You are on page 1of 15

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Qur’an surah ke-107 ini terdiri dari tujuh ayat dan digolongkan ke dalam surah-
surah Makkiyah (surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan di kota Mekah, pada
umumnya ayat-ayat pendek, dan berisi mengenai ketauhidan). Surah al-Ma’un ini
diturunkan setelah surah at-Takasur. Nama surah ini yaitu al-Ma’un, diambil dari kata
“al-ma’un” yang terdapat dalam ayat ke-7 dari surah itu sendiri yang berbunyi “wayam
nauu nal maa’uun”. Arti al –Ma’un itu sendiri adalah barang-barang yang berguna.
Setiap wahyu Allah ini turun selalu diikuti oleh sebuah peristiwa atau yang lebih dikenal
dengan kata “Asbabun nuzul”, begitu juga dengan al-Qur’an surah al-Ma’un ini : “Pada
zaman Rasullah dulu ada sekelompok kaum munafik yang rajin ibadah, dalam hal ini
mengejarakan sholat. Namun patut disayangkan bahwa setiap mereka sholat itu tidak
diniatkan karena Allah, melainkan karena ingin dilihat oleh orang lain. Ketika ada orang
yang melihat mereka sholat maka mereka akan sholat dengn khusuyunya tetapi jika
tidak ada orang yang melihatnya maka mereka sholat dengan seenaknya bahkan mereka
tidak mengerjakannya. Apa yang dikerjakan selalu ingin mendapatkan pujian dari orang
lain atau dengan kata lain riya selain itu kaum munafik ini enggan untuk memeberikan
barang-barang berguna yang dimikinya kepda orang yang membutuhkannya dengan
kata lain kaum munafik ini enggan untuk megeluarkan zakat. Allah tidak menyukai kaum
seperti ini, oleh karena itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad saw.
dengan perentara malaikat jibril sebagai ancaman kepada kaum munafik tersebut dan
menggolongkan mereka ke dalam orang-orang yang mendustakan agama Allah. Itulah
yang melatari turunnya wahyu Allah, al-Qur’an surah al-Ma’un ini.

1
B. Rumusan Masalah
1) Apa yang terkandung dalam surah al-Maun ayat 1-3?
2) Apa yang terkandung dalam surah al-Ma’un ayat 4-7?

C. Tujuan Pembahasan
1) Untuk mengetahui makna/tafsir surah al-Ma’un ayat 1-3.
2) Untuk mengetahui makna/tafsir surah al-Ma’un ayat 4-7.

2
Bab II

Tafsir Surah al-Ma’un

Surah ini menurut mayoritas ulama adalah surah Makkiyah. Sebagian menyatakan
Madaniyyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai dengan ayat ketiga
turun di Mekah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat
keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah
hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah.

Nama surah ini cukup banyak. Ada yang menamainya surah ad-Din, surah at-Takzib,
surah al-Yatim, surah Ara’aita, surah Ara’aita alladzi, dan yang paling popular adalah surah al-
Ma’un.

Tema utamanya adalah kecaman terhadap mereka yang mengingkari keniscayaan


Kiamat dan yang tidak memperhatikan substansi shalatnya. Menurut al-Biqa’I, tujuan utamanya
adalah peringatan bahwa pengingkaran terhadap hari Kebangkitan merupakan sumber dari
segala kejahatan, karena dia mendorong yang bersangkutan untuk melakukan aneka akhlak
yang buruk serta melecehkan aneka kebajikan.

Surah al-Ma’un diterima Nabi Muhammad saw. ketika beliau masih bertempat di
Mekah. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal
surah ini turun di Mekah, sebelum Nabi saw. berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara
tentang mereka yang riya’ (tidak ikhlas) dalam shalatnya turun di Madinah.

Yang berpendapat surah ini Makkiyah, menyatakan bahwa ia adalah wahyu yang ke-17
yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah at-Takatsur dan sebelum surah al-
Kafirun. Jumlah ayatnya menurut cara perhitungan mayoritas ulama sebanyak 6 ayat.

3
AYAT 1-3

          
    
“Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka itu yang
mendorong dengan keras anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan orang miskin.”

Pada surah Quraish, dijelaskan bahwa Allah swt. memberi anugerah pangan kepada
manusia, dalam arti mempersiapkan lahan dan sumber daya alam sehingga dengan anugerah
itu mereka tidak kelaparan. Sedangkan dalam surah al-Ma’un ini Allah mengecam mereka yang
berkemampuan, tetapi enggan, jangankan memberi, menganjurkan pun tidak. Allah berfirman:
Apakah engkau wahai Nabi Muhammad atau siapa pun telah melihat yakni beritahulah Aku
tentang orang yang mendustakan hari kemudian? Jika engkau belum mengetahui maka
ketahuilah bahwa dia itu adalah yang mendorong dengan keras yakni menghardik dan
memperlakukan sewenang-wenang anak yatim, dan tidak senantiasa menganjurkan dirinya,
keluarganya dan orang lain memberi pangan buat orang miskin.

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa ada seseorang – yang diperselisihkan


siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu Jahal, al-Ash Ibn Walid atau selain mereka – konon
setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta
sedikit daging yang telah disembelih itu namun ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.
Peristiwa ini merupakan latar belakang turunnya ketiga ayat di atas 1.

Pertanyaan yang diajukan ayat pertama ini bukannya bertujuan memperoleh jawaban,
karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara,
agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Dengan pertanyaan itu ayat di atas
mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa
itu keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata nihil.

Kata dzalika/ itu digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh. Ini memberi
kesan betapa jauh tempat dan kedudukan yang ditunjuk dari pembicara, dalam hal ini Allah
swt.
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 545.

4
Kata yukadzdzibu/ mendustakan atau mengingkari dapat berupa sikap batin dan dapat
juga dalam bentuk sikap lahir, yang terwujud dalam bentuk perbuatan.

Kata ad-din dari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan, dan pembalasan.
Kata ad-din dalam ayat di atas sangat populer diartikan dengan agama, tetapi dapat juga
berarti pembalasan. Pendapat ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa al-
Qur’an bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteksnya adalah
pengingkaran terhadap hari Kiamat, perhatikan antara lain QS. al-Infithar [82]: 9 dan at-Tin [95]:
7. Selanjutnya jika kita mengaitkan makna kedua ini dengan sikap mereka yang enggan
membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka
tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah
sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) Pembalasan. Bukankah yang percaya
dan meyakini, bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia,
namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak.

Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan
memandang ke hari Kemudian yang berada jauh di depan sana. Sikap demikian merupakan
pengingkaran serta pendustaan ad-Din, baik dalam arti agama lebih-lebih lagi dalam arti hari
Kemudian.

Agama menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib disini bukan sekedar
kepercayaan kepada Allah atau malaikat, tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji
Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan.

Kepercayaan ini mengantarnya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya


menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata,
sehingga ketika itu wahyu akalnya membisikkan bahwa: “Sikap yang akan diambilnya
merugikan atau tidak menguntungkan,” namun jiwanya yang percaya itu mendorong untuk
melakukannya.

Kata yadu’-‘u berarti mendorong dengan keras. Kata ini tidak harus diartikan terbatas
pada dorongan fisik, tetapi mencakup pula segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap

5
tidak bersahabat terhadap mereka. Walhasil ayat ini melarang untuk membiarkan dan
meninggalkan mereka. Arti ini didukung oleh bacaan syadz yakni yada’u al-yatim yang artinya
adalah mengabaikan anak yatim.

Kata al-yatim terambil dari kata yutm yang berarti kesendirian, karena itu permata yang
sangat indah dan tidak ada bandingnya dinamai ad-durrah al-yatamah. Bahasa menggunakan
kata tersebut untuk menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat,
atau anak binatang yang induknya telah tiada. Kematian ayah, bagi seseorang yang belum
dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang
kara, karena itulah ia dinamai yatim. Perlu dicatat bahwa walaupun ayat ini berbicara tentang
anak yatim, namun maknanya dapatdiperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan
membutuhkan pertolongan dan hal ini dikuatkan pula dengan kandungan ayat berikutnya.

Kata yahudhdhu/ menganjurkan mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki


kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”.
Peranan ini dapat dilakukan oleh siapa pun, selama mereka merasakan penderitaan orang lain.
Ayat di atas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi
dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang untuk tidak
berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan
membutuhkan bantuan.

Kata tha’am berarti makanan atau pangan. Ayat tersebut tidak menggunakan redaksi
ith’am/ memberi makan, tetapi tha’am/ pangan agar setiap orang yang menganjurkan dan atau
memberi itu, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan ornag-orang yang butuh. Ini
mengisyaratkan bahwa pangan yang mereka anjurkan atau mereka berikan itu, pada hakikatnya
walaupun diambil dari tempat penyimpanan yang “dimiliki” si pemberi, tetapi apa yang
diberikannya itu bukan miliknya, tetapi hak orang-orang miskin dan butuh itu.

Dari Sabab Nuzul ayat yang penulis kemukakan pada awal uraian dapat terbaca bahwa
kecaman dapat tertuju walaupun kepada mereka yang membagi-bagikan bantuan apabila
bantuan yang diberikannya itu tidak mengenai sasaran yang dikehendaki Allah, dalam hal ini,
sasaran tersebut adalah mereka yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Memang, boleh
6
jadi seseorang memberi kepada pihak lain, tetapi di balik pemberiannya itu, dia mengharapkan
pula sesuatu, dia enggan memberi kepada yatim dan miskin, karena tidak terdapat sesuatu
diharapkannya dari mereka. Anda dapat menjumpai sekian banyak orang yang memberi kepada
mereka yang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan sebesar yang diberikannya itu, tetapi
pada saat yang sama ia mengabaikan banyak lainnya yang justru sangat membutuhkan, dan
akan sangat bergembira bila memperoleh walai sekecil apapun.

AYAT 4-7

          
    

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalat
mereka, orang-orang yang berbuat riya, dan menghalangi (menolong dengan) barang
berguna.”

Setelah menguraikan sifat buruk pengingkar agama dan hari Kemudian terhadap kaum
lemah, ayat-ayat di atas menguraikan sikap buruknya terhadap Allah swt.

Dapat juga dikatakan bahwa melalui ayat-ayat yang lalu telah dijelaskan bahwa mereka
yang menghardik anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, demikian pula yang
tidak saling anjur-menganjurkan memberi pangan kepada orang yang butuh, merupakan orang-
orang yang mendustakan agama dan mengingkari hari Pembalasan. Maka ayat-ayat di atas
menekankan kecelakaan mereka dan kecelakaan siapa yang lalai akan makna shalatnya itu,
karena kelalaian ini menunjukkan bahwa keadaan mereka tidak berbeda dengan yang
mengingkari agama dan hari Pembalasan, buktinya adalah sifat riya’ dan keengganan mereka
membantu orang-orang yang butuh.

Dengan demikian kedua bagian surah ini saling lengkap-melengkapi, bagian pertama
(ayat 1-3) menjelaskan siapa yang mendustakan agama tanpa menjelaskan kecelakaan yang
akan menimpa mereka, sedang bagian kedua (4-7) mengandung ancaman kecelakaan yang
akan mereka hadapi, tanpa menjelaskan bahwa mereka pada hakikatnya juga mendustakan
agama dan hari Pembalasan. Dengan kata lain, apa yang diinformasikan pada bagian pertama

7
tidak lagi dijelaskan pada bagian kedua, demikian pula sebaliknya, sehingga wajar apabila
bagian kedua ini dimulai dengan kata penghubung.

Apapun hubungannya, yang jelas ayat-ayat di atas menyatakan bahwa: Maka


kecelakaan besar-lah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari esensi
shalat mereka, yaitu orang-orang yang senantiasa berbuat riya, pamrih serta bermuka dua dan
menghalangi dirinya dan orang lain untuk menolong dengan barang berguna.

Pada awal uraian tentang surah ini telah dikemukakan bahwa sebagian ulama
berpendapat bahwa awal surah al-Ma’un turun di Mekah, sedangkan ayat 4 dan seterusnya
turun di Madinah. Tidak ada alasan yang kuat untuk memisahkan waktu turun kedua surah ini,
bahkan redaksi dan kandungannya sangat berkaitan erat sehingga justru menguatkan
pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan surah ini turun sekaligus. Ini antara lain
terlihat dari huruf fa’/ maka pada awal ayat 4 di atas yang berfungsi menghubungkan kalimat
sebelumnya dengan kalimat sesudahnya bagaikan hubungan sebab akibat.

Kata wail digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat
pelanggaran dan kedurhakaan. Ia biasanya digunakan sebagai ancaman. Ada juga yang
memahaminya dalam arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikian ayat ini
merupakan ancaman terjerumus ke neraka “wail”. Ada juga yang memahaminya dalam arti
ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya. Ini berarti bahwa kecelakaan
itu dapat saja menimpa pendurhaka dalam kehidupan duniawai atau ukhrawi. Pendapat ini
menggunakan kata wail untuk menunjuk adanya pembatasan waktu atau tempat. Benar,
bahwa ada ayat yang secara tegas mengatakan bahwa salah satu penyebab keterjerumusan ke
dalam neraka Saqar adalah mengabaikan shalat (QS. al-Muddatstsir [74]: 42-43), namun ini
bukan berarti bahwa wail adalah nama salah satu tingkat neraka, atau bahwa kecelakaan dan
kebinasaan itu hanya dialami di akhirat kelak.

Kata al-mushallin walaupun dapat diterjemahkan dengan orang-orang yang shalat,


tetapi dalam penggunaan al-Qur’an ditemukan makna khusus baginya. Biasanya al-Qur’an
menggunakan kata aqimu dan yang seakar dengannya bila yang dimaksudnya adalah shalat
yang sempurna rukun dan syarat-syaratnya, karena kata aqimu atau yang seakar dengannya itu,
8
mengandung makna pelaksanaan sesuatu dalam bentuk yang sempurna. Sepanjang
pengamatan penulis, tidak ada perintah atau pujian menyangkut shalat (sembahyang) dan
orang-orang yang melaksanakannya – baik yang wajib maupun sunnah, tanpa didahului oleh
kata yang berakar pada kata aqimu kecuali dalam satu atau paling banyak dua ayat.

Pertama dalam QS. an-Nisa’ [4]: 102 yang menjelaskan tentang shalat al-Khauf (shalat
dalam situasi terancam atau peperangan). Ini wajar karena memang situasi demikian tidak
memungkinkan tercapainya kesempurnaan shalat tersebut. Kedua pada akhir surah al-Kautsar
[108]: 3, tetapi perintah shalat ini tidak mutlak dipahami dalam arti ibadah yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam (shalat), bisa juga dalam arti doa. Kalaupun dia diartikan
shalat, maka kata li Rabbika yang mendahului perintah tersebut, dapat dinilai sebagai pengganti
kata aqimu.

Jika demikian, kata al-mushallin pada ayat di atas tidak didahului oleh kata yang seakar
dengan aqimu (bandingkan dengan QS. an-Nisa’ [4]: 162 dan al-Hajj [22[: 35), mengisyaratkan
bahwa shalat mereka tidak sempurna, tidak khusyu’, tidak pula memperhatikan syarat dan
rukun-rukunnya, atau tidak menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.

Kata sahun terambil dari kata saha/ lupa, lalai yakni seseorang yang hatinya menuju
kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.

Kata ‘an berarti tentang/ menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi fi shalatihim,
maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan
ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju
kepada sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang tidak khusyu’
dalam shalatnya, atau celakalah orang-orang yang lupa jumlah rakaat shalatnya. Untung ayat ini
tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian itu halnya.
Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi ‘an shalatihim sehingga kecelakaan tertuju kepada
mereka yang lalai tentang esensi makna da tujuan shalat.

Kata yura’un terambil dari kata ra’a yang berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir
kata riya’ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tidak

9
ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika
melakukan sesuatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan
orang lain untuk mendapat pujian mereka. Dari sini kata riya’ atau yura’un diartikan sebagai
“melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi untuk mencari pujian atas
popularitas.”

Riya adalah sesuatu yang abstrak, sulit bahkan mustahil dideteksi orang lain, bahkan
yang bersangkutan sendiri terkadang tidak menadarinya, apalagi jika ia sedang tenggelam
dalam satu kesibukan. Riya diibaratkan sebagai semut kecil lagi hitam berjalan dengan perlahan
di tengah kelamnya malam di tubuh seseorang. Rujuklah ke QS. al-Baqarah [2]: 264 untuk
mengetahui secara kongkret hasil suatu pekerjaan yang dilandasi oleh riya.

Kata al-ma’un menurut sementara ulama terambil dari akar kata ma’unah, yang berarti
bantuan. Huruf ta’ marbuthah pada kata itu – menurut mereka – diganti dengan alif dan
diletakkan sesudah mim sehingga terbaca ma’un. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un
adalah bentuk maf’ul dari kata a’ana – yu’inu yang berarti membantu dengan bantuan yang
jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya sesuatu yang
diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak popular. Tidak sedikit ulama yang berpendapat
bahwa kata ini terambil dari kata al-ma’n yang berarti sedikit.

Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata al-ma’un/ bantuan (yang
sedikit itu), antara lain:

1) Zakat,
2) Harta benda,
3) Alat-alat rumah tangga,
4) Air,
5) Keperluan sehari-hari seperti periuk, piring, pacul, dsb.

Sebenarnya tidak ada suatu alasan untuk menolak pendapat-pendapat terperinci di


atas, sebagaimana tidak pula beralasan untuk memilih salah satunya, karena ayat itu sendiri
tidak menetapkan suatu bentuk atau jenis bantuan. Penulis cenderung memahami kata al-

10
ma’un dalam arti sesuatu yang kecil dan dibutuhkan, sehingga dengan demikian ayat ini
menggambarkan betapa kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuan yang sifatnya
besar hal-hal yang kecil pun enggan.

Mengapa riya dan menghalangi pemberian bantuan merupakan tanda tidak menghayati
makna dan tujuan shalat?

Shalat berintikan doa bahkan itulah arti harfiahnya. Doa adalah keinginan yang
dimohonkan kepada Allah swt., atau dalam artinya yang lebih luas, shalat adalah “permohonan
yang diajukan oleh pihak yang rendah dan butuh kepada pihak yang lebih tinggi dan mampu”.
Jika anda berdoa atau bermohon, maka anda harus merasakan kelemahan dan kebutuhan anda
di hadapan Dia yang kepada-Nya anda bermohon. Hal ini harus anda buktikan dalam ucapan
dan sikap kita di dalam shalat, keseluruhannya harus menggambarkan kerendahan diri dan
kebutuhan kita serta kebesaran dan keagungan allah semata.

Menurut sementara ulama, dalam shalat yang dilaksanakan seorang muslim, telah
terhimpun segala bentuk dan cara penghormatan serta pengagungan yang dikenal oleh umat
manusia sepenjang sejarah perjalanannya. Ada orang yang menunjukkan penghormatan serta
pengagungannya kepada sesuatu dengan pengakuan dan ucapan memuji atau memuja, ada
juga dengan berdiri tegak lurus, atau dengan ruku’, atau sujud, dan sebagainya. Itulah cara-cara
yang ditempuh manusia guna memberi penghormatan dan pengagungan kepada sesuatu, dan
itu pula sebagian dari apa yang dilakukan seorang muslim di dalam shalatnya. Walhasil dapat
disimpulkan bahwa shalat menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada
Allah, sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya. Kalau demikian, wajarkah
manusia bermuka dua (riya)’ ketika melakukannya, wajarkah bahkan mampukah manusia
menipu-Nya? Mereka yang berbuat demikian, tidak menghayati esensi shalatnya serta lalai dari
tujuannya2.

Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kapada Allah serta mendambakan
bantuan-Nya. Kalau demikian wajarkah yang butuh ini menolak membantu sesamanya yang
butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur dirinya dan kebutuhannya
2
Ibid.

11
kepada tuhan? Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah akan membantunya selama ia membantu
pula saudaranya? Bukankan Nabi saw. telah bersabda: “Allah akan memberi pertolongan
kepada seseorang, selama ia memberi pertolongan kepada saudaranya.” Jika ia enggan
memberi pertolongan, maka pada hakikatnya ia tidak memnghayati arti dan tujuan shalat,
seperti yang diuraikan di atas.

Pada awal uraian dijanjikan untuk menguraikan hubungan ayat keempat ini dengan
ayat-ayat sebelumnya.

Surah al-Ma’un yang terdiri dari 7 ayat pendek ini, berbicara entang suatu hakikat yang
sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan
upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini -
sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat di atas – menekankan bahwa ibadah dalam
pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwa dan esensinya dimensi sosial, sehingga
jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak
artinya.

Dari surat ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat
shalat.

Pertama, keikhlasan melakukannya demi Allah. Kedua, merasakan kebutuhan orang-


orang lemah dan kesediaan mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun.

Demikian terlihat, agama yang diturunkan Allah ini menuntut kebersihan jiwa, jalinan
kasih sayiag, kebersamaan dan gotong royong antara sesama makhluk Allah, karena tanpa
semua itu mereka yang shalat pun dinilai Allah sebagai mendustakan agama atau hari
Kemudian.

Sayyid Quthub dalam tafsirnya menulis: “Mungkin jawaban al-Qur’an tentang siapa yang
mendustakan agama atau hari Kemudian yang dikemukakan dalam surah ini, mengagetkan jika
dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional, tetapi yang demikian itulah inti
persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-Din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia
adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebijakan terhadap

12
saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan
perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi
yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata yang membenarkan kalimat yang diucapkan
itu, sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti dan tidak dipandangnya.”

Selanjutnya Sayyid Quthub menulis, “Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang
hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu berkaitan
dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surah ini menegaskan hakikat persoalan dari
sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan
lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antar manusia 3.”

Dari surah ini juga ditarik kesimpulan, bahwa kewajiban dan tuntutan agama yang
ditetapkan Allah, sedikit pun tidak bertujuan kecuali untuk kemaslahatan seluruh makhluk,
khususnya umat manusia. Allah menghendaki di balik kewajiban dan tuntutan itu,
keharmonisan hubungan antar seluruh makhluk-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di
akhirat.

Awal surah ini menjelaskan kecelakaan orang-orang yang mendustakan agama dan
mengingkari hari Kemudian, sedangkan akhirnya menguraikan tandanya yaitu pamrih dalam
shalat dan enggan member bantuan. Demikian bertemu awal dan akhir surah ini, Maha Besar
Allah dalam segala firman-Nya.

3
Ibid.

13
Bab III

Penutup

A. Kesimpulan
Kita tidak pernah tahu sampai kapan umur kita akan berakhir, Jangan samapai umur
yang sedikit ini kita habiskan untuk kesenangan duniawi semata, tanpa sedikit pun
memikirkan hari akhir. Berlomba-lobalah di dalam melakukan kebaikan dan awalilah
setiap amal perbuatan dengan niat karena Allah hingga pekerjaan itu selesai, serta
jangan lalaikan apa pun yang sudah menjadi kewajiban kita semua.

14
B. Saran
Berdoalah semoga Allah melindungi kita selalau dan tidak menggolongkan diri kita
kedalam orang-orang yang mendustakan Agama Allah (Naudzubillahiminzalik).

Daftar Pustaka
Shihab, M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
Lentera Hati, Jakarta.

15

You might also like