Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan dalam
masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas.
Kalian akan dapat melihat perubahan itu setelah membandingkan keadaan pada beberapa
waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek
kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan
mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial
masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan
sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan
tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut
dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem
hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan
mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang
bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan
karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam
Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan
manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan
yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut
paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Pertama-tama perlu saya kemukakan bahwa masih banyak di antara masyarakat awam kita
yang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun sebenarnya kita semua
memahami bahwa kesenian hanyalah sebagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena
kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan, kesenian sarat dengan kandungan nilai-
nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya.
Dan di tengah Maraknya arus Globalisasi yang masuk ke Indonesia, melalui cara cara
tertentu membuat Dampak Positif dan Dampak Negatif nya sendiri Bagi NTT. Terutama
dalam Bidang Kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai – nilai Budaya kita oleh
pengaruh budaya Asing yang masuk ke Negara kita.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka Pembangunan
Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu
melahirkan “nilai-tambah kultural”. Pakem-pakem seni (lokal dan nasional) perlu tetap
dilanggengkan, karena berakar dalam budaya masyarakat. Melalui dekomposisi dan
rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai improvisasi
dengan aneka hiasan, sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, akan mengundang
apresiasi dan menumbuhkan sikap posesif terhadap pembaharuan dan pengayaan karya-karya
seni. Di sinilah awal dari kesenian menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural”
masyarakat.
Provinsi yang mempunyai 550 pulau dengan tiga pulau besar yaitu Pulau Flores, Pulau
Sumba dan Pulau Timor Barat ini ternyata kaya akan budaya. Hal ini dikarenakan banyaknya
suku yang terdapat di provinsi yang dikenal juga dengan Nusa Cendana ini. Masing-masing
suku berbeda dalam bahasa, motif tenun ikat dan juga terkadang dalam pakaian adatnya.
Kekayaan Nusa Tenggara Timur pun bukan hanya pada adat istiadatnya, namun juga pada
keindahan alam bawah lautnya. Hal ini memancing minat dari wisatawan asing maupun lokal
untuk datang terutama untuk berolah raga Diving dan Selancar. Pantai Nemberala dan Boa di
Pulau Rote menjadikan tujuan dari para Surfer dan Pulau Alor dan sekitarnya untuk yang
mempunyai hobi Diving.
Dibeberapa tempat di NTT juga kita masih menjumpai suku-suku tradisional yang masih
memegang teguh adat istiadat mereka, seperti Suku Boti di Timor Tengah Utara, Kampung
Tradisional Takpala dan Mombang di Kepulauan Alor.
Nusa Tenggara juga dikenal dengan alat musik khas Sasando yang sudah mendunia, yang
dibuat dengan menggunakan kekayaan alamnya yaitu Pohon Lontar yang banyak kita jumpai
di Bumi Flobamora ini.
Mari kita nikmati NTT yang kaya akan budaya, keindahan alamnya terutama bawah laut dan
yang mengembirakan tolerasi antar umat beraga di NTT begitu nyata, hal ini dengan banyak
kita jumpai rumah ibadah yang saling berdekatan satu dengan yang lain.
NTT telah mengajarkan saya untuk bagaimana mencintai Indonesia, mencintai negara
kepulauan, mencintai adat istiadat, menyebarkan keramahan dan yang paling penting
menyebarkan semangat Aku Cinta Indonesia.
Datangi NTT, nikmati keramahan penduduknya, Selamat Mama, Selamat Papa, Selamat
Paman, Selamat. Terimakasih atas keramahan yang telah dibagi kepada kami selama berada
di Bumi Ti'I Langga ini.
Provinsi NTT kaya akan ragam budaya baik bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera
dalam di bawah ini:
1.1 Jumlah Bahasa Daerah
Jumlah bahasa yang dimiliki cukup banyak dan tersebar pada pulau-pulau yang ada yaitu:
Pengguna Bahasa di Nusa Tenggara Timur
Ibu kota Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap ke pantai utara, laut
Flores. Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan
Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi
kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai
selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka
di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini.
Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar
yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah
memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta
warisa keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri
pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua
amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan
ketiga yakni Mepu atau Maha.
Secara umum masyarakat kabupaten Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2)
ata Krowe, (3) ata Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4) ata
Goan, (5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata Sabu/Rote, (10) ata Bura.
Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb:
Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun,
menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa
untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan
- Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan.
Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin
(Agustus - September).
Ende/Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan.Meskipun
demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti :Jao Ata Ende atau Aku ata Lio
dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu.
Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang
jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur)
nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende.
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga
batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah
menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk.
Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun
alang-alang.
Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah
disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende
bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata
Hoo dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.
Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap,
dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran).
Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu
Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.
Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan
terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga,
Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi
atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan
ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat).
Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja
Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu
di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari
kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina
(turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara
perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik
dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase
(adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng
(Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge
(rakyat jelata).
Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat
diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat
jelata). Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung
lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu
terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar
menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali
dapat kembali melihat tempat kelahirannya.
Masyarakat Rote Ndao mengenal suatu lagenda yang menuturkan bahwa awal mula orang
Rote datang dari Utara, dari atas, lain do ata, yang konon kini Ceylon. Kedatangan mereka
menggunakan perahu lete-lete.
Strata sosial terdapat pada setiap leo. Lapisan paling atas yaitu mane leo (leo mane). Yang
menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang merupakan jabatan
kehormatan untuk keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya
spiritual, sedangkan fetor untuk urusan duniawi.
Filosofi kehidupan orang Rote yakni mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat
bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisonal
orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan
mengiris tuak. Dengan demikian pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang
berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman
pertama orang-orang Rote.
Secara tradisional pekerjaan menyadap nira lontar tugas kaum dewasa sampai tua. Tetapi
perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh pekerjaan
dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam 03.30, suatu suasana
yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk (bangun
hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat duduk).
Penduduk Sabu terdiri dari kesatuan klen yang disebut sebagai Udu
(kelompok patrinial) yang mendiami beberapa lokasi tempat tinggal antara
lain de Seba, Menia, LiaE, Mesara, Dimu dan Raijua. Masing-masing Udu
sebagi suatu klen atau sub udu yang disebut Karego.Tentang pola
perkampungan orang Sabu tidak bisa terlepas dari pemberian makna pulaunya sendiri atau
Rai Hawu. Rai Hawu dibayangkan sebagi suatu makluk hidup yang membujur kepalanya di
barat dan ekornya di timur. Maha yang letaknya disebelah barat adalah kepala haba dan LiaE
di tengah adalah dada dan perut. Sedangkan Dimu di timur merupakan ekor. Pulau itu juga
dibayangkan sebagai perahu, bagian Barat Sawu yaitu Mahara yang berbukit dan
berpegunungan, digolongkan sebagai anjungan tanah (duru rai) sedangkan dimu yang lebih
datar dan rendah dianggap buritannya ( wui rai).
Orang Sabu mengenal hari-hari dalam satu minggu, misalnya hari Senin Lodo Anni), Selasa
(Lodo Due), Rabu ( Lodo Talhu), Kamis (Lodo Appa), Jumat (Lodo Lammi), Sabtu (Lodo
Anna), Minggu (Lodo Pidu).Konsep hari ini (Lodo ne), hari yang akan datng (Lodo de),
besok (Barri rai). Hari-hari tersebut membentuk satu minggu kemudian 4 atau 5 minggu
membentuk satu bulan (waru) dan 12 bulan membentuk satu tahun (tou).
Secara umum orang Sabu mengenal dua musim, kemarau yang disebut Waru Wadu dan
musim hujan atau Waru Jelai. Di antara kedua musim itu ada musim peralihannya. Dalam
masing-Masing musim ada beberapa upacara yang berhubungan dengan mata pencaharian.
Pembagian penggunaan tanah wilayah TTS 2.500 ha. Terdiri dari atas
persawahan , 44.908 ha. Pengembalaan, 41.374 ha. Lamtoro dan 180.000
ha. Tanah kritis. Wilayah kabupaten TTS berbatasan dengan Kabupaten
Timor Tengan Utara sebelah utara dan Ambenu (Timor Leste) sebelah selatan dengan laut
Indonesia, timur dengan Kabupaten Belu.
Penduduk asli TTS merupakan suku bangsa dawan. Dalam mmasyarakat Dawan umumnya
pemukiman mulai dari pola keluarga inti/batih yang terdiri dari bapak, ibu, dan anakyang
disebut UME. Ume yang ada bakal membentuk klen kecil yang disebut Pulunes atau Kuanes
dan ada klen besar Kanaf.
Ume sebagai keluarga inti tinggal di rumah pemukiman tradisional yaitu Lopo dan Ume.
Lopo adalah lambang rumah untuk pria dan Ume untuk perempuan. Umumnya mata
pencaharian masyarakat TTS adalah pertanian dan peternakan, seperti menanam jagung,
umbi-umbian, kacang-kacangan dan sedikit pertanian padi. Peternakan sapi, babi, dan
kambing.
Raja pada umumnya sebagai pemilik tanah yang menerima upeti dari tanahnya, dan tugas
menarik upeti dilakukan oleh Moen Leun Aoin Leun, seterusnya diserahkan kepada Amaf
Terlihat satu konsep yang menunjukan bahwa lapisan raja/bangsawan. Tidak langsung
berhubungan dengan golongan To, oleh karena Usif memanfaatkan para pembantu Moen
danAmaf untuk urusan pemeritahannya.
Mata pencaharian masyarakat TTU adalah bertani, beternak. Pertanian dalam kebudayaan
Atoni diartikan sebagai suatu masyarakat Atoni Pan Meto artinya petani lahan kering.
Mereka menyebut diri mereka orang yang bekerja di lahan kering dan itu yang harus
dikerjakan karena tidak mengenal laut dan pantai. Mereka tidak tahu nama ikan.
Masyarakat Belu yang terdiri dari beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya sendiri.
Sebagai contoh masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku MaraE. Pemegang
kekuasaan berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan tertinggi yaitu Ema
Nain yang tinggal di Uma Lor atau Uma Manaran, mereka adalah raja. Lapisan berikutnya
masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah raja) yaitu Ema Dato, kemudian lapisan
menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan hanya membayar upeti
dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan menengah disebut Ema Ata
(hamba).Pada masyarakat MaraE lapisan social tertinggi disebut Loro,
Mata pencaharian orang Belu tidak beda dengan masyarakat TTU, dan TTS, yaitu menanam
jagung, umbi-umbuan, kacang-kacangan dan sedikit pertanian padi, serta bertenak sapi, babi.
Pada tahun 1522 sebuah kapal kuat dan bagus milik Magalhaens, 'Victoria' berlayar
mengelilingi dunia dibawah pimpinan Juan Sebastian de Elcano. Diatas kapal itu juga ada
seorang calon perwira bernama Antonio Pigafetta. Padea tanggal 14 Pebuari 1522 kapal itu
berlayar dekat pulau Sabu ke arah barat sebelah selatan Pulau Sumba. Dalam pelayaran itu
Pigafetta mungkin mendengar dari seorang penunjuk jalan masuk keluar pelabuhan atau selat
'Cendana' dan 'Melolo' kemudian ia mengira bahwa itu dua nama dari pulau. Kelak Pigafetta
dalam petanya menggambarkan dua pulau itu 'Cendana' dan 'Batalo' (yang tak lain kampung
Malolo sekarang).Sekitar 40 tahun kemudian pulau itu digambar oleh seorang juru gambar
Pola pengelompokan masyarakat pada umumnya dimulai dari keluarga batih/inti, biliku yang
isinya bapak, ubu, dan anak, yang kemudian membentuk uma dan gabungan dari beberapa
uma membentuk kabisu atau klen besar. Kabihu berarti sudut, ini menunjukan bahwa
pemukiman kabihu di sudut punggung bukit, berbentuk segi empat memanjang dan kedua
ujung kampungnya menyempit berbentuk perahu. Setiap kabihu mempunyai nenek moyang,
dan tanah kabihu sendiri yang diwariskan dari nenek - kakek mereka, kabihu juga kadang-
kadang terhoimpun kedalam beberapa kabihu misalnya:
(1) Kabihu Angupaluku/kabihu bersaudara
(2) Kabihu Yer/kabihu pemberi wanita
(3) Kabihu anak kawin / kabihu penerima wanita
Beberapa Kabihu kelak membentuk kotaku/dusun dan akhirnya membentuk sebuah kampung
yang disebut Praingu. Umumnya dikenal empat Kabihu penting dalam setiap Desa induk
yang selalu disebut dalam seloka secara berpasangan yaitu:
(1) Lewa : Motolangu - Parai Majangga
(2) Kambera : Mbujika - Parai Karaba, Kabiku – Anamburu
(3) Tabundung : Hau - Harikundu, Kawatangu – Dukuwatu
(4) Mangili : Maru - Watumbulu, Matolangu - Wanggirara.
Marapu agama asli masyarakat Sumba dalam kegiatan ekonominya bersandar pada sector
pertanian, peternakan, dan juga industri rumah tangga berupa kerajinan tenun ikat. Kerajinan
ini terdapat dibeberapa tempat yang terkenal dengan tenun ikatnya yaitu, desa Kaliuda (kec.
Pahungalodu), Rindi dan Watuhadang (kec. Rindiumalulu), Rambangaru (kec. Pandawai) dan
Kelurahan Prailiu. Tenunannya bermutu tinggi karena dibuat dengan menggunakan ramuan
tradisional yang telah diwarisi dari nenek moyangnya sejak dahulu kala.
Penduduk Sumba Barat secara tradisional adalah bertani (bersawa) dan berladang dengan
padi yang suci (pare) sebagai tenaman pokok yang dihormati. Terdapat beberapa rangkaian
upacara dalam mata pencaharian masyarakat Sumba Barat antara lain upacara upacara :
(1)Upacara mengasah parang (urata patama keto) agar parang/pisau
dan lain-lain dapat berfungsi pada waktu hendak memotong hewan besar, bekerja kebun.
(2)Urata Pogo wasu (menebang pohon)
(3)Urata Tenu ( membakar kayu)
(4)Urata Wuke Oma (membuka kebun) rangkaian upacara ini sebagai pemohon belas
kasih pada dewa untuk meminta kesucian untuk perang, tanah agar menghasilkan
dan hujan yang banyak.
(5)Urata Dengu Ura (memohon hujan) semua acara di atas dipimpin oleh Rato dengan
mengambil ayam yang darahnya dipercik baik ke parang, pohon, maupun tanah.
(6) Urata Dengi Ina ( upacara memetik hasil)
Provinsi NTT kaya akan ragam budaya baik bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera
dalam di bawah ini:
1.3 Sekilas Masyarakat Flores
Pengantar ke dalam masyarakat Flores ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara singkat
bagaimana konteks nyata masyarakat Flores. Penjelasan ini akan mencakup dua hal yakni
sejarah, lingkungan dan masyarakat Flores.
Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu,
lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia
dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia.
2.2.1. Kekuatan
• Keanekaragaman budaya yang ada di NTT
NTT memiliki keanekaragaman budaya lokal yang dapat dijadikan sebagai ke aset
yang tidak dapat disamakan dengan budaya lokal lain. Budaya lokal yang dimiliki
NTT berbeda-beda pada setiap daerah. Tiap daerah memiliki ciri khas budayanya,
seperti rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut.
Semua itu dapat dijadikan kekuatan untuk dapat memperkokoh ketahanan budaya
bangsa dimata Internasional.
• Kekhasan budaya NTT
Kekhasan budaya lokal yang dimiliki setiap daerah di NTT memliki kekuatan
tersediri. Misalnya rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat
yang dianut. Kekhasan budaya lokal ini sering kali menarik pandangan negara lain.
Terbukti banyaknya turis asing yang mencoba mempelajari budaya yang ada di NTT
seperti belajar tarian khas suat daerah atau mencari barang-barang kerajinan untuk
dijadikan buah tangan. Ini membuktikan bahwa budaya bangsa NTT memiliki cirri
khas yang unik.
• Kebudayaan Lokal menjadi sumber ketahanan budaya bangsa
Kesatuan budaya lokal yang dimiliki NTT merupakan budaya bangsa yang mewakili
identitas negara Indonesia. Untuk itu, budaya lokal harus tetap dijaga serta diwarisi
dengan baik agar budaya bangsa tetap kokoh.
2.2.2. Kelemahan
• Kurangnya kesadaran masyarakat
Banyak muncul budaya baru yang bisa dimanfaatin karena pengaruh globalisasi.
Dari hasil pembahasan diatas, dapat dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya
pergeseran kebudayaan yaitu :
3. Para pelaku usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai berita,
hiburan dan informasi yang diberikan agar tidak menimbulkan pergeseran budaya
5. Masyarakat harus berati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga
pengaruh globalisasi di negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang
merupakan jati diri bangsa kita.
Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan
Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.
Ghono, John, 1992. “Nilai Religius Budaya NTT Sebelum dan Sesudah Masuknya
Pengaruh Kristianitas” Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian Budaya Lokal.
Yogyakarta: Forum Studi Eureka.
Mubyarto, dkk., 1991. Etos kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan
Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: P3PK UGM.
Orinbao, Sareng, 1969. Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba. Ende:
Pertjetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker
im Tropishen Holland oleh S.D. Sjah. Ende: Nusa Indah.
http://tiuii.ngeblogs.com/2009/10/23/peran-budaya-lokal-memperkokoh-ketahanan-budaya-
bangsa-2/
http://rendhi.wordpress.com/makalah-pengaruh-globalisasi-terhadap-eksistensi-kebudayaan-
daerah/