You are on page 1of 25

Filsafat Ilmu Sosial

Chapter 3, Moral Sentiments Relating


to Incest: Discerning Adaptations from
By-products

Oleh :
1. Arief Budiman

2. Efendi Tobing

3. Indra Nur Fajar

4. Deilika Chairina

5. Rizki Rianda Silva


6. Muhamad Nurgiri

7. Winda Novia Rahmanisa

3. Sentimen
berkaitan moralhubungan
dengan yang
sumbang

Perilaku Pihak Ketiga dan Sentimen Moral

Seandainya antropologi dari mars untuk mempelajari spesies kita, tentu saja salah satu dari
banyak fitur akan ia laporkanyaituketertarikan kita yang tampak tak berujung pada apa yang
orang lain lakukan, Misalnya, seseorang mencoba melakukan kecurangandemi perubahan sosial.
Pengamatan ini secara alami akan mendorong berbagai pertanyaan seperti: mengapa kita penuh
gairah untuk mengetahui tentang apa yang orang lain lakukan? Apa asal sentimen kita yang
menyangkut perilaku pihak ketiga. Apakah Itu adalah asal sentimen moral kita?

Tujuan utama bab ini adalah mengumpulkan asal sentimen moral dalam suatu domain
tertentu: hubungan sumbang. Topik ini telah mendapat banyak perhatian dalam ilmu-ilmu sosial,
serta masih ada sedikit konsensus mengenai sejauh mana mekanisme yang mengatur sentimen
dalam bentuk penghindaran moral perkawinan yangberkaitan dengan hubungan sumbang. Dalam
upaya untuk menerangkan hubungan antara penghindaranperkawin sedarah dan ekspresi moral
yang berkaitan dengan hubungan sumbang, penelitian yang dibahas menunjukkan bahwa
bagaimana menyusun pola evolusi adaptasi psikologis sentiment moral dalam domain ini. Dua
hipotesis dan pedukung bukti empiris menawarkan :(1)Sentimen moral yang berkaitan dengan
hubungan sedarah. Adaptasi psikologis mengatur pengembangan tentang keengganan seksual
terhadap anggota sendiri keluarga (2) Pemisah adaptasi kognitif mungkin ada untuk mengatur
perilaku seksual seseorang dalam keluarga karena konsekuensi kemampuannya terkait genetik
kawin kerabat dekat satu sama lain. Sentimen yang berkaitan dengan perkawinan sedarah
sertapenghindarannya mungkin baik, secara terpisah maupun adaptasi. Data yang dibahas
menyediakan dukungan awal westermarck edward untuk mengklaim bahwa pelarangan budaya
tentang hubungan sumbang adalah refleksidari disposisi biologis untuk mencegah konsekuensi
negatif kebugaran yang terkait dengan perkawinan sedarah.

Mengapa Kita Peduli Tentang Perilaku Orang Lain?

Perilaku orang lain bisa saja sangat mempengaruhi kebugaran dalam dirinya
sendiri.Perilaku dan keputusan orang lain di lingkungan sosial merupakan salah satu dari tiga
efekyang berbeda pada kebugaran inklusif: (1) Berpengaruh positif, memberikan dasar bagi
penyesuaian untuk bersifat mementingkan kepentingan orang lain (2) tidak berpengaruh sama
sekali (3) efek negatif (misalnya, dengan memiliki sumber daya yang berharga tanpa izin, terlibat
dalam tindakan perselingkuhan seksual, dan membunuh teman, saudara, atau calon pasangan).

Kategori perilaku lama (yaitu, biaya-biaya kebugaran yang memaksa) merupakan tindakan
kita yang cenderung dianggap sebagai moral yang menjijikan.Kategori yang selanjutnya (yaitu,
perilaku yang memberikan kebugaran manfaat potensial) cenderung dianggap sebagai moral
berbudi luhur dan terpuji.

Ada adaptasi hipotesis kognitifuntuk alasan mengenai perilaku orang lain. Komponen,
seperti mekanisme penalaran harus mencakup: (1) Sistem yang memantau tindakan orang lain
(dan mungkin memotivasi pengumpulan informasi untuk menilai program kemungkinan
tindakan orang lain), (2) sistem yang memperkirakan biaya dan manfaat hubungannya tindakan
orang lain atau tindakan mungkin sesuai dengan evolusi yang terlihat (misalnya, statistik rutin)
efek tindakan tertentu yang ada pada kebugaran inklusif, dan (3) sistem yang menggunakan
hitungan biaya / perkiraan manfaat untuk memotivasi gangguan (atau promosi) perilaku melalui
cara yang menyebabkan peningkatan keberhasilan reproduksi di lingkungan leluhur.

Satu jawaban mengapa kita peduli tentang apa yang orang lain lakukan di lingkungan
sosial kita adalah bahwa tindakan mereka dapat membawa konsekuensi kebugaran yang
signifikan. Namun, tampaknya kita cenderung peduli tentang apa yang orang lain lakukan
bahkan jika mereka bukan bagian lingkaran langsung sosial kita dan biaya dari tindakan mereka
tidak akan mempengaruhi kita dengan cara apapun.

Satu jawaban yang mungkin berasal dari pertimbangan struktur lingkungan leluhur dan
membedakan fitur adaptif sistem psikologis yang dirancang untuk alasan tentang perilaku pihak
ketiga dengan produk mereka. Sepanjang sejarah banyak evolusi spesies kita, kita hidup dalam
kelompok sosial mulai dari 25 individu tidak lebih besar dari sekitar 500 orang. Dalam
lingkungan seperti itu, akan kemungkinan itu dan individu tahu orang lain dan teratur dihadapi
sebagian besar anggota kelompok sepanjang hidup nya. Akibatnya, aksi dari semua anggota
kelompok memiliki kemungkinan peningkatan kebugaran inklusif yang benar-benar
mempengaruhi seseorang. Jadi, perilaku termotivasi sesuai dengan kebenaran lingkungan
leluhur. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian kita terhadap orang lain dengan siapa kita tidak
berinteraksi secara rutin dalam masyarakat modern mungkin merupakan produk sampingan dari
sistem yang dirancang untuk menangani pengaturan sosial yang lebih khas dari nenek moyang
kita sebagai pemburu kolektif.

Secara umum, hipotesis secara empiris maju dapat di uji, yaitu bahwa evaluasi dari
beberapa perilaku pihak ketiga dapat dilakukan oleh sistem evaluasi biaya yang sama dan
manfaat dari tindakan pada kebugarandiri seseorang. Dengan cara ini, beberapa sentimen moral
yang berkaitan dengan perilaku pihak ketiga mungkin adaptasi dari psikologis.

Rangkuman
Karena konsekuensi kebugaran potensial berasal dari tindakan orang lain dalam
lingkungan leluhur, adaptasi psikologi diduga (1) memantau perilaku orang lain, (2)
mengevaluasi biaya dan manfaat yang terkait dengan perilaku orang lain, dan (3) memotivasi
gangguan atau promosi perilaku orang lain sesuai dengan efek keputusan seperti itu pada
kebugaran inklusif berdasarkan sejarah evolusi spesies kita. Kemungkinan bahwa estimasi biaya
dan manfaat dari perilaku yang berbeda dalam suatu wilayah akan mengandalkan informasi yang
berbeda (misalnya, isyarat tanda perselingkuhan seksual yang mungkin berbeda dari isyarat yang
digunakan untuk menilai apakah seseorang telah ditipu dalam pertukaran sosial. yaitu, algoritma
yang berbeda akan membutuhkan isyarat yang berhubungan dengan domain yang berbeda dari
perilaku sosial ke dalam estimasi biaya kebugaran. Sebagai hasilnya, sentimen moral mungkin
dihasilkan dari koleksi sistem masing-masing yang dirancang khusus untuk memproses
informasi tentang aspek tertentu dari dunia sosial daripada suatu sistem umum yang
menghasilkan "arti moral".

Adaptasi yang ada untuk mengatur perilaku lain melalui cara kebugaran yang inklusif ,
mungkin salah satu dampak positif, diambil sebagai masukan informasi mengenai tindakan orang
lain dengan siapa seseorang tidak berinteraksi dan menghasilkan sentimen moral (dan motivasi
yang berhubungan) di respon kepada tindakan-tindakan ini. Ini mungkin fakta bahwa pikiran kita
dilengkapi untuk menangani lingkungan leluhur yang terdiri dari kelompok sosial kecil dimana
perilaku orang lain memiliki peluang peningkatan kebugaran inklusif berdampak seseorang, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui jaringan sosial seseorang. Akhirnya, perlu
diakui bahwasanya banyak dari perhitungan yang diduga terjadi di luar kesadaran. Tergantung
pada apakah perilaku tertentu yang dihasilkan merupakan perkiraan biaya atau manfaat untuk
kebugaran inklusif seseorang, sistem emosi yang berbeda dapat dipicu, misalnya, secara sadar
merasa tujuan dan motivasi. Sejauh mana pengetahuan yang diperoleh secara sadar (misalnya,
konsekuensi biologis menyaksikan penangkaran sanak) dapat menembus dan memperbarui
sistem-sistem ini (atau lainnya) adalah pertanyaan yang bagus layak penyelidikan.

Edward Westermarck
Westermarck seorang ilmuwan sosial asal Finlandia, yang pada awalnya menyarankan
suatu kebudayaan tentang inses, yaitu hubungan seksual antara dua orang yang bersaudara dekat
yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama, yang berasal dari suatu kebudayaan yang
mengatur untuk menghindari perkawinan sedarah, yang biasanya terjadi antara kerabat genetik.
Dia memperhatikan bahwa tidak adanya daya tarik seksual antara saudara kandung,
Westermarck hipotesis mengatakan bahwa keakraban anak usia dini mengarah pada
pengembangan keengganan seksual, yang kemudian disalurkan saat dewasa. Hal ini kemudian
dikenal sebagai Hipotesis Westermarck (WH). Namun, masih banyak sengketa mengenai hal ini
dan menuntut bukti yang lebih mendukung..

SSSM Argumen
SSSM mengibaratkan pikiran manusia sebagai tabula rasa, yaitu satu kotak kosong yang
tidak berisi apa-apa sampai pengalaman akan mengisinya.Metafora mengenai pikiran manusia
telah berubah dari kotak kosong ke switchboard dan kini menjadi sebuah komputer, namun isi
pikiran tetaplah ditentukan oleh sesuatu yang berasal dari luar, yakni dari lingkungan dan dunia
sosial. SSSM juga berpandangan bahwa arsitektur pikiran manusia didominasi oleh sejumlah
mekanisme yang bersifat general-purpose dan content-independent atau domain-general.
Mekanisme yang bersifat general-purpose itu diantaranya adalah belajar, induksi, inteligensi,
imitasi, rasionalitas, dan budaya. Psikologi evolusioner mencoba mengganti SSSM dengan
menunjukkan bahwa pikiran manusia terdiri dari sejumlah besar mekanisme yang secara
fungsional bersifat khusus dan domain specific.

Setelah itu muncul dua argumen yang dikemukakan oleh Westermarck yang dikritik oleh
para ilmuwan. Yang pertama mempertanyakan pantangan- pantangan jika penolakan seksual
secara otomatis dikembangkan. Argumen kedua lebih terfokus pada WH dan mencatat bahwa
hubungan masa kanak-kanak juga menimbulkan penolakan terhadap individu-individu yang
secara genetik tidak berhubungan karenanya, tidak dapat berfungsi sebagai sistem untuk
menghindari kawin sedarah, setiap argumen berisi asumsi keliru membuat mereka tidak efektif
pada penjelasan mendiskreditkan Westermarck tentang asal mula inses terjadi.

Revisi Dari Argumen Westermarck


Menurutnya hubungan seksual antara sesama genetik tertentu merupakan isyarat untuk
mendeteksi kerabat dan memediasi penghindaran seksual, maka seorang individu harus memilih
salah satu cara dalam suatu hubungan sebagai mitra seksual tanpa keterkaitan genetik mereka.
Dan dari penelitian ini dapat juga diketahui akibat buruk dari perkawinan sedarah.

Hubungan antara Penolakan Hubungan Kawin Sedarah dengan Incest Taboo


( aturan melarang hubungan Inses)

Meskipun sudah ada kemajuan terbaru dalam memahami bagaimana penemuan kerabat
dalam hubungan dengan manusia,seperti halnya dengan spesies-spesies lainnya,pertanyaan
penting yang belum terjawab : sejauh mana adanya sistem yang mengatur penolakan hubungan
kawin sedarah dan adanya sentimen moral dari pihak ketiga mengenai hal ini? Memang telah
mulai adanya penyelidikan hubungan antara penolakan inses dan sikap budaya mengenai inses
tersebut.

Sentimen Moral yang Berkaitan Dengan Inses : Sistem/Cara yang Ampuh


untuk Mencegah Perkawinan dengan Saudara yang secara Genetik dekat
(misal : kakak dengan adik)

Edward Westermarck awalnya mengatakan bahwa Incest Taboo dan sentimen moral
adalah manifestasi atau perwujudan dari keseganan biologis. Sentimen inses disini adalah sebuah
perenungan atau refleksi untuk mencegah hubungan seks dengan saudara kandung. Dibutuhkan
pertama kalinya mendiskusikan penolakan hubungan sedarah dalam manusia dan darisitu kita
bisa menjelaskan sentimen moral yang berhubungan dengan inses yaitu sebuah fungsi dari faktor
yang sama dalam membangun konsep keengganan seksual terhadap kerabat dekatnya sendiri.
Disini selanjutnya akan didiskusikan mengapa seleksi alam menyebabkan evolusi/
perkembangan sebuah mekanisme untuk menolak hubungan kawin sedarah tersebut dengan
memakai kerangka adaptasi yang merupakan suatu pengembangan dari proses yang berjalan
mengapa ada kemauan untuk kawin dengan kerabat yang genetiknya sama.

Seleksi Alam yang Mengatur Penolakan Kawin Sedarah

Ada dua tekanan seleksi alam disini yaitu kerusakan mutasi resesif dan pathogen generasi
singkat. Cara ini menguntungkan seseorang untuk menghindari perkawinan dengan kerabat atau
saudara kandung.

• Kerusakan Mutasi Resesif


-tersembunyi dalam genome dan kehadirannya tidak dapat terdeteksi,tetapi
mutasi resesif dapat menyebabkan anak yang dimiliki pasangan saudara kandung yaitu antara
dua sampai enam tahun meninggal sebelum mencapai usia produktifnya (usia remaja). Cucu
dari pasangan tersebut yang juga memang berasal dari nenek moyang yang sama juga
mewarisi dua gen yang merusak.

• Patogen Generasi Singkat


Seleksi kedua yang menekankan individu yang lebih suka menikah dengan
orang yang bukan dari kerabatnya sendiri.

Dari fakta atau seleksi alam dari mutasi resesif yang merusak dan patogen generasi singkat
yang telah menciptakan masalah yang adaptif dan penolakan hubungan seks dengan kerabat
dekat. Namun,solusi seperti apa untuk memecahkan maslah ini dalam kehidupan manusia?

Ada tiga solusi yang diusulkan :

1. Mencari dan mengambil informasi dari keluarga kita agar kita bisa tahu atau
memperkirakan apakah hubungan yang kita jalani dengan lawan jenis kita yang kita
sukai merupakan bagian dari keluarga atau diluar lingkungan sosial kita.

2. Menggunakan hitungan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan jika memilih partner


hidup.

3. adanya rasa jijik dengan hubungan inses tersebut.


Mendeteksi atau Menemukan Sanak Famili : petunjuk untuk mengetahui
apakah saudara kandung kita atau bukan.

Dalam menemukan hubungan kekerabatan harus mempercayai petunjuk yang


berkorelasi dengan aturan aturan hubungan genetik. Satu sumber informasi yang potensial
mengenai hubungan sanak famili adalah input bahasa dan budaya.

Masalah-masalah potensial yang sering ada dalam hubungan sanak famili yaitu :

1. Pengertian sanak famili dapat ditafsirkan berbeda antara benar-benar saudara kandung
atau tidak atau sanak famili dan bukan sanak famili.,seperti bibi. Bibi disini ditafsirkan
berbeda yaitu saudara perempuan orangtua kita atau istri dari saudara laki-laki
orangtua kita.

2 Tidak adanya perhatian dari individu-individu dalam famili tersebut mengenai istilah
kerabat dengan siapa kerabat yang Ia bantu.
Seperti : seorang wanita yang memiliki anak mengaburkan istilah kekerabatan
yang dia berikan kepada anak tersebut. Ketika wanita tersebut menyuruh anaknya untuk
“Bantu saudara perempuanmu!”,anak tersebut tidak mengerti apakah saudara perempuan
yang akan dibantunya adalah kakanya atau bukan.

Jadi,istilah kerabat disini tidak dianggap mengaburkan genetik yang berbeda-beda, tetapi
istilah kerabat ini menjadi petunjuk yang tidak bisa dipercaya.

3 Sistem dalam kekerabatan ini juga sebenarnya bisa terlihat dalam spesies-spesies
lainnya.
Jika input bahasa dan budaya tidak bisa menyesuaikan sebuah situasi yang rumit ini, maka cara
yang terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang
berkorelasi dengan genetik yang berhubungan dengan nenek moyang dan menghitung indeks
hubungan internal. Untuk memperluas petunjuk-petunjuk yang berbeda tersebut yang sama-sama
berkorelasi dengan individu-individu yang menjadi tipe khusus dengan kerabat yang paling dekat
(ibu,ayah,keturunan,saudara kandung), maka perbedaan dari petunjuk-petunjuk tersebut
diharapkan ada. Keuntungan dari menyeleksi hubungan kerabat adalah menjadi tumbuh dan kuat
individu-individu dalam melihat hubungan-hubungan kekerabatan tersebut. Satu kategori
kekerabatan yang dapat diterima adalah saudara kandung.

Alamat tempat tinggal mungkin bukan satu-satunya petunjuk yang tersedia untuk
menemukan saudara kandungnya.Oleh WH, satu petunjuk potensial untuk memahami
lingkungan saudara kandung mereka adalah mulai diajarkan dari masa kanak-kanak,dengan
alasan bahwa anak-anak tersebut dapat mengkategorikan individu-individu yang benar-benar
genetic dari kerabat sebagai saudara kandung.,contoh seorang wanita menjadi pemimpin bagi
anak-anak mereka untuk memeberi pendekatan mengenai keluarganya. Selain itu, petunjuk
lainnya adalah entah dia berumur tiga tahun,tiga belas, atau 23 tahun untuk melihat ibunya
menggendong bayinya merupakan petunjuk yang dapat dipercaya untuk meyatakan bahwa bayi
trsbut adalah saudara kandung atau kerabat mereka.,maka dari itu alamat tempat tinggal mungkin
menjadi petunjuk yang terbaik bagi saudara yang lebih muda untuk menemukan saudara atau
kakaknya yang lebih tua.

Apakah Sentimen Moral yang Berhubungan dengan inses (berhubungan seks


antarsaudara) menuntun keengganan seksual seseorang?
Berdasarkan data penelitian memungkinkan investigasi moral pada permulaan dari
sentiment moral yang berhubungan dengan inses. Untuk menguji hipotesis ini, kami
mengembangkan perangkat survey dan bertanya pada mahasiswa untuk memberikan informasi
tentang durasi koresiden dan perilaku anak lainnya dengan jenis kelamin mereka yang sama
maupun tidak. Sebagai tambahan, mereka diminta untuk mengurutkan skala ke Sembilan belas
kesalahan moral pada keberpihakan partai sosal ketiga mencakup pembunuhan, pencurian,
perselingkuhan antaranggota keluarga, dan pernikahan antaranggota keluarga. Untuk menilai
pertentangan moral dari pihak ketiga perkawinan antarsaudara, peringkat-peringkat dari dua
perilaku saudara kandung telah dirata-ratakan dan digunakan sebagai standar pengukuran.
Penemuan mereka mengindikasikan bahwa durasi koresiden dengan perbedaan jenis kelamin
memprediksikan secara signifikan derajat pertentangan moral yang melaporkan tentang pihak
ketiga perkawinan antarsaudara. Hubungan antara durasi koresiden dan sentiment moral untuk
pihak ketiga perkawinan saudara telah ditemukan untuk terus mengontrol jumlah berlawanan
seks saudara kandung dalam suatu keluarga dan kepercayaan seseorang tentang keterkaitan,
seperti yang ditunjukkan dengan mempertimbangkan hanya individual dengan mengangkat
anak, diambil bersama-sama, data kami mendorong klaim dari Westermarck dan menyarankan
bahwa durasi koresiden, sebuah data yang digunakan untuk memperkirakan keterkaitan dan
mengaktifkan keengganan seksual terhadap saudara kandung sendiri, juga memprediksikan
kekuatan sentimen moral yang berhubungan dengan perkawinan antarsaudara

Hipotesis-hipotesis alternatif: SSSM dan Transmisi kebudayaan


Ada sejumlah hipotesis alternatif yang membutuhkan pengetatan evaluasi, sejauh mana
mekanisme penghindaran kawin sedarah yang berhubungan dengan inses. Hipotesis alternatifnya
adalah bahwa sikap moral seseorang yang berhubungan dengan inses yang diadopsi dari
lingkungan sosial, baik dari orang tua atau dari suatu kelompok, dan demikian bukan merupakan
produk evolusi adaptasi. Meskipun tiga bukti menunjukkan bahwa transmisi kebudayaan tidak
dapat menjelaskan pola dari sentimen moral: (1) data tentang transimisi kebudayaan dari sikap
terhadapt seksualitas, (2) data dari sama atau tidaknya jenis kelamin saudara kandung, (3) data
dari yang saudara yang lebih tua dengan yang muda. Berdasarkan hipotesis transimisi
kebudayaan , sikap orang tua yang lebih membatasi tentang seksualitas, yang lebih membatasi
sikap anak-anak mereka juga. Transmisi budaya horisontal. Jika sikap tentang seksualitas telah
berpola dalam satu kelompok, lalu suatu sikap mengenai seksualitas harus memprediksi ragam
dalam sentimen moral yang berhubungan dengan inses. Penemuan ini tidak hanya
melawanhipotesis transimisi kebudayaan tapi juga menyarankan bahwa satu sistem
pemerintahan yang mengatur tentang seksualitas terpisah dari peraturan yang melarang
perkawinan sedarah. Bukti tambahan mengenai hipotesis transmisi kebudayaan gagal untuk
menjelaskan data ini, dilihat pada durasi koresiden dengan saudara kandung berjenis kelamin
sama. Jika transmisi kebudayaan adalah sebuah proses mengatur sikap terhadap inses, lalu sikap
seseorang seharusnya bebas dari jenis kelamin saudara kandungnya. Jika pada sisi lain, adaptasi
psikologis khusus ada yang mengatur keengganan perkembangan seksual untuk menghindari
konsekuensi merugikan yang terkait dengan kawin sedarah, lalu durasi koresiden dengan hanya
saudara sekandung yang berlawanan jenis seharusnya mempengaruhi keengganan seksual dan
bertentangan dengan moral. Tetapi mungkin, orang tua mengkomunikasikan hal yang berbeda
dari pesan tersebut kepada anak-anak mereka berdasarkan kepada komposisi keluarga. Hal
tersebut masuk akal bahwa penularan vertikal dari sikap tentang inses hanya terjadi pada
keluarga dengan anak perempuan dan anak laki-laki, lingkungan dimana hubungan seksual
antarsaudara berpotensi terjadi. Jika hal ini terjadi, hipotesis transmisi kebudayaan akan
memprediksi, semakin lama, durasi koresiden dengan saudara kandung berlawanan jenis terlepas
dari usia relatif, semakin besar kesempatan para orang tua untuk mengkomunikasikan larangan
seksual kepada anak mereka dan oleh karena itu, semakin kuat anak-anak terinternalisasi sikap
tentang inses. Diambil serentak, data ini bertentangan dengan hipotesis transmisi kebudayaan
sebagai asal usul dari moral sentiment. Mereka mendorong klaim dari Westermark bahwa moral
sentiment berhubungan dengan inses adalah fungsi dari mekanisme yang sama untuk
mengarahkan pengembangan keengganan seksual terhadap kerabat dekat sendiri.

Sentimen Moral Berhubungan dengan Inses: Adaptasi untuk Mencegah

Perkawinan dengan Kerabat Dekat?

Apakah adanya paksaan untuk memilih akan mendorong evolusi dan pemeliharaan akan
sistem motivasi untuk manghalangi atau bahkan mendorong hubungan seksual diantara pihak
ketiga? yaitu, apakah ada adaptasi psikologis mempengaruhi orang lain untuk membuat
keputusan mengenai pilihan pasangan? Berdasarkan William (1966), “adaptasi” merupakan
konsep yang berat dan hanya diterapkan dalam menghadapi bukti yang kuat yang memiliki
sistem yang terancang dengan baik untuk menunjukkan fungsi tertentu. Sedangkan argument
yang ditunjukkan diatas menyarankan bahwa sentimen moral berhubungan dengan hubungan
seks saudara kandung adalah suatu hasil dari adaptasi yang dirancang untuk mencegah seseorang
dari menjadikan saudaranya sebagai pasangan seksual,

Dari pandangan yang berbeda, aksi dan pilihan kerabat dekat dapat mengakibatkan
kemampuan inklusif seseorang. hal ini memengaruhi keputusan pembuatan kerabat dekat sebagai
pilihan pasangan. fitur desain yang memungkinkan individu untuk menghitung biaya dan
manfaat dan mengganggu dengan serikat pekerja seks itu akan direproduksi fitur desain yang
belum menanggapi konsekuensi dari kondisi fisik kawin sedarah dalam keluarga. Sejauh kerabat
dekatnya dapat mengejar satu sama lain sebagai pasangan seksual dalam lingkungan leluhur.
Pola yang memotivasi adanya campur tangan dari serikat seksual antara kerabat dekat secara
konsisten dengan biaya dan keuntungan yang dihubungkan dengan masing-masing pasangan
akan menjadi lebih sering didalam populasi dibandingkan pola yang netral (normal) dengan
menghargai apakah anggota keluarga yang dikawinkan dengan orang lain. Yang pada tambahan
untuk menspesialisasikan sistem untuk mendeteksi kerabat dekat dengan tujuan untuk memandu
pilihan menikah seseorang, menspesialisasikan sistem yang dihipotesiskan untuk ada yang
menetapkan biaya dan keuntungan dari pasangan lain dalam keluarga dan memotivasi campur
tangan aktif. Intensitas dari campur tangan harus tergantung pada sejumlah faktor menyangkut
mutasi beban, beban patogen, serta kesempatan yang tersedia untuk mengamankan pasangan
yang tidak terkait

Penyelidikan Empiris Adaptasi untuk Mengatur Perkawinan Sedarah dalam


Keluarga
Terdapat kemungkinan adanya teori adaptasi yang mengatur perilaku seksual suatu
keluarga. Suatu sistem yang berfungsi untuk memandu motivasi seksualnya dan juga
memperkirakan kelebihan dan kekurangan dari perpaduan tertentu dalam keluarga yang akan
menjadi jalan keluar dalam memecahkan masalah adaptif (penyesuaian) ini. Sistem tersebut,
memberikan asumsi yang peka terhadap beberapa faktor seperti muatan genetik lokal dan
kesempatan untuk memperoleh pasangan di luar keluarga. Diperlukan usaha yang lebih keras
untuk menentukan apakah adaptasi itu ada dalam manusia.

Tampaknya Westermarck benar. Bukti yang disajikan diatas mendukung hipotesis yang
mengatakan bahwa sentiment moral yang berkaitan dengan hubungan seksual sedarah (inses)
adalah produk sampingan dari program psikologis yang berkembang untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya perkawinan dengan saudara genetiknya (sedarah/kandung).
Penyelidikan terhadap sturuktur mekanisme yang menghindari perkawinan sedarah pada
manusia telah mengungkapkan satu set isyarat ekologi yang sah yang mengatur motivasi seksual
kekeluargaan. Isyarat yang sama memprediksikan pola dari sentiment moral yang berkaitan
dengan hubungan seksual sedarah. Asumsi lain yang timbul dari pandangan SSSM mengenai
psikologi manusia, tidak dapat menjelaskan pola data yang didiskusikan diatas, tanpa
mengadopsi beberapa asumsi dari pikiran evolusioner para peneliti. Pengujian ulang terhadap
pernyataan Westermarck mengenai asal-usul sentiment moral berkaitan dengan hubungan seks
sedarah dapat dilakukan ketika isyarat yang mengatur deteksi kekeluargaan antara pasangan
lainnya telah diungkapkan. Ini akan memungkinkan penyelidikan yang lebih ketat terhadap cara
mengembangkan program penghindaran perkawinan sedarah mampu menciptakan sentiment
moral berkaitan dengan hubungan seksual sedarah.

Hubungan seksual sedarah (inses) adalah salah satu dari sejumlah perilaku dalam domain
moral. Ini berfungsi sebagai tes yang berguna untuk mengeksplorasi asal usul sentimen moral
kita dalam beberapa domain. Secara rinci, topik incest menyoroti pentingnya mengajukan
setidaknya dua pertanyaan yang berbeda: Apa sentimen moral terhadap perilaku pihak ketiga
dalam suatu domain tertentu adalah hasil pengembangan sistem? Dan apakah spesialisasi teori
adaptasi yang ada menghasilkan sentiment moral untuk mengatur perilaku pihak ketiga dalam
domain tertentu? dengan cara ini, akan mungkin untuk membedakan fungsi sistem yang
berevolusi dengan produk.
Moralitas, secara tradisional merupakan wewenang teolog dan filsuf, namun banyak
ilmuwan yang tertarik untuk memahami mengapa kita memiliki sentimen moral dan mengapa
kita peduli terhadap tindakan orang lain. Menurut perspektif yang dibahas di sini, evolusi
membentuk psikologis kita untuk memantau perilaku pihak ketiga melalui beberapa domain
yang mempengaruhi kemampuan inklusif kita dalam lingkungan keturunan. Dengan demikian,
pengertian moral kita bisa terdiri dari bermacam-macam sistem, masing-masing menilai baik
buruk dari tindakan orang lain dalam wilayah tertentu. Selain itu, seperti yang muncul dalam
kasus inses, pengertian moral kita mungkin berfungsi untuk memandu perilaku kita. Yang pasti,
masih dibutuhkan kerja keras untuk menentukan kebaikan dari pendekatan ini. Bagaimanapun,
hal itu memungkinkan untuk mengetahui kemampuan penalaran moral kita dan menyelidiki
secara empiris fakta-fakta yang mendasari nilai-nilai kita.

3.1 Edward Westermarck


tentang makna “moral”

Menghindari hubungan seksual dengan keluarga dekat dan penolakan orang lain yang
tidak menghindari hubungan seksual diantara mereka adalah perilaku yang sangat berbeda.
Mungkin karena dia tertarik asal mula ide moral sama dengan sejarah perkawinan manusia,
Edward Westermarck melihat perbedaan, tapi sebagian besar penulis yang mengangkat tema
“masalah inses” sejak dia menulis tidak mampunyai itu. Jika mereka seorang ahli biologi,
mereka menawarkan penjelasan tentang penghindaran dan anggapan sebagian besar orang
mengenai perilaku yang dihindari.
Sebagian besar aspek menarik dari pendapat Lieberman seperti itu, seperti Westermarck,
dia melihat untuk memecahkan masalah inses memerlukan jawaban sedikitnya dua pertanyaan
yaitu: mengapa manusia biasanya menghindari hubungan seksual dengan keluarga dekat? Dan
mengapla mereka memberi sanksi orang lain yang tidak menghindari hubungan seksual dengan
keluarga dekatnya? Setelah perdebatan sengit selama hampir satu abad, Westermarck menjawab
pertanyaan pertama yang sekarang secara luas diterapkan. “umumnya, kemungkinan luar biasa
perasaan erotis antara orang tinggal bersama secara berdekatan sejak masa kecil.” walaupun kita
masih tidak bisa mengidentifikasikan sebagai perwakilan penyebab reaksi persatuan awal,
umumnya sepakat bahwa itu adalah penyebab awalnya, Westermarck adalah orang yang pertama
berpendapat, pengaruh buruk dari perkawinan sedarah.

Pertanyaan yang kedua sering kali tidak diakui sebagai sebuah pertanyaan dan belum
terjawab. Lieberman di akhir papernya berpendapat penolakan seks antara keluarga dekat,
seperti menghindari hubungan seks dengan keluarga dekat disebabkan bahaya perkawinan
sedarah. Benar-benar sulit untuk menerangkan secara moral hubungan seks antara orang yang
merupakan keluarga dekat tetapi tidak bagi orang yang menyuarakan penolakan. Tidak jelas
hubungannya dengan bahaya dari perkawinan sedarah.

Pendapat Lieberman tentang penolakan seks antara keluarga dekat tapi tidak keluarga
saya adalah “produk dari sistem yang dirancang untuk menghalangi hubungan seksual saudara
genetik sendiri.” Sentimen moral seperti ini adalah “gambaran dari pengaktifan sistem yang
dirancang untuk menghalangi hubungan seksual dengan seseorang yang merupakan kerabat
genetik dekat sendiri.” Pendapat tersebut diberikan untuk Edward Westermarck, yang menyebut
sebagai tuntutan bahwa “dasar penyebab larangan perkawinan campur/exogamous” adalah
keengganan seksual terangsang oleh persatuan awal. “orang yang tinggal bersama secara dekat
dari masa kecil adalah sebagai peraturan kedekatan keluarga. Dari sini keengganan untuk
hubungan seksual dengan yang lain menempatkan dirinya dalam adat dan hukum sebagai
larangan hubungan seksual antara keluarga dekat.”
Lieberman menyampaikan bukti dari hipotesisnya, sebuah studi yang mahasiswa diminta
untuk membandingkan nilai moral dari berbagai kesalahan. Studi itu menunjukan siswa yang
mempunyai saudara kandung yang mereka hidup bersama untuk waktu yang lama lebih setuju
inses daripada siswa tanpa saudara atau mempunyai saudara tapi tidak hidup bersama untuk
waktu yang lama. Hasil ini adalah perwakilan yang menujukkan bahwa orang dengan
keengganan pribadi lebih mungkin setuju dengan inses daripada orang yang tidak memiliki
keengganan pribadi karena kesalahan lebih mungkin mengaktifkan sistem mereka yang
menghindari inses.

Walaupun banyak yang mendukung pendapat Lieberman, ada dua kekurangan. Yang
pertama, dan sangat jelas adalah kejelasan akun apa yang disebut sebahai perilaku “moral” dan
demikian apa yang dia harapkan dari menerangkannya. Secara keseluruhan Lieberman
mengatakan bahwa kita “cenderung untuk mengkategorasikan sebagai moral yang menjijikan”
perilaku-perilaku “memaksakan harga kecergasan.” Ini tidak mencukupi untuk berbagai alasan.
Yang paling jelas adalah bahwa orang dimanapun cenderung untuk mengkategorikan egois
sebagai perilaku asusila.

Kekurangan kedua dari pendapat Lieberman adalah kejelasan penggambaran bagaimana


keengganan seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan keluarganya sendiri membuat
dia menhukum orang lain yang tertarik seksual kepada keluarga mereka. Ini tidak cukup untuk
menklaim bahwa mengutuk inses adalah “sesuatu yang dibuat” atau “sebuah gambaran” dari
“sistem yang dirancang untuk menghalangi hubungan seksual dengan seseorang yang merupakan
kerabat dekat genetik”. Pendapatnya memerlukan spesifikasi bagaimana hal ini bisa tercapai.

Lieberman bisa menghindari kedua masalah tersebut jika dia membaca Edward
Westermarck dengan lebih cermat. Dia kelihatan tahu pekerjaannya sebagai seseorang sosiologis
tapi tidak pekerjaannya sebagai filsuf. Keduanya dalam The Origin and Development of the
Moral Ideas and Ethnical Relativity, Westermarck (1932a,1912/1932b) mencurahkan perhatian
apa yang menjadi pertimbangan orang melihat perilaku sebagai moral atau immoral. “Moral
yang ditolak” dalam pandangannya, “suatu bentuk kebencian, dan moral yang diterima, suatu
bentuk dari retributif emosi yang baik.” Yang membedakan “emosi ini berasal dari jenis emosi
nonmoral__ penolakan dari kemarahan dan dendam, dan persetujuan dari rasa syukur” adalah
“kenetralan,” “ketidakberpihakan,” dan “suatu dukungan dari generality.” Westermarck tidak
mengklaim bahwa perilaku dimotivasi oleh emosi moral adalah kebutuhan moral dalam banyak
pandangan yang lebih luas. Itu semua hanya menjadi moral ketika orang melihat itu sebagai
moral dan hanya ketika ada kenetralan dan tidak memihak.

Demikianlah oleh Westermarck, masalah yang ditimbulkan bagian kedua dari masalah
inses adalah menjelaskan mengapa kebanyakan orang menolak inses dan mengapa mereka
memandang penolakan sebagai kenetralan dan ketidak berpihakan. Inti dari pendapatnya adalah
menyarankan perlu untuk membedakan antara “sexual indeference” dan “suatu perasaan positif
dari keengganan.” Secara normal menyatakan perasaan seksual antara orang-orang yang
dibesarkan bersama adalah suatu perbedaan yang nyaman. Suatu perasaan positif suatu
keengganan hanya terangsang jika hanya untuk beberapa alasan “tindakan yang dianggap”

Walaupun dia sama sekali tidak menyatakan secara tegas, Westermarck menyatakan
“suatu perasaan positif dari keengganan” menjadi tidak menyenangkan, tidak nyaman. Dengan
kata lain menyakitkan. Demikianlah diharapkan bahwa orang akan setuju tidak berhubungan
dengan orang lain yang merupakan orang tua atau saudara kandung. Perilakunya membawa
kemungkinan hubungan tersebut secara paksa ke dalam fikiran. Ternyata kenyamana perbedaan
menjadi keengganan yang menyakitkan, dan dari itu memotivasi penolakan. Dalam pandangan
Westermarck “emosi retributif (sifat balas jasa) kita selalu bereaksi baik dalam perasaan sakit
maupun senang; ini berarti kebenaran emosi moral sama dengan rasa dendam dan rasa syukur.

Berakar dari pengalaman awal dan mempunyai komponen seksual yang luas, penolakan
inses selalu emosional. Alasan incest taboo adalah “ditandai oleh intensitas yang ganjil dan
kualitas emosi,” tapi bukan ini yang memberikan kualitas moral tersebut. Tapi moral tersebut
karena penolakan ini ditandai dengan “kenetralan”. Jarang membawa keuntungan sosial atau
materi; “ketidakberpihakan” karena reaksi yang sama tidak memperhatikan siapa yang orang
bersalah; dan “tentu saja dukungan secara umum” karena mayoritas orang memberikan respon
dengan cara yang sama. Ini dijamin oleh fakta bahwa reaksi adalah akar dari sifat-sifat manusia.

Demikianlah, dalam pandangan Westermarck, dasar dari incest taboo adalah apa yang
disebut Alexander Bain suatu “disinterested antipathy.” inses tidak menyebabkan melukai
teman-teman pelaku atau tetangga. Ketidaksetujuan mereka didapat dari “sentimental aversion
(kebencian sentimental)” bahwa muncul kenetralan dan ketidakberpihakan. Kualitas dari reaksi
ini bersifat umum, jika tidak universal, mengangkat respon individual dari sebuah fenomena
sosial. Ini lingkaran sederhana penolakan dalam penolakan moral. Incest taboo dasarnya sebagai
reaksi emosional bahwa moral menjadi umum dan muncul untuk melayani bukan bunga dari
keegoisan.

Pendapat ini tidak bertentangan dengan apapun dalam Lieberman paper. Seperti halnya
semua pekerjaan Westermarck, sama dengan asas Darwinian. Bahkan memprediksi hasil dari
kutipan study Lieberman. Perbedaannya adalah bahwa dalam pandangan saya, suatu pendapat
lebih pintar apabila dapat diungkapkan dalam bahasa yang sederhana apa yang perlu dijelaskan
dan secara jelas mengemukakan rantai sebab-akibat.
3.2 Antipati, Perasaan,
Prasangka Moral dan
Tabu
Oleh Richard Joyce
Tidak ada yg tahu batas apa untuk mekanisme peraturan incest yg dibawa manusia sejak
lahir. Debra lieberman sendiri mendukung adanya perkembangan adaptasi yang berkuasa pada
suatu daerah tingkah laku.tetapi pada akhirnya posisinya adalah bahwa hipotesis tersebut dapat
diterima dan jadi lebih banyak penelitian empiris yang dapat diselesaikan.Jesse prinz mendukung
posisi anti-nativist. Tetapi ia juga menetap pada kesimpulan bahwa kasus nativist belum
terselesaikan. Dan bahwa banyak program penelitian yang menunggu untuk diteliti.

Teori empiris yang diambil lieberman lebih meyakinkan daripada spekulasi spekulasi
yang berkembang. Tidak peduli seberapa hebat daya cipta dan berharganya suatu perkerjaan,
akan selalu ada, dan memang perlu ada lawan yang menawarkan model alternatif lain untuk
menjelaskan data empiris.jadi,kritikan yang paling tepat ditujukan kepada lieberman adalah
mengambil datanya lalu mengintrepretasikannya dgn non-nativist. saya disini bkn mau
melakukan itu. saya mau mengambilnya secara tidak ambisi dan mungkin lebih tdk menarik tapi
sebenarnya merupakan suatu tugas yang penting yaitu mengklarifikasi dan mengkritik kata kata
dan ungkapan yang dipakai lieberman untuk mendeskripsikan hasilnya dan kesimpulannya.. saya
akan mengkritik bagaimana ia menggunakan kata “moral” dan “sentiment”. Mungkin saya akan
kembali dikritik karena mempermasalahkan hal sesimpel itu.namun permasalahan semanantic
arguments adalah jika seseorang menunjukkan menghadirkan suatu konklusi sebagai pencerahan
dari sifat natural Xs tetapi konklusi ini digunakan x dalam cara yang tidak biasa dan terbatas atau
dibatasi,bisa dipastikan atau dikatakan konklusi seseorang ini tidak memikirkan sifat natural X
sama sekali.

Lieberan memilih utk mengkerangkakan diskusinya menggunakan term “moral


sentiments” yg lebih cocok digunakan pada abad ke 18-an.menurut Richard Joyce tidak cocok
digunakan kata “sentiment” dan lebih cocok menggunakan kata “emotion”. Bahkan edward
westermark yang juga menggunakan teori leberman menjauhi kaata sentiment dan lebih memilih
emotion.walaupun sebenernya kata emotion itu juga kurang bisa mendeskripsikan.

Ungkapan “moral sentiment” memiliki banyak arti. Yang pertama adalah sinonim dari
prosocial sentiment yg dimana cinta dan simpati masuk didalamnya. Beberapa perasaan pantas
disebut moral berdasarkan fakta yg biasanya atau selalu mengandung pembuatan moral
judgement. Byk teori memperdebatkan bahwa emotions memerlukan elemen kognitif. Dan
elemen kognitif ini mengandung normative judgement.perasaan rasa bersalah misalnya,adalah
emosi yang memikirkan bahwa permasalahan memiliki sikap yang melaupaui.

Moral sentiments dapat pula dikarakteristikan pada tiga hal : dengan mereferensikan
kepada permasalahan subjek, atau the domain of their prororypical elicitors. Penerjemahan ini
tentu saja menjanjikan untuk memudahkan operasional moral sentiments. Namun itu bukan
masalah. Pada awalnya ada perasaan perasaan yang ada langsung pada third parties yang kita
tidak biasa menganggapnya sebagai suatu moral yaitu surprise,horor,dan rasa kasihan

Penting untuk membawa batasan ini pada pikiran ketika membaca makalah lieberman
atau akan sangat membingungkan.contohnya seseorang mgkn telah tertarik untuk melihat teori
lieberman yang kontras antara antipati kepada incest dan incest yang dicela sebagai perbedaan
antara kemungkinan mekanisme.

Ada berbagai kemungkinan mekanisme peraturan dengan output nonmoral yaitu

1. tidak adanya hasrat seksual kepada keluarga

2.hasrat positif untuk menahan dari dari berbagai aktifitas

3.respon emosional yang negartif pada pemikiran mengenai incest

4. memutuskannya sebagai hal yang dilarang.

Moral sentiments yang didentifikasi diatas memblurkan batas antara 3 dan 4 karena
mereka dibedakan dari nonmoral emotional opposition ke incest dan dari non emotional moral
condemnation of incest
Seseorang dpt menebak dari judul makalah lieberman bahwa diskusi tersebut
memfokuskan kepada emosi bermoral yang ditimbulkan oleh incest adalah adaptasi atau dengan
produk dari adaptasi. Namun ini bukan project nya dan perbedaan aversion dan moral sentiment
tidak hanya untuk mencari suara. kata “aversion” terlihat untuk melakukan denoting the output
of any psychological mechanism that decrease an individual’s motivation to engage in incest.
Sedangkan moral sentiment is reserved for the output of any mechanism that prompts the
individual to interfere with other potential incestous activity.

Cara mengklasifikasikan permasalahan ini menurut saya menutup banyak kemungkinan


yg seharusnya menarik.pada awalnya misalnya ketika membatasi diri kita hanya sebagai
peraturan dgn respek kepada incest.itu berguna untuk membatasi moral dari mekanisme
nonmoral..secara keseluruhan perbedaan di dunia antara tdk meninginkan sex dgn seseorang and
men-judge sex itu adalah kejahatan. Seleksi alam mempunyai jalan keluar untuk hal ini.

Bukan saya sengaja untuk mengkritik lieberman utk menjatuhkan teorinya dengan
pertanyaan pertanyaan, saya hanya mau men clear kan penjelasan agar teori saya menjadi kuat
sebagaian lieberman’s discussion semestinya tidak memakai kata moral

saya akan menutup dengan kata yang sering muncul dalam diskusi ini, dan terlintas pada
makalah lieberman. Mengenai incest taboo. Menurut westermack, tabu adalah incest yang
merupakan bawaan kebencian dari lahir. Ia mengklaim bahwa manusia memiliki keengganan
alami untuk hubungan incest. Dan itu ditampilkan dalam hukum adat sebagai larangan.Posisi
Lieberman adalah bersimpati kepada westermarck, tetapi ia juga berspekulasi (pada beberapa
tanda bukti) bahwa "sentimen moral" yang berkaitan dengan incest anggota keluarga adalah
output dari sebuah adaptasi diskrit. Sebaliknya, Prinz mendorong agenda antinativist dengan
alasan bahwa bukti untuk mendukung sebuah tabu inses bawaan adalah "kurang aman" daripada
banyak diasumsikan. Ini tampaknya menjadi tiga posisi bersaing, tapi saya ingin menunjukkan
bahwa di dekat membaca tiga penulis sampai batas tertentu lalu berbicara satu sama lain.

Westermack tertarik dalam hubungan antara keengganan individu manusia untuk


berperilaku inses dan tabu . Ia tidak berpendapat bahwa kita dirancang untuk berpikir seks
dengan anggota keluarga kita sendiri sebagai hal jahat bahkan dilarang sebaliknya kita dirancang
hanya untuk menemukan repellant prospek. masing-masing harus memikirkan berhubungan seks
dengan anggota sendiri atau keluarganya akan memanifestasikan dirinya sebagai larangan moral
dalam kelompok, sebagai sesuatu yang tabu.

Ada gangguan antara ketiga pandangan yang bersaing ketika kita menyadari bahwa
mereka semua bisa saja benar. Misalkan manusia memiliki keengganan bawaan untuk
melakukan incest dan ini keengganan ketika individu bergabung bersama untuk membentuk
suatu masyarakat, memanifestasikan dirinya (entah bagaimana) sebagai tabu moral. Dengan kata
lain, misalkan westermarck benar. Karena keengganan bawaan tidak bersifat moral dan karena
apa yang dimoralkan bukan bawaan, antinativist Prinz pandangan tentang moralitas dan
moralitas incest khususnya konsisten dengan pandangan westermarck's. Sekarang anggaplah juga
bahwa manusia memiliki mekanisme bawaan diskrit dirancang untuk memotivasi tindakan dalam
menanggapi inses pihak ketiga dirasakan. Dengan kata lain, misalkan Lieberman yang benar. Ini
bentrokan dengan tidak ada bagian dari pandangan westermarck's. Lieberman panggilan setiap
tanggapan motivasi-terlibat seperti "sentimen moral" tetapi saya telah menyarankan bahwa kata
moral di sini adalah pilihan terbaik dan paling buruk sesat. Dalam kasus apapun, itu bukan
pengertian yang sama moral yang Prinz mempekerjakan ketika ia menyangkal bahwa manusia
memiliki sikap moral bawaan terhadap inses, dengan demikian, ternyata perbedaan terminologis
selain pandangan-Lieberman dan melihat Prinz's bisa keduanya benar.

Lieberman menulis, "moralitas, yang telah didefinisikan para teolog dan filsuf telah
dikacaukan oleh para ilmuwan” hal tersebut sepenuhnya harus diterima., jika berbagai pemikir
dan peneliti menghindari berbicara melewati satu sama lain, dan kita juga lebih cermat melihat
seluk beluk, maka hal tersebut dapat menjelaskan berbagai fenomena.

3.3 Tanggapan kepada


Joyce danWolf
Tanggapan untuk Pendapat Joyce

Komentar Joyce menimbulkan dua permasalahan, yaitu: bagaimana saya membuat


operasional "moral" dan penggunaan dari "perasaan" kata versus "emosi". Tujuan saya dalam
bab ini adalah melangkah mundur dan mengajukan pertanyaan mengapa kita peduli terhadap
perilaku orang lain sama sekali. Orang bisa membayangkan wujud manusia walaupun tidak
peduli sedikit pun tentang perilaku orang lain dan konsekuensi dari tindakan lainnya. pertanyaan
yang wajar, adalah apa yang menyebabkan hubungan timbal-balik kepedulian tentang perilaku
orang lain? analisis evolusi menunjukkan bahwa sentimen tentang perilaku orang lain dapat
beradaptasi dengan baik, dengan adaptasi produk, atau kebisingan. persetujuan atau
ketidaksetujuan dari beberapa perilaku pihak ketiga dapat diperoleh dari produk adaptasi untuk
menuntun perilaku kita sendiri, kemungkinan ada adaptasi psikologis untuk mengevaluasi
perilaku orang lain dalam lingkungan sosial dan mempromosikan manfaat kemampuan
berperilaku sementara, mencegah / memblokir biaya kemampuan impuls. biaya dan manfaat dari
berbagai tindakan orang lain sepanjang kontinum dengan perilaku mereka di ekstrem cenderung
untuk memotivasi tingkat tinggi harga atau hukuman yang sesuai. Ini adalah ambang di mana
sesuatu yang buruk secara moral menjadi intuitif mungkin dilakukan oleh banyak faktor,
termasuk biaya yang dikenakan pada diri mereka sendiri, sebuah keluarga, seseorang, salah satu
jaringan teman dan mitra dan pertukaran kelompok seseorang. di sisi berlawanan, ambang di
mana perilaku menjadi intuitif secara moral mungkin dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk
tingkat manfaat yang diberikan atas diri mereka sendiri, sebuah keluarga, seseorang, teman dan
mitra seperti dalam sekelompok orang. pendekatan yang lebih bermanfaat mungkin dimulai dari
prinsip-prinsip utama, yaitu pemeriksaan struktur lingkungan leluhur, masalah apa yang adaptif
mungkin ada, dan apa yang mungkin terlihat seperti desain sistem yang baik untuk memecahkan
masalah adaptif yang spesifik. masalah adaptif adalah bagaimana mencegah biaya yang
signifikan dan, jika mungkin, mempromosikan manfaat. Poin utama adalah bahwa analisis
masalah dan struktur prosedur pengolahan informasi yang adaptif yang akan memecahkan
masalah ini dapat menjadi panduan yang berguna untuk menjelajahi perilaku sosial.

Tanggapan untuk Pendapat Wolf


Dalam komentar Wolf, ia mengatakan bahwa argumen saya tidak memiliki dua hal, yaitu:
nilai yang mereka sebut perilaku moral dan bagaimana keengganan seksual terhadap
keluarganya menyebabkan penolakan kepada orang lain untuk kepentingan seksual mereka
dalam keluarganya sendiri. Poin kedua mengenai pendapat Wolf, ia mengatakan bahwa reaksi
terhadap incest pihak ketiga hanya produk dari adaptasi untuk menghindari kawin sedarah, itu
belum cukup untuk dinyatakan. Secara khusus, ia mengklaim bahwa seorang saudara pihak
ketiga inses, "membawa hubungan (kawin sedarah) tersebut secara paksa ke dalam pikiran, agar
menimbulkan ketidakpedulian serta kebencian, sehingga memotivasi ketidaksetujuan."
sepertinya Wolf dan Debra Lieberman sepakat dalam hal ini, tetapi mungkin tidak setuju pada
apa arti kata moral.

You might also like