You are on page 1of 6

1.

KHITBAH
A. PENGERTIAN
Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama Al-khitab
yang berarti pembicaraan atau berpidato dan yang kedua Al-khatbu yang artinya p
ersoalan, kepentingan dan keadaan. Sedangkan menurut istilah khitbah ialah :

“ Menunjukkan keinginan seseorang untuk menikahi seseorang yang sudah jelas, kemu
dian memberitahukan keinginan itu kepada wali perempuan. Terkadang pemberitahuan
itu disampaikan langsung oleh peminang atau bias juga melalui perantara keluarg
anya”
Meminang adalah merupakan kebiasaan orang Arab yang diteruskan oleh Isla
m. Meminang dilakukan sebelum terjadinya akad nikah dan setelah dipilih dengan b
aik, meminang adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah. Jika kita
lihat pada saat sekarang ini terkadang orang yang meminang memberi mahar seluruh
nya atau sebahagian. Ada juga yang memberikan hadiah-hadiah sebagai penguat ikat
an untuk memperkokoh hubungan baru antara peminang dan pinangannya. Tetapi harus
kita ingat bahwa semua perkara adalah wewenang Allah. Dalam maslah ini para Ula
ma berbeda pendapat :
a. Mazhab Hanafi : berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh piha
k laki-laki kepada perempuan pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya
masih utuh
b. Mazhab Maliki : berpendapat bahwa apabila pembatalan itu dating dari pih
ak calon suami maka barang-barang yang pernah ia berikan tidak boleh ia minta ke
mbali, baik pemberian itu masih utuh atau berubah.
c. Mazhab Syafi’i : berpendapat bahwa hadiah harus dikembalikan kepada pemina
ngnya. Baik pemberian itu masih utuh ataupun sudah berubah, baik pembatalan itu
dating dari pihak laki-laki maupun perempuan.
Ketika melakukan pinangan atau meminang seorang perempuan maka kita harus memenu
hi syarat, dalam hal ini ada 2 syarat yang harus kita penuhi :
1. Tidak didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’I, berdasarkan sa
bda Rasulullah SAW :
2. Yang dipinang tidak terhalang dengan halangan syar’i yang menyebabkan tida
k dapat dinikahi. Larangan-larangan itu antara lain :
• Wanita bersuami
• Wanita yang haram dinikahi untuk waktu tertentu atau selamanya
• Wanita dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah ditinggal mati suami atau karena thalak baik
halak raj’i ataupun ba’in. apabila masih dalam iddah raj’i haram dipinang karena dia m
asih menjadi hak suaminya. Karena suaminya masih berhak merujuknya dengan akad b
aru, tetapi boleh dipinang dengan sindiran atau kinayah. Apabila wanita itu seda
ng iddah karena ditinggal mati oleh suaminya, ia boleh dipinang dengan sindiran
diamasa iddahnya, sebab hubungannya dengan suami yang mati sudah putus.
Sebab diuharamkannya meminang dengan terang-terangan disini adalah untuk menjaga
perasaan isteri yang sedang berkabung, untuk menjaga perasaan keluarga dari ahl
i waris. Allah SWT berfirman surah Al-baqarah :235 :
235. dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran ata
u kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahu
i bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadak
an janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) Perkataan yang ma ruf. dan janganlah kamu ber azam (bertetap hati) untu
k beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah menget
ahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa A
llah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

B. HUKUM KHITBAH
Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat j
anji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang
harmonis. Tunangan bukan hakikat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju
tali perkawinan. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-s
yarat di bawah ini :
• Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga
(mahram), tunggal susuan (radha’ah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab
tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan aka
d perkawinan.
• Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits yang di riwayatkan Ima
m Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan “tidak boleh seorang lelaki melamar tuna
ngan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya”. Hadits yang senada
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mend
apat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wani
ta, ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Na
mun sebagian ulama lain membolehkan khitbah teersebut apabila tidak ada jawaban
yang jelas dari mempelai wanita.
C. MELIHAT TUNANGAN
Agar kehidupan suami isteri berjalan dengan baik, sejahtera dan tenteram maka ca
lon suami terlebih dahulu melihat calon isteri yang akan ia pinang sehingga dapa
t diketahui kecantikannya yang bisa menjadi satu faktor pendorong untuk mempersu
ntingnya atau untuk megetahui cacat celanya yang bisa jadi penyebab kegagalannya
sehingga berganti mengambil orang lain. Karena orang yang bijaksana tidak mau m
emasuki sesuatu sebelum ia tahu betul baik buruknya. Adapun tempat-tempat yang b
oleh dilihat menurut jumhur ulama’ ialah muka dan telapak tangannya. Dengan meliha
t mukanya maka dapat diketahui cantik jeleknya, dengan melihat telapak tangannya
dapat diketahui badannya subur atau tidak.
Tentang melihat wanita yang di pinang telah terjadi ikhtilaf dikalangan para ula
ma’, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh di lihat. Ada yang
berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat ra
mbut, betis dan lainnya. Berdasarkan sabda Nabi SAW “melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahinya”. Adapun pendapat Imam Mazhab tentang batasan yang boleh diliha
t ialah :
• Abu Hanifah
"memperbolehkan untuk melihat kedua telapak kaki wanita yang dipinang."
• Hanabilah mengatakan

"boleh melihat wanita yang dipinang pada 6 anggota tubuh yaitu : muka, tangan,
telapak kaki, lutut, betis dan kepala. Dikarenakan melihat keenamnya merupakan k
ebutuhan yang mendukung berlangsungnya pernikahan, hal ini juga berdasarkan hadi
ts Nabi “lihatlah kepada dia (wanita yang dipinang)”. Juga berdasarkan apa yang pern
ah dilakukan Umar dan Jabir. Wahbah Zuhaily menganggap ini yang paling benar tet
api ia tidak pernah memfatwakannya."
• Bahkan dalam Mazhab Zhohiriyah (Daud az-Zhohiry)
"diperbolehkan melihat seluruh tubuh"
D. PEMBATALAN KHITBAH
Dalam melangsungkan proses khitbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh
kedua belah pihak (ikhwan dan akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap dan seb
againya satu dengan yang lainnya. Sehingga berkaitan dengan fungsi khitbah itu s
endiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifit
as saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh lagi dengan cara yang ma’ruf. Maka apabila d
alam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adan
ya ketidak cocokan antara dirinya dengan calon pasangannya ataupun sebaliknya, m
aka ia berhak untuk membatalkan khitbah tersebut.
Pembatalan khitbah adalah hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Mengangg
ap hal ini berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khitbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi c
alon lainnya memiliki banyak kekurangan, kemudian ia pun menganggap sebagai piha
k yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diput
uskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah
berimplikasi pada kegagalan khitbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah s
ikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan
kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khitbah maka ketika akan mengakhiri khitbah denga
n pembatalan pun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi keten
tuan syara’. Dalam membatalkan khitbah hal yang perlu diperhatikan adalah adanya a
lasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan itu terjadi. Misalnya salah satu a
taupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan
ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhl
aq yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda
Islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta a
lasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah
tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah
.
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khitbah juga berlaku apab
ila adanya qadha dari Allah SWT semisal kematian yang menimpa salah satu calon a
taupun keduanya sebelum dilangsungkannya akad pernikahan. Selain atas dasar alas
an-alasan syar’i, maka pembatalan khitbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu ha
nya akan menyakiti satu sama lainnya dan merupakan cirri dari orang-orang munafi
k, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhitbahnya. Rasulull
ah SAW bersabda :
: , ,
“sifat orang munafik itu ada 3 : Apabila ia berkata ia berdusta, apabila ia berja
nji ia ingkar, apabila ia dipercaya ia khianat” (HR.Bukhari).

2. AKAD NIKAH
A. PENGERTIAN
Akad berasal dari bahasa arab ‘aqada yang berarti mengikat. Sedangkan menurut isti
lah ialah keridhaan laki-laki dan perempuan serta persetujuan mereka untuk mengi
kat hidup berkeluarga dengan tali pernikahan. Karena perasaan ridha dan setuju b
ersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, maka harus ada simb
olisasi yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami isteri. Sim
bolisasi itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan
akad.

"akad ialah ikatan terhadap bagian-bagian yang bersebrangan, atau di artikan jug
a dengan ijab dan qabul (dalam pernikahan). Yang dimaksud dengan akad dalam hal
ini yaitu makna asalnya yang berarti ikatan.
Pernyataan pertama sebagai pernyataan kemauan untuk membentuk hubungan suami ist
eri disebut "ijab". Dan pernyataan kedua yang dinyatakan ooleh pihak yang mengad
akan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setuju disebut "qabul". Ma
ka dari penjelasan ini sudah jelas bahwa akad ialah perkataan tentang penawaran
dan penerimaan secara syarat. Karena nikah adalah perjanjian berat, kita harus m
enghayati ucapan ijab dan qabul. Salah satu syarat ijab qabul ialah kedua belah
pihak memiliki sifat tamyis (mampu membedakan baik dan buruk), sehingga ia harus
memahami perkataan dan maksud dari ijab qabul itu. Diatas pemahaman terhadap ma
ksud ijab qabul ada penghayatan.
Setelah khitbah dilaksanakan tidak ada batas minimal ataupun maksimal untuk mela
ksanakan akad nikah. Seandainya acara khitbah langsung diteruskan dengan akad n
ikah itu boleh saja dilakukan, walaupun untuk masyarakat Indonesia itu tidak laz
im dilakukan. Yang menjadi masalah adalah ketika akad nikah dilakukan dalam rent
ang waktu yang lama setelah khitbah dilaksanakan, peluang timbulnya fitnah akan
lebih besar. Resikonya besar untuk keduanya melakukan hal-hal yang dilarang Alla
h. Selain itu disatu sisi ia tidak boleh menerima pinangan dari orang lain, seda
ngkan disisi lain ia belum menjadi seorang isteri.
B. SHIGHAT
Shighat yang berasal dari bahasa arab yang berarti meresap, sedangkan menurut is
tilah sesuai dengan pendapat Imam Mazhab :
• Menurut Imam Maliki : shigat ialah
"lafaz yang terkandung didalamnya akad secara syara ".
• Menurut Imam Hanafi :
"shigat ialah perkataan yang didalamnya ada ijab dan qobul".
• Menurut Jumhur Ulama :

"sighat terdiri dari ijab dan qobul. Ijab merupakan ucapan yang keluar dari wali
(pihak wanita) atau yang mewakilinya. Sedangkan qobul ucapan yang keluar dari me
mpelai pria sebagai kesediaan menerima pernikahan."
C. SYARAT IJAB QABUL
Dalam hal ijab dan qabul ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suam
i dan calon isteri yaitu :
a) Kedua belah pihak sudah tamyiz, jika salah satu pihak ada yang gila atau
masih kecil dan belum tamyiz (dapat membedakan bener dan salah) maka pernikaha
nnya tidak sah.
b) Ijab qabulnya dalam satu majelis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul ti
dak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat diangggap ada penye
lingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul. Akan tetapi dalam ijab qabul tidak
ada syarat yang harus langsung. Sekiranya majelisnya berjalan lama dan antara i
jab dan qabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab dan qabu
l maka tetap di anggap satu majelis. Pendapat ini sama dengan pendapat Imam Hana
fi dan Hambali dalam kitab Al-Mughni disebutkan ("bila ada tenggang waktu antar
a ijab qabul maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majelis yang tidak disel
ingi sesuatu yang mengganggu").
c) Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang d
iucapkan. Bila masing-masing tidak paham apa yang di ucapkan oleh lawan bicarany
a maka akad itu tidak sah.
d) Antara ijab dan qabul tidak bertentangan, misalnya bunyi lafaz ijab yang
diucapkan oleh wali adalah "aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar1 juta"
lalu lafaz qabulnya diucapkan oleh suami adalah "saya terima nikahnya dengan ma
har 1/2 juta". Maka antara keduanya tidak nyambung dan ijab qabul ini tidak sah.
Namun bila jumlah mahar yang disebutkan dalam qalbu lebih tinggi dari yang diuc
apkan dalam ijab maka hal itu sah.

D. LAFAZ IJAB QABUL


a) Tidak harus dalam bahasa arab, Tidak diharuskan dalam ijab qabul untuk m
enggunakan bahasa arab , melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intiny
a kedua belah pihak mengerti apa yang ucapkan masing-masing saling mengerti apa
yang dimaksud oleh lawan bicaranya . Sebaiknya ijab menggunakan kata nikah , kaw
in atau yang semakna dengan keduanya . Sedangkan bila menggunakan kata " hibah "
memiliki , membeli dan sejenisnya tidak dibenarkan oleh Asy-Syafi I , Ibnu Musa
yyib Ahmad dan Atho . Sebaliknya Al-Hanafiyah membolehkannya . Demikian juga den
gan Abu Tsaur , Ats-Tsauri , Abu Ubaid dan juga Abu Daud .

Menurut ulama-ulama hambali mengatakan

"Tidak boleh menikah atau melakukan ijab dan qabul kecuali dengan bahasa arab la
gi yang mampu ."
B) Dengan Fi il Madhi , Selain itu para fuqaha mengatakan bahwa lafaz ijab dan q
abul haruslah dalam format fiil madhi ( past ) seperti zawwajtuka atau anahtuka
. Fi il madhi adalah kata kerja dengan keterangan waktu yang telah lampau . Seda
ngkan bila menggunakan fi il mudhari , maka secara hukum masih belum tentu sebu
ah akad yang syah . Sebab fiil mudhari masih mengandung makna yang akan dating
dan juga sekarang . Sehingga masih ada ihtimal ( kemungkinan ) bahwa akad itu te
rjadi atau belum lagi terjadi .
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fi


kr,1985)
2. Fiqhu As-Sunnah,Sayyid Sabiq,jilid III
3. Abdurrahman al-Jazairy,al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba’ah, juz IV

You might also like