ekonomis. Dinamika
interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok memberikan warna khas yang
tidak dapat terjadi pada konseling perorangan misalnya, dan kekhasan ini
memberikan keunggulan yang lain. Interaksi sosial itu memungkinkan
terjadinya suasana bimbingan yang nyata (yang terjadi sehari-hari) di dalam
kelompok. Kekhususan out pula yang merupakan media tersedia bagi upaya
pengentasan masalah klien melalui konseling kelompok. Di samping itu,
konseling kelompok di satu sisi dapat menjadi lahan penjajagan bagi
pelaksanaan konseling perorangan untuk klien tertentu, dan di sisi lain
menjadi lahan latihan pengembangan keterampilan berkomunikasi dan
berinteraksi sosial bagi klien yang oleh konseling perorangan disarankan
untuk melakukan latihan yang dimaksudkan itu. Begitu menonjolkan
keunggulan yang dapat ditampilkan oleh layanan konseling kelompok,
sampai-sampai diramalkan bahwa pada tahun 2000 nanti seluruh pelayanan
bimbingan dan konseling didominasi oleh layanan konseling kelompok.
Pelaksanaan berbagai layanan tersebut perlu ditunjang oleh sejumlah
kegiatan. Instrumentasi bimbingan dan konseling dengan mempergunakan
berbagai teknik tes dan non-teknis perlu dikembangkan oleh konselor.
Penggunaan setiap instrumen hendaknya disertai pertimbangan yang matang,
kemampuan dan ketepatan pengadministrasian/pengolahan dan penafsiran,
serta tanggung jawab yang tinggi. Pemakaian berbagai instrumen itu,
ditambah dengan penyelenggaraan sejumlah prosedur lainnya (antara lain
pengamatan, wawancara dan pengumpulan bahan akan menghasilkan
berbagai data, baik data pribadi, data umum, maupun data kelompok. Data
pribadi disimpan secara khusus dalam bentuk himpunan data. Sedangkan data
umum dan data kelompok dikumpulkan dalam kemasan tersendiri. Semua
data itu, sesuai dengan relevansinya masing-masing, dipergunakan untuk
menunjang sikap jenis layanan yang disebut di atas.
Kegiatan penunjang lain yang cukup penting adalah konferensi kasus,
kunjungan ke rumah, dan penyelenggaraan alih tangan. Masing-masing
kegiatan tersebut memiliki tujuan dan pola-pola pelaksanaannya sendiri yang
kesemuanya tidak lain untuk meningkatkan penyelenggaraan dan
keberhasilan segenap fungsi pelayanan bimbingan dan konseling.