Professional Documents
Culture Documents
DESAIN PENELITIAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam melakukan penelitian salah satu hal yang penting ialah membuat desain penelitian. Desain
penelitian bagaikan sebuah peta jalan bagi peneliti yang menuntun serta menentukan arah
berlangsungnya proses penelitian secara benar dan tepat sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Tanpa desain yang benar seorang peneliti tidak akan dapat melakukan penelitian dengan
baik karena yang bersangkutan tidak mempunyai pedoman arah yang jelas.
Agar tercapai pembuatan desain yang benar, maka peneliti perlu menghindari sumber potensial
kesalahan dalam proses penelitian secara keseluruhan. Kesalahan-kesalahan tersebut ialah:
a. Kesalahan Dalam Perencanaan
Kesalahan dalam perencanaan dapat terjadi saat peneliti membuat kesalahan dalam menyusun
desain yang akan digunakan untuk mengumpulkan informasi. Kesalahan ini dapat terjadi pula bila
peneliti salah dalam merumuskan masalah. Kesalahan dalam merumuskan masalah akan
menghasilkan infromasi yang tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang
diteliti. Cara mengatasi kesalahan ini ialah mengembangkan proposal yang baik dan benar yang
secara jelas menspesifikasikan metode dan nilai tambah penelitian yang akan dijalankan.
b. Kesalahan Dalam Pengumpulan Data
Kesalahan dalam pengumpulan data terjadi pada saat peneliti melakukan kesalahan dalam proses
pengumpulan data di lapangan. Kesalahan ini dapat memperbesar tingkat kesalahan yang sudah
terjadi dikarenakan perencanaan yang tidak matang. Untuk menghindari hal tersebut data yang
dikoleksi harus merupakan represntasi dari populasi yang sedang diteliti dan metode pengumpulan
datanya harus dapat menghasilkan data yang akurat. Cara mengatasi kesalahan ini ialah kehati-
hatian dan ketepatan dalam menjalankan desain penelitian yang sudah dirancang dalam proposal.
c. Kesalahan Dalam Melakukan Analisa
Kesalahan dalam melakukan analisa dapat terjadi pada saat peneliti salah dalam memilih cara
menganalisa data. Selanjutnya, kesalahan ini disebabkan pula adanya kesalahan dalam memilih
teknik analisa yang sesuai dengan masalah dan data yang tersedia. Cara mengatasi masalah ini ialah
buatlah justifikasi prosedur analisa yang digunakan untuk menyimpulkan dan memanipulasi data.
d. Kesalahan Dalam Pelaporan
Kesalahan dalam pelaporan terjadi jika peneliti membuat kesalahan dalam menginterprestasikan
hasil-hasil penelitian. Kesalahan seperti ini terjadi pada saat memberikan makna hubungan-
hubungan dan angka-angka yang diidentifikasi dari tahap analisa data. Cara mengatasi kesalahan
ini ialah hasil analisa data diperiksa oleh orang-orang yang benar-benar ahli dan menguasai
masalah hasil penelitian tersebut.
BAB II
DESAIN PENELITIAN
Desain artinya rencana, tetapi apabila dikaji lebih lanjut kata itu dapat berarti pula pola, potongan,
bentuk, model, tujuan dna maksud (Echols dan Hassan Shadily, 1976:177), Desain Penelitian
menurut William M.K. Trochim (2006) “Research design can be thought of as the structure of
research -- it is the "glue" that holds all of the elements in a research project together.” Sedangkan
Lincoln dan Guba (1985:226) mendefinisikan rancangan penelitian sebagi usaha merencanakan
kemungkinan-kemungkinan tertentu secara luas tanpa menunjukkan secara pasti apa yang akan
dikerjakan dalam hubungan dengan unsur masing-masing.
Desain penelitian menurut Mc Millan dalam Ibnu Hadjar (1999:102) adalah rencana dan struktur
penyelidikan yang digunakan untuk memperoleh bukti-bukti empiris dalam menjawab pertanyaan
penelitian.
Dalam penelitian eksperimental, desain penelitian disebut desain eksperimental. Desain eksperimen
dirancang sedemikian rupa guna meningkatkan validitas internal maupun eksternal.
Suharsimi Arikunto (1998:85-88) mengkategorikan desain eksperimen murni menjadi 8 yaitu
control group pre-test post test, random terhadap subjek, pasangan terhadap subjek, random pre test
post test , random terhadap subjek dengan pre test kelompok kontrol post test kelompok
eksperimen, tiga kelompok eksperimen dan kontrol, empat kelompok dengan 3 kelompok kontrol,
dan desain waktu.
Sutrisno Hadi (1982:441) mengkategorikan desain eksperimen menjadi enam yaitu simple
randomaized, treatment by levels desaigns, treatments by subjects desaigns, random replications
desaigns, factorial designs, dan groups within treatment designs. Sedangkan Ibnu Hadjar
(1999:327) membedakan desain penelitian eksperimen murni menjadi dua yaitu pre test post test
kelompok kontrol dan post tes kelompok kontrol.
X: Digunakan untuk mewakili pemaparan (exposure) suatu kelompok yang diuji terhadap suatu
perlakuan eksperimental pada variable bebas yang kemudian efek pada variable tergantungnya akan
diukur.
O: menunjukkan adanya suatu pengukuran atau observasi terhadap variable tergantung yang sedang
diteliti pada individu, kelompok atau obyek tertentu.
R: menunjukkan bahwa individu atau kelompok telah dipilih dan ditentukan secara random untuk
tujuan-tujuan studi.
a. Ex Post Facto
Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa dalam desain Ex Post Facto tidak ada manipulasi
perlakukan terhadap variable bebasya maka system notasinya baik studi lapangan atau survei hanya
ditulis dengan O atau O lebih dari satu.
Contoh 1: Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua populasi, yaitu Perusahaan A dan
Perusahaan B, maka notasinya:
O1
O2
Dimana O1 merupakan kegiatan observasi yang dilakukan di perusahaan A dan O2 merupakan
kegiatan observasi yang dilakukan di perusahaan B.
Contoh 2: Secara random kita meneliti 200 perusahaan dari populasi 1000 perusahaan mengenai
system penggajiannya. Survei dilakukan dengan cara mengirim kuesioner pada 200 manajer, maka
konfigurasi desainnya akan seperti di bawah ini:
(R) O1
Dimana O1 mewakili survei di 200 perusahaan dengan memberikan kuesioner kepada 200 manajer
yang dipilih secara random (R ).
Apabila sample yang sama kita teliti secara berulang-ulang, misalnya selama tiga kali dalam tiga
bulan berturut-turut, maka notasinya adalah:
(R) O3 dimana O1 merupakan observasi yang pertama, O2 merupakan observasi yang kedua dan
O3 merupakan observasi yang ketiga.
b. Desain-Desain Eksperimental
Desain eksperimental dibagai menjadi dua, yaitu: pre-eksperimental (quasi-experimental) dan
desain eksperimental sebenarnya (true experimental). Perbedaan kedua tipe desain ini terletak pada
konsep kontrol.
Pada desain ini peneliti melakukan pengukuran awal pada suatu obyek yang diteliti, kemudian
peneliti memberikan perlakuan tertentu. Setelah itu pengukuran dilakukan lagi untuk yang kedua
kalinya. Desain tersebut dapat dikembangkan dalam bentuk lainnya, yaitu: desain time series”. Jika
pengukuran dilakukan secara beulang-ulang dalam kurun waktu tertentu. Maka desainnya menjadi
seperti di bawah ini:
O1 O2 O3 X O4 O5 O6
Pada desain time series, peneliti melakukan pengukuran di depan selama 3 kali berturut, kemudian
dia memberikan perlakuan pada obyek yang diteliti. Kemudian peneliti melakukan pengukuran
selama 3 kali lagi setelah perlakuan dilakukan.
( R ) X O1
( R ) O2
Maksud dari desain tersebut ialah ada dua kelompok yang dipilih secara random. Kelompok
pertama diberi perlakuan sedang kelompok dua tidak. Kelompok pertama diberi perlakuan oleh
peneliti kemudian dilakukan pengukuran; sedang kelompok kedua yang digunakan sebagai
kelompok pengontrol tidak diberi perlakukan tetapi hanya dilakukan pengukuran saja.
( R ) O1 X O2
( R ) O3 O4
( R ) O1 X O2
( R ) O3 O4
( R ) X O5
( R ) O6
Maksud desain tersebut ialah: Peneliti memilih empat kelompok secara random. Kelompok pertama
yang merupakan kelompok inti diberi perlakuan dan dua kali pengukuran, yaitu di depan (pre-test)
dan sesudah perlakuan (post-test). Kelompok dua sebagai kelompok pengontrol tidak diberi
perlakuan tetapi dilakukan pengukuran seperti di atas, yaitu: pengukuran di depan (pre-test) dan
pengukuran sesudah perlakuan (post-test). Kelompok ketiga diberi perlakuan dan hanya dilakukan
satu kali pengukuran sesudah dilakukan perlakuan (post-test) dan kelompok keempat sebagai
kelompok pengontrol kelompok ketiga hanya diukur satu kali saja.
Perlakuan
Kelompok Eksperimental Kelompok Pengontrol
Instruksi
A1. (Lisan)
A2. (Tertulis)
A3. Tidak Spesifik
X11
X21
X31
X25,1
X12
X22
X32
X25,2
X13
X23
X33
X25,3
Perlakuan
x.1
x.2
x.3
Contoh Desainnya:
Perlakuan
Kelompok Eksperimental Kelompok Pengontrol
------------------------------- ---------------------------
Instruksi: a1. (Lisan) a2. (Tertulis) a3. (Tanpa Instruksi) Rata-
Blok Rata
(Departemen) Blok
B1
B2
B3
B4
B5
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
5 (pekerja)
X1.
X2.
X3.
X4.
X5.
Rata2
Perlakuan
x.1
x.2
x.3
Desain di atas dapat diterangkan sebagai berikut: Pada saat studi dilakukan dengan menggunakan
desain sebelumnya, para anggota dari tiga kelompok berasal dari berbagai latar belakang yang
berbeda. Keterbedaan latar belakang anggota merupakan suatu ganngguan atau yang disebut
sebagai variable pengganggu. Untuk itu perlu dilakukan penyamaan para anggota dari masing-
masing kelompok. Caranya ialah dengan menciptakan blok yang berfungsi untuk mendapatkan
anggota kelompok yang sama. Dalam kasus ini blok ditentukan didasarkan pada departemen
(bagian) dimana para anggota kelompok berasal.
Selanjutnya pekerja yang berasal dari departemen yang sama dibagi menjadi lima berdasarkan
department masing-masing. Kemudian masing-masing kelompok mendapatkan perlakuan yang
sama, yaitu kelompok pertama mendapatkan instruksi lisan, kelompok kedua mendapatkan
instruksi tertulis dan kelompok ketiga instruksi tidak spesifik. Dengan menggunakan desain ini
maka peneliti akan dapat melihat dampak-dampak yang disebabkan oleh system blok per
departemen serta interaksi instruksi atas ketiga kelompok tersebut.
Blok
c1 Tinggi
c2 Menengah
c3. Rendah
Rata2
B1
B2
B3
(a1) x1
(a2) x2
(a3) x3
(a2) x1
(a3) x2
(a1) x3
(a3) x1
(a1) x2
(a2) x3
X1..
X2..
X3..
X2
X3
x..1
x..2
x..3
Rata-Rata x.1. x.2. x.3.
Perlakuan
Pada table desain di atas X1 mempunyai arti responden yang mendapat perlakuan membaca iklan
dengan panjang baris 5 inchi dan tingkat kontras warna rendah; X2 mempunyai arti responden yang
mendapat perlakuan membaca iklan dengan panjang baris 7 inchi dan tingkat kontras warna
medium dan X3 mempunyai arti responden yang mendapat perlakuan membaca iklan dengan
panjang baris 12 inchi dan tingkat kontras warna tinggi. Dari format di atas kita akan mendapatkan
9 kombinasi yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riset yang baik perlu dirancang aktivitas dan sumberdayanya dengan baik pula.
Rancangan riset atau desain riset adalah rencana dari struktur riset yang mengarahkan proses dan
hasil riset sedapat mungkin menjadi valid, objektif, efisien dan efektif.
Riset yang baik memiliki tingkat kekuatan pengujian (power of the test) yang tinggi, yang dapat
ditingkatkan dengan:
1. Meningkatkan ukuran sampel
2. Memperkecil alpha
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Metodologi
Penelitian. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mohon kritik dan saran
yang bersifat membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Black A James & Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, 1999, PT Refika
Aditama, Bandung
Furchan Arief, Pengantar Penelitian Pendidikan,1982, Usaha Nasional, Surabaya
Karena paradigma, proses, metode, dan tujuannya berbeda, penelitian kualitatif memiliki model
desain yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Tidak ada pola baku tentang format desain
penelitian kualitatif, sebab; (1) instrumen utama penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri,
sehingga masing-masing orang bisa memiliki model desain sendiri sesuai seleranya, (2) proses
penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga sulit untuk dirumuskan format yang baku, dan (3)
umumnya penelitian kualitatif berangkat dari kasus atau fenomena tertentu, sehingga sulit untuk
dirumuskan format desain yang baku.
Namun demikian, dari pengalaman beberapa kali melakukan penelitian kualitatif format berikut,
penulis menggunakan format berikut untuk dipakai sebagai contoh yang bisa dikembangkan lebih
lanjut.
1. PENDAHULUAN
2. Tema Penelitian
3. Konteks Penelitian
4. Fokus Penelitian
5. Tujuan Penelitian
6. Tinjauan Pustaka
1. METODE PENELITIAN
2. Objek dan Informan Penelitian
3. Metode Perolehan dan Pengumpulan Data
4. Metode Pengecekan Keabsahan Data
5. Metode Analisis Data
6. Diskusi Hasil Penelitian
7. Laporan Penelitian
Proses penelitian disajikan menurut tahap-tahapnya, yaitu: (1) Tahap Pra-lapangan, (2) Tahap
Kegiatan Lapangan, dan (3) Tahap Pasca-lapangan.
1. Tahap Pra-lapangan
Beberapa kegiatan dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan. Masing-masing adalah: (1)
Penyusunan rancangan awal penelitian, (2) Pengurusan ijin penelitian, (3) Penjajakan lapangan dan
penyempurnaan rancangan penelitian,(4) Pemilihan dan interaksi dengan subjek dan informan, dan
(5) Penyiapan piranti pembantu untuk kegiatan lapangan.
Perlu dikemukakan, peneliti menaruh minat dan kepedulian terhadap gejala menglaju dan akibat-
akibat sosialnya. Pengamatan sepintas sudah dilakukan jauh sebelum rancangan penelitian disusun
dan diajukan sebagai topik penelitian.
Berbekal pengamatan awal dan telaah pustaka, peneliti mengajukan usulan penelitian tentang
mobilitas penduduk dan perubahan di pedesaan. Usulan yang diajukan dan diseminarkan dengan
mengundang teman sejawat dan pakar.
Karena berpendekatan kualitatif, usulan penelitian itu dipandang bersifat sementara (tentative).
Karena itu peluang seminar digunakan untuk menangkap kritik dan masukan, baik terhadap topik
maupun metode penelitian. Berdasarkan kritik dan masukan tersebut, peneliti membenahi rancangan
penelitiannya dan melakukan penjajakan lapangan.
Penjajakan lapangan dilakukan dengan tiga teknik secara simultan dan lentur, yaitu (a) pengamatan;
peneliti mengamati secara langsung tentang gejala- gejala umum permasalahan, misalnya arus
menglaju pada pagi dan sore hari, (b) wawancara; secara aksidental peneliti mewawancari beberapa
informan dan tokoh masyarakat, (c) telaah dokumen; peneliti memilih dan merekam data dokumen
yang relevan, baik yang menyangkut Bandulan maupun Kotamadya Dati II Malang.
Perumusan masalah dan pemilihan metode penelitian yang lebih tepat dilakukan lagi berdasarkan
penjajakan lapangan (grand tour observation). Sepanjang kegiatan lapangan, ternyata pusat
perhatian dan teknik-teknik terus mengalami penajaman dan penyesuaian.
Dalam ungkapan Lincoln dan Guba (1985: 208), kecenderungan rancangan penelitian yang terus-
menerus mengalami penyesuaian berdasarkan interaksi antara peneliti dengan konteks ini disebut
rancangan membaharu (emergent design).
Berdasarkan penjajakan lapangan, peneliti menetapkan tema pokok penelitian ini, yaitu: perubahan
sosial di mintakat penglaju (commuters' zone). Pusat perhatian diberika pada peran penglaju dalam
perubahan sosial di Bandulan, Kecamatan Sukun, Kotamadya Malang.
Secara rinci pusat perhatian ini mencakup beberapa pertanyaan sebagaimana diajukan dalam bab
pendahuluan, yaitu: (1) Faktor apa saja, baik dari dalam diri, dari dalam desa, maupun dari luar
desa, yang mendorong perilaku menglaju pada sebagian penduduk Bandulan? Apakah makna
menglaju sebagaimana dihayati oleh mereka?, (2) Bagaimanakah ragam gaya hidup, pola interaksi
sosial, solidaritas dan peran sosial masing-masing kategori empiris penduduk dalam perubahan
sosial di Bandulan?, dan (3) Akibat-akibat sosial apa saja yang terjadi karena banyaknya penduduk
yang menglaju ke luar Bandulan, baik pada sistem nilai dan kepercayaan, pranata sosial dan
ekonomi, dan pola pelapisan sosial sebagaimana dirasakan oleh masyarakat setempat?
Sepanjang pelaksanaan penelitian, ternyata penyempurnaan tidak hanya menyangkut pusat perhatian
penelitian, melainkan juga pada metode penelitiannya. Bogdan dan Taylor (1975:126) memang
menegaskan agar para peneliti sosial mendidik (educate) dirinya sendiri. "To be educated is to learn
to create a new. We must constantly create new methods and new approaches".
Konsep sampel dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi
sosial tertentu yang dapat memberikan informasi mantap dan terpercaya mengenai unsur-unsur
pusat perhatian penelitian.
Pemilihan informan mengikuti pola bola salju (snow ball sampling). Bila pengenalan dan interaksi
sosial dengan responden berhasil maka ditanyakan kepada orang tersebut siapa-siapa lagi yang
dikenal atau disebut secara tidak langsung olehnya.
Dalam menentukan jumlah dan waktu berinteraksi dengan sumber data, peneliti menggunakan
konsep sampling yang dianjurkan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu maximum variation
sampling to document unique variations. Peneliti akan menghentikan pengumpulan data apabila dari
sumber data sudah tidak ditemukan lagi ragam baru. Dengan konsep ini, jumlah sumber data bukan
merupakan kepedulian utama, melainkan ketuntasan perolehan informasi dengan keragaman yang
ada.
Tidak semua penduduk bisa memberikan data yang diperlukan. Karena itu, hanya 25 orang sumber
data yang diwawancarai secara mendalam. Masing-masing adalah 14 orang penduduk asli penglaju,
6 orang penduduk asli bukan penglaju, dan 5 orang penduduk pendatang penglaju.
Karena data utama penelitian ini diperoleh berdasarkan interaksi dengan responden dalam latar
alamiah, maka beberapa perlengkapan dipersiapkan hanya untuk memudahkan, misalnya : (1) tustel,
(2) tape recorder, dan (3) alat tulis termasuk lembar catatan lapangan. Perlengkapan ini digunakan
apabila tidak mengganggu kewajaran interaksi sosial.
Pengamatan dilakukan dalam suasana alamiah yang wajar. Pada tahap awal, pengamatan lebih
bersifat tersamar. Teknik ini seringkali memaksa peneliti melakukan penyamaran. Misalnya: untuk
mengamati aspek-aspek yang berhubungan dengan perilaku dan gaya hidup, peneliti beranjang-sana
di rumah informan. Sambil berbincang-bincang, peneliti mencermati cara berbicara, berpakaian,
penataan ruang, gaya bangunan rumah, benda-benda simbolik dan sebagainya.
Ketersamaran dalam pengamatan ini dikurangi sedikit demi sedikit seirama dengan semakin
akrabnya hubungan antara pengamat dengan informan. Ketika suasana akrab dan terbuka sudah
tercipta, peneliti bisa mengkonfirmasikan hasil pengamatan melalui wawancara dengan informan.
Dengan wawancara, peneliti berupaya mendapatkan informasi dengan bertatap muka secara fisik
danbertanya-jawab dengan informan. Dengan teknik ini, peneliti berperan sekaligus sebagai piranti
pengumpul data.
Selama wawancara, peneliti juga mencermati perilaku gestural informan dalam menjawab
pertanyaan. Untuk menghindari kekakuan suasana wawancara, tidak digunakan teknik wawancara
terstruktur. Bahkan wawancara dalam penelitian ini seringkali dilakukan secara spontan, yakni tidak
melalui suatu perjanjian waktu dan tempat terlebih dahulu dengan informan. Dengan ini peneliti
selalu berupaya memanfaatkan kesempatan dan tempat-tempat yang paling tepat untuk melakukan
wawancara.
Selama kegiatan lapangan peneliti merasakan bahwa pengalaman sosialisasi, usia dan atribut- atribut
pribadi peneliti bisa mempengaruhi interaksi peneliti dengan informan. Semakin mirip latar
belakang informan dengan peneliti, semakin lancar proses pengamatan dan wawancara.
Sebaliknya, ketika mewawancarai informan yang berbeda latar belakang, peneliti harus
menyesuaikan diri dengan mereka. Banyak ragam cara menyesuaikan diri. Di antaranya dengan cara
berpakaian, bahasa yang digunakan, waktu wawancara, hingga penyamaran seolah-olah peneliti
memiliki sikap dan kesenangan yang sama dengan informan. Karena kendala itu, pengumpulan data
terhadap penduduk asli, baik penglaju dan lebih-lebih yang bukan penglaju, berjalan agak lamban.
Kejenuhan, bahkan rasa putus-asa kadang-kadang muncul dan menyerang peneliti. Dalam keadaan
demikian, peneliti beristirahat untuk mengendapkan, membenahi catatan lapangan, dan
merenungkan hasil-hasil yang diperoleh. Dengan cara ini, peneliti bisa menemukan informasi
penting yang belum terkumpul.
Kedekatan antara tempat tinggal peneliti dengan informan ternyata sangat membantu kegiatan
lapangan. Secara tidak sengaja peneliti bisa bertemu dengan informan, sehingga pembicaraan setiap
saat bisa berlangsung. Kendati tidak dirancang, bila hasil percakapan itu memiliki arti penting bagi
penelitian, akan dicatat dan diperlakukan sebagai data penelitian.
Perekaman dokumen menjadi lebih mudah karena dokumen, baik dari kelurahan maupun dari
Kotamadya cukup lengkap. Agar tidak menyulitkan lembaga yang menyediakan, peneliti meminta
ijin untuk menfoto-copy dokumen-dokumen yang diperlukan atau menyalinnya ke dalam catatan
peneliti.
Pemeriksaan keabsahan (trustworthiness) data dalam penelitian ini dilakukan dengan empat kriteria
sebagaimana dianjurkan oleh Lincoln dan Guba (1985: 289-331). Masing-masing adalah derajat: (1)
kepercayaan (credibility), (2) keteralihan (transferability), (3) kebergantungan (dependability), dan
(4) kepastian (confirmability).
Untuk meningkatkan derajat kepercayaan data perolehan, dilakukan dengan teknik: (1)
perpanjangan keikut-sertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) triangulasi, (4) pemeriksaan sejawat,
(5) kecukupan referensial, (6) kajian kasus negatif, dan (7) pengecekan anggota.
Kegiatan lapangan penelitian ini semula dijadwal tidak lebih dari enam bulan. Dengan pertimbangan
bahwa peningkatan waktu masih memunculkan informasi baru, maka lama kegiatan lapangan
diperpanjang. Dengan perpanjangan waktu ini, seperti dikemukakan Moleong (1989), peneliti dapat
mempelajari "kebudayaan", menguji kebenaran dan mengurangi distorsi.
Dengan mengamati secara tekun, peneliti bisa menemukan ciri-ciri atau unsur-unsur dalam suatu
situasi yang sangat relevan dengan peran penglaju dalam perubahan sosial di Bandulan. Bila
perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka ketekunan pengamatan menyediakan
kedalaman.
Triangulasi dilakukan untuk melihat gejala dari berbagai sudut dan melakukan pengujian temuan
dengan menggunakan berbagai sumber informasi dan berbagai teknik. Empat macam triangulasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pemeriksaandengan memanfaatkan sumber,
metode, penyidik dan teori.
Meskipun Lincoln dan Guba (1985) tidak menganjurkan triangulasi teori, tampaknya Patton (1987:
327) berpendapat lain. Menurutnya, triangulasi antar teori tetap dibutuhkan sebagai penjelasan
banding (rival explanation).
Dalam penelitian ini, penempatan teori lebih mengikuti anjuran Bogdan dan Taylor (1975). Menurut
mereka, teori memberikan suatu penjelasan atau kerangka kerja penafsiran yang memungkinkan
peneliti memberi makna pada kekacauan data (morass of data) dan menghubungkan data dengan
kejadian-kejadian dan latar yang lain. Karena itu, sangat penting bagi peneliti untuk
mengetengahkan temuannya dengan perspektif teoretik lain, khususnya selama tahap pengolahan
data penelitian yang intensif.
Pengamatan dan wawancara tidak terstruktur yang diterapkan dalam penelitian ini memang
menghasilkan data yang masih kacau. Untuk memilah dan memberi makna pada data tersebut,
peneliti tidak bisa tidak harus berpaling kepada teori-teori sosiologi dan antropologi yang relevan.
Pemeriksaan sejawat dilakukan dengan cara mengetengahkan (to expose) hasil penelitian, baik yang
bersifat sementara maupun hasil akhir, dalam bentuk d
Setidaknya ada delapan jenis penelitian kualitatif, yakni etnografi (ethnography), studi kasus (case
studies), studi dokumen/teks (document studies), observasi alami (natural observation), wawancara
terpusat (focused interviews), fenomenologi (phenomenology), grounded theory, studi sejarah
(historical research). Berikut uraian ringkas tentang masing-masing jenis penelitian itu.
Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu
temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut,
data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa disederhanakan untuk akhirnya
bisa dipahami dengan mudah.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan
cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya
mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian. Di dalam penelitian
lapangan (field research) bisa saja terjadi karena memperoleh data yang sangat menarik, peneliti
mengubah fokus penelitian. Ini bisa dilakukan karena perjalanan penelitian kualitatif bersifat siklus,
sehingga fokus yang sudah didesain sejak awal bisa berubah di tengah jalan karena peneliti
menemukan data yang sangat penting, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Lewat data itu akan
diperoleh informasi yang lebih bermakna. Untuk bisa menentukan kebermaknaan data atau
informasi ini diperlukan pengertian mendalam, kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual,
pengalaman dan expertise peneliti. Kualitas hasil analisis data kualitatif sangat tergantung pada
faktor-faktor tersebut.
Dari pengalaman melakukan penelitian kualitatif beberapa kali, model analisis data yang dikenalkan
oleh Spradley (1980), dan Glaser dan Strauss (1967) bisa dipakai sebagai pedoman. Kendati tidak
baku, artinya setiap peneliti kualitatif bisa mengembangkannya sendiri, secara garis besar model
analisis itu diuraikan sebagai berikut:
1. Analisis Domain (Domain analysis). Analisis domain pada hakikatnya adalah upaya peneliti
untuk memperoleh gambaran umum tentang data untuk menjawab fokus penelitian. Caranya ialah
dengan membaca naskah data secara umum dan menyeluruh untuk memperoleh domain atau ranah
apa saja yang ada di dalam data tersebut. Pada tahap ini peneliti belum perlu membaca dan
memahami data secara rinci dan detail karena targetnya hanya untuk memperoleh domain atau
ranah. Hasil analisis ini masih berupa pengetahuan tingkat “permukaan” tentang berbagai ranah
konseptual. Dari hasil pembacaan itu diperoleh hal-hal penting dari kata, frase atau bahkan kalimat
untuk dibuat catatan pinggir.
2. Analisis Taksonomi (Taxonomy Analysis). Pada tahap analisis taksonomi, peneliti berupaya
memahami domain-domain tertentu sesuai fokus masalah atau sasaran penelitian. Masing-masing
domain mulai dipahami secara mendalam, dan membaginya lagi menjadi sub-domain, dan dari sub-
domain itu dirinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus lagi hingga tidak ada lagi yang
tersisa, alias habis (exhausted). Pada tahap analisis ini peneliti bisa mendalami domain dan sub-
domain yang penting lewat konsultasi dengan bahan-bahan pustaka untuk memperoleh pemahaman
lebih dalam.
4. Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Themes). Analisis Tema Kultural adalah analisis
dengan memahami gejala-gejala yang khas dari analisis sebelumnya. Analisis ini mencoba
mengumpulkan sekian banyak tema, fokus budaya, nilai, dan simbol-simbol budaya yang ada dalam
setiap domain. Selain itu, analisis ini berusaha menemukan hubungan-hubungan yang terdapat pada
domain yang dianalisis, sehingga akan membentuk satu kesatuan yang holistik, yang akhirnya
menampakkan tema yang dominan dan mana yang kurang dominan. Pada tahap ini yang dilakukan
oleh peneliti adalah: (1) membaca secara cermat keseluruhan catatan penting, (2) memberikan kode
pada topik-topik penting, (3) menyusun tipologi, (4) membaca pustaka yang terkait dengan masalah
dan konteks penelitian. Berdasarkan seluruh analisis, peneliti melakukan rekonstruksi dalam bentuk
deskripsi, narasi dan argumentasi. Sekali lagi di sini diperlukan kepekaan, kecerdasan, kejelian, dan
kepakaran peneliti untuk bisa menarik kesimpulan secara umum sesuai sasaran penelitian.
http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/221.html?task=view
Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat
mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat
dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut
pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan
diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran
data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara
mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.
Sebagaimana diketahui dalam penelitian kualitatif peneliti itu sendiri merupakan instrumen
utamanya. Karena itu, kualitas penelitian kualitatif sangat tergantung pada kualitas diri penelitinya,
termasuk pengalamannya melakukan penelitian merupakan sesuatu yang sangat berharga. Semakin
banyak pengalaman seseorang dalam melakukan penelitian, semakin peka memahami gejala atau
fenomena yang diteliti. Namun demikian, sebagai manusia, seorang peneliti sulit terhindar dari bias
atau subjektivitas. Karena itu, tugas peneliti mengurangi semaksimal mungkin bias yang terjadi agar
diperoleh kebenaran utuh. Pada titik ini para penganut kaum positivis meragukan tingkat
ke’ilmiah’an penelitan kualitatif. Malah ada yang secara ekstrim menganggap penelitian kualitatif
tidak ilmiah.
Sejarahnya, triangulasi merupakan teknik yang dipakai untuk melakukan survei dari tanah daratan
dan laut untuk menentukan satu titik tertentu dengan menggunakan beberapa cara yang berbeda.
Ternyata teknik semacam ini terbukti mampu mengurangi bias dan kekurangan yang diakibatkan
oleh pengukuran dengan satu metode atau cara saja. Pada masa 1950’an hingga 1960’an, metode
tringulasi tersebut mulai dipakai dalam penelitian kualitatif sebagai cara untuk meningkatkan
pengukuran validitas dan memperkuat kredibilitas temuan penelitian dengan cara
membandingkannya dengan berbagai pendekatan yang berbeda.
Karena menggunakan terminologi dan cara yang mirip dengan model paradigma positivistik
(kuantitatif), seperti pengukuran dan validitas, triangulasi mengundang perdebatan cukup panjang di
antara para ahli penelitian kualitatif sendiri. Alasannya, selain mirip dengan cara dan metode
penelitian kuantitatif, metode yang berbeda-beda memang dapat dipakai untuk mengukur aspek-
aspek yang berbeda, tetapi toh juga akan menghasilkan data yang berbeda-beda pula. Kendati terjadi
perdebatan sengit, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, metode triangulasi semakin lazim dipakai
dalam penelitian kualitatif karena terbukti mampu mengurangi bias dan meningkatkan kredibilitas
penelitian.
Dalam berbagai karyanya, Norman K. Denkin mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau
kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut
pandang dan perspektif yang berbeda. Sampai saat ini, konsep Denkin ini dipakai oleh para peneliti
kualitatif di berbagai bidang. Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1) triangulasi
metode, (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), (3) triangulasi
sumber data, dan (4) triangulasi teori. Berikut penjelasannya.
1. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang
berdeda. Sebagaimana dikenal, dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode
wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal dan
gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan metode wawancara
bebas dan wawancara terstruktur. Atau, peneliti menggunakan wawancara dan obervasi atau
pengamatan untuk mengecek kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa menggunakan informan
yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau
pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Karena itu, triangulasi tahap ini
dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian diragukan
kebenarannya. Dengan demikian, jika data itu sudah jelas, misalnya berupa teks atau
naskah/transkrip film, novel dan sejenisnya, triangulasi tidak perlu dilakukan. Namun demikian,
triangulasi aspek lainnya tetap dilakukan.
2. Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam
pengumpulan dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya khasanah pengetahuan mengenai
informasi yang digali dari subjek penelitian. Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang yang diajak
menggali data itu harus yang telah memiliki pengalaman penelitian dan bebas dari konflik
kepentingan agar tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.
3. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode
dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa
menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsif, dokumen sejarah,
catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan
menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan
(insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan
melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.
4. Terakhir adalah triangulasi teori. Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan
informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif
teori yang televan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang
dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti
mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah
diperoleh. Diakui tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert judgement ketika
membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu, lebih-lebih jika perbandingannya
menunjukkan hasil yang jauh berbeda.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa triangulasi menjadi sangat penting dalam
penelitian kualitatif, kendati pasti menambah waktu dan beaya seta tenaga. Tetapi harus diakui
bahwa triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena
yang diteliti maupun konteks di mana fenomena itu muncul. Bagaimana pun, pemahaman yang
mendalam (deep understanding) atas fenomena yang diteliti merupakan nilai yang harus
diperjuangkan oleh setiap peneliti kualitatif. Sebab, penelitian kualitatif lahir untuk menangkap arti
(meaning) atau memahami gejala, peristiwa, fakta, kejadian, realitas atau masalah tertentu mengenai
peristiwa sosial dan kemanusiaan dengan kompleksitasnya secara mendalam, dan bukan untuk
menjelaskan (to explain) hubungan antar-variabel atau membuktikan hubungan sebab akibat atau
korelasi dari suatu masalah tertentu. Kedalaman pemahaman akan diperoleh hanya jika data cukup
kaya, dan berbagai perspektif digunakan untuk memotret sesuatu fokus masalah secara
komprehensif. Karena itu, memahami dan menjelaskan jelas merupakan dua wilayah yang jauh
berbeda. Selamat mencoba!
(tulisan ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul ”Pengembangan Profesionalisme Guru”
atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com)
Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan
ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain:
Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional
terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan
bidang spesifik guru/keguruan.
Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk
profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks
pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti
dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan
muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan
profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok
profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru
sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[1] Bagaimana dengan
pekerjaan keguruan?
Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu
banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini
sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik
(theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang
membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2] Sekedar contoh, siapa pun
bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter
yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit
manusia.
Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya
mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki
pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh
melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.[3]
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik
menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian
menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan
materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]
Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya
seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu,
belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada
guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-
regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat
atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang
bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan
diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan
untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik
asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa
sertifikasi terkait.
Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi
belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta
tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa
sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem
konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian
seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan
kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian,
seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan
keputusan rapat dewan guru.
Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan
otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan
profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki
bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan
obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa
melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen
terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-
jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.
Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan,
yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah
raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga,
yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).
Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui
memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami
secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional
melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan
yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak
bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak
seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan
penilaian seorang guru.
Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru
membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang
tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun
demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta
didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka
atau tidak suka.
Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat
daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan
profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi
seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik
boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya
pula prestise sosial tinggi.
Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya
adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional,
dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3)
mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4)
menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan
(6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki.
Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan
ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek
lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini.
Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar
kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau
sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.
Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan.
Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada
tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah
berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru
dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk
senantiasa memantapkan profesinya.
Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control)
profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari
ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari
pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi,
akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan
konflik kepentingan.
Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih
berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi
kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa
ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi
kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi
serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan
prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali
(reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau
pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada
sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan
melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi
dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi
peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.
[2] Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.
[5] Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998.
Salah satu persoalan mendasar dan menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dalam penelitian
adalah rumusan pertanyaan penelitian. Sebab, kualitas penelitian salah satunya sangat ditentukan
oleh bobot atau kualitas pertanyaan yang diajukan. Tetapi kenyatannya berdasarkan pengalaman
mengajar matakuliah metodologi penelitian, membimbing dan menguji skripsi, tesis, dan disertasi
selama ini, masih terdapat banyak persoalan terkait rumusan pertanyaan penelitian.
Banyak pertanyaan yang diajukan tidak jelas dan tidak layak sebagai pertanyaan penelitian.
Terkesan remeh dan tidak menarik, sehingga membuat orang tidak tertarik membacanya. Betapapun
menariknya tema atau topik yang akan diteliti, tetapi jika pertanyaannya tidak dirumuskan dengan
baik, penelitian tersebut tidak menarik minat orang. Jika ini terjadi, hasil penelitian tidak banyak
memberikan nilai guna karena tidak dibaca orang. Padahal, salah satu syarat penelitian yang baik
adalah memberikan nilai guna, baik secara teoretik maupun praktis.
Selain itu, sering terjadi tumpang tindih antara pertanyaan untuk metode penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif. Padahal, masing-masing berbeda secara tajam, mulai paradigma yang
melandasi kedua metode tersebut, tujuan, hakikat realitas, cara perolehan data, analisis data, hingga
temuan akhirnya. Karena itu, merumuskan masalah penelitian harus cermat dan hati-hati serta tidak
sekali jadi. diperlukan waktu untuk merenungkannya sehingga terwujud rumusan pertanyaan
penelitian yang memenuhi syarat ilmiah yang baik. setiap kata dalam rumusan masalah berimplikasi
sangat luas, baik secara substantif, teoretik maupun metodologis. Karena itu, ia harus jelas, tidak
saja bagi peneliti sendiri tetapi juga bagi pembacanya. Berikut penjelasan ringkasnya yang disari
dari berbagai sumber.
B. Syarat Pertanyaan Penelitian
Pada hakikatnya pertanyaan penelitian dirumuskan dengan melihat kesenjangan yang terjadi antara:
1. Apa yang seharusnya terjadi (prescriptive) dan yang sebenarnya terjadi (descriptive)
2. Apa yang diperlukan (what is needed) dan apa yang tersedia (what is available)
3. Apa yang diharapkan (what is expected) dan apa yang dicapai (what is achieved)
Pertanyaan penelitian selalu diawali dengan munculnya masalah yang sering disebut sebagai
fenomena atau gejala tertentu. Tetapi tidak semua masalah bisa diajukan sebagai masalah penelitian.
Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar bisa diangkat sebagai masalah penelitian.
Berdasarkan kajian referensi buku-buku metodologi peneltian, setidaknya terdapat tujuh syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:
2) Data atau informasi tersebut diperoleh melalui metode ilmiah, seperti wawancara, observasi,
kuesioner, dokumentasi, partisipasi, dan evaluasi/tes,
3) Memenuhi persyaratan orisinalitas, diketahui melalui pemetaan penelitian terdahulu (state of the
arts),
6) Masalah tersebut memerlukan jawaban serta pemecahan segera, tetapi jawabannya belum
diketahui masyarakat luas, dan
7) Masalah itu diajukan dalam batas minat (bidang studi) dan kemampuan peneliti.
Untuk mencapai maksud tersebut di atas, peneliti perlu melakukan pertanyaan reflektif sebagai
pemandu. Menurut Raco (2010: 98-99), ada beberapa pertanyaan awal untuk dijawab sebagai
berikut:
2) Bagaimana kondisi sosial di sekitar peristiwa, fakta atau gejala yang akan diteliti,
4) Perkembanghan atau pergeseran apa yang sedang berlangsung pada waktu peristiwa terjadi, dan
5) Apa manfaat penelitian tersebut baik bagi pengembangan ilmu pengetahun dan masyarakat secara
luas di masa yang akan datang.
Dilihat dari jenis pertanyaannya, para ahli metodologi penelitian seperti Marshall & Rossman
(2006), dan Creswell (2007: 107) setidaknya membaginya menjadi tiga macam pertanyaan, yaitu:
1) Deskriptif (yakni mendeskripsikan fenomena atau gejala yang diteliti apa adanya), dengan
menggunakan kata tanya ‘apa’. Lazimnya diajukan untuk
2) Eksploratoris (yakni untuk memahami gejala atau fenomena secara mendalam), dengan
menggunakan kata tanya “bagaimana”. Lazimnya diajukan untuk
3) Eksplanatoris (yakni untuk menjelaskan pola-pola yang terjadi terkait dengan fenomena yang
dikaji, dengan mengajukan pertanyaan ‘apa ada hubungan
atau korelasi, pengaruh antara faktor X dan Y). Lazimnya untuk pertanyaan penelitian kuantitatif.
1. Pertanyaan deskriptif: Apa aja strategi yang dipakai Kepala Sekolah dalam memajukan sekolah
yang dipimpinnya?
2. Pertanyaan eksploratif : Bagaimana model kepemimpinan Kepala Sekolah tersebut dalam upaya
memajukan sekolah?
4. Fisibel, artinya terjangkau dari sisi perolehan data, beaya, waktu, dan kualifikasi peneliti.
5. Tidak bertentangan dengan norma atau nilai yang ada di tempat penelitian dilakukan.
Sebagai tambahan wawasan perlu disajikan pula tipe penelitain berdasarkan bidang kajian, lokus,
pemakaian, dan tujuan utama penelitian sebagai berikut:
1. Berdasarkan bidang yang dikaji: pendidikan, manajemen pendidikan, sejarah, bahasa, hukum,
politik, agama, politik dsb.,
3. Berdasarkan pemakaian: dasar (basic) atau murni (pure) dan terapan (applied)
D. Penutup
Paparan di atas tentu tentu belum cukup untuk dipakai sebagai modal menyusun pertanyaan
penelitian yang baik. Diperlukan pengalaman, kerja keras dan semangat untuk terus menggali
informasi dan pengetahuan terkait dengan metodologi penelitian dari berbagai sumber dan forum-
forum akademik seperti seminar, lokakarya, konferensi, dan sejenisnya. Selamat mencoba.
DESAIN PENELITIAN KUALITATIF
Setelah membaca desain penelitian kualitatif-naturalistik ini para pembaca diharapkan memiliki
kompetensi seperti berikut.
1. Memahami variasi desain penelitian naturalistik
2. Menguasai faktor-faktor dalam desain penelitian
3. Menerapkan prinsip-prinsip desain penelitian
4. Membuat desain penelitian yang sesuai dengan keadaan di lapangan.
Pokok Bahasan
Perencanaan penelitian secara definitif dapat diartikan sebagai gambaran secara mendalam tentang
proses penelitian yang hendak dilakukan peneliti guna memecahkan permasalahan. Desain
penelitian merupakan bagian dari perencanaan penelitian yang menunjukkan usaha peneliti dalam
melihat apakah penelitian yang direncanakan telah memiliki validitas internal dan validitas
eksternal yang komprehensif.
Pada penelitian kualitatif, bentuk desain penelitian dimungkinkan bervariasi karena sesuai dengan
bentuk alami penelitian kualitatif itu sendiri yang mempunyai sifat emergent dimana phenomena
muncul sesuai dengan prinsip alami yaitu pehenomena apa adanya sesuai dengan yang dijumpai
oleh seorang peneliti dalam proses penelitian dilapangan.
Penelitian kualitatif dapat dipandang juga sebagai penelitian partisipatif yang desain penelitiannya
memiliki sifat fleksibel atau dimungkinkan untuk diubah guna menyesuaikan dari rencana yang
telah dibuat, dengan gejala yang ada pada tempat penelitian yang sebenarnya. Oleh karena seorang
peneliti belum mengetahui tentang responden dan apa yang akan ditanyakan kepada mereka, maka
mereka diperbolehkan melakukan perubahan. Sedangkan posisi perencanaan sebelum peneliti
terjun dilapangan adalah untuk meyakinkan bahwa mereka mengetahuai kegiatan minimal apa yang
perlu dilakukan di lapangan. Tidak diketahuinya macam pertanyaan apakah yang perlu disampaikan
ke responden adalah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Taylor dan Bogdan (1984:16) bahwa
until we enter the field, we do not know what questions to ask or how to ask them.
Dalam penelitian kualitatif, bacaan yang luas dan up to date merupakan syarat mutlak yang perlu
dilakukan oleh seorang peneliti guna mendalami teori yang relevan dengan permasalahan yang
hendak dipecahkan. Oleh karena itu agar memperoleh desain penelitian yang baik, para paneliti
hendaknya perlu memperhatikan beberapa butir penting seperti berikut yaitu: a) Peneliti hendaknya
menaruh minat terhadap tema atau topik yang pada umumnya masih bersifat umum, b) Masalah
diidentifikasi, dan dianalisis untuk menarik pertanyaan pokok atau yang berkaitan dengan fokus
permasalahan, c) Peneliti sejak awal hendaknya juga sudah mengetahui key persons yaitu orang –
orang yang mempunyai informasi, dan audience yaitu orang-orang atau lembaga yang dapat
menggunakan hasil-hasil penelitian, d) Peneliti hendaknya mengetahui metode yang hendak
digunakan agar dapat memilih metode yang sesuai dan dapat memecahkan masalah.
Unsur-unsur dalam desain Penelitian kualitatif
Walaupun desain penelitian kualitatif dikatakan sebagai desain yang fleksibel, secara empiris,
desain penelitian kualitatif pada umumnya mengandung unsur-unsur penting seperti berikut.
1. Menentukan fokus penelitian. Pada unsur ini peneliti berusaha menguraikan latar belakang
permasalahan yang hendak dipecahkan, mengindentifikasi phenomena yang menunjukkan realitas
permasalahan dan kemudian menentukan fokus penilitan yang memiliki fungsi sebagai guide atau
pedoman peneliti ketika melakukan eksplorasi data.
2. Menentukan paradigma penelitian yang sesuai dengan keadaan lapangan. Seperti halnya
penelitian kuantitatif, peneliti kualitatif juga dianjurkan menggali landasan teori dari berbagai
sumber informasi dan kemudian membangun paradigma penelitian yang sesuai dengan
permasalahan yang dimaksud. Sedangkan yang menjadikan bervariasi pendapat diantara peneliti
adalah dicantumkannya secara implisit dalam bab dua atau kajian pustaka atau secara integral
dimasukkannya sesuai dengan konteks dan komponen penelitian.
3. Menentukan kesesuaian antara paradigma dengan teori yang dikembangkan sehingga peneliti
tetap yakin terhdapa kebenarannya karena teori yang dibangun masih saling berkaitan erat dengan
paradigma yang dikembangkan.
4. Menentukan sumberdata yang dapat digali dari masyarakat yang diteliti. Unsur ini penting bagi
peneliti bahwa prinsip berbasah kaki dan berinteraksi dengan responden dapat dilaksanakan dengan
benar.
5. Menentukan tahap-tahap penelitian. Tahapan penelitian pada umumnya mencakup langkah-
langkah yang secara sistematis direncanakan oleh peneliti, sehingga mereka dapat bergerak dari
langkah sat ke langakh lainnya dapat dilkukan secara efisien.
6. Mengembangkan instrumen penelitian. Walaupun peneliti adalah intrumen yang baik, seorang
peneliti perlu menuangkan secara tertulis sebagai fungsi pertanggung jawaban, ketika peneliti lain
menanyakan proses yang berkaitan erat dengan pengambilan data.
7. Merencanakan pengumpulan data dan pencatatannya, termasuk didalamnya garis besar teknik
pengumpulan data yang dipilih agar memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
hendak dipecahkan.
8. Rencana analisis data, termasuk tindakan setelah peneliti megumpulkan data dari para responden,
melakukan refleksi dan m,enampilkannya untuk menuju peyusunan teori. Analisis data menurut
Guba 9198) ini termasuk diantaranya mengkatorisasi data, mengelompokkan sesuai dengan
karakteristik ubahan (characterisizing), menilai pengelompokan, dan checking antara anggota
peneliti (Member-check)
9. Rencana mencapai tingkat kepercayaan dan kebenaran penelitian, yang didalamnya mencakup
bagiaman peneliti melakukan pengembailan data agar memperoleh data yang valid dan releiabel
dengan permasalahan yang hendak diteliti.
10. Merencanakan lokasi dan tempat penelitian, lokasi dimana responden berada adalah tempat
yang perlu diperhitungkan, sehingga peneliti akan memperoleh informasi dari tangan pertama yaitu
orang yang mempunyai informasi.
11. Menghormati etika penelitian, termasuk perhatian peneliti untuk selalu menghormati hak
responden, tidak memaksa dan tidak membahayakan posisi responden. Hal responden tersebut
dicantumkannya dalam desain untuk meyakinkan bahwa penelitian naturalistik sesuai dengan etika
penelitian yang berlaku.
12. Mempersiapkan laporan penulisan dan penyelesaian penelitian. Komponen ini termasuk
didalamnya usaha peneliti untuk memperoleh laporan hasil penelitian yang didukung dengan bukti
pengambilan data, analisis data dan deseminasi melui peneulisan jurnal maupun artikel yang
relevan.
Hampir sebagian besar peneliti kualitatif mempunyai pertanyaan umum dalam pikiran mereka.
Pertanyaan tersebut akan dibawanya sampai ketika mereka hendak masuk ke lapangan. Pertanyaan
umum tersebut dapat dibedakan dalam dua kategori yang saling berkaitan yaitu pertanyaan
substantif dan pertanyaan teoritis. Pertanyaan subsatantif biasanya berkaitan erat dengan isu-isu
spesifik tentang tipe of setting misalnya, jika seorang peneliti tertarik untuk mempelajari lebih
mendalam tentang lingkungan tinggal mereka seperti: rumah, desa, rumah sakit, restoran, kumpulan
atau geng anak-anak remaja. Pertanyaan teoritis pada umumnya lebih dekat dengan isu-isu
sosiologis misalnya sosialisasi tentang suatu program, penyimpangan yang terjadai dalam suatu
masyarakat, dan kontro sosial yang diberlakukan.
Pada uraian berikut ini diuraikan salah satu contoh tindakan peneliti yang erat kaitannya dengan
elemen desain penelitian kualitatif, seperti berikut.
1. Peneliti menaruh minat terhadap suatu topik, kemudian dia melakukan pendalaman terutama
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan responden atau audience, keberadaaan dan kemudahan
informasi keadaan dan lokasi penelitian.
2. Peneliti kemudian merumuskan sejumlah pertanyaan pendahuluan, guna mengetahui lebih lanjut
tentang informasi-informasi apa yang diperlukan.
3. Peneliti mengidentifikasi macam-mcam metode pengumpulan data, dan kemudian dia memilih
satu atau dua metode yang relevan dan tepat.
4. Mengidentifikasi tempat atau situs penelitian dimana responden melakukan kegiatan. Tempat
penelitian ini dapat berupa kelas, laboratorium, bengkel untuk kegiatan kelas. Tempat penelitian
juga mungkin berupa tempat orang bekerja, lembaga atau institusi.
5. Data yang diperoleh segera dianalisis untuk mencari maknanya. Perlu diketahui bahwa dalam
penelitian kualitatif seorang peneliti dianjurkan untuk melakukan analisis segera setelah
pengumpulan data selesai dilakukan. Atau dengan kata lain anatara pengumpulan data dengann
analisis data dapat dilakukan secara serentak, tanpa menunggu selesainya tahap pengumpulan data.
6. Berdasarkan laporan dan analisis biasanya akan timbul sejumlah pertanyaan baru yang menjadi
pedoman guna melakukan observasi dan wawancara selanjutnya.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa,
1. Desain penelitian merupakan bagian dari perencanaan penelitian yang menunjukkan usaha
peneliti dalam melihat apakah penelitian yang direncanakan telah memiliki validitas internal dan
eksternal yang komprehensif.
2. Pada penelitian kualitatif, bentuk desain dimungkinkan bervariasi karena sesuai dengan bentuk
alami penelitian kualitatif itu sendiri yang mempunyai sifat emergent dimana phenomena muncul
sesuai dengan apa yang dijumpai peneliti dalam proses penelitian di lapangan.
3. Desain penelitian pada umumnya mengandung unsur-unsur seperti berikut, a) fokus penelitian,
b) paradigma penelitian, c) kesesuaian antara paradigma dengan teori yang dikembangkan, d)
sumberdata yang dapat digali, e) tahapan penelitian, f) instrumen penelitian, g) rencana
pengumpulan data dan pencatatannya h) rencana analisis data I) rencana tingkat kepercayaan dan
kebenaran penelitian, y) rencana lokasi dan tempat penelitian, k) etika penelitian l) rencana
penulisan dan penyelesaian penelitian.
4. Desain penelitian kualitatif seringkali tidak dinyatakan secara detail, bersifat fleksibel tumbuh
dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan
5. Hasil penelitian lebih bersifat terbuka dan tidak membatasi variabel seperti dalam penelitian
kualitatif.
6. Instrumen penelitian kualitatif pada umumnya lebih bersifat internal, dan subyektif yang
direfleksikan dengan “peneliti sebagai instrumen”.
7. Lama penelitian tidak dapat ditentukan sebelumya, karena penelitian umumnya terus
berlangsung sampai pada suatu saat peneliti tidak memperoeh data baru.
8. Dalam penelitian kualitatif-naturalistik selalu terjadi kemungkinan peneliti menemukan hal-hal
baru atau penemuan kembali yang sebenarnya dahulu sudah ada.
http://jeperis.wordpress.com/2009/02/05/desain-penelitian-kualitatif/
Suatu penelitian yang pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini
berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, ataupun pemahaman peneliti berdasarkan
pengalamannya, kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahan-
pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data
empiris di lapangan.
Di dalam bagian ini dikemukakan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, baik kesenjangan
teoretik ataupun kesenjangan praktis yang melatarbelakangi masalah yang diteliti. Di dalam latar belakang
masalah ini dipaparkan secara ringkas teori, hasil-hasil penelitian, kesimpulan seminar dan diskusi ilmiah
ataupun pengalaman/pengamatan pribadi yang terkait erat dengan pokok masalah yang diteliti. Dengan
demikian, masalah yang dipilih untuk diteliti mendapat landasan berpijak yang lebih kokoh. (lihat
pendahuluan )
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang
hendak dicarikan jawabannya. Perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan rinci
mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah.
Rumusan masalah hendaknya disusun secara singkat, padat, jelas, dan dituangkan dalam bentuk kalimat
tanya. Rumusan masalah yang baik akan menampakkan variabel-variabel yang diteliti, jenis atau sifat
hubungan antara variabel-variabel tersebut, dan subjek penelitian. Selain itu, rumusan masalah hendaknya
dapat diuji secara empiris, dalam arti memungkinkan dikumpulkannya data untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan. Contoh: Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan siswa SMP dengan prestasi
belajar mereka dalam matapelajaran Matematika?. (Tips membuat rumusan masalah )
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Isi dan rumusan tujuan
penelitian mengacu pada isi dan rumusan masalah penelitian. Perbedaannya terletak pada cara
merumuskannya. Masalah penelitian dirumuskan dengan menggunakan kalimat tanya, sedangkan rumusan
tujuan penelitian dituangkan dalam bentuk kalimat pernyataan. Contoh: Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui besarnya hubungan antara tingkat kecerdasan siswa SMP dengan prestasi belajar mereka
dalam matapelajaran Matematika.
Tidak semua penelitian kuantitatif memerlukan hipotesis penelitian. Penelitian kluantitatif yang bersifat
eksploratoris dan deskriptif tidak membutuhkan hipotesis. Oleh karena itu subbab hipotesis penelitian tidak
harus ada dalam skripsi, tesis, atau disertasi hasil penelitian kuantitatif. Secara prosedural hipotesis
penelitian diajukan setelah peneliti melakukan kajian pustaka, karena hipotesis penelitian adalah
rangkuman dari kesimpulan-kesimpulan teoretis yang diperoleh dari kajian pustaka. Hipotesis merupakan
jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoretis dianggap paling mungkin dan paling
tinggi tingkat kebenarannya. Namun secara teknis, hipotesis penelitian dicantumkan dalam Bab I (Bab
Pendahuluan) agar hubungan antara masalah yang diteliti dan kemungkinan jawabannya menjadi lebih
jelas. Atas dasar inilah, maka di dalam latar belakang masalah sudah harus ada paparan tentang kajian
pustaka yang relevan dalam bentuknya yang ringkas.
Rumusan hipotesis hendaknya bersifat definitif atau direksional. Artinya, dalam rumusan hipotesis tidak
hanya disebutkan adanya hubungan atau perbedaan antarvariabel, melainkan telah ditunjukan sifat
hubungan atau keadaan perbedaan itu. Contoh: Ada hubungan positif antara tingkat kecerdasan siswa SMP
dengan prestasi belajar mereka dalam matapelajaran Matematika.
Jika dirumuskan dalam bentuk perbedaan menjadi: Siswa SMP yang tingkat kecerdasannya tinggi memiliki
prestasi belajar yang lebih tinggi dalam matapelajaran Matematika dibandingkan dengan yang tingkat
kecerdasannya sedang. Rumusan hipotesis yang baik hendaknya: (a) menyatakan pertautan antara dua
variabel atau lebih, (b) dituangkan dalam bentuk kalimat pertanyaan, (c) dirumuskan secara singkat, padat,
dan jelas, serta (d) dapat diuji secara empiris.
5. Kegunaan Penelitian
Pada bagian ini ditunjukkan kegunaan atau pentingnya penelitian terutama bagi pengembangan ilmu atau
pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Dengan kata lain, uraian dalam subbab kegunaan penelitian
berisi alasan kelayakan atas masalah yang diteliti. Dari uraian dalam bagian ini diharapkan dapat
disimpulkan bahwa penelitian terhadap masalah yang dipilih memang layak untuk dilakukan.
Asumsi penelitian adalah anggapan-anggapan dasar tentang suatu hal yang dijadikan pijakan berfikir dan
bertindak dalam melaksanakan penelitian. Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang
dapat diukur dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini ia tidak perlu membuktikan kebenaran hal
yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan hasil pengukuran sikap yang diperolehnya.
Asumsi dapat bersifat substantif atau metodologis. Asumsi substantif berhubungan dengan permasalahan
penelitian, sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi penelitian.
Yang dikemukakan pada bagian ruang lingkup adalah variabel-variabel yang diteliti, populasi atau subjek
penelitian, dan lokasi penelitian. Dalam bagian ini dapat juga dipaparkan penjabaran variabel menjadi
subvariabel beserta indikator-indikatornya. Keterbatasan penelitian tidak harus ada dalam skripsi, tesis, dan
disertasi. Namun, keterbatasan seringkali diperlukan agar pembaca dapat menyikapi temuan penelitian
sesuai dengan kondisi yang ada. Keterbatasan penelitian menunjuk kepada suatu keadaan yang tidak bisa
dihindari dalam penelitian. Keterbatasan yang sering dihadapi menyangkut dua hal. Pertama, keterbatasan
ruang lingkup kajian yang terpaksa dilakukan karena alasan-alasan prosedural, teknik penelitian, ataupun
karena faktor logistik. Kedua, keterbatasan penelitian berupa kendala yang bersumber dari adat, tradisi,
etika dan kepercayaan yang tidak memungkinkan bagi peneliti untuk mencari data yang diinginkan.
Definisi istilah atau definisi operasional diperlukan apabila diperkirakan akan timbul perbedaan
pengertian atau kekurangjelasan makna seandainya penegasan istilah tidak diberikan. Istilah yang perlu
diberi penegasan adalah istilah-istilah yang berhubungan dengan konsep-konsep pokok yang terdapat di
dalam skripsi, tesis, atau disertasi. Kriteria bahwa suatu istilah mengandung konsep pokok adalah jika istilah
tersebut terkait erat dengan masalah yang diteliti atau variabel penelitian. Definisi istilah disampaikan
secara langsung, dalam arti tidak diuraikan asal-usulnya. Definisi istilah lebih dititikberatkan pada
pengertian yang diberikan oleh peneliti.
Definisi istilah dapat berbentuk definisi operasional variabel yang akan diteliti. Definisi operasional adalah
definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati. Secara tidak langsung
definisi operasional itu akan menunjuk alat pengambil data yang cocok digunakan atau mengacu pada
bagaimana mengukur suatui variabel. Contoh definisi operasional dari variabel “prestasi aritmatika” adalah
kompetensi dalam bidang aritmatika yang meliputi menambah, mengurangi, mengalikan, membagi, dan
menggunakan desimal. Penyusunan definisi operasional perlu dilakukan karena teramatinya konsep atau
konstruk yang diselidiki akan memudahkan pengukurannya. Di samping itu, penyusunan definisi operasional
memungkinkan orang lain melakukan hal yang serupa sehingga apa yang dilakukan oleh peneliti terbuka
untuk diuji kembali oleh orang lain. (Lihat Glossary)
9. Metode Penelitian
Pokok-pokok bahasan yang terdapat dalam bab metode penelitian paling tidak mencakup aspek (1)
rancangan penelitian, (2) populasi dan sampel, (3) instrumen penelitian, (4) pengumpulan data, dan (5)
analisis data.
a. Rancangan Penelitian
Penjelasan mengenai rancangan atau desain penelitian yang digunakan perlu diberikan untuk setiap jenis
penelitian, terutama penelitian eksperimental. Rancangan penelitian diartikan sebagai strategi mengatur
latar penelitian agar peneliti memperoleh data yang valid sesuai dengan karakteristik variabel dan tujuan
penelitian. Dalam penelitian eksperimental, rancangan penelitian yang dipilih adalah yang paling
memungkinkkan peneliti untuk mengendalikan variabel-variabel lain yang diduga ikut berpengaruh
terhadap variabel-variabel terikat. Pemilihan rancangan penelitian dalam penelitian eksperimental selalu
mengacu pada hipotesis yang akan diuji. Pada penelitian noneksperimental, bahasan dalam subbab
rancangan penelitian berisi penjelasan tentang jenis penelitian yang dilakukan ditinjau dari tujuan dan
sifatnya; apakah penelitian eksploratoris, deskriptif, eksplanatoris, survai, atau penelitian historis,
korelasional, dan komparasi kausal. Di samping itu, dalam bagian ini dijelaskan pula variabel-variabel yang
dilibatkan dalam penelitian serta sifat hubungan antara variabel-variabel tersebut. (Lihat beberapa
kesalahan dalam desain penelitiian)
Istilah populasi dan sampel tepat digunakan jika penelitian yang dilakukan mengambil sampel sebagai
subjek penelitian. Akan tetapi jika sasaran penelitiannya adalah seluruh anggota populasi, akan lebih cocok
digunakan istilah subjek penelitian, terutama dalam penelitian eksperimental. Dalam survai, sumber data
lazim disebut responden dan dalam penelitian kualitatif disebut informan atau subjek tergantung pada cara
pengambilan datanya. Penjelasan yang akurat tentang karakteristik populasi penelitian perlu diberikan agar
besarnya sampel dan cara pengambilannya dapat ditentukan secara tepat. Tujuannya adalah agar sampel
yang dipilih benar-benar representatif, dalam arti dapat mencerminkan keadaan populasinya secara cermat.
Kerepresentatifan sampel merupakan kriteria terpenting dalam pemilihan sampel dalam kaitannya dengan
maksud menggeneralisasikan hasil-hasil penelitian sampel terhadap populasinya. Jika keadaan sampel
semakin berbeda dengan kakarteristik populasinya, maka semakin besar kemungkinan kekeliruan dalam
generalisasinya. Jadi, hal-hal yang dibahas dalam bagian Populasi dan Sampel adalah (a) identifikasi dan
batasan-batasan tentang populasi atau subjek penelitian, (b) prosedur dan teknik pengambilan sampel,
serta (c) besarnya sampel.
c. Instrumen penelitian
Pada bagian ini dikemukakan instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti. Sesudah
itu barulah dipaparkan prosedur pengembangan instrumen pengumpulan data atau pemilihan alat dan
bahan yang digunakan dalam penelitian. Dengan cara ini akan terlihat apakah instrumen yang digunakan
sesuai dengan variabel yang diukur, paling tidak ditinjau dari segi isinya. Sebuah instrumen yang baik juag
harus memenuhi persyaratan reliabilitas. Dalam tesis, terutama disertasi, harus ada bagian yang
menjelaskan proses validasi instrumen. Apabila instrumen yang digunakan tidak dibuat sendiri oleh peneliti,
tetap ada kewajiban untuk melaporkan tingkat validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan. Hal lain
yang perlu diungkapkan dalam instrumen penelitian adalah cara pemberian skor atau kode terhadap
masing-masing butir pertanyaan/pernyataan. Untuk alat dan bahan harus disebutkan secara cermat
spesifikasi teknis dari alat yang digunakan dan karakteristik bahan yang dipakai.
Dalam ilmu eksakta istilah instrumen penelitian kadangkala dipandang kurang tepat karena belum
mencakup keseluruhan hal yang digunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, subbab instrumen penelitian
dapat diganti dengan Alat dan Bahan.
d. Pengumpulan Data
Bagian ini menguraikan (a) langkah-langkah yang ditempuh dab teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data, (b) kualifikasi dan jumlah petugas yang terlibat dalam proses pengumpulan data, serta
(c) jadwal waktu pelaksanaan pengumpulan data. Jika peneliti menggunakan orang lain sebagai pelaksana
pengumpulan data, perlu dijelaskan cara pemilihan serta upaya mempersiapkan mereka untuk menjalankan
tugas. Proses mendapatkan ijin penelitian, menemui pejabat yang berwenang, dan hal lain yang sejenis
tidak perlu dilaporkan, walaupun tidak dapat dilewatkan dalam proses pelaksanaan penelitian.
e. Analisis Data
Pada bagian ini diuraikan jenis analisis statistik yang digunakan. Dilihat dari metodenya, ada dua jenis
statistik yang dapat dipilih, yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial. Dalam statistik inferensial
terdapat statistik parametrikdan statistik nonparametrik. Pemilihan jenis analisis data sangat ditentukan
oleh jenis data yang dikumpulkan dengan tetap berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai atau hipotesis
yang hendak diuji. Oleh karena itu, yang pokok untuk diperhatikan dalam analisis data adalah ketepatan
teknik analisisnya, bukan kecanggihannya. Beberapa teknik analisis statistik parametrik memang lebih
canggih dan karenanya mampu memberikan informasi yang lebih akurat jika dibandingkan dengan teknik
analisis sejenis dalam statistik nonparametrik. Penerapan statistik parametrik secara tepat harus memenuhi
beberapa persyaratan (asumsi), sedangkan penerapan statistik nonparametrik tidak menuntut persyaratan
tertentu.
Di samping penjelasan tentang jenis atau teknik analisis data yang digunakan, perlu juga dijelaskan alasan
pemilihannya. Apabila teknik analisis data yang dipilih sudah cukup dikenal, maka pembahasannya tidak
perlu dilakukan secara panjang lebar. Sebaliknya, jika teknik analisis data yang digunakan tidak sering
digunakan (kurang populer), maka uraian tentang analisis ini perlu diberikan secara lebih rinci. Apabila
dalam analisis ini digunakan komputer perlu disebutkan programnya, misalnya SPSS for Windows.
(lihat analisis )
10. Landasan
Teori Dalam kegiatan ilmiah, dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu masalah haruslah
menggunakan pengetahuan ilmiah (ilmu) sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan. Hal ini
dimaksudkan agar diperoleh jawaban yang dapat diandalkan. Sebelum mengajukan hipotesis peneliti wajib
mengkaji teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah yang diteliti yang dipaparkan
dalam Landasan Teori atau Kajian Pustaka. Untuk tesis dan disertasi, teori yang dikaji tidak hanya teori yang
mendukung, tetapi juga teori yang bertentangan dengan kerangka berpikir peneliti. Kajian pustaka memuat
dua hal pokok, yaitu deskripsi teoritis tentang objek (variabel) yang diteliti dan kesimpulan tentang kajian
yang antara lain berupa argumentasi atas hipotesis yang telah diajukan Bab I.
Untuk dapat memberikan deskripsi teoritis terhadap variabel yang diteliti, maka diperlukan adanya kajian
teori yang mendalam. Selanjutnya, argumentasi atas hipotesis yang diajukan menuntut peneliti untuk
mengintegrasikan teori yang dipilih sebagai landasan penelitian dengan hasil kajian mengenai temuan
penelitian yang relevan. Pembahasan terhadap hasil penelitian tidak dilakukan secara terpisah dalam satu
subbab tersendiri. Bahan-bahan kajian pustaka dapat diangkat dari berbagai sumber seperti jurnal
penelitian, disertasi, tesis, skripsi, laporan penelitian, buku teks, makalah, laporan seminar dan diskusi
ilmiah, terbitan-terbitan resmi pemerintah dan lembaga-lembaga lain. Akan lebih baik jika kajian teoretis
dan telaah terhadap temuan-temuan penelitian didasarkan pada sumber kepustakaan primer, yaitu bahan
pustaka yang isinya bersumber pada temuan penelitian. Sumber kepustakaan sekunder dapat dipergunakan
sebagai penunjang. Untuk disertasi, berdasarkan kajian pustaka dapatlah diidentifikasi posisi dan peranan
penelitian yang sedang dilakukan dalam konteks permasalahan yang lebih luas serta sumbangan yang
mungkin dapat diberikan kepada perkembangan ilmu pengetahuan terkait. Pada bagian akhir kajian pustaka
dalam tesis dan disertasi perlu ada bagian tersendiri yang berisi penjelasan tentang pandangan atau
kerangka berpikir yang digunakan peneliti berdasarkan teori-teori yang dikaji. Pemilihan bahan pustaka
yang akan dikaji didasarkan pada dua kriteria, yakni (1) prinsip kemutakhiran (kecuali untuk penelitian
historis) dan (2) prinsip relevansi. Prinsip kemutakhiran penting karena ilmu berkembang dengan cepat.
Sebuah teori yang efektif pada suatu periode mungkin sudah ditinggalkan pada periode berikutnya. Dengan
prinsip kemutakhiran, peneliti dapat berargumentasi berdasar teori-teori yang pada waktu itu dipandang
paling representatif. Hal serupa berlaku juga terhadap telaah laporan-laporan penelitian. Prinsip relevansi
diperlukan untuk menghasilkan kajian pustaka yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
Bahan pustaka yang dimasukkan dalam daftar rujukan harus sudah disebutkan dalam teks. Artinya, bahan
pustaka yang hanya digunakan sebagai bahan bacaan tetapi tidak dirujuk dalam teks tidak dimasukkan
dalam daftar rujukan. Sebaliknya, semua bahan pustaka yang disebutkan dalam skripsi, tesis, dan disertasi
harus dicantumkan dalam daftar rujukan. Tatacara penulisan daftar rujukan. Unsur yang ditulis secara
berurutan meliputi: 1. nama penulis ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, nama tengah, tanpa
gelar akademik, 2. tahun penerbitan 3. judul, termasuk subjudul 4. kota tempat penerbitan, dan 5. nama
penerbit.
Definisi Penelitian
Jenis-jenis Penelitian
Sampling Methods